ilhamf08
ilhamf08
Ruang Aksara
13 posts
  “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” ― Pramoedya Ananta Toer
Don't wanna be here? Send us removal request.
ilhamf08 · 5 years ago
Text
Privileges
Tumblr media
"Wahh edan euy si eta geus bisa kitu."
“Madep emang umur segitu udah sukses ini-itu."
dan lain-lain..
Kayaknya enggak kehitung berapa banyak kita adore the stars dari bocil sampai detik ini. Hampir tiap hari ada aja hal-hal atau pencapaian orang lain yang "wah", apalagi di zaman sekarang yang makin gampang disebar lewat media sosial kayak Instagram. Tapi makin kesini, makin umur kita nambah makin gak jarang hal-hal gitu justru bikin kita ngerasa kecil, minder, & insecure. 
Malah bisa bikin kita mikir diri kita enggak berguna & hilang optimisme buat berkembang jadi lebih baik. Atau bisa juga bikin kita ngebentuk premis & justifikasi sendiri bahwa enggak ada peluang buat perbaiki masa depan karena enggak bisa perbaiki masa lalu, karena kita bukan Doraemon yang punya mesin waktu.
Padahal dikutip dari laman Scientific American, perasaan "kecil", minder atau insecure itu sebenernya hal yang wajar. Semua orang pasti bakal, pernah, & mungkin sedang mengalami. Seriusan, semuanya entah Pak Jokowi, Cristiano Ronaldo, sampai Pak Muchdori (tetangga saya) saya jamin pernah, atau mungkin lagi insecure juga kayak kita meskipun intensitasnya mungkin beda-beda. Karena kita sama-sama manusia. Perasaan khawatir ini dampaknya bisa jadi lecutan semangat yang positif atau bisa jadi sesuatu negatif yang bikin kita down, tergantung dari cara kita menyikapinya.
...
Bicara tentang cara menyikapi sesuatu. Merujuk ke Filosofi Teras yang ditulis Henry Manampiring, one of the important things we need to know is: bahwa memang ada banyak hal yang diluar kendali kita. Banyak banget. Postingan orang lain adalah salah satunya.
Kita enggak bisa baca pikiran orang yang unggah sesuatu di media sosial itu sebenernya niatnya kayak gimana. Kita mungkin enggak bisa “ngelurusin” orang-orang dibalik akun buzzer & berharap mereka berhenti bikin ribut sama sebar berita-berita hoax. Kita juga mungkin enggak bisa hapus akun-akun konspirasi yang sering bikin konten ngaco & berharap mereka berhenti cocokologi sama sebar informasi invalid yang bisa jadi harmful ke masyarakat.
Tapi kita bisa kontrol diri kita dengan cara enggak follow, like, atau comment di konten-konten yang dirasa negatif dan ganti dengan follow up akun-akun yang kasih energi positif. Dengan sendirinya, algoritma media sosial kita bakal tampilin banyak konten ngikutin preferensi yang kita buat. Selain itu, kita juga bisa ngabisin waktu buat ngelakuin hal-hal yang lebih berfaidah kayak belajar skill baru di online course, baca beberapa lembar ayat Al-Qur'an yang jelas ngademin, atau ngelakuin banyak hal lain yang lebih bermanfaat daripada nongkrongin akun buzzer, kang dagang konspirasi, atau akun-akun lain yang dirasa bawa pengaruh negatif. Kita bisa kontrol diri kita buat menghindari itu.
Kalau mau coba menghadapi, berarti kita harus mengubah mindset kita bahwa tiap liat orang yang post pencapaian di media sosial berarti harus jadi booster yang bikin kita lebih semangat & berjuang lebih giat. Biar bisa kasih positive vibes & impuls bermanfaat lebih banyak dari orang yang posting, misalnya. Entah mau menghindar atau menghadapi, kendali ada di diri kita sendiri. Dua-duanya juga solusi. Ya meskipun kadang-kadang susah sih sebenernya, enggak segampang ngomong doang kayak gitu. Hehe.
Yang jelas cara kita menyikapi sesuatu adalah koentji, dan itu termasuk hal yang bisa kita kontrol. Cara kita menghadapi masalah adalah ranah dimana kita pegang kendali, karena masalahnya sendiri sering ada diluar kendali. Selalu ada pilihan bagi kita buat menyikapi sesuatu, dan beruntung mereka yang selalu bisa menyikapi dengan cara paling baik. Baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
..
Hal lain yang diluar kendali kita diantaranya adalah privileges (hak istimewa). Buat bisa berdamai dengan diri sendiri dan berkembang jadi lebih baik, penting bagi kita buat menyadari bahwa memang ada banyak privileges yang kita miliki, tapi orang lain enggak punya. Pun sebaliknya, mungkin banyak privileges yang orang lain punya, tapi kita enggak punya. Iman Usman, Co-Founder Ruangguru pernah cerita bahwa beliau mungkin enggak akan bisa jadi seperti sekarang, kalau bukan karena banyak banget privilege yang dimiliki sejak lahir.
Meskipun bukan lahir di keluarga yang berada, beliau lahir di keluarga yang harmonis & mendukung penuh buat dapet pendidikan sebaik & setinggi mungkin. Tumbuh di tengah lingkungan yang suportif buat ngembangin diri seluas-luasnya, diizinin buat ikut organisasi ini-itu yang pulangnya kadang sampai malem, bahkan dibolehin buat pergi ke warnet sepulang sekolah karena orang tuanya percaya pergi ke sana buat cari hal positif & bermanfaat tanpa curiga macam-macam, dan sebagainya.
Akhirnya akumulasi dari privilege-privilege tersebut, ditambah banyak faktor lain kayak semangat belajar yang tinggi juga tekad yang kuat bikin beliau berhasil dapetin fasilitas pendidikan terbaik di dalam maupun luar negeri, ketemu banyak orang hebat, bicara di konferensi internasional, dan lain-lain. Termasuk bikin inovasi di bidang edtech dengan mendirikan Ruangguru bareng Belva Devara (yang kadang kalau lagi promosi agak malesin karena saluran TV isinya Ruangguru semua, hehe).
Pun saya pribadi, meskipun belum bisa jadi apa-apa tapi jelas banyak privileges yang didapet sampai bisa jadi diri saya saat ini, yang mungkin enggak didapet teman-teman yang lain. Rasanya enggak perlu kalau kita melebih-lebihkan atau sebaliknya mengurang-ngurangi privileges yang kita dapet supaya keliatan perlu dikasihani atau gimana gitu, apalagi di hadapan orang lain. Justru dengan jujur dan mengaku ke diri sendiri, jadi salah satu langkah penting buat bisa berdamai sama diri sendiri biar nantinya jadi bekal buat bisa bermanfaat ke orang lain yang mungkin gak seberuntung kita. Misalnya dengan menyadari bahwa kita beruntung bisa makan makanan enak tiap hari, bisa bikin kita banyak bersyukur dan tergerak buat bantu orang lain yang belum pasti besok masih bisa makan atau enggak.
Karena privileges bukan sebuah masalah, apalagi dosa yang harus ditaubati. Tapi nikmat yang harus kita refleksi dan syukuri.
..
Masa lalu mungkin enggak bisa diubah, termasuk privileges yang sedikit banyak ‘ngebentuk’ hidup kita. Ibaratnya kita sama-sama lagi marathon untuk bisa sampai ke garis finish, tapi titik start tiap orang beda-beda. Mungkin ada yang tinggal sepuluh langkah lagi, tapi ada juga yang mulai dari jarak sepuluh kilometer. Makanya barangkali kita selalu denger nasihat bahwa kita enggak bisa samain perjuangan setiap orang, karena masing-masing diuji dengan ujian yang jenis & tingkatnya beraneka ragam.
Tapi percaya deh, selama kita masih dikasih waktu buat hidup, kesempatan buat bikin masa depan jadi lebih baik itu pasti ada, meskipun sulitnya perjuangan yang harus dihadapi berbeda-beda. Makin banyak privileges yang kita beruntung bisa nikmati harusnya makin buat kita makin bisa bersyukur, makin peka berempati, makin giat support and empower others yang enggak seberuntung kita.
Ngerasa kampus kita enggak terlalu support buat ngembangin diri, lingkungannya masih kurang orang yang menginspirasi, atau keluhan-keluhan lain? Proaktif! Cari kesempatan dan lingkungan itu sendiri di luar kampus, buat kampus bangga punya mahasiswa kayak kita. Sampai nanti balik lagi ke kampus & edukasi sedikit-sedikit biar orang lain enggak merasakan kesulitan yang sama.
Percaya deh, orang-orang yang jadi parameter madep & sukses diluar sana adalah mereka yang berani buat take extra miles. Bukan orang-orang yang mengemis-ngemis perhatian, mengiba, atau ngejual kemalangan karena kampusnya enggak bikin mereka mulai di posisi yang berjarak jauh dari garis start ketika lagi marathon sama anak dari kampus lain yang dinilai lebih keren.
Resah & enggak nyaman karena ngeliat negara kita punya buanyak masalah yang enggak beres-beres? Bergerak! Dunia butuh banyak pemuda pencetus solusi, bukan cuma komentator atau pemaki-maki. Sekolah yang tinggi, cari ilmu yang banyak, observasi masalah, rancang solusi, sampai akhirnya balik lagi buat terjun ke masyarakat. Kayak Kang Emil yang gerah liat kesemrawutan Kota Bandung, terus bergerak sampai jadi wali kota & berhasil buat Bandung jadi kota yang cantik lagi. Pasti ada banyak jalan & kemudahan yang Allah kasih buat mereka yang  bener-bener berusaha.
Karena dunia butuh orang-orang yang kuat & berani. Karena dunia butuh orang-orang yang bisa jadi gamechanger, orang-orang yang bisa jadi payung & neduhin orang lain dengan kebermanfataan yang dibagikan supaya bisa bikin dunia ini jadi lebih baik. Too much sadness in this world, and we gonna change it, don't you?
...
Enggak. Kita enggak perlu jadi wali kota atau gubernur perlu kayak Kang Emil, jadi qori yang punya suara merdu kayak Muzammil Hasballah, atau jadi pemain bola yang gacor kayak Cristiano Ronaldo. Kita cuma perlu jadi yang terbaik, dalam versi kita sendiri. Masing-masing dari kita punya perannya sendiri buat menghadirkan banyak kebaikan untuk semesta.
Kalau lagi berjuang untuk jadi insinyur, belajar yang keras biar nanti bisa invent sesuatu yang bermanfaat buat orang lain. Kalau punya mimpi kuliah ke luar negeri, berjuang lebih giat & perbaiki niatnya, supaya kalau diterima & pulang nanti bisa buat negeri ini jadi tempat yang lebih baik lagi. Bahkan ketika yang diperjuangin itu sesuatu yang mungkin dianggap sebelah mata sama dunia, kayak jualan makanan ringan atau ngojek supaya bisa kasih nafkah yang halal ke keluarga. Ada ganjaran kebaikan yang berlipat ganda & kejutan yang luar biasa. Entah sekarang di dunia atau nanti di akhirat, atau mungkin sekaligus dua-duanya.
Karena menurut saya, indikator kesuksesan dalam melakukan sesuatu itu cukup ketika niat baik dari hati berhasil selaras sama amal yang diperbuat. Cukup jadi orang baik, sama jadi orang bermanfaat. Enggak wajib harus dapetin ini-itu apalagi indikatornya sebatas hal-hal duniawi aja. Toh nanti meninggal mah semua ditinggal, yang jadi bekel cuma amal.
...
Saya sadar buat beneran survive, strive, & thrive di kehidupan itu enggak segampang ngomong atau nulis doang kayak gini, apalagi mungkin buat sebagian orang yang punya luka & butuh bantuan orang lain buat bisa bangkit. Enggak apa-apa kok kalau kita ngejalanin hidup dengan pelan-pelan, toh hidup juga sebenernya bukan buat balap-balapan.
Semoga corat-coret ini bisa jadi sedikit reminder biar kita selalu aware terhadap keadaan orang-orang di sekitar, biar selalu bisa maksimalin potensi sama privileges yang dimiliki untuk bisa neduhin dan kasih manfaat ke orang lain, sama yang terpenting enggak lupa buat banyak-banyak bersyukur untuk semua nikmat yang Allah kasih sampai hari ini. Semoga.
Bandung, 240720
0 notes
ilhamf08 · 5 years ago
Text
Ada Apa Dengan Konspirasi (Bag.2 - Selesai)
Tumblr media
Artikel ini merupakan bagian kedua-terakhir, bagian pertama dapat diakses di sini
Memang, perihal mempercayai suatu hal itu ranah privat (orang cuman di pikiran sendiri). Tapi, ketika suatu wacana itu bisa dipercaya, disebarluaskan, dan imbasnya bisa ke banyak orang. Tentu lebih bijak untuk menimbang kemungkinan baik-buruk sebelum itu disampaikan. Karena meski bentuknya cuma dugaan, teori konspirasi sendiri tentu punya efek. Secara dikotomis, efeknya terbagi jadi yang non-harmful dan harmful. Yang non-harmful, contohnya kaya Adolf Hitler yang masuk Islam dan meninggal di Surabaya.
Yang harmful, contohnya kaya seruan dari orang ber-followers banyak, yang bilang bahwa Covid-19 sebenarnya gak seberbahaya itu dan angka yang digemborkan media cuma konspirasi semata buat menebar ketakutan di tengah masyarakat, terus melanggengkan wacana elit global tv. Sehingga menyeru masyarakat jangan denger himbauan dari barudak elit global kaya media mainstream, termasuk juga WHO (yang mana isinya physical distancing, pake masker & cuci tangan, dsb).
Entah disadari atau nggak oleh yang menyebarkan, teori konspirasi yang model gini harmful karena bisa menyebabkan butterfly effect (Pardiyanto, 2019) yang gak hanya merugikan satu kawasan atau sektor, tapi juga bisa menyebar ke berbagai kawasan dan sektor lain. Bukan gak mungkin, seruan tersebut berhasil jadi salah satu faktor pemicu yang buat orang-orang gak peduli, terus diikutin banyak orang karena faktor yang-lain-juga-gitu. Akhirnya menjelang lebaran, ribuan orang dengan santuy berduyun-duyun belanja baju lebaran dan sebagainya, dan boom!
Tumblr media
Tercatat hampir seribu pasien positif baru dalam sehari, yang mana jadi rekor tertinggi nasional. Selanjutnya (amit-amit sih) bisa jadi karena seruan tadi terus didenger, pasien makin hari makin banyak sampai rumah sakit overload dan tenaga kesehatan yang dikuras tenaganya amat exhausted dan putus asa. Akhirnya, wabah ini makin menyebar, menyiksa, dan entah kapan selesainya.
Semua itu bisa jadi pangkalnya karena asumsi ngaco yang disebarin konspiratoris.
