heihellothere
heihellothere
Yulan
31 posts
moga ada hikmah yang melekat, meski cuma sepenggal kalimat. enjoy~ ☕️
Don't wanna be here? Send us removal request.
heihellothere · 3 months ago
Text
Perasaan Ikut 30 Hari Nulis
Ternyata bisa. Ternyata selesai juga. Padahal sempat ragu di awal, "Mampu nggak ya nulis tiap hari?" Tapi waktu terus jalan, dan tulisan demi tulisan pelan-pelan tumbuh jadi jejak.
Nggak semua hari sempat nulis panjang, nggak semua tema bikin klik di hati. Beberapa tulisan datang belakangan, di hari yang sudah lewat, tapi niat untuk tetap menyelesaikan tak ikut terlambat. Dan kupikir, itu juga bentuk lain dari bertahan.
Ramadan kali ini, aku enggak cuma menahan lapar. Tapi juga belajar menahan ego, membiasakan mikir lebih dalam, dan menyusun kata sebagai bentuk syukur, tafakur, bahkan semacam pelarian yang menenangkan.
Menulis selama 30 hari ini jadi semacam ruang kecil—buat jujur, buat melihat ulang, dan buat merayakan hal-hal sederhana yang kadang terlewat.
Aku nggak tahu siapa yang baca. Nggak tahu juga apakah tulisan ini akan bertahan lama di jagat maya. Tapi satu hal yang pasti, aku menulis untuk ingat. Bahwa pernah ada Ramadan yang ditenun dengan kata-kata.
Terima kasih untuk yang memulai challenge ini, untuk yang sesekali mampir baca, untuk teman-teman yang menulis di hari yang sama, yang saling sapa di kolom komentar, yang walau tak saling kenal, tapi rasanya bareng-bareng bertumbuh lewat kata.
Dan terutama:
terima kasih untuk diri sendiri yang tetap nulis, meski kadang nyicil, meski sempat tertunda, tapi tetap ingin menuntaskan.
- Yulan 🖤
3 notes · View notes
heihellothere · 3 months ago
Text
Balik Ke Dunia Nyata
Setelah dua minggu libur Ramadan dan lebaran, akhirnya malam ini jadi malam terakhir rebahan tanpa alarm. Besok aku kembali ke rutinitas. Dunia nyata menanti—kelas, rapat, absen, seragam kerja, dan tumpukan kerjaan yang mungkin udah antri sejak sebelum libur dimulai.
Lucu ya, gimana waktu bisa cepet banget jalan pas kita lagi nggak mikirin apapun. Rasanya baru kemarin pamitan sama siswa dan rekan guru, ngelepas semua rutinitas, dan menikmati jeda dengan hati lega. Sekarang udah waktunya ngecek jadwal, nyiapin baju kerja, dan mulai setel niat lagi buat beraktivitas.
Hari pertama biasanya masih adaptasi. Lebih ke halal bihalal, saling sapa, senyum-senyum awkward, dan tanya-tanya random soal liburan. Jadi ya, pelan-pelan dulu. Nggak harus langsung ngebut. Nikmatin proses baliknya aja. Kayak nyelupin kaki ke air hangat—nggak langsung nyemplung, tapi pelan-pelan dibiasain lagi.
Aku nggak tahu besok bakal seseru atau sesantai apa. Tapi yang jelas, malam ini aku nyiapin diri buat mulai lagi. Karena bagaimanapun juga, kembali bekerja juga bagian dari bersyukur kan, ya.💖
See you besok, dunia kerja! 🙌🏻
:: 8 Syawal 1446H
1 note · View note
heihellothere · 3 months ago
Text
Pelan Tapi Dalam: Tentang Selalu Ada di Nadimu
Awalnya aku nggak terlalu notice lagu ini. Tapi makin ke sini, makin sering lihat orang-orang pakai “Selalu Ada di Nadimu” di story mereka. Ada yang share momen bareng anak, ada yang upload foto orang tua dengan caption penuh haru. Dari situ aku mulai penasaran... dan akhirnya dengerin lagunya.
And guess what? It hits. Deeply.
Lagu ini tuh bukan tipe yang meledak-ledak. Tapi justru karena itu, rasanya jadi lebih dalam. Liriknya kayak doa. Nadanya kayak pelukan.
Ditulis oleh Laleilmanino—trio yang emang udah nggak diragukan lagi dalam menciptakan karya penuh rasa—lagu ini punya kekuatan untuk diam-diam menyentuh sisi terdalam dari hati.
BCL bawain lagu ini penuh perasaan, elegan dan lembut. Tapi waktu aku denger versi Prince Poetiray & Quinn Salman… wow, lain banget. Suaranya yang tenang, agak raw, dan lebih personal itu bikin lagu ini berasa kayak cerita yang sedang dibisikkan langsung ke telinga. Ada luka, ada sayang, ada rindu—semuanya mengalir.
Buatku, lagu ini nggak cuma tentang ibu dan anak. Tapi tentang love that stays—even in silence. Tentang kehadiran yang mungkin nggak selalu terlihat, tapi nyata. Tentang pelukan yang bisa hadir lewat doa. Tentang cinta yang nggak ribut, tapi tetap ada... di nadimu.
Sejak itu, lagu ini jadi tempat singgah kecil tiap kali aku pengen diem, ngelambat, dan ngerasa. Nginget orang-orang yang mungkin nggak selalu dekat, tapi selalu hadir. People who are always with you, even when they’re not around.
