Tumgik
hujankalasenja · 2 years
Text
pulang
seberapa jauh kah kita perlu
berlayar hingga sadar 'tuk pulang
detik kian gugur, pilu merundung
tubuh semakin kering kerontang
di antah berantah jiwa berlabuh
tanpa setuju, tanpa alasan
berkelana hingga merasa pupus
hidup kah sebenarnya kita?
queen oktaviani. 21 oktober 2021.
12 notes · View notes
hujankalasenja · 3 years
Text
selesai
untuk Sapardi Djoko Damono
malam ini, aku menangis di atas tulisanmu.
tak kurang dan tak lebih, menggerutu.
lagi-lagi kita menunduk pada takdir.
katamu, kita tak berhak tengadah ke matahari.
kau masih mendiami ruang kedap suara
yang dinamakan kasih sayang itu, bukan?
kaki tanganmu tak beranjak.
kau masih mengisap aksara hingga tiga pagi.
Sapardi, kau menjelma aksara.
air matamu bagai tinta di atas kertas usang.
tak perlu lagi kau bersusah payah.
kau sudah selesai, bukan?
Juni masih memandangmu resah.
ia bergegas menunggu hujanmu.
barangkali Juni tak benar-benar ada.
kau yang menciptakannya di benakmu.
barangkali sunyi tak lupa berduka cita.
di pemakaman, ia menemuimu.
barangkali Tuan sudah bukan Tuhan,
kau tak perlu bergegas keluar, silakan masuk.
queen oktaviani. 24 Juli 2020.
-------
Eyang Sapardi merupakan sosok yang menjadi alasan saya mulai menulis sajak dan puisi. Beliau merupakan sosok inspirasi yang membawa saya jauh lebih dalam ke dunia aksara dan seisinya. Kehilangan Eyang tahun lalu sangat membuat saya terpukul, sampai hari ini pun, saya belum lagi bisa menulis sajak/puisi lain. Sajak ini yang saya tulis terakhir dan merupakan salam perpisahan untuk Eyang, sosok yang saya selalu harapkan untuk bisa berjumpa dan sekadar tukar sapa.
14 notes · View notes
hujankalasenja · 4 years
Text
tatkala purna
tatkala purna, sukma merekah
purnama temarang
bumi meruah berkah
sembilu terpaku ruang
tatkala purna, kau memesan
gemuruh dan beberapa risau
yang kemudian kautempa
melebur serta airmatamu
tatkala purna, melarungkan luka
rumah rapuh dan hati yang emah
lukamu bersarang di lain tempat
kemudian hilang entah kemana
tatkala purna, sudah terjadi
tiadamu ialah remang fajar dini hari
yang kusimpan beberapa
tahun lalu, lalu berdenyar
ーqueen oktaviani, 2020.
22 notes · View notes
hujankalasenja · 4 years
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Selamat siang menjelang sore!
Sebelumnya, saya ingin berterima kasih banyak atas 5000 followers yang sangat amat baik hati karena mau mengikuti blog ini. Blog ini berusia 2 tahun sekarang, saya lupa entah kapan tanggal tepatnya saya memutuskan untuk membuat blog ini.
Bertepatan dengan post ini, sebenarnya sajak "surat dariku untukku" sudah saya post di Instagram saya (queenoktvn). Rasanya tidak afdol, apabila saya tidak membagikannya kemari juga.
Saya rasa sepertinya saya harus menulis surat untuk diri saya sendiri setiap tahun, sebagai tanda, kalau diri saya berhasil melewati 1 tahun penuh dengan rasa bangga dan bahagia yang campur aduk.
Bersamaan dengan ini juga, kalian tahu, bahwa saya pernah berjuang untuk mencintai diri saya sendiri. Yang mana, pada titik ini, berhasil.
Ingat, jangan salah memahami "self-love" atau yang lebih akrab dengan "mencintai diri sendiri". Itu bukanlah sebuah tindakan egois. Tapi saya rasa, menjelaskannya di sini pun akan percuma. Karena saya pikir, bagi setiap orang, mencintai dirinya sendiri adalah perjalanan berat, yang sangat amat indah untuk dilalui, dan jika sudah sampai di sana. Saya yakin, rasanya amat sangat melegakan.
Terima kasih semua, sudah setia membaca tulisan-tulisan saya di sini.
Salam, Queen Oktaviani.
Bogor. 2019.