Tanpa penalaran dan ilmu yang memadai, sebuah opini yang dibentuk dan disebarkan ke publik bisa membahayakan dan jadi bumerang. Karena itu, demi dapetin pengetahuan yang valid dan kredibilitasnya bisa dipertanggungjawabkan, di dunia akademik sekarang kita kenal yang namanya ‘narasi saintifik’ kaya publikasi jurnal ilmiah yang diindeks dengan tingkat reputasi beragam. Hasil dari penelitian yang bisa jadi makan waktu lama banget, sejumlah trial and error, dan kajian berbagai aspek yang mendalam.
Bukan hanya buat ilmu umum, di ilmu keagamaan pun gitu juga. Contohnya kajian matan dan sanad hadits yang exactly njelimet, yang gak sembarang orang bisa paham betul. Adanya ‘kualifikasi ilmu’ emang rada nyusahin sih. Tapi ya gimana lagi, demi dapetin ilmu yang valid yang berjarak sejauh mungkin dari ketidaktepatan. Karena bagi dunia ilmiah, validitas, kredibilitas, & bisa dipertanggungjawabkan dengan baik dan benar adalah koentji. Karena emang enggak bisa sembarangan, teu sagawayah lah bahasa Sundanya mah.
...
Terus, apa teori konspirasi emang salah?
Realitas emang bisa nyimpen banyak kompleksitas bahkan distorsi. Banyak hal yang mungkin kita tau hari ini, bisa aja ternyata kenyataannya beda. Di titik ini, saya sependapat bahwa kritis itu harus, curiosity itu wajib, dan terus belajar itu mesti. Sikap penasaran, mempertanyakan, dan menduga-duga yang mana jadi pijakan teori konspirasi itu perlu banget. Tapi, apa cuma mau berhenti disitu aja? Harusnya enggak dong! Apalagi buat pemuda yang mana “Idealisme adalah kemewahan terakhir”, kalau kata Tan Malaka.
Gak sepatutnya idealisme cuma dihargai sebatas dugaan konspiratif semata. Ruang skeptis dan hasrat untuk mampu menebar manfaat juga harus dibuka buat perluas persepsi dan munculin solusi. Keren deh pasti kalau paradigma gamechanger ini bisa dipraktekkin dengan baik. Fokus orang-orang yang tadinya sibuk ngagugulung konspirasi, saling tuduh dan tuding, saling curiga satu sama lain jadi berlomba-lomba buat cari solusi, bangun iklim positif, dan memahami realita dengan bijak dan komprehensif.
Dalam nyikapin Covid-19 misal, dari sikap yang tadinya sibuk berkonspirasi tuding WHO, Amerika, Cina, Madara dan sebagainya yang jelas kontraproduktif bahkan bisa jadi harmful. Berubah jadi sikap antusias dan berlomba-lomba buat belajar biolologi molekuler, virologi, maupun kimia organik biar bisa nyiptain obat yang jadi solusi. Atau kalau nggak ya galang donasi untuk warga yang terdampak, buat konten inspiratif, dan posting hal-hal positif yang menguatkan satu sama lain di tengah pandemi.
Saya rasa, konspirasi yang paling konspiratif itu bukan yang katanya dibuat elit global, kezaliman alien, atau organisasi rahasia kaya Akatsuki dan sebagainya. Tapi di egoisme-narsistik manusia yang gak mau kalah dan gak mau ngerasa salah, rasa males buat belajar dengan bener, kebutuhan akan ‘keunikan’ yang keliru, ketidakmampuan buat beradaptasi, sampai kesalahan logika dalam menyikapi sesuatu dan tarik kesimpulan.
...
Last but not least, saya mohon maaf kalau ada pembaca yang merasa tersinggung karena tulisan ini. Ya silakan aja kalau berbeda pandangan, namanya juga beda kepala. Asalkan berdasar dan bisa dipertanggungjawabkan dengan baik, mangga. Cuman ya itu sih yang bikin saya sedikit greget, terutama akhir-akhir ini. Ketika dugaan berupa opini konspirasi yang validitasnya enggak teruji main-main terhadap ilmu yang valid dan mapan, yang parahnya bisa main-mainin juga banyak nyawa manusia.
Padahal kalaau aja ketidakpuasan, skeptisisme, atau ketidaksetujuan yang dirasa itu output yang dihasilkannya itu upaya buat cari solusi, menebar energi positif, dan yang paling penting buat diabadiin untuk kemaslahatan dunia kaya yang tadi dijelasin. Bukan malah propaganda, ajakan untuk menjauhi, ataupun perasaan terzalimi dan sebagainya. Pasti bakal jauh-jauh-jauh lebih baik.
Semoga kita, selalu jadi manusia yang enggak pernah bosen dan enggak pernah berhenti buat terus belajar. Karena berilmu, adalah prasyarat untuk memerdekakan diri dari berbagai belenggu. Kayak yang Soe Hok Gie bilang, “Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi, aku memilih untuk jadi sobat elit global manusia merdeka.”
Bandung, 020620
...
Referensi (biar gak jadi konspirasi):
Douglas, K. M., Sutton, R. M., & Cichocka, A. (2017). The Psychology of Conspiracy Theories. Association For Psychological Science, 538-542.
Grohol, J. M. (2020, April 27). A psychologist explains why people cling to conspiracy theories during uncertainty and after traumatic events. Retrieved from Business Insider: https://www.businessinsider.com/psychologist-explains-why-people-believe-conspiracy-theories-during-uncertain-times-2020-4?IR=T
Nathaniel, F. (2020, Mei 1). Sesat Pikir Teori Konspirasi Deddy, Young Lex, dan Jerinx. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/sesat-pikir-teori-konspirasi-deddy-young-lex-dan-jerinx-ffR4
Nichols, T. (2017). The Death of Expertise. New York: Oxford University Press.
Pardiyanto, E. (2019, Februari 12). Butterfly Effect (Efek Kupu-kupu): Ketergantungan yang Peka Terhadap Kondisi Awal. Retrieved from Warstek.com: https://warstek.com/2019/02/12/butterflyeffect/
Prasetya, R. (2020, April 28). Teori Konspirasi: Apa Itu Sebenarnya dan Bagaimana Orang Bisa Percaya? Retrieved from Mojok: https://mojok.co/rzp/ulasan/pojokan/teori-konspirasi-apa-itu-sebenarnya-dan-bagaimana-orang-bisa-percaya/
Qardlawi, Y. (1991). Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Thesaurus, C. A. (2020). Conspiracy. Retrieved from Cambridge Dictionary: https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/
Wikipedia, K. (2020, Mei 28). Teori Konspirasi. Retrieved from Wikipedia: https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Teori_konspirasi&oldid=17011898
0 notes
ilhamf08 · 5 years ago
Text
Ada Apa Dengan Konspirasi? (Bag.1)
Tumblr media
Covid-19 itu senjata biologis Cina. Eh-eh bukan deng, agenda depopulasinya elit global tv! Bumi itu jelas-jelas kotak kaya kepala Adudu datar! daaan lain lain.
Familier atau seenggaknya pernah denger pernyataan setipe topik-topik di atas? Percaya sama wacana yang disajiin? Atau justru jadi yang kontra dan greget liat banyak orang yang percaya? Hehe. Iya bebas kok iya, emang hak tiap orang kok buat percaya atau engga ke suatu wacana. Tulisan ini juga bukan secara eksplisit ngebahas hal-hal itu & ngegiring yang baca buat percaya atau enggak. Tulisan ini sebenernya cuma pengen bahas, sebenernya ada apa sih dengan konspirasi? Kenapa sih wacana-wacana konspirasi selalu ada dimana-mana? Bener apa salah sih? Juga pertanyaan-pertanyaan serupa lain.
Let’s get started!
...
Sebenernya ada apa sih dengan teori konspirasi? Kenapa sih bisa ada dimana-mana?
Menurut Wikipedia, “Teori Konspirasi adalah teori-teori yang berusaha menjelaskan bahwa penyebab tertinggi dari satu atau serangkaian peristiwa (pada umumnya peristiwa politik, sosial, atau sejarah) adalah suatu rahasia, dan sering kali memperdaya, direncanakan diam-diam oleh sekelompok rahasia orang-orang atau organisasi yang sangat berkuasa atau berpengaruh” (Wikipedia, 2020). Definisi dari Cambridge Dictionary juga kurang lebih sama, dengan mengartikan konspirasi sebagai "aktivitas bersama orang lain untuk secara rahasia merencanakan sesuatu yang buruk atau ilegal" (Thesaurus, 2020). Teori-teori konspirasi ini bisa muncul dan ditemuin dimana aja, juga gampang buat tersebar dan berpotensi dipercaya khalayak. Mulai dari teori konspirasi di sekolah dimana jarang ada pulpen yang umurnya lebih dari seminggu, di pemilihan ketua RW karena RT sebelah terus yang juara bertahan, apalagi yang lagi happening kaya Covid-19.
Peneliti dari School of Psychology, University of Kent berhasil nemuin beberapa alasan yang mendasari kenapa sih teori konspirasi itu bisa ada dan laku. Yang secara sederhana dapat diklasifikasi jadi tiga alesan: epistemik, eksistensial, & sosial (Douglas, Sutton, & Cichocka, 2017).
Teori konspirasi hadir karena pandangan alternatif lebih dianggap memuaskan curiosity, ketika informasi yang tersedia dianggap enggak cukup lengkap dan memuaskan. Dalam tingkatan bermacam-macam, ada keyakinan bahwa ada hal-hal yang sengaja disembunyikan ke publik, ada koordinasi suatu atau berbagai pihak di balik layar atas terjadinya suatu peristiwa konspiratif. Sehingga terjadi penolakan dan penentangan terhadap kuasa informasi yang mapan.
Konspirasi juga mampu tarik atensi publik karena coba melindungi suatu hal yang dari sebelumnya udah diterima dan dipercaya, serta coba melindungi perasaan ‘aman’ yang dimiliki masyarakat. Sikap denial terhadap vaksinasi, misalnya (Nichols, 2017).
Tumblr media Tumblr media
Anggapan bahwa vaksinasi AIDS adalah konspirasi jahat salah satunya timbul karena masyarakat merasa dihadapkan dengan kondisi enggak biasa yang mengusik rasa aman.
Studi tersebut juga menyatakan, bahwa potensi masyarakat untuk percaya teori konspirasi cukup tinggi ketika terjadi peristiwa yang “wah”, tapi penjelasan yang ada enggak memenuhi ekspektasi karena dirasa biasa-biasa aja. Ditemukan juga korelasi antara kepercayaan terhadap teori konspirasi dengan taraf inteligensi dan kualitas edukasi, dimana makin tinggi kemampuan berpikir kritis, analitis, dan rasional seseorang maka makin rendah potensinya untuk percaya teori konspirasi. Satu hal yang pasti: banyak orang tertarik untuk cari tahu, buat, dan percaya teori konspirasi karena terlihat lebih appealing than satisfying. Kelangsungan hidup teori konspirasi dibantu juga oleh bias konfirmasi, dimana manusia emang punya kecenderungan buat percaya hal yang sebelumnya mereka percaya (Prasetya, 2020).
Selain itu secara motif sosial juga ditemukan korelasi antara teori konspirasi dengan ‘kebutuhan akan keunikan’. Orang yang punya ‘kebutuhan akan keunikan’ tinggi lebih mungkin dan lebih cenderung ngedukung teori konspirasi daripada yang lain (Grohol, 2020). Juga dalam artian, orang-orang yang percaya atau buat teori konspirasi merasa lebih spesial karena merasa lebih tahu informasi yang enggak diketahui orang lain, terlebih karena sifat teori konspirasi sendiri yang merujuk ke ‘pengetahuan rahasia’ dimana gak semua orang tahu. Jadi bisa timbul perasaan edgy gitu lah karena ada perasaan saya-anti-mainstream-dan-spesial itu tadi.
Hal itu ditambah juga dengan sifat manusia yang pada dasarnya emang males buat pahamin hal-hal rumit plus njelimet, dan lebih gampang tertarik ke hal yang beda plus menarik. Maka, pas ada tudingan konspiratif bahwa chip di KTP itu katanya cara pemerintah buat mata-matain semua warganya, tudingan itu bisa aja dipercaya banyak orang dan dapet banyak atensi. Karena percaya hal kaya gitu emang lebih menarik dan gampang dimengerti daripada percaya dan pahami penjelasan ahli IT yang bawa-bawa transmisi data, database, komputasi, dan segenap hal kompleks lain yang bikin orang awam males duluan buat nyimak.
...
Hmm jadi teori konspirasi itu boongan ya, atau beneran sih? Kalo berpotensi besar untuk invalid, kenapa bisa tersebar?
“Di era disrupsi, internet dan media sosial menjadi pupuk yang menumbuh suburkan konspirasi.”
Lewat penganalogian dunia maya sebagai warung kopi, banyak para pegiat konspiratoris jadi sosok tukang ngopi yang dominan karena pembawaannya bisa terlihat meyakinkan ketika ngobrol dengan yang lain, terutama ke orang awam. Makanya enggak aneh kalau teori konspirasi bisa gampang narik perhatian atau dirasa seakan relate sama kehidupan. Perlu diketahui juga, teori konspirasi yang hadir sebagai wacana alternatif sejak awal muncul sampai hari ini bisa masuk ke berbagai subjek mulai dari politik, sejarah, sosial, sains, bahkan agama sekalipun.
Ah masa sih agama dijadiin subjek konspirasi? Gak mungkin!
Sayangnya, iya. Bahkan agama jadi salah satu subjek yang paling gampang dan paling banyak dijadiin sasaran. Konspirasi yang subjeknya bawa agama punya kemungkinan lebih besar untuk dipercaya dan tersebar, karena fungsi agama itu sendiri yang esensial buat kehidupan manusia. Selain itu, isu komunal dengan narasi playing victim juga marak jadi senjata teori konspirasi. Kalau narasinya dibantah, bakal muncul tudingan persekongkolan sistematis. Kalau melanggar hukum dan ditahan, bakal muncul klaim telah dikriminalisasi.
Pokoknya, mereka yang nolak narasi konspiratif dianggap bagian dari konspirasi itu sendiri, atau korban propaganda para konspiratoris (Nathaniel, 2020). Sudut pandang terzalimi dengan salahin keadaan, sistem, negara, atau para elit (yang entah siapa) seringkali jadi target empuk. Contoh nyatanya, waktu Masjid As-Safar yang dibangun Ridwan Kamil rame-rame dituding sebagai masjid illuminati. Entah kesimpulan pembaca gimana tentang itu, kalo saya sih yakin ini contoh konkrit konspirasi feat. cocokologi yang sukses dapet panggung dan narik banyak atensi, hehe.