Dan rasanya... lagu ini bukan cuma OST buat film Jumbo. Tapi OST buat banyak momen dalam hidup. 🌿
Especially the quiet, unspoken ones.
4 notes · View notes
heihellothere · 3 months ago
Text
Amplop Lebaran, Amplop Undangan, dan Amplop Perasaan
Lebaran tahun ini rasanya cepet banget. Tau-tau udah hari ke-8, amplop-amplop lebaran udah mulai habis dibagiin. Bocil-bocil datang silih berganti, salim dengan penuh harap, lalu senyum lebar dapet “ampau” dari tangan kita. Lucu banget sumpah, ada rasa puas tersendiri tiap liat mereka bahagia. Dulu kita yang nerima ampau, sekarang giliran kita yang jadi tim pemberi. Circle of life banget nggak, sih?
Tapi abis amplop lebaran, tiba-tiba muncul jenis amplop lain yang nggak kalah rame: amplop undangan. Satu-satu, temen-temen mulai ngabarin, “Eh ya, aku mau nikah, lho. Dateng yaa.” Dan amplop pun berpindah tangan, bukan lagi berisi uang, tapi harapan dan doa.
Dan entah kenapa, dari yang awalnya santai dan slow aja soal hubungan, sekarang malah kepikiran juga. Ada rasa pengen dilamar wkwk. Bukan karena ikut-ikutan, tapi lebih ke… kayaknya udah pengen punya “rumah” yang tenang, tempat pulang yang bukan cuma fisik, tapi juga perasaan. Ada yang relate? 🙈
Gimana pun, tahun ini aku bersyukur masih bisa ngerasain euforia lebaran, senyum bocil-bocil, dan hangatnya silaturahmi. Dan meski amplop undangan mulai berdatangan, semoga hati tetap tenang sambil nunggu amplop yang "itu" juga nyampe, ya~
Yang sabar ya, hati. Waktumu bakal datang. 😌
1 note · View note
heihellothere · 3 months ago
Text
Baik Belum Tentu Benar
Kita tumbuh dengan keyakinan sederhana: jadi orang baik, maka semuanya akan baik-baik saja. Tapi hidup nggak sesederhana itu. Semakin dewasa, aku makin sadar... ternyata niat baik nggak selalu menghasilkan dampak yang baik. Bahkan kadang, bisa jadi keliru.
Ada satu kisah yang aku ingat: tentang Abu Dzar Al-Ghifari, sahabat Nabi yang dikenal sangat jujur dan zuhud. Beliau pernah meminta sebuah amanah kepemimpinan. Tapi Rasulullah SAW justru menolaknya, dengan lembut dan penuh hikmah:
"Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, dan amanah itu adalah beban yang berat." (HR. Muslim)
Bukan karena Abu Dzar bukan orang baik—justru sebaliknya. Tapi karena menjadi baik saja nggak cukup untuk memikul tanggung jawab besar. Ada kapasitas yang harus disiapkan. Ada kesanggupan yang perlu diuji.
Dalam psikologi, hal ini sering dikaitkan dengan emotional intelligence—kemampuan seseorang untuk mengenali dan mengelola emosi diri sendiri maupun orang lain. Salah satu aspeknya adalah self-awareness: sadar sama batasan diri, tahu kapan harus melangkah, dan kapan harus mundur. Kadang kita merasa sedang "melakukan yang terbaik", padahal kita cuma belum sadar bahwa kita belum cukup mampu.
Dan yang lebih sering terjadi: Niat baik, tanpa cara yang tepat, bisa tetap melukai.
Aku belajar bahwa kebaikan nggak hanya tentang sabar, lembut, atau pengertian. Tapi juga tentang bijak membaca situasi, tahu waktu yang pas untuk bicara atau diam, dan berani mengevaluasi diri saat sesuatu terasa “nggak nyampe”.
Dalam Islam pun, kebaikan itu bukan sekadar terasa manis, tapi juga harus selaras dengan kebenaran. Bukan hanya soal hati, tapi juga soal ilmu dan hikmah.
Mungkin ini fase kita sedang belajar. Bukan cuma jadi orang baik, tapi juga jadi orang yang benar—di waktu, cara, dan tempat yang tepat. ✨️
5 notes · View notes
heihellothere · 3 months ago
Text
Maaf Yang Terlewat
Ada satu momen yang selalu bikin mikir panjang setiap Syawal: kenapa ya… orang yang paling sering kita sakiti justru orang yang paling sayang sama kita?
Dan itu bukan sekadar teori. Itu nyata. Terjadi. Berulang.
Orang lain—teman, rekan kerja, bahkan orang yang baru kenal—bisa kita sabari, bisa kita maklumi. Tapi ke orang tua sendiri, kadang kita nyaut dengan nada tinggi hanya karena mereka nanya hal yang sama dua kali. Atau pura-pura sibuk supaya nggak perlu dengerin cerita mereka. Kadang juga jawabnya cuma asal-asalan. “Iya, iya,” padahal pikiran udah ke mana-mana.
Lucunya, itu sering kita anggap wajar. Tapi pas mereka diam atau keliatan kecewa, hati kita ikut nyesek sendiri.
Ternyata kita sering lupa.
Lupa kalau mereka juga manusia. Lupa kalau mereka juga bisa lelah, salah, dan pengen dimengerti.
Tinggal satu rumah, ketemu tiap hari, itu kadang bikin kita ngerasa semua bisa ditunda. Ngobrol bisa nanti. Minta maaf bisa kapan-kapan. Padahal mereka nggak minta banyak. Cuma pengen diperlakukan baik, dihormati, didengerin.
