Text
L+Ratio'ed
Written in the middle of battling negative self esteem and existential crisis.
So there is this fictional character named Dr. Ratio who holds 8 doctorate under his belt and teaches 52 subjects while demeaning his students by giving scores no higher than 5 pointsā¦ā¦. out of I donāt know what š«
This character is undoubtedly arrogant and his manner of speech leave SO MUCH to be desired, not to mention heās the type that confidently inserts himself into a conversation unsolicited and then goes his own way to judge the people involved with a shameless amount of narcissism (Iām not making any predictive extrapolation, this literally happens in the story). Well⦠in fiction itās all fun and stupid, so itās okā¦
Until he messaged me (more like, messaged my character LOL) something like in the screenshot which I took pains of screenshooting and combining into one single image of a chat thread.
Then suddenly everything is so relatable to my current situation. This is not unlike that one string of quests in Genshin Impact where a grad student fell into depression because she got down-locked (not sure if this is a word) in a politically unstable country where she gathered her research materials, and when she could finally get out of that country and submit her paper, someone else had already submitted a paper with the exact same topic, rendering her work meaningless.
Like, dang. I know itās fiction. I know itās the idealized academics lyfe portrayal⦠(although Iām pretty sure there are a lot of staff with more than BA/BSc degrees in the developer company⦠so yeahā¦)
But Hoyo! You guys have no right to hit home this hard šyouāve got no right!!!
#continueWallowingInSelfPity
0 notes
Text
Some Random Late Night Contemplation
Okay. So. After weeks of stressing myself out over how I havenāt progressed any, somehow a late night contemplation led me to the answer that I havenāt progressed not really because I donāt learn the basics enough. Itās more due to I keep learning the basic theory and not the application. So, like, I keep reading this and that paper, this and that book, this and that example, but what I get from them is the big picture of the things I need, and not really the things I need. And because I keep studying them, I can not progress, because thereās no change in what I have been studying. And I'm still stuck at applying those "basic theory" on my very specific case, it really sucks. It really sucks when you donāt even know what you have been doing wrong, because then you keep doing it again and again. I guess that PhD education at its most representative form.
Pic source: Matlab's yt. Link: https://www.youtube.com/watch?v=hpeKrMG-WP0&t=10s
0 notes
Text
IP 3,97, Shou Tucker, dan Seni Menyeduh Kopi
Tadi tu saya ngahuleng lama di boulevard (ada kali setengah jam?) mikirin pengen jajan karena āmumpung ka kotaā vs āmamen jajan di kota mahal euyā. Kemaren kepikiran pengen fish and chips, awalnya dari liat sesuatu yang kayak ikan salmon dikasih saus almond di Genshin yang trus kata temanku, āKok kayak pecel lele ya?ā I mean š

Nah lagi bengong mikirin fish and chips, mendadak lewat mahasiswa bertiga lagi ngobrol serius.
āSumpah! Aku liat. Dia ngga mau ngasih tau, tapi aku liat. IPnya 3,97!ā
āHah? Serius?ā
āIyaa. Serius!ā
Iām like, dang. Berarti dari 20 sks, 17 sks dapat A, 3 sks dapat AB kali ya? (Coba ada yang itungin wkwkw)
Kemaren temen satu tim penelitian cerita, katanya di tim lain tu sering diadakan kumpul, bahkan sampe saling ngoreksi kodingan, makanya progresnya pada cepet. Beliau juga cerita baru ngobrol dengan teman seangkatanku yang udah menjelang milestone ke-5 (sebagai perbandingan, saya lagi memperjuangkan milestone ke-2 semester ini, dan senpai yang sekitar 3 angkatan di atas ada yang masih berkutat dengan milestone ke-3. Yang berarti, si teman seangkatanku itu gaspolll banget).
Intinya sih si temen merasa minder sekaligus termotivasi, jadi beliau ngajak kita buat sering-sering kumpul dan saling sharing.
Saya belakangan ini mixed feelings seputar ngelab. Secara logika, ga bisa dipungkiri bahwa rajin ngelab itu punya andil besar dalam kecepatan progres penelitian. Beberapa waktu lalu saya menyaksikan sendiri sejauh apa bedanya anak-anak TA yang semuanya sejak awal semester rajin ngelab, versus baru ngelab di 2 bulan terakhir. Jauh banget gilak!
Tapi juga, di sisi lain Iām the type who spends so much time inside her head. Saya mengenali kalo proses belajar saya biasanya terdiri atas 2 fase: fase memahami sampe dalem banget, baru fase mengerjakan. Saya tu ga bisa banget kalo baru ngerti sepotong, terus udah harus ngerjain. Ga tau ya, kek ada mental barrier aja gitu. Mau semua referensi ada, tutorial ada, sampe diajarin bolak-balik pun kaga masuk-masuk. Selalu terdistract dengan satu bagian yang, āIni hubungannya apa sama itu?ā
Kalo masih fase memahami, saya ga bisa banget ngumpul dengan orang lain, apalagi orang yang mengerjakan hal yang berbeda (teman-teman di tim kita semua topiknya beda, jadi bingung juga tah mau saling koreksi kodingan gimana wkwkw). I need to sit cross legged on my chair sometimes. I need to sing along with the music I have on my headphones. I need to shout, āAstaghfirullah, ya Allah ini apaaaa!!!ā Ngeganggu banget kan kalo di residensi ada yang kayak begitu.
Masalahnya fase ini tu kek lama banget, yang saya ngga ngerti apa ada hubungannya sama tingkat self-discipline, IQ, atau dinamika energi dalam diri (#hasek). Sebagai contoh, dari 5,5 semester menjalani S2 (saya menolak nyebut 6 semester), saya tu baru paham seluk-beluk si topik di 6 bulan terakhir š Tapi kalo udah paham yaudah, kek maraton ngoding sampe begadang juga kuat. Debugging jadi berasa kayak main Minesweeper atau Sudoku aja gitu.
Dan saya melihat tanda-tanda pola yang sama saat ini. Cuma kan program doktoral ini kek dipaksa banget buat melewati setiap milestone dengan ātertibā, ga bisa gitu semuanya ditumpuk belakangan š
Dan jadi kepikiran Shou Tucker juga. Orang yang di penghujung masa penelitiannya putus asa, sampe melewati batas etis dan menjadikan keluarganya sendiri sebagai objek percobaan. Kek merasa ada simetri dengan dia gitu. Ngerjain penelitian sendiri, buntu sendiri, ga ada yang bantuin (sebenernya bukannya ga ada yang mau bantu, tapi yang mau bantu juga bingung mau bantu apaan, orang kitanya juga buntu), ngeliat orang lain hidupnya happyā¦
Jadi, setelah memutuskan kalo fish and chips kemahalan, saya pun ke KKP beli kopi sama biskuit aja buat maksi. Sambil random nanya ke si aa-nya, āA, emang beda ya kalo kita nyeduh kopi biasa, yang udahnya ada ampasnya, versus pake kertas filter?ā
Kata si aa-nya, āBeda!ā
Jadi gais, saya ga ngerti fisika-kimia-biologi-seni-nya gimana, tapi katanya walo kopinya sama, tapi cara nyeduhnya beda tu hasilnya beda juga. Kopi tubruk (? cmiiw yah) tu serbuknya besar-besar dan secara profil rasa ga kentara, jadi butuh lidah yang lebih sensitif buat merasakannya. Tapi kalo difilter, lidahnya ga sensitif pun bisa ngerasain bedanya. Trus dia bilang, kalo nyeduh pake filter tu siraman pertama ngilangin CO2 dari bubuk kopinya (jadi pas ini jangan diisep ya š¤£), siraman kedua tu menguatkan aroma kopinya, dan siraman ketiga menguatkan rasa khas dari si kopi (eh ini aga lupa efek dari siraman ke-2 dan ke-3, mungkin kebalik).
