Tumgik
harakatuna-blog · 5 years
Text
Kesiapan Spin-Off UUS Perbankan Konvensional
Kehadiran Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang merupakan perubahan dari Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menjadi titik awal keberadaan infrastruktur hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Kemudian, undang-undang tersebut diturunkan ke dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI). Dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), ataupun ke dalam bentuk regulasi lainnya. Sehingga regulasi penyelenggaraan Perbankan Syariah semakin kuat, dan kehadirannya secara norma hukum diakui oleh negara. Salah satu amanat dari Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang harus mulai dipersiapkan ialah berkaitan dengan spin-off. Yaitu, terkait pemisahan UUS (Unit Usaha Syariah) dari BUK (Bank Umum Konvensional). Hal tersebut, seperti yang tertuang dalam Pasal 68, ayat 1. Yaitu: “Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset bank induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah.” Artinya, UUS sebagai bagian dari Bank Konvensional yang membuka unit syariah, harus memisahkan diri terhadap induknya, setelah memiliki aset 50% melebihi induknya atau pasca 15 tahun diberlakukannya Undang-Undang Perbankan Syariah. Bila Bank Konvensional tidak mengindahkan perintah tersebut, maka izin usaha unit syariahnya akan dicabut. Hal tersebut, seperti yang dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11 Tahun 2009 tentang Unit Usaha Syariah, Pasal 43, Ayat 1, yaitu: “BUK yang tidak melakukan pemisahan UUS sebagaimana dimaksud, akan dikenakan pencabutan izin usaha UUS.”
Keseriusan Regulator
Berkaitan amanat undang-undang perihal pemisahan UUS dari BUK harus menjadi perhatian serius oleh regulator—baik oleh BI, OJK, ataupun pihak terkait. Karena 15 tahun pasca diundangkannya Undang-Undang Perbankan Syariah, UUS harus sudah berubah menjadi BUS. Artinya, setelah tahun 2023 tidak ada lagi Bank Konvensional yang memiliki unit syariah, dan semua bank syariah yang ada di Indonesia menjadi Bank Umum Syariah. Adapun bentuk pemisahan UUS menjadi Bank Umum Syariah, dilakukan dengan dua cara. Hal tersebut, seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11 Tahun 2009 tentang Unit Usaha Syariah, Pasal 41, Ayat 1, yaitu: “Pemisahan UUS dari BUK sebagaimana dimaksud dapat dilakukan dengan cara: (a) mendirikan BUS baru; atau (b) mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada BUS yang telah ada.” Tentu saja, pemisahan UUS dari Bank Konvensional sangat memberatkan induknya. Karena, Bank Konvensional harus merelakan sebagian aset yang dimiliki memisahkan diri. Konsekwensi logis yang akan diterima ialah berkurangnya profitabilitas yang akan diterima oleh Bank Konvensional—baik dari sisi ROE (Return On Equity) ataupun ROA (Return On Assets). Sehingga keuntungan Bank Konvensional yang memimiliki UUS akan turun pasca memisahkan unit syariah yang dimilikinya. Bila proses spin-off dianggap induknya, bisa jadi Bank Konvensional yang memiliki UUS akan beramai-ramai melakukan Judicial Review atau hak uji materi ke MK (Mahkamah Konstitusi), atas Undang-Undang Perbankan Syariah, Pasal 68. Seandainya hal tersebut terjadi dan MK mengabulkan permintaan yang dilakukan oleh perwakilan ataupun seluruh Bank Konvensional sebagai penggugat, maka keberadaan UUS sebagai unit syariah dari Bank Konvensional akan tetap berjalan. Sehingga impian untuk menguatkan Bank Umum Syariah akan batal. Konsekwensinya ialah, manajemen UUS akan tetap berada di bawah Bank Konvensional. Oleh karena itu, sebelum adanya Judicial Review terhadap Pasal 68 Undang-Undang Perbankan Syariah, regulator—baik BI, OJK, ataupun pihak terkait, harus serius mempersiapkan proses spin-off yang merupakan amanat dari undang-undang. Bentuk keseriusan pemerintah, dapat dilakukan dengan dua hal. Pertama, memberikan sanksi tegas. Dimana, sanksi tegas diberikan kepada Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, kemudian bank tersebut melakukan prive (pengambilan aset UUS oleh bank induk) ketika aset UUS melebihi atau hampir melebihi induk sebelum dilaksanakannya RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Sehingga, dengan adanya pengambilan prive yang dilakukan oleh bank induk sebagai pemilik UUS, maka bank yang bersangkutan tidak dikenai aturan pemisahan diri yang menyaratkan 50% aset UUS melebihi bank induknya. Regulator—BI, OJK, ataupun lembaga terkait, tidak terlalu sulit untuk menemukan hal tersebut. Bila ingin mengetahui ketaatan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, maka tinggal dilihat laporan keuangan bulanan yang mereka kirimkan. Bila ada indikasi Bank Konvensional sebagai induk melakukan prive satu ataupun dua bulan menjelang RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), dapat dikatakan bahwa Bank Konvensional yang bersangkutan sedang menghindari regulasi pemisahan diri UUS seperti yang diamanatkan oleh undang-undang. Bila regulator—BI, OJK, ataupun pihak terkait menemukan hal tersebut, berilah sanksi yang tegas. Sanksi tegas misalnya berbentuk pencabutan izin usaha bagi Bank Konvensional yang telah melakukan hal tersebut berkali-kali. Jika hal tersebut baru satu kali dikerjakan oleh Bank Konvensional, sanksi dapat berupa peringatan tegas saja. Adanya sanksi tegas, supaya menjadi perhatian khusus bagi Bank Konvensional lainnya, sehingga tidak melakukan hal yang sama. Kedua, mendorong percepatan spin-off. Dimana, spin-off merupakan amanat dari Undang-Undang Perbankan Syariah yang harus dipersiapkan dengan baik oleh 20 UUS yang saat ini statusnya masih sebagai unit syariah dari Bank Konvensional. Pemerintah sebagai regulator harus terus mendorong atau bahkan mendesak agar UUS melakukan persiapan spin-off. Bentuk dorongan yang diberikan oleh pemerintah, misalnya dengan meminta persiapan apa yang telah dilakukan oleh bank yang bersangkutan. Dan kekurangan apa yang masih harus diperbaiki, hingga bahkan tahun berapa akan dilakukan spin-off. Bila pemerintah sebagai regulator tidak berusaha memberikan dorongan yang kuat terhadap 22 UUS yang ada, maka bank yang bersangkutan akan berleha-leha memenuhi aturan yang diamanatkan oleh perundang-undangan. Sehingga niat untuk memiliki Bank Umum Syariah, sebagai cara untuk meningkatkan pangsa pasar Perbankan Syariah di Indonesia akan sulit terealisasi. Maka dari itu, pemerintah harus serius menangani persiapan spin-off yang sebentar lagi harus berubah dari UUS menjadi BUS.
UUS Harus Buka Komunikasi
UUS sebagai unit syariah milik Bank Konvensional harus mulai mempersiapkan diri. Karena banyak hal yang harus dipersiapkan, terkhusus dari sisi modal setor bagi UUS yang akan menjadi BUS. Oleh karena itu, UUS harus mulai agresif membuka komunikasi dengan orang-orang yang sekiranya mau menjadi pemodal, baik perorangan ataupun institusi. Sehingga persiapan untuk melakukan spin-off, tidak terkendali dengan jumlah modal setor yang harus dimiliki. Ada dua bentuk komunikasi yang harus dibuka oleh UUS. Pertama, komunikasi dengan ormas-ormas Islam, misalnya Nahdlatul Ulama/NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam/Persis, dan lain sebagainya. Ajaklah ormas-ormas Islam tersebut untuk menjadi pemegang saham dari UUS yang akan melakukan spin-off, atau bahkan dimiliki oleh satu ataupun dua ormas. Sehingga kendala modal setor dari kegiatan spin-off bisa dilakukan oleh UUS yang bersangkutan. Kedua, komunikasi dengan Perguruan Tinggi Islam, baik negeri ataupun swasta. Perguruan Tinggi Islam di Indonesia sangat banyak. Baik itu, dalam bentuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri/Swasta (PTKIN/PTKIS), atau Perguruan Tinggi Umum (PTU) yang dimiliki oleh Ormas Islam. Ajaklah Perguruan Tinggi untuk memiliki saham, khususnya saham sebagai modal setor. Penulis berkeyakinan, bahwa dua bentuk komunikasi yang dibuka oleh UUS jauh-jauh hari, akan menjadi salah satu ikhtiar yang akan mempercepat proses spin-off. Sehingga UUS tidak akan mengalami kesulitan berkaitan dengan permodalan yang wajib disediakan oleh regulasi. Read the full article
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Simbol Agama dan Relevansinya dalam Hadist
Setiap agama atau umat beragama memiliki keberagamaan yang berbeda dengan agama atau umat beragama lain, demikian juga dengan umat Islam. Mereka memiliki keberagamaan yang khas di dalam sistem atau metode keberagamaannya sendiri yang berbeda dengan agama atau umat beragama lain. Mereka memiliki keberagamaan yang khas terlihat di dalam sistem atau metode keberagamaannya dengan menggunakan simbol-simbol sebagai sarana atau media untuk memohon atau menyampaikan pesan-pesan, petunjuk-petunjuk, atau nasehat-nasehat bagi umatnya. Data sejarah umat Islam menunjukkan, ternyata simbolisasi telah dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. Dalam sejarah umat Islam, penggunaan simbol-simbol dalam agama, ternyata dilaksanakan dengan penuh kesadaran yang tinggi, pemahaman yang sungguh-sungguh, dan penghayatan yang mendalam Paham atau aliran tata pemikiran yang mendasarkan diri pada simbol disebut simbolisme. Jika kita ingi melihat bagaimana simbol bekerja menurut Eliade hal pertama yang harus diperhatikan adalah tentang segala sesuatu yang dapat menjadi satu. Sebagian besar hal yag merupakan kehidupan setiap hari adalah profan. Hal-hal itu saja, tak lebih. Tetapi pada saat yang tepat, segala yang profan dapat diubah menjadi sakral. Sebuah alat, seekor binatang, sebuah sungai, bunga yang mekar, gua, bintang atau batu, semuanya itu dapat menjadi simbol yang sakral jika orang-orang memutuskannya demikian. Contohnya yaitu ka’bah , orang muslim memuja sebuah batu hitam. Meskipun hingga hari ini, dalam satu tingkatan objek tersebut tetaplah batu, tidak ada kaum muslim yang akan memandangnya demikian. Ketika kaum muslim memandang sebagai sesuatu yang sakral – objek profan ini telah di transformasikan, ia tidak lagi batu, melaikan objek yang dianggap sakral. Diriwayatkan dalam hadis sohih Bukhori : قاَلَ الإمَامُ البُخاَرِي رَحِمَهُ اللهُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْكَعْبَةَ وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ وَبِلَالٌ وَعُثْمَانُ بْنُ طَلْحَةَ الْحَجَبِيُّ فَأَغْلَقَهَا عَلَيْهِ وَمَكَثَ فِيهَا فَسَأَلْتُ بِلَالًا حِينَ خَرَجَ: مَا صَنَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: جَعَلَ عَمُودًا عَنْ يَسَارِهِ وَعَمُودًا عَنْ يَمِينِهِ وَثَلَاثَةَ أَعْمِدَةٍ وَرَاءَهُ وَكَانَ الْبَيْتُ يَوْمَئِذٍ عَلَى سِتَّةِ أَعْمِدَةٍ ثُمَّ صَلَّى. Imam al-Bukhari ra berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Yusuf yang berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar ra, bahwa: Rasulullah saw masuk ke dalam Ka’bah bersama Usamah ibn Zaid, Bilal dan ‘Usman ibn Thalhah Al-Hajabi kemudian pintu ditutup, dan beliau berada di dalamnya. Kemudian setelah beliau keluar aku bertanya kepada Bilal: Apa yang dilakukan oleh Beliau di dalamnya. Bilal menjawab: Beliau menjadikan tiang berada di sebelah kiri, lalu satu di sebelah kanan dan tiga tiang berada di belakangnya -saat itu tiang Ka’bah berjumlah enam buah- kemudian beliau shalat.” Eliade mengakui bahwa semua kegiatan manusia melibatkan simbolisme, bahkan menurutnya simbol adalah cara khusus untuk mengenal hal-hal yang relegius. Oleh karena manusia adalah mahluk fana dan penuh keterbatasan oleh hal duniawi, maka manusia tidak dapat memiliki akses ke hal yang sakral. Pengetahuan manusia atas yang sakral bukan sepenuhnya hasil dari usaha manusia itu sendiri, manusia mengetahui hal yang sakral bukan sepenuhnya hasil dari manusia itu sendiri atau produk dari akal rasionalitasnya. Manusia dapat mengetahui hal yang sakral oleh karena yang sakral itu menyatakan dirinya kepada manusia melalui wahyu seperti krathopani (pernyataan diri yang maha kuasa).cara inilah yang disebut dengan simbol agar sakral itu dapat menyatakan dirinya kepada manusia, dan dengan adanya simbol tersebut manusia dapat mencapai pengetahuan tentang yang sakral dan transenden. Sebagai contonya yaitu langit. Langit adalah simbol tentang yang sakral untuk menyatakan dirinya kepada manusa. Menurut Eliade, transendensi Allah dinyatakan secara langsung dalam sifat-sifat langit yang memilikisifat ketidakketerbatasan, kekekalan, keadaan yang tidak dapat didekati atau ditaklukkan, dann kekuatan yang kreatif yaitu hujan. Simbol adalah tanda-tanda realitas transenden, memberikan pandangan yang jelas mengenai keberadaan yang sakral. Simbol disebut bentuk wahyu yang otonom. Simbol juga memiliki keunikan karena memberikan pemahaman yang jelas mengenai yang sakral. Simbol memainkan peran peting dalam kehidupan religius manusia dan membawa manusia kepada makna yang lebih dalam dari pengetahuan biasa atau sehari-hari. Simbol selalu mengarahkan pada suatu realitas atau situasi dimana eksistensi manusia terlibat didalamnya. Simbol senantiasa menjaga hubungan dengan sumber kehidupan yang terdalam, simbol menyatakan kehidupan yang rohani. Sayangnya simbol bernasib malang, sama engan mitos. Kehidupan manusia yang modern mulai mengabaikan mitos. Simbol telah terperosok dalam suatu keadaan yang disebut tahayyul. Simbol telah kehilangan makna relegiusnya dan yang tersisa hanya nilai sosial. Akibat perilaku manusia modern atas simbol yang demikian itu membuat manusia itu hidup dalam lingkungan yang diciptakannya sendiriyang didalamnya ada jurang yang dalam antara dirinya degan yang yang kudus. Hanya simbol yang dapat mengintegrasikan manusia dengan yang kudus. namun masih ada harapan bagi manusia modern, karena simbol yang disakralkan itu masih dimilikinya, tersimpan dalam hati nuraninya atau dalam alam bawah sadarnya, dan itu dapat menjadi suatu titik berangkat untuk pembaharuan dan kebangunan rohaninya bawha simbol itu sakral. Daftar pustaka 1. Jurnal filsafat,simbolisme agama dalam politik islam, april 2003, jilid 33,no 1. 2. Daniel L.Pals,1996, Seven Theories of Relegion, penerbit qalam,Yogyakarta, 3. https://media.neliti.com Read the full article
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Dosa Muslim Cyber Army (MCA) pada Harakatuna
Website Harakatuna media telah diretas oleh Muslim Cyber Army, pada hari Senin, 2 Desember 2019, peretasan ini terjadi pukul 15:40. MCA ini adalah kumpulan atau wadah kelompok Islam ekstrem yang tidak mendukung media-media Islam seperti Haraktuna dalam mempublikasikan narasi keislaman dan kebangsaan, terutama narasi kaitannya dengan kontrak radikalisme dan terorisme. Tindakan MCA sebagai hacker terhadap media Islam (Harakatuna) menunjukkan eksistensi wadah tersebut tidak memiliki kecenderungan menyebarkan paham keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin. Oleh karena itu, Islam mengajarkan umat manusia untuk terus berdakwa sesuai dengan misi ketuhanan. Yaitu, “Ud’u ila sabili robbika bilhikmati wamauidzotil hasanah”. Artinya, ajaklah kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan tutur yang baik. Jika setiap dakwah di media dengan pola ekstremisme dan radikalisme itu cukup membahayakan keamanan dan persatuan kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi narasi thaghut dijadikan sebuah alat untuk mengkebiri ideologi negara. Yaitu, Pancasila. Dan bagaimanan dengan media Islam yang menjunjung tinggi nasionalisme? Kalau persoalan ideologi saja diganggu. MCA tidaklah mencerminkan komoditas media yang ramah dan penuh sopan santun, sopan dan santun dalam tinjauan filsafat hukum identik dengan pekerjaan orang beradab, dan bermartabat. Jika, menyalahgunakan dan menyerang media dakwah Islam toleran dengan cara hacking. Hal itu sungguh merupakan dosa besar yang membuat wawasan dan kesopanan mereka tertutup rapi. Hacker MCA sebenarnya ingin mengajak perang di media massa untuk saling memberitakan narasi Islam yang ekstrem. Namun, menyebarkan Islam di media itu tidak seharusnya membuat masyarakat resah gelisah dan dengan cara-cara ekstrem. Sebab hal itu tidak menjadikan masa depan Islam lebih indah di mata masyarakat global dan berpotensi merusak perdamaian dunai dalam hubungan keagamaan maupun kenegaraan.