Kita tumbuh, belajar dewasa, makin ngerti banyak hal. Tapi sering kali lupa untuk tetap rendah hati di hadapan mereka yang dulu ngajarin semuanya. Sering kali merasa “lebih tahu”, padahal belum tentu lebih bijak.
Syawal ini, kita kirim banyak maaf ke luar sana. Broadcast ke grup, template panjang ke semua kontak. Tapi ke orang tua sendiri? Kadang cuma peluk seadanya, atau malah lewat begitu aja.
Padahal mungkin…
itu maaf yang paling mereka butuhkan, dan paling kita butuhkan juga.
Semoga setelah ini, kita bisa lebih lembut dalam bersikap, lebih sadar dalam mendengar, dan lebih tulus dalam meminta maaf— bukan karena lebaran, tapi karena memang sudah waktunya. 🤍
2 notes · View notes
heihellothere · 3 months ago
Text
Lebaran di Zaman Nabi
Lebaran di zaman sekarang sering kali identik dengan vibes yang campur aduk. Seneng, tapi juga capek. Nostalgia, tapi juga overthinking. Ada yang menikmati silaturahmi, ada juga yang sibuk mikirin jawaban buat pertanyaan template. Tapi pernah kepikiran nggak, gimana sih Lebaran di zaman Nabi Muhammad SAW? Apa vibe-nya sama kayak sekarang? Atau justru totally different?
Kalau kita balik ke Madinah abad ke-7, suasana Idulfitri jelas beda banget. Nggak ada THR, nggak ada baju baru yang jadi pressure sosial, dan nggak ada sesi basa-basi yang bikin mager. Justru, yang paling ditekankan adalah makna kemenangan setelah sebulan penuh latihan diri. Nabi dan para sahabat mengawali hari raya dengan mandi sunnah, memakai pakaian terbaik (bukan yang baru, tapi yang paling rapi dan bersih), lalu berangkat ke tanah lapang untuk salat Id. Setelah itu, mereka saling mengucapkan doa, bukan sekadar "Minal Aidin wal Faizin" yang sering kita ucapkan tanpa tahu maknanya, tapi benar-benar doa tulus untuk keberkahan.
Yang menarik, Nabi menekankan pentingnya merayakan Idulfitri dengan inklusif. Semua orang diajak ikut, termasuk perempuan, anak-anak, bahkan mereka yang sedang haid tetap dianjurkan datang ke tempat salat untuk ikut merasakan kebersamaan (tanpa ikut salat). Ada semangat persatuan yang kuat, nggak ada yang merasa terasing hanya karena perbedaan status sosial atau kondisi pribadi.
Terus, gimana soal interaksi sosial? Apakah di zaman Nabi juga ada orang yang suka nanya hal-hal pribadi? Well, tentu konteksnya beda, tapi ada satu prinsip utama yang Nabi ajarkan: berkata baik atau diam. Rasulullah SAW selalu menjaga adab dalam berbicara dan menanyakan sesuatu dengan penuh empati. Nggak ada tuh konsep "mau basa-basi tapi malah nyakitin hati." Justru, beliau lebih banyak bertanya hal-hal yang meaningful, kayak "Bagaimana imanmu hari ini?" atau "Apa yang bisa aku bantu?". Kebayang kan kalau pertanyaan Lebaran zaman sekarang lebih ke arah sana? Mungkin bakal lebih adem dan less awkward, ya. ☺️
Dan kalau ngomongin vibes Lebaran, nggak cuma soal ngobrol dan silaturahmi, tapi juga tentang berbagi. Di zaman Nabi, zakat fitrah bukan sekadar "ritual bayar kewajiban," tapi benar-benar momen untuk memastikan nggak ada satu pun orang yang kelaparan di hari raya. Idulfitri bukan cuma tentang kemenangan pribadi, tapi juga tentang memastikan kebahagiaan itu bisa dirasakan semua orang.
Jadi, kalau Lebaran zaman Nabi vibes-nya kayak gini, pertanyaannya: bisa nggak sih kita bawa spirit itu ke Lebaran kita sekarang? Nggak harus ninggalin tradisi yang udah ada, tapi mungkin bisa mulai mindful sama cara kita berinteraksi. Jujur aja, Lebaran kita hari ini mungkin lebih banyak soal tradisi, sementara Lebaran Nabi lebih ke esensi. Tapi siapa tahu, kalau kita mulai cari titik tengahnya, Lebaran bisa jadi lebih meaningful buat semua orang. 🤗
:: 29 Ramadan 1446H
1 note · View note
heihellothere · 3 months ago
Text
Living After Breakup
Tahun ini, tepat enam tahun sejak semuanya berubah. Dulu aku pikir waktu bakal nyembuhin semuanya. Tinggal jalanin aja, nanti juga selesai sendiri. Turns out, nggak segampang itu. Waktu bukan tombol delete, tapi lebih ke proses loading buat kita nerima, mencerna, dan akhirnya lanjut jalan.
Aku pernah ngerasa stuck, kayak nggak bisa lepas dari apa yang udah lewat. Kadang masih kepikiran, gimana kalau semuanya bisa balik kayak dulu? Tapi di saat yang sama, ada juga harapan buat masa depan yang lebih baik. Tarik-menarik antara nostalgia dan ekspektasi itu nyata banget.
Terus aku nemu satu kutipan dari Viktor Frankl di buku Man’s Search for Meaning:
"When we are no longer able to change a situation, we are challenged to change ourselves."