Padahal sebagaimana yang dijelasin Syaikh Yusuf Al-Qardlawi, di Islam sendiri suatu ilmu harus jelas keakuratan sumber dan metodologinya, harus bisa tahan diuji sebelum ‘lolos seleksi’ dan disebarluaskan, juga harus bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini dikarenakan ilmu punya posisi penting sebagai penunjuk keimanan, sehingga keduanya saling berdampingan satu sama lain. Saling ber-tafahum, bukan bertolak-belakang (Qardlawi, 1991).
“Ilmu yang benar menghidayati keimanan, dan iman yang haklah yang melapangkan wawasan ilmu.” - Syaikh Yusuf Al-Qardlawi
Bersambung ke bagian dua, artikel dapat diakses di sini
0 notes
ilhamf08 · 5 years ago
Text
Matinya Kepakaran?
Tumblr media
Seantero bumi sedang gempar dan dilanda kecemasan. Serbuan dari entitas mikro yang menjadi musuh tak terlihat berhasil menyerang diam-diam jutaan manusia. Parahnya, entitas ini selain menyerang, turut menumpang dalam tubuh targetnya serta aktivitas yang dilakukannya sehingga menyebabkan populasinya semakin meluas dan tersebar. Istilah "Kami ada, nyata, dan berlipat ganda" barangkali telah berganti dari sekadar chant supporter atau istilah keren-kerenan semata, menjadi ‘motto resmi’ pergerakan Covid-19.
Sayang, ditengah pandemi yang seharusnya tiap orang saling bantu & meringankan beban, kabar-kabar hoax tetap saja bermunculan, yang mana menganggu bahkan bisa meresahkan. Dari hoax yang masih mungkin masuk akal, sampai yang benar-benar tidak masuk akal seperti Donald Trump yang sedang diruqyah karena stres menghadapi Covid-19.
Tumblr media
Sumber: katadata
Mungkin sebagian besar masih cukup bisa berpikir sehat dalam menyortir informasi yang ada, jika momennya berkaitan dengan hal lain. Politik misalnya, layaknya Pilpres kemarin. Karena momennya jelas: untuk kontestasi politik. Antar pihak yang berseteru masih masuk akal untuk bisa saja saling menyewa buzzer agar bisa menjatuhkan lawan, atau dari simpatisan yang bisa jadi sebagai upaya membela pihaknya dengan militan. Namun jika kasusnya seperti ini, jelas tidak habis pikir mengapa masih ada manusia yang tidak punya hati menebar berita bohong, ditengah krisis yang menjangkiti seantero dunia.
Cukup kompleks memang jika ‘why-matter’ penyebaran hoax selalu ada ditelusuri lebih jauh, mulai dari kebutuhan mendapat pengakuan lebih, hal iseng yang disebarluaskan, upaya monetisasi, mendapat kepuasan tersendiri karena berhasil membohongi publik, atau lain sebagainya. Yang jelas, mudahnya penyebaran hoax adalah buah dari kebebasan bicara di era digital, meskipun negatif.
Baru baru ini, sejumlah masyarakat di beberapa daerah melarang jenazah Covid-19 untuk dikebumikan, bahkan sampai melempari petugas kesehatan yang datang agar tidak coba-coba berani menguburkan jenazah di daerahnya. Sebuah ketakutan berlebihan dan tindakan yang merugikan orang lain. Karena sebelumnya, para pakar kesehatan sudah menjelaskan panjang lebar bahwa jenazah yang wafat akibat penyakit tersebut akan aman dan tidak menularkan apapun, selama penanganannya sesuai prosedur. Belum meratanya informasi yang kredibel, rendahnya taraf literasi, serta kesalahan logika yang masih banyak terjadi menjadi penyebabnya, barangkali.
Menyinggung kebebasan bicara di era digital dan ‘melemahnya’ otoritas para pakar untuk didengarkan, mengantarkan kita pada wacana yang cukup populer belakangan ini: Matinya Kepakaran.
Era digital terutama lewat keberadaan medsos, membawa perubahan cara berinteraksi maupun kebebasan mengungkapkan pendapat. Sebelum era medsos, orang-orang memiliki ruang yang lebih terbatas untuk berinteraksi maupun ruang untuk mengungkapkan pendapat. Hari ini, lewat konektivitas di dunia maya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk ‘berbicara’, untuk lebih didengar dan lebih diperhatikan seluruh dunia. Tanpa memandang ia seorang pakar, influencer, maupun pengangguran sekalipun.
Karena kebebasannya, internet dan identitas maya seakan-akan membuat semua bisa fasih menggurui tanpa harus menjadi guru, semua bisa menjadi dokter tanpa perlu bertahun-tahun kuliah kedokteran, semua bisa merasa lebih berilmu dari ulama yang ahli dalam agama. Semua bisa merasa lebih tahu dari para pakar yang kompeten di bidangnya.
Hal ini membuat sebagian orang merasa risau terhadap keadaan masyarakat yang kian hari dirasa makin tenggelam dalam gejala melemahnya otoritas kepakaran. Tom Nichols salah satunya. Dalam bukunya The Death of Expertise (versi bahasa Indonesia: Matinya Kepakaran) yang barangkali sedang cukup trending, beliau menuliskan fakta, indikasi, maupun opini bahwa semakin hari masyarakat dunia cenderung semakin bergerak menuju ‘kebebasan yang kurang terkontrol’. Kebebasan berbicara terlebih di era digital, serta peran internet menurutnya menjadi salah satu penyebab yang hari ini menjadi bumerang bagi manusia itu sendiri.
Betapa tidak, karena kebebasan ini banyak dan terus bermunculan berita-berita hoax, sebagian orang menjadi kurang memperhatikan lebih baik kata-katanya sebelum ‘diucapkan’ ke laman maya, dan yang terpenting: orang-orang seakan kapabel untuk membentuk opini apa saja, mengambil peran apa saja, bahkan menyangkal informasi yang valid dan menyebarkan opini lain, padahal ia tidak paham betul apalagi ahli pada bidang tersebut.
Tumblr media Tumblr media
Dengan informasi berlimpah di internet yang tinggal klak-klik untuk mengaksesnya, mengapa justru malah muncul banyak orang yang denial dan memilki pandangan keliru layaknya kutipan buku di atas, atau hal lain seperti bumi itu datar, atau bahwa vaksin berbahaya bagi kesehatan? Internet yang sekilas memberi pencerahan lebih baik, ternyata punya sisi buruk. Internet memberi jalan dan bahkan memperkuat kekurangan umat manusia. Nichols menganalogikan internet dengan Hukum Sturgeon:
"90 persen dari semua hal (di dunia maya), adalah sampah."
“Internet mengizinkan satu miliar bunga mekar, namun sebagian besarnya berbau busuk, mulai dari pikiran iseng para penulis blog, teori konspirasi orang-orang aneh, hingga penyebaran informasi bohong oleh berbagai kelompok.” [1]
Jika melihat satu sisi tanpa menelaah lebih dalam, barangkali hampir semua orang akan menganggukkan kepalanya perlahan, menyetujui. Karena saking bebasnya bagi orang-orang untuk tweet, komentar, atau posting tentang apapun, kadang-kadang kita sampai dibuat gusar dan tidak nyaman terhadap keadaan demikian. Wajar, sebagian besar orang termasuk saya pun terkadang demikian, Bung Fiersa juga, hehe. 
Kasarnya: “Kalo kaga tau ya diem, jangan banyak bacot.”
Tumblr media
Di sisi lain, banyak juga yang mengkritisi dan tidak setuju dengan pandangan pertama. Karena bagaimanapun, opini pasti berbeda-beda dan dimiliki oleh setiap orang dan kebebasan menuangkannya dijamin hak asasi serta undang-undang. Dengan internet dan medsos, nilai-nilai demokrasi bisa lebih diterapkan karena masyarakat lebih mendapatkan haknya untuk didengar dan bersuara. Sehingga media publik tidak terbatas hanya ‘dimiliki’ terbatas oleh kalangan yang memiliki akses, namun milik bersama. Menyalahkan medsos dan internet sebagai biang kebodohan publik & melemahnya otoritas para pakar dianggap jauh dari kata relevan, bahkan dinilai sebagai sentimen elitis.
Sekarang, akses untuk meraih keterbacaan pada skala luas bukan hanya monopoli para ‘oligarki pengetahuan’. Seorang tukang ojek bisa. Seorang ibu rumah tangga bisa. Seorang pedagang sambel bisa. Caranya, mereka menciptakan media mereka sendiri, yaitu melalui akun di media sosial. Iklim yang lebih anti-hierarki seperti ini tak ayal berpengaruh juga ke media-media konvensional. Mereka tidak mau terikat pada cara pandang lawas yang hanya memberikan akses hak bersuara kepada segelintir orang. Walhasil, apa yang muncul di media sosial dan tulisan-tulisan yang nongol di media konvensional tak lagi tampak terlalu berbeda. Maka, muncullah apa yang disebut sebagai “orang tanpa latar keahlian tapi bisa bicara macam-macam". [2]
Esais, Iqbal Aji Daryono menganalogikan internet dan media sosial layaknya warung kopi. Disana, semua orang bisa mengobrolkan apapun dari gosip perselingkuhan tetangga, hingga masalah isu-isu politik. Semuanya bebas-bebas saja, karena toh tidak ada peraturan yang menyatakan “Mohon Pengunjung Tidak Berbicara di Luar Bidang Keahliannya".
Lantas, siapa yang paling didengarkan di warung kopi? Tentu saja orang yang paling pintar bicara. Seseorang yang memiliki kepintaran setinggi Monas, tapi kebanyakan diam, menghabiskan waktu dengan ngemil bakwan, dan sekalinya ngobrol sulit dipahami orang-orang, jangan protes jika suaranya kurang didengar.
Internet dan media sosial pun persis demikian. Di medsos, kita sama-sama warga biasa yang bebas bicara apa saja. Mulai pamer makan apa dan dimana, malam tadi pakai skin care apa, hingga membicarakan pasal-pasal dalam RUU yang bermasalah, semua bisa. Membatasi hak bersuara hanya sebatas dalam bidang keahlian masing-masing, justru bisa menjadi represi terhadap hak bersuara dan hak asasi. Lalu, siapa yang paling didengarkan di media sosial? Tentu saja sama persis aturan mainnya dengan warung kopi: siapa saja yang paling pintar berbicara!
Jangan sampai dilupakan bahwa ada kata "sosial" pada istilah media sosial, sehingga mekanisme-mekanisme yang berjalan di sana pun berkarakter sosial. Saya rasa, penganalogian media sosial dengan warung kopi oleh Mas Iqbal tersebut adalah yang paling relevan sekaligus paling simpel.
Selain itu pangkal masalah lain adalah, yang pakar dan awam terkadang sulit menjalin komunikasi efektif dan sulit memahami satu sama lain. Karena mereka semua adalah manusia, yang rentan berbuat salah. Yang merasa pakar kadang terjerumus pada pola pikir yang terlalu ‘melangit’ dan bicara dengan bahasa yang susah dimengerti khalayak, sementara yang merasa awam terkadang bersikap masa bodo dan terlalu nyaman dengan pola pikir yang terlalu ‘membumi’. Juga, baik pakar maupun awam bisa terjebak dalam perangkap yang sama; hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar dan mengingkari fakta dari hal yang mereka tidak sukai. [3]
Agaknya diantara dua pandangan diatas yang saling kontradiktif, saya paling setuju dengan sudut pandang lain. Alih-alih menjadi ‘ekstrimis’ salah satu pandangan, saya pikir sudah waktunya kita harus lebih condong ke pandangan yang jernih dan moderat diantara keduanya. Karena yang paling baik, saya rasa adalah ketika semuanya tidak enggan untuk ngumpul, rehat, dan ngopi  di warung kopi tersebut untuk sama-sama ‘duduk’ bareng, saling mengobrol & mendengarkan satu sama lain.
Yang merasa pakar maupun yang merasa awam harus sama-sama duduk dan belajar. Yang merasa pakar harus coba meninggalkan kebiasaannya makan ‘bakwan Scopus-nya’ sendirian dan pergi ikut ngobrol dengan yang lain, belajar cara untuk bisa berbicara dengan bahasa yang paling egaliter yang paling bisa dimengerti semua orang, maupun belajar cara agar sukses menarik massa dan disukai banyak orang sehingga cuitannya lebih didengarkan. 
Yang merasa awam harus coba meninggalkan kebiasaannya terlalu banyak bicara di berbagai ruang dengan lebih banyak duduk dan banyak menyimak, belajar untuk bisa menyaring informasi yang valid dan kredibel, belajar untuk lebih banyak membaca serta mendengar sebelum berbicara agar kicauannya lebih berbobot.
Karena kemunduran peradaban takkan terjadi selama manusianya tetap merasa haus dan tidak pernah letih, untuk selalu belajar dan memperbaiki diri sendiri.
Bandung, 120420
[1]
Gramedia, "Gramedia Blog," Desember 2018.    [Online]. Available:    https://www.gramedia.com/blog/review-buku-matinya-kepakaran-tom-nicholscermin-perilaku-kita-di-dunia-maya/#gref.
[2]
I. A. Daryono, "Detik," detikcom, 1 Oktober    2019. [Online]. Available: https://news.detik.com/kolom/d-4729455/omong-kosong-matinya-kepakaran.    [Accessed 12 April 2020].
[3]
A. Abidin, "Kompasiana," Kompas, 10 September    2019. [Online]. Available:    https://www.kompasiana.com/azwariainkendari4045/5d7795470d82301d0d535422/konflik-relasi-pakar-awam-ulasan-interpretatif-atas-matinya-kepakaran-oleh-tom-nichols-bagian-satu?page=all.    [Accessed 12 April 2020].
0 notes
ilhamf08 · 5 years ago
Text
Egosentris
Tumblr media
“Mereka baru menyadari, bahwa dirinya hanyalah potongan tanya utusan Penyair yang Agung. Yang saling mencari penjelasan, saling mengartikan maknanya sendiri. Kemudian tetap menjadi tanya, tetap mencari dan menemukan. Untuk yang ketakutan dan bersembunyi. Untuk yang dibedakan dan diasingkan.
Tegak dan hiduplah.”
Beberapa waktu lalu, saya baru saja selesai membaca sebuah buku bertajuk "Egosentris" karya Syahid Muhammad. Sebelum membaca dan mencari tahu lebih jauh, saya kira buku tersebut sebatas kisah-kisah teenlit yang isinya tentang romansa (kebucinan) remaja tanggung yang kadang-kadang bikin risih atau "apaan sih!?"
Namun setelah melihat review dan beberapa apresiasi positif, kebimbangan yang sebelumnya mengganjal berhasil disudahi, mantap menjemput salah satunya pulang dan melahap tiap halamannya sampai tuntas. Rasanya tidak sia-sia membaca dan melebur ke dalam bait kalimatnya sampai akhir. Keelokan Egosentris membuat saya tidak ragu menjajal karya lanjutannya, Paradigma.
