irulfahman
irulfahman
💕đŸȘ
38 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
irulfahman · 2 months ago
Text
Belajar Mengelola APBN lewat Oakland Athletics
“Who are you?”
Pertanyaan ikonik yang dijawab dengan namanya oleh Peter Brand. Ia adalah seorang Rookie Analyst lulusan Ekonomi yang baru saja mendapatkan pekerjaan pertamanya di klub Baseball Claveland Indians. Billy Beane, General Manager Oakland Athletics, mendatanginya setelah gagalnya kesepakatan pertukaran pemain di ruang negosiasi yang disebabkan karena bisikannya. Peter membisikkan bahwa ia menyukai Garcia kepada Mark Saphiro, General Manager Cleaveland Indians, yang menyebabkan usulan tukar tambah Guthrie dan Garcia yang diajukan Billy gagal dilakukan dan membuatnya kesal.
Billy Beane baru saja kehilangan tiga pemain pilar pasca kekalahan timnya pada babak playoff American League Division Series (ALDS) tahun 2001 melawan salah satu tim besar, New York Yankees. Kekalahan yang sebenarnya dinilai wajar bagi sebagian besar orang, dengan melihat ketimpangan kondisi finansial tim nyaris 3 kali lipat yang mengakibatkan sangat terbatasnya akses Oakland A's ke pemain bintang dibanding New York Yankees.
Kehilangan 3 pemain ini adalah masalah serius baginya. Upaya untuk meminta tambahan dana guna menambal kebocoran formasi tim untuk musim berikutnya pun gagal dilakukan. Keuangan tim memang sangat pas-pasan namun Oakland A's tidak boleh semakin terpuruk. Billy memutar otak. Ia tetap harus menang meski dengan dana yang sangat terbatas. Maka dia mendatangi Mark dan terjadilah negosiasi yang akhirnya gagal itu.
“Who are you?”
Billy awalnya kesal. Ia ingin memastikan dan menggali lebih dalam mengenai apa yang menjadikan seorang manajer seperti Mark mau mendengarkan bisikan anak baru seperti Peter. Billy merasa pasti ada satu hal yang diketahui anak itu dan tidak diketahui orang lain. Peter sebetulnya tak tau kenapa Mark mau mendengarkannya namun ia lantas menjelaskan kepada Billy bahwa terdapat kesalahan umum yang biasa dilakukan oleh hampir semua tim baseball dalam menilai pemain dan mengelola timnya. 
Tim baseball umumnya menilai pemain dari apa yang nampak, seperti penampilan fisik, cara mereka melempar, melakukan swing dan berlari. Mereka menilai berdasarkan intuisi, pengalaman masa lalu, dan bias-bias lainnya. Oleh karena itu, banyak tim yang akhirnya menghabiskan uang-uang mereka untuk membeli pemain mahal dan berharap menang dengan pemain yang telah mereka beli. 
“Tim seharusnya membeli ‘kemenangan’ bukan membeli ‘pemain’”, begitu kata Peter. Pernyataan yang membuat Billy tertarik dan membawa Peter ke Oakland A's sebagai Analisnya. Tidak masalah jika pemain yang dibeli nantinya adalah pemain yang tidak punya banyak penggemar dan tidak memiliki aura bintang. Tujuannya hanya satu, menang. Dan satu-satunya cara yang ditawarkan Peter untuk mengetahui pemain mana yang dapat membawa tim mereka pada kemenangan, tentu dengan harga seminim mungkin, adalah dengan Statistika. Statistika Sabermetrika.
Berdasarkan statistika, Peter menyarankan beberapa nama yang dianggap tidak layak berdasarkan pengamatan konvensional namun punya nilai statistik tersembunyi terutama on-base percentage (OBP). Mereka adalah, David Justice, pemain tua yang dinilai sudah melewati masa primanya namun dianggap masih mampu mendapatkan base dengan walk. Scott Hatteberg, pemain yang karena cedera tidak lagi bisa melempar layaknya seorang catcher namun dipandang Peter dan Billy sebagai aset undervalued karena tim lain hanya menilainya pada posisi lamanya, bukan potensinya. Dan yang terakhir Jeremy Gambi, pemain yang tidak disiplin, suka menghabiskan waktu ke bar dan penari telanjang, serta tidak memiliki fisik yang ideal untuk ukuran atlet namun memiliki OBP tinggi. 3 pemain itu adalah pemain yang tidak diminati tim lain, karena dianggap ‘pesakitan’ dan sering berakhir di bangku cadangan. Dan tentu saja, Billy berhasil mendatangkan mereka ke Oakland A's dengan harga yang sangat minim.
Adaptasi mulai dilakukan di hari pertama mereka bergabung dengan Oakland A's. Pertentangan adalah hal yang pasti. Art Howe, Manajer Lapangan Oakland A's, lebih memilih pendekatan konvensional dari pengalamannya dibanding mendengarkan konsep Sabermetrika Billy. Ia lebih memilih untuk memainkan Carlos Peña dibanding Scott Hatteberg sebagai First Baseman. Hasilnya? Oakland A's terpuruk pada masa-masa awal adaptasi dan nyaris menghancurkan keseluruhan performa tim selama satu musim. Howe enggan berjudi dengan menuruti arahan Billy dan mengesampingkan pemahamannya tentang filosofi perang di lapangan baseball. Toh, ini musim terakhir baginya. Oakland A's enggan memberikan kepastian akan keberlanjutan kontraknya, maka wajar jika Howe bersikap bodo amat dengan arahan Billy.
Di sisi lain, kekalahan beruntun membuat Billy melakukan tindakan nekat. Akhirnya, Ia menjual Carlos Peña yang menjadi andalan Howe dan membuatnya tak punya pilihan lain untuk memainkan pemain-pemain undervalued yang telah dibeli sebelumnya oleh Billy dan Peter. Strategi yang lahir dari Pendekatan Sabermetrika pun akhirnya bekerja. 
Dan sisanya adalah sejarah.
Oakland A's menggemparkan dunia baseball setelah berhasil winstreak sebanyak 20 kali. Kemenangan beruntun terbesar sepanjang sejarah dunia baseball dan datang dari tim kecil. Kemenangan yang membuat nama Billy Beane melambung dan membuat Boston Red Sox berminat meminangnya dengan harga 12,5juta dolar di tahun 2002. Momentum revolusioner ini berhasil mengubah pandangan bahwa hanya tim-tim yang memiliki banyak uang yang dapat menguasai liga.
Di lapangan semua hal bisa terjadi. Di lapangan, semua tim bisa memiliki kesempatan yang sama untuk menang dan menjadi juara. Sedangkan formulasi serta ramuan-ramuan apa yang harus diracik untuk mewujudkan itu semua terjadi jauh di luar lapangan. Billy Beane menolak untuk takluk pada sistem yang ada lantas kemudian menciptakan sistemnya sendiri. Ia membuat formulasiya sendiri. Di tengah-tengah keterbatasan keuangan tim, Ia meracik ramuan-ramuannya sendiri.
Dan mengikuti jejak Oakland A's, beberapa tahun setelahnya siapa yang menyangka bahwa tim sepak bola medioker yang minim akses ke pemain bintang seperti Leicester City bisa memenangkan Liga Sepak Bola Paling Ganas di Dunia, Premier League, musim 2015-2016. Saya pikir tak ada, bahkan dalam mimpi terindah mereka sekalipun. Dan siapa yang menyangka Bayer Leverkusen dapat mematahkan dominasi Munchen di Bundesliga musim 2023-2024 dengan 28 kali kemenangan, 6 kali seri tanpa sekalipun kalah. Semua kemenangan itu hanya bisa dihasilkan jika kita mampu memahami data, mengolahnya dengan statistika, lalu menerapkannya dengan baik. 
Jika di lapangan data dan statistika dapat disulap menjelma senjata tak tampak namun memiliki daya ledak yang berdampak luar biasa, begitu juga di kantor pemerintahan. Kantor-kantor kita (KPPN) adalah rumah bagi jutaan data yang lalu lalang setiap harinya. Siapa yang menyangka, bahkan hal seremeh waktu penyampaian dokumen tagihan oleh satuan kerja saja dapat menjadi data yang berharga. Misalnya, kita bisa mengetahui pada jam, tanggal, dan bulan apa saja lonjakan penyampaian dokumen tagihan terjadi. Dengan begitu kita bisa tau di waktu-waktu apa saja pegawai biasanya harus bekerja ekstra. Atau menyoal Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran (IKPA). Dengan melakukan analisa secara menyeluruh pada IKPA kita bisa tau satuan kerja mana saja yang sama sekali tidak paham mengenai IKPA dan satker mana saja yang memiliki potensi mendapatkan nilai maksimal namun dikarenakan adanya kondisi-kondisi spesifik, mereka tidak bisa mencapai nilai maksimal tersebut. Dengan begitu kita bisa menentukan metodologi pembinaan yang tepat bagi mereka. 
Pengelolaan APBN yang optimal perlu melibatkan perencanaan yang matang serta pelaksanaan yang efektif agar dapat menciptakan kualitas hasil yang unggul. Dan salah satu cara yang bisa kita lakukan dengan parameter yang dapat diukur adalah dengan mencapai nilai IKPA yang baik. Nilai IKPA yang baik sejatinya hanya bisa dicapai jika kita mampu memahami data di mana letak kekurangan satuan kerja dalam mengelola APBN di lingkupnya masing-masing. Dengan begitu kita bisa mengetahui apa saja yang perlu untuk diperbaiki, dikawal, dan ditingkatkan. Yang tidak kalah pentingnya untuk kita perhatikan lebih dari sekedar angka-angka dalam capaian IKPA adalah dampak ekonomikalnya bagi masyarakat. Sebab dengan pengelolaan APBN yang baik yang salah satunya tergambar dalam IKPA lah kehadiran negara bisa benar-benar terasa di tengah-tengah masyarakat.
Apakah kantor kita telah memanfaatkan data dengan baik? Saya kira kita harus banyak-banyak bercermin. Kegagalan Oakland A’s di awal musim adalah karena tidak semua jajaran tim sepakat untuk menggunakan data sebagai senjata andalan mereka. Howe tidak sepakat memainkan Hetteberg sesuai arahan Billy dan lebih memainkan Peña. Maka dari itu penting bagi kita untuk memastikan bahwa pemanfaatan data harus didukung dan dijalankan oleh semua pihak demi keberhasilan dan dampak yang lebih luas dari setiap hasil pekerjaan kita kepada masyarakat.
