ibnubasith
ibnubasith
Fragmen
3 posts
Serpihan yang lain di medium.com/@ibnubasith
Don't wanna be here? Send us removal request.
ibnubasith · 2 years ago
Text
Persimpangan
Aku duduk di balik kaca sebuah ruangan yang menghadap jalan. Udara bergeming dan menyisakan suara jam dinding yang menunjukkan pukul 00.14. Seorang satpam memainkan ponselnya dengan wajah lesu, sesekali ia terhenti untuk melihat video lucu dan membuat wajahnya menyeringai. Tiga orang duduk di kursi tunggu menahan kantuknya. Aku sendiri dan belum merasa ingin tidur meskipun kemarin malam hanya terlelap dua jam.
Tiba-tiba laju mobil berhenti di jalan depan gedung ini. Satpam dan seorang rekannya terkersiap, seorang lelaki membuka pintu mobil dan keluar dari kemudinya. Ia tergopoh-gopoh menuju satpam dan menyuruhnya agar segera mengambil ranjang lantaran seorang perempuan hendak melahirkan. Terdengar suara dari beberapa perempuan dalam mobil untuk mengajak melafalkan doa-doa kepada perempuan yang beberapa kali meminta segera ditangani dokter.
Suasana sedikit ramai seketika, semua mata terfokus pada satu mobil di sana. Ada yang mendekat, ada yang ikut membantu. Sesaat sebelum satpam dan beberapa perawat tiba, jeritan tangis bayi terdengar kencang dan kepanikan ibu-ibu bersahutan dari dalam mobil. Hingga pada akhirnya salah seorang perawat perempuan berkata pada semua orang di sana untuk tetap tenang. Tali pusar bayi segera dipotong di dalam mobil dan dengan cepat sang bayi langsung dibawa ke dalam ruang IGD.  
Sementara seorang lelaki lain merogoh ponselnya dari saku, mulai merekam kejadian itu dengan mengatakan baru ditangani oleh rumah sakit ini. Ia mengutuk beberapa rumah sakit lain yang sempat mereka datangi, namun tak satupun dari rumah sakit sebelumnya menerima dengan alasan dipenuhi pasien yang terkena virus pandemi.
Perempuan yang baru saja melahirkan itu terduduk lemas di dalam mobil, kemudian dibantu perawat dan satpam untuk dibaringkan ke ranjang. Seorang perawat perempuan meminta agar lelaki itu ikut membantunya. Sebelum menutup ponselnya, lelaki itu melontarkan pertanyaan yang tak memerlukan jawaban di hadapan orang-orang, terkait di mana letak keadilan pemerintah. Nadanya heroik.
Sementara itu dua perempuan tua yang salah satunya duduk di belakang kursi tengah mobil dan satunya lagi di samping perempuan itu tidak henti-hentinya mengucapkan doa yang aku tidak mengerti sambil mengusap lengan dan kepalanya.
Di sekitar, orang-orang hanya sanggup melihat dan seperti ingin terlibat menolong, namun seperti aku, tidak tahu pertolongan macam apa. Hanya kekesalan yang kurasakan ditujukan kepada lelaki itu, bukan kalimatnya, melainkan sikapnya yang lebih mempersoalkan hal yang telah usai dibandingkan dengan kedaruratan yang sedang terjadi. Kurasa beberapa orang di sini yang menyaksikan peristiwa itu juga merasakan hal yang sama.
Beberapa lama berselang, situasi kembali kondusif.  Keadaan di ruang tunggu Instalasi Gawat Darurat kembali seperti semula. Dengan napas yang agak tersengal, seorang ibu-ibu menghampiri ruangan ini, ruangan di mana aku menyaksikan semua yang baru saja terjadi. Beliau mengucapkan puji syukur berkali-kali.
“Baru kali ini mengalami kejadian seperti ini.” Katanya, dengan gestur seolah mengajakku bicara.
Aku mengucapkan selamat padanya. Di sela-sela napasnya yang ia sengaja tarik dan keluarkan secara perlahan, ia mengucapkan terima kasih dan memberi tahu kalau ini cucu pertamanya. Ia bercerita banyak, tentang bagaimana ia memangku bayi yang masih berlumuran darah, sampai dengan menyumpahi rumah sakit yang menolak menantunya yang hendak melahirkan. Aku mengangguk, berusaha berada di pihaknya untuk memahami.