85 notes · View notes
hujankalasenja · 4 years
Text
amor fati
kau ingat bagian mana dahulu?
aku ingat saat kau menjadi tulisanku
tulisannya berupa butiran huruf
yang ranum kaupetik dari airmataku
kau lupa bagian terakhir manakah?
aku lupa saat kaupergi dengannya
kepergianmu merupakan nestapa
yang tiada habisnya kucela
namun bukankah kita sudah sepakat?
mengingatmu bukanlah aral
melupakanmu ialah kekalahan
kau dan aku tak perlu menjadi apa-apa
||
ーqueen oktaviani, 2020.
38 notes · View notes
hujankalasenja · 4 years
Text
aphotic chambre
ruangan itu sudah mendiami lorong benaknya bertahun-tahun. ruangan itu berada di sudut lorong panjang tak berujung. lembap, sesak, dan tidak ada setitik cahaya yang sudi masuk. mengerikan. menjijikan. tragis.
ah, sialnya, ia wanita yang penasaran. ia berjanji akan mengunjungi seluk beluk benaknya sebelum mati. terbaring kaku, berdarah dingin, hati mengeras dan kulit pucat. barangkali sebelum takdir akhirnya menyerah, dan membiarkan ia keluar dari sana, ia bisa berkunjung.
ketika ia melangkah masuk, dingin menusuk tulang dirasanya. ia tak mengenakan benang sehelai pun, apa lagi alas kaki. saat berhadapan dengan benaknya sendiri, ia melucuti dirinya. tidak ada yang tersisa.
ruangan ini seperti yang ia selalu bayangkan. lembap, sesak, aroma buruk menyengat, dan gelap yang tak berujung sehingga ia buta. apalah kedua mata tanpa cahaya, hanya dua butir bola yang masih melekat pada syaraf.
sungguh, kini ragu bukan lagi kekasihnya. ia berjalan semakin maju tak kenal takut. bila ragu bukan lagi kekasihnya, apa lagi takut! keduanya hanya hal yang hidup dalam huruf-huruf tersusun.
sama seperti lorong benaknya yang tak berujung, ruangan ini juga tampak tidak berujung. ia berhenti berjalan, ia berhenti maju, tidak juga mundur, ia berhenti di tempat. ia mendengar suara-suara memenuhi telinganya. suara mengerikan. suara asing.
kini, dadanya terasa sesak. ia menelungkup di lantai. tapi lantai itu seakan siap menelannya hidup-hidup. jika nyawanya ikut tertelan, ia tidak sudi. mati bukan sesuatu yang akan ia serahkan dengan mudah.
ia masih menutupi kedua telinganya. memohon agar semesta memberi belas kasihan. hari ini dirinya tidak harus mati di ruangan lembap, bau dan dipenuhi suara asing ini. tapi sekali lagi, semesta juga sudah ia musuhi.
tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain diam. diam dan tidak memandang apa-apa. diam dan tidak memohon apa-apa. diam dan tidak menolak apa-apa. diam dan tidak menerima apa-apa.
kakinya terpaku, bibirnya kelu dan seluruh tubuhnya gemetar. semesta tentu tidak mau ikut andil. keputusannya murni sepenuhnya miliknya, dibentuk sedemikian rupa dalam benaknya yang ia sumpahi ingin ia kunjungi sampai ke seluk beluk itu! sialan!
sekali lagi ia berusaha mengingat tempatnya berada. ia sendiri yang memilih masuk ke tempat lembap, sesak dan gelap gulita ini. bisakah ia membatalkannya? saat ia tak membuat pilihan, pilihannya berguguran bak mawar yang mati. pilihannya mati di tangannya sendiri. lalu remuk saat ia menyadari.
saat ia akhirnya menyadari bahwa benderang tak berpihak dan sunyi tak kunjung senyap, ia remuk redam dalam bungkam. hancur berkeping-keping dalam ruang kedap suara.
||
queen oktaviani. 2020.
29 notes · View notes
hujankalasenja · 5 years
Text
sukma yang tak merekah purna
/i/
tukang kebun itu baru saja membeli bibit
di pasar ujung jalan dekat rumahnya,
ia tidak berpakaian rapi saat pergi
membelinya⏤bahkan tidak membelinya.
ia pulang ke rumah, melangkah ke taman,
dengan hati senang dan gundah yang gugur.
ia menanam bibitnya serta segala harap,
bukan hal baru baginya jika ia gagal.
tapi kali ini, bibitnya dibelinya dengan harga
mahal, yang tak bisa terbayar dengan uang.
bahkan tabungannya selama ia jadi tukang
kebun di rumah mewah itu tak berharga.