Kembali ke Billy Beane. ia menolak tawaran fantastis senilai 12,5juta dolar dari Boston Red Sox. Ia menolak tawaran tertinggi untuk seorang General Manager dalam sejarah Major League Baseball demi satu hal: membuktikan keyakinannya terhadap filosofi baseball yang telah ia bangun di Oakland A's. Bagi Billy, uang bukanlah segalanya. Ia lebih memilih untuk menetap dan bertahan di tim di mana ia bisa membuktikan bahwa metode analitik dan pendekatan ilmiah terhadap olahraga bisa mempengaruhi hasil pertandingan. Ia ingin membuktikan bahwa kesuksesan tak harus dibeli dengan jutaan dolar, tapi bisa diraih dengan kecerdasan, keberanian, dan kemampuan mengolah data.
Pada akhirnya, Oakland A's tetap menjadi tim dengan anggaran rendah, dan perjuangan mereka tak selalu mulus. Namun dua tahun setelahnya, Boston Red Sox berhasil memenangkan seri dunia pertamanya sejak 1918 menggunakan filosofi baseball Oakland A's. ini membuktikan bahwa legacy Billy Beane tak hanya tentang angka di papan skor, melainkan tentang revolusi dalam cara memandang dan memainkan olahraga. 
Pendekatan Sabermetrika yang sebelumnya diragukan, kini menjadi standar anyar bagi dunia olahraga, bukan hanya di baseball, tapi juga di sepak bola, basket, dan lainnya. Banyak tim yang kemudian mengikuti legacy Billy dengan memadupadankan data, statistik, dan logika dalam membangun tim yang solid.
Dan meski Billy Beane tak pernah membawa Oakland A's mengangkat trofi World Series, ia berhasil mencatatkan namanya sebagai salah satu tokoh revolusioner dalam dunia olah raga.
Terkadang, kemenangan sejati bukan hanya tentang piala, tapi tentang mengubah cara berpikir dunia.
Harris Amirullah Fahman
Penjelasan umum tentang strategi moneyball:
youtube
Moneyball movie recap:
youtube
0 notes
irulfahman · 3 months ago
Text
Raison D’etre: Susu Formula, Mexico, dan Kebencian Tribalistik di Jawa Timur
Sebuah pamflet yang tidak lebih dari 30 halaman, diterbitkan oleh sebuah organisasi non-pemerintahan Bernama War on Want, ditulis oleh Mike Muller pada tahun 1974 berjudul “The Baby Killer” menjelaskan bagaimana promosi menyesatkan pada produk susu formula dalam kemasan dapat menyebabkan penyakit hingga kematian banyak bayi di sebagian besar belahan Negara Dunia Ketiga.
Tumbuhnya kesadaran bahwa ASI jauh lebih baik dibanding susu formula di kalangan ibu khususnya pada negara maju seperti Amerika menjadi latar belakang ini semua. Kesadaran ini mengakibatkan tingkat penjualan susu formula turun hingga 50% dari total penjualan periode sebelumnya, menyebabkan produsen susu formula mulai menggencarkan promosinya pada negara-negara berkembang seperti di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Penggunaan susu formula secara massif di negara berkembang rupanya memiliki dampak yang katastrofik, cukup berkebalikan jika dibanding penggunaannya pada negara maju. Buruknya sanitasi mempunyai andil besar dalam meningkatkan angka penderita diare dan stunting pada bayi. Bagaimana tidak, ASI yang steril justru digantikan susu formula yang disajikan dengan air yang berpotensi mengandung mikroba. Kondisi ini dinilai bertanggung jawab atas tingginya angka kematian infant pada negara-negara berkembang pada saat itu.
Di samping itu, propaganda yang menyatakan susu formula merupakan solusi bagi Ibu modern menyebabkan semakin tingginya angka penyapihan dini. Kurangnya pengetahuan kaum ibu di negara berkembang, menjadikan apapun yang dianggap tren di negara maju sebagai kiblat bagi mereka. Termasuk dalam hal menyusui. Padahal tren ini pun mulai ditinggalkan oleh kaum ibu di negara maju seiring dengan merebaknya informasi mengenai kelebihan-kelebihan ASI.
“The Baby Killer” pada akhirnya menyebabkan boikot massal terhadap produk susu formula, khususnya di negara-negara maju. Namun, arus informasi negara berkembang yang terbatas pada masa itu mengakibatkan tidak sampainya informasi penting dan genting ini. Hal ini dibuktikan dengan masih banyak ditemuinya orang-orang berpakaian perawat yang dikirim oleh Produsen Susu Formula tersebut ke desa-desa untuk menjajakan produknya, mengakibatkan angka stunting dan mortalitas infant tetap tinggi pada wilayah-wilayah itu. Kampanye haram ini jugalah yang mengakibatkan informasi terkait kembalinya tren kaum ibu di negara maju dari menggunakan susu formula ke ASI menjadi kabur.
Informasi menjadi hal yang memiliki peranan vital. Munculnya People Power tidak lepas dari peran tersebarnya informasi. Dalam konteks ini, informasi tidak hanya mampu menghasilkan perubahan tingkah laku masyarakat dalam memandang dan menilai sesuatu saja, tetapi juga mampu membentuk gerakan sosial yang dapat mendesak lembaga besar seperti WHO dan UNICEF untuk menetapkan International Code of Marketing of Breast-milk Subtitutes dan mau tidak mau harus dipatuhi oleh Produsen Susu Formula manapun. Meski di belakang itu, pelanggaran-pelanggaran etik masih saja  sering dilakukan.
Jika melihat pernyataan Abhijit Banerjee pada bukunya yang berjudul Poor Economic: A Radical Rethinking of the Way to Fight Global Poverty, kita dapat mengetahui bahwa keterbatasan akses informasi menjadi salah satu variabel yang membedakan antara kelompok kaya dan miskin. Karena keterbatasan informasi, banyak sekali keputusan tidak tepat yang dibuat oleh kalangan masyarakat miskin. Sebagai contoh, banyak orang miskin yang tidak mengetahui pentingnya imunisasi dan berobat ke fasilitas resmi kesehatan, sehingga mereka lebih percaya kepada dukun, penasihat supranatural, serta pengobatan tradisional daripada pengobatan modern. 
Dalam bidang pendidikan juga demikian. Masyarakat miskin tidak memahami bahwa pendidikan yang lebih tinggi dapat membuka peluang-peluang kesempatan kerja dan kehidupan layak yang lebih tinggi pula. Ketidakpahaman mereka akan nilai-nilai ini mengakibatkan keengganan bagi mereka melakukan spending untuk hal yang menyangkut pendidikan. Faktor-faktor ini merupakan salah satu dari sekian banyak faktor yang merupakan lingkaran setan yang memperparah kemiskinan. 
Masifnya sebaran informasi menjadi salah satu faktor penting untuk menjadi turning point bagi masyarakat, namun apakah ia nantinya mengarah pada sesuatu yang baik atau justru sebaliknya, harus ada peran pendidikan untuk mengontrolnya. Kemampuan berpikir kritis dan intelektualitas yang matang adalah syarat wajib yang harus dipenuhi demi menuju ke sana. Kedua faktor inilah setidaknya yang menjadikan orang-orang di negara maju dapat menangkap sekaligus mencerna informasi lebih dulu, melahirkan diskursus atas topik-topik baru, dan menimbulkan reaksi sosial yang bahkan memungkinkan untuk menggulingkan sebuah kekuatan besar yang zalim dan merusak.
Terlepas dari kematian bayi yang disebabkan karena keterbatasan informasi serta buruknya sanitasi yang terjadi di masa lampau, rupanya hal demikian masih dialami pula oleh Sebagian besar masyarakat Madura hingga dekade ini.
Selain faktor medis pada bayi dan ibu, seperti infeksi neonatal, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS), cedera semasa dalam kandungan, dan lain sebagainya, tingginya angka kematian bayi di Madura, menurut Ellya Fardasah, seorang Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat (Kabid Kesmas) Sumenep pada penuturannya tanggal 1 Januari 2024 di media lokal,  juga disebabkan masih banyaknya masyarakat yang tidak mengikuti aturan dokter, maraknya pernikahan dini, serta tingkat persentase kemiskinan yang tinggi yang pada akhirnya menyebabkan kurang terpenuhinya asupan gizi pada calon bayi. Percaya atau tidak, keterbatasan informasi dan rendahnya tingkat pendidikan memang punya peranan primordial untuk ini.
Pada tataran Kota-Kabupaten di Jawa Timur saja, menurut data BPS, secara agregat 4 Kabupaten di Madura memiliki rata-rata aksesibilitas internet dan aksesibilitas pendidikan paling rendah dibanding kabupaten lain. Aksesibilitas internet menjadi sangat penting saat ini, sebab ia menjadi representasi dari terbukanya informasi. Sedangkan aksesibilitas Pendidikan menjadi pondasi atas lahirnya budaya berpikir kritis dan taraf intelektualitas seseorang. Dan tentu saja, rendahnya angka kedua indikator ini rupanya memiliki korelasi yang erat dengan tingginya angka kematian infant dan, tentu saja, kemiskinan pada 4 kabupaten tersebut. Bahkan tidak hanya di Daratan Besar Madura, daerah-daerah lain seperti Pasuruan, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, dan Jember, yang banyak sekali jumlah populasi warga madura di dalamnya, juga memiliki nasib yang kurang lebih sama. Lantas ada apa sebetulnya dengan masyarakat Madura?
Mungkin akan banyak sekali sanggahan yang menyatakan bahwa banyak diaspora Madura yang sukses dan sejahtera secara ekonomi di luar sana. Itu sama sekali bukanlah anggapan yang salah. Etos kerja masyarakat madura yang tinggi, kesulitan sumber daya di daerah asal, dan ikatan persaudaraan yang kuat antar Masyarakat Madura sangat memungkinkan bagi mereka untuk bisa sukses dan hidup sejahtera dalam segi finansial khususnya di tanah rantau. Namun hal tersebut tidak dapat menampik fakta bahwa masih terdapat banyak masyarakat Madura yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Keterbatasan informasi dan rendahnya tingkat pendidikan merupakan dua variabel yang layak dikambinghitamkan atas nasib yang menimpa sebagian besar masyarakat Madura. Ditambah lagi, nilai-nilai budaya yang diterjemahkan tanpa basis intelektualitas mengakibatkan, tidak hanya ketertinggalan, tetapi juga segregasi kesukuan yang semakin parah dan radikal di kalangan masyarakat awam terhadap masyarakat Madura itu sendiri. 