Aku mengira-ngira bahwa nama rumah sakit, atau mungkin nama mobil, atau apapun yang bersangkutan dengan kelahiran bayi itu dini hari ini akan disematkan dalam namanya. Aku juga membayangkan suatu hari ketika cucunya beranjak remaja, ia akan diberi tahu neneknya bahwa ia dilahirkan di dalam mobil, tepat saat mobil berhenti di depan ruang Instalasi Gawat Darurat. Serta dengan bangga neneknya bercerita bahwa dirinyalah yang menjadi orang pertama memangku cucunya, bukan dokter maupun bidan di dunia ini.
Napasnya kini terdengar teratur, ia pun menyandarkan punggungnya di kursi dengan bergumam puji syukur. Aku merasakan kondisinya sekarang yang merasa plong. Ibu itu kemudian bilang dirinya gerah dan lelah, lalu kusuruh ia untuk beristirahat. Ia setuju dan meringkuk di kursi panjang sebelahku. Lamat-lamat aku melihat sekitar. Mobil datang dan pergi, mengantarkan pasien yang membuat pengantarnya panik. Aku melihat jam tangan, pukul 00.55 dini hari.
Dingin mulai merambah badanku. Keheningan terjadi setelah mobil-mobil itu pergi. Aku memandangi keluar kaca ini, parkiran hanya lengang, pohon-pohon bergeming seperti tertidur diterangi lampu taman. Satpam sesekali membuka pintu kaca itu, mengantar pasien dengan kursi roda, atau pada pasien yang baru datang ia menanyakan apa keluhan mereka.
Sambil meringkuk, ibu itu bertanya apakah aku sudah punya anak. Aku jawab bahwa aku baru menikah, seminggu yang lalu. Ia mengucapkan selamat atas pernikahanku.
“Siapa yang sakit?” tanyanya dengan tubuh masih meringkuk.
“Suami bu.”
“Oh!” ia sedikit terkejut,
Ia pun bertanya tentang penyakit yang diderita suamiku. Aku jawab tidak tahu, kendati suamiku orang yang terbuka. Aku mengatakan padanya selama kami pacaran ia tidak pernah punya riwayat penyakit apapun, selain penyakit yang umum seperti demam atau flu. Ibu itu berasumsi bahwa semakin banyak obat, makin bermacam pula penyakit. Terlepas dari asumsi itu benar atau tidak aku hanya mengangguk.
Kuceritakan padanya bahwa tiga bulan sebelum kami menikah, suamiku pulang kuliah dan ia pergi untuk menjemputku. Namun, karena cuaca hujan pada saat itu suamiku terjatuh dari motor.
Mendengar ceritaku, ibu itu kembali duduk, memerhatikanku. Aku melanjutkan bahwa dia babak belur pada daerah lengan dan kakinya. Namun ia memutuskan untuk tetap menjemputku, ia anggap kondisinya tidak parah. Aku lalu panik saat ia tiba, aku menangis di depan kantor tempat aku bekerja. Ia bilang tidak perlu menangis dan meyakinkan dirinya tidak apa-apa. Aku bilang bahwa lebih baik ke rumah sakit atau klinik terdekat, suamiku bilang tidak apa-apa. Ia masih mampu untuk pulang dan dirawat di rumah saja. Ponselnya hancur, layarnya membentuk pola sarang laba-laba. Laptopnya entah masih selamat atau tidak, yang jelas ia terkena benturan aspal. Ada berbagai macam berkas penting termasuk tugas akhir kuliahnya. Di perjalanan pulang, ia tampak tidak menyasali apapun.
