Text
Narasi TKDN dalam Kisah iPhone
Pemblokiran penjualan iPhone 16 di Indonesia karena tidak memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 35% telah memicu diskusi hangat di tengah masyarakat Indonesia, terutama kalangan pengguna setia produk ikonik ini. Kebijakan TKDN, yang dirancang untuk meningkatkan kandungan lokal pada perangkat 4G dan 5G ini, bertujuan mengurangi ketergantungan pada produk impor sambil mendukung pertumbuhan industri dalam negeri. Namun, keputusan ini membawa implikasi dari berbagai sudut pandang—regulator, konsumen, industri lokal, hingga Apple sebagai perusahaan terdampak.
Beranjak dari konsep-konsep kunci pemikiran Daniel Kahneman yang tertuang dalam "Thinking, Fast and Slow", diantaranya dual system thinking, framing effect, prospect theory, dan anchoring bias, kita dapat mencoba menggali lebih dalam dan memahami sudut pandang masing-masing pihak tersebut terhadap penetapan kebijakan ini.
Perspektif Regulator: Kebijakan dalam Kerangka Pemikiran Strategis
Dalam konteks dual system thinking Daniel Kahneman, regulator Indonesia menyusun kebijakan TKDN dengan pendekatan System 2, yakni pemikiran yang lebih lambat, mendalam dan penuh pertimbangan untuk dampak jangka panjang. Dalam kerangka berpikir ini, regulator merancang kebijakan dengan end state untuk memperkuat kemandirian ekonomi melalui optimalisasi kandungan lokal.
Regulator Indonesia juga memandang kebijakan TKDN sebagai instrumen penting untuk menstimulus optimisme industri lokal. Penerapan framing effect—mekanisme penyampaian informasi agar dapat dipahami audiens dengan cara tertentu—diharapkan dapat memposisikan kebijakan TKDN sebagai langkah positif untuk ekonomi lokal, bukan hanya sebagai sekadar kebijakan populis pembatasan produk asing.
Perspektif Konsumen: Reaksi Emosional & Pembatasan Akses
Dari kacamata konsumen, larangan ini menimbulkan reaksi emosional yang didorong oleh System 1, yaitu pola pikir cepat dan intuitif, kebalikan dari System 2 dalam konteks dual system thinking. Respons konsumen terhadap larangan iPhone lebih berbasis perasaan emosional karena kehilangan akses ke produk favorit.
Dalam prospect theory, konsep loss aversion menunjukkan adanya asimetri emosi dimana manusia lebih condong merasakan dampak negatif dari kehilangan dibandingkan kepuasan atas keberadaan suatu benefit yang sebanding. Ditambah dengan availability heuristic, yaitu kecenderungan untuk senantiasa terkenang pengalaman positif kala menggunakan suatu produk (dhi. Apple), konsumen menjadi lebih sulit menerima produk lain sebagai alternatif pilihan.
Tantangan Apple: Menavigasi Standar Lokal dalam Konteks Efisiensi Global
Bagi Apple, kebijakan TKDN mengharuskan perusahaan untuk menyeimbangkan antara permintaan pasar, kepentingan setempat, standar lokal dan efisiensi global. Rantai pasok Apple terpusat di pabrik Foxconn di Taiwan, yang menjadi pusat distribusi global. Memindahkan sebagian produksi ke Indonesia bukanlah langkah mudah, mengingat potensi biaya dan risiko yang tinggi. Hambatan ini mencerminkan anchoring bias—kecenderungan mempertahankan standar atau “jangkar” yang sudah mapan. Standar global Apple yang kuat membuat mereka sulit mengikuti requirement kebijakan TKDN tanpa mengorbankan efisiensi yang mereka andalkan.
Perspektif Industri Lokal: Peluang di Balik Tantangan
Bagi industri lokal, kebijakan TKDN menciptakan peluang untuk mengisi kekosongan pasar yang sebelumnya diisi produk impor. Dengan standar TKDN sebagai jangkar baru, diharapkan industri lokal mampu meningkatkan kualitas dan daya saing produk agar memenuhi preferensi pasar domestik. Namun, ada tantangan kompetensi yang harus diatasi.
Industri lokal juga perlu menghindari overconfidence bias—kecenderungan merasa terlalu percaya diri akan kemampuan sendiri. Terkadang, pelaku industri mengira kebijakan TKDN akan otomatis menjamin keberhasilan mereka di pasar. Namun, tanpa peningkatan kualitas dan inovasi, produk lokal mungkin belum dapat bersaing dengan merek global yang telah mapan. Jika overconfidence bias ini tidak dikelola, peluang pasar dapat terlewatkan.
Untuk dapat bersaing secara kompetitif, peningkatan standar produksi dan efisiensi sangat dibutuhkan. Langkah ini mencakup inovasi desain, pelatihan tenaga kerja, serta investasi dalam teknologi dan riset pasar. Dengan mengatasi tantangan ini, industri lokal bisa lebih siap memenuhi permintaan pasar dengan produk berkualitas tinggi yang relevan bagi konsumen.