Boom! That hit different. Ternyata yang ilang nggak pernah benar-benar nge-shape masa depan kita. Yang bikin perubahan itu keputusan kita sekarang.
Fast forward to now, setelah enam tahun, aku belum 100% move on atau totally fine. Perlahan, mulai nemuin diri lagi, eksplor passion, dan nikmatin hal-hal yang bikin hidup lebih exciting—walaupun kadang masih nengok ke belakang. Tapi hidup terus gerak, dan arah jalannya tetap ada di tangan kita. Karena ya, what’s gone is gone. Yang penting, what’s next?"
Jadi, living after a breakup itu bukan sekadar soal letting go, tapi tentang leveling up. Embrace the change, grow through it, and keep moving forward. 🚀
:: 27 Ramadan 1446H
1 note · View note
heihellothere · 3 months ago
Text
Andai Aku Kaya Raya
Manusia itu ambisius. Pas belum kaya, kerja keras jadi prioritas. Pas udah kaya, ambisi naik level—pengen lebih, lebih, dan lebih. Tapi di titik tertentu, apakah semua itu masih bikin bahagia? Hedonic treadmill dalam psikologi menjelaskan bahwa semakin banyak yang kita punya, semakin cepat kita terbiasa, dan semakin sulit merasa cukup.
Islam nggak pernah melarang kita jadi kaya. Bahkan, banyak sahabat Nabi yang kaya raya, namun mereka nggak diperbudak oleh hartanya. Allah berfirman:
"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal kebajikan yang terus-menerus lebih baik pahalanya..." (QS. Al-Kahfi: 46).
Artinya, harta itu alat, bukan tujuan akhir.
Tapi kalau nggak hati-hati, harta justru bisa bikin lupa diri. Chuck Feeney, seorang miliarder, memilih menyumbangkan hampir seluruh hartanya karena merasa lebih bahagia memberi daripada sekadar memiliki. Selaras dengan hadis Rasulullah ﷺ:
"Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah hati yang merasa cukup." (HR. Bukhari & Muslim).
Jadi, sekiranya aku terlalu kaya harta, semoga aku tetap ingat bahwa punya segalanya bukan berarti harus kehilangan arah. Semoga hatiku tetap lapang dan jiwa senantiasa tenang. Bukan hanya angka di rekening yang membuncah, tapi keberkahan yang melimpah.
Sebab yang berharga bukan seberapa banyak yang terkumpul, melainkan seberapa ikhlas yang terhulur. 💙
:: 26 Ramadan 1446H
6 notes · View notes
heihellothere · 3 months ago
Text
Yang Terbaik
Ada orang-orang yang terlahir dalam keadaan yang nggak bisa mereka pilih. Nabi Yusuf AS, misalnya. Beliau nggak milih buat jadi anak kesayangan yang bikin saudara-saudaranya iri. Nggak milih buat dibuang ke sumur, dijual jadi budak, terus difitnah sampai masuk penjara. Tapi di setiap titik hidup yang dilewati, Nabi Yusuf selalu jadi yang terbaik. Saat bekerja, beliau amanah. Saat di penjara, beliau tetep jadi orang baik yang bikin orang-orang respect. Dan ketika akhirnya beliau berdiri di puncak kekuasaan sebagai bendahara Mesir, beliau nggak lupa diri. Nabi Yusuf tetep rendah hati dan takut sama Allah.
Ada juga orang-orang yang punya pilihan besar di hidupnya. Umar bin Khattab dulu salah memilih—milih benci, milih marah, milih memusuhi Islam. Sampai suatu hari, beliau baca ayat Al-Qur'an. Dan beliau memilih untuk berubah. Umar tahu itu pilihan yang nggak gampang. Masuk Islam berarti ngelawan keluarganya sendiri, siap kehilangan kehormatan dan statusnya di masyarakat. Tapi Umar memilih jalan yang terbaik, meskipun susah. Hasilnya? Beliau menjadi salah satu pemimpin paling berpengaruh dalam sejarah Islam.
Terus ada Bilal bin Rabah. Bilal itu budak. Dalam dunia yang menilai manusia dari status sosialnya, beliau nggak punya banyak pilihan. Tapi setelah mengenal Islam, beliau jatuh cinta pada Allah. Sampai ketika tubuhnya disiksa, kulitnya terbakar di bawah terik matahari, beliau cuma bilang: Ahad, Ahad! Tuhan itu satu. Bilal nggak milih buat lahir sebagai budak, tapi beliau memilih buat tetap bertahan. Dan Allah angkat derajatnya, sampai suaranya yang dulu dianggap nggak berharga malah jadi panggilan suci pertama dalam Islam: azan.
Aku jadi mikir. Kadang hidup tuh gitu, kan? Kita nggak selalu bisa milih dari mana kita mulai, tapi kita bisa milih gimana kita ngejalanin. Kita nggak bisa nolak kalau tiba-tiba ditaruh di situasi sulit, tapi kita bisa milih buat tetap jadi yang terbaik di dalamnya. Dan kalau hidup ngasih kita pilihan, kita harus berani pilih yang terbaik, meskipun berat.
Pada akhirnya, this isn’t just about what we choose, but about what we’re accountable for. Dan kalau kita udah sampai di titik itu, pertanyaannya bukan lagi "kenapa aku yang dipilih buat ini?", melainkan "aku udah melakukan yang terbaik belum?"