Sebagai contoh paling nyata adalah Budaya Patriarki. Budaya Patriarki yang kuat di kalangan masyarakat Madura rupanya memiliki korelasi yang kuat pula dengan tingginya angka pernikahan dini. Keterbatasan kondisi ekonomi menjadikan sebagian besar orang tua di Madura memiliki pilihan yang terbatas untuk anak perempuannya. Akibatnya, keputusan untuk segera menikahkan anak perempuan dianggap sebagai solusi untuk melepaskan tanggung jawab finansial orang tua di samping untuk menghindari mitos perawan tua yang dianggap buruk di mata masyarakat. Hal ini menjadikan kaum perempuan tidak mempunyai pilihan atas kehidupan mereka sendiri dan hanya memiliki fungsi periferal di tengah masyarakat. Pandangan konservatif seperti ini masih dipertahankan khususnya dalam tatanan masyarakat tradisional yang minim eksposur dunia luar.
Ketika hamil, ketidaksiapan baik secara biologis, finansial, maupun intelektual bagi Perempuan Madura, menjadi batu sandungan terbesar untuk dapat melahirkan generasi yang baik. Akibatnya resiko-resiko pada saat hamil dan melahirkan dianggap sebagai takdir yang harus diterima tanpa adanya proses berpikir kritis dan evaluatif sehingga permasalahan ini akan senantiasa berulang, menjadi kronis hingga lintas generasi. Lebih buruknya, hal ini seolah-olah dianggap banal oleh masyarakat yang menyandarkan dirinya pada nilai-nilai agama yang diterjemahkan secara serampangan seperti, mati syahid hadiahnya bagi perempuan yang meninggal di kala melahirkan.
Secara teoritikal, tidak ada kemiskinan yang dapat diselesaikan hanya dengan satu solusi seragam. Kita harus memahami latar belakang budaya serta faktor dominan apa saja yang menyebabkan kemiskinan tumbuh subur di wilayah tertentu. Disamping itu, kita juga harus memahami bahwa, karena keterbatasannya, masyarakat miskin menjadi sulit untuk membuat pilihan-pilihan rasional dalam hidupnya. Oleh karena itu, pemerintah juga harus hadir dengan kebijakan-kebijakan yang adaptif disesuaikan dengan karakteristik dari akar permasalahan kemiskinan pada konteks itu.
Seperti contoh, untuk meningkatkan jumlah peserta vaksinasi, Pemerintahan India menawarkan satu kilogram kacang-kacangan bagi orang tua yang mau membawa anak mereka untuk divaksinasi. Dan ini berhasil. Di Filipina dimana masyarakat miskinnya justru sering menggunakan penghasilan mereka yang minim untuk kebutuhan konsumtif dan bersifat impulsif, seperti pesta dan perayaan, Pemerintahnya bekerja sama dengan lembaga perbankan hadir lewat intervensi berupa program  untuk mengunci dana tabungan dalam waktu dan target tertentu. Di Kenya, SMS pengingat pada nasabah untuk menabung mampu meningkatkan saldo tabungannya sebesar 6%. Dan juga, pada negara-negara berkembang secara umum, termasuk Indonesia, program fortifikasi garam dengan yodium ternyata berhasil meningkatkan perkembangan otak pada anak.
Setiap berdiskusi dengan teman, Saya acap berkelakar, legalisasi aborsi mungkin bisa jadi opsi untuk menghilangkan kemungkinan anak tumbuh dari keluarga yang ekonominya tidak mapan dan orang tua yang belum matang secara intelektual dan emosional di Madura. Persis seperti di buku Freakonomics yang ditulis Steven Levitt dan Stephen Dubner. Dengan begitu dua atau tiga dekade mendatang sudah tidak akan lagi ada curanmor, parkir liar, atau maling besi, baut dan kabel listrik di kawasan Boyo, Darjo dan sekitarnya yang menurut pengakuan diskriminatif warga sekitar pelakunya ‘pasti’ Warga Madura. Dengan demikian kebencian tribalistik terhadap Warga Madura pun bisa menghilang dari permukaan. Tapi tentu membuat kebijakan pun tidak boleh seserampangan kelakar saya, bukan?
Harris Amirullah Fahman
0 notes
irulfahman · 3 months ago
Text
Mencintai Austerity di Waktu yang Salah
izinkan saya membuka tulisan ini dengan sebuah kisah imajiner.


Namanya Bang Alan (nama yang saya ambil dari anagram salah satu Kabupaten di Madura). Dia adalah seorang karyawan sebuah perusahaan yang sebulan lalu ribuan karyawannya diPHK, termasuk Dia. Dia memiliki seorang istri, seorang ibu rumah tangga yang cantik, juga tiga orang anak yang lucu-lucu. PHK ini pukulan telak baginya sekeluarga. Bagaimana tidak, Dia adalah tulang punggung keluarga. Secara otomatis, keluarganya kehilangan sumber penghasilan. Namun untungnya, masih ada sedikit sisa tabungan yang barangkali cukup untuk keluarga mereka hidup barang satu dua bulan kedepan. Perhiasan sudah habis mereka jual, sialnya masih ada cicilan rumah dan kendaraan yang harus dia bayar tiap bulannya. Namun dia tahu, alih-alih mengurangi uang yang dia alokasikan untuk makan, bensin, listrik, sekolah dan belanja kebutuhan bulanan guna memberikan ruang nafas dan gerak yang lebih panjang bagi dia dan keluarganya, mereka justru memutuskan untuk merelokasi pengeluaran-pengeluaran yang tidak begitu esensial seperti pengeluaran untuk makan di luar serta pakaian baru di hari lebaran. Anaknya masih tetap harus sekolah, istrinya tetap butuh uang untuk belanja di pasar, listrik di rumahnya harus tetap menyala, dan kendaraan Bang Alan harus tetap bisa digunakan sehingga ia masih bisa mencari pekerjaan baru, lalu secara bertahap melunasi utang dan cicilan-cicilannya di masa mendatang.


Langkah itulah setidaknya yang dilakukan Bang Alan atas kesulitan finansial yang dihadapinya, yang sialnya tidak dilakukan Yunani pasca Krisis Keuangan Global 2008. Pada saat itu, Yunani mengalami resesi parah dan memiliki utang besar, namun alih-alih berfokus memulihkan kondisi perekonomiannya, Yunani justru dipaksa untuk langsung memangkas belanja pemerintah melalui kebijakan Austerity. Ini seperti seseorang yang  kehilangan pekerjaan tetapi malah mengurangi makan, bensin, dan listrik secara drastis, sehingga semakin melemahkan dirinya dan membuatnya sulit mendapat pekerjaan baru. alhasil, bukannya keluar dari permasalahan yang dihadapi, Yunani justru semakin terperosok jauh ke jurang resesi.
Demam Austerity di kalangan para pembuat kebijakan negara-negara eropa (merujuk pada krisis utang zona euro) yang datang dari kekhawatiran besar bahwa mereka akan bernasib sama seperti Yunani jika tidak segera memangkas pengeluaran dan menaikkan pajak, dianggap sebagai salah satu Zombie Ideas oleh Paul Krugman. Setidaknya begitu yang dia jelaskan dalam laman The Guardian. Krugman menyatakan bahwa kebijakan penghematan di tengah ekonomi yang sudah lesu justru akan memperdalam resesi dan menunda pemulihan ekonomi. pemotongan anggaran pemerintah akan mengurangi konsumsi publik, dan pada saatnya akan berakibat pada menurunnya permintaan agregat. Jika pemerintah mengurangi belanja (dalam jumlah yang radikal) sementara The Invisible Hand yang dimotori oleh sektor swasta sendiri tidak siap untuk mengambil alih kondisi tersebut, maka perlambatan ekonomi atau bahkan resesi adalah hal yang mau tidak mau harus sudah siap untuk dihadapi. 
Defisit anggaran sejatinya bukanlah aib yang harus dihindari terlebih dalam situasi resesi. Namun perlu diperhatikan bahwa defisit yang dimaksud adalah defisit yang sehat yang diperhitungkan secara tepat dan akurat. 
Masih terngiang jelas dalam ingatan kita bagaimana pandemi covid 19 mampu memukul telak segala lini kehidupan kita. Kebijakan semi populis seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) suka tidak suka harus ditetapkan guna melindungi kesehatan masyarakat meski sebagai gantinya ada konsekuensi ekonomi yang harus ditanggung setelahnya. Pandemi membuat mobilitas perekonomian melambat dan menjadikan sebagian besar sektor nyaris lumpuh total. Untuk merespon hal tersebut, pemerintah menerapkan kebijakan countercyclical dengan mengkombinasikan kebijakan fiskal ekspansif dan kebijakan moneter akomodatif. Alhasil, perekonomian kita, setidaknya pada saat itu, masih mampu bertahan bahkan di tengah-tengah gejolak kondisi global yang tidak menentu. dan salah satu penopangnya, tentu, kebijakan defisit APBN.
Tidak main-main, defisit APBN pada saat itu dengan berdasar pada Perppu No.1 Tahun 2020, yang kemudian menjadi UU No.2 Tahun 2020, sempat melebar hingga melampaui angka 5% dari PDB. bukan hal yang kecil, mengingat batas terbesar defisit paling memungkinkan ada di angka 3% dari PDB. namun demikian, hal ini esensial untuk dilakukan demi fleksibilitas gerak ruang fiskal di masa-masa sulit seperti itu. Pelebaran defisit dilakukan agar pemerintah bisa tetap melakukan stimulus ekonomi, termasuk juga penyaluran bansos, dan subsidi sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga. Tanpa kebijakan seperti ini, ruang gerak penanganan krisis akan menjadi sangat terbatas yang pada gilirannya dapat menyebabkan kondisi krisis tak kunjung berakhir. Berkat kebijakan ini pula, nilai defisit dapat kembali lagi memenuhi target menjadi paling tinggi 3% dari PDB pada tahun 2023.
Lalu pertanyaannya, apakah Indonesia pernah menerapkan Austerity?
Krisis Moneter yang pernah terjadi di tahun 1998 sebagai Contagious Effect dari krisis Thailand yang menyebar ke negara-negara asia lainnya serta bermetamorfosis menjadi krisis multidimensi di Indonesia, merupakan contoh dari diterapkannya kebijakan Austerity dalam lingkup pemerintahan Indonesia. Dicantumkan dalam Memorandum of Economic and Financial Policies bahwa pemerintah berkomitmen untuk mempertahankan kebijakan fiskal yang sehat. Namun, dengan depresiasi tajam rupiah dan memburuknya perekonomian, tidak lagi memungkinkan untuk menargetkan surplus 1% dari PDB. Setelahnya, Pemerintah berkomitmen untuk menjaga defisit tetap terkendali sekitar 1% dari PDB sesuai dengan presentasi IMF. selain penyesuaian anggaran, langkah-langkah lain seperti pemotongan subsidi bahan bakar dan listrik secara bertahap, pembatalan 12 proyek infrastruktur besar, serta peningkatan cukai atas alkohol dan tembakau, menghapus pengecualian PPN, dan melakukan introduksi atas pajak penjualan lokal guna meningkatkan pendapatan juga telah dilakukan pemerintah.