Menavigasi Bias Menuju Pasar yang Berimbang
Melalui perspektif yang beragam ini, kita dapat melihat bahwa regulator, konsumen, industri, dan Apple merespons kebijakan TKDN sesuai pendekatan masing-masing. Kebijakan ini sebaiknya tetap mengedepankan keseimbangan antara akses pasar bagi konsumen, pertumbuhan industri lokal, dan kepatuhan perusahaan asing. Dengan memahami berbagai bias kognitif ini, kebijakan TKDN diharapkan dapat menciptakan lingkungan pasar yang mendukung penguatan kapasitas serta pertumbuhan ekonomi dalam negeri sekaligus menjaga keragaman pilihan bagi konsumen.
#TKDN#IndonesiaPolicy#iPhoneBan#ThinkingFastAndSlow#ConsumerBehavior#EconomicGrowth#DanielKahneman#CognitiveBias#LocalIndustry#MarketRegulation
0 notes
Text
Indonesia & BRICS: Membuka Keran Menuju Peran yang Lebih Besar
Pada 24 Oktober 2024, dalam KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia, Menteri Luar Negeri Sugiono mengumumkan bahwa Indonesia akan bergabung sebagai negara mitra dalam aliansi BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Keputusan ini menandai tonggak penting dalam diplomasi Indonesia, memungkinkan negara untuk mengakses platform yang lebih luas dalam kolaborasi ekonomi dan politik global. Bergabungnya Indonesia di BRICS mengandung potensi besar bagi pertumbuhan, namun juga membawa risiko tersembunyi. Melalui perspektif pengembangan potensi sebagaimana dieksplorasi oleh Adam Grant dalam karyanya Hidden Potential, kita dapat menilik dan meninjau aspek-aspek penting dari keputusan ini, termasuk peluang yang dapat diraih serta risiko yang mungkin timbul.
Malleable Potential: Peran Lebih Besar di Kancah Global
Langkah Indonesia untuk bergabung dengan BRICS mencerminkan keyakinan bahwa potensi negara dapat berkembang melalui ruang gerak yang lebih luas. Melalui BRICS, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperluas akses pasar dan kolaborasi ekonomi, mengukuhkan peran sebagai salah satu kekuatan ekonomi di Asia Tenggara yang mampu bersaing secara global. Dalam konteks growth mindset, Indonesia menunjukkan tekad untuk berinovasi dan mengadopsi pendekatan baru demi pertumbuhan. Bergabungnya Indonesia di BRICS memberi negara ruang untuk memperbesar pengaruhnya dalam perumusan kebijakan global, terutama dalam isu-isu seperti ketahanan pangan, perubahan iklim, dan teknologi.
Kolaborasi Terarah untuk Percepatan Pertumbuhan
Dengan menjadi mitra BRICS, Indonesia memperoleh akses ke kolaborasi dan umpan balik yang sangat bernilai untuk memperkuat ekonomi dan mempercepat pembangunan berkelanjutan. Grant menyoroti pentingnya deliberate practice, yaitu praktik yang terarah dan sistematis yang memungkinkan individu atau entitas untuk berkembang. Di BRICS, Indonesia dapat belajar dari negara-negara seperti China dan India dalam pengembangan teknologi dan inovasi ekonomi. Melalui deliberate & best practice yang didapat dari BRICS, Indonesia dapat memperkuat kebijakan ekonomi yang sustainable dan menumbuhkan sektor-sektor strategis yang dapat membawa dampak signifikan bagi masyarakat luas.
Keberanian Mengambil Risiko: Peluang Ditengah Ketidakpastian
Bergabung dalam aliansi global seperti BRICS membawa risiko yang signifikan, tetapi juga membuka peluang besar bagi Indonesia untuk mengembangkan potensi yang selama ini mungkin tidak tereksplorasi. Grant mengingatkan bahwa potensi dapat berkembang melalui keberanian untuk menangkap peluang yang sebelumnya tak terpikirkan, bahkan jika ini mengharuskan kita untuk memasuki lingkungan yang penuh ketidakpastian. Indonesia, dengan prinsip bebas-aktifnya, memiliki fleksibilitas untuk terlibat dalam kolaborasi ekonomi dan diplomatik yang lebih luas tanpa harus mengambil sisi tertentu dalam geopolitik global. Langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia siap mengambil risiko demi memaksimalkan potensinya, meskipun ini berarti memasuki wilayah baru yang belum pernah dijelajahi.
Mengoptimalkan Aliansi Non-Barat, Memperkuat Independensi
Langkah bergabung dengan BRICS sejalan dengan kebijakan bebas-aktif Indonesia. Aliansi ini tak hanya berisi kekuatan besar seperti China dan Rusia, tetapi juga mencakup mitra non-Barat yang memiliki visi sejalan, seperti Afrika Selatan dan Uni Emirat Arab. Dengan bekerja sama dengan negara-negara ini, Indonesia memiliki kesempatan untuk berkolaborasi dalam hubungan yang lebih setara tanpa tekanan dominasi. BRICS menjadi arena yang pas untuk memperkuat independensi Indonesia di kancah global, memungkinkan negara ini memainkan peran yang lebih aktif dalam menciptakan tatanan dunia yang lebih inklusif dan berimbang.