2 notes · View notes
heihellothere · 3 months ago
Text
Arsenal Bukan Sekadar Klub
Kata arsenal berasal dari bahasa Italia arzenale, yang sebenarnya punya akar dari bahasa Arab dār aṣ-ṣināʿa—yang artinya "rumah industri" atau tempat pembuatan senjata. Dalam bahasa Inggris, arsenal kemudian diartikan sebagai gudang senjata, tempat penyimpanan atau kumpulan alat perang.
Tapi kalau denger kata Arsenal, yang kepikiran pasti klub bola asal London itu, kan? Tim yang punya sejarah panjang, fans fanatik, dan—let’s be real—perjalanan naik-turun yang penuh drama. Namun lebih dari sekadar klub bola, Arsenal juga jadi simbol strategi dan kepemimpinan. Kita bisa punya pemain terbaik di dunia, tapi kalau nggak ada visi, nggak ada komunikasi, yaudah… hancur di lapangan.
Sama halnya di kepemimpinan. Kita bisa punya aturan segudang, tapi kalau nggak punya arsenal alias gudang senjata yang tepat, siap-siap aja keteteran. Apalagi di dunia pendidikan. Anak-anak sekolah itu kayak tim bola yang isinya pemain dengan berbagai karakter. Ada yang disiplin kayak keeper yang selalu on guard, ada yang agresif kayak striker haus gol, ada juga yang sukanya nge-dribble aturan ke sana ke mari.
Makanya, punya arsenal yang tepat itu penting. Komunikasi biar aturan nggak cuma sekadar aturan, tapi dipahami. Empati biar bisa lihat sisi lain dari cerita sebelum buru-buru nge-judge. Ketegasan biar nggak gampang di-dribble sama keadaan. Karena kalau terlalu lembek, aturan bakal dianggap angin lalu. Tapi kalau terlalu kaku, kita bakal kehilangan esensi kepemimpinan itu sendiri. Balance is key.
Dan yang aku pelajari, kepemimpinan itu bukan cuma tentang ngatur orang lain, tapi juga tentang ngatur diri sendiri. Sama kayak Arsenal di lapangan—kadang menang, kadang kalah, tapi selalu berproses. Begitu juga kepemimpinan, bukan soal jadi yang paling kuat, tapi soal tahu kapan harus maju, kapan harus mundur, dan kapan harus passing ke yang lebih capable.
Dan jujur, aku sendiri masih belajar dan sering trial and error buat make arsenal ini dengan tepat. Kalau kamu, arsenalnya apa?
:: 25 Ramadan 1446H
1 note · View note
heihellothere · 3 months ago
Text
Pentingkah Memaafkan?
Banyak orang menganggap memaafkan sebagai bentuk kelembutan hati, tapi kalau kita lihat lebih dalam, sebenarnya forgiving itu lebih ke soal emotional resilience—kemampuan buat nggak membiarkan luka lama mengambil kendali atas hidup kita.
Jadi, seberapa penting sih memaafkan? Kok rasanya berad, ya? 🥲
Kenapa Memaafkan Itu Susah?
Menurut penelitian The Science of Forgiveness oleh Dr. Fred Luskin, ada beberapa alasan kenapa forgiving feels so hard:
1. Survival Instinct
Otak kita dirancang buat ngelindungi diri dari ancaman. Ketika ada yang nyakitin kita, sistem pertahanan otomatis aktif—entah dengan marah, jaga jarak, atau pengen balas dendam.
2. Identity & Ego Protection
Kadang, rasa sakit bikin kita ngecap seseorang sebagai "jahat" dan diri kita sebagai "korban." Memaafkan bisa terasa kayak "aku kalah," padahal sebenernya nggak gitu.
3. Unfinished Emotional Process
Proses memaafkan itu mirip the five stages of grief dari Kübler-Ross: denial, anger, bargaining, depression, acceptance. Kita nggak bisa langsung lompat ke fase "ikhlas" kalau belum ngelewatin yang lain.
Memaafkan Bukan Berarti Lupa
Dalam Islam, memaafkan bukan cuma soal kindness, tapi juga mental strength. Allah bilang di QS. Asy-Syura: 40:
"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal. Tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah..."
Artinya, kalau masih punya rasa pengen balas, itu valid. Tapi kalau memilih buat maafin, ada extra reward dari Allah.
Tapi Islam juga nggak ngajarin kita buat people-pleasing. Rasulullah SAW kadang memaafkan, kadang bersikap tegas. Contohnya, saat dilempari batu di Thaif, beliau memilih buat memaafkan. Tapi di Perang Badar, beliau tetap menegakkan keadilan. Forgiveness is noble, but justice is essential.
Manfaat Memaafkan: Bukan Buat Orang Lain, tapi Buat Diri Sendiri
Menurut Everett L. Worthington tentang REACH Model of Forgiveness, orang yang belajar memaafkan dengan cara:
Recall (mengenali emosi yang muncul)
Empathize (melihat dari sudut pandang lain)
Altruistic gift (mengikhlaskan tanpa merasa kalah)
... cenderung punya emotional well-being yang lebih stabil.
Dr. Karen Swartz dari Johns Hopkins Medicine juga nemuin kalau memaafkan bisa nurunin stres, tekanan darah, dan resiko depresi. Jadi bukan soal "dia pantas dimaafin atau nggak," tapi lebih ke "aku pantas buat hidup lebih tenang tanpa bawa beban ini."
Tapi Gak Semua Harus Dimaafin, Right?
Nggak semua situasi bisa diselesaikan dengan memaafkan begitu saja. Dalam beberapa kasus, decisional forgiveness—alias memilih untuk melepaskan tanpa harus berdamai dengan pelaku—bisa jadi opsi yang lebih sehat.