Terkait keberhasilan dari penetapan kebijakan-kebijakan di atas dalam rangka penanganan krisis masih dapat menjadi perdebatan hingga saat ini. Namun satu hal yang dapat kita lihat dan pasti, bahwa kebijakan-kebijakan tersebut telah gagal dalam menjamin pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Turunnya pengeluaran pemerintah juga berarti turunnya konsumsi. Kenaikan harga dan inflasi yang semula diupayakan terjadi sehalus mungkin sehingga dapat meredam benturan khususnya pada kelompok masyarakat miskin tidak berhasil juga diwujudkan. Pembatalan 12 proyek infrastruktur besar mengakibatkan lahirnya pengangguran-pengangguran baru karena banyak tenaga kerja yang sebelumnya tergantung pada proyek tersebut akhirnya terhenti.
Negara ini memiliki preseden dalam menerapkan kebijakan Austerity. Dan ternyata, dalam kondisi krisis moneter pun penerapan Austerity tidak sepenuhnya menjadi pilihan yang baik. Alih-alih memperbaiki kondisi ekonomi, Austerity justru memperdalam krisis dan memperpanjang penderitaan masyarakat. Namun bukan berarti Austerity akan selalu gagal dalam mengatasi masalah serupa. Salah satu contoh keberhasilannya adalah Austerity Jerman pasca re-unifikasi. Terlepas dari itu, ada satu hal lagi yang harus diluruskan dalam memahami Austerity. Apakah ia sama dengan efisiensi? 
Baru-baru ini pemerintah telah menetapkan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025 yang dengan kata lain terdapat efisiensi atau pengurangan atas APBN 2025 sebesar 306T. Pengurangan tersebut terdiri dari 16 pos efisiensi K/L yang dipangkas oleh pemerintah sesuai S-37/MK.02/2025. Bukan jumlah yang sedikit, namun kenapa hal tersebut dilakukan?
Secara kebahasaan, jika dijelaskan secara a Contrario kenapa dilakukan efisiensi terhadap 16 pos tersebut, itu karena ada satu dua hal yang berjalan selama ini secara tidak efisien dan harus diluruskan. Menurut Ruslandi et al. (2020), efisiensi sejatinya adalah memberikan layanan dalam jumlah dan kualitas yang sama, tetapi dengan biaya serendahnya. Dengan kata lain bisa kita simpulkan bahwa efisiensi adalah upaya untuk melawan segala bentuk redundansi. sementara Austerity (penghematan) adalah pemotongan anggaran pada kondisi tertentu (umumnya krisis) dengan cara pengurangan defisit dengan tujuan mengoreksi tata kelola fiskal pemerintahan. Perbedaan ini tidak menampik fakta bahwa secara praktikal Austerity dan Efisiensi sama. Sama-sama mengurangi belanja disamping menaikkan pajak.
Disamping itu, terdapat perbedaan konteks jika kita mengacu pada contoh kasus Yunani dan membandingkannya dengan yang terjadi saat ini. Setidaknya pada saat tulisan ini dibuat, efisiensi yang diterapkan dilakukan pada saat perekonomian kita relatif baik-baik saja jika kita mengacu pada angka proyeksi pertumbuhan ekonomi yang disampaikan oleh OECD yang masih di sekitar angka 5%. Di sisi lain, meskipun tengah dibayangbayangi utang jatuh tempo yang sebagian besar merupakan obligasi pemerintah, optimisme investor juga masih terjaga. Yang harus menjadi catatan kita saat ini adalah, sejak Januari hingga Februari 2025 Indonesia tengah mengalami tekanan deflasi yang mengindikasikan bahwa daya beli sedang melemah. Dan sebagaimana penjelasan di awal, pada kondisi seperti ini perekonomian kita justru lebih membutuhkan pelonggaran alih-alih pengetatan fiskal.
Namun penarikan kesimpulan dan pembuatan kebijakan tidak cukup hanya dilakukan dari data parsial sebegaimana dicantumkan di atas. Perlu bagi kita untuk mengetahui lebih lanjut apa saja yang menyebabkan tekanan deflasi pada dua bulan pertama tahun 2025 ini. Termasuk juga, masih ada hal-hal lain yang juga harus dijadikan pertimbangan, seperti arah kebijakan serta kondisi-kondisi yang akan terjadi di masa mendatang. Naiknya permintaan sepanjang Bulan Ramadhan dan Lebaran merupakan contoh kecilnya. Jika momentum-momentum seperti itu bisa dimanfaatkan secara optimal untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan, maka tidak ada yang perlu ditakutkan secara berlebihan di masa mendatang. Dan penting bagi pemerintah untuk tetap menjaga kepercayaan publik ketimbang melakukan akrobasi kebijakan yang tidak perlu.
Pada akhirnya, kebijakan itu layaknya obat. Jika dosisnya ditakar dengan tepat di waktu yang tepat, maka kebijakan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Namun jika diputuskan dengan sembarangan, kebijakan justru bisa saja memperburuk keadaan, menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, dan bahkan menciptakan masalah baru yang lebih sulit diobati dan dikendalikan.
Demikian pula Austerity dan Efisiensi.
Harris Amirullah Fahman - PTPN Direktorat Jenderal Perbendaharaan
0 notes
irulfahman · 7 months ago
Text
Raison D’ĂȘtre: Ekonomi Madura dan BujĂą
“a soldier’s salary was cut if he was ‘not worth his salt’”
Dari sekian banyak bumbu yang dihasilkan bumi Nusantara, petis merupakan salah satunya. Tidak banyak literatur menjelaskan bagaimana bumbu satu ini mula-mula diciptakan. Yang pasti, tiap daerah memiliki cara unik  meliputi bahan dasar apa saja yang digunakan serta bagaimana proses pembuatannya.
Di Kota Udang, Cirebon, misalnya. Petis dibuat dengan berbahan dasar udang rebon yang mudah sekali ditemukan sepanjang muara sungai Kota Cirebon. Diketahui, tradisi menangkap udang rebon ini sudah ada sejak dahulu kala, dipelopori oleh Cakrabuana, seorang pangeran dari Kerajaan Padjajaran, yang kemudian menjadi mata pencaharian masyarakat kala itu. Tidak hanya berhenti sampai di situ, potensi udang rebon yang kian besar membuat Cakrabuana menginisiasi industri pengolahan udang rebon termasuk di antaranya Petis dan Terasi yang dikemudian hari menyebabkan perekonomian dan jumlah penduduk Cirebon semakin tumbuh dan berkembang pesat. Melalui hikayat singkat ini, tidak berlebihan rasanya jika kita menyebut udang rebon, terasi, dan petis merupakan Raison D’ĂȘtre kota Cirebon yang kita kenal dewasa ini1. Makanan khas daerah seperti petis terkadang dapat menggambarkan bagaimana perekonomian daerah tersebut terbentuk pada saat ini.
Bicara racikan, penggunaan udang rebon menjadikan Petis Cirebon memiliki warna pekat dan cita rasa yang kuat dan tajam. Berbeda dengan petis yang populer di Madura yang umumnya memiliki tekstur kenyal, liat, dan padat serta identik dengan rasa asin2. Orang-orang Madura biasa menyebutnya PettĂšs AccĂšn (Petis Asin), alih-alih Petis Madura sebagaimana warga Surabaya dan sekitarnya acap menyebutnya. Petis Madura banyak sekali macamnya, dan PettĂšs AccĂšn merupakan avant-garde dari industri Petis Madura secara keseluruhan. Salah satu sentra produksi terbesarnya bertempat di Desa Konang, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, yang secara kebetulan juga merupakan daerah penghasil bujĂą (garam). Cita rasa asin yang menjadi ciri khasnya pun disebabkan hal tersebut sehingga proporsi garam yang digunakan selama proses pemindangan lebih banyak dibanding petis pada umumnya.
Garam akan selamanya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Madura. Jika kita mau melihat lebih jauh, Madura merupakan pulau yang mendapat julukan sebagai Pulau Garam. Julukan ini dibuktikan dengan tingkat produksi garam Madura yang bahkan mampu mencapai 35% dari total produksi garam nasional. Banyaknya tingkat produksi garam Madura sebetulnya merupakan hikmah dari tanah Madura yang relatif gersang, memiliki kemarau yang lebih panjang, serta kondisi tanah yang mengandung sedimentasi batuan kapur dan minim lapisan vulkanis, yang secara otomatis, membuat tanahnya tidak begitu subur.
Sektor Pertanian Madura kurang bisa memberikan hasil optimal, sebab hanya tumbuh di tanah aluvial dengan mengandalkan aliran sungai sebagai irigasi alamiah (Kuntowijoyo, 2002:27). Tentu hal ini merupakan trade off, mengingat kondisi geografis tersebut merupakan salah satu faktor terkuat yang menjadikan sebagian besar masyarakat Madura enggan tinggal dan memilih bermigrasi bahkan sejak awal abad 19. Mula-mula sekitaran Jawa Timur. Belakangan, seiring dengan semakin mudah dan meratanya sarana transportasi publik, peta sebaran migrasi masyarakat Madura bisa mencapai ujung pelosok Indonesia hingga luar negeri. Kendati demikian, mayoritas masyarakat Madura yang tinggal masih memilih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dengan menggunakan pola Pertanian Subsisten. Yang artinya, sebagian besar hasil pertanian cukup sebatas konsumsi keluarga saja (History of Madura, 2019).
Selain disebabkan oleh kondisi tanah yang tandus, budaya merantau masyarakat Madura ini juga cukup dipengaruhi minimnya aneka komoditas menggiurkan yang tereksplorasi secara optimal. Konservatisme juga turut memperburuk keadaan sosial masyarakat. Ini didukung oleh rendahnya tingkat partisipasi pendidikan masyarakat Madura dibanding kabupaten lain di Jawa Timur khususnya pada tingkat pendidikan menengah atas. Akibatnya, pengolahan komoditas cenderung menggunakan cara-cara lama dan minim inovasi sehingga tidak memberikan timbal balik yang signifikan bagi perbaikan kehidupan masyarakat sekitar, khususnya pada produksi garam sebagai komoditas mayor.
Melihat fakta di atas, tidak salah jika kita menyebut beberapa poin tersebut sebagai The inconvenient truth yang menjadikan kabupaten-kabupaten di Madura beberapa kali menempati posisi pucuk dalam rasio penduduk miskin Jawa Timur berdasarkan data BPS beberapa tahun belakangan, setidaknya s.d. 2023.
