Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Untuk Dibaca Kita Semenjana
Jika kemiskinan adalah sebuah lubang dalam nan gelap dan kesejahteraan adalah langit tinggi benderang dengan segala gemerlap, maka semenjana ada diatara keduanya. Kita berada di bibir jurang dengan pandangan luas untuk melihat dunia bekerja. Kita bisa melihat dasar jurang yang gelap nan sempit dan langit yang luas dengan bintang-bintang bergerak bebas. Kita ditakdirkan menjadi penyeimbang antara hitam pekat dan kilau cahaya. Kita adalah semenjana.
Wheel of Life
Bumi kita yang hanya ada satu ini sekarang sudah disesaki oleh 7,8 miliar manusia. Sayangnya, 10% dari seluruh penduduk dunia hanya mampu berpenghasilan kurang dari $2 per hari. Ini artinya, sebanyak 780 juta orang di dunia hanya memiliki kemampuan kurang dari Rp30.000 per hari. Jangan lupa, persentase ini mengabaikan orang-orang dengan kemampuan finansial di atas $2 per hari namun masih pada kisaran angka yang sama.
Kemiskinan menjadi topik utama di dunia sejak lama. Pada tahun 2015, United Nations Development Programme (UNDP) meluncurkan gagasan yang dijuluki Sustainability Development Goals (SDGs). Gagasan tersebut memiliki 17 target utama dengan “No Poverty” atau “Nol Kemiskinan” sebagai target nomor satu. Dunia, dalam hal ini PBB, sepakat bahwa tujuan pertama dari pengembangan berkelanjutan adalah mengentaskan kemiskinan.
Dilemanya, negara dengan angka kemiskinan yang tinggi justru cenderung memiliki ledakan populasi yang tidak terkendali. Keluarga miskin cenderung memiliki jumlah anak lebih dari dua. Di Indonesia sendiri sering dikenal istilah “banyak anak banyak rejeki”. Keluarga miskin akan melahirkan anak miskin yang akhirnya menuntun keluarganya semakin terperosok dalam jurang ketidakmampuan.
Anak dari keluarga miskin lahir dan terjebak dalam lubang gelap penuh misteri. Baginya, untuk dapat merangkak naik dari jurang membutuhkan usaha berkali-kali lipat dari anak biasa. Ironisnya, sang orangtua tidak mampu memberikan bekal yang cukup untuk bisa menembus batas antara gelap dan cahaya. Anak malang, terseret dalam dunia yang keras oleh sepasang orangtua yang tidak peduli.
Kemiskinan adalah benang kusut yang sulit terurai. Berawal dari kemiskinan, muncul permasalahan lainnya seperti sulitnya mengakses pendidikan, terbatasnya fasilitas kesehatan dan meningkatnya angka kriminalitas.
Terlahir miskin memang bukan pilihan, tapi melahirkan anak dari orang tua kaya juga mendekati mustahil bagi mereka. Pada akhirnya dunia mereka hanya berkutat dalam lubang gelap yang sama. Lubang yang semakin hari bukan semakin terang, justru semakin dalam dan tak terjamah.
The One Percent
Uang adalah tuhan palsu yang manusia ciptakan. Uang memang tidak punya kuasa, tapi siapa yang memilikinya paling banyak maka dia yang memiliki kekuatan paling besar terhadap arah gerak roda dunia. Mereka suka bermain tuhan. Mereka tidak terlihat, menguasai dunia dan bertingkah seolah nasib orang lain bergantung padanya.
Data menunjukkan bahwa lebih dari setengah industri di dunia dikuasai hanya oleh 1% penduduk di muka bumi. Artinya, dalam setiap 100 orang ada 1 orang yang kekayaannya menguasai 99 orang lainnya. Bahkan lebih ekstrimnya lagi, beberapa sumber mengatakan bila kita merunut seluruh industri di dunia sampai ke level tertingginya, maka akan berakhir pada segelintir golongan dari keluarga yang sama.
Keluarga dengan kemampuan finansial seperti ini mustahil untuk dimiskinkan. Kekayaan mereka sudah mengakar hingga apapun skandal yang muncul, mereka punya kemampuan untuk menutupinya. Mereka cerdas dalam mengambil sikap. Mereka bergerak atas nama orang lain yang dapat dipercaya. Sekalipun muncul, nama mereka akan ada dibalik sebuah yayasan besar dengan kegiatan-kegiatan positif.
Anak yang terlahir dari keluarga ini tidak pernah paham rasanya lapar. Mereka hidup dengan sangat layak di dalam “istana” tanpa menyadari leluhurnya harus menapaki darah dan air mata orang lain untuk sampai ke sana. Mereka berada jauh diatas lubang gelap kemiskinan. Mereka tidak perlu repot merangkak naik menuju langit, mereka sudah terlahir melayang di antara bintang-bintang. Bintang mungkin jatuh tapi tidak akan pernah sampai menyentuh bumi, mungkin juga redup, tapi untuk mati tetap butuh ratusan generasi.
Semenjana
Dan diantara keduanya, hadirlah kita kaum semenjana. Orang-orang yang terlahir bukan dari 10% terendah dalam peringkat dunia namun jauh dari angka 1% penguasa. Menjadi semenjana memang terkadang menyenangkan. Di tengah dunia dengan ketimpangan luar biasa, berada di titik tengah adalah anugerah.
Ketika si miskin sibuk bertahan hidup dan si kaya sibuk menikmati kekayaannya, kaum semenjana sibuk mengurai kesempatan yang ada. Kita memang memiliki segala kemungkinan yang ada. Kita bisa merangkak naik menembus langit, namun juga bisa jatuh menuju dasar jurang yang jauh. Berada di titik tengah memberi kita keuntungan untuk melihat dua arah, ke atas dan ke bawah. Namun, tidak sedikit dari kita yang terobsesi untuk mencapai puncak tanpa memperhitungkan resiko hingga akhirnya justru jatuh dan terperangkap dalam jurang kemiskinan yang gelap.
Sayangnya, rentang semenjana ini sangat lebar. Kita berada di urutan ke 11 sampai 99 dalam klasemen dunia. Jumlah yang luar biasa besar dan kesempatan yang tidak seberapa membuat persaingan antara semenjana ini sangat ketat sehingga yang terjadi adalah saling kejar mengejar angka. Di titik ini, darah dan air mata kita yang menjadi pijakan 1% penguasa untuk mencapai posisinya.
Penguasa yang tidak ingin mempersempit area kekuasaannya tentu tidak diam melihat semenjana saling berebut angka. Kita kemudian dibuai oleh kalimat-kalimat bijak peredam ambisi. “Hidup sederhana saja yang penting bahagia”, “Uang bukanlah segalanya” dan “Bersyukur dengan apa yang dipunya” adalah beberapa kalimat memuakkan yang biasa kita dengar.
Tidak berhenti disitu, kita kemudian ditekan dengan permainan angka yang mereka punya. Harga kebutuhan hidup yang semakin mencekik, memecah fokus kita dalam perlombaan menyentuh kata kaya. Sialnya, penguasa memiliki instrumen yang lengkap untuk menekan kita semakin jauh tertinggal dari posisi teratas.
Relief Point
Setelah lelah pada pertarungan yang seolah tiada usai. Setelah menimbang apa yang harus dikorbankan untuk meraih kekuasan. Setelah melihat resiko apa yang akan muncul bila dalam upayanya mengalami kegagalan. Kita akhirnya berada pada titik sepakat dengan kalimat-kalimat bijak. Kita nikmati saja apa yang saat ini ada sambil melihat kesempatan dengan resiko yang tidak seberapa.
Sebagai pengisi rentang terlebar dalam klasemen dunia, kita bisa memakan segalanya. Kita bisa terhibur melihat orang miskin berpura-pura bahagia karena mendapat uang cuma-cuma dari acara tv yang di ada-ada. Kita juga bisa terhibur melihat polosnya orang-orang terlanjur kaya yang ternyata banyak tidak tahu apa-apa.
Kita bisa pura-pura nyaman terus dibodohi dan bekerja keras memperkaya penguasa, kita juga bisa pura-pura melawan kekuasaan ketika sebenarnya sadar bahwa apa yang dilakukan akan sia-sia. At the end of the day, kita sadar bahwa kita bukan siapa-siapa. Setiap pikiran kritis yang keluar, akan terputus dalam tidur lelap dan terbangun untuk kemudian mengulang kembali rutinitas bodoh yang sama.
Begitulah bergeraknya dunia. Roda terus berputar dengan si miskin menjadi dasarnya. Kaum semenjana penuh obsesi terus menerus berusaha naik dan turun secara bergantian. Si anak kaya duduk manis sambil meminum kopi di kursi pedatinya. Tapi ada sebagian dari kita yang memilih menarik diri. Kita hanya berusaha mencari titik paling aman. Menjadi poros roda, tetap bergerak namun diam di titik yang sama sambil menikmati dinamika yang ada.
0 notes
Text
Dosa Kolektif Pemelihara Binatang
"Hai semua, kenalin Ini Harimau kesayanganku"
Ucap seorang Public Figure ke arah kamera dengan senyum bahagia sambil menunjukkan harimau "kesayangannya" terkurung dalam kandang. Ironis.
Hidup berdampingan dengan satwa sudah menjadi tradisi turun-temurun di seluruh dunia. Beberapa jenis satwa bahkan sudah terdomestikasi dengan sangat sempurna hingga benar-benar jinak dan mematuhi manusia.
The Definition
Berdasarkan tujuannya, satwa yang dikembangbiakkan atau dirawat dengan campur tangan manusia terbagi menjadi tiga, yaitu untuk tujuan peternakan, konservasi dan peliharaan. Ketiga tujuan tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2011. Secara definitif seharusnya tidak sulit membedakan ketiga tujuan di atas.
Satwa peliharaan adalah kelompok satwa yang terdomestikasi sehingga dapat hidup berdampingan dengan manusia. Proses domestikasi yang terus-menerus dalam jangka waktu yang sangat panjang berdampak pada hilangnya sifat liar satwa tersebut sehingga bisa jinak. Beberapa satwa yang sudah terdomestikasi antara lain kucing dan anjing. Walaupun terkadang kucing dan anjing pun tetap membawa sifat liar ketika kondisi mendesak.
Akan tetapi, terdapat kerancuan yang terjadi di masyarakat dan dipertontonkan oleh Public Figure sehingga terlihat seolah tidak ada yang salah. Satwa yang secara sifat masih liar dan belum terdomestikasi justru menjadi peliharaan oleh manusia. Terlebih lagi, hampir semua satwa yang dipamerkan justru satwa liar dilindungi dan dipajang dengan label "Nih, satwa dillindungi nih peliharaan gue".
Status Perlindungan Satwa
Penetapan status perlindungan satwa bukan perkara mudah. Banyak faktor yang mempengaruhi penentuan penetapan status perlindungan satwa antara lain tingkat kelangkaan, pengaruhnya terhadap keseimbangan ekosistem dan keterancamaan yang dihadapinya. Dengan kata lain, ketika suatu satwa ditetapkan sebagai satwa langka dan dilindungi maka keberadaannya menjadi nilai penting dan harus tetap terjaga.
Dalam pasal 33 UUD 1945, pemerintah menempatkan diri pada posisi paling superior. "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Adanya Undang-undang ini seharusnya menjadi dasar kekuatan negara untuk melindungi segenap kekayaan alam hayati Indonesia.
Kenyataannya, pemerintah justru menunjukkan inkonsistensi. Padahal, Pemerintah telah menancapkan kekuatan hukumnya salah satunya dalam Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya Pasal 21 ayat 2. "Setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun mati". Akan tetapi aturan tersebut justru dilonggarkan dengan munculnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 19 Tahun 2015 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa liar yang salah satu butirnya menyebutkan bahwa "Spesimen hasil pengembangbiakan generasi kedua (F2) dan berikutnya diperlakukan sebagai spesimen yang tidak dilindungi setelah memenuhi syarat-syarat."
Hadirnya peraturan yang memberi jalan untuk memelihara satwa liar dilindungi ini memperlihatkan bahwa Kementerian Kehutanan (saat itu belum bergabung dengan Kementerian Lingkungan Hidup) yang seharusnya berpihak pada Hutan dan Sumber Daya Alam Hayati di dalamnya ini justru bersikap sebaliknya. Negara menunjukkan sikap antroposentris.