Diversifikasi Hubungan Internasional
Meski demikian, kita perlu menyadari adanya risiko ketergantungan yang dapat muncul dari hubungan yang terlalu erat dengan satu blok atau kekuatan besar tertentu. Indonesia dapat mengurangi potensi dampak negatif ini melalui diversifikasi hubungan internasionalnya. Indonesia dapat memperkuat posisinya di BRICS tanpa risiko ketergantungan pada suatu blok dengan memperluas kemitraan internasionalnya. Alih-alih menempatkan semua tumpuan pada satu aliansi, Indonesia bisa menjajaki hubungan strategis dengan kawasan Asia-Pasifik dan mitra-mitra ASEAN. Misalnya, Jepang dan Korea Selatan sebagai mitra di bidang teknologi dan inovasi, serta negara-negara ASEAN yang memiliki visi serupa terkait perdagangan regional. Strategi diversifikasi ini tak hanya memperkuat posisi tawar, tetapi juga menjaga stabilitas ekonomi, sambil tetap berpegang pada prinsip bebas-aktif. Dengan strategi ini, Indonesia bisa menghadapi dinamika persaingan antara kekuatan besar dalam BRICS dan Barat tanpa kehilangan otonomi.
Dinamika Pembelajaran Menuju Kematangan
Bergabung dengan BRICS juga berarti Indonesia akan menghadapi ketidakpastian dalam sistem aliansi yang kompleks. Seperti yang diuraikan Grant, kemampuan untuk belajar dari ketidaksempurnaan dan kegagalan adalah bagian penting dari perjalanan menuju pemenuhan potensi. Di dalam BRICS, Indonesia mungkin akan dihadapkan pada tantangan dan dinamika yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan nasional. Namun, setiap pengalaman ini merupakan kesempatan untuk belajar dan memperbaiki strategi serta kebijakan agar lebih efektif dan relevan. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa kesalahan dan ketidaksempurnaan adalah bagian dari proses menuju kematangan, termasuk dalam hal ihwal hubungan internasional.
Risiko Tersembunyi: Tantangan dalam Aliansi BRICS
Meskipun banyak potensi yang bisa digali, bergabung dengan BRICS juga membawa beberapa risiko tersembunyi yang harus diperhitungkan. Pertama, adanya ketergantungan pada negara-negara besar dalam aliansi ini, seperti China dan Rusia, dapat mengarahkan kebijakan BRICS lebih condong pada kepentingan mereka, yang mungkin tidak selalu sejalan dengan prioritas Indonesia.
Kedua, dengan meningkatnya ketegangan geopolitik antara Barat dan BRICS, Indonesia mungkin harus menghadapi tekanan dari negara-negara Barat, terutama dalam hal hubungan ekonomi dan investasi. Sebagai negara mitra BRICS, Indonesia akan dipandang memiliki afiliasi yang lebih erat dengan negara-negara non-Barat, yang dapat memengaruhi hubungan diplomatiknya dengan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Risiko ini dapat berimplikasi pada stabilitas ekonomi dan iklim investasi di Indonesia jika terjadi ketegangan yang lebih besar antara blok-blok ekonomi dunia.
Terakhir, kerentanan dalam ketidakpastian pasar internasional juga bisa menjadi risiko yang harus diperhitungkan. BRICS berfokus pada diversifikasi ekonomi dari dominasi Barat, tetapi ini juga berarti bahwa Indonesia perlu menyiapkan diri terhadap fluktuasi ekonomi yang mungkin muncul dari perubahan hubungan internasional. Ketergantungan pada pasar baru ini harus disertai dengan strategi mitigasi risiko agar tidak merugikan kepentingan ekonomi nasional di masa mendatang.
Pisau Bermata Dua: Berwaspada dalam Optimisme
Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS adalah langkah strategis yang membuka banyak peluang untuk mengoptimalkan potensi nasional dan memperkuat posisi global. Meskipun demikian, langkah ini juga membawa tantangan dan risiko yang perlu dikelola dengan bijak. Dengan prinsip-prinsip ketahanan, keberanian, dan keterbukaan untuk belajar, Indonesia dapat mengambil langkah besar dalam memanfaatkan potensi BRICS sebagai landasan untuk pertumbuhan berkelanjutan, sambil tetap waspada terhadap risiko-risiko tersembunyi yang mungkin timbul.