Egosentris dan Paradigma kiranya berhasil menampar dan merangsang pembacanya untuk tidak berhenti membalik halaman. Mental Issue yang seringkali disepelekan, berhasil penulis angkat lewat kemasan fiksi populer yang disukai dan mendapat antusiasme tinggi dari khalayak. Menjadikannya salah satu oase yang sejuk dan menyehatkan untuk bisa melihat dan mempertanyakan kembali sisi-sisi yang menjadikan kita seorang manusia. Keduanya cukup berhasil menyadarkan kita terhadap realita kehidupan di sekitar. 
Lewat diksi-diksi yang elok sekaligus tinggi dan dialog-dialog tokoh yang membumi, kiranya berhasil menertawakan perilaku-perilaku yang kita lakukan sebagai manusia, menampar perilaku kita yang ternyata bikin geleng-geleng kepala. Mengantarkan sekaligus menyadarkan kita terhadap ketakutan-ketakutan yang terasing, terhadap hal-hal yang sering dianggap kecil dan remeh (padahal tidak), juga terhadap suara-suara parau kehidupan yang sering rendah dan tak dianggap.  
Mengkritisi beberapa hal yang kita, sadar pun tak sadar, sering lakukan dan temui di kehidupan sehari-hari. Tentang orang-orang yang tidak bisa lepas dari gawai, tentang orang-orang yang lebih mementingkan tanda hati atau tanda jempol di media sosial, orang-orang yang mementingkan apa yang orang lain pikirkan tentang mereka. Orang-orang yang lupa memberi makan jiwa-jiwa baik dalam dirinya sampai jiwa tersebut terkuras oleh pikiran-pikiran negatif dan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin tidak akan pernah terjadi [1]. 
Orang-orang seperti itu, pasti ada di sekitar kita. Di sekitar saya, maupun anda. Orang-orang itu bisa jadi kita sendiri, yang penulis berusaha sadarkan dan tumbuhkan kepekaan terhadapnya di tengah jalan kehidupan yang melanggengkan dan melulu tentang egosentrisme diri.
Sampul depan berwarna pekat bergambar galaksi, disiratkan sebagai pemaknaan filosofis representasi egosentrisme kita yang seakan selalu ingin menjadi pusat semesta. Kita yang selalu merasa benar sendiri, kita yang minim berempati, kita yang mendengar untuk menjawab, kita yang terbiasa merasa lebih, ataupun kita yang selalu merasa paling tahu. Tanpa disadari, representasi itu adalah kita, ketika membiarkan egosentrisme menang dan menguasai.
Seringkali kita terlalu takut untuk mengakui. Mengakui bahwa kita bisa saja berbuat salah, atau mengakui bahwa kita mungkin memang kalah. Ego kita sering mengawang untuk mengakui kesalahan dan kekalahan, seakan membumi adalah ulah usil gravitasi kepada benda-benda yang melayang. Di beberapa waktu, kita bahkan sering mengecilkan agar bisa terlihat besar. Kita sering menjatuhkan agar bisa terlihat tinggi. Kita gemar melemahkan dan mendiskriminasi, agar terlihat kuat dan mendominasi.
Karena memandang almamater kita keren dan prestisius, kita merasa superior dan memandang rendah orang-orang yang dianggap tidak setara dengan level institusi kita. Karena bekerja dalam sekat kubikel nyaman di ruangan berpendingin lantai lima, kita tebal-tebal membangun sekat dan menertawakan nasib buruh-buruh sosial di bawah sana yang dibakar matahari kota. Karena kerja berdasi dengan cuan tinggi, kita merasa lebih tinggi dari pekerja-pekerja kasar dengan gaji tidak seberapa. 
Padahal sebagaimana smartphone yang belum tentu dimiliki oleh smartuser, almamater yang tinggi dan prestisius bukan jaminan terhadap tinggi serta bijaknya attitude dan nalar seseorang. Tempat kerja yang lebih luas dan nyaman, bukan jaminan besar kebermanfaatan yang bisa dibagikan kepada orang-orang. Pun seragam rapi dan gaji yang besar, bukan jaminan keberkahan dan diperlukan orang-orang di sekitar.
Egosentrisme dan perubahan zaman juga menggeser pemaknaan orang-orang akan validasi. Validasi, pada dasarnya memang merupakan kebutuhan yang mutlak diperlukan manusia. Denyut kehidupan yang kompleks, peradaban yang tinggi, maupun teknologi dan digitalisasi yang memudahkan sejatinya merupakan buah keberhasilan manusia memvalidasi dan mengapresiasi sesuatu satu sama lain. 
Digitalisasi di semua bidang kehidupan mengantarkan banyak hal baik dan positif yang tidak terhitung. Namun layaknya hal apapun, dibalik sisi positif pasti terdapat sisi negatif. Banyak orang, mungkin termasuk kita malah kalah dan terjebak oleh ilusi yang diciptakan teknologi, oleh sesuatu yang dibuat tangan sendiri. Menjadi user yang dikendalikan, bukan mengendalikan.  
Sebagai sifat dan motivasi yang barangkali sudah ternanam di setiap helix dna, keinginan mendapat pengakuan dan diperhatikan merupakan perspektif yang menjadi kebutuhan dan sifat yang membuat seorang manusia menjadi manusia. Semenjak sosial media menjadi kebutuhan primer, semenjak itu juga terjadi ‘pergeseran’ makna kebutuhan manusia akan validasi dan ingin diperhatikan menjadi lebih tinggi.
Hari ini, apa-apa menjadi perlu untuk dipamerkan, diunggah, maupun dibagikan. Apakah itu menjadi sebuah kekeliruan? Bisa ya, bisa juga tidak. Saya yakin, setiap kita memiliki hati yang sehat untuk menimbang dan mengukur apa-apa yang kita lakukan. Kita tidak bisa memeriksa niat orang-orang, namun kita bisa memeriksa dan menimbang niat sendiri. Kita tidak bisa mempertanyakan maksud dan tujuan orang-orang, tapi kita bisa mempertanyakan kembali maksud dan tujuan kita sendiri.
Tanpa perlu menghakimi, tiap kita pasti memiliki jawabannya sendiri-sendiri. Berbahagialah mereka, yang mendasari apa-apa yang dilakukan dengan dan agar terwujudnya kebaikan-kebaikan.
..
Bersamaan dengan gengsi, sombong dan angkuh adalah penyakit ego manusia yang takkan pernah lekang dimakan zaman. Karena kita sering memosisikan ego kita menjadi pusat, lupa orang lain pun sama-sama manusia, sama-sama punya ego layaknya kita. Seakan-akan yang perlu kebahagiaannya dipenuhi hanya kita sendiri. Menyinggung keangkuhan dan kebahagiaan, mengingatkan saya pada Mitos Sisyphus yang dikisahkan Albert Camus. [2]
Karena terlalu banyak memberi makan egoismenya sehingga memuncak rasa sombong dan angkuhnya terhadap para dewa, Sisyphus dihukum tanpa ampun: mendorong sebuah batu karang ke puncak gunung, dan setelah tiba di puncak, batu itu kembali turun ke bawah. Begitu seterusnya, dan Sisyphus kembali mengulang lagi sedikit demi sedikit mendorong batu karangnya. 
Sekilas, semua orang mungkin setuju tidak ada hukuman yang lebih mengerikan daripada suatu usaha yang sia-sia dan tanpa harapan, seperti yang dilakukan Sisyphus. Namun Camus menutup kisah Sisyphus dengan senyum yang barangkali sedikit angkuh. “Perjuangan menuju ke puncak itu sendiri,” tulisnya, “sudah cukup mengisi hati manusia; orang harus membayangkan Sisyphus bahagia”. Kita mungkin mengernyitkan dahi memandang senyum seperti itu: bahagia untuk apa?
Dari sudut kegunaan, memang nihil alasan untuk berbahagia. Namun barangkali itulah yang hendak dikatakan oleh Camus. Dalam hidup ini, ada sesuatu yang lebih berarti daripada sekadar kegunaan atau kesuksesan, ada jalan yang lebih bijak dalam melihat setiap kesalahan atau ketidakberhasilan.
Di tengah masyarakat yang mengagung-agungkan kegunaan dan kesuksesan, menghalalkan segala cara untuk menggapai kemenangan, bahkan enggan mengakui kekalahan dan kesalahan serta apa saja yang pahit, agaknya kita perlu menengok Sisyphus yang sedang mendorong batu karangnya. Dan kita bisa percaya pada anggapan Camus tentang Sisyphus: ia bahagia, dengan segala kesulitan hidup yang dialaminya. 
Ia akhirnya bisa dengan lapang menundukkan api ego yang awalnya membara, menjadi lebih membumi dengan segala kesederhanaan hidup dan perspektif yang lebih positif dalam usahanya ‘menggapai mimpi’.
Karena siapa yang tahu? “Besok mungkin kita sampai,” kata Hindia.
Bandung, 230220
1 note · View note
ilhamf08 · 5 years ago
Text
Menjadi Dewasa
Tumblr media
Tua itu pasti, dewasa itu pilihan.
Dewasa, menurut makna di KBBI adalah ketika seseorang telah akil balig (bukan kanak-kanak atau remaja lagi). Menurut hukum di Indonesia, dewasa adalah ketika seseorang menginjak usia 17 tahun dan terdaftar di KTP sebagai warga negara yang sah. 
Dalam konteks yang lebih menyeluruh, dewasa adalah ketika seseorang menginjak usia tertentu kemudian bisa memilah mana yang baik dan buruk mengenai sesuatu secara benar, dibarengi dengan kesiapan menghadapi tanggung jawab yang bertambah dan sikap yang tidak lagi kanak-kanak.
Salah satu parameter kedewasaan secara menyeluruh adalah kematangan nalar dan emosional, yang dapat diuji dan terlihat lewat respon seseorang ketika tidak mendapat hal yang diinginkan, dihadapkan pada kondisi sulit yang menuntut pengorbanan, dituntut bertanggung jawab terhadap hal yang telah dilakukan, diberi waktu untuk mengatur kebebasan, sampai diberi situasi dalam menyikapi perbedaan-perbedaan.
Persepsi bahwa usia yang dewasa melahirkan sikap yang dewasa pula, atau persepsi bahwa tumbuh dan berkembangnya kedewasaan seiring dengan bertambahnya nilai seseorang, bagi saya adalah kekeliruan. Tidak ada jaminan bahwa pola pikir paruh baya lebih bijak dari anak SMA, pun sebaliknya. Bagi saya, kedewasaan pada hakikatnya adalah sebuah proses. Kedewasaan layaknya asimtot tegak dan manusia layaknya kurva, hubungan antara keduanya tidak pernah menyinggung maupun saling memotong, hanya semakin mendekat satu sama lain. 
Seseorang hanya dapat mendekat dan semakin dekat dengan pendewasaan diri, namun tidak pernah ada yang menggapai sepenuhnya. Karena pendewasaan diri, pada hakikatnya adalah proses pembelajaran tanpa akhir.
..
Berbicara perbedaan, saya ingin bercerita sedikit. Sebagai mahasiswa di universitas islam, saya menemukan banyak hal mengenai perbedaan yang mungkin sedikit berbeda dengan rekan-rekan saya di universitas lain, karena ruang lingkupnya lebih spesifik mengenai Islam.
Disini, saya memeroleh fakta bahwa pengidentifikasian ‘arah’ keislaman seseorang jelas tidak bisa ditentukan lewat dikotomi apakah ia NU atau Muhammadiyah, seperti yang terkadang ditemukan di masyarakat (Jelas salah satu common sense di masyarakat yang harus diluruskan, bagi saya). Namun lebih jauh dari itu, disini saya menemukan dan menyadari dengan benar keberagaman 'warna' ber-islam. Dari kerangka berpikir islam yang progresif, modern, konservatif, moderat, dan sebagainya. Dari madzhab yang berbeda-beda, harokah yang beragam, perbedaan fikih maupun pemikiran yang terbentang panjang, bahkan kecendrungan politik dan afiliasinya, semua saya temukan disini.
Lantas, apa karena demikian kita harus dengan keras menyeragamkan pemahaman agar semua ber-islam dengan pemahaman yang sama dan menutup ruang perbedaan? Tentu tidak, apalagi jika ternyata hal-hal yang berbeda tersebut sama-sama berdasar dan dibolehkan syariat. Diversitas perbedaan seperti yang ditemukan di kampus, justru menjadi tempat terbaik bagi kita untuk mempraktekan apa yang disebut toleransi. 
Suatu hal yang sering digembar-gemborkan, namun terkadang minim ketika dituntut pelaksanaan. Suatu hal yang terkadang malah lebih halus dan lebih mudah dilakukan ke non muslim dibanding ke saudara muslimnya sendiri.
Keributan tentang qunut atau tidak, telunjuk yang bergerak atau diam ketika tahiyat, celana yang cingkrang atau tidak, and so on yang tidak habis-habis. Bagi saya hanya jadi sebuah kegiatan kontraproduktif dan tidak membawa kemaslahatan apapun, ketika pihak yang argumennya bersebrangan sejak awal hanya saling berniat untuk ‘baku hantam’ dan menghancurkan.
Bagaimana jika tujuannya memang untuk meluruskan, membantah, atau mengkritisi hal yang salah?
Maksud saya, ditengah terbukanya ruang untuk berdialog dengan santun dan penuh adab, berdiskusi, dan beradu argumen secara ilmiah dan sehat di zaman seperti saat ini, mengapa seringkali malah lebih membudaya sikap represif, debat kusir, & adu makian lewat akun-akun dengan identitas yang dipalsukan yang justru dikedepankan? 
Ditengah tantangan zaman yang kian berat dan memberatkan seluruh muslim di seantero dunia, apakah perlu terus menerus mempermasalahkan masalah furu' (cabang) yang berakhir pecah belah ketika urgensi nyata umat islam saat ini dan hari nanti adalah kuatnya ukhuwah? Sebuah pertanyaan yang layak direnungkan dalam-dalam oleh setiap muslim. Sebuah pertanyaan yang menguji taraf kedewasaan setiap muslim.
..
Kembali ke pendewasaan diri.
Barangkali, indikator kedewasaan termasuk juga sesederhana usaha untuk mampu mengikhlaskan yang telah usai dengan lapang. Sesederhana upaya mengenyahkan apapun tentang keangkuhan dan ke-akuan seseorang. Sesederhana terbiasa mendaku salah dan mengakui kesalahan ke diri sendiri. Sesederhana membiasakan diri mengucap “maaf”,”tolong”, dan “terima kasih” untuk setiap hal apapun, kepada siapapun. Bahkan untuk hal-hal kecil.
Bagi saya, menjadi dewasa juga juga adalah tentang keikhlasan menerima diri sendiri dengan seluruh kekurangan, termasuk menerima kenyataan bahwa mungkin kita tidak menjadi apa-apa di masa depan. 