Ancaman Pidana bagi Peretas (Hacker) seperti Muslim Cyber Army
Penulis akan lebih detai merumuskan kerangka hukum cyber dalam perspektif hukum pidana nasional. Dalam konteks normatif-yuridis, tindakan MCA jelas melanggar hukum sebagaimana substansinya pada pasal 30 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik orang lain. Pada pasal tersebut ada tiga kerangka hukum yang harus diapahmi. Pertama, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses komputer atau sistem elektronik. Kedua, dengan sengaja dan tanpa hak mengakses Komputer atau Sistem Elektronik dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik. Ketiga, dengan sengaja dan tanpa hak melampaui, menjebol, melanggar, sistem pengaman dari suatu Komputer atau Sistem Elektronik untuk dapat mengakses Komputer atau Sistem Elektronik. Dari sisi filsafat hukum, MCA selain melanggar hukum karena meretas media orang lain karena sudah memasuki wilayah yang sifatnya privat. Namun, sisi lain, adalah wadah itu tidak memiliki etika karena tindakan meretas (hacking) itu memperlihatkan sikap dan prilakunya yang tidak pantas dan tidak patut dilakukan. Padahal, Islam sebagai agama yang ramah selalu mengajarkan umatnya untuk berbuat baik seperti apa yang pernah dilakukan oleh nabi Muhammad Saw. Seharusnya, meskipun tidak memiliki kecenderungan yang sama dalam menyebarkan Islam melalui media. Akan tetapi, kita perlu memperhatikan batas-batas tindakan yang menurut agama juga tidak benar. Karena agama sejatinya adalah pedoman moral yang baik bagi umat manusia tanpa harus saling menjatuhkan dan menyerang sesama umat Islam Lebih dipertegas lagi, pada pasal 35 UU ITE. Bahwa, “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik. Berdasarkan landasan hukum di atas, tindakan MCA meretas Harakatuna merupakan pelanggaran hukum yang harus dilawan oleh berbagai media keislaman yang menyebarkan paham-paham keagamaan yang toleran. Dasar hukum ini menunjukan sebuah alat bukti dan fakta hukum bahwa tindakan hacking itu perbuatan dosa besar karena mengganggu ketentaraman dan keutuhan serta kenyamanan seseorang dalam berdakwah melalui media.
Peran Media dan Institusi Negara
Menurut hemat penulis, ada beberapa langkah atau metode untuk mencegah, memberantas, dan menghentikan tindakan hacker yang dilakukan oleh Muslim Cyber Army. Pertama, peran berbagai media Islam yang turut menghadirkan narasi ilmiah kontra ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Kedua, pentingnya kesadaran dan kecerdasan masyarakat (civil society) dalam memerangi media Islam yang ekstrem. Ketiga, peran Polri dan BIN untuk meringkus oknum-oknum yang tergabung dalam Muslim Cyber Army karena wadah tersebut cukup sering menyebarkan hoak dan meretas media orang lain, terutama tindakan hukum seperi Polri penting sekali untuk menjaga keamanan dan keutuhan negara agar masyarakat bisa hidup tertib, dan tentram. Alhasil, langkah-langkah tersebut harus kita yakini bersama bahwa tindakan media dan institusi negara akan berhasil dan sukses. Untuk itu, dengan pendekatan hukum inilah. Dosa MCA perlu ditempuh melalui adanya pertaubatan nasional agar menyadari dan tidak lagi meretas media orang lain. Yang media itu adalah memiliki kesamaan menyebarkan paham agama, serta tidak dilandasi dengan ambisi untuk mengganti ideologi negara.   Read the full article
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Dosa Muslim Cyber Army pada Harakatuna
Website Harakatuna media telah diretas oleh Muslim Cyber Army, pada hari Senin, 2 Desember 2019, peretasan ini terjadi pukul 15:40. MCA ini adalah kumpulan atau wadah kelompok Islam ekstrem yang tidak mendukung media-media Islam seperti Haraktuna dalam mempublikasikan narasi keislaman dan kebangsaan, terutama narasi kaitannya dengan kontrak radikalisme dan terorisme. Tindakan MCA sebagai hacker terhadap media Islam (Harakatuna) menunjukkan eksistensi wadah tersebut tidak memiliki kecenderungan menyebarkan paham keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin. Oleh karena itu, Islam mengajarkan umat manusia untuk terus berdakwa sesuai dengan misi ketuhanan. Yaitu, “Ud’u ila sabili robbika bilhikmati wamauidzotil hasanah”. Artinya, ajaklah kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan tutur yang baik. Jika setiap dakwah di media dengan pola ekstremisme dan radikalisme itu cukup membahayakan keamanan dan persatuan kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi narasi thaghut dijadikan sebuah alat untuk mengkebiri ideologi negara. Yaitu, Pancasila. Dan bagaimanan dengan media Islam yang menjunjung tinggi nasionalisme? Kalau persoalan ideologi saja diganggu. MCA tidaklah mencerminkan komoditas media yang ramah dan penuh sopan santun, sopan dan santun dalam tinjauan filsafat hukum identik dengan pekerjaan orang beradab, dan bermartabat. Jika, menyalahgunakan dan menyerang media dakwah Islam toleran dengan cara hacking. Hal itu sungguh merupakan dosa besar yang membuat wawasan dan kesopanan mereka tertutup rapi. Hacker MCA sebenarnya ingin mengajak perang di media massa untuk saling memberitakan narasi Islam yang ekstrem. Namun, menyebarkan Islam di media itu tidak seharusnya membuat masyarakat resah gelisah dan dengan cara-cara ekstrem. Sebab hal itu tidak menjadikan masa depan Islam lebih indah di mata masyarakat global dan berpotensi merusak perdamaian dunai dalam hubungan keagamaan maupun kenegaraan.
Ancaman Pidana bagi Peretas (Hacker) seperti Muslim Cyber Army
Penulis akan lebih detai merumuskan kerangka hukum cyber dalam perspektif hukum pidana nasional. Dalam konteks normatif-yuridis, tindakan MCA jelas melanggar hukum sebagaimana substansinya pada pasal 30 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik orang lain. Pada pasal tersebut ada tiga kerangka hukum yang harus diapahmi. Pertama, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses komputer atau sistem elektronik. Kedua, dengan sengaja dan tanpa hak mengakses Komputer atau Sistem Elektronik dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik. Ketiga, dengan sengaja dan tanpa hak melampaui, menjebol, melanggar, sistem pengaman dari suatu Komputer atau Sistem Elektronik untuk dapat mengakses Komputer atau Sistem Elektronik. Dari sisi filsafat hukum, MCA selain melanggar hukum karena meretas media orang lain karena sudah memasuki wilayah yang sifatnya privat. Namun, sisi lain, adalah wadah itu tidak memiliki etika karena tindakan meretas (hacking) itu memperlihatkan sikap dan prilakunya yang tidak pantas dan tidak patut dilakukan. Padahal, Islam sebagai agama yang ramah selalu mengajarkan umatnya untuk berbuat baik seperti apa yang pernah dilakukan oleh nabi Muhammad Saw. Seharusnya, meskipun tidak memiliki kecenderungan yang sama dalam menyebarkan Islam melalui media. Akan tetapi, kita perlu memperhatikan batas-batas tindakan yang menurut agama juga tidak benar. Karena agama sejatinya adalah pedoman moral yang baik bagi umat manusia tanpa harus saling menjatuhkan dan menyerang sesama umat Islam Lebih dipertegas lagi, pada pasal 35 UU ITE. Bahwa, “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik. Berdasarkan landasan hukum di atas, tindakan MCA meretas Harakatuna merupakan pelanggaran hukum yang harus dilawan oleh berbagai media keislaman yang menyebarkan paham-paham keagamaan yang toleran. Dasar hukum ini menunjukan sebuah alat bukti dan fakta hukum bahwa tindakan hacking itu perbuatan dosa besar karena mengganggu ketentaraman dan keutuhan serta kenyamanan seseorang dalam berdakwah melalui media.
Peran Media dan Institusi Negara
Menurut hemat penulis, ada beberapa langkah atau metode untuk mencegah, memberantas, dan menghentikan tindakan hacker yang dilakukan oleh Muslim Cyber Army. Pertama, peran berbagai media Islam yang turut menghadirkan narasi ilmiah kontra ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Kedua, pentingnya kesadaran dan kecerdasan masyarakat (civil society) dalam memerangi media Islam yang ekstrem. Ketiga, peran Polri dan BIN untuk meringkus oknum-oknum yang tergabung dalam Muslim Cyber Army karena wadah tersebut cukup sering menyebarkan hoak dan meretas media orang lain, terutama tindakan hukum seperi Polri penting sekali untuk menjaga keamanan dan keutuhan negara agar masyarakat bisa hidup tertib, dan tentram. Alhasil, langkah-langkah tersebut harus kita yakini bersama bahwa tindakan media dan institusi negara akan berhasil dan sukses. Untuk itu, dengan pendekatan hukum inilah. Dosa MCA perlu ditempuh melalui adanya pertaubatan nasional agar menyadari dan tidak lagi meretas media orang lain. Yang media itu adalah memiliki kesamaan menyebarkan paham agama, serta tidak dilandasi dengan ambisi untuk mengganti ideologi negara.   Read the full article
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Israel Perburuk Ekonomi Palestina
Harakatuna.com. Jenewa - Pendudukan Israel telah menyebabkan ekonomi Palestina mengalami kerugian hingga lebih dari 2,5 miliar dolar AS per tahun. Pada periode 2000-2017, total kerugian Palestina mencapai 47,7 miliar dolar AS. Hal itu terungkap dalam laporan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTD). "Dalam dekade terakhir, beberapa studi dan laporan UNCTAD telah membahas kebocoran fiskal Palestina ke Israel. Kebocoran fiskal ini mendorong organisasi internasional lainnya untuk mempertanyakan masalah ini," ujar Mustaim Elagraa, seorang ekonom yang menghadiri konferensi UNCTD di Jenewa, Swiss, pada Senin (2/12) dikutip Anadolu Agency. Kerugian sebesar 47,7 miliar dolar AS pada periode 2000-2017 termasuk bunga 28 miliar dolar AS yang masih harus dibayar Palestina kepada Israel. Sementara 6,6 miliar dolar AS lainnya berbentuk kebocoran pendapatan fiskal Palestina. Dalam laporan UNCTD disebutkan jumlah kerugian ekonomi palestina tersebut sebenarnya dapat menutupi defisit anggaran Otoritas Palestina sebesar 17,7 miliar dolar AS selama periode yang sama. Jika dana sebesar 47 miliar dolar AS itu diinvestasikan dengan bijak, Palestina dapat membuka dua juta lapangan pekerjaan atau sekitar 110 ribu per tahun.