#IndonesiaBRICS#GlobalEconomy#IndonesiaDiplomacy#BRICSpartnership#SustainableGrowth#InternationalRelations#GrowthMindset#EconomicDiversification#GlobalInfluence#HiddenPotential#AsiaEconomy
0 notes
Text
Retret Magelang dan Revolusi Kebiasaan: Meretas Kepemimpinan dari Kebiasaan Kecil
Retret kabinet di Magelang, yang diinisiasi oleh Presiden Prabowo Subianto, membawa perspektif baru dalam kepemimpinan nasional Indonesia. Tidak hanya pelatihan fisik, tetapi acara ini juga menyatukan seluruh pejabat kabinet dalam lingkungan militer yang disiplin dan terstruktur. Langkah ini dapat dilihat melalui lensa buku best seller yang sedang banyak dibahas belakangan ini yakni Atomic Habits karya James Clear, yang menggarisbawahi pentingnya kebiasaan kecil sebagai fondasi perubahan besar. Melalui pendekatan berbasis identitas, disiplin, dan pengaruh lingkungan, retret ini menanamkan prinsip-prinsip kunci yang relevan dalam membangun budaya kepemimpinan yang tangguh dan efektif.
1. The Power of Compound Growth: Dampak dari Kebiasaan Kecil yang Konsisten
Clear menekankan bahwa perubahan besar bukan berasal dari upaya besar yang dilakukan sekali waktu, tetapi dari kebiasaan kecil yang dilakukan terus-menerus. Prinsip compound growth, atau pertumbuhan bertahap, dalam konteks retret kabinet ini terejawantahkan dalam setiap kegiatan—mulai dari aktivitas fisik hingga rutinitas harian—membangun kedisiplinan melalui langkah-langkah kecil yang dilakukan bersama. Kebiasaan kecil ini, jika diakumulasi, dapat berdampak besar pada ketahanan karakter dan semangat kerja kolektif. Dalam pemerintahan, pendekatan ini berarti bahwa melalui disiplin kecil dan kolaborasi, para pejabat dapat mencapai hasil besar dalam jangka panjang.
2. Identity-Based Habit vs. Outcome-Based Habit: Menjadi Pemimpin yang Beridentitas Pelayan
Clear memperkenalkan konsep penting, yaitu kebiasaan berbasis identitas dibandingkan kebiasaan berbasis hasil. Kebiasaan berbasis hasil (outcome-based) sering kali hanya berfokus pada target akhir, seperti mencapai produktivitas atau menyelesaikan suatu proyek. Namun, Clear menegaskan bahwa kebiasaan berbasis identitas (identity-based) lebih efektif karena melibatkan perubahan mendasar dalam cara seseorang memandang dirinya sendiri. Presiden Prabowo, melalui retret ini, tampaknya ingin membangun identitas baru bagi para pejabat sebagai “pelayan rakyat” yang berkomitmen penuh dan berjiwa patriot. Melalui aktivitas-aktivitas yang melatih kebersamaan dan rasa tanggung jawab, para pejabat diharapkan untuk tidak hanya bertindak sebagai pelaksana kebijakan tetapi juga menginternalisasi peran mereka sebagai bagian dari visi besar bangsa.
3. Empat Hukum Perubahan Kebiasaan: Membangun Kebiasaan Baik dalam Pemerintahan
Di dalam Atomic Habits, Clear memaparkan Four Laws of Behavior Change atau Empat Hukum Pembentukan Kebiasaan: Make It Obvious (Buat Jelas), Make It Attractive (Buat Menarik), Make It Easy (Buat Mudah), dan Make It Satisfying (Buat Memuaskan). Presiden Prabowo telah menerapkan prinsip-prinsip ini di Magelang dengan merancang aktivitas yang terstruktur dan menarik, yang membuat para pejabat lebih mudah memahami pentingnya disiplin dan solidaritas. Kegiatan kolektif seperti tidur di tenda, berlatih fisik bersama, dan menjalani rutinitas harian, menjadikan kebiasaan disiplin terasa alami dan memuaskan karena dicapai bersama-sama. Keberhasilan kegiatan ini dapat memberikan kepuasan yang, menurut Clear, akan memperkuat dorongan para pejabat untuk terus berkomitmen pada kebiasaan baik di kehidupan sehari-hari mereka
4. Menghilangkan Kebiasaan Buruk: Menciptakan Pola Kerja yang Lebih Efektif
Salah satu prinsip penting dari Atomic Habits adalah pentingnya menghilangkan kebiasaan buruk dengan membuatnya “tak terlihat, tak menarik, sulit, dan tak memuaskan.” Di Magelang, lingkungan militer dengan ketertiban yang ketat membantu mengurangi perilaku individualis dan lebih mementingkan kolaborasi serta kepentingan bersama. Kebiasaan buruk, seperti egoisme atau prioritas pada agenda pribadi, menjadi tak nyaman dalam lingkungan yang menekankan komitmen pada tim dan bangsa.