Belajar menerima bahwa di hari-hari nanti, kita mungkin tidak pernah menjadi ceo perusahaan multinasional dan hanya menjadi pegawai rendahan, kita mungkin tidak memiliki followers sebanyak selebgram yang mencapai ribuan bahkan jutaan, kita mungkin tidak pernah memenuhi  parameter keelokan yang dibentuk iklan-iklan kosmetika dan kecantikan, sampai menerima kenyataan bahwa kita mungkin hanya hitungan jari memiliki orang yang benar-benar peduli, ketika orang lain tidak terhitung jumlah yang membersamai.
Di kehidupan yang alur cerita dan plotnya tak bisa dikendalikan, bersiap terhadap segala kemungkinan terburuk yang diberikan hidup menjadi kunci menjalani hidup dengan tenang, sekaligus menjadi manifestasi kedewasaan seseorang.
Akhir kata, menjadi dewasa adalah sebuah hal yang sukar, pastinya. Meninggalkan kenyamanan kanak-kanak dan remaja bukan hal yang mudah. Namun jika kita meyakini hidup adalah perubahan, dan perubahan adalah ciri kehidupan, maka miliki dan pegang teguhlah komitmen untuk menjemput pendewasaan diri. [1]
Selamat berjuang menjadi dewasa, untuk kehidupan yang lebih baik di esok masa.
Bandung, 060120
0 notes
ilhamf08 · 6 years ago
Text
Membuku: Urgensi Literasi dan Pembangunan Manusia
Tumblr media
خَيْرُ جَلِيْسٍ فيِ الزَّمَانِ كِتَابٌ
“Sebaik-baik teman duduk pada setiap waktu adalah buku.”
Membaca, dalam salah satu definisinya adalah sebuah keterampilan dalam upaya peningkatan kognitif otak untuk memperluas daya pikir dan keluwesan intelektual. Bersamaan dengan istilah diatas, kita mendapati juga istilah “literasi” yang sering dimaknai sama dengan kata membaca. Padahal secara definisi, literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.[1] Definisi literasi memang tidak terbatas hanya pada kegiatan membaca, seperti yang diucapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy.[2] Namun melalui membaca, seseorang akan memiliki perspektif baru. Kemudian, ia akan mampu membuat karya pada bidang yang ditekuninya. Proses itu terjadi terus-menerus sepanjang hayat. Maka membaca, adalah main point dan kunci dari literasi.
Di era digital layaknya saat ini, kegiatan literasi memang tidak hanya terpaku pada membaca sebuah literatur fisik, melainkan dapat dilakukan pula dalam berbagai model digital seiring makin berkembangnya piranti teknologi. Sebuah kemudahan yang secara teori seharusnya makin membuat buku dan baca semakin membumi. Namun sayang, di banyak belahan bumi malah menunjukkan fakta sebaliknya. Termasuk di negeri kita, Indonesia.
Indonesia, negeri yang tidak pernah kurang elok dan kaya tanahnya, dalam data statistik menduduki peringkat ke-4 jumlah penduduk terbanyak di dunia. Sebuah negara besar dengan sumber daya yang luar biasa banyak dan potensial, ditambah adanya bonus demografi yang mencapai puncaknya pada momentum emas Indonesia pada 2045. Namun nyatanya, menurut data Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2015, Indonesia berada pada ranking 62 dari 70 negara yang disurvei. Menurut survei lain yang dilakukan oleh CCSU pada 2016, Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei. Hanya unggul dari Botswana. Pemeringkatan perilaku literasi ini dibuat berdasar lima indikator kesehatan literasi negara, yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer.[3]
Dengan gamblang, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia kurang mempunyai minat literasi dan baca yang baik. Padahal kita tahu, kita tidak akan mendapati orang hebat namun malas membaca. Kita tidak akan mendapati bangsa besar namun terbelakang taraf intelektualnya. Dan kita tidak akan menemukan negara yang maju, sejahtera, dan adidaya namun rendah daya literasi warga negaranya.
Sebuah ironi memang, ketika jumlah warga negara tidak berbanding lurus dengan kualitas warganya. Perbaikan dan penuntasan permasalahan SDM adalah hal kompleks memang dimana hal yang satu dan lainnya saling terkait satu sama lain, tidak saling berdiri sendiri masing-masing. Dan salah satu hal krusial saat ini adalah, bagaimana dengan hidupnya kembali literasi dapat menjadi jembatan bagi meningkatnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Karena taraf literasi yang baik menghasilkan output SDM yang lebih kompeten dan berkualitas, maka Sustainable Solution negeri ini salah satunya adalah peningkatan literasi, dalam semua bentuk dan definisinya.
Di negara-negara maju, Jerman misalnya. Banyak dari rakyatnya lebih risau ketika kesulitan menemukan bahan bacaan dan tempat nyaman untuk membaca. Kultur dan kebiasaan tersebut tidak hanya berlaku bagi kelompok usia dewasa, namun sejak usia kanak-kanak. Dunia anak Jerman sangat jauh dari agenda menonton televisi atau bermain handphone berjam-jam. Jika tidak sibuk membaca atau bermain dalam rumah, ketika cuaca bagus pasti lebih memilih permainan-permainan outdoor. Sedang orang-orang dewasa baik ketika pergi liburan atau dalam perjalanan di tram, sbahn atau kereta hampir 80% membawa buku dan membacanya. Animo masyarakat Jerman terhadap buku cukup tinggi. Setidaknya sekali dalam sepekan mayoritas (lebih dari separuh) masyarakat Jerman membaca buku. [4]
Terdengar berlebihan memang bagi kita yang hidup di negara dimana kegemaran membaca bisa jadi hanya kebiasaan segelintir orang, dimana mode dan gaya sering lebih utama dibanding ilmu dan isi kepala, dimana nongkrong di kafe atau hang out ke mall lebih up to date, dimana 'kutu buku' seringkali jadi julukan yang konotasinya kurang mengenakkan. Sayang, realitanya memang demikian dan mereka lebih maju hampir dalam penguasaan segala bidang, mulai dari ilmu pengetahuan sampai taraf kesejahteraan. Etos kerja yang baik tidak pernah mengkhianati dengan memberi hasil terbalik.
Sekilas, seakan terlalu naif memang jika berbicara perubahan besar lewat langkah-langkah kecil. Seperti dengan membiasakan melahap beberapa lembar buku setiap hari, misalnya. Atau rutin menyisihkan sebagian kecil uang yang biasanya digunakan untuk nongkrong dan ngafe untuk rutin membeli buku. Namun, bukankah gedung-gedung kokoh sebelum dibangun adalah susunan dari batu bata kecil? Dan pengenalan serta pemupukan budaya literasi sedari dini, bisa jadi adalah salah satu keping puzzle kunci dalam pemberesan masalah-masalah saat ini.
Pembenahan sistem pendidikan yang saat ini sedang cukup gencar dalam upayanya untuk meningkatkan taraf literasi ke level yang lebih tinggi dengan berbagai cara layak mendapat banyak apresiasi. Namun, jika kondisi ini dibandingkan dengan kondisi di banyak negara lain, dengan sesal saya katakan bahwa: Kita masih tertinggal jauh. Sudah seharusnya memang, pembenahan menuju kualitas intelektual manusia yang lebih baik dilakukan sejak generasi dini, karena merekalah kelak yang akan mengemban tongkat estafet kehidupan di masa depan. Sebab sekali lagi: Kita tidak akan mendapati orang hebat namun malas membaca. Kita tidak akan mendapati bangsa besar namun terbelakang taraf intelektualnya. Dan, kita tidak akan menemukan negara yang maju, sejahtera, dan adidaya namun rendah daya literasi warga negaranya. Mudahnya penyebaran hoaks, malas melakukan klarifikasi & mudah melakukan oversimplifikasi, serta gampangnya terbakar emosi karena penggiringan opini mungkin adalah salah satu dampak & masalah yang timbul dari rendahnya taraf literasi. Yang secara vis-a-vis berarti rendahnya taraf intelektual.
Idealnya, siapapun orangnya, apapun latar belakang, profesi, pendidikan, bahkan mungkin usia. Semestinya tetap memiliki candu dan terpacu untuk terus membaca, sebagaimana candu seorang manusia dalam menuntut ilmu seumur hidupnya. Karena dalam kehidupan, kita mungkin secara simultan memiliki banyak peran. Misal sebagai seorang insinyur dalam keseharian, seorang dokter bagi keluarganya, guru serba bisa bagi anak-anaknya, hingga mungkin filosof dadakan ketika berdiskusi bersama rekan. Saya percaya, semakin banyak ilmu yang dimiliki, semakin bisa bermanfaat kita bagi banyak orang. Layaknya yang tertera dalam sebuah hikmah: “Tidak akan pernah rugi, orang-orang yang memiliki banyak ilmu. Dan tidak akan pernah sia-sia, orang-orang yang menjadikan buku sebaik-baik teman duduknya.”
Dengan menulis ini, saya hanya mencoba memantik kembali lautan pengetahuan dan mencoba memberi sumbangsih kecil bagi peradaban. Mencoba untuk membuka jalan untuk selalu memupuk hasrat bertanya, dan rasa penasaran terhadap hal apapun. Sebagai pengenal dan pengingat bagi diri sendiri, serta untuk mengenalkan kembali pada khalayak harta karun yang berserakan dan menunggu untuk digali kembali. Literasi.
Bandung, 210919
0 notes
ilhamf08 · 6 years ago
Text
Krisis Umat Muslim Dalam Menghadapi Tantangan Zaman
Tumblr media
*Disalin sepenuhnya -karena kesamaan perspektif dan pandangan- dari hasil pemikiran Muhammad Ridlo Aulia. ​ .. Pertama-tama, izinkan saya secara bangga menyatakan bahwa saya seorang muslim dan teramat merindukan serta memimpikan apa yang disebut sebagai masa keemasan islam. Bukan hanya tatanan masyarakat yang ​disesuaikan dengan apa yang seharusnya dilakukan sebagai para penghamba (‘abid) atas tuhannya, namun juga suatu masa yang mampu membuat islam bersinar karena kontribusinya terhadap peradaban baik dari segi ilmu pengetahuan maupun gaya hidupnya. Selanjutnya, melalui artikel ini anda akan membaca tulisan yang sangat subjektif yang salah satunya mungkin saya representasikan dari keberpihakan saya terhadap posisi-posisi tertentu yang sedikitnya memiliki sentiment tinggi di beberapa kalangan apabila dibicarakan di khalayak umum. Pembaca yang terhormat, izinkan saya mencurahkan betapa tragisnya kondisi umat islam saat ini. Saya menjadi saksi atas keringnya pemahaman islam di kalangan muda serta semangat untuk hidup sesuai dengan sesuatu yang sudah seharusnya menjadi pedoman dalam hidup. Saya hidup, tumbuh, dan dikelilingi oleh banyak orang beridentitas islam, namun kiranya masih segan untuk hanya sekadar menunaikan ibadah shalat di masjid, duduk untuk mendengarkan ceramah, dan berbincang untuk saling menasihati dalam beribadah. Tanpa perlu berpanjang lebar mendefinisikan seperti apa gaya hidup pemuda yang berstatus muslim saat ini, saya berasumsi anda bisa melihat seperti apa keadaan mereka. Pun saya, bukan orang yang sudah mampu secara sempurna melaksanakan seluruh perintah-Nya. Namun kiranya anda mengizikan saya untuk menulis suatu gagasan yang merupakan semangat untuk bersama-sama menjadi lebih baik. Saya mengutip dari buku Filsafat Umum karangan Ahmad Tafsir yang secara garis besar membicarakan tentang bagaimana akal/rasionalitas dan hati/iman saling bergantian satu sama lain dalam menjadi penentu suatu peradaban. Kita sama–sama mengetahui, dahulu Yunani kuno berjaya atas akal nya sampai kemudian lahirnya kaum sofis yang membawa akal justru menjadi suatu kehancuran. Kemudian munculah hati/iman dibawah Plotinus dan Agustinus sebagai penanding atas akal, berjaya, namun justru membawa Eropa masuk kedalam abad kegalapan (The Dark Age), mundur atas ilmu pengetahuan. Lalu akal kembali bangkit dibawah tangan para pemikir positivis, salah satunya Auguste Comte. Pertanyaan yang muncul adalah, berkaitan dengan saat ini, siapakah yang berjaya? Akal? ataukah hati? Jika anda bertanya pada saya, saya akan menjawab akal. Membicarakan mitos atau berdebat dengan ayat suci akan ditertawakan saat ini. Berkembangnya filsafat barat mengenai nilai-nilai liberalisme, equality dll yang sarat akan pemuasan rasio manusia jauh lebih mudah diterima ketimbang aturan-aturan klerik atau ‘suci’ yang bersumber dari tuhan. Dan inilah fakta yang kita hadapi. Saya, melihat betul bagaimana orang memilih suatu nilai atau paham atas dasar alasan logis dan rasional. Saya pun tak mempermasalahkan jika saat ini adalah ronde akal untuk berkuasa, yo wis. Namun pertanyaannya, bagaimana islam bisa tetap ada, berjaya, sementara rasionalitas serta akal manusia yang rapuh kadang menyerempet dan justru menantang beberapa bagian dari syariat? Lahirnya partai-partai baru di Indonesia dengan nafas yang lebih berani untuk menunjukan rasionalitasnya sampai bahkan menyentuh masalah syariat, sebut saja PSI dengan aturan ‘Larangan Berpoligami’, menjadi salah satu fenomena yang dapat kita refleksikan bahwa akal luar biasa hebatnya sehingga mampu muncul kepermukaan dan menjadi masalah serius bagi seorang muslim yang seharusnya berpegang teguh atas syariat. Sedangkan kita tidak mampu berbuat banyak dengan fenomena tersebut. Kita berusaha menentang hal tersebut dengan alasan-alasan syar’i menggunakan ayat, hadist, serta fatwa ulama, masalahnya, sedikit akhirnya yang berpihak pada kita. Siapa yang menang? Mereka. Siapa yang salah? Kita, umat muslim.  Alasan singkatnya mengapa mereka menang dan kita salah adalah karena, kita berada pada masa akal (sebagaimana disebutkan diatas), sementara kita tidak melawan mereka dengan apa yang dapat memenangkan kita di masa ini, akal pula. Umat islam saat ini nampaknya belum bisa menjawab tantangan zaman untuk melawan akal dengan akal. Kita masih disibukan dengan narasi ‘iman’ yang tampaknya tidak bisa kita bawa dalam ringpertarungan dengan akal. Dengan tegas, sekaligus pemantik diskusi, saya ingin mengatakan Umat islam sedang krisis akan tokoh yang dapat mengartikulasikan cahaya islam ke dalam argumen yang rasional sehingga dapat mengalahkan musuh rasional. Ini sangat penting, karena sebagaimana disebutkan diatas, syarat untuk menang di masa ini adalah bagaimana kita bisa membangun argumen yang dapat memuaskan akal, sehingga dapat diterima. Contoh lain yang menjadi bukti krisis tersebut adalah fenomena yang akhir-akhir ini terjadi dimana saat Tengku Zulkarnain, seorang tokoh islam, berdiri sebagai kontra atas RUU-PKS, berpendapat dengan alasan yang menurut saya sangat tidak memuaskan akal. Dampaknya luar biasa, justru islam semakin dicaci, dianggap tidak manusiawi, serta penuh akan nafsu. Padahal yang beliau perjuangankan adalah kemurnian syariat islam. Tapi dimasa akal ini, modal penjelasan ‘Yasudahlah, kita terima syariat hanya dengan hati saja.’ Tampaknya sudah tidak relevan dan semakin lama akan ditinggalkan, digantikan oleh argumen-argumen akal yang jauh lebih lezat. Melalui tulisan ini, saya berusaha menyadarkan umat islam, terutama generasi muda, untuk sadar dimana kita bertarung, dan apa yang perlu kita siapkan untuk menghadapinya. Saya sadar sepenuhnya, bahwa tidak semua syariat dapat kita ‘rasionalkan’ karena memang begitu adanya dan tidak perlu penjelasan akaliah. Maka disini kita perlu pandai menganalisis hal apa saja dalam syariat yang tampaknya rentan ‘diserang’ oleh musuh dan perlu kita diskusikan bagaimana menjelaskan syariat tersebut dengan akal tanpa harus mengurangi kemurnian syariatnya. Terakhir, saya mengajak untuk generasi muda islam, mari kita bersama-sama kobarkan semangat untuk menjadi seorang muslim yang unggul selain di bidang keagamaan, namun juga dalam urusan dunia. Karena ini adalah masa akal, modal rajin ngaji dan jago bahasa arab saja sepertinya tidak cukup untuk memperlihatkan cahaya islam. Jadilah pemuda yang pintar, kreatif, disiplin, aktif berbicara, rajin dan ulet, sehingga orang-orang kagum pada islam dan mempermudahkan kita dalam berdakwah. Jadilah muslim yang ramah, jujur, penolong, berbicara dengan penuh kelembutan, serta bersikaplah dengan mulia.  Akhlak kita lah yang akhirnya menentukan wajah islam. Karena sesungguhnya, umat islam itu sendiri yang membuat islam menjadi terlihat buruk, Al-Islamu mahjubu bi l muslimin. Terimakasih sudah membaca sampai akhir. Kalian pembaca yang baik. Kolom dibawah selalu tersedia bagi siapa saja yang ingin berdiskusi dan berdialektika. Kritik yang membangun sangat diharapkan agar kualitas serta substansi dari tulisan ini lebih baik kedepannya. ​ .. Note: Jika anda muslim yang pro terhadap antipoligami, pro liberalisme dalam arti khusus, equality dalam arti khusus, RUU-PKS pada poin tertentu, dan bertentangan dengan segala perspektif yang saya tuliskan di artikel ini, tak mengapa, tak masalah pula untuk saya. Selama pembenaran yang anda gunakan menggunakan akal rasio, saya ingin mengatakan bahwa anda adalah salah satu bukti menangnya argumen yang sarat akan pemuasan logika di masa akal ini. ​ writer, ridloaulia.