Dengan kekayaan spesies yang Indonesia miliki, lengahnya pengawasan dan longgarnya peraturan, maka setiap celah menjadi peluang. Jual beli satwa dilindungi menjadi legal untuk memenuhi ego manusia.
Jual Beli Satwa Liar
Jual beli satwa liar dilindungi bukanlah bisnis ecek-ecek. Banyak pejabat, tokoh-tokoh besar, petinggi-petinggi aparat hukum dan pengusaha kelas kakap memiliki hobi mahal ini. Alih-alih dicegah, pemerintah justru seperti menggelar karpet merah kepada tokoh-tokoh tersebut. Pilihannya memang sulit, membuat aturan yang mengakomodir hobi menyimpang ini atau susah payah mempidanakan satu per satu orang-orang kuat. Tentu bukan hal yang mudah.
Sialnya, pesohor negeri ini tidak jarang justru menunjukkan koleksinya kepada publik dengan embel-embel "sesuai aturan dan memiliki surat kepemilikan resmi". Media pun menuruti tuntutan pasar kemudian membungkusnya dengan rapi dan membuat hal ini terlihat keren. Disajikan secara masif melalui berbagai saluran dan dinikmati seluruh kalangan. Padahal, ini adalah dosa kolektif. Satwa liar tidak seharusnya di kurung.
Tayangan yang menormalisasi pemeliharaan satwa liar dilindungi akan mempengaruhi pola pikir penontonnya. Tidak peduli dari kalangan mana. Kaya atau miskin. Berwawasan atau tidak.
Untuk kalangan dengan kemampuan finansial yang baik, rasa ingin memiliki satwa liar dilindungi ini mereka salurkan dengan mencari penangkaran resmi, menyediakan kandang yang mahal, kemudian membeli sesuai prosedur. Akan tetapi, bagi kalangan dengan kemampuan finansial menengah ke bawah, rasa ingin memiliki satwa liar dilindungi mereka akan berakhir di Forum Jual Beli Online, Pasar Satwa maupun media Black market lain yang tentu semuanya ilegal. Bisa ditebak dari mana pasar gelap ini mendapat pasokan?
Ya, Perburuan Satwa Liar Ilegal.
Tingginya harga satwa liar hasil penangkaran dengan surat-surat resmi memberatkan peminat dari kalangan menengah ke bawah. Besarnya permintaan yang tidak terakomodir dengan harga tinggi memberi celah para pemburu untuk menjajakkan satwa liar harga murah. Sayangnya, perburuan satwa liar tidak hanya tentang masuk hutan, tangkap buruan, jual di pasar. Lebih dari itu, perburuan satwa liar berisi rankaian kejahatan yang tidak terputus.
Dimulai dari proses berburu yang dilakukan, para pemburu menggunakan metode yang kejam. Untuk bisa mendapat satu bayi Orangutan lucu di tangan, pemburu harus membunuh Induk dan Pejantan aslinya di Hutan. Hal yang sama berlaku bagi hampir seluruh jenis primata di alam. Begitu pula dengan perburuan burung, pemburu akan menggunakan jerat berupa lem tikus yang dilumurkan pada ranting pohon untuk menjerat burung sasaran.
Satwa buruan sudah di tangan, untuk dapat mengeluarkannya dengan aman dari hutan tentu tidak bisa sembarangan. Hasil tangkapan biasa dimasukkan dalam karung, tas atau wadah tak layak seperti botol minum dengan kondisi pingsan, kelelahan atau mulut/paruh tertutup agar tidak mengeluarkan suara.
Untuk dapat berpindah tangan sampai ke tangan penjual di pasar, pemburu harus sangat hati-hati. Pengiriman dilakukan sembunyi-sembunyi dan satwa kiriman dipaksa berdesakkan dalam wadah. Dalam proses ini, tidak jarang oknum petugas ikut terlibat, menerima suap untuk memberikan jalan.
Sesampainya di tangan penjual, kejahatan masih berlanjut. Pembeli tidak setiap hari datang. Penjual juga harus menjaga stok satwa dalam ruangan aman dari pembeli awam. Demi menjaga kerahasiaan, satwa liar ditempatkan dalam ruang sempit, gelap dan kedap. Jangankan sejahtera, pakan layak saja tidak setiap hari ada.
Animal Welfare
Pemelihara satwa baik liar maupun tidak liar, wajib memahami prinsip Animal Welfare. Prinsip ini menjelaskan kewajiban pemelihara dalam memenuhi hak kesejahteraan peliharaannya. Prinsip kesejahteraan satwa terangkum dalam 5 poin yaitu:
1. Freedom from hunger and thirst (bebas dari rasa lapar dan haus)
2. Freedom from discomfort (bebas dari rasa tidak nyaman)
3. Freedom from pain, injury and diseases (bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit)
4. Freedom from fear and distress (bebas dari rasa takut dan stres)
5. Freedom to express natural behavior (bebas untuk mengekspresikan tingkah-laku alamiah)
Memenuhi hak satwa peliharaan tidak semudah pengucapannya, apalagi satwa liar dilindungi. Untuk memenuhi kebutuhan pakannya, pemelihara harus menyediakan pakan alaminya seperti di alam. Hal ini tentu sulit dilakukan di lingkungan urban yang jauh dari hutan. Memenuhi kebutuhan rasa nyaman artinya memberikan kandang yang layak dengan berbagai enrichment yang sesuai dengan ekosistem asli di dalamnya. Menghindarkan dari sakit, luka dan penyakit butuh perhatian khusus mengingat satwa harus beradaptasi dengan lingkungan baru dan ancaman penyakit yang tidak biasa dihadapinya di alam. Memberi kebebasan dari rasa takut dan stres pun hampir mustahil karena penyebab takut dan stres justru datang dari pemeliharanya sendiri yang tidak pernah dia lihat seumur hidupnya. Yang terakhir, memastikan peliharaan mengekspresikan tingkah laku alaminya adalah hal paling sulit terutama untuk satwa dengan wilayah jelajah yang sangat luas, perilaku berburu yang buas atau sensitivitas tinggi terhadap perubahan lingkungan.
Animal Welfare memang terdengar omong kosong bagi banyak kolektor satwa liar. Kebun binatang sebagai lembaga konservasi resmi dengan pasokan dana besar dari berbagai sumber saja kerap lalai menerapkannya. Apalagi hanya kolektor satwa liar rumahan dengan kemampuan pas-pasan. Bisa-bisa satwa karnivora berubah menjadi herbivora dibuatnya.
Konsistensi dalam menjaga kesejahteraan satwa peliharaan butuh kesadaran penuh dan kestabilan finansial. Semakin lama, kebutuhan semakin banyak. Kandang harus semakin luas, kebutuhan pakan pun jelas semakin tinggi. Tambah lagi, kelucuan semakin lama semakin memudar seiring bertambahnya usia. Si bayi lucu yang semula dibeli dengan bahagia, menjelma menjadi satwa liar buas yang membahayakan majikannya sendiri. Akibat dari perlakuan manja dari pemelihara, peliharaan kini berada di garis abu-abu. Terlalu buas untuk dipelihara, terlalu manja untuk di lepasliarkan.
The Ending is Never Happy
Insting liar pada satwa tidak mungkin bisa dihilangkan. Biar bagaimanapun metode pemeliharaannya, satwa liar tetaplah liar. Tanggal 10 Juli 2018 di Palangkaraya, seorang pria tewas tergigit oleh ular kobra peliharaannya sendiri. Juli 2021, seorang pawang diserang oleh beruang peliharaannya di tengah pertunjukkan sirkus di Rusia. Kejadian yang paling dekat terjadi Oktober 2021, seorang pria asal Kulonprogo tewas oleh Ular Kobra peliharaannya sendiri. Ironis, hidup kobra tersebut selama ini berkat makanan majikannya, berakhir justru memakan majikannya. Tapi, kobra tahu apa?
Itulah yang dimaksud insting liar, ketika lapar atau terancam insting bertahan hidupnya akan muncul, tidak peduli siapa yang ada dihadapannya. Kalau sudah seperti itu, siapa mau disalahkan?
Menyadari hal tersebut dan seiring dengan bertumbuhnya satwa menjadi buas, pemelihara mulai tidak mampu menjaga peliharaannya. Para pemelihara kemudian mencari cara untuk melepas peliharaannya. Tapi melepasliarkan kembali satwa bekas peliharaan ke habitatnya adalah perjalanan panjang yang tingkat keberhasilannya mendekati nol. Beberapa penyebab kegagalan pelepasliaran antara lain akibat kelemahan secara fisik akibat hidup dalam kandang, ketidakmampuannya mencari makanan di alam karena selalu diberi makan oleh majikan hingga daya saing yang jelas kalah dibandingkan dengan predator alaminya di alam. Melepas kembali satwa ke alam tanpa perhitungan sama saja membiarkannya mati mengenaskan diburu mangsa atau mati penyakitan.
Pada akhirnya, satwa liar bekas peliharaan harus menjalani masa tuanya dalam kondisi menyedihkan. Sendirian dalam kandang kelaparan, kesakitan, dan kehilangan semangat hidup. Baginya menjadi peliharaan sama sekali bukan pilihan. Manusia dengan serakahnya berkeinginan merampas hak hidup bebas satwa tanpa berpikir bahwa mewujudkannya membutuhkan pengorbanan panjang perusakan lingkungan.
Kalau satwa punya air mata, punya suara tangis menggema dan punya marah yang disalurkan dalam kata-kata, mungkin baru manusia sadar, bahwa selama ini manusia adalah makhluk penyiksa.
0 notes
Quote
Biarkan laten tertutup rapat, agar lelap dan mengendap. Dunia akan berubah seiring waktu, dan sisanya seiring kamu
HN Prasetyo
0 notes
Text
Are those stupid-famous-people stupid?
#OPINI
Dari Younglex dengan lagu kontroversialnya. Awkarin dengan tangis bucinnya, Denise dengan cadelnya, kekeyi dengan kisah cinta settingannya, Lutfi agizal dengan anjaynya, hingga Rangga Sasana si corong Sunda Empire.
Semua berlomba menjadi siapa paling bodoh, siapa paling tidak peduli dengan pendapat orang lain, siapa paling menarik perhatian masyarakat untuk dicibir. Ada yang kemudian bertahan karena mampu mengendalikan masa yang terbodohi, ada juga yang langsung hilang karena kalah dengan situasi.
Tidak bisa dipungkiri, menjadi viral adalah jalan pintas menuju tenar tanpa harus kerja keras. Mereka paham betul, masyarakat cenderung gemar bereaksi atas kebodohan yang muncul ke permukaan daripada mengapresiasi prestasi yang kita tidak bisa lakukan. Tindakan yang cukup masuk akal sebenarnya. Kita semua ingin menjadi lebih daripada orang lain. Apa serunya mengakui kehebatan orang lain sementara dilain tempat ada kebodohan nyata yang siap kita injak.
Kita dihadapkan pada pilihan 1.) Mengapresiasi kehebatan orang lain yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa orang itu lebih dari kita atau 2.) Mengolok kebodohan yang dengan begitu kita akan merasa berada diatas kebodohan tersebut.
Bagi mereka yang kebodohannya terekspos tanpa sengaja, mereka butuh waktu untuk berdamai dengan situasinya. Bukan keinginan mereka menjadi musuh masyarakat, atau setidaknya mereka tidak menyangka responnya akan luar biasa. Hingga waktu berlalu, barisan simpatisan mulai bermunculan. Memberikan pembenaran atas kelakuan yang ditunjukkan. Memberi dukungan untuk tetap bertahan. Hingga akhirnya mereka memutar badan untuk berani mengambil kesempatan ride-the-wave hingga akhirnya bisa membalikkan keadaan.
Bagi mereka yang menyengaja, mereka akan melakukan apa saja demi mengejar atensi. Berharap pada pilihan kedua. Berharap pada respon hujatan masa yang tidak dapat dipungkiri kekuatannya. Mereka bahkan melakukan riset. Membaca tren masyarakat. Memanfaatkan platform paling digemari. Memanfaatkan hal-hal paling menyinggung atau mengundang reaksi keras.