5. Peran Lingkungan dalam Pembentukan Kebiasaan: Menjadi Bagian dari Identitas Kolektif
Clear juga menyoroti peran penting lingkungan dalam pembentukan dan penguatan kebiasaan. Suasana militer di Magelang, yang penuh dengan disiplin dan aturan, menciptakan lingkungan yang mendorong perilaku teratur dan kebersamaan. Lingkungan ini membantu menguatkan kebiasaan baik yang ingin ditanamkan kepada para pejabat. Dalam lingkungan yang penuh ketertiban ini, para menteri dapat mengalami secara langsung bagaimana disiplin dan kesatuan menjadi bagian dari identitas kolektif mereka. Lingkungan ini bukan hanya mendorong pembentukan kebiasaan baru, tetapi juga menciptakan ruang untuk identitas bersama yang terhubung dengan visi bangsa
This Is Just The Beginning: Menggerakkan Perubahan Besar Melalui Kebiasaan Kecil
Retret kabinet di Magelang bukan sekadar pelatihan fisik, tetapi juga merupakan strategi untuk menanamkan kebiasaan kecil yang akan berdampak besar pada jalannya pemerintahan. Melalui prinsip-prinsip yang dibahas dalam Atomic Habits seperti compound growth, kebiasaan berbasis identitas, empat hukum perubahan kebiasaan, hingga pengaruh lingkungan, Presiden Prabowo menciptakan fondasi bagi budaya kerja baru yang berkelanjutan. Kebiasaan kecil seperti kedisiplinan dan kolaborasi, jika terus diperkuat melalui lingkungan yang mendukung, berpotensi menjadi kekuatan besar dalam menghadapi berbagai tantangan nasional. Dengan demikian, retret ini adalah langkah awal untuk membentuk kepemimpinan yang tidak hanya efektif dalam mencapai tujuan jangka pendek, tetapi juga membangun Indonesia yang lebih sejahtera, adil, dan berdaya saing di masa depan.
#AtomicHabits#LeadershipTransformation#MagelangRetreat#IndonesiaLeadership#CompoundGrowth#IdentityBasedHabits#BehaviorChange#JamesClear#PublicService#Prabowo#PositiveChange
0 notes
Text
Pemimpin Baru, Harapan Baru: Mewujudkan Kepemimpinan untuk Kesejahteraan dan Keadilan
Pergantian kepemimpinan di Indonesia pada 20 Oktober 2024 menjadi momentum penting bagi bangsa ini. Perubahan ini membawa harapan akan pemimpin yang tidak hanya berkomitmen terhadap kesejahteraan rakyat, tetapi juga berintegritas dan mampu menjawab berbagai tantangan sosial dan ekonomi. Kepemimpinan yang efektif dan berfokus pada kepentingan rakyat selalu menjadi dambaan masyarakat. Seperti kisah Rasulullah SAW saat memimpin Madinah dengan menerapkan Piagam Madinah, dimana prinsip keadilan, kesetaraan, dan ketangguhan sosial harus menjadi dasar kepemimpinan.
Piagam Madinah menetapkan tujuh prinsip penting yang relevan bagi Indonesia saat ini, yaitu: persamaan hak sebagai warga negara, keadilan ekonomi, kebebasan beragama, kesetaraan hukum, tanggung jawab pertahanan, serta penegakan hukum yang tidak memihak. Prinsip-prinsip ini menggarisbawahi pentingnya integritas dan komitmen dalam kepemimpinan.
Namun, realitas di Indonesia masih menunjukkan berbagai problematika (read: "room for improvement") diantaranya:
Kemiskinan (mengutip data BPS jumlah penduduk miskin di perkotaan sebanyak 11,64 juta orang dan di pedesaan sebanyak 13,58 juta orang pada tahun 2024)
Pengangguran (jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,2 juta jiwa per Februari 2024)
Korupsi (Indeks Persepsi Korupsi Indonesia mendapatkan skor 34 dari skala 0–100, di mana skor ini bila dibandingkan dengan rata-rata global, yaitu 43, menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia masih di atas rata-rata global)
dan ketimpangan hukum (Skor Indonesia dalam indeks World Justice Project adalah 0,53 dari nilai maksimal 1. Skor ini menempatkan Indonesia pada peringkat 66 dari 142 negara, yang mengindikasikan adanya ketimpangan dalam penegakan hukum).
Selain itu, potensi sumber daya alam yang luar biasa belum termanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat.
Pemimpin yang transformasional menginspirasi rakyatnya dengan visi yang jelas dan mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Mereka memimpin dengan memberikan teladan dalam integritas, kejujuran, dan kecerdasan. Dalam konteks behavioral science, pemimpin yang memahami psikologi sosial dan perilaku masyarakat akan lebih mampu merumuskan kebijakan yang inklusif dan adil, mendorong perubahan perilaku secara kolektif demi mencapai kesejahteraan bersama.
Prinsip servant leadership juga penting dalam membangun kepercayaan publik. Pemimpin yang berfokus melayani masyarakat akan lebih dipercaya, terutama di tengah krisis keteladanan yang masih dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Kepemimpinan yang didasarkan pada melayani bukan hanya sekadar mengelola kekuasaan, tetapi juga berkomitmen untuk memajukan kehidupan rakyat. Dengan prinsip ini, pemimpin dapat mengatasi berbagai isu mendasar seperti kemiskinan dan ketimpangan ekonomi melalui kebijakan yang benar-benar berpihak pada masyarakat.