/ii/
dengan susah payah ia menanamnya,
membawa serta airmata dan peluhnya.
bersuka cita dan berduka, dan berteriak
sambil menengadah ke cakrawala.
hingga pertengahan musim semi tiba.
ia bangun pagi sekali, tanpa lebih dahulu
bercumbu dengan tempat tidurnya,
ia berlari berniat mengikis waktu.
/iii/
sayang sekali, bibit yang ia dapat di pasar
dekat rumahnya di Jalan Semilir⏤
seharusnya menjadi mawar merah,
merekah sempurna dan semerbak, mati.
hatinya hancur berkeping-keping,
ia tak tahu apa yang salah darinya.
ia merawatnya, mengasihinya setiap hari
selama setengah windu berlalu⏤diingatnya.
ia tak mengerti, apakah waktu berkhianat.
atau dirinya memang tak terpuji.
atau dirinya tak cukup telaten.
atau dirinya tak berbakat jadi tukang kebun.
/iv/
ah, mungkin saja hama menuntut haknya,
menuntut haknya sebagai hama pada
bibit bunga yang seharusnya merekah purna.
jika demikian, kenapa ia sulit 'tuk ikhlas?
sukma yang seharusnya merekah purna
di pertengahan musim semi,
mengurungkan niatnya untuk rekah.
barangkali ia urung karena ingin.
/v/
dan barangkali sukma tak dimaksudkan
'tuk merekah purna untuknya⏤meskipun
ia susah payah penuh peluh merawatnya.
meskipun ia berbahagia jadi tukang kebun.
karena tak semua bibit 'kan merekah purna,
tak semua kayu 'kan dijilat api lalu jadi abu.
pelangi tak dilukis setiap kali hujan turun.
dan tak semua rasa yang rekah⏤terbalas.
ーqueen oktaviani, 2019.
------
Kita sepakat saja, kalau memang semua rasa yang sudah tumbuh, tidak bisa selalu terbalas. Ya, kan?
16 notes · View notes
hujankalasenja · 5 years
Text
upacara hujan
hari ini, siapa sangka
kerikil mau bersenandung
di bawah tapak sepatu
atau ban karet botak
remah riuh akhir hari ini
tidak untuk dihiraukan,
rintik hujan yang menitik
sendu serta pilu memuncak
siapa gerangan di atas langit?
yang berani meruahkan tangis
serta diam-diam menyaksikan
sukma merekah purna
hendak menangis, tersendat
pilu meraung, bungkam
hari ini langit rayakan sedu sedan
sedang bumi merengkuh tiada
ーqueen oktaviani, 2019.
15 notes · View notes
hujankalasenja · 5 years
Text
gadis musim gugur
ia memahat kisahnya di atas jati
menelusur hidup, menyerupai filsuf
memandang rasi bintang, berbaring
menanam airmata, menangisi hidup
ia mencela dirinya sendiri, korosif
bila dirinya sebuah potongan puisi
mungkin ia 'kan mencari seorang penyair
tapi ia tidak begitu yakin
ia meramu kesedihan di kesendirian
kemudian esok, ia akan berpesan pada fajar
kebahagiaan selama sepuluh dasawarsa
itu pun jika ia bisa hidup begitu lamanya
ia menaruh hidup di kelopak matanya
menyimpan maut di telapak kakinya
oh, bagaimana bisa ia kufur terhadap
hidup yang kaya raya ini, pun semesta
ーqueen oktaviani, 2019.
-----
Halo. Sepertinya saya memang tidak bisa jauh dari blog ini. Maafkan saya, keputusan saya memang sedikit labil. Saya rindu.
25 notes · View notes
hujankalasenja · 5 years
Text
resah
ia takut menjelma dua puluh dalam tanda
tanya. dalam kepalanya, berseteru sunyi
yang amat memekakan rangu.
di sahara nun jauh di sana, ia melihat
dirinya merebah dan terkikis sendiri.
ia menolak waktu merekam detik yang ia
simpan di benaknya sedari lahir; mungkinkah
ia bisa menolak?
ia takut menjelma tanda tanya di ujung
nadinya sendiri; tapi ia tak bisa menolak.
ia memohon pada tuhan agar fajar perak
tak segera meraup hari, tapi barangkali
tuhan tidak pernah sebijak itu.
lantas ia bergegas; menuju ke barat.
ia mencari tuhan yang bijak, yang mau rela
mengutuk fajar keperakan.
barangkali tuhan tak pernah ada.
dan barangkali, ia akan berdenyar
di tengah sahara, nun jauh di sana.
ーqueen oktaviani, 2019.