Lihat aja kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Waktu putrinya, Aisyah, difitnah dalam Haditsul Ifk, salah satu yang nyebarin fitnah itu ternyata Mistah bin Utsatsah—kerabatnya sendiri yang selama ini dia bantu secara finansial. Kebayang kan, sakitnya? Karena kecewa, Abu Bakar sempat bersumpah nggak akan bantu Mistah lagi.
Tapi terus turun QS. An-Nur: 22:
"... Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Setelah ayat ini turun, Abu Bakar akhirnya mutusin buat maafin dan tetap bantu Mistah. Tapi apakah hubungan mereka balik bestie vibes kayak dulu? Nope.
See? Ini nunjukin bahwa kita nggak harus force ourselves buat memaafkan sepenuhnya. Yang lebih penting adalah belajar menetapkan batasan—set boundaries—supaya luka yang sama nggak terulang.
So, Memaafkan Itu Penting Gak?
Short answer: yes, but take ur time.
Memaafkan bukan berarti harus pura-pura lupa atau langsung ikhlas. It's a process, dan tiap orang punya ritmenya sendiri.
Yang jelas, jangan sampai dendam bikin kita capek sendiri. Karena pada akhirnya, yang paling dirugikan dari kebencian bukan orang yang bikin luka, tapi kita yang nyimpen perasaannya terlalu lama.
Dan mungkin, pengalaman ini bisa jadi pengingat juga. Kalau pernah ngerasain sakitnya satu perlakuan, setidaknya kita nggak ngelakuin hal yang sama ke orang lain.
You know how it feels, so don’t be the reason someone else feels that way too. 🙂
—sebuah kontemplasi, dari Yulan kepada Yulan
9 notes · View notes
heihellothere · 3 months ago
Text
IQRA’: Satu Kata yang Mengubah Dunia
Bayangkan dunia sebelum Al-Qur’an turun. Makkah penuh kesenjangan, yang kuat menindas yang lemah, perempuan nggak punya hak, dan kezaliman dianggap biasa. Orang-orang menyembah berhala, hidup tanpa arah. Hingga, di tengah hiruk-pikuk dunia yang riuh, ada satu pria yang memilih diam—menepi dalam sunyi, mencari makna di Gua Hira.
Di malam ke-17 Ramadan, langit akhirnya bicara ke bumi. Dalam sunyi, suara itu datang:
"Iqra’ bismi rabbikalladzii khalaq."
"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan." (QS. Al-‘Alaq: 1)
Perintah itu bukan sekadar membaca teks, melainkan membaca kehidupan. Membaca diri sendiri. Membaca tanda-tanda Allah di sekitar. Dan sejak malam itu, dunia tidak pernah sama lagi. Namun, bagaimana rasanya menerima wahyu pertama yang mengubah segalanya?
Beliau gemetar. Tubuhnya menggigil. Ini bukan sekadar kata-kata, tapi perintah dari langit. Beliau menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Jibril merangkulnya, lalu mengulang lagi, “Bacalah.” Sampai tiga kali.
Tapi Allah tidak membiarkan beliau sendirian. Wahyu turun menenangkan hatinya:
"Wadh-dhuhaa, wal-laili idzaq sajaa. Ma wadda’aka rabbuka wamaa qalaa."
"Demi waktu duha dan malam yang sunyi. Tuhanmu tidak meninggalkanmu, dan tidak pula membencimu." (QS. Ad-Dhuha: 1-3)
Sejak saat itu, wahyu demi wahyu turun, menenangkan hatinya. Tapi bukankah kita juga sering merasakan gelisah, seolah tersesat? Lalu kita lupa, bahwa Al-Qur’an adalah jawaban yang sama seperti saat pertama kali ia turun.
Wahyu pertama turun bukan di istana megah, bukan di pusat kota, tapi di sebuah gua sepi. Seolah mengajarkan bahwa cahaya kebenaran sering muncul dari tempat yang nggak disangka-sangka. Dan Al-Qur’an turun bertahap selama 23 tahun, karena Allah tahu manusia butuh waktu untuk memahami, mencerna, dan mengamalkan.
Nuzulul Qur’an bukan sekadar peristiwa sejarah. Setiap kali kita membaca dengan hati yang terbuka, hakikatnya wahyu itu turun kembali.
Pertanyaannya, kapan terakhir kali kita benar-benar membaca? 🙂
:: 20 Ramadan 1446H
3 notes · View notes
heihellothere · 3 months ago
Text
Kenapa Kebiasaan Ramadan Susah Lanjut?
Pernah nggak sih ngerasa kayak punya superpower selama Ramadan? Bisa bangun sebelum subuh, lebih sabar, lebih dermawan, dan lebih rajin ibadah. MasyaAllah mode on dah pokoknya. Tapi begitu Ramadan selesai, semuanya kayak ke-reset. Kenapa ini bisa terjadi?
1️⃣ Otak Kita Terbiasa dengan "Lingkungan Ramadan"
Menurut penelitian di bidang neuroscience, kebiasaan itu erat kaitannya dengan cue atau pemicu eksternal. Ramadan adalah lingkungan yang mendukung penuh: suara azan lebih terasa spesial, suasana masjid lebih hidup, bahkan orang-orang di sekitar kita ikut vibe-nya. Setelah Ramadan, cue ini hilang, sehingga otak kita nggak dapat sinyal untuk melanjutkan kebiasaan itu.