Gagalnya peran garam sebagai komoditas strategis dalam mempersempit jurang ketimpangan sosial masyarakat Madura merupakan hal yang paradoksal. Berhubung berabad-abad silam, garam sebetulnya sempat menjadi primadona dunia yang sangat berharga. Dahulu, dalam skala rumahan saja garam tidak hanya dijadikan sebagai bumbu penyedap dan pengawet makanan, tetapi juga untuk antiseptik, mumifikasi dan ritual keagamaan. Bahkan dalam cakupan lebih luas, garam sempat dijadikan sebagai mata uang dan memiliki nilai tukar. Sifatnya yang langka dan tingkat permintaannya yang tinggi menjadikan garam sebagai komoditas paling dicari serta diperebutkan pada masa lalu. Tak jarang sengketa atas nama garam sampai menimbulkan perang hingga mencetuskan revolusi.
Ada banyak sekali cerita tentang betapa utamanya industri garam pada masa lalu. Kejayaan Venesia yang kerap diatribusikan dengan rempah-rempah eksotis, memiliki fakta unik di baliknya, dimana mereka sebetulnya mendapatkan rempah-rempah Asia itu dengan cara menukarkannya dengan garam yang mereka miliki. Di sisi lain daratan Italia pada lini masa yang lebih lama, para Pasukan Romawi kerap mengawal iring-iringan pedagang yang membawa garam dari Ostia menuju Sungai Tiber melintasi Via Salaria, rute yang terkenal sebagai jalur perdagangan garam paling sibuk pada masanya. Upah pasukan itu sebagiannya dibayarkan menggunakan garam yang kemudian dikenal dengan istilah “Salarium Argentum” (Time, 1982). Banyak yang meyakini bahwa kata Salary yang kita kenal berasal dari Bahasa Latin Salarium dan memiliki morfem kata Sal yang berarti garam. Konklusi menarik seperti ini, sayangnya, tidak memiliki historical evidence yang cukup dan perlu kajian lebih lanjut untuk membuktikan kesahihannya.
Banyaknya pasokan garam yang dikirim dari Pelabuhan Ostia ke Roma dengan tanpa pesaing menjadikan pedagang-pedagang garam di Ostia berani mematok harga dengan begitu tinggi. Hal ini membuat pemerintahan melakukan langkah interventif dengan cara mengambil alih industri garam dan melakukan monopoli (Saltwork Consultants, n.d.). Hal yang sama terjadi di sini. Pemerintah Kolonial Belanda pada masa penjajahan mengeluarkan Staatsblad Nomor 73 Tahun 1882 tentang Bepalingen tot Verzekering van het Zoutmonopolie sebagai salah satu legitimasi bagi Belanda untuk dapat mengukuhkan langkah monopolistis terhadap produksi dan distribusi komoditas khususnya garam di Hindia Belanda (Cholil & Jusmadi, 2023). Meski belum diketahui secara pasti kesinambungannya apa, namun secara kronologis penetapan Staatsblad ini dilakukan setelah Pemerintahan Kolonial Belanda mulai menghapuskan sistem kerajaan di Madura serta mengubah bentuk wilayah dan pemerintahan menjadi karesidenan pada tahun 1857 dengan tujuan memperkuat pengaruhnya secara politis pada wilayah Madura. Tidak lama setelah penetapannya, barulah dibangun trayek kereta Kalianget-Kamal di Kawasan Pantai Selatan Madura secara bertahap yang salah satu tujuan utamanya adalah untuk mengatasi permasalahan logistik komoditas.
Monopoli garam diketahui berakhir sekitar 23 tahun setelah nasionalisasi pengelolaan garam dari Badan Usaha Milik Belanda menjadi milik Indonesia pada tahun 1945. Diawali dengan munculnya tanda-tanda kebangkrutan Perusahaan Garam dan Soda Negeri (PGSN) sebagai Badan Usaha Milik Indonesia (Sanders, 1968:3). Runtuhnya sistem monopoli ini seharusnya menjadi angin segar bagi para Petambak Garam. Yang jadi masalah besarnya adalah, kenapa Petambak Garam khususnya di Madura sebagai penyumbang produksi garam terbesar di Indonesia masih juga jauh dari kategori sejahtera? Untuk menjawab ini, kita perlu melihatnya dari sudut pandang general.
Permintaan garam dewasa ini menjadi semakin tinggi terlebih dengan adanya segmentasi kebutuhan Garam Industri. Di sisi lain, cara produksi tidak mengalami perubahan yang signifikan. Misri Gozan et al. (2018) menyatakan bahwa Petambak Garam masih mengandalkan panas matahari dalam proses evaporasi, sementara perubahan iklim menjadikan intensitas panas matahari tidak lagi sama. Akibatnya, tingkat produksi garam menjadi  inkonsisten. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya kelangkaan ekstrem pasokan garam pada kisaran periode 2016-2017 yang disebabkan adanya fenomena La Nina. Kelangkaan pasokan ini disebabkan oleh banyaknya Petambak Garam yang mengalami gagal panen karena gagalnya proses evaporasi yang disebabkan kondisi alam itu sendiri.
Tidak mampunya Petambak Garam mempertahankan tingkat produksi sekaligus memenuhi kebutuhan garam nasional menjadikan pemerintah kerap mengambil keputusan untuk melakukan impor garam. Sementara itu, garam dalam negeri mempunyai isu serius yang harus segera dituntaskan terkait rendahnya daya saing yang dimiliki. Bukan hanya masalah kuantitas, tapi juga dari segi kualitas garam yang berada di bawah standar Garam Industri sebagai penyokong kebutuhan garam terbesar di Indonesia. Kondisi teknologi serta topografi yang tidak semendukung  negara lain sesama produsen garam turut memperparah keadaan. Menjadikan produktifitas garam nasional sangat jauh dari kata efisien sehingga harganya pun tidak lebih murah dari garam impor.
Faktor lain yang menyebabkan sulitnya Petambak Garam sejahtera adalah skema pasar yang cenderung Monopsoni/Oligopsoni sehingga tidak berpihak pada Petambak Garam sama sekali. Buruknya Pasar Monopsoni bagi para Petambak Garam dialami juga oleh Petani Tanaman Koka Ilegal pada beberapa negara di Amerika Latin. Sebagaimana kita tahu, bisnis haram seperti narkotika adalah bisnis yang cukup menghasilkan. Namun bukan jaminan seluruh pihak yang terlibat dalam industri tersebut diuntungkan.
Pada beberapa tahun silam, negara-negara seperti Bolivia, Kolombia, dan Peru menerapkan kampanye pemberantasan lahan-lahan Koka ilegal yang salah satu tujuan fundamentalnya adalah menciptakan kelangkaan persediaan Koka, sebagai bahan utama Kokain, dengan harapan membuat harganya meroket di pasaran. Secara otomatis, pemasok ilegal itu dengan segera mengambil langkah restoratif mengingat siklus tanam Tanaman Koka dalam setahun yang relatif singkat. Sayangnya, intensi pemegang otoritas bukan berhenti sampai menciptakan kelangkaan saja, melainkan juga membuat mereka melipatgandakan biaya penanaman ulang atas lahan-lahan liar yang sebelumnya telah dimusnahkan menggunakan weed killer.
Kebijakan ini berbuah manis ketika tingkat konsumsi Kokain di daratan Amerika turun secara drastis. Namun sayangnya terdapat anomali ketika tingkat permintaan pada negara-negara Eropa justru melonjak naik. Hal tersebut menunjukkan bahwa di tengah upaya-upaya yang dilakukan guna mengurangi jumlah persediaan, tingkat permintaan dan harga Kokain secara agregatif masih berada pada kondisi yang relatif stabil. Lantas, bagaimana itu bisa terjadi?
Pada Narconomics (2016) dijelaskan bahwa terdapat dua faktor penting yang mempengaruhi stabilnya jumlah permintaan dan harga Kokain di pasaran. Yang pertama, adanya fenomena The “cockroach effect”: Sebanyak apapun upaya pemberantasan lahan Koka ilegal itu diterapkan, para Kartel akan selalu punya cara untuk memaksa petani bekerja pada lahan Koka baru yang mereka buka di tempat lain. Seperti halnya Ketika kita mencoba membasmi kecoa dengan semprotan anti serangga pada satu ruangan di rumah kita, sisa koloni mereka tetap akan muncul pada bagian ruangan lain dalam rumah sebagai upaya bertahan hidup. Skema ini menciptakan peluang untuk menerapkan sistem Cross Subsidization atas segmentasi pasar yang ada sehingga pada akhirnya dapat meredam dampak atas ambivalensi pada tingkat konsumsi di Amerika dan Eropa pada saat yang sama.
Yang kedua adalah skema Pasar Monopsoni. Meskipun ada upaya-upaya untuk mempertahankan tingkat produksi pada saat diterapkannya kampanye pemberantasan Tanaman Koka ilegal, supply shock adalah hal yang pasti terjadi dan memiliki dampak nyata bagi para Kartel sebagai entitas hilir dari industri tersebut. Penanaman Kembali menjadikan biaya produksi para Petani meningkat berkali-kali lipat. Untuk mengakali naiknya harga jual Kokain sebagai dampak dari membengkaknya biaya produksi, para Kartel menetapkan harga beli bahan baku pada level yang sangat rendah. Hal ini jelas membuat petani sangat menderita. Namun kududukan Kartel sebagai corong tunggal dalam alur perdagangan Tanaman Koka Ilegal, menjadikannya adikuasa dalam menentukan harga. Petani Koka pun tak bisa apa-apa.
Petani Koka Ilegal dan Petambak Garam dalam kasus ini memiliki nasib yang sama. Kondisi mereka tidak memungkinkan mereka memiliki gudang penyimpanan yang memadai yang dapat mereka gunakan guna menimbun kelebihan produksi pada saat harganya jatuh. Di sisi lain, mereka tidak memiliki teknologi yang mumpuni untuk menggenjot jumlah produksi pada saat terjadi sesuatu tak diinginkan yang dapat mempengaruhi tingkat produksi. Ditambah lagi, keduanya tidak memiliki derajat yang sama dengan pemegang industri hilir dalam menetapkan harga. Penerapan kebijakan Harga Pembelian Pokok (HPP) pada industri garam juga dinilai tidak efektif. Akibatnya, kesejahteraan bagi mereka tidak lebih dari sekedar utopia belaka. Lebih malang lagi jika ternyata lahan tempat mereka bekerja adalah hasil mereka sewa, sehingga tuan tanahnya lah yang memiliki akses ke tengkulak atau pedagang yang jenjangnya lebih besar. Bertambahnya supply chain dalam skema Pasar Monopsoni hanya akan semakin mempertipis margin keuntungan.