Suksesi kepemimpinan ini memberi harapan baru bagi Indonesia. Pemimpin yang berhasil akan menjunjung nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan dalam setiap kebijakannya, serta menerapkan prinsip-prinsip integritas dan komitmen seperti yang tercermin dalam kepemimpinan Rasulullah di Madinah. Dengan pendekatan yang berlandaskan integritas dan keadilan, Indonesia berpotensi untuk menjadi bangsa yang adil, sejahtera, dan dihormati di kancah internasional.
#HarapanBaru#TransformationalLeadership#ServantLeadership#KepemimpinanIndonesia#PiagamMadinah#JusticeAndEquality#SocialResponsibility#IndonesiaMaju#LeadershipForChange
0 notes
Text
Harga Sebuah Kehati-hatian
Plin-plan... Mungkin kata-kata tersebut cukup identik dengan sikap pemerintah akhir-akhir ini terutama terkait permasalahan kebijakan subsidi BBM di Indonesia.
Kembali ke masalah tekanan fiskal yang cukup besar akibat subsidi BBM di Indonesia; di dalam APBN, Pemerintah selalu menetapkan jumlah kuota BBM yang akan disubsidi. Dalam APBN 2013, telah ditetapkan kuota BBM subsidi sebesar 46 juta Kilo Liter. Namun melihat tren peningkatan konsumsi BBM subsidi dan adanya potensi penurunan produksi migas Indonesia, diperkirakan kuota BBM subsidi akan melewati kuota APBN dan mengancam keseimbangan fiskal Indonesia.
Mencari hutangan baru untuk menutupi besar pasak tersebut tampaknya tidak bisa menjadi opsi feasible bagi Indonesia. Hutang Indonesia (meskipun terlihat masih wajar dalam perhitungan rasio Hutang vs GDP) bisa dikatakan cukup besar, bahkan di dalam kawasan ASEAN saat ini hutang kita berada pada tingkat kedua dibawah Singapore.
Mau tidak mau, opsi yang bisa diambil oleh Pemerintah adalah menyesuaikan ukuran pasak agar tidak terlalu besar gapnya dengan tiang.
Karena penyebab potensi besar pasak ini berasal dari BBM Subsidi, maka memang sudah sepantasnyalah bila kemudian alternatif solusi yang tercetus tidak jauh-jauh dari upaya pengetatan budget subsidi BBM. Pada awalnya, wacana yang timbul untuk mengatasi hal tersebut meliputi: (1) opsi penghematan konsumsi BBM subsidi dan (2) opsi menaikkan harga BBM subsidi. Dari sini, kesan plin-plan mulai melekat dan tidak bisa lepas dari image Pemerintah, karena Pemerintah tampak ragu dan bimbang didalam memutuskan opsi apa yang akan diambil. Hingga pada akhirnya, SBY mengumumkan opsi yang akan diambil oleh Pemerintah adalah opsi menaikkan harga BBM Subsidi. Namun masalahnya tidak berhenti sampai disitu. Rakyat masih saja dibuat bingung karena tidak adanya penjelasan mengenai skema kenaikan harga BBM subsidi tersebut.
Skema kenaikan harga BBM subsidi yang beredar di masyarakat luas meliputi 2 opsi yakni: (1) opsi 1 harga BBM subsidi dan (2) opsi 2 harga BBM subsidi. Didalam opsi 2 harga, Pemerintah akan menetapkan 2 harga untuk BBM Subsidi, harga yang pertama (lebih rendah) diperuntukan bagi kendaraan umum dan sepeda motor, harga yang kedua (lebih tinggi) diperuntukkan bagi mobil pribadi. Opsi 2 harga ini juga sempat menjadi opsi yang digadang-gadang untuk menjadi opsi pilihan pemerintah. Saking yakinnya, Pertamina sampai sudah mempersiapkan 5000an spanduk sebagai langkah persiapan sekiranya sewaktu-waktu Pemerintah akhirnya memutuskan meresmikan opsi 2 harga tersebut.
Namun dalam perkembangannya, Pemerintah justru malah menyampaikan bahwa opsi 1 harga saja yang akan diberlakukan. Opsi 2 harga BBM Subsidi batal....
Melayanglah sudah investasi Rp. 10 Milyar yang telah dipersiapkan Pertamina untuk mempersiapkan spanduk-spanduk agar implementasi program 2 harga BBM Subsidi bisa berjalan dengan lancar.... Rp. 10 Milyar melayang secara percuma dari kantong kas BUMN Migas Indonesia.
Bukan hanya itu, belum lama ini peringkat kredit Indonesia baru saja diturunkan oleh perusahaan rating internasional S&P dari outlook positif menjadi outlook stabil. Keberadaan rating kredit ini adalah sebagai "guideline" bagi para investor didalam menanamkan investasinya. Maklum saja, para investor ini tentu membutuhkan panduan didalam menentukan investasi mana yang resikonya tinggi dan mana yang resikonya rendah. Seperti halnya kita kalau berbelanja ke pasar modern, kita mendapatkan "guideline" dari label-label pedagang seperti: original, KW1, KW2, dst... Begitu pun halnya dalam berinvestasi, investor butuh dibantu oleh label-label para rating agency seperti: investment grade, non investment grade, highly speculative dll...