Menariknya, dalam sirah, Rasulullah ﷺ membangun kebiasaan bukan hanya saat Ramadan. Contoh nyatanya adalah ibadah malam. Aisyah radhiyallahu 'anha pernah berkata:
"Jangan tinggalkan qiyamul lail! Sebab Rasulullah tidak pernah meninggalkannya. Jika beliau sakit atau kelelahan, beliau tetap shalat dalam keadaan duduk." (HR. Abu Dawud)
Artinya, kebiasaan ibadah Rasulullah bukan tergantung momen, tapi sudah tertanam dalam dirinya.
2️⃣ Ramadan Itu "Hadiah," Bukan Tujuan Akhir
Kita sering menganggap Ramadan sebagai waktu all out, padahal harusnya dia jadi starting point. Ibaratnya, kalau kita ikut kelas intensif sebulan buat belajar bahasa asing, terus setelah itu nggak pernah dipakai lagi, ya pasti bakal lupa.
Dalam psikologi, ada teori yang disebut dopamine reward system. Ramadan bikin kita lebih mudah semangat karena ada reward instan: pahala berlipat, suasana ramai, makanan enak saat berbuka. Setelah Ramadan, sistem reward ini menurun, sehingga kita jadi malas melanjutkan kebiasaan baik.
Solusinya? Bikin sistem reward sendiri. Contohnya: kasih target kecil buat ibadah, lalu self-reward setelah mencapainya. Rasulullah juga mengajarkan self-reward yang lebih besar: kebiasaan baik akan terasa ringan kalau kita melihatnya sebagai jalan menuju ridha Allah.
Jadi, Gimana Biar Nggak Balik ke Mode Lama?
Buat "mini Ramadan" dalam kehidupan sehari-hari → Misalnya, tetap puasa Senin-Kamis biar cue-nya tetap ada.
Kecilkan target, tapi jangan berhenti → Kalau nggak bisa satu juz sehari, cukup satu halaman.
Ganti lingkungan yang mendukung → Teman-teman yang saling mengingatkan bisa jadi faktor besar.
Ramadan bukan tentang sebulan berjuang lalu selesai. Dia harus jadi trigger perubahan jangka panjang. Karena pada hakikatnya, kita nggak mau jadi orang yang "cuma baik saat Ramadan, lalu kembali seperti dulu setelahnya."
Jadi, Ramadan ini akan meninggalkan apa buat kita?
– Yulan, yang lagi-lagi menasehati diri sendiri.
:: 19 Ramadan 1446H
2 notes · View notes
heihellothere · 3 months ago
Text
Ramadan dan Kita yang Berjuang
Ramadan selalu datang dengan ujian. Dan jujur, tantangan terberatnya bukan cuma soal nahan lapar dan haus, tapi juga nahan diri dari hal-hal yang lebih "dalam".
Kadang kita pikir tantangan Ramadan itu cuma fisik. Tapi makin ke sini, makin sadar kalau yang paling sulit justru yang nggak kelihatan.
1. Konsistensi: Semangat Awal vs. Kenyataan Tengah Bulan
Awal Ramadan? Semangat! Target ini-itu, jadwal ibadah full. Tapi masuk minggu kedua, mulai kendor. Tengah bulan? Tiba-tiba lebih sibuk mikirin hal lain.
Dan ini sering kejadian. Karena ternyata, Ramadan itu maraton, bukan sprint.
Gimana cara ngatasinnya?
Jangan langsung nargetin semuanya sekaligus. Pelan-pelan, tapi rutin.
Kalau mulai drop, coba ingat kenapa kita mulai. Bukan buat siapa-siapa, tapi buat diri sendiri juga.
Fokus ke progres kecil. Dari satu ayat, satu doa, satu kebiasaan baik. Yang penting, tetap jalan.
2. Ngantuk dan Lelah: Antara Ibadah atau Tidur
Pengen tahajud tiap malam, tapi kenyataannya kadang cuma kebangun buat sahur. Pengen tadarus panjang, tapi mata udah nggak kuat. Dilema banget.
Gimana cara ngatasinnya?
Power nap itu underrated! 10-15 menit siang hari bisa bantu banget.
Nggak harus panjang, yang penting konsisten. Daripada begadang semalam suntuk terus tumbang, lebih baik nyari ritme yang pas. Tapi aku juga masih struggle di poin ini, wqwq~
3. Emosi yang Lebih Mudah Meledak
Laper, capek, kerjaan numpuk, terus ada yang ngeselin. Rasanya pengen meledak aja, kan?
Gimana cara ngatasinnya?
Tarik napas, tahan dulu sebelum bereaksi. Kadang kita cuma butuh jeda.
Ingat, Ramadan tuh latihan. Kalau bisa lebih sabar sekarang, siapa tahu kebawa setelahnya?
°°°
Pada akhirnya, Ramadan itu nggak selalu mudah. Tapi mungkin justru disitu lah poinnya. Setelah kita berhasil melewati semua ini, ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar puasa: versi diri kita yang (semoga) lebih baik.
Dan kalau masih struggling? Nggak apa-apa. Ramadan bukan soal sempurna, tapi soal terus nyoba. 💙
:: 18 Ramadan 1446H
8 notes · View notes
heihellothere · 3 months ago
Text
Menakar Diri di Ramadan
Mengapa Kita Merasa "Belum Cukup" di Ramadan?
Setiap Ramadan, banyak dari kita memulai dengan semangat tinggi. Target-target ditetapkan: khatam Qur'an, tahajud rutin, sedekah lebih banyak. Namun, di pertengahan bulan, rasa ragu mulai muncul—Apakah aku sudah cukup berubah? Kenapa rasanya belum maksimal?