Kerugian Fiskal
"Perkiraan kerugian fiskal pendudukan kumulatif oleh Israel ini tidak hanya akan menghilangkan defisit anggaran Palestina yang diperkirakan mencapai 17,7 miliar dolar AS selama periode yang sama. Itu juga akan menghasilkan surplus hampir dua kali lipat dari ukuran defisit," kata Mustaim Elagraa. Laporan UNCTD turut dipresentasikan di Palestine Economic Policy Research Institute (MAS) di Tepi Barat. Peneliti senior MAS Misyef Jameel memang berpartisipasi dalam penyusunan laporan UNCTD perihal kerugian perekonomian Palestina akibat pendudukan Israel. Menurut Jameel, jumlah kerugian yang terdapat dalam laporan UNCTD diperoleh hanya dengan mengukur dampak fiskal langsung. "Angka sebenarnya untuk semua kerugian kemungkinan jauh lebih tinggi," ujarnya. Pada September lalu, Bank Dunia mengungkapkan Otoritas Palestina masih menghadapi kesenjangan anggaran mencapai 1,8 miliar dolar AS. Hal itu terjadi meskipun Palestina telah memperoleh pinjaman dana dari Israel. "Otoritas Palestina menghadapi kesenjangan pembiayaan yang bisa melebihi 1,8 miliar dolar AS untuk 2019, didorong oleh menurunnya aliran bantuan dan transfer pajak yang tidak terselesaikan serta bea masuk yang dipungut Israel atas nama Otoritas Palestina," kata Bank Dunia dalam laporannya dikutip laman Al Arabiya. Sejak Februari lalu, Israel membekukan transfer pajak pertambahan nilai dan cukai yang dikumpulkannya atas nama Palestina. Hal itu tak pelak memukul perekonomian Palestina. Presiden Palestina Mahmoud Abbas terpaksa harus memberlakukan kebijakan penghematan anggaran. Salah satu caranya adalah dengan memangkas hampir setengah gaji para pegawai di tubuh pemerintahannya.
Kebijakan Bank Dunia atas Kerugian Ekonomi Palestina
Direktur Bank Dunia untuk Tepi Barat dan Gaza Kanthan Shankar menyebut prospek perekonomian untuk wilayah Palestina mengkhawatirkan. "Tekanan likuiditas yang parah telah mulai mempengaruhi kemampuan Otoritas Palestina untuk memenuhi tanggung jawabnya membayar pegawai negeri serta menyediakan layanan publik," ujarnya. Pada Juni lalu Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan situasi sosial dan ekonomi di Jalur Gaza pun kian memburuk. Blokade Israel menjadi penyebab utama hal tersebut. “Situasi sosial dan ekonomi di Gaza bergerak dari buruk menjadi lebih buruk,” ujar Direktur Operasi UNRWA di Gaza, Matthias Schmale, saat menghadiri pertemuan yang diselenggarakan Press House pada 30 Juni dilaporkan laman Middle East Monitor. Menurut dia, blokade Israel yang telah berlangsung selama 12 tahun merupakan penyebab utama memburuknya situasi di Gaza. “Blokade telah menyebabkan tingkat pengangguran yang lebih tinggi, keruntuhan ekonomi, dan pembatasan perdagangan bebas,” ucapnya. Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, jumlah pengangguran di Gaza terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2018, persentase pengangguran di sana mencapai 52 persen dari total populasi sekitar dua juta orang. Jumlah tersebut meningkat delapan persen dibandingkan tahun sebelumnya. Program Pangan Dunia PPB (WFP) juga melaporkan bahwa Gaza dibekap rawan pangan. Hal itu mempengaruhi setidaknya dua pertiga penduduk di sana. Israel mulai menerapkan blokade terhadap Gaza pada 2007. Hal itu terjadi sejak Hamas mengambil alih kontrol daerah tersebut dari tangan Fatah. Sejak saat itu, hubungan dua faksi Palestina tersebut pun tak harmonis. Keduanya kerap terlibat perselisihan. Hal itu turut berperan dalam membuat situasi di Gaza memburuk. Read the full article
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Istri-Istri Nabi Muhammad dan Nasabnya
Dalam Akidah Ahlussunah Waljamaah, mengetahui seluk beluk tentang Nabi Muhammmad merupakan pokok keimanan, dimulai dari riwayat hidupnya, istri-Istri Nabi Muhammad dan anak-anaknya bahkan sampai nasabnya. Akan tetapi dari segi nasab, Akidah Ahlussunah Waljamaah hanya mewajibkan mengetahuinya sampai Adnan saja dan tidak sampai kepada Nabi Adam. Dengan demikian mempelajari seluruh hal yang berkaitan dengan Nabi Muhammad merupakan suatu kewajiban. Hampir semua buku dan kitab akidah membahas mengenai hal ini. Telah menjadi kesepakatan dalam Akidah Ahlussunah bahwasanya istri-istri Nabi Muhammad itu ada sebelas. Dan perlu diketahui juga bahwa ketika istri yang pertama yaita Khadijah masih hidup, Nabi Muhammad tidak pernah menikah dengan wanita lainnya. Mereka para istri-istri nabi Muhammad telah disepakati, bahwa dua diantara meninggal ketika Nabi Muhammad masih hidup yaitu Khadijah dan Zainab binti khuzaemah. Dan ketika Nabi Muhammad wafat meninggalkan sembilan istri lainnya. Habib Zain Ibrahim bin Smit dalam bukunya yang berjudul Syarah Hadist Jibril menerangkan istri Nabi Muhammad yang pertama adalah Khadijah, kedua Aisah, ketiga Saudah, keempat Hafshah, kelima Zainab binti khuzaemah, Keenam Zaenab binti Jahsy, ketujuh Ummu Salamah, kedelapan Ummu Habibah, kesembilan Juwariyah, kesepuluh Maemunah dan kesebelas adalah Safiah binti Huyai. Habib Muhammad Bin Alawi Al-Makki dalam bukunya yang berjudul Jalaul Afham Fi Syarh Aqidatul Awam menjelaskan profil kesebelas istri Nabi Muhammad tersebut.
1. Istri Nabi Muhammad yang pertama, Khadijah binti Khuwailid.
Ia merupakan istri pertama Rasulullah Saw. Khadijah merupakan janda dari Abu Halah. Sebelum bersama Rasul, Khadijah terlebih dahulu memiliki putra-putri hasil buah cintanya dengan Abu Halah. Mereka adalah Hindun binti Abu Halah dan Zainab binti Abu Halah. Sebelum menikah dengan Abu Halah, Khadijah juga pernah menikah dengan Atiq bin Aid dan memiliki dua orang anak: Abdullah dan Jariyah. Sehingga total putra-putri Khadijah sebelum menikah dengan Rasul berjumlah empat orang. Uniknya, Khadijah merupakan satu-satunya istri Rasul Saw yang tidak pernah dimadu oleh Rasul hingga Khadijah wafat.
2. Istri Nabi Muhammad yang kedua Zainab binti Khuzaimah
Ia merupakan saudara seibu dari Maimunah binti al-Kharis. Ia dijuluki Ummu Masakin karena kasih sayangnya terhadap para fakir miskin. Sayangnya, kebersamaannya bersama Rasul tidak cukup lama. Ia hanya merasakan kehidupan bersama Rasul selama dua hingga tiga bulan sebelum akhirnya wafat. Dua orang di atas merupakan istri-istri Rasul yang wafat sebelum Rasul.
3. Istri Nabi Muhammad yang ketiga, Aisyah binti Abu Bakar
Rasulullah menikahinya ketika di Mekkah pada saat ia masih berumur tujuh tahun. Kemudian tinggal bersama Rasul di Madinah pada umur sembilan tahun, sekitar delapan bulan setelah hijrah. Aisyah adalah satu-satunya istri Rasul Saw yang masih perawan. Selain itu, ia merupakan istri yang sangat dicintai Rasul Saw. setelah Khadijah. Ia wafat pada umur 67 Tahun, tepatnya pada bulan Ramadhan 58 H. Ia dimakamkan di Baqi pada masa pemerintahan khalifah Abdul Marwan bin Hakam.
4. Istri Nabi Muhammad yang keempat, Hafsah binti Umar bin Khattab
Ia menikah dengan Rasul Saw setelah menjadi janda karena ditinggal wafat oleh suami sebelumnya, Khunais bin Khudzafah as-Sahmi. Ia dinikahi Rasul saat berumur 20 tahun pada saat setelah perang uhud 3 H. Ia meninggal saat berumur 60 tahun, tepatnya pada tahun 45 H dan bertepatan dengan masa pemerintahan Marwan bin Hakam.
5. Istri Nabi Muhammad yang kelima, Saudah binti Zam’ah
Ia menikah dengan Rasul setelah wafatnya Khadijah pada bulan Ramadhan tahun ke 10 setelah kenabian. Ia wafat pada masa-masa akhir kepeimpinan Umar bin Khattab. Sebelumnya, merupakan janda dari As-Sakran bin Amr yang merupakan Muhajir Habsyah yang meninggal pada saat datang ke Makkah.
6. Shofiyah binti Khuyay bin Akhtab
Ayahnya, Khuyay bin Akhtab merupakan pembesar Bani Nadhir yang merupakan cucu keturunan Harun bin Imran As. Sebelumnya, ia pernah menikah dengan Salam bin Miskam al-Yahudi kemudian Kinanah bin Abi Huqaiq. Keduanya merupakan penyair Yahudi dan sama sekali belum memiliki keturunan dari keduanya. Saat perang, Kinanah terbunuh, kemudian Shofiyah menjadi tawanan. Rasul pun memilihnya, ia dinikahi Rasul dengan mahar kemerdekaannya. Pada saat itu umurnya belum genap 17 tahun. Shofiyah wafat pada bulan Ramadhan tahun 50 H dan dikuburkan di Baqi pada masa pemerintahan Muawiyah.
7. Maimunah binti al-Kharis
Ia merupakan bibi dari Abdullah bin Abbas. Ia merupakan istri Nabi Muhammad yang ke tujuh Sebelumnya, saat jahiliyah, ia merupakan istri dari Masud bin Amr yang kemudian menceraikannya. Setelah itu ia menikah dengan Abu Rahm bin Abdul Uza al-Amiri yang kemudian meninggal. Rasul menikahinya pada tahun ke 7 H, pada saat umrah Qadha. Ia wafat di Syaraf, salah satu daerah yang dekat dengan kota Tan’im pada umur 80 tahun. Maimunah adalah istri terakhir Rasul dan juga istri Rasul yang wafat terakhir.
8. Ummu Habibah
Nama aslinya Ramlah binti Abi Syufyan bin Harb. Ia merupakan istri Nabi Muhammad yang ke delapan Ia merupakan putri dari pamannya Utsman bin Affan. Ia telah lama masuk islam dan hijrah ke Habasyah bersama suaminya, Ubaidullah bin Jahs yang kemudian wafat di Habasyah. Ia wafat pada tahun 44 H.
9. Ummu Salamah binti Abi Umayah
Namanya Hindun, Ia merupakan janda dari Abu Salamah. Ia menikah dengan Rasul pada bulan syawal tahun 4 H. Pada saat itu umurnya 30 tahun. Ia wafat pada tahun 60 H, pada masa kekhilafahan Yazid bin Muawiyah.
10. Zainab binti Jahsy
Zainab adalah putra paman Rasul Saw, Amimah binti Abdul Muthalib. Ia merupakan istri Nabi Muhammad yang kesepuluh. Rasul menikahinya pada tahun 5 H. Sebelumnya, ia merupakan istri dari orang yang memerdekakannya, Zaid bin Haritsah. Ia merupakan istri Nabi yang wafat setelah nabi, yakni pada tahun12 H, pada masa khilafah Umar bin Khatab. Zainab dimakamkan di Baqi’. Saat ia wafat, yang menyolatinya adalah Umar bin Khatab.