Kembali ke masalah rating kredit Indonesia; setelah S&P (salah satu rating agency internasional) menurunkan kredit rating Indonesia dari outlook positif menjadi outlook stabil, kini giliran Moody's (rating agency bonafid berikutnya) yang mengancam menurunkan peringkat utang Indonesia. Disinyalir alasan Moody's didalam menurunkan rating utang Indonesia adalah karena Moody's meyakini pemerintah Indonesia tidak memiliki kemampuan mengendalikan anggaran subsidi BBM yang berpotensi mengancam fiskal negara.
Konsekuensi dari diturunkannya rating kredit Indonesia adalah turunnya creditworthiness Indonesia, sehingga di mata investor, berinvestasi di Indonesia menjadi lebih beresiko. Alhasil, bila Indonesia butuh "berutang" lagi, kita tidak bisa meminta rate bunga serendah ORI (Obligasi RI) ataupun SUN (Surat Utang Negara) saat ini. Kita harus membayar rate bunga yang lebih mahal yang tentunya akan menambah beban fiskal kita.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula... Sudah menghamburkan kas BUMN, peringkat kredit Indonesia turun pula...
Mungkin kalau kita ber-khusnuzdon, kita bisa memahami kekhawatiran Pemerintah akan potensi resiko dari keputusan strategis ini. Alhasil, para policy maker kita menjadi "sangat berhati-hati" sebelum memutuskan apa-apa. Tapi siapa nyana, ternyata harga sebuah kehati-hatian akan sedemikian mahal harganya.
"The policy of being too cautious is the greatest risk of all...." - Jawaharlal Nehru
0 notes
Text
Educational Meltdown
Tanggal 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional, the day after labour day, hari dimana Indonesia merayakan ulang tahun Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, seorang darah biru yang terkenal akan perjuangan kesetaraan pendidikan kaum pribuminya, sahabat sevisi Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, penggagas Sekolah Taman Siswa, pahlawan nasional yang lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara. Kerabat keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang bila pada hari ini masih hidup akan meniup lilin ulangtahunnya yang ke-124.
Sekedar perayaan ulang tahun sematakah hari yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui SK Presiden tahun 1959 ini? Some might say it is. Nothing more…
Bila menilik beberapa minggu ke belakang, wajar kiranya bila rasa pesimisme kita mencuat melihat betapa carutmarutnya pengelolaan ujian nasional anak-anak kita. Investigasi untuk mengusut kekisruhan ujian nasional telah dijalankan. Tinggal menunggu waktu saja kiranya untuk melihat siapa scapegoat dari kekacauan logistik ujian pendidikan ini.
Diluar itu, masih banyak isu lain yang cukup menjadi sorotan stakeholder sistem pendidikan nasional Indonesia. Sebut saja masalah status guru honorer yang tingkat kesejahteraannya memprihatinkan, lalu ada pula rencana penerapan kurikulum baru 2013 dimana kurikulum sebelumnya (2006) saja masih relatif berumur baru dan belum optimal dan merata dalam pelaksanaannya, belum lagi masalah kualitas pendidikan di Indonesia yang menurut UNESCO berada di peringkat yang cukup jeblok bila dibandingkan negara tetangga, serta isu isu pendidikan lainnya.
Pantaskah kita kemudian “merayakan” sistem pendidikan nasional kita ditengah momentum yang antiklimaks sedemikian rupa.
Tapi bila kita hanya berpangkutangan saja dan tidak melakukan aksi nyata guna mendukung sistem pendidikan nasional kita menjadi lebih baik, apakah kita berhak mengeluhkan sistem yang sekarang ada? berhakkah kita untuk kemudian menyalah-nyalahkan pemerintah karena tidak mampu menyediakan sistem pendidikan yang lebih baik dan professional?
…… dari kacamata makroekonomi, jawabannya “iya”.
Dalam teori ekonomi, barang dan jasa idealnya diserahkan kepada publik guna membentuk sendiri supply vs demandnya. Namun teori ekonomi juga mengakui bahwa ada beberapa barang (dan jasa) yang tidak dapat diserahkan begitu saja ke publik untuk membentuk supply vs demandnya karena harus bisa dinikmati oleh semua orang (bukan dinikmati oleh segelintir buyer saja), dalam teorinya “barang” ini disebut sebagai public goods.
Contoh public goods diantaranya adalah national defense, jalan raya, keamanan lingkungan, dll. Public goods biasanya dikendalikan oleh pemerintah agar dapat dinikmati oleh semua pihak, dan sebagai gantinya publik membayar pajak kepada pemerintah untuk mengelola public goods ini.
Demikian halnya dengan pendidikan nasional.
Pemerintah harus mampu mempertanggungjawabkan seluruh penerimaan pajak yang telah mereka terima dari publik dengan mengelola public goods secara baik dan professional. Dan sebagai warga negara yang taat membayar pajak, sudah sepantasnya bagi kita untuk menuntut pemerintah agar dapat mengelola public goods secara baik pula.