----
Hari ini usia saya bulat 20. Kemarin, menjelang jam 12, rasanya ada yang membebani pikiran saya. Tapi setelah jam 12 lewat, rasanya biasa lagi. Saya baru sadar, terhitung lewat angka, sudah bukan remaja lagi yang kalau ada kesalahan bisa dimaklumi. Tapi tetap saja, memikirkan tanggungjawab yang akan datang ke depannya.. terasa sesak.
21 notes · View notes
hujankalasenja · 5 years
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Selamat siang menjelang sore!
Sebelumnya, saya ingin berterima kasih banyak atas 5000 followers yang sangat amat baik hati karena mau mengikuti blog ini. Blog ini berusia 2 tahun sekarang, saya lupa entah kapan tanggal tepatnya saya memutuskan untuk membuat blog ini.
Bertepatan dengan post ini, sebenarnya sajak "surat dariku untukku" sudah saya post di Instagram saya (queenoktvn). Rasanya tidak afdol, apabila saya tidak membagikannya kemari juga.
Saya rasa sepertinya saya harus menulis surat untuk diri saya sendiri setiap tahun, sebagai tanda, kalau diri saya berhasil melewati 1 tahun penuh dengan rasa bangga dan bahagia yang campur aduk.
Bersamaan dengan ini juga, kalian tahu, bahwa saya pernah berjuang untuk mencintai diri saya sendiri. Yang mana, pada titik ini, berhasil.
Ingat, jangan salah memahami "self-love" atau yang lebih akrab dengan "mencintai diri sendiri". Itu bukanlah sebuah tindakan egois. Tapi saya rasa, menjelaskannya di sini pun akan percuma. Karena saya pikir, bagi setiap orang, mencintai dirinya sendiri adalah perjalanan berat, yang sangat amat indah untuk dilalui, dan jika sudah sampai di sana. Saya yakin, rasanya amat sangat melegakan.
Terima kasih semua, sudah setia membaca tulisan-tulisan saya di sini.
Salam, Queen Oktaviani.
Bogor. 2019.
85 notes · View notes
hujankalasenja · 5 years
Text
hujan di beranda
ketika lampu di beranda rumah
dinyalakan dan lantunan beberapa
melodi mulai terdengar, tetesan
di penghujung terang menyapa.
ada satu tangkai mawar, beberapa
bunga kamperfuli di beranda yang ikut
menari kala rintik menimpa kelopaknya.
mereka tak segan-segan berbincang.
setangkai mawar itu mengeluh pada hujan,
ia berkata, atau lebih tepatnya, ia
menginginkan hujan untuk tidak datang
secara tiba-tiba seperti barusanーkurang sopan.
kamperfuli itu tertawa atas komentar bunga
mawar, mereka baik-baik saja jika hujan
datang secara tiba-tiba atau bahkan bersamaan.
kamperfuli itu tidak keberatan sama sekali.
soal tiga anak tangga di beranda rumah,
mereka masih mengumpat, karena hujan
membuat mereka basah tak karuanーjuga licin.
hujan itu sangat payah sekali, bisik mereka.
hujan kala senja, aku selalu bilang,
jingganya akan membias sempurna
pada kenangan yang biasanya
bersarang di hatimu yang terluka.
setangkai mawar itu tak perlu setuju,
dan tiga anak tangga di beranda tak perlu
menyukai hujan.
kamperfuli itu tidak keberatan.
hatimu yang terluka pun, tidak keberatan.
jikalau suatu hari nanti, kenangan itu
mengalir layaknya genangan hujan
yang diam-diam mencari celah untuk ke hilir,
kau tak perlu mengumpatnya karena pernah hadir.
ーqueen oktaviani, 2019.
23 notes · View notes
hujankalasenja · 5 years
Text
perahu kertas
sekisah, aku mencintaimu tanpa permisi,
tanpa izin dan tanpa bertanya.
bagai kertas yang diam-diam kulipat
menjadi sebuah perahu kertasーlalu
berlayar di atas riak.
mencintaimu bisa-bisa sepanjang perjalanan
perahu kertasーyang kulipat petang tadi.
mengikuti air sungai yang membawanya
kesana kemariーtanpa syarat.
mencintaimu sangat sederhana.
lalu perahu itu 'kan bermuara ke samudera
yang membentang luasーyang kau pun tak
tahu ujungnya ada di mana.
mencintaimu itu tak berujung.
dan kau datang seperti badai di
tengah samudera.
kedatanganmu, memang selalu terasa demikian.
tiba-tiba dan terkadang aku tenggelam dalam
rasa terkejut.
tanpa sadar, perahu kertasku tumbang.
sekisah, aku mencintaimu tanpa permisi,
tanpa izin dan tanpa bertanya.
dan kau melenyapkan itu tanpa permisi,
tanpa izin dan tanpa bertanya.