Terdengar napas ibu itu dibuat kaget disela-sela aku menuntaskan kalimat. Bahwa suamiku percaya bahwa penyesalan tidak akan mengubahnya menjadi semula. Aku tahu matanya, dengan cara ia melihat segala yang terjadi seperti seharusnya. Ibu itu menatapku dalam, sementara aku menatap jauh pada ingatan. Aku lanjut bercerita bahwa beberapa hari yang lalu, ia sering mengeluhkan sakit kepala, namun ia selalu bilang itu hal biasa. Bahkan saat kehilangan berkas skripsi yang sudah dipastikan hilang dan mendapati kelulusannya harus diundur, ia masih bisa menyikapinya dengan santai. Hingga pada akhirnya suamiku pingsan tidak sadarkan diri sekitar pukul 23.00 tadi saat ia baru beranjak dari kursi setelah ia meneruskan tugas skripsinya, mengetahui hal itu aku segera membawanya kesini.
Ibu itu tertegun mendengar ceritaku barusan. Aku melanjutkan bahwa pada kenyataannya suamiku tidak sedatar itu. Dia orang ceria dan romantis dan ya, menyebalkan. Saat  awal kami pacaran, dia datang pada malam minggu ke rumahku dan malah menonton bola dengan ayahku. Setelah pertandingan selesai, ia pamit pulang. Dan ia biasa melakukan itu setiap satu bulan sekali.
“Yah sama kayak suami ibu atuh Neng, kalau sudah nonton bola, wah mendadak lupa istrinya.” Ia menggaruk-garuk kepalanya. Ia pun mendapati gilirannya untuk bercerita tentang penyakit syaraf suaminya yang puji syukur katanya bisa sembuh. Suaminya nyaris berputus asa lantaran hasil pengobatan medis sampai pengobatan tradisional tetaplah nihil. Namun katanya, ia meneguhkan hati bahwa keyakinan untuk sembuh itu ada, dan ia menyampaikan bahwa ia ingin suaminya mewujudkannya dengan keyakinan yang sama. Akhirnya berkat kesabarannya untuk tetap berobat dan berdoa, suaminya kini telah sembuh. Ia juga tidak lupa bercerita panjang dari tingkah suaminya yang kadang kekanak-kanakan sampai dengan membagi tips cara mengatasi suami bila sedang marah.
Aku mendengarkan ceritanya, sampai ia harus berbaring lagi lantaran mungkin ia mulai tersadarkan kembali bahwa dirinya lelah. Di akhir kalimat sebelum ia tertidur pulas, ibu itu mengucapkan semoga suamiku lekas sembuh dan bisa menikmati lika-liku kehidupan rumah tangga. Katanya, perjalanan kami amat sangat masih panjang. Aku tidak menggubrisnya karena takut membangunkan tidurnya yang mulai terdengar mendengkur.
Di ruangan yang cukup luas ini aku menghirup napas perlahan. Aku baru menyadari bahwa aku telah bercerita terlalu banyak kepada orang yang tidak kukenal; seorang perempuan tua yang sedang tertidur pulas di sebelahku. Aku membayangkan apa yang diceritakan olehnya, bahwa pasangan tidak hanya bicara soal berbagi tempat tidur, melainkan berbagi segalanya, seperti makan; cerita; kesabaran, kesedihan serta kegembiraan. Ia bisa menjadi rem saat kita terlalu memacu semangat berlebih, namun juga pendorong saat kita merasa mandeg dan putus asa. Hingga aku sampai pada suatu konklusi bahwa pasangan adalah yang selalu bisa menjadi pengingat satu sama lain untuk menjadi manusia seutuhnya. Kita tidak akan menemukan jurang pemisah dari suatu perbedaan kecuali lengkap.
Aku merogoh saku, melihat kembali ponsel suamiku yang layarnya pecah seperti sarang laba-laba. Kemarin malam, sebelum tidur, suamiku memerhatikan lamat-lamat ponsel ini. Aku bertanya kenapa. Ia lalu menaruhnya di dalam laci dan berbaring. Aku di sebelahnya, melihat mata itu. Ia bilang bahwa pada akhirnya kita tidak memiliki apapun, dan kita tidak pernah kehilangan apapun, dan di sana keutuhan kita berada. Kendati aku tidak mengerti, saat ingin kutanyakan maksudnya ia malah sudah terlelap dan rasanya ingin mengganggu kelicikan yang dibuatnya. Di situlah poin di mana ia suka menyebalkan.