Perbedaan nyata antara mereka yang menyiapkan kebodohannya dengan baik dan yang tidak, sangat sederhana. Apakah mereka meminta maaf setelahnya atau tidak. Apakah mereka sudah menyiapkan argumen berikutnya untuk bertahan atau belum.
Mereka yang mengejar viral tanpa riset, akan selalu berakhir dengan permintaan maaf tertulis dan video. Tapi mereka yang melakukan riset terlebih dahulu, akan tetap bertahan dan justru kerap menjadi tamu acara Talkshow yang tidak kalah sampahnya. Dengan demikian, rangkaian rencana besar mereka tecapai, yaitu masuk ke media paling mainstream di Indonesia, Televisi. Si Pengejar Viral tujuannya tercapai yaitu mendapatkan panggung besar, industri mendapatkan makanan empuk narasumber murah yang bisa dijadikan umpan rating, masyarakat senang karena bisa melihat pertunjukkan murahan sebuah kebodohan yang dibahas berulang. Semua senang.
Ingin tahu yang paling bodoh dari semua itu? Cara negara kita memperlakukan orang-orang bodoh tersebut!
SIapa sangka, menjadi bodoh justru membuka peluang untuk menjadi pionir diatas kebodohan tersebut. Di Indonesia, setidaknya kita punya 5 duta-tidak-masuk-akal yang entah penunjukkannya legit atau tidak. Zaskia Gotik diangkat menjadi Duta Pancasila oleh Fraksi PKB di MPR setelah mengejek lambang pancasila pada sebuah stasiun TV nasional. Dewi perssik menerobos jalur Transjakarta justru ditunjuk menjadi duta lalu lintas oleh Sandiaga Uno yang ketika itu menjabat Wakil Gubernur DKI. Tidak berhenti disitu, Dewi Perssik didampingi Andi Wenas sebagai Duta Lalu Lintas yang ditunjuk oleh Polda Metro Jaya setelah dirinya menabrak pengendara lain dengan sengaja. Masih kurang aneh? Komedian Tessy yang tertangkap akibat kasus narkoba justru mendapat gelar Duta Anti Narkoba bersandingan dengan Sonya Depari, seorang siswi yang membentak Polwan di pinggir jalan.
Coba bayangkan perasaan orang yang mati-matian membela pancasila, mengikuti seluruh peraturan berkendara, dan membantu pemberantasan narkoba melihat kelucuan kalangan atas negeri ini. Menyadari bahwa perjuangan mereka tidak lebih baik dari pelanggar moral yang mendapat kehormatan. Bahkan mungkin, dengan serangakain pengangkatan duta-duta tidak jelas itu akan menimbulkan stigma baru terhadap kata “duta” itu sendiri. Kini, menjadi duta justru seperti lelucon.
Alih-alih menjadikan sosok “viral” sebagai pionir, hal-hal di atas justru memberikan penegasan bahwa kesalahan bukan hal yang perlu dihindari. Kebodohan adalah hal yang justru diglorifikasi. Doing shit is not a big deal.
So, are those stupid-famous-people stupid?
Bagi mereka yang tanpa sengaja tersebar kebodohannya, bagi mereka yang secara tidak sengaja terkenal karena kebodohannya, jawabannya Yes, they are.
Bagi mereka yang merencanakan seluruh skenarionya dengan menjadi bodoh dan terkenal. Mereka yang telah memperhitungkan seluruh reaksi, menyiapkan statemen sanggahan, membentuk populasi bodoh simpatisan sumber pembenaran, dan membuat ombak untuk ditunggangi, Jawabannya tetap, Yes, they also are.
Because, If you can make a perfect scenario of you being stupid and get famous, if you can perfectly calculate every possible reactions of people who triggered If you can plan your answer for every reactions you have calculated
Then, from the very beginning, why dont you just make a smart one, you stupid?
0 notes
Text
WISUDA BUKAN TENTANG KITA
“Mak, gausah wisuda lah ya? udah pernah kan mamak bapak wisudaan kak Bhakti di IPB waktu dulu? Males mak, gitu gitu aja.”
“Kamu, bapak kerja siang malem, mamak ngurusin kamu dari kecil, giliran wisuda tinggal duduk aja males. Gamau nyenengin Bapak?”
Sial, saya mendapat pertanyaan yang tidak mungkin saya jawab tidak.
“Yaudah, wisuda deh”
Di kampus saya, Institut Pertanian Bogor, syarat mendapat Ijazah adalah mengikuti wisuda. Jujur, enggan rasanya. Saya sampai berpikir untuk ikut mendaftar saja, tapi tidak hadir ketika di harinya tiba. Terlebih, saya tidak tahu sama sekali asal usul prosesi wisuda, mengapa harus mengenakan Toga? Mengapa tali harus digeser dari kiri? Dan kenapa topi konyol berbentuk segi lima harus menutupi kepala? SAYA TIDAK PAHAM.Satu-satunya yang membuat saya rela mengenakan itu adalah karena, saya tidak sendirian mengenakannya.
Tapi, saya jelas kalah telak dari kehendak orangtua.
Saya akhirnya mendaftarkan diri, ambil foto ijazah dan ambil Toga yang sama sekali tidak pernah saya coba kecuali satu jam sebelum berangkat ke Graha Widya Wisuda. Saya ikuti seluruh prosesinya, dari masuk ruangan, pidato rektor tentang prospek pekerjaan, antri per fakultas untuk maju ke depan, penyerahan ijazah (yang hanya berisi kertas bohongan) sampai keluar menuju ke lapangan. Saya bahkan tidak berlama-lama berfoto dengan teman, orang yang pertama saya cari ketika keluar ruangan adalah Bapak. Dia satu-satunya alasan saya wisuda. Ini ucapan terimakasih saya karena mengizinkan saya membagi waktu perkuliahan dengan kegiatan kemahasiswaan.
Wisuda bagi saya hanya sebatas itu. Tidak ada kebanggaan berlebihan karena saya sudah merasakannya duluan ketika menerima SKL dari Dekan. Wisuda tak lebih dari sekedar prosesi selebrasi, yang itupun bukan untuk saya, tapi untuk orangtua. Mereka lebih layak berbahagia pada hari itu. Ibu saya menangis ketika melihat foto anaknya terpampang besar di depan ribuan lainnya. Bapak saya, orang paling tegar seplanet bumi tentu tidak akan menunjukkan air matanya, tapi saya melihat jelas raut bahagia ketika saya cium tangannya sambil berkata dengan sangat pelan dan dalam, “Pak, maaf aku lama ngundang bapak mamak ke gedung ini, liat aku pake ginian, liat liat kampus aku, maaf ya, Pak”
Jadi, untuk kawan-kawan yang saat ini tidak berkesempatan melaksanakan wisuda, sabar. Wisuda bukan tentang kita, bukan tentang kampus karena telah meluluskan mahasiswanya, bukan tentang kamu karena telah berjuang sekian lamanya, bukan tentang mengundang teman-teman untuk ikut merayakan kelulusan. Jauh dari itu, Wisuda adalah tentang memberi panggung pada anak di hadapan Orangtua agar mereka menjadi bangga atas perjuangannya memberikan pendidikan yang layak untuk anaknya. Sepertinya itulah alasan mengapa, di IPB, Orangtua diberi duduk yang sangat layak dengan sudut pandang yang luas dari atas, sementara wisudawan hanya duduk di bawah dengan kursi biasa.
Saya sangat paham bila calon wisudawan kecewa dengan kondisi saat ini, tapi ingat, tugasmu bukanlah kecewa kemudian orangtua yang menenangkan, itu kamu, empat tahun lalu. Kini, Ditengah momen kelulusan, namun kamu tidak bisa mengajak orangtua untuk merayakan, buang egomu, pastikan Orangtuamu tetap bahagia, walau tidak dengan melihatmu mengenakan Toga.
1 note
·
View note
Text
To start a business, is not as easy as i thought.
Let's see, how far i will go.
0 notes
Text
Since my circumstances in my past, i always pray.
God, please show me someone i really fitted with. Someone who can push me better no matter what. Someone you choose to be my last, cause i am so done with my self.
somehow, by God's hands, this girl slides through my timeline then. She got my attention. I contacted her, then we talk.
as time goes by, as she told his past, she fitted me.
Then I realised something.
It seems like, i don't need someone i want, but i want to be someone's need.
And I really hope, this girl is that someone. someone to talk to, someone to discuss with, someone to care for.
And especially, for the girl in this writing,
You have found me,
Do i deserve you?
0 notes
Text
Dear my parents,
Educate yourself so you can elegantly counter your son's arguments
I'd grown up as a man, who stand with my own thoughts. Don't treat me as if you're an old man who knows everything, make yourself a friend so i will treat you as a man who have another perception.
Ironically, You taught me confidence, courage, mentality, and you break them now, when they already grown too big. You thaught me to stand with my arguments, but, at some point, you push your ego to break my thoughts, to stop arguing. Without-any-single-argument. What a coward.
Nevertheless, you did exactly the same thing i do when you were my age. When you say that i am selfish, so you are.
You're just eat your own shit, and unfortunately, since i realise that you were me at my age, it means i will do the same thing you do right now. Eat my own shit.
So, let's eat shit.
Please, don't get me wrong.
I love you, dad.
0 notes
Text
Membedah Khutbah 15 Menit Rangga Sasana
#BelajarBareng
Belakangan jagat maya dipenuhi oleh cuplikan-cuplikan video singkat seorang dengan gelar Sekjen De Heeren Zevetien bernama Rangga Sasana. Setiap video yang melintas di linimasa Twitter saya bersumber dari wawancara dengan yang bersangkutan di sebuah acara Televisi. Merasa penasaran dengan apa yang sebenarnya dia bicarakan secara penuh di acara tersebut, saya habiskan 15 menit lebih untuk menyaksikan videonya di Channel Indonesia Lawyers Club di Youtube.
Selama 15 menit saya menyaksikan video tersebut, tidak ada satupun tawa yang saya keluarkan. Saya bahkan bingung dengan beberapa petinggi di acara tersebut yang bisa tertawa lepas sebagai bentuk respon dari pernyataan si wakil Sunda Empire tersebut. Saya tidak tertawa karena waktu saya sudah terpakai untuk bingung dengan istilah-istilah yang muncul dan beberapa bahkan saya belum pernah dengar sebelumnya. Saya mungkin akan tertawa kalau semua cerita dia bertentangan dengan pengetahuan yang saya ketahui selama ini. Semoga itu juga alasan para petinggi diacara tersebut tertawa lepas.
Seusai saya habiskan 15 menit menyaksikan video Rangga Sasana bersuara, saya kagum dengan kemampuannya menjelaskan hal tidak umum secara tegas dalam acara yang disiarkan skala Nasional. Saya ulang lagi video itu, kali ini dengan ballpoint dan kertas di tangan. Saya catat setiap istilah baru yang saya belum dengar, atau sudah dengar tapi berbeda dengan apa yang diyakini benar oleh Rangga Sasana.
Berikut adalah hasil catatan saya, yang kemudian saya rubah menjadi bentuk pertanyaan.
1. Siapakah Alexander The Great? Benarkah kejayaannya berakhir di 324 SM?
Rangga Sasana menyatakan bahwa kekaisaran Sunda Emperor terbentuk sejak masa Alexander The Great, 324 SM. Lalu, siapakah Alexander The Great? Benarkah kejayaannya berakhir di 323 SM?
Source : https://www.ancient.eu/Alexander_the_Great/
Alexander The Great adalah Raja Macedonia yang diangkat raja ketika ayahnya meninggal. Dia merupakan sosok yang bertanggung jawab atas penaklukan negara-negara yang kita ketahui sampai saat ini. Di usianya yang ke-32, Dia mampu mengalahkan negara-negara Balkan sampai Pakistan.
Peta kekuasaan Alexander The Great
Pasca kematian jenderal kesayangannya, Hephaestion, Alexander kemudian merencanakan penaklukan berikutnya untuk memperluas kekuasaannya. Sayangnya, itu tidak pernah terjadi. Alexander harus melawan demam hebat yang menimpanya selama 10 hari dan akhirnya merenggut nyawanya pada 11 Juni 323 SM.