11. Juwairiyah binti al-Haris al-Khuzaiyah
Ia merupakan tawanan Bani Mustaliq dari Khuza’ah. Ia merupakan istri Nabi Muhammad yang kesebelas. Ia pernah terkena anak panah Tsabit bin Qays bin Syamasy al-Anshari, kemudian Allah menolongnya dengan menjadikannya istri Rasulullah Saw. Pada saat itu ia berumur 20 tahun. Ia meninggal pada 56 H. Perlu diketahui bahwa Nabi Muhammad memiliki banyak istri, bahkan sampai berjumlah sebelas. Itu semua merupakan keistimewaan beliau sebagai nabi. Dan ketika menikahi para istrinya tersebut Nabi Muhammad dibimbing berdasarkan panduan dan perintah dari Allah, sedang kita sebagai umatnya tidak boleh menirunya. Read the full article
1 note · View note
harakatuna-blog · 5 years
Text
Jalan Indah Ahlus Sunah wal Jamaah
Konsep bernegara bagi Ahlus sunah tidaklah kaku. Asalkan nilai keadilan, kemaslahatan, sosial kemasyarakatan bisa diperjuangkan itu sudah cukup. Tentu  menjadi penyelenggara negara -bagi Ahlus sunah- dituntut untuk mengayomi dan melindungi seluruh hak warga negaranya. Tanpa memandang suku dan agama. Dahulu di zaman pemerintahan Umar bin al-Khaththab tersebutlah seorang Yahudi (baca: non-Muslim) yang menjadi bagian dari rakyatnya. Sebagai warga negara ia sudah lama mematuhi kewajibannya bagi pemerintahan salah satunya adalah dengan membayar pajak (jizyah) dari hasil ia bekerja. Namun saat usianya sudah lanjut, ia tidak mampu lagi bekerja. Sehingga ia tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk membayar pajak negara. Alhasil ia memutuskan untuk mengemis agar dapat menjalankan kewajibannya membayar pajak. Setelah Umar bin al-Khaththab mengetahui hal itu, beliau langsung menginstruksikan agar ia terbebas dari pajak negara dan kehidupannya dibiayai oleh baitul mal (baca: negara). Sebab salah satu tugas pemerintahan adalah bisa memperkuat yang lemah bukan memperlemah yang kuat. Sejatinya kebijakan hukum pemerintahan itu merata bagi seluruh warga negara (istilah Al-Quran-nya adalah baynan nas). Dalam menjalankan tugas negara, Ahlus sunah wal Jamaah mempunyai trilogi manhaj yaitu: ilmu, dakwah dan tazkiyah (penyucian jiwa dan akhlak). Tanpa ketiga manhaj itu akan hilang empat sifat yang melekat dalam sosok seorang nabi yaitu: Shidq (jujur), amanah, tabligh (sosialisasi), dan fathanah (kecerdasan). Keempat sifat inilah yang harus diwarisi oleh dua golongan yang perannya sangat vital dalam sebuah negara yakni: ulama dan umara. Dalam kaitannya beragama dalam bernegara bagi Ahlus Sunah tidak diperkenankan untuk memaksakan bagi yang berbeda keyakinan. Saat memimpin, dulu Umar bin al-Khaththab memiliki seorang ajudan non-Muslim. Sebenarnya Umat bin al-Khaththab sangat berharap dan sering merayunya untuk memeluk agama Islam. Meski demikian Umar bin al-Khaththab tidak mau memaksanya. Karena sang ajudan tidak berkenan. Itulah dakwah santun Ahlus sunah. Dakwah tetap dijalankan tanpa mengabaikan kebebasan sesama untuk menentukan pilihan. Dalam sejarahnya, Ahlus sunah yang hakiki tidak pernah memantik pergolakan dan pemberontakan dalam sebuah negara atau pemerintahan. Seringkali konflik pemerintahan terjadi dari kalangan Rafidhah dan Khawarij. Tercatat sepanjang pemerintahan seperti Yazid bin Muawiyah ataupun khalifah yang lain yang dinilai bertindak semena-mena (jika tidak mau menyebutnya zalim), tidak ditemukan para salaf yang melakukan pemberontakan baik itu al-Hasan al-Bashri, Ali Zainal Abidin hingga zaman Malik bin Anas, al-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Mereka yang menjadi panutan Ahlus sunah tersebut tidak pernah memberontak atau pun melawan selagi pemerintahan tidak melakukan kekufuran secara nyata dan terang-terangan. Sikap dan tindakan panutan Ahlus sunah di atas didasarkan pada tiga manhaj yang telah disebutkan di atas yakni atas dasar ilmu, dakwah dan tazkiyah (penyucian jiwa dan akhlak). Lalu karakteristik Ahlus sunah yang hakiki ada empat hal. Pertama, jumlahnya mayoritas (baca: al-sawad al-a’zham). Kedua, memiliki sifat rahmah (kasih sayang dan santun) serta akhlak-akhlak mulia. Ketiga, tidak mudah mengkafirkan sesama Muslim. Keempat, manhaj yang diikuti oleh mayoritas Ahlu Bait Nabi saw (baca: habaib). Disadur dari uraian al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz dalam acara Halaqah Kebangsaan yang diselenggarakan oleh PWNU Jawa Barat bekerjasama dengan Pemprov Jawa Barat pada tanggal 9 Oktober 2018 di hotel Aryaduta Bandung. Read the full article
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Pandangan Habib Umar Soal Kebangsaan
Manhajnya sama, 'ijo'-nya boleh jadi juga sama, yang membuat ‘beragam’, sang guru yang hidup di tanah Yaman memakai jubah, adapun si murid yang lahir di bumi nusantara memakai batik. "MARI BERALIH DARI HAL-HAL YANG BERSIFAT KULIT MENUJU POKOK-POKOK YANG MERUPAKAN SUBSTANSI" Kutipan tersebut saya nukil dari beliau Habib Umar bin Hafidz dalam dialog terbatas bersama 30 tokoh nasional, malam ini (7/10). Hal tersebut beliau sampaikan menjawab pertanyaan TGB Zainul Majdi tentang perspektif agama terhadap kebangsaan (muwatanah). Kata beliau jika yang dimaksud dengan kebangsaan adalah rasa aman, keadilan, dan penghargaan terhadap sesama, maka itu lah Islam, apa pun istilah yang digunakan. Kaum muslimin harus menjaga hak-hak non muslim ketika minoritas, apalagi ketika kaum muslimin menjadi mayoritas. Prof. Dr. Quraish Shihab yang juga hadir di forum ini menambahkan satu kata tentang kebangsaan, yaitu musawah (persamaan hak) antar semua warga negara. Dalam pertemuan yang berlangsung kurang lebih tiga jam ini Habib Umar menyampaikan pandangan-pandangannya tentang problematika umat Islam kontemporer, beberapa hal yang masih saya ingat di antaranya adalah, bahwa Islam amat menghormati semua makhluk, hewan sekalipun, apalagi manusia. Menyakiti hewan saja berarti sudah melanggar salah satu prinsip ajaran Nabi, bagaimana dengan menyakiti manusia?! Beliau kemudian menceritakan fragmen-fragmen sejarah Nabi, misalnya bagaimana Nabi memberikan hidangan yang sangat layak kepada para tawanan-tawanannya, lebih dari yang beliau makan. Hal yang tidak kita jumpai bahkan di zaman ini yang katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kenapa bisa demikian? Karena Nabi melakukan semuanya dengan rahmah. Beliau juga mengingatkan bahaya kejahatan-kegaduhan yang mungkin motivasinya adalah agama, termasuk dalam politik. Beliau menyatakan pasti ada yang salah dari sanad keilmuan orang-orang yang berlaku demikian, yang juga mempunyai mispersepsi tentang politik. Karena pada dasarnya politik adalah untuk tertibnya kehidupan masyarakat dan alat mencapai tujuan-tujuan bersama. Celakanya politik dalam kenyataan banyak dipraktekkan hanya untuk meraih kekuasaan. Dengan kata lain menjadikan kekuasaan dalam politik untuk tujuan utama, bukan perantara. Beliau mengatakan tidak mengharamkan ulama berpolitik, namun semua harus bekerja sesuai kapasitas dan kompetensinya. Ulama bisa berperan tanpa harus berpolitik praktis, tanpa harus menjadi milik kelompok tertentu. Ulama harus menjadi penghubung antara umat Islam dan ajaran-ajaran Rasulullah. Ulama harus menjadi duta moral-akhlak Islam. Karena itu jika ada ulama berpolitik praktis kemudian berdusta, mencela, apalagi berkata kasar, itu berarti dia sudah keluar dari garis-garis keilmuan/keulamaannya. Politik ulama adalah mengayomi. Beliau menegaskan bahwa itu semua bisa terrealisasi jika masing-masing melakukannya dengan ikhlas dan atas fondasi kemaslahatan, bukan kepentingan tertentu. Tentang bahaya ujaran-ujaran tercela, beliau mengutip suatu hadis bahwa, “Pada zaman fitnah, sebuah kalimat bisa lebih tajam daripada pedang”. Beliau mengajak ulama untuk kembali kepada amanah ilmiah. Meneladani Imam Malik yang berilmu tanpa hawa nafsu dan tanpa memaksa, contoh saja beliau mau mempertahankan keberagaman dengan menolak menjadikan Muwatta-nya sebagai satu-satunya rujukan hukum negara, ketika diinisiasi oleh seorang khalifah. Dalam penutupnya, menanggapi sebuah pertanyaan Prof. Jimly Assidiqi, beliau habib Umar sempat bercerita peristiwa enam puluh tahun lalu, ketika ada seseorang dari Hadlramaut yang hidup di Jakarta akan kembali ke negaranya, para tetangganya menangisi, dan yang terlihat amat keras tangisannya adalah tetangganya yang Tionghoa-non muslim, ditanyalah orang tersebut, kenapa Anda begitu sedih kehilangan seorang Hadlramaut itu, dijawab, “Ya selama 20 tahun saya berinteraksi dengannya, saya melihat pada dirinya akhlak, tidak pernah mengganggu kehidupan saya, dengan mengintip sekali pun, saya jatuh hati dengan akhlaknya, saya mempercayainya lebih dari saudara-saudara saya sendiri!” La hawla wa la quwwata illa billah. *Muhammad Najih Arromadloni, Sekretaris Jenderal Alumni Syam Indonesia dan Kandidat Doktor UIN Jakarta     Read the full article
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Habib Umar: Reuni Akbar 212 Bertentangan dengan Nilai-nilai Islam
Harakatuna.com.  Jakarta - Rencana kegiatan Reuni Akbar 212 di Monas, Jakarta Pusat, pada Minggu (2/12) mendatang, mengundang polemik. Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz (Habib Umar) dari Majelis Al-Muwasholah Bain Ulama Al-Muslimin, Forum Siltarahim Antar Ulama tidak setuju terhadap Reuni Akbar tersebut. Menurut dia, Reuni Akbar itu bertentangan dengan nilai-nilai Islam sekaligus memprovokasi umat. “Negeri ini saya harap selalu damai. Jaga persaudaraan, nikmat persatuan ini harus dijaga. Stop dan cukup kedengkian,” jelas Habib Umar dalam siaran persnya, Rabu (28/11). Dia mengimbau umat Islam di Tanah Air untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT dalam memandang segala sesuatu. “Hendaknya tidak tergesa-gesa terhadap apa yang tampak dari kejadian-kejadian secara dhahir saja. Tujuannya agar tidak terjerumus kedalam kehancuran dan keburukan sebagaimana  telah terjadi hal tersebut atas orang dan bangsa lain,” katanya. Gerakan dan pemberontakan yang mengatasnamakan agama, lanjut Habib Umar, akan mengakibatkan kehancuran umat dan juga merusak persatuan umat dan kesatuannya. “Bahkan berakibat pada sedikit maupun banyak hancurnya tradisi-tradisi umat, menghancurkan kesejahteraannya, kekuatannya, terjadinya pertumpahan darah, rusaknya kehormatan, hilangnya harta benda, dan kerusakan-kerusakan yang sangat besar sebagaimana sudah terlihat dan begitu nyata di hadapan kita,” imbuh ulama dari kota Trim, Hadramaut, Yaman itu. Habib Umar pun memberikan contoh keteladanan Rasulullah SAW. Menurutnya, Nabi Muhammad tidak melakukan jihad kecuali setelah datang izin dari Allah SWT. Dan setelah mendapatkan izinpun Nabi berusaha mendamaikan sesama kaum muslimin. “Beliau melakukan perdamaian dengan orang-orang musyrik yang telah memerangi kaum Muslimin. Juga membuat perjanjian damai dengan kelompok-kelompok lain dari orang-orang kafir,” ujarnya. Habib Umar kembali menegaskan sekaligus memberikan nasihat, bahwa hendaknya para ulama dan orang-orang yang bernisbat kepada syariat dan agama menjauhi pemahaman-pemahaman yang berdampak buruk terhadap hati, jiwa dan diri mereka.   Read the full article
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Deformasi Radikalisme: Dinamika Perebutan Makna
Terminologi radikal tak melulu bernilai negatif, justru dalam tradisi filsafat berpikir secara (radix) secara mendalam sangatlah diperlukan. Bermula dari berpikir radikal, Islam di era Abbasiyah mengalami titik klimaks keemasan peradaban (golden age) hingga mencetuskan ilmuwan muslim sekaliber Al Kindi (Filsuf Pertama), Al Farabi (Guru Kedua Setelah Aristoteles), Al Khawarizmi (Penemu Angka Nol), dan sebagainya. Dalam khazanah pemikiran Islam Indonesia, contoh berpikir radikal yang melahirkan nilai positif adalah konsep tauhid radikal (radical monotheism) yang dicetuskan Nurcholish Madjid. Namun lambat laun, radikalisme sedang mengalami “deformasi” luar biasa sehingga dituding punya relasi adekuat dengan actust terorisme. Radikal Dalam Filsafat Radikalisme berasal dari kata radical, berarti “sama sekali” atau sampai ke akar-akarnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme adalah paham atau aliran yang menghendaki perubahan sosial dan politik dengan cara anarkis dan ekstrim sebagai batu lompatan untuk mengabsahkan ideologi-teologi mereka yang diklaim benar. Dalam kacamata filsafat, istilah radikal berasal dari kata radic, artinya akar. Pendek kata, orang dapat dikatakan radikal apabila ia mampu berpikir secara mendalam dan mendasar hingga ke akar-akarnya. Akar tentu saja bercabang ke setiap penjuru di dalam tanah dengan tujuan menopang berdirinya batang agar kokoh dan akar—akar bisa menyerap saripati tanah untuk didistribusikan ke seluruh cabang sehingga menghasilkan buah-buahan yang lezat dan menyegarkan. Tanpa radikal, filosof-filosof agung seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, Al Kindi, Al Razi, Al Farabi, Ibn Rusyd, Ibn Sina, tak akan lahir. Justru radikal itu diperlukan dalam memahami suatu permasalahan atau mengurai “kebuntuan” berpikir. Radikal Dalam Agama Malang benar term “radikal”, ia diseret sana sini demi mengukuhkan keabsahan ideologi oknum tertentu. Syahwat politik kekuasaan hingga menjadikan agama sebagai komoditi empuk melatari gerakan mereka. Tak pelak, beragam elit kelompok bahkan pejabat pemerintahan dari hulu hingga kelas teri/ hilir gegap gempita meyumbangkan definisi yang “pas” untuk istilah radikal. Kata radikal sebenarnya telah jamak dalam khazanah klasik Islam. Semula term “radikal” mengadopsi cara berpikir filsafat yangg mendalam hingga menyentuh akar (radix). Namun, pad konteks beragama, radikalisme menempati sikap ekstrem dalam beragama. Rasanya tidak fair menyematkan “radikal” dalam konotasi negatif. Lambat laun sikap esktrem ini pengejawantahan dari cara berpikir ekslusif yang mengorbitkan truth claim sebagai justifikasi keabsahan ideologi mereka. Implikasinya, lahir sikap intoleran, anarkis, dan hampir dipastikan di semua agama ada kelompok “faksi” bernama radikal. Deformasi Besar-besaran: Shifting Paradigm Radikalisme mulai berorkestrasi menjadi fundamentalisme, di mana seseorang rela mengorbankan nyawa demi memperjuangkan ideologinya. Doktrin mati syahid, kenikmatan bidadari surgawi turut melatari aksi mereka. Anehnya kalangan milenial “menyambut” suka cita yang seharusnya dapat menjadi counter discourse gerakan radikalisme. Di ranah internasional, kata “radikal” mengalamatkan pada kalangan tertentu, seperti Al-Qaeda, Osama bin Laden. Di Indonesia, kata stigma “radikal” akan menyeret pada organisasi, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang terbentuk sejak tahun 1983. Sikap radikalisme dalam agama dapat berwujud merasa benar, pendapatnya paling “unggul”, merasa agama dan keyakinannya paling “menyelamatkan”. Sedang yang lain sesat dan merugi. Sikap esktrem dalam beragama tersebut ada di setiap agama, maka tidak fair tatkala disematkan pada satu agama tertentu termasuk agama Islam. Logika radikalisme agama tersebut menjadi rigid dan kering serta “berpenyakit” tatkala merambah ke ruang publik (public sphere) yang heterogen dengan beraneka ragam keyakinan, agama, ras, suku dan sosial-budaya. Istilah “radikal” tidak semerta-merta berkonotasi negatif, melainkan radikalisme yang berujung pada sikap ekstrem – radikal dalam keyakinan; beda sedikit kafir, radikal dalam tindakan; jihad membunuh orang lain/ bom bunuh diri, radikal dalam politik-ideologi/ mengganti ideologi pancasila menegakkan negara Islam/ khilafah – yang meluluhlantakkan keutuhan bangsa.       Read the full article
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Muslim Cyber Army, Harakatuna, dan Keberagamaan Milenial
Jika ada pertanyaan: apa agenda terbesar yang bersemayam di balik kegiatan hiper-liturgis seperti Maulid Nabi PA 212 di Monas kemarin? Jawabannya adalah: kepulangan Imam Besar mereka, Habib Rizieq Shihab. Pengerahan massa sebanyak-banyaknya seperti itu hanya menjadikan keberagamaan sekadar bungkus belaka. Sejatinya mereka ingin menunjukkan pada publik, tentang jumlah, tentang kekuatan mereka. Sungguh, itu adalah arogansi tingkat tinggi. Rumor kepulangan Rizieq Shihab juga memiliki daya tarik sendiri; menarik massa agar penasaran ingin hadir. Padahal, jeratan hukum kepada Rizieq Shihab tergolong rumit, sehingga memulangkannya tidak semurah ongkos pergi ke Monas saja. Bagaimana mereka kemudian mengemasnya dengan Maulid Nabi sejujurnya adalah bagian dari taktik. Ini semacam pemecah ketabuan, Rizieq Shihab akan hadir di Maulid Rasulullah. Padahal bulan Rabiul Awal sendiri sudah berlalu sebelum mereka berbondong ke Monas. Tetapi, itu dalam tataran dunia nyata. Beda halnya dengan yang terjadi di dunia maya. Pasukan Siber Muslim (Muslim Cyber Army) adalah senjata andalan para pengikut Rizieq Shihab. Anggota MCA, dalam dugaan saya, pasti adalah sekelompok milenial yang ahli meretas web, ahli IT, tapi bodoh dalam keberagamaan. Mereka memanfaatkan keahlian IT-nya untuk menyerang siapapun yang  tak mau berkomplot dalam pemahaman keberagamaan mereka yang tertutup terhadap keberagaman.