Berikut tips dari si aa barista KKP perihal nyeduh kopi pake kertas filter (yang gue ga tau nama tekniknya apa):
Suhu air ngaruh ke hasilnya, antara 80 derajat, 85, 90, dll. Dicobain aja (tapi di rumah ane adanya termometer ketek, jadi keknya ga bisa bikin eksperimen terukur soal ini, kecuali ntar kopinya ada aftertaste asem-asem gimana gitu š¤£).
Kucuran airnya segede buntut tikus. Ga ngerti kenapa kalo airnya digelontorin hasilnya beda.
Kucuran air searah jarum jam dan berlawanan hasilnya bisa beda (kok kayak lagi belajar medan elektromagnetik ya). Mulai dari tengah, trus gerak berspiral ke luar.
Kucuran airnya jangan nyiram kertas filternya, entar rasa kertasnya kebawa. Jadi usahakan si air cuma beradu dengan bubuk kopi.
Belakangan ini ku merasa lagi āchanneling my Gen Z tendenciesā. Ga maksud mengolok-olok Gen Z sih, tapi makin hari makin berasa, kok ledekan orang soal Gen Z ngena di gue ya? Soal pola kerja yang āaku ga bisa diginiinā. Karena udah berbulan-bulan ini mikir, men gue ga bisa ikut ritme bimbingan tiap minggu kayak gini. Akhirnya 1 bulan terakhir saya mangkir dari meeting rutin karena merasa, āGue tu harus ada progres yang emang esensial untuk penelitian, bukan progres yang diada-adakan sekadar buat ngelapor aja. Penelitian gue buat gue, bukan buat pembimbing.ā Gitu ._.
Mungkin ini bukan approach yang benar. Tapi akhirnya kemaren tu berbalut rasa bersalah dan restlessness, isi 3 paper yang dijadiin rujukan utama yang awalnya cuma ngerti āide besarnyaā doang, sekarang mulai ngerti detailnya dan hopefully bisa diaplikasiin 𤷠Masih ada 2-3 bulanan sampe batas studi pra-milestone ke-2, semoga dengan āmengambil jarakā dari bimbingan mingguan malah bisa melancarkan turunnya wangsit, karena otakku ini jadi fokus dengan isi penelitian dan bukan āminggu ini mau laporan apaā. I think Iām playing with fire rn but I donāt knowā¦
0 notes
Text
On Changing Scenery
So. The plan was to write up my research proposal. Karena simulasi ga kunjung jalan dan saya sedang dalam fase meyakinkan diri bahwa:
Iām not a failure (yet),
Iāll make it work eventually, dan
Even if I fail, Iām not the first ever person to do so.
Jadi kek, nulis dulu aja apa?
Tapi emang sepanjang ngojek dari rumah ke sini tu otakku melayang-layang ke sana kemari (as per usualā¦) dan jadi kepikiran pengen mengeluarkan uneg-uneg.
Firstly, I canāt believe Iām doing this š Iām not big on the current trend of self healing, mental caretaking, etc etc yang biasanya berupa jalan-jalan, getting off grid, ngeliat yang ijo-ijo dll. Kek, buatku diem di rumah, tiduran, dan gliding dari atas Huaguang Stone Forest tu udah cukup healing š Keluar rumah itu menambah stres due to: (1) harus mandi + dandan; (2) transportasi; (3) tiada toilet senyaman toilet rumah (ada sih mungkin, toilet hotel, tapi kan masa iya ke hotel cuma buat numpang nyetor); (4) males kalo keujanan; (5) harus jajan (karena keruyukan kan kalo enggaā¦); dan (6) kalo mau sing along Kalafina malu š
Ini juga ga tau akan seefektif apa dalam mentrigger neurotransmisi wangsit di kepalaku.
Secondly, kalo sama mamang ojek ditanya kuliah atau kerja (biasanya yang nganterin dari dan ke rumah-kampus yang nanya begini), saya cenderung jawab kerja. Saya bilang ngasisten lab, atau asisten penelitian. Ga tau yak⦠kek gimana gitu mau jawab lagi kuliah. Walo kadang ada juga yang nanya semester berapa, yaudah yang ini ta jawab, āSemester x.ā Cuman semester depan kayaknya ga ada lagi ngasisten-ngasisten jadi mungkin saatnya mengeluarkan jawaban lagi kuliah hahah.
Thirdly, tadi pagi tu kepikiran, bahwa suatu komunitas itu kalo makin gede/makin banyak orangnya, maka besar kemungkinan makin banyak yang ānyampahā. Kemaren saya masuk forum suatu MMORPG, ada yang protes kalo grindingnya susah, PvP merugikan player baru, dst dst. Trus ada player lain yang jawab, bahwa ada area aman buat player baru dan bahwa tingkat grindingnya itu ga ada masalah, terbukti dari banyaknya player yang masih main walau udah bertahun-tahun, dan dia ga setuju kalo devs harus ngubah apapun demi mengakomodasi harapan si player baru yang protes itu.
Kalo saya tl;dr-in, intinya sih, āLu anak baru ga usah norak, kita juga dulu grinding asik asik aje.ā
Cuman kek jadi relate sih dengan kondisiku sekarang yang bisa dibilang āgamer kemarin soreā. Bukannya saya belum pernah main game sebelum beberapa waktu terakhir ini, tapi game yang saya mainin cenderung puzzle biasa macem Freecell, Minesweeper, Sudoku, gitu-gitu. Di level videogame ada sih Persona series, KH 2, Nancy Drew⦠ga banyak. Oiya sama idle RPG sepanjang masa yang udah berapa bulan ga saya buka lagi: Mousehunt š
Trus kek sekarang tu saya nyoba main MMORPG, nyoba Genshin, game-game yang punya aspek sosial, yang bisa dimaenin bareng temen, yang ada komunitasnya. Dan honestly setelah ngeliat lagi diriku beberapa waktu belakangan⦠emang norak banget sih. Kek monyet yang baru nemu kelapa (ini kayaknya penggunaan peribahasa yang ga tepat tapi ga tau deh ya hahah⦠licentia poetica!!!). Digugulung we terus š¤£
And at some point itu bikin orang ilfil sih. Karena saya juga pernah ngerasain sebagai āorang lamaā di suatu tempat, trus kalo ada anak baru tiba-tiba hype ga jelas, tiba-tiba ngegeng ga jelas tanpa memperhatikan orang-orang lama (termasuk saya :v ini berasa kek senior gila hormat gitu yak hahah), dan yang paling ngilfilin, tiba-tiba bikin interpretasi sendiri (tentang tempat tersebut, tentang filosofinya, tentang sejarahnya, tentang visi misinya, dll). Emang malesin. Dan tiba-tiba tempat tersebut ga berasa jadi safe space lagi. I donāt know⦠maybe itās just me, and Iām just hella oversensitive?
Tapi ya emang di sisi lain ga bisa bohong juga sih, emang saya masih di fase hype sama Genshin, karena emang belom pernah mainin game serupa sebelumnya. Story emang punya banyak masalah (masih hit or miss buatku, ada part yang keren dan ada part yang bikin pengen tableflip), tapi world lore-nya asik (banyak ngambil inspirasi dari sejarah dan mitologi RL which I think is so much fun to dissect and discuss!), open world-nya asik (I glide everywhere, literally, itās so much fun!), and the artwork is great.
Jadi kek, mencoba untuk tetap hype tapi tidak terlalu norak aja š Tapi gimana yak caranya hype tanpa norak? š„“
0 notes
Text
Genshin Impact: My First Foray into Gacha Games
Sekitar Juli 2022, saya bikin postingan my first foray into MMORPG. Saya mulai main Ni no Kuni - Crossworlds. Jadi dari nonton Log Horizon saya tu ngebet banget sama pengalaman main MMORPG karena keknya super asik banget. Nah trus temen ada yang ngajakin, yaudahlah nyoba. Masih main sampe sekarang, sempet ada jeda juga sih zaman pucing sama kerjaan dan riset (ada deadline numpuk di 1 bulan yang sama gitu and I was super stressed, and honestly? Stopping playing games did not help that much š« ), but I'm still playing it.