Banyak isu yang beredar terkait kematian Alexander yang mendadak, bahkan ketika ambisinya belum tuntas. Ada teori yang mengatakan kalau kematiannya akibat meminum racun yang dimasukkan dalam minumannya ketika menjamu admiralanya 14 hari sebelum kematian, sampai isu malaria yang dideritanya. Namun, ada teori terbaru yang dikemukakan terkait kematian Alexander yang janggal dengan misteri bahwa jenazahnya tidak menunjukkan adanya pembusukan sampai 6 hari pasca kematian.
Dalam studinya yang dipublikasikan pada The Ancient History Bulletin, Dr. Katherine Hall, dosen senior di Dunedin School of Medicine menyatakan bahwa kematian Alexander disebabkan oleh gangguan saraf Guillain-Barré Syndrome (GBS). Gangguan ini menunjukkan gejala kelumpuhan pada syaraf dan gangguan pada pernapasan. Menurut Hall, dokter yang ada pada masa itu lebih mengandalkan pernapasan dan bukan menggunakan denyut nadi sebagai indikator kematian seseorang. Sehingga gejala gangguan pernapasan yang dialami Alexander sebagai indikasi penyakit GBS, dianggap sebagai tanda-tanda hingga dinyatakan kematiannya. Hal ini menjawab misteri jenazah Alexander yang tidak membusuk selama enam hari karena pada saat itu, seungguhnya Alexander belum benar-benar kehilangan nyawa. Hal ini bisa menimbulkan banyak perdebatan dan berpotensi menjadi kisah pencatatan kematian palsu terbesar sepanjang sejarah.
Terlepas dari semua itu, jejak sejarah yang dibuat oleh Alexander The Great sangat besar dan membekas hingga saat ini. Pada tahun 1978, Michael H. Hart seorang sejarahwan dan ilmuwan AstroFisika Asal Amerika Serikat menerbitkan buku yang ia beri judul: The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History dan Alexander The Great menempati posisi ke-33 dalam daftar tersebut.
2. De Heeren Zeventien
Rangga Sasana juga mengaku dirinya sebagai Sekjen resmi dari De Heeren Zeventien atau panitia tujuh belas. Lalu apakah benar ada apa yang disebut De Heeren Zeventien itu?
Source: Amal M. Adnan.2010.Kepulauan Rempah-rempah Perjalanan Maluku Utara
De Heeren Zeventien diketahui didirikan sejak zaman kejayaan VOC di Indonesia.
VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie, “Persekutuan Dagang Hindia Timur”) didirikan pada 20 Maret 1602 sebagai gabungan beberapa perusahan Belanda yang saling bersaing. Untuk menghentikan persaingan itu, empat wilayah di negeri Belanda – masing-masing Amsterdam, Zeeland, de Maas serta Noord Holland – bergabung dan membentuk suatu perusahan dengan nama Verenigde Oost Indische Compagnie, disingkat VOC. Wilayah-wilayah yang ikut bergabung diwakili sistem majelis yang memiliki sejumlah direktur. Seluruh direktur VOC berjumlah 17 orang: 8 dari Amsterdam, 4 dari Zeeland, dan masing-masing 2 dari de Maas dan Noord Holland. Ke-17 direktur VOC ini disebut De Heren Zeventien (Tuan-tuan 17).
De Heeren Zeventien merupakan jajaran direksi VOC yang menggerakkan perusahaan dagang tersebut selama bertahun-tahun hingga mencapai puncak kejayaannya. Namun ketika tahun 1795, De Heeren Zeventein dibubarkan dan diganti dengan Committee tot de Zaken van den Oost Indischen Handel en Bezettingen yang berisikan 28 orang. Sejak saat itu pula, kejayaan VOC kemudian merosot sangat jauh hingga VOC akhirnya dibubarkan pada akhir tahun 1799 dan seluruh aset-aset nya diserahkan kepada Pemerintah Belanda.

Ilustrasi De Heeren Zeventien
Jadi, klaim bahwa Rangga Sasana merupakan Sekjen De Heeren Zeventien sangat perlu dipertanyakan karena catatan sejarah menyebutkan bahwa managemen ini hanya ada ketika VOC masih berdiri dan dibubarkan sejak lama, bahkan jauh sebelum masa kemerdekaan dan puncak perang dunia ke-II (1942-1945).
3. Defence Council dan Security Council
Sejujurnya, saya sangat kesulitan ketika mencari bacaan tentang kedua istilah ini, namun penelusuran mengarahkan saya ke beberapa penjelasan yang mungkin merupakan maksud dari Rangga Sasana. Pertama, Rangga menyebutkan “British sebagai Defence Council”. Penelusuran cukup sulit mengingat apa yang disebutkan Rangga mencakup “tatanan pemerintahan dunia” sedangkan “British as The Defence Council” yang saya dapatkan justru bagian dari Kementerian Pertahanan milik Britania Raya saja. Jadi, sebaiknya tidak saya cantumkan karena untuk apa membahas kementerian pertahanan Kerajaan Inggris ketika kita membahas perkataan Rangga Sasana dalam lingkup Tatanan pemerintahan dunia.
Adapun istilah kedua yang diucapkan oleh Rangga, Security Council, lebih mudah ditemukan karena merupakan bagian dari PBB. Sesuai dengan pernyataannya (Amerika sebagai Security Council), UNSC benar terletak di Amerika Serikat, tapi apakah sebenarnya UNSC itu?

Source: un.org
Security Council merupakan satu dari 6 element yang didirikan PBB pada 24 Oktober 1945. Security Council sendiri memiliki mandat utama untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia. Sejauh ini, Security Council sudah terlibat dalam kasus kejahatan perang, perampokan lintas negara dan konflik-konflik lainnya. Lembaga ini berisikan sepuluh anggota terpilih dan 5 anggota tetap yaitu China, Amerika Serikat, Perancis, Inggris dan Russia.
4. NATO & gedung Isola
Pernyataan Rangga Sasana tentang NATO sangat sesat informasi. Dalam pernyataannya, dia menyampaikan bahwa NATO dibentuk oleh PBB setelah puncak perang dunia ke-II tahun 1945. NATO sendiri berada dibawah kendali De Heeren Zeventien versi Rangga. Terdiri dari 4 unsur ABCD yaitu Amerika sebagai Security Council, British sebagai Defence Council, Canada sebagai (saya kurang paham maksud pernyataannyas sehingga tidak saya tuliskan) dan Bandung. Dia bahkan dengan Tegas menyatakan bahwa NATO dibentuk di Bandung dan Gedung Isola (IKIP Bandung) menjadi cikal bakal berdirinya NATO.
Lalu apa itu NATO, dan apa itu Gedung Isola?
Source: nato.int
NATO merupakan singkatan dari North Atlantic Treaty Organization. Dibentuk pada 4 April 1949 dengan tujuan untuk menjamin kebebasan dan keamanan politik maupun militer dari setiap negara anggota. Beranggotakan 12 negara (bukan 4) pertama pada tahun 1949 dan kini memiliki 29 anggota yang keseluruhannya merupakan negara Eropa (tidak ada hubungannya dengan Asia apalagi Bandung). Didirikan berdasarkan penandatanganan The Washington Treaty (Bukan Bandung, apalagi gedung Isola).
NATO sendiri tidak ada hubungannya sama sekali dengan PBB, apalagi De Heeren Zeventien yang sebelumnya saya bahas. Jadi untuk informasi ini, saya berani katakan bahwa pernyataan Rangga Sasana sesat Informasi.
Lalu apa itu gedung Isola?

Source: http://museumpendidikannasional.upi.edu/index.php/gedung-isola
Kota Bandung menyimpan berbagai kekayaan bersejarah bagi bangsa Indonesia yang sangat potensial untuk dijadikan daya tarik wisata budaya (culture heritage). Kekayaan tersebut salah satunya berbentuk bangunan bersejarah peninggalan bangsa kolonial. Salah satu bangunan bersejarah yang membentuk citra Kota Bandung adalah Villa Isola yang didirikan pada tahun 1933. Villa Isola berdiri di Lembang Weg (Jl. Setiabudi) dengan halaman depan menghadap dataran tinggi Lembang dan Gunung angkuban Perahu, sementara halaman belakang menghadap ke kota Bandung. Dari puncak Villa Isola dapat dinikmati indahnya kota Bandung di malam hari. Bangunan mewah tersebut dirancang oleh arsitektur CP Wolff Schoemaker, seorang arsitek yang terkenal saat itu dan hasil karyanya sudah bertebaran di Kota Bandung. Awalnya Villa Isola bernama Villa Berretty yang diambil dari nama pemiliknya yaitu DW. Berrety, seorang miliuner berkebangsaan Italia yang menetap di Indonesia.
Villa Barretty didirikan hanya dalam waktu 9 bulan, bangunan yang memiliki halaman seluas 7,5 hektare ini dilengkapi dengan aneka bunga yang berwarna-warni. Tujuan Berretty mendirikan Villa tersebut adalah untuk menyepi dari sisa hidupnya maka dari itu Berretty mendirikan sebuah rumah yang berdiri sendiri tanpa berdekatan dengan bangunan lain. Selain itu, dapat juga dilihat dari nama Villa Isola yang diambil dari kata Isolated yang berarti terpisah dari yang lain. Di bagian depan Villa, saat membuka pintu terlihat tulisan "M'ISOLO E VIVO" di dinding bagian atas yang tepat sejajar dengan pintu masuk. Tulisan berbahasa Italia itu berarti 'saya mengasingkan diri dan bertahan hidup' merupakan jalan hidup yang dipilih Berretty untuk sisa hidupnya. Berretty tidak dapat menikmati indahnya Villa yang dibangunnya dalam waktu yang lama, karena tidak lama setelah Villa tersebut selesai dibangun Barretty meninggal dunia. Sepeninggal Barretty, bangunan ini menjadi terbengkalai. Perubahan zaman ternyata sangat berpengaruh terhadap gedung ini. Villa Berretty beberapa kali berpindah tangan dan diubah fungsinya. Villa Berretty pernah dirubah menjadi museum militer pada masa penjajahan Jepang. Tidak tanggung-tanggung, sebuah bangkai pesawat Amerika (yang sebenarnya milik Belanda) dipajang dalam gedung yang berlantai marmer tersebut.
Nama Villa Isola mungkin tidak banyak yang mengenalnya, karena nama ini sudah diganti dengan “Bumi Siliwangi” yang sekarang menjadi gedung rektorat Kampus UPI (yang dulu dikenal dengan IKIP). Jadi, Nama ISOLA berasal dari kata Isolated yang diperkuat dengan tulisan “M’ISOLO E VIVO” pada bagian bangunan. Bukan singkatan dari International Soldier Leader (atau entah apa yang diucapkan) menurut pernyataan Rangga.
5. UU Agraria dan Sertifikat Alen Bilen
Pernyataan Rangga berikutnya yang membuat saya bingung adalah “Sunda Empire memiliki hak atas tatanan bumi berdasarkan Sertifikat Alen Bilen” dan “UU Agraria akan berakhir di 15 Agustus 2020 maka ratu inggris akan berhenti dari jabatannya saat itu juga. Dan kami (sunda empire) sedang mempersiapkan itu”
Sebenarnya, apa itu UU Agraria Internasional?
Source: Harsono B. 1995. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1 – Hukum Tanah Nasional
Saya tidak menemukan UU Agraria Internasional, penulusuran saya hanya mendapatkan hasil paling sesuai seperti dibawah ini:
Undang-Undang Agraria 1870 (bahasa Belanda: Agrarische Wet 1870) diberlakukan pada tahun 1870 oleh Engelbertus de Waal (menteri jajahan) sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah Hindia Belanda di Jawa. Latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) antara lain karena kesewenangan pemerintah mengambil alih tanah rakyat. Politikus liberal yang saat itu berkuasa di Belanda tidak setuju dengan Tanam Paksa di Jawa dan ingin membantu penduduk Jawa sambil sekaligus keuntungan ekonomi dari tanah jajahan dengan mengizinkan berdirinya sejumlah perusahaan swasta.