ーqueen oktaviani.
64 notes · View notes
hujankalasenja · 5 years
Text
pekat
“Aku bisa mencintaimu dalam hitungan satu detik,” ujarmu kala itu.
Riak air terjun menyamarkan suaramu dengan sempurna. Tapi aku berusaha mendengarmu. Ucapanmu ialah sesuatu yang tidak bisa kulewatkan.
“Kamu dengar kan?” kali ini kamu sedikit menaikkan volume suaramu.
Aku tersenyum lebar.
“Jangan tersenyum begitu. Aku masih bisa lihat.”
Aku mendorong pelan bahumu lalu terkekeh. “Makanya berhenti, dong, menggodaku,” ujarku.
Kamu tertawa. Tawamu berusaha menemukan titik padu antara riak air terjun. Entah kenapa, suara tawamu masih lebih terdengar jernih di telingaku. Seakan-akan, air terjun itu tidak pernah ada.
Kamu menyenggol bahuku dengan bahumu. “Siapa yang menggodamu? Aku kan hanya bicara sesuai fakta. Kalau aku bisa mencintaimu dalam satu detik,” ujarnya.
“Mencintai seseorang butuh proses, Aruna. Aku nggak percaya.”
Kamu diam dan tertawa lagi. Bahkan sekarang lebih nyaring. Jadi aku hanya ingin menenggelamkan diri dalam tawamu yang menawan itu. Berharap luka di hatiku tidak pernah ada. Berharap aku bisa langsung mempercayai perkataanmu itu. Tapi naas, aku gagal.
•••
“Aku bisa mencintaimu dalam hitungan detik,” ujarmu lagi.
Senja ini, jingganya semakin menyala terang. Seakan ia enggan untuk beranjak. Seakan ia masih menggelantung di antara langit malam dan belum memeluknya dengan sempurna. Seakan ia tidak rela meninggalkan terang.
Aku tersenyum, menatap kedua matamu dengan memikirkan sesuatu yang tabu. Bagaimana jika, aku tenggelam dalam matamu yang dalam itu? Matamu dapat memberiku kengerian pada saat-saat seperti ini. Namun, aku jatuh cinta pada kedua matamu. Kedua matamu bagai samudra yang masih belum kutemukan dasarnya.
“Aku percaya,” sahutku.
Kamu menyibak rambut yang mengenai pipiku lalu mengecupnya. Aku selalu menyukainya ketika kamu melakukan itu. Namun, aku tidak pernah memberitahumu. Aku tidak ingin kamu tahu kelemahanku. Aku tidak ingin kamu tahu hal apa saja yang kamu lakukan dan bisa membuatku bahagia. Nanti kamu pasti akan melakukannya berulang kali. Lalu kalau itu terjadi, bisa-bisa aku semakin mencintaimu. Dan aku tidak ingin jatuh terlalu dalam mencintaimu.
•••
“Naia, apa hal di dunia ini yang paling membuatmu bahagia?” tanyamu.
Kepalamu ada di atas pahaku dan aku mengusap rambutmu sedaritadi. Rambutmu halus, bagai tumpukan benang sutra yang entah dari mana dapatnya. Harumnya bisa membuatku lupa akan parfumku sendiri. Oh, aku mencintaimu, sungguh.
“Kamu,” jawabku singkat.
Aku melihatmu tersenyum simpul lalu membalikkan badanmu menatapku. Kamu sekarang tertawa lebar. “Naia,” panggilmu.
“Aku serius, kamu itu adalah hal yang paling membuatku bahagia.”
Angin sepoi-sepoi mulai terasa dingin. Padang ilalang yang merupakan tempat kesukaanmu ini, sepertinya sudah menjadi milik kita. Hampir setiap sore kamu mengajakku kemari hanya untuk membicarakan hal-hal yang membuat kita dimabuk cinta. Hal itu sederhana, membuatku bahagia sekali.
“Naia, dari pengalaman burukku kemarin—”
“Tunggu, maksudmu waktu kamu ditolak naik jabatan?” aku menyela.
“Iya.” Aruna duduk lalu menghela napas panjang. “Harusnya aku memikirkan dulu risiko dan hasil pahitnya. Keadaan terburuk apa yang bisa terjadi padaku kalau aku gegabah dan bersifat arogan.”
Aku mengusap pelan bahumu. “Kamu sudah berusaha. Ini bukan salahmu. Waktunya belum tepat.”
Kamu mengangguk dan tersenyum.
•••
“Naia! Aku berhasil!” kamu teriak begitu menemuiku di beranda rumah. Lalu memelukku erat.