Fenomena ini bukan sekadar perasaan pribadi, tetapi mencerminkan pola psikologis yang disebut imposter syndrome—perasaan bahwa usaha kita tidak cukup, meski sebenarnya ada progres yang telah dibuat. Dalam konteks Ramadan, ini bisa membuat kita merasa kurang berharga secara spiritual, padahal perubahan sejati tidak selalu kasatmata.
Lantas, Bagaimana Kita Bisa Memahami Progres dengan Lebih Realistis?
Nah, secara ilmiah, otak manusia memiliki kemampuan adaptasi yang disebut neuroplastisitas. Setiap kebiasaan baru membentuk jalur saraf yang semakin kuat jika dilakukan berulang kali. Ini menjelaskan mengapa membangun kebiasaan baik butuh waktu—karena otak perlu "menata ulang" jalur kebiasaannya.
Dalam Islam, konsep ini tercermin dalam sabda Rasulullah ﷺ:
"Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dilakukan terus-menerus walaupun sedikit." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini tidak hanya berbicara soal ibadah, tetapi juga tentang bagaimana manusia membentuk kebiasaan. Sebuah studi dari European Journal of Social Psychology menemukan bahwa rata-rata manusia butuh 66 hari untuk membentuk kebiasaan baru. Artinya, jika Ramadan berlangsung 30 hari, perubahan yang kita rasakan mungkin masih dalam tahap awal.
Jadi, kalau di pertengahan Ramadan kita merasa belum ada perubahan besar, itu bukan berarti gagal. Itu berarti kita sedang berada di fase rewiring—membentuk ulang pola dalam diri.
Sebuah penelitian dari Journal of Islamic Studies menemukan bahwa orang yang membangun kebiasaan ibadah selama Ramadan lebih cenderung mempertahankannya setelah bulan suci berakhir. Namun, ada satu faktor utama yang menentukan keberhasilan ini: konsistensi kecil yang dilakukan setiap hari.
Misalnya:
Mereka yang membaca satu halaman Qur'an setiap hari lebih cenderung melanjutkan kebiasaan ini setelah Ramadan dibanding yang membaca 10 halaman sekaligus tapi tidak konsisten.
Orang yang memulai tahajud dengan hanya dua rakaat lebih mungkin mempertahankan kebiasaan ini dibanding yang langsung menargetkan sepuluh rakaat setiap malam.
Ini menunjukkan bahwa perubahan yang nyata bukan berasal dari usaha besar dalam waktu singkat, tetapi dari kebiasaan kecil yang bertahan lama.
Ramadan Bukan tentang Cepat atau Lambat
Daripada bertanya “Apa yang belum aku capai?”, lebih baik tanyakan “Apa kebiasaan baik yang mulai terbentuk?”
Daripada merasa gagal karena belum sempurna, sadari bahwa setiap langkah kecil tetaplah progres. Jika hari ini kita lebih sering mengingat Allah dibanding bulan lalu, itu sudah sebuah kemenangan.
Ramadan bukan soal perubahan instan, tetapi tentang memulai perjalanan yang bisa bertahan seumur hidup. Dan perubahan yang bertahan adalah perubahan yang dibangun dengan sabar, sedikit demi sedikit.
Jadi, teruslah melangkah. Karena setiap langkah, sekecil apa pun, tetaplah mendekatkan.
:: 17 Ramadan 1446H
2 notes · View notes
heihellothere · 3 months ago
Text
Bebas Finansial, Bebas Berbagi
Pernah kepikiran nggak, gimana rasanya kalau kerja itu tanpa beban finansial? Bisa fokus ke hal-hal yang lebih bermakna, nggak was-was soal tagihan, dan punya cukup buat diri sendiri plus bantu sesama?
Makanya, banyak anak muda mulai ngejar kebebasan finansial/financial freedom. Bukan sekadar biar tajir melintir, tapi biar punya kendali atas hidup sendiri. Karena let’s be real, punya duit tuh bukan soal gaya-gayaan, tapi lebih ke rasa aman.
Tapi, Emang Bisa?
Jalan ke arah kebebasan finansial tuh nggak semudah teori di buku self-improvement. Realitanya, biaya hidup makin naik, sementara tabungan seringnya cuma wacana. Pun kadang, self-reward lebih menggoda daripada investasi.
Tapi bebas finansial bukan berarti harus nge-cut semua kesenangan dan hidup super hemat sampai lupa menikmati hidup. Bukan juga soal jadi pelit sama diri sendiri. Lebih ke ngerti mana yang emang perlu, mana yang bisa ditunda. Karena kalau dikelola dengan baik, uang tuh bukan cuma buat survive, tapi juga buat thrive.
Bebas Finansial, Bebas Berbuat Baik
Kalau kondisi finansial lebih stabil, hidup juga lebih tenang. Ada ruang buat nolak kerjaan yang nggak sesuai values, ada kesempatan buat belajar hal baru tanpa harus mikir “Ini worth it nggak, ya?”, dan yang paling penting—ada keleluasaan buat berbagi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah." (HR. Bukhari, Muslim).
Dan ketika kita udah di fase finansial aman, berbagi jadi lebih ringan. Entah itu bantu keluarga, support temen yang lagi struggling, atau sekadar treat orang lain dengan hati yang lapang.
Bismillah, moga Allah mudahkan kita, ya.
:: 16 Ramadan 1446H
2 notes · View notes