UU Agraria memastikan bahwa kepemilikan tanah di Jawa tercatat. Tanah penduduk dijamin sementara tanah tak bertuan dalam sewaan dapat diserahkan. UU ini dapat dikatakan mengawali berdirinya sejumlah perusahaan swasta di Hindia Belanda.
UU Agraria sering disebut sejalan dengan Undang-Undang Gula 1870, sebab kedua UU itu menimbulkan hasil dan konsekuensi besar atas perekonomian di Jawa.
Tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepemilikan hak atas tatanan bumi dan seisinya, begitupula aset-aset kerajaan duni berada dibawah satu system yang disebutkan Rangga Sasana. Adapun Sertifikat Alen Bilen yang disampaikan Rangga sama sekali saya tidak temukan satupun dokumen yang sesuai dengan Keyword tersebut. Entah apakah memang saya yang salah dalam menuliskan keywordnya. Saya bingung harus berkomentar apa.
6. Perubahan ABRI menjadi TNI dan pemisahan dengan POLRI, hubungan ABRI dengan KNIL
Rangga Sasana mengaku terlibat dalam proses perubahan ABRI menjadi TNI dan pemisahannya dengan POLRI pada tahun 1999.
Lalu seperti apa kronologis perubahan ABRI menjadi TNI dan pemisahannya dengan POLRI
Source: tni.mil.id
Istilah Tentara Nasional Indonesia (TNI) pertama kali muncul 3 Juni 1947 yaitu perubahan nama dari Tentara Republik Indonesia (TRI). Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada bulan Desember 1949, Indonesia berubah menjadi negara federasi dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Sejalan dengan itu maka dibentuk pula Angkatan Perang RIS (APRIS) yang merupakan gabungan antara TNI dan KNIL. Pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan Indonesia kembali menjadi negera kesatuan, sehingga APRIS berganti nama menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).Pada tahun 1962, dilakukan upaya penyatuan antara angkatan perang dengan kepolisian negara menjadi sebuah organisasi yang bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Penyatuan satu komando ini dilakukan dengan tujuan untuk mencapai tingkat efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan perannya dan menjauhkan pengaruh dari kelompok politik tertentu.Pada tahun 1998 terjadi perubahan situasi politik di Indonesia. Perubahan tersebut berpengaruh juga terhadap keberadaan ABRI. Pada tanggal 1 April 1999 TNI dan Polri secara resmi dipisah menjadi institusi yang berdiri sendiri. Sebutan ABRI sebagai tentara dikembalikan menjadi TNI, sehingga Panglima ABRI menjadi Panglima TNI.
Lalu apa itu KNIL?
Source: tirto.id

Jika ditelusur asal mula pendiriannya, KNIL hadir setelah Belanda kewalahan menjalani Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Perang itu seolah mengajarkan Belanda untuk punya angkatan perang yang lebih kuat lagi. Maka, pada 4 Desember 1830, Gubernur Jenderal van den Bosch—sang pemulai tanam paksa—mengeluarkan Algemeene Orders voor het Nederlandsch-Oost-Indische leger, soal pembentukan tentara di Hindia Belanda.
Tentara Hindia Belanda itu terdiri berbagai etnis, mulai dari Jawa, Minahasa, Ambon, dan lainnya yang berada dalam formasi sebagai serdadu-serdadu rendahan. Kalangan perwira terdiri dari orang-orang Belanda, meski ada pula orang-orang Belanda berpangkat serdadu rendahan. Di dalam KNIL, demikian tentara kolonial ini belakangan disebut, terkenal kental juga diskriminasi rasialnya.
Menurut data dari buku Gedenkschrift Koninklijk Nederlandsche Indische Leger 1830-1950 (1990), KNIL banyak dikerahkan untuk melawan pemberontak dan bajak laut di Hindia Belanda dalam banyak ekspedisi-ekspedisi militer. Yang paling terkenal adalah aksi KNIL dalam Perang Aceh yang menyebabkan tewasnya Jenderal Mayor J.H.R. Kohler. Sayangnya, selain melawan rakyat Indonesia yang berontak, KNIL tak berdaya menghadapi serbuan balatentara Jepang pada awal 1942. Hanya dalam hitungan minggu, Jepang menduduki hampir seluruh Hindia Belanda.
Maka, KNIL pun tak eksis selama kurun waktu 1942 hingga 1945 di Indonesia. Setelahnya, butuh waktu setahun lebih untuk membangun kembali KNIL untuk menduduki kembali Indonesia sebagai Hindia Belanda seperti di masa kolonial. KNIL kemudian dipimpin bekas Direktur NEFIS, Simon Hendrik Spoor.
Kedigdayaan KNIL mulai terlihat lagi waktu secara mendadak menyerang daerah-daerah Republik yang bernilai ekonomis dalam Agresi Militer Belanda pertama, dalam Operasi Produk. Kedigdayaan berikutnya, tapi juga jadi blunder bagi Belanda, adalah Agresi Militer Belanda Kedua: Operasi Gagak menduduki ibukota RI Yogyakarta.
Sebagai angkatan perang dengan personel yang dibayar, banyak orang Indonesia bergabung di dalamnya. Pangkatnya rendahan. Selain T.B. Simatupang, Presiden Indonesia Soeharto juga meniti karir militernya di KNIL. Ia memulai dari pangkat kopral lalu sersan. Selain Soeharto, perancang lambang negara Garuda Pancasila Sultan Hamid II juga pernah berdinas sebagai letnan di KNIL. Perancang masjid besar Istiqlal, Silaban, juga pernah berdinas di KNIL sebagai perwira zeni.
Lembaga militer yang telah melahirkan banyak kombatan ini akhirnya resmi dibubarkan pada 27 Juli 1950, tepat hari ini 68 tahun lalu.
7. Soldier Leader World
Rangga Sasana kerap mengenakan seragam yang diklaim adalah seragam resmi NATO. Yang menraik adalah tulisan SLW di dada seragam tersebut yang dijelaskan oleh Rangga merupakan singkatan dari Soldier Leader World.
Saya mencoba berkali kali merubah keyword untuk mencari informasi mengenai Soldier Leader World. Tapi setiap kali itu juga saya tidak mendapatkan hasil yang saya harapkan. Yang selalu muncul adalah daftar nama-nama Commander pada perang-perang besar seperti Alan Brooke, Bernard Montgomery, Harold Alexander, Andrew Cunningham, George Marshall, Konstantin Rokossovsky, dan Ivan Konev. Lalu, apakah badge LSW pada baju Rangga Sasana menunjukkan kesetaraan dia dengan beberapa nama besar pemimpin pasukan perang tersebut?
Sebenarnya masih ada beberapa istilah yang belum saya temukan maksudnya apa seperti Alen Dilen dan World Revolution System. Tapi saya hiraukan saja, mungkin itu hanya istilah yang dikarang-karang. Ada satu hal lain yang mencuri perhatian. Saya sendiri butuh waktu beberapa jam untuk menulis ini, mencari sumber yang valid dan memahami bacaan tersebut. Tapi, Rangga Sasana dalam acara yang disiarkan secara langsung ke seluruh penjuru negeri dapat secara tegas dan lantang menjabarkan frasa-frasa tidak umum dengan berani. Untuk keberanian dan ketegasannya, sepertinya Sunda Empire tidak salah menunjuk Rangga Sasana sebagai corong. Saya akan secara spontan bertepuk tangan bila berkesempatan mendengar langsung penjelasannya, tapi untuk sesat informasi yang disampaikan, saya siap dengarkan saja sampai selesai.
Lagipula, saya tulis ini agar tidak dosa ketika menertawakan cerita orang lain hanya karena bahasa yang digunakan terdengar ngawur, tapi saya sendiri tidak tahu informasi tepatnya.
0 notes
Text
ENJOY YOUR TOXIN
#OPINI
Tidak hanya sekali, tapi berulang kali saya dihadapkan pada sebuah masalah hubungan pasangan manusia. Mulai dari hubungan yang tidak jelas akan dibawa kemana, pasangan yang terpisah antar kota, dan kesenjangan akibat cara menyembah Tuhan yang berbeda. Tapi semua itu bukan masalah saya, melainkan teman-teman saya baik pria maupun wanita.
Dari semua masalah yang saya dengar, ada satu hal yang baru terdengar familiar beberapa tahun terakhir. Saya sendiri belum menyimpulkan, tapi kadang sebelum bercerita mereka sudah menyatakan bahwa mereka terperangkap sebuah hubungan yang belakangan ramai disebut “Toxic Relationship”
Saya bingung, apa saja ruang lingkup “toxic” dalam hal ini. Apakah posesif termasuk? Cemburu? Kekerasan fisik? Atau justru romantisme yang berlebihan?
Saya berlabuh pada sebuah laman website hellosehat.com, sebuah website yang saya anggap kompeten karena di pantau langsung oleh dokter, setidaknya itu yang mereka tuliskan sebelum masuk pembahasan.
“ Menurut Lilian Glass, seorang ahli komunikasi dan psikologi di California, hubungan asmara dikatakan toxic ketika kedua pihak tidak saling mendukung, tidak saling menghormati, dan juga tidak memiliki kebersamaan.
Ketika ada konflik, salah satu pasangan justru berusaha untuk merusak atau merendahkan pasangannya. Hubungan ini sangat beracun karena bisa menguras tenaga dan pikiran, terutama yang menjadi korbannya. “
Dari sedikit cuplikan dari Lilian Glass, saya menarik beberapa kata kunci. Tidak saling mendukung, tidak saling menghormati, tidak memiliki kebersamaan.
Dengan logika yang dibekalkan Tuhan dalam otak manusia, dapat dengan mudah disepakati bahwa kondisi seperti disebutkan Lilian Glass sangat merugikan semua pihak. Mudah bagi beberapa untuk bilang “Sudahi saja hubungan seperti itu, tidak ada untungnya”.
Tapi yang terjadi justru sering seballiknya. tidak hanya sekali saya harus menanggapi cerita dari wanita bodoh yang masih terus bertahan dengan kondisi tersebut. Saya akan contohkan tiga pengalaman yang pernah saya tahu dan mungkin terjadi juga dengan pasangan lainnya.
1. Romantisme berlebihan Cerita ini tentang seorang lelaki yang saya kenal sejak semester satu di salah satu kampus ternama. Setiap sehabis magrib, kami yang tinggal di asrama selama tahun pertama selalu berangkat keluar untuk mencari makan malam bersama. Setiap itu pula, teman saya si A selalu menjadi orang paling pertama yang mengatakan “Udah yuk balik asrama” tepat setelah batang rokok kedua saya habis hanya tersisa filternya. Dia selalu mengajak pulang cepat karena setiap jam 19.15 dia akan tidur menelungkup, menghadapkan laptopnya ke wajah, membuka aplikasi Skype dan memulai berbincang dengan kekasihnya entah dimana. Keduanya selalu melakukan hal itu, SETIAP HARI.
Bahkan ketika seharusnya dia menyelesaikan tugas kuliah, kumpul diskusi kelompok atau kegiatan asrama lainnya, dia tidak pernah sekalipun membiarkan jadwal asmaranya tergantikan oleh apapun. Dan entah apa yang sebenarnya menjadi aktivitas pasangannya, mereka seolah sudah menjadikan kegiatan itu kewajiban bagi keduanya.
Ketika saya tanyakan, “kok kalian bisa sih tahan ngejalanin kaya gitu? Ga bosen?”