0 notes
Text
Hey it's May Day
It's May Day dan Jalan Sudirman dipenuhi oleh rombongan buruh yang melakukan long march menuju Istana Merdeka (padahal Presiden SBY ga ada disana karena lagi di Surabaya).
Sudah menjadi tradisi kalau tanggal 1 Mei (Hari Buruh), serikat-serikat buruh "merayakannya" dengan berdemo besar-besaran di seluruh Indonesia. Apakah kegiatan ini mengganggu aktifitas orang lain? well, itu tergantung sudut pandang orang yang melihatnya. Yang pasti aktifitas pabrik asal buruh-buruh itu bekerja harus berhenti beroperasi karena para "aset produktif"nya berdemo. Jalur yang terlewati oleh para buruh itu pun mau tak mau harus terkena imbas penambahan volume traffic yang luar biasa besarnya, sehingga pengguna jalur tersebut harus pasrah bila waktu tempuh mereka menjadi semakin lama. Ada pula perkantoran yang akhirnya meliburkan pegawainya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan akibat demo buruh tersebut.
Mungkin hal-hal ini pula yang mendorong Presiden SBY untuk menjadikan May Day sebagai hari libur nasional *sayangnya baru mulai tahun depan hehehe*.
Setiap ada asap pasti ada api, setiap ada demo pasti ada tuntutan. Begitu pun halnya dengan demo kali ini. Tidak mungkin ada demo yang tanpa ada tuntutan. Kalau lihat-lihat pemberitaan, tuntutan demo May Day hari ini tidaklah jauh-jauh dari isu kenaikan kesejahteraan dan penghapusan outsourcing.
Niat awal dari outsourcing sebenarnya cukup baik. Sebuah entitas atau organisasi akan berfungsi dengan baik bila ia fokus pada core competency-nya. Namun tentunya untuk bisa berfungsi dengan baik, entitas tersebut tidak bisa hanya mengerjakan hal-hal yang berkatian dengan core competency-nya saja. Ia juga harus menjalankan aktifitas lain-lain yang lebih bersifat supportive namun krusial demi keberlangsungan usahanya seperti aktifitas IT, aktifitas pengamanan, dll.
Di sinilah ide outsourcing muncul. Instead of mengerjakan sendiri *misal* aktifitas IT-nya, bagi sebuah organisasi lebih baik meng-hire pihak lain yang lebih berkompeten untuk menjalan aktifitas IT tersebut. Pihak lain tersebut akan lebih mengerti server jenis apa yang lebih cost-effective bagi kebutuhan bisnisnya, software apa yang cocok, training apa saja yang harus dipersiapkan bagi para operatornya, bagaimana jadwal maintenance-nya, dll...
Dengan meng-outsource sebuah kegiatan yang bukan menjadi core competency-nya, sebuah organisasi akan mampu saving cost dan meng-ensure bahwa kegiatan tersebut akan berjalan dengan baik karena ditangani oleh ahlinya.
..... Itu teorinya....
Pada kenyataannya, pelaksanaan outsourcing justru menimbulkan dampak lain yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh para pencetusnya. Salah satunya adalah lahirnya kecemburuan sosial dari para pegawai outsource terhadap pegawai-pegawai tetap di tempatnya bekerja.
DISKRIMINASI. Ya itulah awal dari kelahiran kecemburuan sosial para pegawai outsource. Day-to-day mereka berinteraksi dan bersosialisasi di lingkungan yang sama dengan para pekerja tetap, namun di sisi lain mereka juga melihat adanya perbedaan sistem, perbedaan renumerasi, perbedaan pension policy, atau pun perbedaan-perbedaan lainnya (karena pada hakekatnya mereka bekerja di 2 perusahaan yang berbeda) yang menimbulkan kesan adanya diskriminasi perlakuan antara pegawai outsource vs pegawai tetap.
Gary Becker, seorang pemenang nobel prize di bidang ekonomi, melalui bukunya, The Economics of Discrimination, berteori bahwa berdasarkan hasil penelitiannya sebuah perusahaan yang melakukan diskriminasi secara berangsur akan merasakan terjadinya penurunan kinerja.
Kontradiktif tentunya dengan niat awal diberlakukannya outsourcing.
Mereka yang sudah pernah membedah buku beliau dan membaca artikel-artikel beliau, mungkin saja ada yang berargumen bahwa hal itu tidak relevan karena dasar penilitian Gary Becker lebih terfokus pada diskriminasi ras, agama, jenis kelamin, ataupun kelas sosial. Bukan pada pembedaan perlakuan antara pegawai tetap dan pegawai outsource. Nonetheless, dari kacamata pegawai outsource, tidak ada bedanya antara perbedaan perlakuan yang mereka rasakan dengan diskriminasi yang dibahas oleh Gary Becker.
Sebuah niat baik untuk menciptakan organisasi yang unggul dengan melakukan outsourcing, pada prakteknya justru melahirkan efek samping yang terkesan diskriminatif.
Niat baik tidak selamanya berjalan sesuai harapan....
0 notes