Now, disclaimer: I'm not much of a gamer. But, when I play, I play *hard*. Kalau hari libur dan saya merasa saya berhak menghabiskannya untuk main, saya bisa main dari jam 7 pagi sampe jam 11 malem, cuma break shalat dan ke belakang aja. Makan pun di depan monitor š But, buat ukuran gamer, game yang pernah saya mainin kek seuprit banget. Misal, kalo ditanya game RPG, saya palingan jawab Persona. Game bola ga main, tower defense cuma PvZ, puzzle yaa Minesweeper š
Nah, ga lama setelah mulai Ni no Kuni, dengan perasaan aga kecewa karena experience-nya ga kaya MMO di Log Horizon (dan jujurly pas awal auto-navi dan AFK battle-nya bikin ga berasa main game), saya lanjut nyoba Genshin Impact. Diajakin temen juga (kalo ga diajak boro-boro lah nyoba ginian haha).
GI ni game gacha, dalam artian untuk dapetin karakter, weapon, dan banyak hal lainnya, kita harus ngocok, kayak arisan. Atau kata yang lebih tepat menurut saya undian, dengan menggunakan currency in-game yang bisa juga kita beli dengan uang RL. And this is where gacha games notoriety (?) comes from. Karena bayangin aja ada karakter rare super bagus banget, untuk mendapatkannya kita perlu menggunakan sejumlah in-game currency untuk ngundi. Kalo dengan in-game currency yang kita punya ternyata masih belum dapet si karakternya, dan kita pengen banget, kita punya opsi buat beli in-game currency itu dengan sejumlah uang beneran. Hal ini bikin beberapa orang... sampe terlilit hutang saking ngebetnya sama konten tersebut. Now, ada namanya sistem pity, jadi setelah sejumlah undian tertentu (kalo di GI 89), kita dijamin 100% dapet karakter/weapon āļøāļøāļøāļøāļø (which means di kocokan ke-90). Jadi sistem untung-untungan ini ada akhirnya kok... dengan syarat dan ketentuan yang ngga sesimpel ini tentunya š Permasalahannya, dengan memiliki duplikat karakter/weapon rare tersebut, karakter/weapon yang kita dapet bisa jadi lebih bagus lagi! Jadi, bagi sebagian orang, dapetin 1 eksemplar karakter/weapon ga cukup, harus dapet duplikatnya juga. Dari yang harusnya ngundi stop di kocokan ke-90, malah berlanjut... dan berpotensi menyedot semakin banyak uang beneran.
Apakah artinya game ini menyedot banyak uang? Ngga juga, karena saya pun 100% free to play. Bukannya ga mau mendukung devs, tapi saya ga suka ngeluarin uang buat hal yang ga pasti (seperti currency undian). Seandainya nanti devs GI ngeluarin kostum karakter yang bisa directly dibeli dengan uang RL, dan harganya reasonable (buat kantong saya), saya mau beli. Contohnya pun di Ni no Kuni saya udah keluar uang untuk beli space inventory (bayangin aja kayak beli space Google Drive haha). Saya ga keberatan karena yang dibelinya jelas: 100 biji slot naro barang seharga Rp16ribu (harga promo š¤).
Cumaaaa ya itu, free to play pasti ada kekurangannya dong dibanding yang pake uang. Kekurangannya adalah lebih banyak grinding. Karena in-game currency untuk ngundi karakter itu mayan susah juga kekumpulnya. Parahnya lagi, bulan Januari kemaren tu ada 2 karakter yang saya ngebet banget untuk dapetin. Dengan berbagai aturan undian*, untuk guaranteed dapat dua-duanya saya harus punya 360 tiket kocokan. Padahal, menurut histori main beberapa bulan sebelumnya, dalam sebulan paling saya bisa ngumpulin 90 kocokan aja. Jadilah saya grinding main game siang dan malam š« Akhirnya sih cuma dapet 1 karakter aja. Yaudahlah segitu juga bersyukur dah dapet hehe...
Nah begitulah nature-nya game gacha. Sebenernya Crossworlds juga gacha, tapi di postingan ini saya pengen ngomong lebih banyak soal Genshin Impact. Dan adiknya (?) yang baru rilis April kemarin, Honkai: Star Rail (HSR).
Sejujurnya sih saya ga ada niat segera main HSR. Rasa tertarik sih ada, tapi dengan GI dan Crossworlds aja saya udah kehabisan energi. Tapiiiiiiii... ternyata sekarang lagi periode ngundi mas Jing Yuan, yang VA JP-nya dipegang oleh mas Ono Daisuke, salah satu seiyuu yang saya suka banget suaranya (beberapa karakter dia yang saya ingat at the top of my head: Erwin Smith di Shingeki no Kyojin, Midorima di Kuroko no Basket, Sebastian di Kuro no Shitsuji, dan Shizuo di Durarara!!).
Jadi saat ini saya lagi mainin 3 game gacha sekaligus. Sebagai free to player... lelah... š
0 notes
Text
My Take on This Yearās Ramadhan
With Ramadhan will be over in less than a week, Iām suddenly in comptemplative mood and actually found some things about myself that, upon reflecting for some time, are actually problems not only to myself but also to others, and being the thick-skulled self-centered guy that I am, it took me THIS LONG (weāre talking about the span of several years here, not just the last month) to realize.
So, the problem thing is: I tend to overshare things. Like, Iām the type that want to share funny, interesting things I found online, and it has not been much of a problem before because none of my friends called me for it, so I thought they were fine with it. Turned out they werenāt š (go figure š« )
Thereās this incident where one of my friends actually called it quits in front of a lot of our other friends. They think the state of our chat group was too rowdy with the abundance of short messages, and itās disturbing their work when the notifs kept going on and on and on. My first instinct was to disagree (like, when ur at work why donāt u turn off ur notif), but then again I tend to see other perspectives when I have spent time thinking on it⦠and I kinda see that I was the one who posted the most there, and therefore I was kinda the person who started the whole rowdiness ācomment and discussionā on the matter (there werenāt a lot of debate, thank God, but there were commenting each other and sometimes the conversation could go on quite long, especially when itās the topic we all interested in).
So I tried not posting anything there anymore unless there was very important news (there havenāt been up till today, so I havenāt been posting anything over there the last few days), and voila⦠the chat group actually became very calm š This does mean that I was the progenitor of the notification problem š«
The other thing I just found out recently is that⦠thereās this friend to whom I mostly shared fictions (novels, webtoons, anime, even reaction videos, etc). Our tastes are SOOOO different itās like heaven and earth, so I never shared with the intention of recommending those stories to them. So like, there wasnāt any real purpose in telling them what I was reading other than just sharing.
Sometimes, I found myself feeling uncomfortable after some ācomment and discussionā. The thing is, I have been really liking stupid romance stories in which there are a lot of chiches and romantic tropes and a disastrous amount of comedy and sugary fluff. In my opinion, the story is interesting because of the stupidity in it. I mean, not every stories have to be some serious world-saving adventure where the main character has to traverse the earth and beyond to steal or destroy some potentially apocalyptic relic⦠although I do enjoy such stories too.
I received this kind of comment time and again, āAre you so smart that you find entertainment in stupid things?ā Iām like⦠is this a jab or what? (sarcasm be like: flying over my head) BUT! Wait a sec, we banter all the time, and Iām sure there was no malice in what they said. Itās just some harmless comment⦠or, intended to be. But the emotionally inept me needs THIS LONG to realize that I actually donāt like that comment š Itās because in my head, that comment sounds like, āYou feel so smart that you look down on us imbecilic peasants who make the stupid story you laugh at.ā Their intention notwithstanding.