Beberapa saat kemudian, aku memasukkan kembali ponsel itu setelah mengetahui mobil ambulans ternyata telah tiba. Aku bangkit berdiri, rasanya ingin memberi tahu beliau yang sedang tertidur di kursi panjang itu, bahwa suamiku tidak akan pernah sakit lagi.
Kuputuskan untuk tetap membiarkan tubuhnya diselimuti lelap dan melangkah keluar mendekati ambulans, aku melambatkan langkah dan berdiri sejenak di ujung teras ini. Beberapa sanak saudara baru tiba di parkiran dan keluar dari mobil, melangkah terburu-buru menghampiri di tempat aku berdiri. Mereka terlihat menangis berbela sungkawa. Namun aku hanya tertegun memandangi jalan ini, tempat ini; sebuah persimpangan di mana kelahiran dan kematian begitu dekat.
Sebelum pintu mobil ambulans itu dibuka dan setelah beberapa sanak saudara mengeremuniku untuk agar aku tetap tegar dan tabah, tiba-tiba seseorang dari belakang memeluk tubuhku. Ibu itu, beliau menangis tersedu. Aku bilang padanya tidak perlu menangis, bahwa pada dasarnya dalam kelahiran kita tidak memiliki apa-apa, dan dalam kematian pun kita tidak pernah kehilangan apa-apa. Kini aku mengerti maksud kalimat suamiku, bahkan tanpa harus mengganggu lelapnya lagi.***
 29/6/21
2 notes · View notes
ibnubasith · 2 years ago
Text
Pesawat kertas
Lembar halaman yang berisi pesan ini anggaplah pesawat kertas yang akan terbang ke negeri seberang. Untuk orang dewasa seperti kita, pesawat kertas sebatas mainan yang biasa diterbangkan oleh bocah-bocah kecil di pekarangan taman kanak-kanak, bersama ayunan, bersama dunia yang besarnya hanya sebatas jarak mata memandang.
Aku ingat saat guru menyuruh melipat kertas menjadi burung bangau, kau merobek kertas dan melipatnya menjadi pesawat. Kata guru kita, ini bukanlah burung bangau. Tapi pesawat juga bisa terbang, kan? katamu menyangkal. Aku setuju dengan itu dan bagaimana caramu memulai berdalih. Bibirmu biasa mengucapkan hal yang bikin mereka geregetan. Bukanlah hal aneh, dalam dirimu saat masih belia saat dahulu. Bahkan ketika guru menanyakan cita-cita, kamu memilih menjadi batman, hanya karena dibelikan baju berjubah superman yang dibelikan nenekmu dari pasar. Padahal kedua tokoh itu bahkan berbeda. Tapi kan keduanya pahlawan, katamu. Barangkali kamu memang tidak aneh, tapi berbeda.
Aku juga ingat di hari yang lain, moncong pesawat kertas itu biasa kamu berikan hembus napas karbondioksida dari mulutmu. Lalu kamu terbangkan sekuat tanganmu melemparkannya ke udara. Hingga pesawatmu terbang dan moncongnya mengenai mataku yang aku sendiri sedang duduk di ayunan. Aku menangis dan kamu tiba-tiba pergi tanpa pengakuan.
Beranjak dewasa saat kita duduk di sekolah menengah, mengagumimu adalah anugerah. Sebab aku mengenalmu sejak aku mengenal yang namanya sekolah. Mungkin kamu lupa seorang bocah perempuan yang kamu bikin nangis gara-gara moncong pesawat terbangmu itu, dan kamu pergi tanpa merasa pernah berdosa.
Saat ini, di mana kita mulai menyadari betapa kanak-kanaknya kita dahulu, aku pikir aku tak akan menangis lagi tentang hal itu. Bahkan, tentang bagaimana kamu yang sering datang kesiangan, dan aku berusaha ikut kesiangan agar dapat berdiri denganmu supaya tidak dihukum sendirian. Atau tentang bagaimana aku yang pura-pura pingsan agar contekanmu tidak ketahuan. Atau juga tentang bagaimana aku merangkul tetangga, keluarga, dan kawan-kawan; agar vote lomba fotografi di instagram yang kamu ikut sertakan dapat kamu menangkan; meski kalah telak, ya bagaimana tidak, yang kamu potret adalah seekor kucing sedang bertengkar. Dan tentang bagaimana aku berusaha menyembunyikan rokok yang ada di tasmu karena mendapat isu dari kawanku akan diadakannya razia, meski ternyata razia itu tak ada, dan kamu menuduh kawanmu mengambil rokokmu. Serta tentang bagaimana aku duduk di kursi kantin, dan memilih pergi agar kamu mendapat bagian tempat duduk di sana.  