1 note · View note
ilhamf08 · 6 years ago
Text
Putih dan Abu
Tumblr media
Balon-balon hitam dan putih dilepaskan menuju angkasa oleh ratusan orang manusia, yang tak lupa, diiring raut-raut wajah gembira dan hati penuh suka cita.
Di tiap pucuk bundarnya, tertempel beberapa kata tentang asa, cita, dan cinta para pujangganya. Sebagai pesan tertulis terakhir, katanya. Sebelum benar-benar meninggalkan tempat yang selama tiga tahun ini, menjadi rumah kedua yang selalu hangat oleh cinta orang-orang didalamnya.
...
Hari itu menyebalkan bukan main. Angka 30 besar-besar di ulangan harian, tumpukan tugas dengan deadline besok menunggu diselesaikan, bersitegang dengan teman, dan sebuah kelas yang jauh belum saling mengerti dan belum sepemahaman. Benar-benar menyebalkan.
Hal menyebalkan lain datang silih berganti setiap harinya, sering sekali kadarnya lebih dominan dari hal baik dan menyenangkan yang ada. Kebanyakan datang dari ego, benci, ambisi, ketidaknyamanan, perbedaan, dan sikap-sifat jauh belum dewasa lain yang sering singgah pada fase remaja.
Ditambah para staf, siswa, pengajarnya dan setiap unsur yang menyempurnakan kekurangannya, sempurna sudah aku tidak menyukai tempat ini dan semua di dalamnya.
...
Tiga tahun lalu.
Guru konseling yang katanya berdasar hasil psikotes, dan orang tua yang tidak sempat mengajak bicara putranya karena super sibuk kesana kemari mengurus bisnisnya. Kompak memberi komando.
Waktu itu aku yang masih bocah dan belum berpikir apa-apa tentang masa depan, menurut saja tanpa perlawanan. Aku dimasukkan ke kelas sains, dan, tak butuh waktu lama, untuk menyadari bahwa langkahku keliru. Sebab sedari dulu, aku telah jatuh cinta pada manisnya kata-kata. Pada bait-bait syair para pujangga. Pada indah dan takjubnya sastra bertutur kata. Bukan pada fisika dan rumus-rumus rumitnya, atau kimia dan zat-zat radioaktifnya.
...
Lama-lama, aku menjadi benci dan semakin sebal dengan tempat ini dan semua hal didalamnya. Bukan sekali dua kali terpikirkan untuk pindah, bahkan kadang terbesit untuk sekaligus pindah tempat tinggal, agar semua hal yang menyebalkan ini bisa tersingkir sempurna.
Sering terpikir, sambil mendengus kesal. "Mana, yang katanya SMA itu salah satu masa paling menyenangkan dan bahagia? Yang ada masa paling buruk dan menyebalkan yang pernah ada."
Namun ternyata benar, pada akhirnya itu hanya menjadi salah satu umpatan paling bodoh, dan salah satu penyimpulan paling keliru yang pernah terpikirkan.
​...
Beruntung, ternyata kala itu sudah di penghujung semester dan hari ini ujian akhir beres dilaksanakan. Artinya, tinggal tunggu dua minggu lagi menuju libur panjang. Cukup panjang untuk menghilangkan sebagian benci dan ketidaknyamanan, juga untuk memikirkan tentang kepindahan dan menepi dari tempat ini.
Sebelum pulang ketika merapikan alat tulis dan lainnya, tepukan halus pada bahu dan sebuah sapaan terdengar. Suaranya tak asing.
  "Bro, beres ujian akhir ada acara?" ucapnya
 "Eh lu, kirain siapa. Nggak ada, tapi rencana minggu depan mau pergi ke rumah paman di Malang. Liburan lebih awal, sekalian ngobrol lagi rencana pindah ke sana, hehe."
  "Hmm yaa ngerti-ngerti. Tapi sambil nunggu minggu depan, ada acara rame nih, dijamin ga akan nyesel. Ikutan yuk!" ajaknya antusias, sambil memperlihatkan poster sebuah acara keagamaan yang akan dihelat organisasi keagamaan sekolah
Ketika sedang menimbang-nimbang dan mencari cara untuk menolak, ia kembali mengajak, dengan antusias yang lebih kuat dibanding ajakan pertama.
  "Udah ikut aja, itung-itung ini kalau lu ga rubah pikiran jadi good farewell sebelum pindah ke Malang. Syukur-syukur rubah pikiran, hehe."
Meskipun tadinya sangat malas, karena untuk apa juga ikut acara-acara keagamaan seperti itu. Pasti garing dan pasti bikin bosan setengah mati, ujarku dalam hati.
Tapi demi menghormati ajakan orang yang selama hampir satu tahun disini benar-benar menjadi sahabat karib, akhirnya aku ikut dan mendaftarkan diri. Toh, menurut keterangan pun lamanya hanya 4 hari, bukan berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
...
Ternyata benar!
Walalupun acaranya masih banyak kekurangan disana-sini. Meski baru setengah dari semua pelaksanaannya, ternyata acara ini benar-benar mengagumkan.
Kegiatan ini berhasil menjadi awal mengagumkan yang mengubah paradigmaku tentang agamaku sendiri, tentang Islam. Berhasil mencerahkan beberapa hal keliru yang sering aku lakukan, berhasil memicu keingintahuan baru untuk kembali belajar Islam beserta semua keagungan dan keindahannya.
Serta, ya, berhasil meyakinkanku untuk tetap di tempat ini. Membuatku menyadari bahwa sebagian induk masalahnya bersumber dari diri sendiri, dan menyadarkanku bahwa yang terpenting adalah selalu berdamai dengan dunia dan diri sendiri. Sebab seburuk apapun dunia, pilihan untuk selalu menjadi pihak yang baik akan selalu tetap ada.
Pula, disini kali pertama aku melihat wajah ceria itu, ia yang raut mukanya selalu berhasil membuat orang terhibur karenanya, terbawa aura kebahagiaan yang selalu dibawanya. Mungkin, orang lain akan berkata ia bukan yang paling 'cantik' dari semua wanita yang ada. Namun entah kenapa jantungku seringkali berdegup lebih cepat saat melihatnya walau dari kejauhan mata.
Mungkin, sebab ini pula orang berkata bahwa kecantikan itu relatif, sebab ia tercipta tanpa satuan pasti, dan tiap manusia mempunyai takaran berbeda untuk mengukurnya. Dan entah kenapa, hatiku tertaut kepadanya secara tiba-tiba, bahkan ketika kita belum pernah saling bertukar sapa. Untukku, seakan-akan kau lah yang paling memenuhi kriteria relatifnya.
...
Beberapa waktu berlalu, beberapa bulan terlewati.
Datang semester baru, sudut pandang baru, dan hati yang baru bersiap untuk menghadapi dunia dan segala retorikanya. Demi keputusan yang ku ambil hari itu, aku memutuskan untuk menghabiskan pendidikan menengahku di tempat ini, apapun rasanya kelak. Yang entah hari ini dan kedepan akan lebih menyenangkan, atau menjadi lebih buruk dan lebih menyebalkan.
Syukur, ternyata usai beberapa hari dan seterusnya, benar menjadi sebaliknya dari yang dibayangkan.
Seiring berjalannya waktu. Ego, ambisi, ingin menang sendiri, dan sikap-sifat kekanak kanakan lain yang sering menjadi sebab pertikaian lama kelamaan memudar, terganti oleh tumbuhnya kedewasaan. Tidak ada lagi yang namanya keras kepala, atau cekcok sebab berbeda cara. Rupanya benar, waktu menyembuhkan segalanya. Tempat ini, kelas ini, yang dulu pernah aku benci berangsur-angsur menjadi salah satu yang paling pantas kurindui.
Tidak butuh waktu lama, himpunan ini benar-benar menjadi satu keluarga, keluarga terbaik. Yang saling menjaga satu sama lain, yang saling menguatkan ketika ada satu yang jatuh, yang saling bahu membahu menghangatkan ketika ada satu darinya membeku karena sebuah kegagalan.
​Semoga selalu terjaga seperti ini, semoga. Sampai tutup usia.
...
Sejak awal semester baru, aku tertarik untuk mengikuti ekstrakurikuler lain. Keingintahuan yang kuat untuk mendapat ilmu dan pengalaman baru akhirnya menuntunku untuk mengikuti organisasi dimana aku belajar dan mendapat banyak hal tentang berharganya pengalaman, bersinarnya ilmu, dan kuatnya persaudaraan.
Oh, ya. Tentangmu,
Kau tahu? Entah kenapa sedari pertama melihatmu, aku selalu berharap dan merindukan bisa melihat senyum teduh dan raut bahagia itu lebih lama. Agar bisa mengecap perasaan manis itu lebih panjang. Pula, entah mengapa, semesta selalu mempunyai alasan dan cara untuk membuat dua orang manusia bertemu dan bercengkrama tanpa bisa diduga-duga.
Keputusanku untuk mengikuti organisasi yang kebetulan sama dengan yang kau ikuti. Secara tidak sengaja membuat kita sering bertemu, berbincang, dan mengenal lebih dekat. Entah dalam ruang-ruang rapat, diskusi-diskusi program kerja dan kegiatannya, atau diluar forum-forum yang ada. Baik lewat hangatnya dunia nyata, maupun di gempita dunia maya lewat sosial media.
Semenjak mengenalmu, ada lonjakan kuat untuk selalu lebih giat agar menjadi yang terbaik. Entah mungkin telah menjadi hobi baru, untuk selalu berbuat yang terbaik agar bisa membuatmu bangga dan terkesan pada setiap hal yang aku capai dan dapatkan.
Setiap berpapasan melihatmu di kejauhan. Sungguh, aku harus berusaha keras memalingkan pandangan atau pura-pura berkelakar dengan payahnya sembari terus memerhatikan jalan, atau terkadang menyerah dengan membalas sapaan riangmu oleh sedikit salah tingkah dan sebuah senyum tertahan.
Mendengar tawamu di ujung selasar, melihatmu dari deretan balkon atas lantai dua, atau melihat senyum riangmu setiap berpapasan. Membuat tiap saat hidupku lebih bahagia, lebih manis, dan lebih menyenangkan dari yang pernah aku bayangkan.
Ternyata, ini rasanya jatuh cinta? Manis, sangat. Aku rela jatuh berkali-kali untuk bisa terus merasakannya setiap kali.
...
Siapa yang tidak ingin, untuk saling bertukar cerita dan kata-kata manis di bangku taman. Mendengar cerita dan tawa bahagianya dibarengi hangat kopi dibawah konstelasi bintang. Atau berboncengan erat diatas motor tua bersamanya dalam derai rintik hujan?
Namun ternyata,
Semakin lama aku belajar, semakin aku tahu bahwa cara yang paling baik untuk membuktikan sebenar-benarnya cinta adalah dengan memuliakannya, menjaganya, dan mengagungkannya dengan teramat sangat.
Yang paling baik adalah dengan mencukupkan mendambamu dalam diam, mendoakanmu dalam tiap tengadah doa-doa, memohonkan hal-hal baik untukmu dalam keheningan langit malam. Dengan itu, tiap-tiap cinta yang ada pada tiap hangat hati manusia akan tetap menjadi salah satu hal paling agung dan mulia.
Setidaknya, sampai waktunya tiba dan mengikhlaskannya beranjak lebih lama, untuk menampakkan sendiri jawaban terbaiknya.
Puan, izinkan aku mendambamu dalam-dalam. Dalam degup-degup kerinduan. Dalam tenang, bersamamu.