I mean⦠I donāt know how they feel about my laughing at romcom stories, maybe they arenāt bothered by it at all⦠and it was all really just harmless-intentioned comment and their way of joking, but thatās how I feel hearing those words and I think my feelings are valid š¤Ø
My solution is: spare myself some unpleasantness by avoiding sharing every interesting thing I find. Keep it to a minimum. Think, and rethink, before forwarding random contents to my friends.
Itās kinda hard when posting things have been a reflex š But, Iām big on Ramadhan is the best moment to start a new habit, so I wanna try that. I hope that after Ramadhan is over, I have built myself a more careful persona who doesnāt shitpost. I mean⦠there IS a hadith saying that a person who relays everything they hear is a liar š«
Fingers crossed hoping I come out of Ramadhan a better person š
0 notes
Text
On Being a Big Picture Person
Why am I such a "big picture" kinda person and how am I supposed to roll with it?
I have been so frustrated in the last few weeks due to not knowing what I'm supposed to do with my research. I'm even considering pulling myself away to get some⦠idk, bird-eye view on things, identify why I feel like I'm not progressing at all, identify why just thinking about it just put me in blank-brained stupor, check in with my mental well-being (because mental health is all the rage today, even though I'm pretty sure I'm⦠more mentally healthy than physically, seeing how inexcusably overweight I have become ever since the pandemic started š).
Idk. I just⦠I have no idea what to do.
The biggest problem I have, which I can confidently say at the moment, is that I'm a "big picture" kinda person and when I can't see the big picture, when I can't zoom out and see everything as tiny little dots connecting with each other, I can't decide which step I need to do next.
It's like going up the stairs. There are people that just take each step one by one. They eventually get to the top no problem. Whereas I'm the type that jump to the landing at the top, and then trace the steps back down š Like, I can't jump if I can't see where the top of the stairs is.
The thing that I had no preparation for (well⦠I guess, since I'm never really a planner, whatever comes in the future is almost always something I have no preparation for anyway) going into PhD is how it seems like I just have to do everything by myself. I can't even ask for help because I don't know what help I need to see the daggam stairs. I can only ask people for their ears, support, and prayersā¦
0 notes
Text
On Feeling Like an Impostor
Imposter? š¤£
Yang saya ceritain ini ngga yang impostor syndrome yang bener-bener masalah banget atau gimana ya, cuma ya kerasa aja gitu kalo saya tu selama ini cem fake it till I make it gitu, khususnya dalam bidang akademik.
Dalam menjalani tiga strata pendidikan tinggi, saya mengambil konsentrasi di 3 bidang berbeda. Di tahap S1 ku anak microelectronics. Fokusnya di embedded system sama chip design gitu. Dan sampe sekarang topik inilah yang paling nempel dan paling bisa kuaplikasikan, walopun pemahaman dan skillku ga mendalam juga. Yah sekadar bikin program PWM doang mah bisa lah š¤£š¤£š¤£
Berkat kerjaan, S2ku jadi power electronics. Dan walopun at the end of the day prakteknya program PWM juga, tapi kan problem question-nya dari bidang power engineering dan jujur aja sih ku ga paham-paham amat. Saya merasa belom layak bilang kalo saya "anak power". Kek mindset-ku tu selalu mengarah ke bagaimana membuat alat yang bisa mengerjakan ini dan itu, which probably stems from:
1. Fokus S1ku
2. My personality as a person who likes to know how things work and how to make them work as autonomously as possible for me :v
Lanjut... tadinya sih sekarang mau ngerjain power electronics juga, cuman karena force majeure bergeser ke teknik kendali. Which I actually suck at, just because of the sheer level of math over there. Bidang yang saya paling ngaco in descending order:
1. Math
2. Informatics
3. Control theory
(Sebenernya dari aspek ga ngertinya, all these three tie for 1st place, but at least kalo kontrol tu ada fenomena fisiknya šāāļø)
Jadi saya ngerasa ga bisa ngaku-ngaku "anak kontrol" juga.
Sebenernya sih, label tu ga penting. At least, I think it isn't. Cuman paling gampang ngobrol dengan orang tu dengan menyebutkan bidang besarnya, terutama kalo ngobrol dengan yang rumpun ilmunya berdekatan.
Dan karena hal ini, berasa impostor banget pas saya bilang, "Risetku bidang power." Masa kemaren ditanya statcom aja ku melongo dulu, padahal pertanyaannya ga substansial. Dan sampe sekarang saya masih belom ngecek apa itu statcom, just so that I don't have to know if I actually spouted nonsense that time.
Dan kalo bilang, "Risetku control of power electronics." Ntar ditanya hal-hal terkait teknik kendali ku melongo juga. Masa entar ke orang power ngaku anak kontrol dan ke orang kontrol ngaku anak power, saking ini-itu ngga ngerti š
š
š
.
P.S.: at this point, satu-satunya cabang elektro yang belum kujamah (kalo berdasarkan pengelompokan di kampusku) adalah teknik biomedik, karena di kerjaan saya pernah nyemplung ke bidang telecom walo sekadar nyari tau apa itu upconverter dan downconverter š¤£
0 notes
Text
On Navigating Through Human Interactions
Iām in the middle of writing a scientific paper. I guess that says a lot about my the state of my mind at this very moment š¤£
ām that classic example of an introverted engineer who prefers to talk to a machine than to a human. I step on emotional landmines a lot, I bother people by my obliviousness, and just simply be unpleasant just by sitting down doing nothing.
But, sometimes, I think itās weird that for someone so āunfeelingā I feel that Iām sensitive enough to feel when other people are insensitive. Like, when someone makes a comment that might come across as rude, or when someone speaks rather passive-aggressively to try to manipāI meanāpersuade other people, which oftentimes sound like they are not respecting other peopleās different views/values. And even when Iām not the object of what I see as conformist, guilt tripping, you-are-wrong-if-you-donāt-agree-because-itās-generally-thought-as-good behavior, I always feel attacked.
Problem is, these are just small, everyday conversation things. And in a group situation, it seems like other people donāt mind, so I feel so freaking oversensitive because Iām the only one feeling uncomfortable. And sometimes Iām so baffled at how I (think) can see that some behavior or statements might make people uncomfortable, but the person doing it (assuming they are not actually trying to be unpleasant) seems to not understand, and they are better at making friends than me!
Like, why are people so hard to understand ಄_಄
0 notes
Text
Ni no Kuni - Cross Worlds: My First Foray into MMO
Iāve been curious about MMO since I watched Log Horizon. I watched SAO before that, but SAO was more about āhow to escape this weird thingā, whereas Log Hora was more about building an entire civilization! Sounds hella cool.
Some time ago I said something about being suck at games. I still am, so this post is about how to get less suck at games, specifically Cross Worlds, my first foray into MMO.
Firstly, my friend told me that to get a true MMO experience(TM) I should try RO, so this is probably not the best place to start. I donāt know⦠I suck, so thereāll be no difference I guess *shrug
Secondly, the game is chock full with content that the first week (or monthā¦. itās almost a month since I last start playing, I thinkā¦) felt like plunging into a deep river while being unable to swim (which is a perfectly accurate description of me irl). So the most logical strategy for me to try to at least stay afloat is not read the infos, not click things out to know what those buttons are for, not follow tutorials⦠but pester my friends about whatās what š
Honestly, I still donāt understand whatās what even now. I mean, aside from leveling up, what else is there? And even the leveling up feels secondary. The story is so fricking long. My favorite thing of a game is the story⦠but I donāt need every minor quests to have a full on dialogues that I canāt speed up (ā¢_ā¢)
Thirdly, I donāt like that at the end of the day, what matters is your combat power (point?). I mean, there are a ton of things you can do in this game. Quests, challenges, weapons, familiar, dungeons, a plethora of other things (I mean, literally, when you open the menu, there are a bunch of things you can click, which opens to submenus, which then open to subsubmenus⦠you get what I mean). But all of that result in one, all-encompassing number: Combat Power (Point?).