Bermula dari Eksklusivisme Keberagamaan
Semuanya bermula dari sesuatu menjijikkan yang disebut eksklusivisme, pemahaman agama yang cenderung apologetik terhadap pendapat sendiri dan menyalahkan pendapat selainnya. Selain dimunculkannya provokasi bahwa Rizieq Shihab tengah diasingkan pemerintah Indonesia, mereka berupaya yakinkan rakyat, menarik bahu-membahu sesama Muslim untuk menuntut kepulangannya. Mereka yang tak sependapat, akan dicap sebagai Muslim munafik bahkan kafir. Mari masuk ke dalam area pembuktian. Bukti dari kebrutalan MCA dalam menuntut kepulangan Rizieq Shihab adalah justifikasi hacking media-media penentang narasi mereka. Harakatuna Media (harakatuna.com) adalah saksi penting, setelah situsnya diretas, pada Senin (2/12/2019) kemarin, selama beberapa jam sejak 15.40 WIB. Perang siber menjadi sisi gelap yang lain setelah mereka, para maniak Rizieq Shihab itu, membungkus hipokrisi politiknya dengan keagamaan. Label “Muslim” dalam MCA sendiri tentu saja bukan sebuah kebetulan. Mereka sudah merencanakan semuanya secara terstruktur dan masif. Jadi, di belakang aksi massa berjilid-jilid itu, mereka bergerak di wilayah siber, dengan mengatasnamakan gerakan Muslim. Sekali lagi, label keagamaan di sini adalah wujud eksploitasi belaka. Bukan suatu kebanggaan bila hanya ahli meretas, apalagi meretasnya dipakai untuk membungkam kebenaran. Mereka busuk, tapi berlindung di bawah label ke-Muslim-an. Intrik hack meng-hack semacam ini, bagi mereka, mungkin adalah prestasi yang pantas dibanggakan. Tetapi sejujurnya justru melahirkan stigma buruk bagi umat Islam, karena mereka menggunakan ‘Muslim’ sebagai pondasi intrik busuknya. Sebagai sebuah tumbal, Harakatuna akan jadi sasaran empuk. Barangkali mereka menyadari, narasi kontra radikalisme, atau bahkan kontra-Rizieq Shihab, begitu tinggi. Sehingga untuk meredamnya adalah menumbalkan media yang konsen di gerakan deradikalisasi dan kontra radikalisme dan terorisme. Bercokolnya eksklusivisme beragama, kepentingan politik pengusung khilafah/NKRI Bersyariah, dan keputusasaan luar biasa setelah berbagai cara memulangkan Rizieq Shihab tidak berhasil, adalah alasan Harakatuna diretas. Apalagi pesan peretas adalah, “Pulangkan Imam Besar Kami!”. Lebih jauh, marilah kita tanyakan pada diri kita, apakah benar peretasan Harakatuna sekadar peretasan website biasa? Jelas tidak. Ini adalah perang siber antara kaum eksklusif melawan narasi kontra-radikal.
Eksklusivisme vis-à-vis Narasi Kontra Radikalisme
Penting untuk diutarakan, yang mereka serang, sejujurnya bukan Harakatuna saja yang ingin dibungkam, melainkan seluruh penentang mereka. Yang menimpa Harakatuna adalah lampu kuning, bahwa media Harakatuna akan selalu jadi aksi kebusukan mereka. Betapapun tak dapat dipungkiri, konsen Harakatuna terhadap narasi kontra-radikalisme patut diperhitungkan. Jika Harakatuna dijadikan target utama, berarti bagi mereka, Harakatuna adalah ancaman besar. Itu poin pentingnya. Padahal, selama ini, Harakatuna tidak pernah menyuguhkan konten invalid yang kebenarannya tak bisa dipertanggungjawabkan. Semua narasi kebangsaan, keislaman, dan narasi kontra radikalisme dikemas secara ilmiah dan argumentatif. Perspektifnya pun beragam, sehingga sajian Harakatuna mencerminkan kompleksitas. Apalah daya, ketika mereka tidak mampu melawan narasi ilmiah secara ilmiah pula, dengan argumentasi sepadan, senjata yang mereka andalkan adalah meng-crack Harakatuna itu sendiri. Karena itu, penguatan IT para pengusung konten deradikalisasi dan kontra radikalisme merupakan sesuatu yang mendesak. Begitupun dengan intelektual keberagamaan, harus sama-sama semakin intens dalam mengkaji betapa bahayanya virus MCA ini. Mereka tidak hanya membungkam dakwah, seperti yang menimpa Harakatuna. Lebih dari itu, mereka berupaya menjadi oposisi yang superior di bidang IT. Jika yang seperti ini dibiarkan, akan banyak website keislaman-kebangsaan-deradikalisasi yang diretas laiknya Harakatuna. Tetapi, semua ini harus dilalui dengan langkah positif, untuk menguatkan literasi kita tentang kontra radikalisme.  Betapapun risikonya besar, Harakatuna tidak akan kendor sedikitpun. Persoalan Rizieq Shihab biarkan jadi urusan konstitusional Negara, dan PR kita semua adalah melawan sekuat tenaga lahirnya radikalisme akut. Adalah tugas kita, agar ghirah menjaga keutuhan bangsa, moderasi Islam, senantiasa lebih kuat daripada tipu daya kaum eksklusif. Menuntaskan deradikalisasilah kuncinya. Kendati jaringan MCA besar dan mumpuni di bidang IT, gairah memberantas golongan yang ingin merongrong kedaulatan NKRI harus lebih besar, melebihi gairah mereka memorakporandakan Indonesia. Harakatuna juga tidak akan gentar sedikit pun menyuarakan inklusivisme beragama dan kontra narasi radikalisme dan terorisme. Ini adalah statemen kemantapan diri demi NKRI tercinta. Adalah pantangan membuat sejenis MCA melakukan aksinya, seberapa tinggipun mereka lakukan perang siber.
Cyber War, Ancaman Jalan Keberagamaan
Kenapa perang siber (cyber war) bisa terjadi, dan siapa yang rela menjadi tangan kanan para pengusung kaum radikal? Jawabannya adalah: milenial. Adalah kenyataan yang tak dapat disangkal, bahwa generasi milenial kita memiliki kemelekan digital yang cukup tinggi. Juga tak dapat disangkal pula, bahwa bersamaan dengan meleknya mereka terhadap teknologi, pengetahuan keagamaannya cukup rendah dan memprihantinkan. Jadi tidak perlu heran kenapa mereka mau jadi tangan kanan. Kesenjangan antara pengetahuan digital dengan pengetahuan keagamaan menjadi ladang kaum radikalis untuk menyeret mereka ke dalam kebusukan-kebrutalan bertindak. Membungkam media adalah satu proyek utamanya. Meminta Rizieq Shihab dipulangkan dengan meretas website keislaman-kebangsaan adalah alasan yang sangat manipulatif. Sebenarnya yang jadi prospek utama mereka adalah meredam narasi anti-radikalisme, dan mengampanyekan pemberontakan kepada pemerintah. Jika demikian adanya, cyber war menjadi musuh yang harus kita hadapi bersama-sama. Ia adalah bukti konkret radikalisme dunia digital, di samping konsen mereka menebar hoaks di media sosial tentang narasi menentang pemerintah. Betapapun secara hukum mereka bisa dituntut, kita tetap harus melawannya secara digital pula. Seperti yang telah diijtihadkan Harakatuna, kita harus mendalami keislaman-kebangsaan, dan menguatkan literasi untuk melawan intrik licik MCA dan kawanannya. Atas semua itu, MCA tidak hanya sekadar meretas Harakatuna, melainkan juga memproyeksikan nasib keberagamaan kita di masa depan. MCA cukup menjadi potret tentang betapa bahayanya kemampuan teknologi yang bersanding dengan minimnya pengetahuan agama. Mereka klaim diri sebagai “Muslim”, tepatnya Muslim yang berjuang di dunia siber, tetapi amaliahnya justru berkonotasi pada kerusakan. Merusak kebenaran yang berusaha disuarakan Harakatuna, apakah itu sikap seorang Muslim? Yang jelas, Harakatuna tidak akan bungkam untuk menggemakan narasi keislaman-kebangsaan dan kontra-radikalisme, betapapun tinggi risikonya. Tetapi sekali lagi, yang menimpa Harakatuna hanyalah satu potret dari segala kemungkinan nasib buruk para pejuang deradikalisasi. Ke depan, tindakan MCA akan lebih masif. Itu pasti. Tugas kita bersama adalah mengkonter sekuat tenaga demi kukuhnya NKRI, dan mencegah jaringan peretas MCA berkuasa. Read the full article
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Nasib FPI akan Berbanding Sama dengan HTI
Sebelum melanjutkan tulisan ini, saya pengin berucap: “Apa kabar, Front Pembela Islam (FPI)?” Masihkah FPI bertahan di tengah mayoritas masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) Indonesia? Pertanyaan tersebut sebenarnya sikap pesimis saya terhadap masa depan FPI di Indonesia setalah berbulan-bulan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab tidak kunjung kembali ke Indonesia. Keresahan dan kegersangan jiwa pengikutnya hari demi hari, bahkan waktu demi waktu semakin terasa. Mereka sadar, FPI berada di tengah gelombang besar yang dapat melumat dan menenggelamkannya.
Al-Qur'an Membela Kebenaran
Sebelum dilanjutkan kenapa FPI sebaiknya ditenggelamkan di Indonesia, alangkah lebih baiknya saya kutip surah al-Isra’ ayat 81: Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. Ayat tersebut menjelaskan tentang kebenaran dan kebatilan. Sesuatu yang benar akan tetap bertahan dan langgeng, sementara sesuatu yang batil akan hancur dan sirna. Kebenaran, sebut asy-Syinqithi, adalah sesuatu yang terekam dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad. Sementara, kebatilan itu adalah paganisme dan menentang nilai-nilai agama Islam.
Teori Dasar Moral
Pertanyaannya, “Benarkah Front Pembela Islam berada dalam lingkaran kebenaran, sehingga ia dapat bertahan? Atau malah ia merasa benar dalam kesesatan, sehingga pada akhirnya sirna tiada tersisa?” Sebelum dijawab, saya ingin menghadirkan dua teori dasar moral (moral foundation theory) yang pernah disampaikan Neng Alisa Wahid, putri Gus Dur. Dua teori ini meliputi sikap peduli dan acuh tak acuh (caring and harming) dan kewenangan dan perlawanan (authority and subversion). Front Pembela Islam (FPI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan beberapa kelompok yang lain memiliki dua pendekatan tersebut. Namun, masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda. Soal Caring and Harming, garis besarnya adalah bahwa tindakan peduli terhadap orang lain (care for others) adalah sikap yang terpuji, sebaliknya tindakan acuh tak acuh terhadap orang lain (harming for others) adalah sikap yang tercela. Begitu pula, garis besar teori Authority and Subversion adalah bahwa taat kepada pemimpin adalah tindakan sikap terpuji, sebaliknya melawan, merendahkan, bahkan menghina pemimpin adalah sikap tercela. Secara garis besar tersebut, Front Pembela Islam atau FPI sering menabrak garis pembatas. FPI melihat bahwa kepedulian terhadap muslim diimplementasikan dengan cara membenci atau menutup rapat kehadiran non-muslim di tengah-tengah masyarakat muslim. Karena itu, masyarakat Nahdlatul Ulama yang membuka kehadiran non-muslim di Indonesia disebut sebagai kelompok yang membela orang kafir, padahal orang kafir itu dianggap oleh FPI sebagai orang yang sesat dan dapat menyesatkan. Sikap Front Pembela Islam tersebut sesungguhnya bertentangan dengan cita-cita negara Indonesia, yaitu persatuan. Cita-cita ini diwujudkan dengan merangkul perbedaan tanpa membedakan status sosial seseorang kerena agama yang dipeluknya. Benar kata Gus Dur yang sering disampaikan di berbagai forum diskusi: Tidak penting apa agama dan sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu.