1 note · View note
ilhamf08 · 6 years ago
Text
Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh
Tumblr media
Kesatria jatuh cinta pada Putri bungsu Dari kerajaan bidadari Sang Putri naik ke langit.Kesatria kebingungan Kesatria pintar naik kuda dan bermain pedang, Tapi tidak tau caranya terbang Kesatria keluar dari kastil untuk belajar terbang pada Kupu-Kupu, Tetapi kupu-kupu hanya bisa menempatkannya di pucuk pohon Kesatria lalu belajar pada Burung Gereja, Burung Gereja hanya mampu mengajarinya sampai ke atas menara Kesatria kemudian berguru pada Burung Elang, Burung Elang hanya mampu membawanya ke puncak gunung Tak ada unggas bersayap yang bisa terbang lebih tinggi lagi. Kesatria sedih, tapi tidak putus asa Kesatria memohon kepada Angin Angin mengajarinya berkeliling mengitari bumi , Lebih tinggi dari gunung dan awan Namun, sang Putri masih jauh di awang-awang. Dan tak ada angin yang mampu menusuk langit Kesatria sedih, Dan kali ini ia putus asa Sampai suatu malam, Ada bintang jatuh yang berhenti mendengar tangis lukanya Ia menawari Kesatria untuk mampu melesat secepat cahaya Melesat lebih cepat dari kilat, Dan setinggi sejuta langit, dijadikan satu Namun, Kalau Kesatria tak mampu mendarat tepat di Putrinya, Ia akan mati. Hancur dalam kecepatan yang membahayakan Menjadi serbuk yang membedaki langit Dan, tamat. Kesatria setuju Ia relakan seluruh kepercayaannya pada Bintang Jatuh, Menjadi sebuah nyawa Dan ia relakan nyawa itu Bergantung pada serpih detik yang mematikan Bintang Jatuh menggenggam tangannya, “Inilah perjalanan sebuah cinta sejati.” ia berbisik “Tutuplah matamu Kesatria! Katakan untuk berhenti ketika hatimu merasakan keberadaannya.” Melesatlah mereka berdua. Dingin yang tak terhingga, Serasa merobek hati Kesatria mungil Tapi, hangat jiwanya diterangi rasa cinta Dan ia merasakannya. “Berhenti!” Bintang Jatuh melongo ke bawah, Dan ia pun melihat sesosok Putri cantik yang kesepian Bersinar bagaikan gugus Orion Ditengah kelamnya galaksi Ia pun jatuh hati. Dilepaskannya genggaman itu, Sewujud nyawa yang terbentuk atas cinta dan percaya Kesatria melesat menuju kehancuran, Sementara sang Bintang mendarat turun untuk dapatkan sang Putri Kesatria yang malang. Sebagai balasannya, Di langit kutub dilukiskan Aurora Untuk mengenang kehalusan, Dan ketulusan hati Kesatria. (Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh)
0 notes
ilhamf08 · 6 years ago
Text
Renjana
Tumblr media
"Hati-hati nak, jaga diri."
Kalimat terakhir dari ibu, sebelum aku pamit pergi untuk melanjutkan studi ke kota orang.
Masih serasa mimpi, pemuda dari keluarga kecil sepertiku bisa datang mengecap pendidikan tinggi. Terlebih, di kota besar dan salah satu universitas terbaik negeri ini. Rupanya benar, tekad kuat selalu dapat mengalahkan semua ketidakmungkinan.
Ternyata, kota tidak semenakutkan seperti apa yang beberapa orang di desa bicarakan. Disini memang ada beberapa orang jahat. Tapi bukan hanya di kota, dimanapun mungkin selalu ada saja orang yang memang berniat jahat.
Namun jelas, yang baik jauh lebih banyak, bahkan beberapa adalah yang terbaik, termasuk dia.
​...
​        "Kenapa, kok kaya panik gitu ngubek-ngubek tas?" ucap suara di sebelah kananku
     "Oh, ini, apel ku kok ngga ada ya. Padahal udah beli kemarin, mana bentar lagi cek barang bawaan. Haduhh." jawabku tanpa melirik asal suara
Beberapa saat merogoh tas, baru ingat, ada di meja belajar, lupa belum dikemas ke dalam tas.
      "Haduhh, mati aku." gumamku dalam hati, sambil refleks menepuk jidat
      "Ini, ambil aja." ujar suara itu lagi,
Mungkin melihat gesturku, ia langsung tahu kalau ternyata aku lupa bawa.
     "Eh, engga apa apa nih?" ujarku sambil meliriknya
   "Engga, ambil aja, aku bawa dua soalnya." ucapnya tersenyum manis sambil memberi sebuah apel merah
     "Oh, makasih banyak ya. Kalau ga ada ini, waduh, kacau. Makasih." balasku lega sembari tertawa
     "Oh iya, nama kamu siapa? Dari fakultas mana?" tanyaku
     "Aku Arina, dari Psikologi. Kamu?"
     "Wahh bisa tebak pikiran nih. Aku Adhi, dari Teknik." ucapku sambil bercanda
Perkenalan itu berlanjut ke obrolan-obrolan tentang banyak hal, sambil diselingi tawa karena candaan menertawakan hal receh yang kukemukakan.
Dan berakhir ketika kakak-kakak tingkat panitia ospek, termasuk yang bagian galak-galak datang. Untuk membagi kami yang tadinya didudukkan di tengah lapang dalam himpunan besar, menjadi kelompok-kelompok kecil sesuai klasternya masing-masing.
Arina.
Jujur, selain cantik, ia juga cerdas dan berwawasan luas, juga gampang akrab. Ia mahasiswa pertama yang ku kenal setelah baru kemarin tiba di kota ini. Sebelum aku mengenal yang lainnya, ia juga yang pertama mengubah paradigmaku tentang orang-orang kota. Dan, hmm. Entahlah, ini benar-benar diluar kendaliku. Sejak hari itu mengenalnya, ada yang tumbuh dan menguat setiap harinya.
...
Kala itu, negeriku sedang cidera.
Kebebasan berekspresi dan berpendapat dibatasi, mahasiswa dan akademisi fokus duduk manis belajar saja, jangan banyak kritisi negara, katanya. Padahal ekonomi sedang jatuh-jatuhnya, rakyat tercekik karena pangan dan kebutuhan-kebutuhan tinggi harganya, banyak pribumi yang menjadi buruh tuan-tuan asing, pun mungkin berhalaman-halaman daftar kesulitan hidup lain.
Banyak rakyat yang merasa 'terjajah', padahal sedang di negeri sendiri.
Aku, yang awalnya sekadar hanya ingin mengejar IPK dan prestasi setinggi-tingginya, tergerak untuk ikut memperjuangkan. Dan lama-lama aku belajar, bukankah hal itu memang seharusnya ada di setiap jiwa-jiwa mahasiswa? Menjadi penyambung lidah rakyat pula menjadi akademisi-akademisi terbaik bangsa. Agar negara senantiasa berjalan baik dan sejahtera sebagaimana mestinya, agar estafet kepemimpinan selalu berpindah tangan ke generasi-generasi terbaik selanjutnya.
Aku kemudian aktif di gerakan-gerakan 'bawah tanah’. Tempatnya bertemu banyak orang hebat, tempat berdiskusi, melingkar rapat, atau berbagi pikiran mencari solusi atas masalah-masalah yang ada di negeri ini.
Sampai pada suatu saat, aku yang sedang mencatat hasil diskusi tadi, disapa suara yang tak asing.
     "Hai. Kamu aktivis juga ternyata. Gak nyangka. Hahaha" ucapnya sambil tertawa
     "Hah? Oh kirain siapa. Iya dong, hehe. Baru liat kamu disini, baru gabung?" balasku kepada Arina
    "Hmm.. biasanya aku emang bukan diskusi sama anak-anak sini, tapi katanya biar gampang konsolidasi, mulai sekarang himpunanku jadi dilebur jadi gabung sama anak-anak sini."
     "Oh, semoga betah ya disini. Haha" timpalku
Dengan satu organisasi, entah dalam lingkaran-lingkaran rapat, bertukar wawasan di selasar, atau mengobrol sejenak di sela-sela diskusi. Aku jadi sering bertegur sapa dan bercakap-cakap denganmu. Menjadikanku tahu, bahwa kau benar-benar wanita cerdas, kuat, pula mandiri. Walau dari keluarga berada, kau buang jauh-jauh kata 'manja'.
Kala itu, ternyata keadaan negeri tidak kunjung membaik. Tidak lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Bahkan, beberapa yang mencoba lantang bersuara ditangkap dan diamankan negara. Tak lama, muncul aksi protes dan demonstrasi dimana-mana.
Aku tak menampik, di situasi-situasi kalut seperti ini. Ada saja oknum-oknum yang memanfaatkan suasana dan emosi rakyat, atau ada saja yang melihat kesempatan untuk berbuat jahat. Syukur, tak berapa lama, penguasa yang telah puluhan tahun berkuasa, yang pernah membuat negeri ini ada di fase terbaik dan sekarang di fase terburuknya, mundur dan mengalah pada keinginan rakyatnya.
Pemimpin baru kemudian dipilih, hak-hak rakyat mulai pulih, dan negeri ini sedang mencoba berdiri kembali walau tertatih-tatih. Negeri ini telah berhasil kembali 'merdeka', tapi nampaknya hatiku belum mencapai kemenangan paripurna.
...
Entah mana yang paling kurindukan. Menjadi juara lomba-lomba mahasiswa, bertukar wawasan dengan banyak orang hebat di bangku-bangku diskusi, euforia lolos ke universitas terbaik negeri ini, atau terbangun dan khidmat meminjam namamu dalam tengadah shalat-shalat malam.
Ada renjana yang makin menguat tiap harinya. Pun jujur, ini jelas diluar kendaliku. Cinta terlalu agung untuk menjadi rekayasa. Tuhan menitipkannya langsung pada tiap-tiap hati hamba-Nya.
Di sudut pandanganku, seakan-akan aku tau persis apa yang engkau buat, aku selalu bisa mendengar tawa yang ceria, perangai yang menyenangkan, dan sikap dewasa itu meski dari seberang selasar lantai dua.
Tuhan selalu punya cara untuk membuat hati kita saling tertaut, meski tanpa pernah disengaja. Terlebih dalam senyapnya doa-doa.
"Aku seorang pengelana, kau adalah tempat berpulangnya. Sejauh apapun jarak menampik, rumah selalu jadi tempat pulang paling baik."
...
Undangan dies natalis organisasi membawaku kembali ke tempat ini. Hari ini, telah sekitar dua tahun setelah graduasi, padahal rasanya baru kemarin aku memakai toga dan membuat ibu tersenyum bangga. Syukur, walaupun sekarang masih jauh dari kata mapan. Aku bisa menyekolahkan adik-adikku dengan tenang.
Kau tahu? Enam tahun, Arina.
Selama itu aku menahan, selama itu pula aku bimbang menimbang-nimbang. Karena lelaki macam apa, yang berani serta tega mengadakan hubungan yang bahkan berasaskan ketidakpastian kepada wanita yang dicintainya?
Meskipun katanya 'ingin menjaga', yang ada justru malah menjatuhkan kehormatannya. Karena wanita adalah makhluk mulia yang tak pantas dimiliki sembarang orang. Hanya yang berani berikrar, sambil menjabat tangan ayahmu, yang layak untuk memilikimu seutuhnya.
Semoga itu aku.
...
     "A-aku ga bisa." jawabmu pelan dan terbata-bata.
Hening sejenak.
Perlahan, wajahmu yang biasanya ceria, berubah drastis menjadi raut penuh luka.
Disertai air mata yang turun perlahan, dari dua mata berduka yang biasanya selalu teduh menyenangkan.
     "Kenapa?" ucapku bersama sesak yang memuncak di dada.
Lama terdiam.
Kau pun menghela napas panjang, mencoba kembali tenang, walau sebenarnya tak banyak membantu. Kemudian bercerita panjang.
Tentang ia, yang eksekutif muda mapan putra sahabat ayahmu, tentang 'janji' yang mereka buat dahulu, tentang ayah ibumu yang merasa terhutangi ikatan balas budi. Tentang keluargamu yang banyak dibantu oleh keluarganya ketika sedang benar-benar terpuruk, tentang betapa ketidakmampuanmu untuk melawan kehendaknya, tentang hatimu yang sedang tertusuk pisau-pisau pilu.
Pun tentang perasaanmu, yang ternyata, sama denganku, bahkan sejak pertama bertemu. 
Dan aku, yang hanya bisa terdiam kelu dan duduk termangu, menyimak saksama ribuan sembilu yang kau kirim lewat cerita-ceritamu.
Kembali hening. Cukup lama.
    "Datang, dhi, taklukkan ayah. Entah nanti ayah menyerah, atau kita kalah,
Terima kasih, pernah ada dan memperjuangkan." ucapmu dengan senyuman, kemudian berjalan perlahan meninggalkan
...
Wahai, renjana yang senja pun kalah indahnya. Pantaskah aku, yang hanya mampu menyelipkan namamu elok-elok di secarik doa, dapat menang melawan ia dan membawamu pulang?
Tapi entah, aku terlalu pengecut dan takluk pada tuan-tuan rasa takut. Singgasananya begitu megah, kau pun layak menjadi perhiasan terindah. Sedangkan singgasanaku, mungkin membuatmu seakan terdampar ke antah-berantah.
Aku selalu bimbang, jua takut. Bagaimana mungkin, aku yang hanya seorang anak petani desa, menang melawan ia yang mapan berwibawa pula putra pejabat kaya.
Memang, aku telah bertitel sarjana. Tapi, berapa lama waktu sampai aku cukup mapan dan layak memboyongmu pulang? Meski kau selalu sanggup hidup sederhana, mana mungkin keluargamu mau anaknya hidup susah walau hanya sementara. Pula, mana mungkin aku sanggup melihatmu kelak melihatmu merana.
Terlebih, sekarang aku menjadi penopang utama keluarga. Sepeninggal bapak yang lebih dulu berpulang kembali pada 'dekapan'-Nya, ibu yang semakin menua, dan tiga adik yang sekarang bergantung pada kakak tertuanya.
Seluruh bagian diriku sedang berperang. Sebagian meledak dan memerintahkan terus memperjuangkan, walau tertatih dan ditusuk kenyataan. Sebagian lain melunak dan memerintahkan mundur perlahan, membiarkanmu tenang dengan ia yang kelak mungkin mampu membuatmu bahagia dengan semua hal yang dimilikinya.
"Ah, Nona Senja, kau telah lebih dari cukup untuk membuat tiap detik hidupku 'porak poranda'."
...
Di sosial media.
Sebuah foto keluarga. Seorang ayah yang gagah berwibawa, seorang ibu yang sedang tersenyum ceria, dan bayi lucu yang sedang tertidur di pangkuan bundanya. Keluarga sempurna.