Dia jawab, “Ya namanya juga cinta”
2. Lust oriented Kejadian kedua ini dilakukan oleh seorang wanita yang menjadi teman saya sedari SMA. Saat itu dia yang berpacaran dengan lelaki yang juga merupakan teman saya, kondisi hubungannya sedang dalam sebuah masalah besar. Sang wanita kedapatan sedang berdua dengan pria lain di sebuah pusat perbelanjaan ternama. Sang pria memergoki dan memukuli pria yang menjadi selingkuhan sang wanita. Sang perempuan yang mengakui kesalahannya tidak mampu berbuat apa-apa. Setelah kejadian itu sang pria yang menjadi selingkuhannya pun hilang entah kemana. Hubungan kedua teman saya itu memang tidak langsung berakhir saat itu juga. Sang pria ingin menyampaikan banyak hal tentang kekecewaannya atas kecurangan sang wanita. Sebelum waktu yang ditentukan, sang pria bercerita kalau akan ke rumah pacarnya untuk memutus hubungan mereka. Sang wanita pun bercerita kalau dia sadar kesalahannya dan akan melakukan apapun agar sang pacar mau menerima maafnya. Saya rasa mustahil, sang pria sudah teramat kecewa. Tapi rupanya hari itu semua diluar rencana sang Pria. Sepulang dari rumah sang wanita, sang pria cerita “gua masih sama dia”. Saya heran, ketika saya tanya ke sang wanita “Kok bisa?” sambil senyum dia cuma bilang, “siapa sih yang ga bisa bilang iya, kalau perempuan udah ngasih ‘segalanya’.” Berbulan-bulan berikutnya, mereka masih jalan berdua, tapi sudah tidak sesehat hubungan mereka sebelumnya.
Ketika saya tanyakan, “kok lu sampe rela ngasih “segalanya” ke dia?”
Dia jawab, “Ya gapapa, namanya juga cinta”
3. Kekerasan fisik Seorang teman wanita saya sering bercerita setiap kali pulang dari kontrakan pacarnya. Beberapa kali dia bahkan bercerita sambil menangis. Dia selalu bercerita mengenai penyebab dari setiap luka memar yang saya lihat.
“Ini dipukul kemarin soalnya gue pulang kemaleman dari rumah temen gue” “Ini dicubit kenceng banget soalnya gue ga ada kabar seharian” “Ini di lempar pake kunci motor soalnya gue kemarin pulang dianter temen gue cowo”
Saya tidak bisa berbuat apa-apa karena itu hubungan mereka berdua.
Lagi-lagi, ketika saya tanya “Kok lu tahan digituin sama dia?”
Dia jawab, “Ya gimana, namanya juga cinta”
Respon saya selalu sama ketika mengingat ketiga kisah di atas. Berakhir diam tanpa banyak bicara sambil dalam hati bertanya “kok bisa mereka menjalani hubungan seperti itu setiap hari? Apakah saya yang selama ini salah memahami konsep menjalin hubungan asmara?”
Kemudian saya menarik kesimpulan bahwa kita semua memiliki persepsi sendiri mengenai nilai cinta. Ada yang karena cinta, rela memberikan seluruh tubuhnya, ada yang rela membuang waktunya, ada juga yang rela menderita.
Selain kisah yang saya ceritakan, sepertinya banyak racun lain yang belum saya sebutkan seperti uang, jabatan, gengsi, kebanggaan dan ketakukan untuk sendiri. Kita ternyata sama sama menenggak racun, hanya saja memiliki kadar yang berbeda. Saya tidak bisa banyak berkomentar, toh mereka yang menjalani hubungan dapat menikmatinya.
Jadi menurut saya, tidak ada batasan pasti dari Toxic Relationship. Selama kedua orang yang terlibat mampu menerima perlakuan dari satu dengan lainnya, itu sah sah saja.
Untuk siapa saja, yang sedang menjalani hubungan yang dirasa tidak sewajarnya, jangan dengan cepat menuduh racun sebagai penyebabnya. Kamu hanya kaget dengan dosis yang lebih dari biasa. Tubuh kamu akan bereaksi, entah kuat atau tidak menetralisir itu menjadi apa yang secara personal disebut cinta.
so,
For all the people who can naturally trough day by day with that condition, You know you can restrain or not. Choose your toxin. Stop it when you feel your body is no longer bear up. Just don’t die because you choose the wrong one.
Enjoy your toxin, dear evil.
0 notes
Text
GET THE RAINBOW FLAG DOWN
#OPINI
Ketika saya tulis ini (8 Januari 2020) jagat maya sedang ramai oleh tampilan headline media cetak di negara Inggris yang berbeda dari biasanya. Ketika media inggris sering menjadikan Politikus atau Pemain Sepak Bola sebagai halaman terdepannya, hari ini mereka memajang wajah seorang pria dengan nama belakang yang tidak asing di telinga warga Plus Enam Dua, Reynhard Sinaga.
Saya lampirkan sedikit kutipan dari bbc.com:
Sinaga, a 36-year-old PhD student from Indonesia, was found guilty of 159 sexual offences against 48 men.
He picked up his victims outside clubs in Manchester and lured them to his flat, where he drugged and assaulted them while filming the attacks.
On Monday, a judge jailed Sinaga for life, with a minimum term of 30 years.
As Sinaga's family and friends come to terms with his fate, they have painted a picture of his life in Indonesia before he became a serial sexual predator.
Speaking for the first time since his son was jailed, his father Saibun Sinaga told BBC Indonesian over the phone: "We accept the verdict. His punishment fits his crimes. I don't want to discuss the case any further."
Betul, media inggris sangat kolaboratif dengan penegak hukum setempat sehingga berita ini baru menyeruak setelah vonis benar benar dijatuhkan oleh kejaksaan setempat. Ini juga ramai dan menjadi kekaguman orang Indonesia yang terbiasa dihebohkan dengan berita tidak penting yang bahkan kasus belum diperkarakan, berita sudah disebarluaskan.
Betul, bagaimana bisa negara mereka menyembunyikan rahasia rapat rapat tentang siapa saja korban pemerkosaan tersebut. Sementara di negara Plus Enam Dua, Berita selalu dipenuhi oleh judul “Korban berinisial XX trauma, berikut potret keseharian korban” dan kemudian diwawancara dengan suara Chipmunk dan wajah serba hitam. Sementara pelaku nya? Tidak ada yang tahu.
Tapi saya tidak mau membahas mengenai kedua hal diatas, saya mau membahas mengenai hal yang katanya tabu di negara ini.
Pelaku pemerkosaan, Si Reynhard Sinaga adalah seorang Gay.
Jujur saja, ketika membaca berita ini saya sama sekali tidak berpikir bahwa orientasi seks pelaku adalah Homoseksual. Karena media hampir tidak mempedulikan itu sehingga pembaca tidak terbawa ke arah sana.
Saya bukan awam bersinggungan dengan kaum yang biasa disebut LGBT, atau kita ambil satu huruf G untuk lebih spesifiknya. Semasa kuliah, setidaknya 2 orang di lorong asrama saya yang mengidap penyakit ini. Bahkan satu orang dari mereka tinggal di kamar yang letaknya tepat di seberang kamar saya. Selain dua orang tersebut, setidaknya sudah ada 4 lelaki yang secara terang-terangan mengatakan kesukaannya ke saya. Dua diantaranya sempat menyebutkan secara frontal fantasinya untuk melakukan “Kissing”, “blowjob” sampai “anal sex”.
Saya coba untuk merespon mereka senormal mungkin. Tapi jauh didalam pikiran saya tetap teguh bahwa apa yang mereka yakini benar adalah salah. Entah karena orientasi seksual saya normal, atau karena belum ada bacaan yang mampu merubah pola pikir saya. Sehingga, ketimbang menerima kenyataan bahwa mereka menyukai saya, saya lebih memilih untuk mengajak mereka “mengobati” penyimpangan tersebut.
Mereka bukan orang tidak beragama, mereka bahkan lebih taat beribadah dibanding saya. Jadi, pendekatan spiritual tentang benar salah, halal haram, surga neraka justru mereka jauh lebih paham. Berarti, ada satu hal didalam diri mereka yang begitu kuat, sangat kuat sampai mengalahkan rasa takutnya ketika mendengar kisah Nabi Luth AS dan kaumnya.
Tapi apa? Hidup dengan penuh ketakutan akan penolakan, kesulitan yang luar biasa karena harus mencari pasangan dengan orientasi seksual yang seragam, perilaku yang seringkali menjadi bahan olok olokan. Apa yang membuat mereka dan kaumnya bertahan dengan kondisi itu?
Sama sekali tidak masuk di akal sehat saya.
Sepertinya ada satu hal yang membuat mereka terjebak dalam pola pikir yang salah. Sama seperti perokok yang tetap merokok meskipun tahu kalau itu salah, seperti pemabuk yang terus menenggak alkohol walaupun tahu tidak ada dampak positifnya.
Saya pernah bicara dengan salah satu dari mereka:
Me : Sebenernya lu emang suka sama cowo aja, atau suka juga sama perempuan? Him : Ya sama cowo iya, sama cewe hemm sedikit sih Me : Tapi sebenernya kalau liat cewe cantik lu tertarik ga? Him : Ya tertarik sih, kaya dalem hati “cantik banget ya dia” Me : Nah terus abis itu, ngebayangin ga kalau lu jadi pacarnya dia, atau hal hal jorok yang pernah lu bilang pengen lu lakuin sama gua itu lu lakuin sama dia? Him : Ya engga lah, beda dong kan dia mah cewe Me : Pernah tau rasanya? Him : Belom, abis ga tertarik Me : NAH! Lu pacarin dah siapa kek, lu rasain enaknya kontak fisik sama perempuan. Kalau sama enaknya dengan kontak fisik sama laki-laki, kenapa ga straight aja? lebih enak hidup di Indonesia lu Him : Kalau kontak fisik kan biasa lah salaman pegangan tangan Me : Beda, bikin ini jadi Lustful dong. Him : Gamau ah!
Dari satu pembicaraan itu, saya menyimpulkan bahwa beberapa diantara Gay tersebut sudah terlanjur nyaman dengan kondisinya. Menurut saya, semua tergantung dari kemauan orang tersebut untuk berubah. Karena buktinya ada satu dari mereka yang saya kenal akhirnya sembuh dan benar benar sayang dengan istrinya. Karena mencintai lawan jenis adalah fitrah manusia.
Dari segala aspek, hampir tidak ada pembenaran atas penyimpangan orientasi seksual khususnya Homoseksual (Lesbian dan Gay). Secara biologis, tidak ada satupun kemungkinan terjadinya proses reproduksi antara dua individu jantan atau dua individu betina. Secara fisik, pria dibekali dengan masa otot lebih dari wanita, namun potensi kemampuan berpikir lebih rendah dari wanita. Tidak kah ini pertanda bahwa ketidaksamaan ini diciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain? Tidak perlu saya bahas secara agama karena jelas jelas tidak riwayat dalam agama saya yang menyatakan penyuka sesama adalah benar/itu adalah sebuah pilihan. Bahkan dalam satu kisah, suatu kaum yang menyukai sesama akhirnya diberi azab, Dumi diputar balikkan dan seluruh kaum itu dibinasakan.
Kalau kamu memiliki penyimpangan yang sama dan kemudian ingin berubah, silahkan datangi saya. Dengan sabar saya akan bantu sebisanya. Tapi kalau kamu masih tetap pada penyimpanganmu itu, silahkan. Kamu sudah baca sikap saya dari awal kan?
0 notes
Text
UMPAMA
Hei 25, kamu kalau diibaratkan sebuah perjalanan, dibagian manakah kamu saat ini?
Apakah yang kamu harapkan sudah kamu dapatkan sehingga kamu hanya tinggal mengikuti rutinitas biasa sampai entah berapa tahun kedepan?
Apakah kamu masih mengejar tujuan tapi tetap pada jalan yang kamu rencanakan?
Apakah kamu justru sedang disebuah persimpangan menentukan tujuan karena secara tiba tiba muncul banyak pilihan?
Mari kita bahas satu persatu.
Banyak diantara kita yang menyusun targetan hidup yang sederhana, tidak begitu luar biasa. Biasanya,targetan yang kita buat menyesuaikan dengan kapasitas kita ketika menyusunnya. Untuk beberapa orang yang menyusun targetan hanya sampai pada posisi “bekerja di (lembaga A) atau menjadi PNS atau membuat sebuah Production House”, hal hal tersebut mungkin saja tercapai pada usia yang sedang menjadi bahasan kita, usia 25. Sehingga hidup di 26 dan seterusnya hanya perkara melanjutkan rutinitas agar capaian tidak goyang. Saya sebut kondisi ini dengan “Establish at the age of 25″.
Tidak ada yang salah dengan itu, justru itu adalah proses yang sangat baik bila tercapai. Selamat kepada yang dapat.