Hari ini aku tahu kamu akan datang kemari. Jadi aku membuat makanan kesukaanmu. Tidak sabar sampai kamu mencicipinya nanti. Aku ingin melihat tawamu terlukis di wajahmu karenaku.
“Aku turut senang. Aku yakin, kamu pasti bisa mendapatkannya. Hanya perlu waktu.”
Aku kecewa saat melihat satu ikat mawar putih segar itu di pelukanmu. Itu bukan untukku. Kamu tahu betul aku tidak menyukai bunga segar atau mekar.
Tapi kamu tidak menghiraukan pandanganku. Baiklah, aku akan mengubur rasa kecewa ini dalam-dalam. Aku akan pura-pura tidak melihat bunga itu di sana.
“Ini untukmu,” ujarmu memberiku satu ikat mawar putih itu.
“Barang pemberian itu tidak boleh diberikan lagi. Simpan saja. Dia sudah memberikannya untukmu. Jangan berikan itu padaku,” balasku dengan nada setenang mungkin.
“Ayolah, Naia. Kamu tahu kan, dia itu kerabatku. Ya wajar saja dia memberiku sesuatu. Mungkin dia juga tidak bermaksud apa pun selain ingin memberiku ucapan selamat melalui satu ikat bunga,” kamu membela diri.
Ya, aku sudah mengerti. Aku hanya kecewa.
Ponselmu berdering lalu kamu menjauhiku dan mendekati tangga di beranda. Samar-samar aku bisa mendengar potongan percakapanmu.
“Naia, teman-temanku mengadakan pesta makan-makan. Aku sudah janji ingin memberi traktiran.” Kamu meraihku dan hendak mengecup keningku. Tapi aku mundur sedikit. “Ayolah, Naia. Ini merupakan hari bahagia di hidupku. Seharusnya kamu ikut senang, kan?”
Aku hanya mengangguk. Hatiku sudah terasa berat. “Ya sudah, hati-hati,” ujarku. Lalu aku kembali masuk ke rumah.
Aruna tidak menungguku menutup pintu, melainkan meninggalkan beranda begitu aku menutup pintu rumahku. Aku rasa, kita sama-sama memahami pemahaman yang berbeda. Rasa kecewa dan marah memiliki perbedaan besar. Aku tidak menyangka kalau kamu, Aruna, bisa tidak melihatnya. Itu membuatku kecewa kedua kalinya.
•••
“Aku mencintaimu, Aruna,” ujarku.
Saat itu matamu bukan lagi tempat teduhku. Kedua matamu menjadi dingin. Bukan lagi samudra yang palungnya ingin aku cari. Kini, kedua matamu menjadi tempat yang paling aku takuti.
Kamu menutup wajahmu dengan kedua tanganmu. “Aku tidak tahu, Naia,” balasmu.
“Aku mencintaimu kian pekat, sementara kamu mencintaiku kian pudar,” ujarku lagi, kecewa. “Aku lupa memikirkan risiko terburuknya waktu aku memutuskan untuk mempercayaimu. Ketika kamu bilang kamu bisa mencintaiku dalam satu detik.”
“Itu sesuatu yang kuucapkan saat kita remaja. Dan itu benar, aku mencintaimu, Naia.”
Kali ini aku memberanikan diri menatapmu. “Sekarang?”
“Aku bahkan ragu untuk berkata begitu.”
Padang ilalang yang kupikir akan menjadi milik kita selamanya ini terasa menyedihkan. Angin yang berhembus menusuk tulang rusukku, begitu dingin, tak kalah dingin dari kedua matamu. Suara angin seakan mewakilkan keresahanku. Begitu lirih.
“Tolong jangan menangisi diriku,” ujarmu lagi.
Aku memeluk diriku sendiri dan lagi-lagi mencari sesuatu untuk kutatap selain matamu. Aku tidak ingin berkata apa-apa lagi. Aku juga berharap kamu tidak berkata apa-apa lagi.
Lima tahun merajut suatu kisah yang kemarin kita banggakan, tidak berarti apa pun. Kita tidak pernah ingin tahu dari mana kita memulai dan di mana kita harus mengakhirinya. Tapi kurasa—entah kisah itu sudah selesai atau belum sekarang—itu sudah tidak berarti apa-apa. Kamu mengakhirinya, dan kita lupa untuk apa kita merajut satu persatu benang tersebut. Kita lupa tujuan kita ke mana dan untuk apa. Kita lupa bahwa kita adalah kita. Atau lebih tepatnya kamu melupakan itu semua.