I mean, why have 5 elements when everything just sums up into one thing? Why not, maybe, have elemental powers, so we can choose to excel in one element, or what have you. Iād also love to have my familiars gain experience and level up from fighting monsters, not only from consuming items which obtaining almost always depend on luck and/or RpRpRp.
The funny thing I found about Cross Worlds is that you can teleport to places, but it doesnāt work how I imagined them to be. So, like, you can teleport from one big area to another, but within that area, which is still pretty huge, you actually have to walk. I thought if I chose a Fast Travel option I would get teleported to the spot I wanted, but no, within an area Fast Travel meant āget on the cat horseā. Idk, itās not that weird, but I just find it funny. Especially when Iām auto-ing quests, I expected my character to just teleport to quest/quest giver spots, but no⦠he has to make good use of those legs lol.
Auto! Thatās the next funny thing. You can auto things out in this game⦠which I heard is not the norm of the genre. For example, your character has basic moves, and then class-specific moves, and then some more special moves (that could be class-specific, but some are class-unspecificāIām making up words, I know). You can just put your character in monster-focused mode, and choose auto, and the character will automatically rotate between moves, only spaced out by the skillsā cool down time.
So if you need to farm items from the monsters, or just need to rack up EXPs, turn the game on, go auto, and just leave it for a few hours, days, or probably weeks, and voila! Level up. You should probably check once in a while in case your character dies, because if they do, theyāll revive in a safe spot without monsters, so theyāll cease gathering up EXPs or items until you restart the auto thing again.
The same principle applies to special battles, too, such as boss fights. Go auto mode, and then move your character around just to get out of the attack range and youāll mostly be fine š (especially if your class is a long-range type). You might contribute less in the fight, though, so youāll receive less rewards, too. But my topmost priority is to survive and still get rewards, so itās OK.
And hereās my not so original strategy to fighting in this game,
especially when youāre fighting monsters that can kill you in just a few strikes:
Full auto mode
Auto-potion at 85% HP (the pot I currently use restores 25% HP, but because of pot cool down time (10 sec), you might get potted up at less than 70% HP so I guess itās ok. Theyāre awfully cheap, too.)
Equip reduce pot cool down time skill, if you have it. It's probably effective, but I'm not too sure.
After one round of class skills, which cool down for 10-12 sec, run around the arena until you can fire those skills again. Youāre on auto, so donāt worry about aiming. Usually the monsters have all gathered quite close with each other after chasing you, so your skills will have better chance at hitting all of them at once.
Try to not stand in front of the monster
Try to position the camera so that you can see about⦠idk, probably 30 m radius around your character. Youāre on auto, so youāre free to use your left hand to move the character and right hand to move the camera.
Disclaimer: this method works well for me, who really, really suck at this game, Rogue (archer) class, use keyboard, and donāt use mouse.
All in all, itās quite a fun game, especially when you have friends, albeit just a few, to play it with you. Even an introvert crave socializing (āĀ“ā”`ā) (donāt ask me to go outside, though).
0 notes
Text
Child in a Grown-upās Body
Beberapa waktu lalu saya sempat ribut sama teman. Ngga ribut gimana-gimana sih⦠tapi ada arguing lah pokonya. Trus saya cerita kepada teman yang lain (yang ga kenal sama temen ribut saya) tentang apa yang terjadi, trus komennya, āKalian udah gede kan? Kok berantemnya kayak anak SMA?ā
*imagine a GIF panda ngegelundung here* *Iām too lazy to insert it myself*
Dulu ada seorang junior bilang gini, āMba, aku pengen deh kayak Mba Tri, walau udah tua tapi masih kekanak-kanakan.ā This person literally said something of that effect to my face! I mean, iya, maap dehā¦
Tapi ya di sebuah video tentang MBTI ada yang bilang INTP itu intelligent but child like. Not me saying myself is intelligent, but, I mean⦠thereās a certain part of me that actually, really, seriously, look at the world with doe-eyed wonderment. I get cynical and skeptical a lot, especially in dealing with people who donāt have the same interest as me, or simply spout what I think sounds like nonsense and insist that they are right/making sense.
But I have a curiosity level of a pre-school kid looking out the window of a running bus. Like, kemaren pas di tol saya ngeliat trek KCIC (itu trek KCIC bukan bahkan.. idek) ada pipa paralon yang nempel di betonnya, and I remember I actually stared at them thinking what they were for, dan kalo buat ngalirin air hujan, saya membayangkan apakah dengan ukuran dan desain penempelan seperti itu debit airnya bakal cukup besar untuk ngga bikin bagian atasnya banjir. I Need To Probe into it! (bad pun, but wtv lol)
What I want to say is that punya sisi kanak-kanak itās not that big of a deal. Iād be the first to admit that itās not cute, itās cringey, itāll probably make a lot of people uncomfortable if they donāt know you/are not used to you, but⦠WHEN YOUāRE CURIOUS, YOUāRE CURIOUS ALRIGHT! And if you genuinely, out of reflex, emote your joy and sadness like a child, you donāt have to feel like youāre a failure of an adult.
Dan curiosity dan mannerism yang child-like itu belom tentu hand-in-hand dengan not being able to be responsible and think things through. Karena walau saya merasa sedikit banget tumbuhnya dibanding 20-30 tahun yang lalu, I think Iām a well-functioning adult, with a job and family and friends, and I can take care of myself on my own⦠to a certain extent. Jadi kek⦠being a grown up doesnāt have to mean you have to look serious or know what to do all the time š¤·ā
0 notes
Text
Some Jumbled Thoughts on Higher Education, Being a Super Student, My Own Insecurities, and Some Other Things that canāt be Mentioned Individually
Sebelum memulai: gimana sih meng-emphasis maha di mahasiswa? Mahasiswa bahasa Inggrisnya tetep student aja kan ya? š
OK. So. I suddenly want to talk about this⦠but my thoughts, as usual, is a nonlinear occurrence that even an expert in linearization will not find a surefire way to linearize it. Itās not them, itās me. My brainās just that bad. If you want to read this, be warned! This is going to be long. So far Iāve only written less than 100 words, but I know this is going to be probably even longer that my longest scientific paper yet. All hail hypebole! Oh well.
Waktu awal-awal S2, saya beberapa kali bikin postingan tentang memilih pendidikan tinggi. In hindsight, itu mungkin cara saya meyakinkan diri bahwa saya mengambil pilihan yang benar. Jadi sejak lulus S1 saya tu udah kebayang-bayang pengen lanjut sekolah, tapi engga pede. Dan ini di-back up dengan bukti nyata bahwa IP saya mepet-mepet batas minimum PNS š which kalo dibandingin ama temen-temen, termasuk kasta bawah (bukannya mau bilang PNS itu kasta bawah⦠tapi ya⦠memang batas minimum untuk daftar PNS ngga setinggi perusahaan laen kan⦠which I think is very generous and accommodating). Jadi kek saya tu bisa dapet kerja dengan kondisi mengenaskan begitu tu udah bersyukur banget.
Tapi yaaaaa due to some circumstances, akhirnya saya berani untuk mengambil pilihan itu. Yang menarik adalah, kalo orang bilang masa pencarian jati diri itu pas SMA. Lha saya baru menemukan hal yang disukai pas S1, dan ternyata semakin banyak memahami diri pas S2. I went into grad school expecting some hardcore school stuff (well, there were hardcore school stuff), and I got out with a much better understanding of myself, of what Iām actually capable of doing, and a whole lot of experience yang saya yakin ga semua grad student mendapatkannya:
Merencanakan penelitian, like, real research, with funding and everything, bukan sekadar tesis
Ngedraft paten
Ngepanitiain plus presentasi di international conference
Naik pesawat
Ngeliat Bali š
Belanja ke luar negeri trus bayar pajak masuk 4,6 juta (berkat ketidaktahuan š)
Dan dari semua pengalaman itu (dan hardcore school stuff), saya jadi paham kalo saya tu⦠capable kok. Ngga bodo kok. Walopun, lagi-lagi, saya lulus dengan IP mepet-mepet. Tapi kali ini untungnya mepet syarat minimum daftar LPDP š
.