Tapi kamu tak pernah melihatku di sana, karena duniamu tak mengenal adanya rahasia. Kamu hanya melihat segala yang terbuka lebar di depan matamu sendiri, bukan bayang-bayang yang mengikutimu setiap hari. Mungkin pandanganmu hanya tertuju pada perempuan yang kau anggap cantik pada masa itu, bukan aku yang memiliki banyak rencana; mengagumimu tanpa perlu kamu bertanya kenapa.
Hari ini kita telah dewasa, bukan? Masa silam selalu bikin kita terpingkal-pingkal saat kita mengingatnya. Tapi aku yang sejak kecil mengenalmu, bahkan masih tak berani untuk berbicara. Sebab pada akhirnya aku tahu batas itu selalu ada dan batas itu pula yang membuat kita tetap membuat segalanya jelas.
Pesawat kertas yang sedang memuat penumpangnya ini memang tak pernah sampai padamu. Ia terbang tak pernah lebih dari sebatas jarak mata memandang. Kamu tahu bagaimana cara ia terbang? Kulempar ia ke udara, berbelok, dan jatuh satu langkah di depan kakiku sendiri; katanya aku harus sadar diri. Burung-burung yang melintas di udara bahkan akan menertawakannya jika mengetahui.
Tapi itu sepuluh tahun yang lalu. Hari ini pesawat kertasku akan terbang perdana ke negeri seberang; ke tempatmu. Ia akan terbang tidak lagi dengan bantuan napas karbondioksida, tapi dengan satu klik dan sampai hanya beberapa detik, serta semoga sampai di destinasi yang tepat; padamu.
Ia akan mengantarkan penumpang yang telah lama tinggal di tempurung kepala, yang selalu berisik sebelum melelapkan mata. Para penumpang itu adalah bait-bait puisi yang sejak lama ingin pergi liburan, merayakan kebebasan setelah memendam bagaimana rasanya jatuh hati diam-diam.  
Anggap saja ini adalah balasan dari pesawat kertasmu yang baru saja berdestinasi di kotak masuk surel. Meski aku sedikit kaget dan heran bahwa sepengetahuanku, pesawat kertas yang kamu terbangkan rasanya sulit mengarah pada apa yang kamu tujukan, selalu saja melenceng. Tapi hari ini, entah bagaimana pesawatmu tiba-tiba hadir di depan mataku, tertulis nama yang sering dahulu kuingat saat bangun tidur; masih adakah orangnya di bumi ini? Kamu yang kini menyadari presensiku, entah dari satpam, kawan dekatku, ibu kantin, atau siapa pun yang tidak sengaja menceritakan tentang aku dahulu kepadamu.
Kamu tahu? Pesawatmu benar-benar terbang kepada tujuanmu; aku. Pesawat kertas itu hari ini ada di destinasi yang nyata, penumpangnya bait-bait puisi yang entah kau curi dari siapa, atau kamu ciptakan? ah aku tidak percaya.
Pesawat kertas yang kulipat ini akan datang kepadamu sebagai balasan. Tak salah menyadari, bahwa bayang-bayangmu diciptakan matahari. Duniamu kini semakin luas, karena yang kau lihat adalah jarak pandang hati. Sayangnya, istilah “tak ada kata terlambat” tidak lagi berlaku pada kita sekarang. Pesawat terbangmu itu terlambat datang padaku yang berada di negeri seberang.
“E-mail dari siapa?” tanya suamiku.
“Kawan kecil.”
 10/7/2018
3 notes · View notes
ibnubasith · 5 years ago
Text
"Tak satupun rasa bersalah dapat mengubah masa lalu, pun rasa khawatir tak akan mengubah masa depan."
2 notes · View notes