Kita beralih ke kondisi kedua, kondisi yang terjadi pada orang-orang yang menyusun mimpi hebat, targetan tinggi dan tujuan jauh ke depan. Biasanya targetan ini dapat disusun oleh beberapa orang dengan latar belakang keluarga yang sudah “Establish at the age of 25″. Dengan latar belakang keluarga yang sudah stabil, mimpi hebat terlihat sangat riil. Orang-orang ini akan menyusun targetan orang sederhana seperti bekerja di lembaga A, menjadi PNS atau membuat sebuah production house hanya sebagai bagian dari langkah-langkahnya. Tujuan akhir dari orang-orang ini biasanya lebih tinggi, bahkan tidak terdefinisikan karena pada setiap capaian akan membentuk target baru yang tidak kalah gilanya. Orang orang ambisius dengan perasaan yang selalu haus. Orang-orang ini biasanya (tidak semua) memiliki keistimewaan sendiri atau biasa disebut Privilege.
Untuk orang-orang yang memiliki Privilege, taruhan karir adalah hal biasa. Hal ini menjadi pembeda dengan kondisi orang-orang yang tidak memiliki privilege yang sama. Bagi orang-orang ini, gagal hanya bagian dari langkah, bangkit menjadi hal yang mudah. Tapi bagi orang orang yang hanya mengincar “Establish at the age of 25″, gagal adalah hal yang harus dengan sangat cermat diperhitungkan dan dihindari. Sekali kapal tenggelam, tidak ada lagi harapan untuk kembali berlayar, sisanya adalah bertahan sambil menyelam sampai datang kapal bantuan.
Tidak percaya? Faktanya dari daftar 20 orang terkaya di Indonesia, hanya 3 orang yang berasal dari keluarga menengah kebawah yaitu Djoko Susanto dengan Alfa Supermarketnya, Chairul Tanjung dengan CT Corpsnya dan Boejamin Setiawan dengan Ritel Kimia Farmanya. Sisanya adalah orang-orang dengan bisnis keluarga.
Jadi, kondisi dimana usia 25 masih menjadi bagian dari tergetan dan merupakan fase tengah dari sebuah perjalanan panjang saya sebut dengan “Approaching the undefined goals”
Kondisi ketiga adalah kondisi paling menarik, kondisi yang saya dan sepertinya banyak orang-orang middle class alami. Kondisi dimana usia 25 berada pada persimpangan jalan. Pilihan antara maju lurus kedepan sesuai path yang telihat jelas, atau mencoba meraba jalan yang tiba-tiba saja muncul di depan mata. Usia 25 menjadi awal karir dari banyak orang dengan kondisi ini. Secara nyata biasanya orang dengan kondisi ini sudah mencapai fase “Establish at the age of 25″ tapi seketika banyak hal yang berubah. Latar belakang keluarga yang perlahan membaik, jenjang karir yang terlihat menjanjikan, atau pilihan baru yang muncul akibat prinsip “25 adalah waktunya banyak mencoba”. Orang-orang pada kondisi ini biasanya memiliki ambisi tapi tetap berhati-hati untuk memasang taruhan dengan resiko tinggi. Gagal mungkin tidak mematikan langkahnya, tapi itu akan menutup peluang untuk mengulang kembali dan harus putar arah menuju ke jalan awal. Orang-orang ini tidak akan melepas pegangan tangan kanannya sebelum memastikan tangan kirinya menggenggam dahan baru. Bagi orang-orang ini, hidup memang lucu tapi hidup tidak sebercanda itu.
Untuk orang-orang dengan kebimbangan ini, saya selalu menyebut usia 25 nya dengan “Defining The Path”
Saya sendiri sudah menyusun targetan sejak lama, sejak kelas 2 SMA atau ketika umur saya 17 tahun, hari itu KTP saya bahkan masih wangi aroma percetakan.
Sedari kecil sampai usia 17 keluarga saya adalah keluarga sederhana, bahkan sampai sekarang. Kami termasuk keluarga Middle Class dengan kehidupan biasa-biasa saja. Seperti saya ceritakan pada tulisan saya di “you deserve a good cup of coffee”, saya bahkan lupa rasanya punya keinginan.
Dengan kondisi tersebut, saya susun targetan paling real. Saya hanya ingin menjadi orang yang pernyataannya diperhitungkan sebagai ahli. Ada 4 pilihan yang terlintas di kepala saya ketika itu untuk menjadi ahli, yaitu Peneliti LIPI, Dosen / tenaga pengajar perguruan tinggi, konsultan dan auditor. Hal tersebut hanya dapat tercapai kalau saya fokus pada satu hal yang detail sehingga saya paham seluk beluk bidang tersebut. Sejak SMA sudah saya putuskan untuk fokus pada “KEHUTANAN”
Tapi,
Saya sadar, saya bukan dari keluarga yang dengan mudah maju menuju S2 begitu saja. Saya harus menapaki satu persatu prosesnya dan mencari celah diantaranya. Saya yang sadar akan hal itu, tidak pernah menulis urutan Lulus SMA-Kuliah Sarjana-Kuliah S2 , itu terlalu mulus untuk saya. Tapi saya selipkan pertimbangan ekonomi keluarga sehingga alurnya menjadi Lulus SMA - Kuliah Sarjana - Kerja (menabung sampai cukup untuk kemudian) - Kuliah S2
Saya susun target setiap tahunnya untuk dicapai dengan terukur dan hati-hati. Saya pastikan ketika alur yang saya susun sudah terlaksana, saya masih memiliki nilai jual tinggi untuk bertahan hidup selanjutnya. Saya harap ketika saya sudah menyelasaikan apa yang saya rencanakan, walaupun setelah itu saya harus memulai semua dari awal, setidaknya status saya Magister Pengangguran dengan Pengalaman Kerja 3 tahun di lapang. Sounds good.
Ketika semua sudah tersusun rapi, berjalan sesuai rencana, jalan baru tiba tiba muncul di depan mata. Mulai dari hobi yang dicoba-coba, tawaran kerja di tempat yang saya tidak pernah sangka, sampai permintaan pulang dari orangtua. Saya harus rombak kembali targetan awal.
Saya dipaksa bertaruh, menentukan pilihan. Memang resikonya tidak besar, tapi kalau saya kalah taruhan, akan banyak waktu yang saya sia-siakan. Ditambah lagi 25 belum cukup untuk dibilang berpengalaman dalam menentukan pilihan. Saya tidak punya banyak sosok yang bisa saya tanyakan dan nasihatnya saya jadikan masukan. Saya benar benar dalam kondisi “Defining The Path”
Saya tenangkan diri, saya ingat kalau saya punya Tuhan. Semua akan saya usahakan, tapi hasil akhir seluruhnya saya pasrahkan pada Yang Maha Menentukan. Semoga Tuhan sejalan dengan apa yang saya harapkan karena bila tidak, tentu sulit untuk ikhas merelakan apa yang selama ini sudah saya perjuangkan.
Itu yang terjadi pada saya, bagaimana dengan anda?
Pada fase apa kamu hari ini hei 25? Define yourself!
0 notes
Text
UNTUK BUMI
Dear Bumi,
Yang mukanya ku pijak setiap pagi
Yang nafasnya mengelilingi
Yang panasnya menghidupi
Yang airnya mengasihi
Maaf,
Kami menjelma menjadi iblis
Kami gerogoti ronggamu sampai habis
Kami putar balik skenariomu yang manis
Kami kuliti kerakmu tipis-tipis
Tidak,
Bukan kami bodoh
Kami pintar yang satu arah
Anthroposentris
Selama itu uang, itu wenang
Kita,
Tidak berjalan linier
Kerap kali berpotongan
Kami merangkak naik
Kamu perlahan panik
Egois,
Mungkin kata yang pas
Padahal tandamu begitu jelas
Marah,
Kamu sangat layak
Silakan muak
Kami memang lunak
Sedikit darimu, kami luluh lantak
Tapi jangan,
Kami tanpa daya
Kamu begitu digdaya
Layaknya ibu,
Kami hanya anak
Kadang nakal
Dan Layaknya ibu,
Kamu tahu, kami hanya tidak menyadari
Bahwa anak tak bisa hidup tanpa ibu
Bahwa kami tak bisa hidup tanpa kamu
Tolong,
Jaga kami
Sampai nanti
Tanpa mu, kami mati
Tanpa kami, kamu abadi
Tolong,
Karena kami cuma bisa hidup
Di atas
BUMI
0 notes
Text
DIKTATOR
#OPINI
Setangguh-tangguhnya karang, kalau dia bisa menghindar, saya yakin dia lebih memilih menghidar ketimbang diam di hempas ombak berkali kali
Setinggi-tingginya pohon, selama ada cahaya yang lebih mudah di dapat, saya yakin dia akan memilih merunduk daripada harus tinggi dihempas angin tiada henti
Sekuat-kuatnya orang, kalau bisa memilih, saya yakin dia pasti ingin menjadi lemah ketimbang kekuatannya hanya menjadi alat kerja pemimpin tidak punya rasa.
0 notes
Text
Hidup di lapangan, bikin semua masalah itu di hadapi, di pikiri, di jalani, di ketawai.
Bukan di hindari, di nyinyiri, di keluhi, di bikin ribet sendiri.
0 notes
Text
GRATEFUL
#OPINI
Quarter-Life-Crisis
Satu frasa yang menggambarkan generasi saya, anak kelahiran 1994. Tahap paling menyebalkan dari hidup saya selama 25 tahun. Tahap yang sebenarnya saya inginkan dari dulu, tapi ketika sudah menjalaninya saya ingin segera lewati tahap itu. Tahap yang katanya “semua orang mengalaminya”. Tahap dimana mimpi begitu abstrak, langkah begitu ambulakral, dan sikap begitu acak.
Saya bisa punya mimpi yang berbeda di setiap kepala terbentur bantal dan kaki terbentur kasur. Mimpi saat terjaga, bukan mimpi saat terlelap. Saya pernah ingin menjadi konsultan, auditor, founder NGO, karyawan biasa, interpreter, bahkan pengusaha. Semua muncul dan saling bentur di kamar saya hanya dalam seminggu. Kemudian hilang, digantikan dengan mimpi lain di minggu berikutnya. Saya se-inkonsisten itu saat ini, 25.
Kemudian teringat kalimat klise “itu quarter-life-crisis namanya, semua pernah ngalamin”.
Saya bingung, Iyakah? Semua orang pernah mengacaukan mimpinya sendiri setiap malam? Terus kapan mereka berakhir?
Saya banyak diskusi mengenai mimpi saya dengan Agus WInarko, seorang Sarjana Teknik Sipil berumur 40 an. Dia yang membantu saya merangkai satu persatu bayangan acak-acakan di kepala saya. Mulai dari ceritanya di awal 25, sampai masuk 35, dan kemudian di usianya saat ini. Dari beliau, saya sering berada diposisi antara kebimbangan hidup berambisi dan hidup mensyukuri. Dan beliau sering menutup kebingungan dengan “ambisi itu perlu, tapi jangan lupa bersyukur”.
Saya selalu berpendapat, yang tentu saja sangat bisa dibantah, bahwa kalau kita terlalu banyak bersyukur bisa mematikan ambisi dan membunuh mimpi. Karena saya sering bicara sama orang yang seperti jalan di tempat bilang “ah saya mah gini aja udah syukur. Soalnya dulu mah boro-boro bisa ngerokok sehari sebungkus, kadang makan serumah sehari nasi bungkus”.
Saya sampaikan hal ini dengan Agus Winarko, tapi jawaban beliau:
“Dia sudah benar mensyukuri capaian dia saat ini, tapi lupa menyusun capaian berikutnya”.
Akhirnya, saya dapat satu kunci hidup bersyukur. Jangan mensyukuri apa yang kamu capai saat ini, tapi bersyukurlah karena diposisi kamu saat ini, kamu masih bisa menyusun capaian berikutnya dengan jelas dan terukur.
Kembali lagi ke masalah awal, Qurter-Life-Crisis. Saya sudah bersyukur karena sudah bisa menyusun capaian berikutnya dengan terukur, tapi sering terpengaruh oleh capaian lain yang kadang tidak berkesinambungan dengan apa yang sudah saya susun.