Semoga selalu bahagia, Arina!
― Dari aku, yang lebih takluk kepada rasa takut, yang terlambat untuk berani datang mengikat.
Bandung, 290818
5 notes · View notes
ilhamf08 · 6 years ago
Text
Urgensi Sebuah Bodo Amat
Tumblr media
Aku masih ingat betul malam itu, ketika hati dan raga yang sama sama tengah sakit. Mencoba mengutarakan maksud kepada orang tua untuk mengizinkan mengambil satu langkah penting dalam hidup. Setelah banyak mencoba dan sebanyak itu pula kegagalan menerpa, setelah tangan yang lama menengadah pasrah, setelah mengikhlaskan pinta dan doa-doa yang selalu mengudara. Akhirnya diridai dan diizinkan membulatkan tujuan untuk menunda pendidikan dan berharap kelak mendapat hasil yang sepadan.Ya, aku membulatkan tekad dan mengambil keputusan untuk sebuah gap year. Suatu langkah hidup yang masih dianggap aneh dan asing oleh sebagian besar orang di negeri ini. Mafhum, mindset kebanyakan orang masih “Kalau beres sekolah ya langsung kuliah, kalau ga langsung kuliah ya langsung kerja.” Sehingga siap ataupun tidak, kebanyakan orang kelak pasti masih menganggap dan menyamakan gap year dengan pengangguran atau mirip siswa tidak naik kelas.
Berat memang. Tapi yakin, masih banyak orang yang menjalani hidup lebih berat dengan masalahnya masing-masing. Banyak, yang hidupnya seakan akan gagal dan runtuh, tapi tidak mengisi tiap detiknya dengan mengeluh. Banyak, yang hidupnya seakan akan hancur lebur, tapi selalu berbaik sangka kepada tuhan dengan selalu bersyukur. Betapa ‘Hidup Sempurna’ yang selalu didambakan, ternyata akhirnya tidak se-sempurna yang manusia inginkan. Padahal percayalah, Yang Maha Pemurah tengah menyiapkan hadiah yang lebih indah bagi mereka yang berusaha tetap gagah dan menolak pasrah ketika banyak pejuang lain menyerah dengan mudah.
“Mengapa harus aku? Kurang apa lagi aku yang telah berusaha dan berjuang sekuat tenaga? Mengapa? Mengapa ia yang main-main berjuang ala kadarnya dan jarang melangitkan doa, bisa? Sementara aku yang habis-habisan, tidak?” lirih sang pendoa dalam sujudnya.
Aku tau. Kita sudah cukup ‘muak’ dengan semua nasihat dan kata kata penyemangat. Teramat malas dengan setiap kata “Maaf”, dan gerah setiap datang “Jangan pantang menyerah”. Tapi, hidup mesti terus berlanjut bukan? Sebab sejatinya seorang pemenang bukan ia yang tidak pernah mengecap kekalahan, tapi yang selalu berusaha bangkit tiap gagal dan dijatuhkan. Tidak mengapa sedih dan terisak sejenak, adu semuanya dalam tengadah doa kepada Yang Maha Kuasa. Namun jangan sampai berlarut-larut, hidup mesti kembali berjalan dan sang pemenang tidak boleh terjebak dalam jurang penyesalan dan keputusasaan.
Jangan lupa selalu berprasangka baik. Mungkin ini salah satu cara tuhan untuk menunjukkan, bahwa ‘imbalan’ kita di depan jauh lebih hebat dari yang sekarang dibayangkan, bahwa usaha yang sebelumnya dilakukan belum sepenuh hati dan masih perlu banyak belajar kembali, bahwa masih perlu banyak memperbaiki dan muhasabah diri agar senantiasa menjadi lebih baik lagi.
..
Tentang mencoba kembali, apapun.
Memang tidak mudah untuk dijalani, apalagi dengan hati yang gundah dan pernah mengecap kalah. Ditambah tingkah laku orang-orang yang ingin tahu dan banyak mempertanyakan. Mulai dari yang benar-benar peduli, empati dan simpati, menanyakan dan mempersoalkan, sampai yang menggurui dan mencaci maki, semua akan datang silih berganti. Ketika itu terjadi, saat itu pula sikap bodo amat menjadi sebuah urgensi. Karena banyak yang sekedar ingin tahu, bukan ingin membantu. Banyak yang sekedar ingin bertanya, bukan mendengar penjelasan kenapa dan mengapa.
Koridor maksud dari bodo amat  mungkin relatif, mungkin untukku definisinya saat ini adalah, bodo amat ketika ada yang mempersoalkan, bodo amat ketika banyak yang mencibir dan menggurui seakan lebih mengetahui keinginan dan keadaan diri, bodo amat banyak rekan sibuk memposting tentang dunia perkuliahan, bodo amat  ketika yang lain telah berhasil masuk dan sering memamerkan kampus idaman.
Bagi orang lain, mungkin definisinya adalah ketika melulu mendapat pertanyaan kapan menikah dan mendapat pasangan, bodo amat ketika dicibir sebab mulai berubah menjadi orang baik, bodo amat ketika banyak yang menyarankan jalan pintas untuk mendapatkan kejayaan dan kekuasaan, atau sejuta varian bodo amat lain yang jelas beragam.
Kita adalah representasi penuh pertanggungjawaban atas tujuan dan jalan yang kita sendiri tetapkan, bukan hasil intervensi orang-orang yang ikut-ikutan mengatur dan menentukan jalan hidup yang kita jalankan.
Definisi sebuah bodo amat, bukan berarti sepenuhnya tidak peduli dan tidak memperdulikan, bukan juga tidak kritis atau terlalu idealis. Melainkan bentuk ‘peduli’ dengan definisi yang paling baik. Hanya peduli terhadap hal yang memang pantas untuk dihiraukan, bukan kepada hal yang menjadi perhatian tapi sebenarnya tidak layak untuk diperhatikan. Atau peduli untuk tidak mengantarkan diri sendiri pada suatu hal yang akhirnya hanya menimbulkan penderitaan dan rasa sakit berkelanjutan. Dalam kata lain, adalah sebuah cara ‘apatis’ yang ‘elegan’. Kapanpun dan siapapun, bodo amat adalah suatu keharusan sikap yang perlu dilakukan.
Kunci untuk kehidupan yang baik, bukan tentang memedulikan lebih banyak hal, tapi tentang memedulikan hal yang sederhana saja, hanya peduli tentang apa yang benar dan mendesak dan penting. ​​ ― Mark Manson
Percayalah, ada banyak hal yang kelak didapatkan para pejuang dibanding mereka yang langsung mendapatkan hal yang diinginkan. Hati yang senantiasa lapang dan mampu mengikhlaskan, tekad yang seribu kali lebih kuat dari baja, dan pendewasaan dari tiap pahit-manisnya pengalaman.
​Tetaplah berjuang untuk sebuah pembuktian! Hadiah terbaik menunggu bagi mereka yang senantiasa menguatkan dan selalu bersabar dalam tiap detik perjuangan.
Bandung, 190718
0 notes
ilhamf08 · 6 years ago
Text
Titik Hilang
Tumblr media
Pagi itu, di dekat Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Kami berkemas dan bersiap untuk memulai pendakian, setelah sehari sebelumnya melakukan perjalanan hampir seharian untuk sampai ke area Taman Nasional, dan memutuskan untuk sehari bermalam di Campground Mandalawangi yang masih satu kawasan dengan Balai Besar dan jalur pendakian Gunung Gede-Pangrango. Dingin yang menusuk dan kabut lembut menyambut kami sejak pagi sampai matahari mulai merangkak naik. Setelah membereskan administrasi, pengecekan logistik, tes kesehatan, dan penyelesaian semua persiapan. Kami memulai pendakian hari pertama dengan tujuan akhir sampai Kandang Badak, pos terakhir sebelum para pendaki biasanya melanjutkan summit attack pada keesokan harinya. Bagiku, entah ini pendakian keberapa namun berkunjung ke Gunung Gede-Pangrango adalah salah satu pendakian dalam tujuanku untuk bisa berkunjung ke beberapa gunung tertinggi di daerah Jawa Barat. Ah, jangan berekspektasi lebih, mungkin saja dan kemungkinan kau jauh lebih berilmu dan berpengalaman dalam kegiatan luar ruang. Sedangkan aku sebatas pemuda yang senang melakukan kegiatan dibawah pohon-pohon tinggi sebagai kanopi dan menyeduh minuman hangat ditemani obrolan yang erat bersahabat. Sepanjang awal pendakian sampai Kandang Badak, kemudian sampai puncak dan kembali turun dengan lintas jalur, bergantian diterjang hujan lebat dan badai hebat. Benar, tidak ada yang pasti dan dapat benar-benar terprediksi manusia tentang kondisi alam. Akhirnya rencana untuk melakukan summit attack pada dini hari diurungkan karena kondisi cuaca yang takutnya membahayakan keselamatan jika kukuh untuk terus dilanjutkan, namun akhirnya mampu menuju puncak dan kembali turun ketika cuaca mulai membaik dan tenang. Benar, aku sangat setuju dengan prinsip para pegiat alam, “Puncak adalah bonus, tujuan akhir adalah pulang dengan selamat.” Sebab bagaimana mungkin, menuruti ego tapi mengorbankan keselamatan diri dan juga membahayakan hidup orang lain? Seperti akhir-akhir ini yang terjadi di salah satu gunung daerah Sulawesi Selatan. Tiga orang pendaki wanita pemula yang belum tahu banyak perihal kegiatan luar ruang ditinggalkan di tengah perjalanan oleh rombongannya dengan alasan karena ingin pergi dan menapaki puncak, akhirnya tiga orang yang ditinggalkan terserang Hipotermia parah, untung saja masih hidup dan dapat terselamatkan pendaki lain. Sungguh, benar-benar tindakan sangat gegabah dan benar-benar sangat membahayakan, menggadaikan keselamatan rekan demi kepuasan pribadi yang jauh dari kata sepadan. ​Suatu perjalanan tentu jauh memiliki harga yang lebih tinggi dari sekadar tujuan untuk dapat mengambil gambar kemudian mengunggahnya ke media sosial untuk mendapat like dan sanjungan, atau untuk jadi ajang memamerkan & mendapatkan pengakuan bahwa ia lebih kuat dan lebih mampu dari teman-temannya karena bisa menggapai puncak-puncak tinggi bumi di bawah kakinya sendiri. Esensi sebenar-benarnya sebuah perjalanan mengajarkan bahwa tidak ada hal yang lebih pantas untuk ditaklukkan dan dijejaki kecuali diri sendiri, tidak ada hal yang lebih layak untuk diperjuangkan selain semakin mendekatkan diri kepada tuhan, tidak ada alasan yang sepadan untuk menuruti ambisi dan membahayakan keselamatan sebab tujuan akhir setiap perjalanan adalah kembali pulang dan kembali berjumpa dengan orang tua, sebelum waktu habis namun belum sempat membanggakan dan membahagiakan. Yang sangat disayangkan, pengalamanku setelah berkunjung ke beberapa tempat adalah permasalahan banyaknya sampah yang ada dimana-mana. Seakan sudah menyatu menjadi sesuatu yang memang menetap di berbagai tempat, padahal sampah adalah barang sisa pemakaian manusia setelah datang dan menetap sejenak namun enggan diambil dan dibawa turun kembali, padahal oleh siapapun telah dihimbau dan diperingati serta diberi sanksi tegas bagi mereka yang melanggar. Menurutku, daripada ada yang datang berkunjung namun meninggalkan banyak sampah, lebih baik jangan datang sama sekali, sebelum kesadaran dan kepeduliannya terhadap lingkungan tumbuh dan dipraktekkan. Karena hanya akan mengotori dan merusak alam dengan sampah yang ia tinggalkan. Karena tetap saja, segiat apapun pemerintah dan pihak pengelola memperketat peraturan, akan selalu banyak juga permasalahan yang mendera alam. Sebab masalah utama bukan pada kurang tegasnya peraturan dan himbauan yang ada, tapi pada kesadaran tiap diri manusia. Untungnya jumlah orang-orang yang ‘bandel’ jauh lebih sedikit dari banyaknya orang-orang yang benar-benar peduli pada alam. Seringkali takjub melihat beberapa rombongan pendaki mengangkut banyak botol-botol plastik dan plastik sampah yang ukurannya jauh lebih besar dari carrier yang dibawanya. ​Jelas itu bukan sampah mereka sendiri, tapi sampah-sampah orang lain yang ditinggalkan tanpa ada pertanggungjawaban. Salut kepada mereka yang benar-benar peduli dan menjaga alam, semoga semakin banyak yang bergerak dan disadarkan untuk bersama-sama memupuk kepedulian.
Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak. Jangan membunuh sesuatu kecuali waktu. Jangan mengambil sesuatu kecuali gambar. ― Anonim
​Sungguh, banyak hal yang benar-benar patut disayangkan. Banyak yang mengaku sebagai pecinta alam, tapi belum mewujudkan kecintaannya dalam bentuk kepedulian. Banyak yang mengaku pergi untuk mengagumi ciptaan tuhan, tapi sengaja meninggalkan ibadah yang merupakan kewajiban. Banyak yang mengaku pegiat alam, tapi belum giat menjaga kebersihan dan merawat kelestarian alam. Tidak tertuju kepada siapapun, hanya sebagai bentuk muhasabah diri dan ajakan untuk sama-sama menjaga kepedulian & kewajiban kita sebagai manusia.
Jika seorang yang mendaki gunung diibaratkan menjadi sebuah analogi hidup, ia yang telah mencapai puncak sebagai titik tertinggi pasti penuh rasa senang dan kebanggaan. Bahkan terkadang muncul sedikit kesombongan dan perasaan merendahkan kepada orang lain yang masih dibawah atau bahkan belum naik sama sekali, merasa diri lebih tinggi dan lebih hebat sebab sedang berada di titik paling tinggi. Lupa bahwa semakin angkuh perasaan yang dibina, semakin kecil kehormatannya dan semakin habis kebaikannya, lupa bahwa tidak ada orang yang menetap lama di puncak tertinggi dan setiap orang pasti turun kembali.
Maka untuk siapapun yang sedang berada di puncak, atau sedang dalam perjalanan menanjak dan merangkak, bahkan yang belum bergerak dan masih diam di tempat. Jangan lupa bahwa setiap yang mencapai puncak tertinggi akan kembali ke bawah dan kembali ke dalam tanah. Jangan lupa bahwa yang terpenting bukan mencapai puncak tertinggi tapi memelihara sikap rendah hati dan terus mawas diri. Karena pada akhirnya, semua orang akan menuju sebuah titik hilang, meninggalkan semua kemewahan dan kembali menuju ‘dekapan’ tuhan bersama amal dan tabungan kebaikan sebagai satu-satunya teman.
​Bandung, 300618
2 notes · View notes