Dulu saya ga percaya kalo ānilai ngga menentukanā. Maksudnya, mungkin ngga 100% menentukan kadar kecakapan seseorang, tapi at least indikatif akan level kecakapan tertentu. Jadi saya tetep merasa nilai itu penting. Tapi, setelah melalui hampir 3 tahun sebagai grad student, I realize that I suck at school š. And this brings me to the next point: sekolah tu bukan buat semua orang. Semua orang perlu mendapat pendidikan, tapi ngga semua harus sekolah. ćØęćć¾ć.
Beberapa waktu belakangan ini saya banyak baca tentang cognitive functions. Crash course bagi yang belum tau apa itu cognitive function, jadi katanya tiap orang, or at least tiap tipe kepribadian MBTI, prefer satu set susunan/stack cognitive function tertentu. Nah susunan ini Ā menjelaskan bagaimana seseorang mengumpulkan informasi dan membuat keputusan. In short, how a person functions. Misalnya tipe MBTI saya INTP, function stack saya introverted thinking (Ti), extraverted intuition (Ne), introverted sensing (Si), dan extraverted feeling (Fe).
Disclaimer begin
Iām no expert in this, Iām just saying what I think I have understood about this.
Disclaimer end
Nah, Ti itu saya ngeliatnya kayak komputer. It keeps on computing, calculating, crunching equations like thereās no tomorrow. Ne itu generating ideas, nyari hubungan antara berbagai hal, branching out ideas, dst. Ti digabung sama Ne jadinya terus-terusan memproses kemungkinan-kemungkinan yang semakin lama semakin meluas. Apa dampak sosialnya? Seorang INTP banyak menyendiri dan banyak procras karena sibuk sama isi kepalanya sendiri. This is literally me.
For the longest time, I felt like an alien. I didnāt understand people (inferior Fe), people didnāt understand me. I have to self-deprecate to look harmless and approachable (inferior Fe). I felt like an impostor, how I interact with people felt fake. And I couldnāt keep up with hardcore school stuff to save my life (tertiary Si)āwhich I blame as the main reason why IP saya jongkok banget. At some point, saya berpikir kalo saya aneh dan payah.
BUT! Setelah belajar cognitive function, saya tau kalo saya tu ngga bodo. Saya ngga payah. Iām just wired differently. Not trying to say that āimma not like other girlā, but⦠coba deh kalian cek temen-temen kalian, ada ngga yang kerjaannya menelurkan dad jokes pada saat yang paling random, menghubung-hubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain yang⦠sebenernya tidak berhubungan, dan kalo lagi ada di tengah-tengah forum, tiba-tiba dia kek menerawang, trus pas ditanya dia kaget dan minta pertanyaannya diulangādan setelah pertanyaannya diulang, dia akan mempertanyakan pertanyaan tersebut sebelum ngasih jawaban. Sepanjang pengalaman saya sih jarang banget ketemu orang kayak gini. Lebih tepatnya, di lingkaran sosial saya, yang cukup sulit dibilang āsosialā, cuma saya yang begini. Or maaaaaybe Iām just living inside a very tiny, limited, shell. Who knows.
Anyway. Jadi, kalo saya ngga bodo, kenapa nilai saya jelek?
Because I suck at school. Thatās the only explanation. Kenapa saya susah banget ngikutin ritme kuliah yang di saat bersamaan ada kelas, ada tugas, ada tugas besar, ada ālingkaran sosialā, ada penelitian, ada⦠AAARGH!!! Yang membuat lebih frustrasinya lagi adalah⦠I actually didnāt hate those things. The classes were interesing, and I was curious about them. But I couldnāt, for the life of me, nyicil kerjaan yang banyak itu satu persatu.
Dari situ saya sadar, kalau sekolah itu didesain buat orang-orang yang Si-nya lebih dominan. Seperti ISFJ (SiFeTiNe) dan ISTJ (SiTeFiNe). Si itu cenderung merapikan informasi. Jadi kek bayangin di dalem kepala itu ada rak tempat menyimpan informasi dengan rapi sesuai kategori. Orang-orang dengan Si yang dominan biasanya rapi, tertata, dan sepanjang pengamatan saya sih, ketika harus detour (misal lagi ngerjain tugas matkul A, terus berhenti dulu buat masuk kelas B), mereka bisa balik lagi ke titik asal dengan mudah. They are masters of routine and organization! They stick to the tried and true like scraps of paper to a ruler with static electricity. Dan itu adalah trait yang sangat bermanfaat untuk melalui sistem pendidikan seperti yang kita kenal sekarang.
Dan bukan cuma saya yang merasa begini. Kemarin-kemarin lihat di sebuah video yutub yang ngebahas kenapa kalo INTP itu tipe yang pinter (katanya Einstein INTP), di sekolahnya payah? Ya ini penyebabnya, karena cara berpikirnya ngga cocok dengan sistem pendidikan yang ada.
Yang membuat saya berpikir, kalau semua orang harus masuk ke sistem yang sama, dievaluasi dengan cara yang sama, lalu dibandingkan satu sama lain⦠itu adalah sebuah ketidakadilan. Agar bisa menjadi adil, antara:
1. Sistem sekolahnya diganti, somehow.
2. Ngga perlu semua orang sekolah.
Soalnya saya sedih juga sih liat ponakan saya yang anaknya aktif banget, ngga bisa diem, susah fokus, gitu-gitu. Katanya anak seperti itu bagus macem di Sekolah Alam, yang kegiatannya banyak aktivitas, ngga sekadar duduk di kelas. Tapi kan mahal yak⦠jadi yang sesuai kemampuan orang tuanya ya SD biasa aja, yang semua anak diperlakukan sama dan diberi standar yang sama. Teman yang guru bilang soal murid yang ngga bisa ngikutin pace temen-temennya di kelas, āTetep naik kelas, tapi naik kelas gusur.ā Alias yaa⦠terseret-seret aja gitu.
Which I think is a problem. Which I donāt have a solution yet⦠kalau mau pake opsi 1 di atas.
Tapi opsi 2 juga problematik kan⦠karena ngga semua orang kalau ngga sekolah tu bakal belajar. Ngga semua orang tua bisa/mau ngajarin anaknya. Padahal ada bagian dari kurikulum sekolah yang penting banget, seperti calistung. Belum lagi, di masyarakat saat ini kek ada stigma tertentu tentang orang yang ga sekolah. Masa depannya surem lah, bodo lah, apa lah.
Tapi kalo ngeliat sistemnya, at least saat ini, menurutku ngga perlu menganggap sekolah itu kek sesuatu yang kalo nggak dilakukan jadi aib banget. More importantly, ngga perlu meng-kasta-kan pendidikan tinggi. Karena menurutku sayang banget kalo orang masuk S2, apalagi sampe S3, āhanyaā karena gengsi atau kenaikan jabatan atau semacamnya. Atau karena ādisuruh orang tuaā. I mean, kalo masuk S2 kan kemungkinan udah di atas 20 tahun ngga sih⦠menurutku aga sedikit terlalu tua untuk menggunakan alasan ādisuruh orang tuaā. Walaupun nurut sama orang tua juga ngga salah. Tapi⦠di usia segitu biasanya sih orang udah terekspos berbagai gagasan dan paradigma yang aneh-aneh, jadi yaa mungkin udah bisa beropini sendiri. Probably? š¤·ā
Pas wawancara seleksi LPDP, saya ditanya kenapa harus S3, dan kenapa LPDP harus membiayai saya. Which I think is a legit question, dan menurut saya seseorang tu harus punya alasan lebih kenapa mau S3. Lebih dari sekadar āsejak kecil udah cita-cita jadi doktorā, atau āpekerjaan menuntut saya S3ā, atau ākarena ada kesempatanā.