Lalu, sang Agus Winarko kembali mencerahkan:
“Kamu masih muda, ada banyak tenaga. Kamu menjadi seperti itu karena dengan kondisi kamu sekarang, semua menjadi mungkin. Ketika ada kemungkinan maka kamu punya keinginan untuk sampai ke situ.”
Kembali ke kebiasaan lama, Saya coba diskusi dengan diri saya sendiri. Hasilnya:
“Umur saya sekarang ibarat monyet, tangan kiri lagi megang satu dahan yang kuat (pekerjaan saya sekarang), tangan kanan bebas mencoba cari dahan lain supaya hidup terus bergerak. Tapi, tangan kanan punya banyak kesempatan untuk milih dahan mana yang akan di raih. Saya harus coba untuk usaha menggapai semua kemungkinan dengan tangan kanan.
Tapi ingat,
tangan kiri masih memegang dahan saat ini, tanggung jawab saya disitu. Yang penting, jangan dulu lepas tangan kiri sebelum yakin, tangan kanan sudah memilih dahan yang tepat. Kalau tidak, monyet akan jatuh.
Tidak ada yang salah dengan monyet yang terjatuh. Tapi bagi monyet, jatuh adalah hal memalukan dimata monyet lain. Butuh effort lebih untuk kembali memulai. Hindari itu.”
Sekali lagi, Tapi,
Biar bagaimanapun, saya bersyukur. Banyak monyet yang tidak memiliki dahan untuk mengayun, atau dahan yang tersedia hanya sedikit. Sehingga banyak monyet yang sulit bergerak, atau bergerak di dahan yang sama, setiap harinya.
Saya rasa, kalau saya terus bergerak, mengayun, melompati dahan demi dahan, quarter-life-crisis hanya masalah stigma.
Lagi pula,
siapa yang tahu hidup saya berada di quartal pertama ketika dua lima sementara saya sendiri tidak tahu hidup saya akan berapa lama?
0 notes
Text
DEWATA
#AyoKitaKemana
07 Maret 2019
Hari ini, tepat jatuh di hari Kamis, adalah Hari Raya Nyepi bagi Umat Hindu. Tahun Baru Saka 1941. Disana, di Bali, umat Hindu menghentikan segala kegiatannya. Menahan segala urusan dunia untuk mengkhidmati hari rayanya. Ketika saya bilang “segala urusan dunia” itu adalah benar, SEMUA URUSAN DUNIA!. Jalanan, pelabuhan, bandara, kantor-kantor, toko-toko bahkan mereka yang bukan Hindu serentak berhenti.
Saya pernah ada di Bali, 2 kali. Satu kali untuk PKL, satu kali untuk kerja. Dan bukan Bali namanya kalau kamu pulang dari sana dalam perasaan menyesal. Bali tidak pernah mengecewakan saya, berapa kalipun saya kesana. Semua aspek dari Bali, saya suka. Budaya, gunung, pantai, kota, kampung, laut bahkan kulinernya. Kalau ada istilah yang menunjukkan gambaran surga, kata BALI nampaknya tepat.
Pertama kali kaki saya injak tanah Bali adalah di awal tahun 2016. Gilimanuk, tepatnya patung Siwa Mahadewa, menyambut kedatangan saya di Pelabuhan. Dengan gagahnya, Siwa seolah mengucapkan selamat datang kepada siapa saja yang masuk ke daratan seluas 5.633 km2 ini. Tak banyak yang berbeda dari orang-orang di Gilimanuk, mayoritas penduduknya adalah pendatang dari Pulau Jawa. Tapi suasana Bali sudah mulai terasa. Pura (re:Pure) berdiri kokoh di tengah-tengah pemukiman warga. Sanggah (tempat sembahyang umat Hindu) tersusun rapi di pekarangan rumah. Motor-motor tersusun dengan berani di luar pagar rumah, bahkan tetap dengan kunci menempel pada kontaknya. Hal yang sangat langka saya temui di tanah Jawa.
Satu bulan saya mencicipi udara Dewata, saya menetap di Gilimanuk. Menyusuri hutan dan pantai Taman Nasional Bali Barat, Taman Nasional yang termasuk kategori penghasil PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) terbesar di Indonesia. Bagaimana tidak, setiap jengkal tanahnya adalah permata bagi para turis. Hutannya mengandung Jalak Bali, Si Manuk Jegeg Legendaris. Lautnya mengandung terumbu karang eksotis. Pantainya mengandung kisah sejarah nan dramatis. Penduduknya adalah penganut Hindu yang agamis. Seolah bekerjasama, mereka membuat udara Dewata yang saya cicipi terasa manis.
Di akhir perjalanan satu bulan saya di Bali, saya dipertemukan dengan Tahun Baru Saka 1938. Hari Raya Umat Hindu akhirnya dapat saya rasakan langsung di rumahnya sendiri. Setelah saya pelajari saat mengikuti Nyepi di Bali, ada 4 hal yang dilarang ketika Nyepi. Ameti Geni (Tidak menyalakan api), Ameti Karya (Tidak bekerja), Ameti Lelanguan (Tidak melakukan hiburan atau kesenangan), dan Ameti Lelungaan (Tidak Bepergian). Selain itu, selama Nyepi juga Pantang makan atau minum, berkomunikasi dan Tidur. Jadi, inti dari Nyepi adalah bersemedi, refleksi diri setelah melewati kehidupan dunia selama satu tahun. Kemudian keesokan harinya, dilakukan Ngambek Geni yaitu keluar rumah dan bersilaturahmi dengan sekitar untuk bermaaf-maafan. Sepertinya belum banyak yang tahu tentang Ngambek Geni, karena saya sendiri baru tahu setelah merasakan langsung Hari Raya Nyepi di Bali.
Saya sebagai umat muslim, melihat prosesi Nyepi dari sudut pandang manusia, bukan agama. Bahwa apa yang mereka lakukan menurut agama saya adalah salah, tidak langsung membuat saya buta akan indahnya Bali dengan segala kearifan budayanya. Banyak hal yang bisa saya ambil positif dari kegiatan Nyepi. Faktanya, dari balipedia.id, selama Nyepi sehari penuh, Bali mampu mereduksi emisi Gas Karbon Dioksida (H2O) sebanyak 20.000 Ton dalam sehari. Selain itu, Nyepi juga nyatanya mampu menghemat beban listrik sebesar 290 Megawatt atau bila dirupiahkan senilai empat Miliar. Belum lagi polusi suara yang terhenti selama sehari, daya tarik wisatawan yang ingin merasakan Nyepi bahkan sampai ke Psikologis warga Bali setelah rehat sehari. Bandara Ngurah Rai yang merupakan salah satu bandara Internasional tersibuk yang negeri ini miliki, sampai berhenti beroperasi. Seperti kata Navicula,
Saat semua, semakin cepat Bali berani berhenti, dan menyepi
Bali terlalu indah untuk dinikmati sendiri, setidaknya itu yang saya rasakan selama satu bulan lebih 7 hari di Bali.
Kali kedua saya berkesempatan menetap di Bali cukup lama, tiga bulan. Kali ini untuk mencari rejeki di tanah mereka. Taman Nasional Bali Barat menjadi pemandangan saya setiap pagi dan sore hari. Menjadi koordinator dari 10 karyawan asli pribumi, saya belajar banyak budaya Bali. Mulai dari cara mereka membagi kopi dengan makhluk yang tak terlihat namun mereka percaya ada, membagi secuil nasi di pojok meja untuk mereka yang wujudnya tak nampak tapi terasa, dan sembahyang di sanggah setiap pagi, siang dan sore hari.
Saya disana selama bulan Ramadhan di kalender hijriah. Tidak ada yang berbeda dengan kota-kota besar di Jawa, sama saja, sama-sama ada saja yang makan di tengah hari, minum es teh manis, atau sekedar membakar batang tembakau. Puasa adalah ibadah saya, bukan mereka. Kalau saya bisa melaksanakan ibadah saya dengan leluasa, itu cukup buat saya. Tapi yang paling menarik adalah ketika hendak berbuka, karyawan yang biasanya makan tinggal makan, saat itu mereka memilih untuk menahan dulu laparnya, menunggu waktu Maghrib sehingga saya bisa makan untuk santap malam bersama. Tentu saja, makan adalah ritual sakral semua umat bernyawa, dan kami melaksanakan ritual tersebut dengan cara paling nikmat, dengan tertawa.
Yang paling menarik adalah, ketika IedulFitri tiba. Lokasi saya kerja berada di tengah Hutan, untuk mencapai lokasi solat hari raya perlu menempuh perjalanan sekurang lebih 40km. Saya yang tidak punya kendaraan tidak mungkin memutuskan berjalan kaki, dan Wayan Sariade tahu itu. Wayan Sariade yang seorang perawat burung dilokasi saya kerja menawarkan bensin dan kendaraan roda dua serta jasa antar kepada saya. Tidak mungkin saya tolak kebaikan hati tersebut. Tapi, satu malam menuju hari raya, dia yang merupakan anak asli Bali melewatinya dengan minum-minum sampai hilang kesadaran. Sampai hilang kesadaran untuk beberapa orang lemah mungkin hanya butuh satu dua jam minum alkohol, tapi bagi Wayan Sariade yang tangguh, butuh waktu semalaman sampai dia takluk oleh botol-botol anggur, sampai dia hilang kesadaran, sampai dia lupa diri, lupa janji mengantarkan saya pagi solat IedulFitri.
Pukul 6.15 saya bangungkan dia, sulit. Hal yang aneh karena setiap harinya dia bangun lebih pagi lagi untuk menyiapkan Voer, Jangkrik atau buah untuk pakan Jalak Bali. Saya tidak ingin merepotkan dia untuk mengantar saya, yang saya butuhkan hanya kunci motor nya saja. Tapi bukan Wayan namanya kalau tidak memaksa menawarkan bantuan. Dengan mata dan kepala berat, dia beranjak dari kursi tempatnya menggeletakkan badan ketika kalah dari minuman-minuman fermentasi buah semalaman. “Tenang Pak Huda, saya masih sadar ini” sambil matanya ke arah lain dari posisi saya berdiri. Saya yang ragu dengan kondisi kesadaran dia, meraih cepat kunci motor untuk saya panaskan. Ketika saya sudah siap berangkat, dia naik ke jok belakang sambil bicara dengan muka yang becek bekas di basuh air segar. “Berangkaaaat” katanya dengan suara sengau bercampur bau alkohol. Saya hanya senyum, hampir tertawa lepas, karena kejadian ini mungkin tidak akan saya alami lagi. Akhirnya kami laju scoopy merah Wayan Sariade menyusuri jalan raya Gilimanuk-Singaraja sejauh 40km. Saya pastikan untuk menjaga komunikasi dengan Wayan di belakang, karena semenit saja saya lepas dia tanpa bicara, bisa-bisa mukanya sudah tertempel di aspal. Sampai kami tiba di warung terdekat dengan lapangan Gilimanuk, saya dudukkan Wayan di kursi kayu panjang, sambil saya sodorkan sebungkus rokok L.A. Bold ke tangannya, saya tinggal dia. Saya hanya senyum sambil geleng-geleng kepala, siapa lagi di dunia ini umat muslim yang pernah merasakan momen langka, hari raya IedulFitri nya diawali dengan mendengar kata “berangkaaaat” sengau berbau alkohol selain saya?
5 September 2017, saya tinggalkan Bali. Saya tatap Siwa Mahadewa yang sedang melepas kepergian saya. Saya, Pria umur 24 berbalut carrier hijau di pundak dengan berat hati harus pulang. Berat karena saya tahu, mungkin tidak ada kesempatan untuk menapaki lagi surga bumi. Tapi banyak hal yang saya pelajari disini, dari toleransi, cara mencari rezeki, perdalam ilmu konservasi sampai cara bertahan di tengah hutan sendiri.
Di kapal penyebrangan Gilimanuk-Banyuwangi, Saya menundukan kepala, melihat sela-sela jari kaki, hati saya berbisik, beruntungnya saya sempat kerja di Bali.
Sampai saat itu, saya tahu,
Bali adalah statement Tuhan untuk menunjukkan, Dia tidak main-main menciptakan semesta
0 notes