Aku mundur beberapa langkah, menatap wajahmu dan menelaah semua lekukannya. Namun, masih menghindari kedua matamu. Tidak bicara apa pun lagi. Aku meninggalkanmu di sana.
Seharusnya, aku tidak terlalu naif. Seharusnya aku menanyakan apa maksud dari perkataanmu kemarin. Apa maksud dari, “Aku bisa mencintaimu dalam satu detik.”. Sialnya, satu detikmu itu berarti miliaran tahun untukku. Tapi kamu tidak mau tahu.
•••
queen oktaviani, Bogor, 2019.
•••
30 notes · View notes
hujankalasenja · 5 years
Text
rangkaian bunga
ada rangkaian bunga di sudut ruangan; tidak semerbak.
rangkaian bunga itu melihatmu menari; tertatih bahkan.
mendengarmu mengeluh soal hari-hari buruk di
ambang pintu.
lalu saat kau tidur, ia bercengkerama dengan
cahaya rembulan yang menerobos lewat jendela kamarmu,
berdiskusi soal apa dan bukan apa yang bisa dimimpikan olehmu.
ketika hujan, ia menyaksikan sorot matamu yang
sendu dan berair di hadapan jendela.
ia menyaksikanmu yang tersedu sedan karena tetesan
di penghujung terang itu kian merundung pilu.
ia hanya berada di sana, menjadi rangkaian bunga
yang tidak semerbakーsama sekali tidak semerbak.
perlahan kelopaknya habis; gugur diterka angin yang masuk tanpa permisi; saat kau membuka jendela kamarmuーdan kau merasa tidak melakukan apa-apa.
queen oktaviani — bogor, 2019.
15 notes · View notes
hujankalasenja · 5 years
Text
5
ada yang tertinggal dalam lima
kisah riak mata air yang duka
dibalut kain bersih yang kau beli
waktu dua dini hari
dia jauh di sana dengan sembilu
melempar tatap acuh tak acuh
jemari bertautanーnamun semakin jauh.
kini kau sungkan tuk bermuara ke pelukku
ada yang tertinggal dalam lima
kisah dua sukma yang menanti-nanti
berharap jika keduanya dipertemukan lagi
namun, sayang, dengarkan aku
tak ada yang benar-benar bisa
memikul harap di atas kertasーyang
sudah kauremas.
dan barangkali Tuhan tidak bermaksud
untuk menempatkan cinta di antara jalan
yang kita lalui itu.
queen oktaviani — bogor, 2019.
12 notes · View notes
hujankalasenja · 5 years
Text
Intuisi
Intuisi, intuisiku fana. Dia rela menjabat tangan dengan kabut yang akan pergi jauh oleh hembusan angin tak kasat mata. Intuisiku fana, tak kau tahukah itu?
Saat itu hujan rintik-rintik, langitnya meredup. Kita masih saja setia menjalin asa di atasnya, tapi tak tahu untuk apa. Saat itu, candamu terbias jingga, entah, entah tujuannya apa. Intuisiku fana, kau harus tahu itu.
Tak kau tahukah perbincangan soal masa depanmu itu melelahkan asaku? Karena, karena aku tahu, bukanlah aku yang menjadi bagiannya di sana. Jadi, untuk apa, Tuan? Untuk apa sekarang kita menjalin asa bernaung di antara rintik yang putus asa di senja yang bisu ini? Aku pun tidak tahu, Tuan.
“Aku mencintaimu,” utusmu kala itu. Kala itu rintik-rintik, tapi kau memutuskan sesuatu yang sempurna, tidak merintik, tidak berjeda, lurus saja.
Aku diam saja, kala itu rintik-rintik, tapi sunyiku sempurna, tidak merintik, tidak berjeda, lurus saja. Sunyi saja, kau pun merasakan itu, tapi kau tidak meramaikan sunyi ini.
“Aku mencintaimu,” utusmu kala itu. Kala itu hujan deras, tapi kau memutuskan sesuatu yang menimba keraguan di benakku. Tidak kedengaran yakin seperti hujan deras yang menghantam permukaan dengan sejuta keyakinan serta ketiba-tibaan.
Aku juga diam saja, kala itu hujan deras, tapi sunyiku, Tuan, bisa terdengar lebih keras. Dan kau tidak merasa terganggu karena kenyaringan sunyiku ini. Sunyiku menggumpal di ubun-ubun kepalaku, kau tidak mau tahu.
“Sudahlah, Tatiana. Bertukar kata cinta terus takkan membawa kita ke mana mana,” utusmu kala itu. Kala itu awannya sunyi, matahari tenggelam dalam kelabu sendunya. Kau pun tahu awan sudah sesak menyendu. Matahari juga sudsh putus asa atas sendunya. Tapi kau tak mau tahu.