Untuk dapat keluar dari masalah-masalah pelik di atas, upaya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi harus dilakukan secara serius dan seksama. Revitalisasi menjadi salah satu opsi optimis yang dilakukan pemerintah di tengah pesimisme program Ekstensifikasi guna menggenjot angka produksi. Banyaknya lahan tambak garam yang beralih fungsi bahkan berubah wujud menjadi properti menjadikan program Ekstensifikasi sulit dilakukan. Namun begitu, pengkajian kembali program Ekstensifikasi sepertinya masih dilakukan sehubungan dengan adanya potensi produksi yang cukup besar, khususnya dalam kasus ini, pada bagian utara Pulau Madura yang sebagiannya masih berupa lahan tidur.
Intensifikasi berupa sofistikasi teknologi merupakan fardhu ‘ain untuk ditempuh seluruh pelaku industri, khususnya Petambak Garam itu sendiri. Program Intensifikasi diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan produksi kita yang banyak tergantung pada kondisi alam. Di samping itu, intervensi pemerintah dalam skema permodalan wajib ada dengan juga menerapkan pembinaan pada industri-industri subsektor tanpa menganaktirikan industri rumahan seperti misalnya, industri pembuatan petis asin.
Naiknya tingkat kuantitas dan kualitas produksi yang diharapkan sebagai akibat dari berhasilnya program-program tersebut di atas, harus dirasakan dan memiliki dampak bagi perekonomian masyarakat sekitar, seperti halnya bertumbuhnya industri pengolahan rebon yang diinisiasi Cakrabuana. Dampak dimaksud bisa dalam bentuk keterserapan tenaga kerja lokal atas merebaknya industri-industri rumahan seperti industri pembuatan petis asin yang dapat meningkatkan value dan menyerap kenaikan jumlah produksi garam domestik. Pada industri pembuatan petis asin pun harus pula kita pikirkan kemana produk-produknya kelak akan dipasarkan. Sebab akan percuma jika kita menyiapkan industri tanpa ada pasar yang bisa menampung produksinya.
Di awal tahun 2000an saya sangat ingat ada banyak sekali cuplikan Drama Korea yang menyisipkan tayangan pemerannya tengah menikmati Kimchi atau sekedar semangkuk mie instan pedas yang merupakan produk asli Negeri Ginseng tersebut. Satu atau dua dekade berikutnya, produk-produk mie instan mereka berhasil memberikan warna atas hegemoni produk mie instan dalam negeri dengan terpampangnya produk mereka pada rak-rak makanan minimarket sekitar. Kimchi juga menjadi sesuatu yang tidak asing lagi bagi masyarakat kita, terlebih dengan mulai merebaknya restoran-restoran bernuansa korea hampir di setiap kota. Kita semua tahu ini bukan hal mudah dan perlu kerja sama pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk menuju ke sana. Namun jika berhasil, kita tak perlu lagi pusing-pusing memikirkan kemana produk-produk kita kelak dipasarkan. Terlebih di era teknologi seperti saat ini, bukan zamannya lagi produk mencari pasar, terkadang rasa penasaran pasarlah yang membuat mereka datang sendiri memburu produk.
Indonesia sebagai negara yang memiliki rempah melimpah, kaya akan varian masakan, harus pula banyak belajar dari negara-negara seperti Korea Selatan, Thailand, dan India yang dalam hal ini barangkali tidak lebih kaya dari kita. Kita harus pandai memproyeksi peluang-peluang terlebih atas semakin terbukanya akses digital yang menghilangkan sekat kita dengan dunia luar. Kita harus menyadari keunggulan kita dari sisi demografi serta diversitas budaya merupakan keunikan yang tidak semua negara bisa punya. Kita harus mampu menjadi bangsa yang bisa mendemokratisasi ide dan mafhum atas segala hal yang kita punya sekaligus mampu mengkapitalisasikannya. Thailand dan Korea Selatan telah berhasil mendahului kita mengendus potensi-potensi keuntungan ini lewat apa yang mereka sebut dengan Gastrodiplomasi atau Global Hansik melalui Korean Wave. Sebentar lagi dengan ambisi yang kurang lebih sama mungkin India juga akan menyusulnya, ditandai dengan mulai familiarnya kelakar “apapun masakannya, bumbunya Garam Masala”. Disadari atau tidak, kita telah tertinggal sangat jauh, tapi bukan berarti mustahil mengejar. kita terlalu sering berbusa-busa bicara timah, nikel, batu bara, sawit dan komoditas besar lainnya tanpa sadar bahwa banyak sekali potensi yang belum kita gali. Petis Asin mungkin contoh kecilnya. Jika bumbu rumahan sederhana layaknya petis mampu kita elaborasi bukan tidak mungkin perekonomian Madura yang saat ini tengah mengalami luka menganga, kelak disembuhkan oleh garam. Bukan justru memperperih dan memperparahnya. Pun demikian perekonomian Indonesia.
note:
1) Nama Cirebon terbentuk dari kata Cai yang berarti air dan Rebon yang berarti Udang Rebon. Kedua kata ini merujuk pada air hasil rebusan rebon yang berarti juga petis atau terasi yang merupakan identitas ekonomi masyarakat Cirebon kala itu
2) Di Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan terdapat petis asin bernama Petis Rujuru yang memiliki tekstur encer, warna pekat, dan rasa asin yang sangat kuat
0 notes
irulfahman · 2 years ago
Text
Dilatasi Waktu dan SK Penempatan
"1 tahun di Tahuna, sama dengan 10 tahun di Bumi..."
kira-kira seperti itulah yang kerap diceritakan bapak kepada saya setiap menjelang tidur sejak saya masih kecil. bapak mengutip pesan seorang pemuda kepada adik perempuan semata wayangnya sebelum mereka berpisah.
...
kisah tentang Encep Sutisna dan adik gadisnya, Nirmala Sukaesih, memang begitu terkenal  di kalangan masyarakat dimana bapak saya berasal. cerita itu bukanlah cerita fiktif, melainkan realita yang benar-benar nyata adanya. kisah tersebut diceritakan turun temurun oleh orang tua ke anak-anaknya seperti sudah menjadi sebuah tradisi.
sewaktu bapak saya masih kecil, beliau juga kerap mendengarkan kakeknya yang merupakan eyang buyut saya bercerita tentang hal yang sama. di akhir cerita eyang buyut saya acap berucap, "jangan mau jadi pegawai KPPN, Cu. ga ada yg sanggup bertugas di tempat yang sangat jauh"
Pesan eyang buyut kepada bapak itu bukannya tanpa dasar. konon, Encep Sutisna merupakan seorang pegawai KPPN yang ditugaskan di tempat yang sangat jauh dari Bumi, tak lain tak bukan di Tahuna. jaraknya dari Bumi sudah tidak bisa dihitung dengan satuan kilometer lagi. saking jauhnya, perlu satuan Tahun Cahaya bagi kita untuk menyederhanakan penyebutan jarak astronomis antara Bumi dan Tahuna itu sendiri.
KPPN, atau jika dipanjangkan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, adalah instansi vertikal Ditjen Perbendaharaan di bawah naungan kementerian keuangan yg bergerak dalam pengelolaan dana APBN dan memiliki kantor yg tersebar di seluruh pelosok bumi bahkan di luar bumi, seperti diantaranya: Nabire, Saumlaki, Tobelo, Tual dan masih banyak yg lainnya termasuk Tahuna.
Sama-sama menugaskan pegawainya di luar angkasa, KPPN mungkin akan menjadi sepopuler NASA andai ada industri film Hollywood yang mau menjadikan KPPN sebagai latar cerita mengingat besarnya tantangan yang kerap dihadapi oleh pegawai KPPN dalam menjalani setiap misi di tempat tugasnya. sayangnya, sampai saat ini belum ada.
Berdasarkan cerita yang ada, meskipun jauh Encep sangat menikmati tugasnya di KPPN Tahuna. Ia jadi mengenal banyak individu luar biasa, pengalaman yang tentu mahal sekali harganya, juga ilmu yang barangkali tidak akan mungkin didapatkannya jika saja dia bertugas di tempat yang lain. Ya, apalagi kalau bukan ilmu ikhlas. Namun demikian, layaknya KPPN yang juga tersebar di angkasa luar, ada banyak sekali hal liar yang menyelimutinya selama bertugas di Tahuna. Seperti, cuaca yang tidak menentu, hujan yang kerap disertai angin yang sangat kencang, gelombang air laut yang sangat ganas, juga gempa yang bisa saja terjadi setiap saat. Pun begitu, semuanya Encep hadapi tanpa gentar sedikitpun.
Sialnya hal mengerikannya bukan itu saja, Encep juga harus rela berpisah dengan orang yang paling ia sayangi, Nirlama, adiknya. Encep juga paham betul bahwa selepas ia pergi Nirlama tak memiliki siapa-siapa lagi, karena hanya Encep lah satu-satunya yang Nirmala miliki di dunia ini. Encep paham bahwa sekembalinya dari tugasnya di Tahuna, Nirmala mungkin akan menjelma menjadi perempuan yang usianya jauh lebih tua darinya. namun apa boleh dikata, tugas tetap harus ia jalankan.
"pengabdian dan rentenir punya kesamaan, keduanya bisa saja menguras habis apapun yang kamu miliki. bedanya, pengabdian membuatmu menyerahkannya dengan suka cita"
itu salah satu perkataan Encep yang paling saya ingat. Encep memang suka sekali melontarkan kalimat-kalimat jenaka yang kerap membuat adiknya terkekeh. Namun, berbeda dengan saat itu. Saat Encep mengucapkan kalimat itu, Nirmala malah menangis. kata bapak, perkataan itu diucapkan Encep kepada Nirmala tepat sebelum mereka berpisah. sejak pertama kali saya mendengarnya, kalimat itu langsung menghujam kedalam jantung saya.
Dari situlah awal kekaguman saya tumbuh pada Encep. Encep seolah menjadi sosok pahlawan impian bagi kehidupan masa kecil saya, betapapun bapak mencoba menceritakan hal-hal menyedihkan yang menimpa Encep selepas kembalinya ia dari Tahuna karena efek dari dilatasi* waktu. Saya masih ingat, saya menjadi satu-satunya anak yang menjawab ingin menjadi pegawai KPPN di saat anak-anak lain menjawab Dokter, Insinyur, Dosen, Presiden dan lain sebagainya ketika ibu guru menanyakan pada murid-muridnya perihal cita-cita apa yang ingin kami raih ketika dewasa nanti. Encep dan pengabdiannya memang sangatlah luar biasa di mata saya.
Tugas Encep di Tahuna sebenarnya tidaklah lama, hanya enam tahun saja. tapi itu sudah cukup untuk membuat segala hal yang ada di bumi berubah. termasuk Nirmala, adik gadis yang sangat ia sayangi, telah menjelma menjadi nenek-nenek tua renta yang ubun-ubunnya dipenuhi uban dimana usianya tiga kali dari usia Encep pada saat Encep pulang.