FPI Menabrak Moralitas
Bentuk harming Front Pembela Islam terhadap sebagian orang non-muslim, salah satunya, menolak pencalonan Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta baru-baru ini. Penolakan ini tidak didasarkan pada alasan yang rasional. Mereka menolak Ahok, karena ia tidak beragama Islam, sehingga dikhawatirkan masa depan Islam akan hancur kalau dipimpin oleh pemimpin non-muslim. Penggiringan narasi yang apik dan mulus sedikit banyak mencuci otak masyarakat untuk menghadirkan kebencian terhadap saudara sendiri yang berbeda agama. Naudzu billah. Sedangkan, sikap Front Pembela Islam yang lain yang menabrak garis besar tersebut adalah pelecehan dan penghinaan terhadap kepemimpinan Jokowi. Sikap amoral ini disampaikan di pelbagai forum diskusi yang diadakan oleh mereka sendiri. Lebih dari itu, mereka menyulut api permusuhan terhadap pemimpin saat maraknya demonstrasi di Monas. Orang yang hadir di sana sedikit banyak dibodohi dan dicuci otaknya, sehingga tidak sadar bahwa membenci pemimpin adalah sikap yang tidak baik. Seharusnya, kesalahan pemimpin bukan dilecehkan atau dibenci, tapi diperbaiki dengan cara penyampaian yang santun dan sikap yang lemah lembut. Sikap santun dan tutur kata lemah lembut adalah cara Nabi Muhammad memperbaiki sahabatnya yang salah. Thus, sikap Front Pembela Islam sesungguhnya bertentangan dengan spirit negara Indonesia yang merangkul perbedaan dan menegakkan sikap moderat. Bila ditanya tentang masa depan FPI, tentu di tengah kebatilan (amoral, tercela) yang diperbuatnya FPI akan memiliki nasib yang sama dengan HTI: sama-sama dibubarkan pada akhirnya. Shallallah ala Muhammad. Read the full article
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Sopan Santun Terhadap Nabi Muhammad
Nabi Muhammad adalah mahluk yang paling sempurna baik itu secara perangai maupun ahlaknya. Banyak sekali sirah nabawiyah yang menerangkan kesempurnaan Nabi Muhammad ini. Sebagai mahluk yang paling sempurna sekaligus manusia agung sang pembawa risalah tuhan. Maka umat Islam, sebagai umat yang meyakini ajarannya harus menghormati dan harus bisa sopan santun kepadanya. Menghormati Nabi Muhammad juga termasuk salah satu keimanan yang wajib dipercayai. Imam Nawawi Al-Bantani dalam Kitabnya Qomigh Tuhyan menyatakan bahwa mengagungkan derajat Nabi merupakan salah satu cabang keimanan. Mengagungkan dan sopan santun kepada Nabi Muhammad berarti mengetahui ketinggian derajatnya dan menjaga tatakramanya. Salah satu bentuk sopan santun kepada Nabi Muhammad sebagaimana yang Imam Nawawi Al-Bantani sebutkan dalam kitabnya adalah sopan-santun ketika menyebut namanya. Ini berarti ketika menyebut nama Nabi Muhammad harus dengan penghormatan dan pengagungan. Sebagaimana contoh menambahkan kata sayidina didepan namanya sebagai pengagungan dan janganlah menyebut namanya secara langgung. Oleh karenanya sebagai warga Islam yang baik, sangat dianjurkan untuk dapat menyebutkan nama Nabi Muhammad dibarengi dengan kata sayidina yang artinya tuan kami ketika sedang bersholawat. Sehingga setiap kita melantunkan sholawat kepadanya selalu terpatri kata sayidina didepan nama Nabi Muhammad. Pengucapan kata sayidina didepan nama Nabi ini sebagai wujud penghormatan dan sopan santun kepada Nabi Muhammad. Semisal ketika ada presiden datang maka kita sebut namanya dengan “pak” presiden dan tidak menyebut namanya secara langsung. Penyebutan nama langsung dianggap tidak menghoramati. Apalagi ketika ketika kita menyebutkan manusia yang paling agung, tidaklah sopan rasanya apabila langsung menyebut namanya tanpa ditambahi dengan kata sayidina. Allah sendiri dalam Al-Quran tidak pernah memanggil Nabi Muhammad dengan langsung menyebutkan namanya seperti menyebutkan Nabi yang lainnya. Allah selalu memanggil Nabi Muhammad dengan gelarnya yang mulia seperti Ya Ayuhan Nabi, Ya Ayuhar Rasul. Hal ini berbeda ketika Allah memanggil Nabi lainnya selain Nabi Muhammad maka Allah akan memanggil namanya secara langsung seperti Ya Musa.
Sopan Santun Kepada Nabi Dengan Menggunakan Diksi Bahasa Yang Baik.
Salah satu bentuk sopan santun lagi kepada Nabi Muhammad adalah dengan menggunakan diksi bahasa yang baik ketika menyebutkan kisah atau nama Nabi Muhammad. Penggunaan diksi bahasa akan menemukan urgensinya ketika kita salah dalam meyebutkan istilah yang kurang tepat ketika mengkisahkan Nabi Muhammad. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Nabi Muhammad adalah seperti manusia lainnya. Nabi Muhammad juga membutuhkan makan, minum dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketika masih belia, Nabi muhammad pernah menjadi penggembala kambing untuk mendapatkan uang demi mempertahankan hidup. Namun demikian Nabi Muhammad sebagai sosok yang agung, maka janganlah kita menggunakan diksi bahasa yang kurang sopan ketika menyebutkan profesinya ini. Semisal dengan diksi tukang gembala yang kumuh, walaupun pada kenyataanya sosok pengembala emang kumuh terkena kotaran dan lain-lain.     Read the full article
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Salah Faham HTI Tentang Khilafah dalam Kitab Al-Farqu Baynal Firaq
Kitab al-Farqu Baynal Firaq karya Abu Manshur Abdul Qahir al-Baghdadi (wafat tahun 1037) belakangan ini dijadikan argumen oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang sudah resmi dibubarkan itu, untuk menunjukkan bahwa khilafah adalah inti dari ajaran Islam. Mereka mengedarkan skrinsut halaman daftar isi dari kitab itu yang menyebut topik khilafah sebagai salah satu pokok ajaran Islam. Benarkah demikian? Apa sebenarnya isi penjelasan kitab tersebut? Kitab ini sebenarnya penjelasan mengenai berbagai sekte dalam Islam. Ditulis sebagai penjelasan akan hadits yang berbicara tentang terpecahnya umat Islam ke dalam 73 firqah (golongan), dan dikabarkan bahwa hanya satu yang selamat. Kitab ini menjabarkan semua aliran yang berkembang pada saat itu disertai dengan penjelasan tentang keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja). Jadi, ini kitab polemik yang tujuannya membandingkan antara Aswaja dengan kelompok di luar Aswaja. Kitab dibuka dengan penjelasan mengenai doktrin 8 kelompok non-Aswaja, seperti Rafidhah, Mu’tazilah, Dirariyah, Murji’ah dan lainnya. Baru kemudian ada 15 point pembahasan, dimana pengarang kitab yang bermazhab Syafi’i dan Asy’ari ini mendaras perbedaan Aswaja dengan kelompok lainnya, dalam masalah teologi, sifat Allah, kenabian, dan seterusnya. Beliau mengklaim ini berdasarkan kesepakatan jumhur ulama Aswaja. Dalam point kedua belas beliau membahas ‎“فِي معرفَة الْخلَافَة والامامة وشروط الزعامة” Pengetahuan tentang khilafah dan Imamah, serta Syarat Kepemimpinan Pada halaman 340-342 beliau mengupas bahwa mengangkat pemimpin itu sebuah kewajiban. Pada titik ini semua kitab Aswaja bersepakat mengenai perlunya pemimpin. Sampai di sini tidak ada masalah. Yang jadi masalah adalah HTI selalu menganggap yang wajib itu menegakkan sistem khilafah. Ini dua hal yang berbeda. Yang satu bicara soal kepemimpinan, dan yang satu lagi bicara soal sistem pemerintahan. Seperti telah sering saya jelaskan, bahwa sistem khilafah yang dikoar-koarkan oleh HTI itu bukan saja isinya tidak baku, tapi juga khilafah ala Undang-Undang Dasar HTI itu berbeda dengan pembahasan para ulama klasik. Nah, yang merupakan bagian dari ajaran Islam itu adalah doktrin mengenai kepemimpinan, bukan mengenai sistem pemerintahan. Itu sebabnya kitab al-Farqu baynal Firaq dalam bahasan point kedua belasnya tidak bicara mengenai sistem khilafah Aswaja, tapi kepemimpinan menurut Aswaja. Apalagi isi bahasannya hendak menegaskan point penting perbedaan antara proses pemilihan dan persyaratan kepemimpinan Aswaja dengan kelompok lainnya. Juga ditegaskan posisi Aswaja mengenai konflik para sahabat tentang kepemimpinan. Sama sekali tidak bicara mengenai sistem pemerintahan. Sekali lagi, jangan hanya melihat halaman daftar isi kitab, tetapi pahami isi kitab ini maka kita akan tahu bahwa tidak benar kitab ini menganggap sistem pemerintahan khilafah yang digembar-gemborkan HTI itu sebagai pokok ajaran Islam. Yang dibahas adalah kepemimpinan, bukan sistem pemerintahan. Berikut saya terjemahkan pembahasan keduabelas dari kitab ini, biar masyarakat umum tidak mudah tertipu oleh propagamda HTI yang hanya mengandalkan skrinsut halaman daftar isi kitab. Mari kita simak bersama: “Mengenai pokok ajaran kedua belas tentang khilafah dan imamah, mereka (Ahlus sunnah wal jama’ah) mengajarkan bahwa kepemimpinan itu wajib atas komunitas karena pengangkatan seorang pemimpin meniscayakan keberadaan hakim dan pemerintah. Seorang pemimpin menjaga anak buahnya, memimpin pasukan dan mengalokasikan pampasan perang, dan menghukum yang bersalah. Mereka mengatakan metode mengangkat kepemimpinan seorang imam itu dengan pemilihan berdasarkan ijtihad (al-ikhtiyar bil ijtihad), dengan mencari yang paling layak. Mereka mengatakan tidak ada nash dari Nabi mengenai mengangkat secara khusus orang tertentu, dan ini berbeda dengan pendapatnya kaum Rafidhah bahwa Nabi menunjuk kepemimpinan Ali, dengan riwayat yang sanadnya maqthu’ (terputus). Tapi jika memang ada riwayat penunjukkan Ali itu, maka riwayat senada tentang yang lain juga ada. Sesiapa yang membuat klaim tentang Ali berdasarkan riwayat yang tidak mutawatir, tidak bisa menolak riwayat serupa tentang Abu Bakar, atau orang lain, meski keabsahan mengenai riwayatnya dipertanyakan.” ‘Mereka (Aswaja) mengajarkan bahwa syarat menjadi pemimpin itu harus dari nasab suku Quraisy, yaitu keturunan dari Banu Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah, bin Alyas bin Mudar bin Nizar bin Ma’add bin Adnan. Ini berbeda dengan pandangan kelompok Dirariyah bahwa kepemimpinan boleh dijabat oleh semua orang Arab, atau budak yang sudah dimerdekakan, atau oleh orang non-Arab. Dan ini juga berbeda dengan pandangan kelompok Khawarij dimana pemimpin mereka dari Rabi’ah dan suku lain, yang ini semua bertentangan dengan Hadits Nabi: al-aimmah min Quraysh.’ “ ...dst...dst “Tidak diwajibkan seorang pemimpin itu ma’shum (terbebas dari dosa), dimana ini bertentangan dengan pandangan kelompok Syi’ah Imamiyah bahwa Imam itu harus ma’shum....” ...dst ”Mereka (Aswaja) berpandangan kepemimpinan itu hanya satu orang untuk semua wilayah Islam, kecuali ada pembatas di antara daerah seperti lautan, terhalang oleh musuh dimana dua daerah tidak mungkin saling bantu. Dalam kasus ini maka sah untuk mengangkat pemimpin lainnya yang layak di daerah tersebut.” “Mereka (Aswaja) mengakui kepemimpinan Abu Bakar setelah Nabi Muhammad, dan ini berbeda dengan Rafidhah yang mengonfirmasi itu sebagai hak Ali, dan berbeda dengan kelompok Rawandiyah yang mengonfirmasi kepemimpinan Abbas setelahnya.” ...dst... “Mereka (Aswaja) berpandangan Ali di pihak yang benar dalam perang di Basrah, Siffin dan Nahrawan, dan memandang Talhah dan Zubair telah bertaubat dan menarik diri dari perang melawan Ali, dan Zubair dibunuh oleh Amr bin Jurmuz di Wadi Siba’ setelah menarik diri dari pertempuran, sementara Talhah dipanah dan dibunuh oleh Marwan bin Hakam.” “Mereka (Aswaja) mengatakan Siti Aisyah bermaksud menegakkan urusan dengan Ishlah antara dua kelompok tetapi Banu Dhabbah dan al-Azd tidak menghiraukan pandangan Siti Aisyah dan perang melawan Ali tanpa ijin Siti Aisyah, sehingga terjadilan perang Jamal. Mengenai perang Siffin, mereka (Aswaja) berkata kebenaran di pihak Ali, sementara Mu’awiyah dan pengikutnya keliru dalam hal penafsiran, sehingga mereka berdosa tapi tidak lantas menjadi kafir. Mereka (Aswaja) jugaberpandangan bahwa kebenaran di pihak Ali dalam proses tahkim, namun kedua arbitrer (Amru bin Ash dan Abu Musa Asy’ari) tidak berdosa dalam memakzulkan Ali dari posisinya, karena kesalahan salah satu arbitrer.....” ...dst... Demikian penjelasan dari kitab al-Farq baynal Firaq. Bahkan isi pembahasan di atas juga ada perbedaan dengan isi Undang-Undang Dasar Khilafah yang dibuat oleh HTI. Nantikan pembahasan saya berikutnya Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI NU Australia-New Zealand Teks Asli: ‎وَقَالُوا فِي الرُّكْن الثانى عشر الْمُضَاف الى الْخلَافَة والامامة ان الامامة فرض وَاجِب على الامة لاجل إِقَامَة الامام ينصب لَهُم الْقُضَاة والامناء ويضبط ثغورهم ويغزى جيوشهم وَيقسم الفىء بَينهم وينتصف لمظلومهم من ظالمهم وَقَالُوا بِأَن طَرِيق عقد الامامة للامام فى هَذِه الامة الِاخْتِيَار بِالِاجْتِهَادِ وَقَالُوا لَيْسَ من النبى صلى الله عَلَيْهِ وَسلم نَص على امامة وَاحِد بِعَيْنِه خلاف قَول من زعم من الرافضة انه نَص على امامة على رضى الله عَنهُ نصا مَقْطُوعًا بِصِحَّتِهِ وَلَو كَانَ كَمَا قَالُوهُ لنقل ذَلِك نقل مثله وَلَا ينْفَصل من ادّعى ذَلِك فى على مَعَ عدم التَّوَاتُر فى نَقله مِمَّن ادّعى مثله فى أَبى بكر اَوْ غَيره مَعَ دعم النَّقْل فِيهِ وَقَالُوا من شَرط الامامة النّسَب من قُرَيْش وهم بَنو النَّضر بن كنَانَة ابْن خُزَيْمَة بن مدركة بن الياس بن مُضر بن نزار بن معد بن عدنان خلاف قَول من زعم من الضرارية أَن الامامة تصلح فى جَمِيع أَصْنَاف الْعَرَب وفى الموالى والعجم وَخلاف قَول الْخَوَارِج بامامة زعمائهم الَّذين كَانُوا من ربيعَة وَغَيرهم كنافع بن الازرق الحنفى ونجدة بن عَامر الحنفى وَعبد الله بن وهب الراسى وحرفوص بن زُهَيْر النجلى وشبيب بن يزِيد الشيبانى وأمثالهم عنادا مِنْهُم لقَوْل ‎النبى صلى الله عَلَيْهِ وَسلم الائمة من قُرَيْش وَقَالُوا من شَرط الامام الْعلم وَالْعَدَالَة والسياسة وأوجبوا من الْعلم لَهُ مِقْدَار مَا يصير بِهِ من اهل الِاجْتِهَاد فى الاحكام الشَّرْعِيَّة وأوجبوا من عَدَالَته أَن يكون مِمَّن يجوز حكم الْحَاكِم بِشَهَادَتِهِ وَذَلِكَ بِأَن يكون عدلا فِي دينه مصلحا لمَاله وحاله غير مرتكب لكبيرة وَلَا مصر على صَغِيرَة وَلَا تَارِك للمروءة فِي جلّ اسبابه وَلَيْسَ من شَرطه الْعِصْمَة من الذُّنُوب كلهَا خلاف قَول من زعم من الامامية أَن الامام يكون مَعْصُوما من الذُّنُوب كلهَا وَقد اجازوا لَهُ فِي حَال التقية أَن يَقُول لست بامام وَهُوَ إِمَام وَقد اباحوا لَهُ الْكَذِب فِي هَذَا مَعَ قَوْلهم بعصمته من الْكَذِب وَقَالُوا ان الامامة تَنْعَقِد بِمن يعقدها لمن يصلح للامامة اذا كَانَ الْعَاقِد من أهل الِاجْتِهَاد وَالْعَدَالَة وَقَالُوا لَا تصلح الامامة الا لوَاحِد فى جَمِيع ارْض الاسلام الا أَن يكون بَين الصقعين حاجز من بَحر أَو عَدو لَا يُطَاق وَلم يقدر أهل كل وَاحِد من الصقعين على نصْرَة اهل الصقع الآخر فَحِينَئِذٍ يجوز لأهل صقع عقد الامامة لوَاحِد يصلح لَهَا مِنْهُم وَقَالُوا بامامة أَبى بكر الصّديق بعد النبى صلى الله عَلَيْهِ وَسلم خلاف قَول من اثبتها لعلى وَحده من الرافضة وَخلاف قَول الروندية الَّذين أثبتوا إِمَامَة الْعَبَّاس بعده ‎وَقَالُوا بتفضيل أَبى بكر وَعمر وعَلى من بعدهمَا وَإِنَّمَا اخْتلفُوا فِي التَّفَاضُل بَين على وَعُثْمَان رضى الله عَنْهُمَا وَقَالُوا بموالاة عُثْمَان وتبرءوا مِمَّن اكفره وَقَالُوا بامامة على فِي وقته وَقَالُوا بتصويب على فِي حروبه بِالْبَصْرَةِ وبصفين وبنهروان وَقَالُوا بَان طَلْحَة وَالزُّبَيْر تابا ورجعا عَن قتال على لَكِن الزبير قَتله عَمْرو بن حرمون بوادى السبَاع بعد مُنْصَرفه من الْحَرْب وَطَلْحَة لما هم بالانصراف رَمَاه مَرْوَان بن الحكم وَكَانَ مَعَ أَصْحَاب الْجمل بِسَهْم فَقتله وَقَالُوا إِن عَائِشَة رَضِي الله عَنْهَا قصدت الاصلاح بعد الْفَرِيقَيْنِ فغلبها بَنو ضبة والأزد على رايها وقاتلوا عليا دون اذنها حَتَّى كَانَ من الْأَمر مَا كَانَ وَقَالُوا فِي صفّين إِن الصَّوَاب كَانَ مَعَ على رضى الله عَنهُ وَأَن مُعَاوِيَة وَأَصْحَابه بغوا عَلَيْهِ بِتَأْوِيل أخطئوا فِيهِ وَلم يكفروا بخطئهم وَقَالُوا إِن عليا أصَاب فِي التَّحْكِيم غير أَن الْحكمَيْنِ أَخطَأ فِي خلع على من غير سَبَب أوجب خلعه وخدع أحد الْحكمَيْنِ الآخر وَقَالُوا بمروق أهل النهروان عَن الدّين لَان النبى صلى الله عَلَيْهِ وَسلم سماهم مارقين لانهم اكفروا عليا وَعُثْمَان وَعَائِشَة وَابْن عَبَّاس وَطَلْحَة وَالزُّبَيْر وَسَائِر من تبع عليا بعد التَّحْكِيم واكفروا كل ذَنْب من الْمُسلمين وَمن اكفر الْمُسلمين واكفر أخيار الصَّحَابَة فَهُوَ الْكَافِر مِنْهُ   Read the full article
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Khilafah Sebuah Sistem Politik Ahistoris dalam Ajaran Islam
Saat ini Indonesia mungkin sedang dikagetkan dengan kembali mencuatnya propaganda gerakan masif khilafah islamiyah, terlebih pasca selesainya proses pilpres kemarin yang masih menyisakan sedikit ekses. Celakanya, tidak sedikit kalangan masyarakat yang mengandrungi isu khilafah ini, bahkan banyak dari mereka rela berpanas-panasan mengobarkan bendera kebanggaan di tengah-tengah terik matahari ibu kota. Ketidak puasan dengan sistem negara sekarang, telah membakar ego mereka dengan menyuarakan suatu sitem baru. Ya. Sistem yang mereka kenal dengan istilah khilafah islamiyah. Menyikapi hal demikian, penulis tertarik untuk mengkaji sistem khifalah. Sejauh pengetahuan penulis, istilah sistem ini mulai muncul pada era dinasti Islam, tepatnya pada era Umayyah dan Abbasiyah. Mengapa penulis tidak mencantumkan istilah khilafah pada era Sahabat, sejauh analisis penulis, khilafah ini ialah istilah yang muncul belakangan. Tidak satu pun dari empat sahabat yang memegang tonggak kepemimpinan pasca wafat nabi menggunakan sistem khilafah sebagaimana yang digembar-gemborkan HTI sealama ini.  Hal yang demikian bisa kita perhatikan dari istilah penyebutan khulafaur rasyidun yang kiranya baru muncul jauh setelah wafat para sahabat tersebut, yang mana kemudian istilah tersebut disematkan oleh sebagian cendekiawan muslim dan eksis hingga sekarang. Tanpa disadari sebagian besar dari kita tidak kritis dengan istilah khalifah atau khilafah yang disematkan kepada mereka para Sahabat. Banyak dari kita yang serta merta menerima penyebutan istilah ini, tanpa menyadari sisi historis atas penyematan gelar khalifah kepada para sahabat yang menjadi nahkoda pemerintahan pasca wafat Nabi. Maka hal inilah yang menjadi titik penting poin artikel yang ingin penulis paparkan pada artikel ini.  Berkaca kepada sisi historis sistem politik Islam, istilah ini baru muncul pada era Abdul Malik bin Marwan, khalifah Umayyah kelima. Ia menamai dirinya dengan sebutan khalifah, sebagai salah satu legitimasi eksistensi kepemimpinannya pada waktu itu. Abdul Malik dengan berani mengambil legitimasi ayat Al-Quran sebagai sarana eksistensi politik kepemerintahan dan kenegaraan yang ia kehendaki. Mengutip pandangan Mun’im Sirri, salah satu bukti awal penyebutan istilah khalifah ialah apa yang dilakukan pemerintahan Umayyah pada era Abdul Malik yang merenovasi bentuk produksi mata uang. Dengan mencetak beberapa koin mata uang dalam beberapa versi, dari yang semula mengadopsi mata uang Persia, hingga akhirnya mengeluarkan koin dengan gambar Khalifah Abdul Malik yang bertuliskan Khalifah Allah di bagian piggirnya. Dari sini bisa dilihat bertapa jauh jarak antara masa kepemerintahan sahabat dengan masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan sebagai khalifah Umayyah yang kelima. Ranah Tafsir Pemakaian istilah khalifah dalam ranah tafsir klasik cenderung tidak berkonotasi dengan sebuah makna politik  apapun, sedangkan pada era perkembangan tafsir selanjutnya, istilah khalifah mulai mengarah kepada bentuk macam politik atau sebuah sistem pemerintahan.  Prof. Wadad Qodi, seorang profesor Universitas Chicago, AS, setelah melakukan penelitian terhadap istilah khalifah pada era tafsir awal, ia berkesimpulan, bahwa betapa penggunaan kata khalifah sebagai pemimpin politik juga terdeteksi dalam sebagian tafsir era akhir pemerintahan Umayyah dan Abbasiyah. Sementara dalam tafsir-tafsir yang lebih awal, khalifah dimaknai tanpa konotasi politik apa pun. Era kepemimpinan Umayyah kiranya telah sukses menyematkan istilah khalifah bagi sistem pemerintahannya, begitu juga dengan era Abbasiyah yang tetap eksis hingga era modern sekarang. Disatu sisi hal tersebut merupakan sebuah bentuk keberhasilan tersendiri bagi para pemerintah dinasti-dinasti Islam pada saat itu.  Akan tetepi dalam sisi yang lain, sistem ini yakni dinasti--dinasti pasca para sahabat---telah telah memiliki sisi negatif dalam benak masyarakat. Pada sistem tersebut telah terjadi kemorosotan moral-moral kepemimpinan Islam dalam praktiknya, tak jarang banyak dari para sultan atau khalifah yang rela mencampur adukkan kepentingan politik dengan legitimasi dalil-dalil agama sebagai alat justifikasi dihadapan para rakyatnya, hanya demi sebuah kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Kemudian sistem ini “khalifah” dapat eksis pada era itu, dengan bantuan “power” yang dimiliki oleh para petinggi-petinggi dinasti pada saat itu. Kita dapat melihat beberapa fenomena yang melibatkan pertikaian antara para ulama dan umara’ pada saat itu, ketika sang umara’ harus dengan paksa mengkerdilkan bahkan melenyapkan fatwa-fatwa yang dirasa bertentangan dengan apa yang dikehendaki sistem pemerintahan pada saat itu. Seperti peristiwa mihnah, yang mana sampai-sampai melibatkan seorang ulama Alim Imam Ahmad Bin Hambal. Terlebih dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa sistem pemerintahan khalifah pasca para sahabat lebih cenderung mengadopsi sistem pemerintahan Persia. Tentunya ini berbeda dengan sistem yang dikehendaki oleh Islam. Mendirikan Khilafah, Perlu-Kah? Tidak berhenti di sini, akar historis propaganda gerakan khalifah terus megalami penolakan dari masa ke masa. Ide khilafah sama sekali tidak menjadi pertimbangan kaum muslimin. Dua tahun setelah khilafah Utsmaniyah dibubarkan pada tahun 1924, kongres tentang khilafah digelar di Kairo dan Jeddah, yang juga dihadiri oleh perwakilan Indonesia. Seperti dituturkan oleh Prof. Hamka, ia mengutip perkataan ayahnya yang menjadi salah satu peserta pada waktu itu, “Peserta dari Indonesia sama sekali tidak antusias dengan sistem khilafah”, (Ajahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abd Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera: 1958).  Begitu pula dengan pandangan M. Natsir seorang tokoh Islam Masyumi, ia menuturkan ia lebih memilih terhadap ide Negara Islam dibanding memilih sistem Khilafah, (Islam dan Kristen Di Indonesia: 1969). Lebih lanjut ia menuturkan bahwa sistem Negara Islam bukanlah Teokrasi dan juga bukan sekuler akan tetapi ialah Negara Demokrasi Islam. Sehingga jika kita berkaca dengan beberapa fakta historis diatas, sangatlah sulit bagi kita pribadi untuk dapat mengatakan bahwa sistem ini (khilafah) ialah sistem yang sangat tepat untuk diterapakan dalam sebuah bentuk sistem pemerintahan.  Dalam hemat penulis pribadi berkesimpulan bahwa sistem ini ialah salah satu bentuk paradigma tentang Islam yang tidak murni (pure) Islami dan juga produk pribumi, melainkan ialah bentuk propaganda luar yang ingin menginjakkan kakinya di tanah pertiwi. Di samping itu sistem ini juga ahistoris. Sistem ini tidak lebih ialah sebuah gerakan propaganda yang cenderung menyimpan kedok politik di dalamnya, meskipun atas nama agama atau bahkan rela memperkosa ayat-ayat ilahi sebagai alat legitimasi demi menunjang eksistensinya. Maka jika masih ada yang dengan bangga meneriakkan istilah “khilafah” sembari menginjak-nginjak sistem negara yang telah lama dibabat oleh leluhur bangsa, hakikatnya ia tidak paham akan akar historis susah payah nan keluh kesah perjuangan segenap bangsa bagi negeri ini.  Read the full article
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Ibn Khaldun dan Penyebab Runtuhnya Khilafah