Aku tidak diam kali ini, aku mendongak dan mengangkat bahuku setinggi yang kukira. “Apa jaminannya jika kita memang mencintai satu sama lain dan kau takkan meninggalkanku atau pun mencampakkanku begitu saja setelah apa yang kita lakukan bersama-sama selama lima tahun ini?” tangisku sudah di pangkal tenggorokan.
Kau menunduk. Ekspresi wajahmu bukan bersedih, melainkan merasa bersalah. Kau merasa bersalah? Soal apa? Soal diriku? Atau soal dirimu yang jelas-jelas sudah tak mencintaiku lagi?
Begitu naif diriku mengira kalau kami akan abadi. Begitu naif diriku. Aku pernah menjadi manusia yang jahat dengan hati remuk. Tidak membantu, hatiku tidak bisa menyatu kembali walau retak. Lebih baik seperti ini, aku tahu hatiku remuk, tapi dengan dirinya, kepingan hatiku bersatu lagi. Memang tidak akan sempurna. Tapi dengan memikirkan bahwa dirinya elok saja, aku sudah merasa sempurna.
Tapi, apakah dia berpikir hal yang sama terhadapku?
Sudahlah, Tatiana. Tidak baik berpikir buruk soal orang lain, kan? Kau mendongak lalu tersenyum. “Tatiana, aku mencintaimu,” utusmu lagi. Setiap hari kau mengatakannya, Sayang. Tapi aku tak merasakannya. Benar-benar kandaskah rasa cinta yang kau bilang tadi?
Namaku Tatiana, aku mencintai seseorang yang bernama Aksara. Aku tidak tahu apa yang selama ini kami lakukan, apa yang selama lima tahun ini kami pertahankan. Tapi aku mencintainya. Dan sialnya, aku menjadi orang yang sangat setia.
Intuisiku fana. Aku tidak tahu, mana yang nyata. Intuisiku rela memeluk kabut yang bisa saja dihembuskan angin kapan pun. Intuisiku fana, tak apa jika kau tak mau tahu, Tuan. Tak apa jika hanya aku yang memendam rasa ini begitu dalam. Aksara, tapi kau tetap yang terindah untukku.
“Aku tak bisa bersama denganmu lagi,” utusmu kala itu. Kala itu hujannya marah, memekakan telinga sekali, petir bersahutan. Kita juga bersahutan, tapi dalam lara.
Aku tidak diam. Aku berbisik pelan, “intuisiku fana.”
“Kata-kata cintaku bukanlah intuisimu, Tatiana,” katamu.
“Lalu apa?”
“Intuisimu adalah selalu tentang rasa cintamu kepadaku, dan kau menuntut balasan. Intuisimu adalah itu semua. Bukan kata-kata cintaku,” katamu lagi. Tidak berani menatap mataku. Tidak berani berhadapan denganku lagi.
Kau pergi, tidak ada kata perpisahan. Tidak juga tatapan terakhir kali yang dulu bisa membuatku tenggelam karena matamu samuderaku. Kau pergi, meninggalkanku di halte biru dengan berjuta rasa ketiba-tibaan. Aku diam dengan hampa, mendengar alunan hujan, petirnya mengamuk lagi, tapi kali ini besar sekali. Dan aku masih mengutarakan, “intuisiku fana.”
Masih mengutarakan, “intuisiku fana.” Sebelum hujan reda, aku tahu aku sudah harus bangkit dari halte ini. “Intuisiku fana,” ucapku sekali lagi menatap rintik hujan terakhir yang jatuh. Hujannya mengembik lara, mengeluh jatuh, mengeluh terpecah bulirnya. Jika aku adalah rintik hujan terakhir itu, aku pastikan aku baik-baik saja.
“Aku baik-baik saja,” aku mengulangi. “Intuisiku fana,” aku mengulanginya sampai napasku tenggelam dalam malam.[]
///
Intuisi adalah cerita pendek yang ditulis di tahun 2017. masa-masa produktif saya menulis. maaf karena jarang update post baru, saya juga tidak aktif ketika lebaran, kalau saya bilang sekarang mungkin sudah basi. tapi Minal Aidzin Wal Faidzin, maaf lahir batin untuk kalian semua.
Terima kasih atas 4,7k followers saat ini. Sangat berharga, dan saya sangat sangat berterima kasih kepada kawan-kawan disini, yang sering juga reblog dan menandai saya di kirimannya. Terima kasih!
queen oktaviani — bogor, 2019.
32 notes · View notes