Telah banyak yang berubah sekembalinya Encep dari Tahuna. Mobil yang awalnya barang langka, telah memenuhi kota dan membuat macet jalan raya. Teknologi semakin maju. orang-orang bisa bicara tanpa harus bertemu. Tak ada lagi sawah dan kebun. orang-orang lebih suka menanam gedung dibanding menanam pohon. angka obesitas juga naik tinggi sebab orang sudah tidak perlu lagi bergerak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. dan yang paling buruk dari yang terburuk, tak ada lagi orang-orang sebayanya yang masih hidup. Hanya Nirmala satu-satunya orang yang ia kenal. Itupun sudah pikun dan mulai sakit-sakitan. seisi kota tampak asing baginya.
adakah seseorang yang mampu menghabiskan sisa hidupnya bersama orang-orang yang sama sekali tidak  dikenal sebelumnya? saya rasa tidak, termasuk Encep.
Saya tidak tahu bagaimana Encep menghabiskan sisa hidupnya. tak ada kisah yang menceritakan hidup Encep setelah itu. tapi saya lebih suka membayangkan di masa tuanya, Encep hidup menyendiri di sebuah gubuk bambu yang ia dirikan di puncak bukit. ia menghabiskan banyak waktu di sana dengan menulis puisi atau melukis, ya melukis. barangkali Encep menghabiskan sisa hidupnya melukis senyuman anak-anak yang dapat menikmati fasilitas sekolah karena tersalurnya bantuan pendidikan, atau senyuman karyawan-karyawan kantor yang tidak harus mengambil jalan memutar karena telah dibangunnya jalan-jalan baru ataupun jembatan, atau senyuman ibu-ibu rumah tangga yang THR, Gaji 13, dan honor bulanan suaminya cair di saat bersamaan. bukankah hal itu menyenangkan? mungkin hanya Encep dan pegawai KPPN lainnya yang dapat merasakan.
Saya belum tau perasaan bahagia seperti apa yang Encep rasakan. tapi saya ingin suatu saat nanti turut merasakannya juga.
...
malam ini, saya tak henti-hentinya menatap selembar kertas bertuliskan nama saya dan kota Tahuna di tangan, juga wajah istri saya yang tengah sibuk melipat baju dan meletakkannya kedalam koper sementara anak-anak telah tertidur lelap.
sambil mengecup keningnya saya berucap, "1 tahun di Tahuna, sama dengan 10 tahun di bumi... titip anak-anak ya selama aku pergi".
Tumblr media
-Jalan Malahasa, Tahuna, Oktober 2018
0 notes
irulfahman · 2 years ago
Text
#poupelleofchimneytown
Tumblr media
5 notes · View notes
irulfahman · 8 years ago
Text
1. Diam
diam adalah pilihan terindah ketika kamu paham seisi dunia berkhianat padamu. ia adalah naluri paling suci ketika bintang-bintang tak pahami kegundahanmu. ia adalah air wudhu ketika hujan tak mau menyatu dan ‘nyembunyikan air matamu
larilah, carilah pangkuan ibumu bangunlah, hamparkan sajadahmu ada yang diam mendengarkan keluh kesahmu.
1 note · View note
irulfahman · 8 years ago
Text
Hal-Hal Yang Ada Di Benak Saya Setelah Satu Tahun di Tahuna
1)
“om saya mau ngelamar anak om”
“penempatan mana mas?”
“4 jam dari surabaya kok om”
2)
kota yg sangat kecil, di pulau yg sangat kecil, ditengah2 samudra yg sangat luas
 kayaknya bikin pondok pesantren disini bakal keren, bisa buat nakut2in anak kecil yg ga mau belajar.
3)
kalau nanti kamu kangen aku, dik, cemplungkan saja dirimu ke lautan. sekiranya kamu tak mahir berenang, tenang.
siapa tahu kamu tenggelam dan terdampar di Tahuna. .
.
bukankah Tuhan kita pandai menciptakan kebetulan-kebetulan haha
4)
kalau kamu pengen tau tempat dimana adagium semacam Homo Homini Lupus yang pernah dikemukakan oleh Plautus tidak begitu berlaku, datanglah ke pulau ini. ibarat kata, di sini adalah tempat paling realistis dari Simba The Lion King, animasi impian yang pernah diceritakan Marthin Luther King Jr, dimana seekor kelinci dapat mengisi hidup seekor serigala tanpa harus mengisi perutnya.
5)
terkadang signal lebih penting ketimbang kasih sayang

6)
suatu tempat dimana kau akan bahagia sepenuhnya
 tak ada omongan2 basi tetangga dan tak ada konsumerisme.
kalau malam sudah tiba, gunungnya bisa jadi menyala-nyala seperti kembang api. itu bisa jadi hiburan alternatif kalau kau sudah bosan memandang bintang2.
tak ada polusi, restoran cepat saji, mall atau bioskop.
kamu bisa berlatih kesabaran disini sebab sinyal merupakan suatu yg lebih berharga ketimbang kepiting kenari.
7)
buat adek2 STAN yg belum penempatan, nanti kalau ada waktu penantian TKD setahun yg seperti angkatan saya alami saya sarankan untuk tidak magang di kantor baik pemerintah maupun swasta.. saya lebih menyarankan adik2 magang di kedai2 tenda kaki lima yg jualan tahu campur, tahu tek tek, lontong balap, nasi krawu dan yang lainnya.. karena skill membuat makanan seperti yg saya sebutkan tadi bakal sangat bermanfaat kalau kalian di tempatkan di Tahuna. saya insyaallah jadi pelanggan tetap
8)
00.01 wita
01 Januari 2017
selamat tahun baru!
barangkali di Jakarta belum, tapi percayalah, di Tahuna sudah.
aku mencintaimu sejam lebih awal dibanding siapapun, termasuk suamimu

2 notes · View notes
irulfahman · 8 years ago
Text
Marche
Rhoma Irama & Latta Mangeskar - Musim Cinta. Warung Soto Madura kawasan pelabuhan Kota Tahuna. 27 Maret 2017 ditingkahi rintik gerimis.
saya selalu suka suara Latta Mangeskhar yang melantunkan senandung Musim Cinta, lagu yang kerap populer di tahun 90an itu. tiap mendengar lagu ini pikiran saya mendadak melayang ketika saya dan keluarga saya mengontrak rumah di daerah pesisir bangkalan bagian selatan, tepatnya kecamatan Kwanyar. dalam ingatan saya, kampung halaman masa kecil saya begitu identik dengan suara Latta Mangeskhar. hal ini mungkin dikarenakan sebagian besar warga di sana sering memutarkan album-album Rhoma Irama terlebih ketika berkolaborasi dengan penyanyi lawas asal negeri india itu. kalau saya tidak salah ingat, lagu tersebut masuk dalam daftar lagu pada album Gulali yang rilis tahun 95, saat itu saya berusia 5 tahun. yah, saya sedang merindukan suasana kampung halaman masa kecil saya ceritanya haha

di bagian belakang rumah kontrakan saya terdapat kebun bambu yang cukup luas. di tengah-tengah kebun itu mengalir sebuah sungai dan sumber mata air. kalau sudah waktunya pulang sekolah, anak-anak kecil bergerombol dengan kawan-kawan sebayanya mandi di mata air itu sampai masuk waktu shalat dzuhur. di sumber mata air itu dibangun sebuah pembatas berupa tembok, sehingga para perempuan yang datang untuk sekedar mandi dan mencuci pakaian tak perlu risih atau malu akan ada mata jahil yang mengintip mereka. nyaris seluruh penduduk desa sangat bergantung pada sumber mata air itu. bahkan tidak hanya sekedar untuk kebutuhan mandi dan mencuci pakaian saja, kalau sudah masuk musim paceklik warga dari Desa Gunung Morombuh yang letaknya sekitar 5km dari desa kami akan berbondong-bondong barang mengisi jeriken yang dibawa dengan sebanyak mungkin air yang dapat ditampung guna kebutuhan makan dan minum. kebetulan saat itu, agen air isi ulang atau air mineral galonan belum ada, atau kalaupun ada belum sebanyak sekarang. orang-orang di zaman itu, masih menganggap membeli air untuk kebutuhan minum adalah hal yang konyol.
kebun bambu tersebut akan sangat sepi kalau sudah masuk waktu shalat maghrib. anak-anak akan secepat mungkin pulang kerumah mengingat para orang tua suka sekali menakut-nakuti mereka dengan “Baong”. Baong adalah istilah yang cukup ampuh untuk dijadikan momok bagi anak kecil seumuran saya pada saat itu. dalam Bahasa Indonesia kita mengenalnya dengan hantu. berbeda dengan anak-anak, selepas waktu isha biasanya remaja dan para lelaki dewasa malah beramai-ramai menyeberangi kebun dengan menggunakan senter atau obor untuk menonton pementasan ludruk yang terkadang diadakan di desa tetangga sebab kalau malam suasa di kebun bisa gelap sekali.
sebentar, sebelum melanjutkan saya ingin memesan kopi dahulu supaya kita bisa berbincang lebih lama. juga tahu isi 5000 tiga, lumayan bukan? hehe
ohya, nyaris saja saya lupa. pada setiap malam menjelang lebaran, seluruh warga desa akan menyalakan suluh dan beramai-ramai berjalan kaki mengelilingi desa sambil melantunkan takbir, melintasi kebun bambu, dan munyusuri jalanan hingga berakhir di halaman Masjid Jami’ yang letaknya di muka pasar seberang jalan. seingat saya, saya sudah dua kali mengikuti takbir keliling semacam itu sebelum akhirnya pindah karena orang tua saya membeli rumah di komplek perumahan yang letaknya cukup jauh dari desa kami saat itu. mengenang waktu-waktu itu selalu sukses membuat saya terharu, sebab mungkin saat ini takbir keliling yang dahulu dilakukan dengan berjalan kaki sambil membawa obor sudah tidak ada lagi dan digantikan oleh takbir keliling dengan truk yang diiringi lagu-lagu koplo atau pantura, obor yang dahulu cuma digenggam sekarang dijadikan bagian dari pertunjukan Fire Breathing sambil melakukan tarian-tarian pogo.
kampung halaman masa kecil saya adalah sebuah tempat yang rajin sekali bangun pagi. aktivitas masyarakat di sini bahkan sudah dimulai sekitaran waktu subuh, entah itu para lelaki yang berangkat ke masjid atau perempuan yang berniaga di pasar. pasar disini menyediakan beranekaragam kebutuhan. letaknya diapit oleh lahan pemakaman di sebelah kanan dan sebuah lapangan dengan luas yang tidak terlalu di sisi kiri. di hari minggu lapangan itu akan dipenuhi oleh orang-orang yang berasal dari berbagai penjuru kota Bangkalan yang khusus hendak menjual hewan-hewan ternaknya seperti kambing, ayam, atau yang paling banyak, sapi. mungkin karena hal itulah penduduk kampung menyebutnya dengan pasar sapi. sebenarnya saya tidak pernah tau pasti.
hujan sepertinya sudah reda. beberapa teman kantor barusan memutuskan pulang duluan. kita lanjut dulu ceritanya, kopi masih setengah gelas lagi. lagu kedua di putar, lagi-lagi Rhoma Irama & Latta Mangeskhar - Di Tepi Pantai. redup lampu jalanan berpendar, genangan air hujan membiaskan cahaya keemasannya. malam semakin larut saja.