Tapi apapun itu, perkara dia menyebutkannya kepada pewawancara itu sesuatu yang beda lagi ya⦠𤣠And Iām especially mentioning this because I do have my own reasons for pursuing higher education, and that it is not as noble as wanting to contribute to the country, or even the humanity. Because, my dreams are my own, I want to achieve them because I want to.
Sure, mau dong berkontribusi untuk negeri. Tapi tetep apa yang saya kontribusikan itu ya sesuatu yang saya ingin kontribusikan, bukan karena it is what should be done or some practicality. Jadi kek saya tu harus mencari apa yang bisa diekstrak dari apa yang saya pengenin yang bisa well-received sama orang kebanyakan, and thatās my sort of ābig dreamā. Honestly though⦠Iām doing it because I want to. And I think that it is something I can do.
Ok⦠at this point, in total I have written 2.3k words, and from this point specifically there are 700+ words below. Which I think Iām not going to include in the post because they are more meandering than what I have written up there. Iāll probably come back to it though⦠I donāt know.
This is where Iām gonna stop for now.
0 notes
Text
Planning trick that I think is worth the try but I haven't tried yet because:
It's freaking planning trick! š¤£
Jadi, problem saya dengan planning adalah mindset bahwa it has to be usable, or it's completely worthless. Dudulnya saya sulit mengikuti jadwal.
Contoh kayak gini:
Plan:
9.00-12.00 ngerjain A
12.00-13.00 ishoma
13.00-15.00 ngerjain B
Realita:
9.00-12.00 mengumpulkan willpower
12.00-14.00 ishoma + yutub
14.00-15.00 mengumpulkan willpower sambil yutuban
...
21.00-00.00 ngerjain A. Atau ngerjain B kalau deadline B lebih cepet. Atau tetep ngerjain A karena A lebih menarik. Idk. Anggap A lebih seru. Besoknya bisa aja saya ngerjain A dari beres shalat subuh š¤·āāļø
Jadi plan di awal itu lembaran kerbau (bullsheet). (Bull itu kebo apa banteng? Kok lupa)
ANYWAY. There have been things I tried. Creative-style planner misal. I don't really make pretty, artsy spreads, but I do have several brush pens and stickers. So I stick on some stickers and write names of the day in cursive. Sometimes it works, some other times it doesn't. But it's improvement! And I guess the fact that I use a binder instead of a notebook helps tremendously.
Hal lain yang udah dicoba adalah PAKE WHITEBOARD. Saya pake yang ukuran A3, ditaro di meja. Kalo ada yang urgent atau butuh perhatian, tulisin di sono gede-gede. Kalo udah, tinggal hapus. It's so simple!
Nah. Yang belom dicoba sampe sekarang, tapi menurutku saran yang bagus, adalah: make a dedicated time for planning. It could go as extreme as: 3 hari planning untuk kegiatan sebulan. Hem... my predictive horizon is probably 1 week at most, jadi mungkin 1 hari planning untuk kegiatan seminggu? That's the idea. Kata yang ngasih saran, planning tu bukan masalah kapan ngerjain apa, tapi masalah tau kapan bisa istirahat.
Beberapa minggu terakhir ini saya mulai melihat trend bahwa Sabtu tu paling enak buat istirahat. It's refreshing. Idealnya, hari Ahad buat planning. And this is where the plan hiccups. Karena hari Ahad saya malas mikirin kerjaan š
Faktor lain yang menyulitkan adalah ketika ada banyak pekerjaan and I could physically only do one of them. Terutama kalau siangnya seharian di luar rumah. Malamnya cenderung cape dan cepat ngantuk.
Sooo... yeah. Today is Sunday, and what's been on my mind adalah: mau nyiapin presentasi seminar, tapi besok ada yang harus seharian dikerjain di kampus. Begitu pula dengan besoknya. Dan besoknya. Dan ada kuliah. Isn't it weird that my least favorite part of kuliah adalah perkuliahan? Like, I can do without, thank you very much š¤£š¤£š¤£
0 notes
Text
Kalo malem mau tidur tu suka, "Aman ga ya tidur?"
Kemaren akhirnya browsing productivity tips for INTP, dan nemu video yang amat sangat tidak minced words. Intinya, kita tu harus bisa bekerja saat banyak hal belum siap/belum pasti. Jadi kerjain aja, ngga usah nunggu semua prerequisite terpenuhi. Kita juga mesti sadar bahwa ide kita itu nothing kalau ga di-follow up. Lalu, kasih tau goal kita ke orang yang kita percaya to keep us accountable.
Saya tu udah males sebenernya sama productivity tips yang lebih ke arah trik-trik gitu. Kayak bullet journal (I still enjoy watching artistic bujo vids though), 2-minutes mindset (menipu diri dengan bilang, aku ngerjain ini 2 menit aja kok...), pomodoro, dst. They don't do shit. Kesimpulan saya, mental toughness untuk tidak procras itu bukan sesuatu yang lahir dari saran orang lain. Emang harus orangnya yang mengerahkan willpower.
Jadi video yang saya sebut di atas itu simpel and without tricks, tapi relatable banget š Ya orang kayak saya tu kayaknya emang ngga mempan dikasih trik, prosedur, how-to's. I have to invent my own tricks, a method that sings to me, something that I think, execute, and evaluate by myself. A method that I own.
Hubungannya sama kalimat pertama apa ya? š
0 notes
Text
On Being Suck at Playing Games
Jadi saya baru mendapat suatu "enlightening moment", dan kocaknya saya dapat ini saat main Overcooked 2 bareng temen-temen tadi sore.
Nah, overview dikit tentang gamenya: Overcooked 2 itu intinya co-operation gitu untuk nyelesein suatu target. Misal mau bikin beef spageti, ada proses motong daging, ngoseng daging, rebus pasta, diakhiri dengan plating dan ngasiin ke customer, nanti dapet poin dan tiap level ada poin minimum yang harus dicapai. Yang challenging adalah kadang layout dapurnya dibuat sedemikian rupa supaya suatu hal itu mau ga mau dikerjain bareng. Misal saya terkurung di storage daging dan penggorengan, sedangkan talenan ada di tempatnya temen. Walhasil saya harus lemparin daging yang belum dipotong ke si temen, lalu ambil yang udah dia potong buat saya oseng. It's a pretty fun game.
Yang saya notice adalah saya tu emang orangnya kalo planning, ya planning aja. Kalo kerja, ya kerja aja.
In my experience, planning and execution require completely different thought processes yang ga bisa berbarengan. Jadi ada orang yang kalo dikasih resource tertentu (bahan makan, alat masak--kalo dengan analogi Overcooked ya) dan goal tertentu (resep, urutan hidangan), dia tu langsung gerak, trus kalau gerakannya salah, bisa segera adjust. Temen-temen saya pada begini. Kalo saya ga bisa. Begitu bergerak dan gerakannya salah, otak tu langsung buyar. Kek komputer nge-hang karena programnya error. Udah gitu koneksinya nge-lag kan š
Makanya saya biasanya membatasi diri ke pekerjaan tertentu, misal jadi tukang lempar bahan doang, atau tukang motong doang. Pekerjaan yang sederhana seperti ini ngga butuh planning. Ngga butuh mikirin daging yang udah saya potong berikutnya harus diapain. Kalau di posisi planner, masih dengan analogi Overcooked, yang saya kerjakan adalah ngasih tau kalo yang di penggorengan udah mateng, ngasih tau kalo ikan udah selesai dipotong, dan ngasih tau orderan mana yang harus diselesaikan duluan.
Yang menariknya itu saat saya menyadari bahwa dalam pekerjaan IRL pun saya begitu. Kalau jadi ketua yang membagi-bagi pekerjaan, saya ga bisa sekaligus jadi yang mengerjakan.