Dalam kitabnya yang terkenal al-Muqaddimah, sejarawan ternama Ibn Khaldun (wafat 17 Maret 1406) menganalisa penyebab hancurnya Bani Umayyah dan juga Abbasiyah (Runtuhnya Khilafah). Ibn Khaldun menyebut faktor penerus para khalifah Umayyah yang lebih cinta duniawi dan melupakan perjuangan pendahulu mereka. Lantas datanglah periode Khilafah Abbasiyah yang berhasil menumbangkan Umayyah dan mencapai kekuasaan puncak. Awalnya mereka berupaya mengarahkan jalannya kekuasaan menuju kebenaran, lantas tiba pada generasi anak cucu Harun ar-Rasyid memegang kekuasaan, semuanya berubah. Di antara mereka, menurut Ibn Khaldun, terdapat orang yang saleh dan orang yang jahat sekaligus, sehingga kekuasaan menjadi sarana bermegah-megahan dan mereka para Khalifah Abbasiyah tenggelam dalam kenikmatan duniawi. Mereka melanggar nilai-nilai agama secara terang-terangan, kata Ibn Khaldun, sehingga Allah mencabut kekuasaan dari tangan orang Arab secara total. Allah lantas mengijinkan bangsa-bangsa lain merebut kekuasaan mereka. Ibn Khaldun, yang wafat di era Dinasti Mamluk, menegaskan bahwa Allah tidak pernah berbuat kezaliman sedikit pun kepada para hambaNya. Seolah beliau hendak menegaskan bahwa Runtuhnya Khilafah Umayyah dan Abbasiyah akibat ulah mereka sendiri. Ibn Khaldun menggarisbawahi bahwa bagi siapa yang mau mengamati perjalanan sejarah para khalifah maka akan mengetahui kebenaran pernyataan beliau ini. Ibn Khaldun lantas mengutip al-Mas’udi, sejarawan Arab klasik yang wafat tahun 956, yang mengisahkan hal yang sama mengenai tingkah laku Bani Umayyah, ketika Abu Ja’far al-Manshur, Khalifah kedua Abbasiyah, menemui pamannya. Mereka mencari info tentang Bani Umayyah. Abu Ja’far menjawab: “Khalifah Abdul Malik itu penguasa yang otoriter dan tidak peduli dengan apa yang dia lakukan. Khalifah Sulaiman itu hanya memikirkan isi perut dan kemaluannya saja. Sedangkan Khalifah Umar bin Abdul Azis itu bagaikan orang yang buta sebelah di kawanan orang yang buta kedua matanya. Orang yang menjadi pemimpin itu adalah Khalifah Hisyam.” Ibn Khaldun melanjutkan kutipan Abu Ja’far yang bercerita lebih lanjut bahwa di awal mulanya Bani Umayyah memenuhi tanggung jawabnya, lantas mereka memuaskan hawa nafsunya dan durhaka kepada Allah. Karena kelalaian inilah Allah memakaikan baju kehinaan kepada mereka. Kemudian Abu Ja’far memanggil Abdullah bin Marwan yang menceritakan pertemuannya dengan Raja Nubia (ini kawasan antara Mesir dan Sudan) ketika dia melarikan diri dari pengejaran Khalifah As-Saffah (Khalifah Abbasiyah pertama). Dikisahkan dialog antara sang Raja Nubia dengan Abdullah bin Marwan. Raja Nubia bertanya: “Mengapa anda minum minuman keras yang dilarang dalam kitab suci anda?” Abdullah menjawab: “Budak dan pengawal kami yang melakukannya.” “Mengapa Kalian merusak tanaman dan hewan ternak, bukannya itu perbuatan yang diharamkan?” Abdullah sekali lagi menjawab: “Budak dan pengikut kami yang berbuat itu karena kebodohan mereka” Raja bertanya lagi: “Mengapa kalian memakai sutera dan emas padahal itu diharamkan atas kalian?” Abdullah menjawab: “Kekuasaan kami dihancurkan bangsa non-Arab (Persia). Mereka masuk agama kami dan mereka memakai sutera dan emas, padahal kami membencinya.” Mendengar semua jawaban ngeles dari Abdullah ini, Raja Nubia berkata: “Budak kami, pengawal kami, pengikut kami, bangsa non-Arab!!! Kenyataanya tidak seperti yang anda katakan. Kalian lah yang menghalalkan apa yang diharamkan. Kalian melakukan perbuatan yang dilarang dan menyalahgunakan kekuasaan sehingga Tuhan menimpakan bencana kehinaan kepada kalian (Bani Umayyah). Raja Nubia dengan gusar melanjutkan: “Aku khawatir jika Tuhanmu menimpakan azabNya kepada kalian sekarang sedangkan kalian tengah berada di negeriku, aku pun akan terkena musibah bersama kalian. Bertamu hanya tiga hari, setelah itu keluarkah dari negeriku!” Ibn Khaldun lantas memberi komentar yang menohok atas kisah di atas (Red: Sebab-sebab Runtuhnya Khilafah): “Jelaslah bagi anda kini bagaimana kekhilafahan berubah menjadi kekuasaan duniawi semata.” Dari penjelasan Ibn Khaldun ini (Red: tentang Runtuhnya Khilafah) maka berhentilah kita untuk selalu menyalahkan orang lain. Sudah saatnya kita bersikap jujur terhadap kenyataan dan fakta sejarah masa lalu. Kalau generasi terbaik di masa lampau saja tidak tahan godaan duniawi dan syahwat kekuasaan, apa jaminannya kalau anak-anak HTI yang koar-koar soal khilafah bisa lebih baik dari generasi masa lalu? Tidakkah kita khawatir akan kecemplung masuk lubang kehinaan sekali lagi? Jangan double standard: kalau ada yang baik dari periode khilafah masa lalu, langsung koar-koar betapa hebatnya khilafah sebagai solusi saat ini. Kalau ditunjukkan khilafah masa lalu juga ada cacatnya, buru-buru ngeles kayak gaya  jawaban Abdullah di atas: seolah kejelekan itu pada masa kerajaan, bukan pada masa khilafah. Yang baik diaku masa khilafah, yang jelek diaku masa kerajaan. Padahal sama-sama bicara periode Umayyah dan Abbasiyah. Modus anak-anak HTI yang lugu dan lucu itu adalah mengkritik sistem demokrasi, lantas menyebutkan fakta kehebatan khilafah masa lalu sebagai solusi masa kini. Ketika tulisan-tulisan saya mengungkapkan bahwa sejarah khilafah juga banyak yang bermasalah, mereka kejang-kejang dan marah kepada saya karena modus mereka langsung tumbang berantakan. Akhirnya saya dibilang liberal dan kafir oleh anak-anak HTI. Semoga setelah membaca tulisan saya ini, mereka tidak lantas mengatakan Ibn Khaldun itu liberal dan kafir  Nadirsyah Hosen, Rais Suriah NU Australia Teks Asli dari kitab al-Muqaddimah karya Ibn Khaldun: فكان ذلك مما دعا الناس إلى أن نعوا عليهم أفعالهم وأدالوا بالدعوة العباسية منهم. وولي رجالها الأمر فكانوا من العدالة بمكان، وصرفوا الملك في وجوه الحق ومذاهبه ما استطاعوا، حتى جاء بنو الرشيد من بعده فكان منهم الصالح والطالح. ثم أفضى الأمر إلى بنيهم فأعطوا الملك والترف حقه، وانغمسوا في الدنيا وباطلها، ونبذوا الدين وراءهم ظهرياً، فتأذن الله بحربهم، وانتزاع الأمر من أيدي العرب جملة، وأمكن سواهم منه. والله لا يظلم مثقال ذرة. ومن تأمل سير هؤلاء الخلفاء والملوك واختلافهم في تحري الحق من الباطل علم صحة ما قلناه. وقد حكى المسعودي مثله في أحوال بني أمية عن أبي جعفر المنصور، وقد حضر عمومته وذكروا بني أمية فقال: " أما عبد الملك فكان جباراً لا يبالي بما صنع، وأما سليمان فكان همه بطنه وفرجه، وأما عمر فكان أعور بين عميان، وكان رجل القوم هشام " . قال: ولم يزل بنو أمية ضابطين لما مهد لهم من السلطان يحوطونة ويصونون ما وهب الله لهم منه، مع تسنمهم معالي الأمور، ورفضهم دنياتها، حتى أفضى الأمر إلى أبنائهم المترفين، فكانت همتهم قصد الشهوات، وركوب اللذات من معاصي الله جهلاً باستدراجه وأمناً لمكره، مع اطراحهم صيانة الخلافة، واستخفافهم بحق الرياسة وضعفهم عن السياسة، فسلبهم الله العز وألبسهم الذل، ونفى عنهم النعمة " . ثم استحضر عبد الله بن مروان فقص عليه خبره مع ملك النوبة لما دخل أرضهم فاراً أيام السفاح، قال: " أقمت ملياً ثم أتاني ملكهم فقعد على الأرض وقد بسطت له فرش ذات قيمة، فقلت له ما منعك من القعود على ثيابنا؟ فقال: إني ملك! وحق لكل ملك أن يتواضع لعظمة الله إذ رفعه الله. ثم قال: لم تشربون الخمر وهي محرمة عليكم في كتابكم؟ فقلت: اجترأ على ذلك عبيدنا وأتباعنا بجهلهم! قال: فلم تطؤون الزرع بدوابكم والفساد محرم عليكم، قلت: فعل ذلك عبيدنا وأتباعنا بجهلهم! قال: فلم تلبسون الديباج والذهب والحرير وهو محرم عليكم في كتابكم؟ قلت: ذهب منا الملك وانتصرنا بقوم من العجم دخلوا في ديننا فلبسوا ذلك على الكره منا. فأطرق ينكت بيده في الأرض ويقول: عبيدنا وأتباعنا وأعاجم دخلوا في ديننا ثم رفع رأسه إلي وقال: " ليس كما ذكرت! بل أنتم قوم استحللتم ما حرم الله عليكم، وأتيتم ما عنه نهيتم، وظلمتم فيما ملكتم، فسلبكم الله العز وألبسكم الذل بذنوبكم. ولله نقمة لم تبلغ غايتها فيكم. وأنا خائف أن يحل بكم العذاب وأنتم ببلدي فينالني معكم. وإنما الضيافة ثلاث. فتزود ما احتجت إليه وارتحل عن أرضي. فتعجب المنصور وأطرق. فقد تبين لك كيف انقلبت الخلافة إلى الملك، وأن الأمر كان في أوله خلافة، ووازع كل أحد فيها من نفسه وهو الدين، وكانوا يؤثرونه على أمور دنياهم وإن أفضت إلى هلاكهم وحدهم دون الكافة.   Read the full article
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Sistem Khilafah dan Totalitarianisme Baru
Mungkin masih banyak orang yang bertanya-tanya tentang apa itu hti dan khilafah. Perlu diketahui bersama bahwa gagasan terkait dengan khilafah yang diusung oleh Hizbut Tahrir (HT) merupakan gejala global yang melanda dunia Arab-Islam. Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, merupakan mantan aktivis Ikhawanul Muslimin. Ia menganggap bahwa gerakan Ikhwanul Muslimin terjebak dalam dunia modernitas, sehingga konsepsi antara agama dan negara tidak begitu jelas. Setelah Taqiyuddin keluar dari IM kemudian mendirikan Hizbut Tahrir wacana khilafah mulai menjadi perdebatan. Wacana khilafah merupakan sebuah pencarian harmonis antara sistem negara-bangsa dunia modern dengan tradisi Islam. Wacana pendirian khilafah kemudian menjadi isu global setelah jatuhnya komunis pasca-perang dingin. Disnilah HTI dan khilafah mulai gencar dikampanyekan di dunia. Menurut Bassam Tibi, pengamat politik Timur Tengah, mengatakan bahwa khilafah merupakan gerakan islamisme. Bassam Tibi membedakan antara gerakan Islamisme dengan Islam. Islamisme merupakan isu politik yang berbeda dengan keimanan. Islamisme bisa disejajarkan dengan ideologi-ideologi politik lainnya seperti sosialisme.
Bassam Tibi kemudian meminjam pendekatan Hannah Arendt untuk menggambarkan tujuan dari politik khilafah. Bassam Tibi menyebut gerakan khilafah sebagai totalitarianisme baru dunia modern. Pembacaan ini dilandasi atas adanya kesamaan unsur politik yang digunakan yaitu terkait dengan isu SARA. Apabila Hannah Arendt mengambil contoh terhadap gerakan Nazi yang sangat rasis, maka dalam konteks Islamisme pandangan Islam merupakan way of life atau solusi terhadap keterbelakangan dunia Arab-Islam.
HTI dan Khilafah
Wacana Khilafah merupakan politik yang diagamaisasikan. Para pengikut faham khilafah menganggap bahwa ideologi khilafah yang diusung merupakan solusi terhadap krisis yang melanda dunia Islam. Mereka juga menganggap bahwa Islam merupakan agama paket yang didalamnya juga mengatur tentang penyatuan antara agama dan negara. Dengan demikian, maka khilafah menjadi lawan tandingan dengan sistem modern negara-bangsa. Apa itu hti dan khilafah masih diperdebatkan. Betapa tidak. Dalam sistem khalifah tidak ada pengakuan hak sesama umat beragama. Islam menjadi agama dominan sekaligus paling benar menurut para pengikut khilafah. Oleh karena itu, dalam sistem khilafah mereka akan memposisikan umat agama lain sebagai warga negara kelas dua. Kedudukan warga negara kelas dua akan mengarah pada diskriminasi dan ketidakadilan. Sistem khilafah merupakan sebuah gerakan politik identitas yang menggunakan agama sebagai basis ideologi. Di Timur Tengah, fenomena Islamisme mencoba menawarkan sistem tersebut sebagai jawaban atas krisis dunia yang melanda Arab-Islam. Krisis dunia Arab-Islam menurut mereka disebabkan karena kegagalan sistem politik modern. Oleh karena, mereka kemudian mencarikan legitimasi untuk mempolitisasi agama.
Sedangkan di Indonesia, wacana khilafah mulai didengar dengan masuknya Hizbut Tahrir di Indonesia (atau yang lebih dikenal HTI). HTI merupakan perwujudan politik identitas yang menolak sistem negara dunia modern dengan mewacakan Islam sebagai solusi. Eksistensi gerakan Khilafah secara tidak langsung juga melawan Islam mayoritas di Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Secara eksplisit kedua ormas besar tersebut telah menerima sistem demokrasi di Indonesia. Sistem khilafah yang coba ditegakkan di Indonesia jelas bertentangan dengan ideologi bangsa. Sistem totalitarianisme baru tidak sejalan dengan semangat kebhinnekaan bangsa Indonesia. Sejak pertama kali Indonesia terbentuk, bahkan sejak era kerajaan, sistem negara nusantara tidak menunjukkan ke arah politik identitas. Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa merupakan pandangan yang positif karena bisa merangkul semua kepentingan dan tidak ada politik identitas di dalamnya. Di atas sudah disebutkan bahwa salah satu ciri sistem totalitarianisme adalah menggunakan salah satu unsur SARA sebagai alat legitimasi politik. Dalam hal ini, sistem politik khilafah didasarkan atas interpretasi agama yang dipolitisasikan atau politik yang diagamaisasikan. Keyakinan bahwa agama sudah memberikan dalam satu paket urusan agama dan dunia ditafsirkan sebagai landasan ideologis untuk menciptakan sistem khilafah. Oleh karena itu, sistem khilafah yang mengarah pada politik identitas merupakan fenomena global yang mengusung agama sebagai basis politik. Menurut Bassam Tibi gerakan tersebut sama dengan gerakan Nazi yang mengusung ideologi rasisme. Wacana seperti ini bertentangan dengan ideologi Indonesia yang tidak meletakkan identitas SARA sebagai basis ideologi. Pancasila sebagai dasar negara merupakan sebuah ideologi yang merangkul semua unsur, baik agama, ras, etnis, suku. Dengan demikian, maka ideologi khilafah yang mencoba memanfaatkan agama sebagai alat politik bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia. Read the full article
0 notes