Ada satu hal menarik lagi yang masih ingin saya tulis. dulu pernah ada kompetisi sepak bola yang di adakan oleh kecamatan di lapangan yang letaknya di daerah pesisir Kwanyar timur. pertandingan biasanya di mulai saat jam 2 siang. kalau saya tidak salah ingat waktu itu saya berumur 11 tahun, kelas 5 SD. saya dan kawan dekat saya, Jakfar, menyusuri pematang sawah setiap hari demi menjagokan salah satu tim yang bertanding di hari itu. ada semacam dinding yang terbuat dari seng mengelilingi lapangan dengan hanya satu pintu masuk. di pintu masuk itu terdapat loket pembelian karcis. dengan kata lain, siapapun yang hendak menyaksikan pertandingan pada hari itu harus membayar uang sebesar tiga ribu rupiah untuk mendapatkan tiket masuk. itu nominal yang cukup banyak bagi saya kala itu. alih-alih membeli tiket, kami berdua malah memegang bagian bawah kemeja bapak-bapak-entah-siapa yang antri di loket dengan harapan agar kami dikira anak bapak itu. cara itu terbukti ampuh, meskipun pernah sekali si Jakfar justru malah didorong sampai terjatuh ke tanah karena dikira mau mencopet. bagi kami tak masalah, itu kami anggap salah satu bentuk jihad kami agar bisa menonton pertandingan tim jagoan kami.
sehabis menonton pertandingan bola, kami akan langsung pulang melintasi setapak jalan persawahan dilatari cahaya senja yang berkarat. bagi saya senja di Kwanyar ketika saya masih kecil indahnya bisa jauh melampaui senja di teluk Tahuna atau Kaimana yang terkenal itu meskipun saya belum pernah kesana. beberapa saat lagi mungkin saya akan pulang kampung ke madura, rasa-rasanya ingin sekali menapaktilasi tempat-tempat yang semasa kecil dulu pernah saya hampiri. tempat-tempat usang yang barangkali saat ini telah banyak berubah dan menjadi asing. satu hal yang menjadi keberuntungan kita diciptakan Tuhan sebagai manusia adalah, kita memiliki kenangan sehingga kita bisa belajar tentang apa saja yang berharga bagi kita dan tak boleh lepas dari genggaman. maka, beruntunglah orang-orang yang mengenang..
“
di tepi pantai cinta bersemi, ombak putih menari menjadi saksi.”
sudah larut malam, mari pulang!
1 note · View note
irulfahman · 8 years ago
Quote
Ali Shariati mensyaratkan Raushan Fikr (Free Thinkers) sebagai manusia ideal yg dapat membangunkan masyarakat yang terjebak dalam stagnasi, alih-alih dekadensi. seorang Raushan Fikr adalah manusia yang menjadikan idealita sebagai prinsip fundamental pergerakannya, bukannya realita. dengan kata lain, pemikirannya bukan terpusat pada bagaimana sebenarnya suatu keadaan itu ada, melainkan bagaimana seharusnya. ia bukan lahir dari kalangan kerajaan, aristokrat, atau semacamnya. ia bisa lahir dari kalangan manapun, bahkan dari rakyat jelata sekalipun.
0 notes
irulfahman · 8 years ago
Quote
percuma kita sekolah, belajar, membaca banyak buku... kalau cuma pinter. pinter sendiri sementara masyarakat ngga bisa mengambil manfaat dari ilmu kita. serendah-rendahnya, senyum atau nyapa kalau lewat depan rumah orang. itu salah satu terapan dari ilmu Pendidikan Agama dan Kewarganegaraan yang dulu kita pelajari kelas 1 SD. masa lupa?
1 note · View note
irulfahman · 8 years ago
Text
Surat Buat Pak Tukang Dongeng Keliling
kapankah kita bisa berjumpa lagi, sedang keriput kulitmu telah membelah sisi. sementara belantara hitam diubun-ubunmu yang dulu suka kujelajahi sudah menjelma uban-uban putih yg lapuk. matamu tak seampuh dulu ketika aku masih suka mendengarmu membacakan cerita pengantar tidur. cerita tentang penyerangan Abrahah dengan pasukan gajah ke kota mekah. atau gerilyawan agung, Jenderal besar Sudirman. kau tau, aku sangat suka mendengarnya karena semasa kecil aku pikir nama sang jenderal sedikit mirip dengan namamu. itu hal yang lucu buatku.
lantas saat berjumpa (lagi) nanti, pembicaraan macam apa lagi yang bisa kita perbincangkan. sementara sedari kecil kau telah menceritakan padaku segala hal: kau pernah menunjuk gemintang paling terang -pada suatu malam- yang katamu telah mati berjuta-juta tahun yang lalu. kau pernah memberitahuku bahwa di dunia ini terdapat binatang yg tak perlu bicara untuk saling mengerti satu sama lain.
aku hanya ingin memastikan, suatu hari nanti aku ingin sekali tumbuh sebagai lelaki yang bisa mengerti banyak hal. kelak kita akan jalan-jalan lagi menyusuri jalanan malam yang lengang, seperti yang pernah kita lakukan dua puluh satu tahun yang lalu saat aku masih suka-sukanya mendaki pundak dan bahumu sambil mendengarkan dongeng-dongengmu. di sepanjang jalan itu, aku akan memberitahumu hal-hal yang aku dapat dari sekolah dan kampusku atau dari buku-buku yg telah aku baca. sebagai imbalannya aku ingin kau bercerita (sekali lagi) tentang bagaimana dahulu kau memilih ibu, sehingga kelak aku mafhum bagaimana agar aku bisa memilih bagian dari diriku.
3 notes · View notes
irulfahman · 8 years ago
Text
-
bagi saya, mungkin segalanya akan lebih indah dan sakral jika pesta pernikahan dilakukan di halaman rumah tanpa wedding organizer, tanpa organ tunggal, tanpa perlu dekorasi yg serba mewah. semuanya diurus oleh keluarga besar dengan bantuan tetangga sekitar. kesibukan-kesibukan di rumah, hiruk pikuk di dapur, dan segala macam hal yg mungkin akan membuat bapak ibu kita kembali mengenang suasana bagaimana dahulu mereka menikah.
orang-orang yg datang bisa memberikan hadiah berupa apapun. bisa berupa hasil kebun, gula, beras atau bahkan doa, sebaik-baik hadiah pernikahan bagi kita. kita bisa mengajak pemuda-pemuda masjid sekitar untuk menabuh rebana demi meramaikan suasana, biasanya anak-anak kecil akan sangat suka dan antusias melihatnya.
dahulu sewaktu masih bocah dan mengontrak rumah di daerah pesisir pulau Madura, tuan tanah kami menampilkan pementasan pencak silat saat pernikahan puterinya untuk menghibur undangan yg hadir. ada beberapa pemuda-pemudi dari desa tetangga yg datang jauh-jauh untuk menyaksikan. mereka datang beramai-ramai. biasanya ada juga yg datang dengan harapan bisa berjumpa dan melihat pujaan hatinya di tengah-tengah keramaian. rasa suka antar pemuda-pemudi saat itu begitu puitis dan perawan. rasa suka yg penuh malu-malu.
kalau malam sudah tiba, biasanya orang-orang tua lengkap dengan sarung dan kopiahnya berkumpul dan berbincang tentang banyak hal sampai larut, di temani secangkir kopi hitam dan langit malam yg gelap dengan ribuan gemintang bertaburan sementara sang pengantin berada di tempat dan saat-saat paling indah dalam hidupnya. tapi, tentu semuanya akan begitu merepotkan. kita tumbuh dewasa di tengah-tengah era yg serba buru-buru dan serba di kejar waktu. kita ingin semuanya mudah. dan tentu saja, tentu kita akan menikah dengan wedding organizer, dengan organ tunggal, dan dekorasi gedung serta pelaminan yang menawan. kita akan menjamu tamu dengan berbagai macam santapan dan kudapan. kita tentu tak akan tega memberikan pekerjaan yg melelahkan bagi kedua orang tua kita hanya untuk pesta pernikahan yg mungkin tak sampai sehari sudah dilupakan orang-orang.
namun, seumpama kelak saat kita tambah menua sementara anak-anak kita tumbuh dewasa mereka hendak mengadakan pesta pernikahan di pekarangan rumah selayaknya kakek nenek mereka dahulu, barangkali saya akan menjadi seorang bapak yg dengan sangat senang hati mewujudkan keinginannya.
Tahuna, 1 Maret 2017. sehabis dengerin kisah-kisah pernikahan teman-teman pangkas rambut madura.
0 notes
irulfahman · 8 years ago
Quote
tiba-tiba terbesit ingin tuk menanam angan. menyiraminya biar tumbuh dan bercabang teduh. berdaun rindang, dan pandai meracik angin yang licik. membisik rindu. lalu, menghasutmu pulang ke pangkuanku.
ah, sok puitis 😕
6 notes · View notes
irulfahman · 8 years ago
Quote
mau kau kuberikan pekerjaan paling mulia di dunia? jadilah ibu dari anak-anakku. telapak kakimu serupa syurga, telapak tanganmu himpunan doa-doa.
0 notes
irulfahman · 8 years ago
Text
dalam kebebasan-kebebasan kita, terdapat kebebasan-kebebasan orang lain yang tak boleh kita usik. dengan kata lain, kebebasan kita, manusia sebagai makhluk monopluralis, dipagari oleh kebebasan orang lain atau orang-orang disekitarnya tanpa boleh dilampauinya.
pun, kita dinilai dari keadaan eksistensial kita, namun tetap berhak untuk diperlakukan sama secara kodrat.
people are condemned to be free
0 notes
irulfahman · 8 years ago
Quote
every morning in africa, a gazelle wakes up, it knows it must outrun the fastest lion or it will be killed. every morning in africa, a lion wakes up, it knows it must run faster than the slowest gazelle, or it will starve. it doesnt matter whether you'r the lion or a gazelle. when the sun comes up, you'd better be running.
Christopher Mcdougall quoting Roger Bannister in "born to run"
0 notes