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan kerja bareng orang yang bisa diandalkan banget sebagai eksekutor. Saya cukup kasih tau dasar teorinya gimana, yang perlu dikerjain apa, udah deh tinggal monitor dan troubleshoot. Yang banyak leg work-nya ya si eksekutor. It was such a joy (āĀ“ā”`ā)
Sometimes I berate myself for being so sucky at playing games. Tapi kayaknya memang normalnya begitu: ada games yang saya jago, ada yang engga. Cuma kebeneran aja saya jagonya game yang ga rame, kayak Freecell, Sudoku, word games (tapi buat saya rame ಄_಄). Kalo Overcooked payah. Game sepakbola payah. Catur juga payah.
Tapi ya gapapa juga sih (¬āæĀ¬)
0 notes
Text
Life Grand Map yang Tidak Grand
Jadi ya, kalau bukan karena tugas PK, saya ga bakal bikin ginian š Tapi bukan berarti karena demi tugas, saya mengerjakannya dengan tidak jujur.
Saya suka belajar. Makanya pengen banget jadi researcher, karena menurutku researcher itu belajar tapi dibayar. Pengennya sih kita tu macem bisa berguru gitu lho, jadi untuk belajar itu cukup dengan "ngikut" profesor atau orang yang kredibel di bidang yang kita tekuni. Lalu mengerjakan apa yang dia kerjakan. Menapaki tempat-tempat yang dia lalui. Ga perlu enroll institusi. Well... it could probably be a thing in the future. Who knows.
Nah, berkaitan dengan tugas PK ini, jadi intinya tu kita harus menjabarkan roadmap (hidup) kita kepada khalayak. Mulai dari nge-SWOT diri (tapi yang saya tampilin cuma strengths/potentials sih--dipikir-pikir kayaknya asik juga bikin postingan SWOT... cuman entar jadi postingan self-important sekaligus self-pity gitu ššš), terus abis sekolah mau ngapain, tahapannya gimana, bahkan detail ke peran/jabatan yang dicapai dalam kurun waktu yang ditetapkan.
I'm shit at creating goals, alright, makanya roadmap saya bentuknya kayak buletan target gitu (pun intended). Karena menurut pengalaman, kalau saya bikin target, maka targetnya tidak kecapaian (sedih amat sih Tor...)
Roadmap saya penuh dengan simbolisme sebenernya. Pertama, kita mulai dengan background-nya yang berupa foto suatu lahan dan langit biru. Jadi maksudnya itu tuh meski menuntut ilmu hingga ke langit, tapi tetap membumi :v (let me be pede for now okay)
Terus buletan-buletannya itu kalau diperhatiin:
Buletan Dalem
Jari-jarinya ditandai 2022-2025, berarti itu nunjukin masa S3 saya yang mudah-mudahan selesai dalam durasi itu. Di dalamnya ada tiga titik dengan keterangan: desire to contribute, curiosity, dan thirst for understanding, yang menurut saya adalah potensi saya yang membuat saya memulai perjalanan ini /hasek Itu bisa diliat juga background-nya foto Aula Barat, jadi menyimbolkan tempat saya belajar.
Buletan Tengah
Jari-jarinya ditambah sampe 2030 (5 tahun), walopun secara grafis itu keliatan sama dengan jari-jari lingkaran yang dalem (3 tahun) tapi yaudahlah ya. Di dalam lingkaran yang tengah ada 3 hal, yaitu practical formulation, field experiment, dan global participation. Ketiga hal ini adalah yang ingin saya lakukan setelah S3 selesai.
Pinginnya sih merintis praktik dari hasil studi, mungkin dengan mengerjakan proyek-proyek mikrogrid (seandainya ada), berguru sama praktisi internasional, nulis banyak paper, ikut banyak konferensi, dan banyak lagi.
Lingkaran yang lebih besar ini ngga cuma menunjukkan pertambahan waktu, tapi juga pertambahan scope kerjaan saya, yang tadinya cuma di sekolah, jadi merambah ke luar sekolah. Ke lokasi proyek misalnya, atau ke badan riset yang menerima saya.
Bisa dilihat juga itu background-nya gambar solar farm sama wind farm, menunjukkan bidang yang harapannya saya garap entar.
Buletan Luar
Seperti yang tengah, lingkaran ini juga secara timeline nambah 5 tahun, dengan background peta Indonesia yang maksudnya adalah saya udah mulai berkontribusi nyata buat Indonesia. Misalnya ke pelosok masang solar farm gitu.
Sejujurnya saya ada cita-cita yang saya gentari, yaitu: ngeproyek di daerah 3T. Pengen ngalamin ke tempat terpencil pake pesawat kecil atau naik perahu. Tapi gentar karena saya anak ngota banget, yang walopun di kota juga gaptek dan mandi kalau gerah aja, tapi kalau ke tempat yang ga ada MCK entar gimana ya? Nyemplung aja ke laut gitu?
Nah itu bagian field implementation. Kalo bagian holistic worldview dan continuous learning sih lebih ke mentality yang established aja.
Nah, begitulah kira-kira life grand map saya yang tidak grand. Intinya sih sebenernya saya orang yang tidak punya ambisi dan tidak punya target yang jelas. But hey, this is a personal thing, so I don't see why I should try to create a life map with a lot of details and procedures. Lagian, menurutku untuk bisa berkontribusi nyata, kita nggak harus punya roadmap detail yang malah bikin stres saat ada langkah yang miss atau kelewat deadline. To each their own. ĀÆ\_(ć)_/ĀÆ
0 notes
Text
Apa Muslimah Boleh Mengentang?
Disclaimer: tulisan ini tidak akan memberikan kesimpulan apakah muslimah boleh mengentang atau tidak.
Belakangan ini saya sempat kepikiran pengen menjadi kentang untuk beberapa waktu. Menjadi kentang itu maksudnya guling-guling sambil ngegarap TBR saya yang sudah mengerikan tumpukannya. Hanya saja saya ngga tau apakah dalam waktu dekat akan punya keleluasaan untuk melakukan hal itu, atau apakah saya layak mendapatkannya. Sebagaimana yang udah sering dicurcolin, saya ini deadliner parah. Saya masih bisa berfungsi sebagai manusia saat ini mungkin karena belum pernah ada di situasi yang bener-bener tidak ada deadline.
Jadi kek saya tu beneran ngga punya sekat antara mode kerja dan mode leyeh-leyeh. Sesungguhnya pernah dapat nasihat, bahwa memisahkan waktu bekerja dengan waktu personal itu penting karena kita jadi tau kapan harus hustle, kapan boleh nyantai. Dan emang nasihat ini kerasa banget! Kemarin lihat di yutub tentang INTP vs orang lain. Kalo orang lain tu saat ga ada kerjaan chilling, saat ada kerjaan ya kerja. Kalo INTP saat ga ada kerjaan chilling, saat ada kerjaan chilling stressfully š (kenapa bisa bener banget ya Allah... mungkin saya jenis orang yang bisa ngepas banget ama tipologi kepribadian ya?)
Kalaupun memang saya layak dapat waktu mengentang, kadang saya mikir juga sih (trus mikirnya lama, akhirnya mumet dan alih-alih baca buku, malah mindless scroll socmed), kenapa ga manfaatin waktunya buat muroja'ah atau nambah hapalan? Kenapa ga manfaatin buat bikin tulisan bagus yang bisa dishare? Kenapa ga olahraga?! Kek... apa justifikasinya bahwa waktu luang itu bisa digunakan untuk tiduran dan baca buku? I mean, ada yang bilang ngerjain hal yang disuka itu bagus buat kesehatan mental, tapi di sisi lain ada banyak hal lain yang mungkin a chore, tapi lebih penting dan lebih bermanfaat. Dan sering merasa bersalah gitu kalau lebih memilih yang fun daripada yang bermanfaat, sampai harus mencari-cari alasan ke diri sendiri bahwa, it's okay, you wouldn't get anything done stressed out anyway, so try hard to chill now that you can be more productive later.
...
..
.
(later = 1 hari sebelum deadline pekerjaan berikutnya)
0 notes