k-fahmi · 4 years ago
Text
[BAPAK: ORANG TUA YANG MEMUDAHKAN]
Sholat. Menanam. Kerja.
Tiga kata kerja yang menurut saya paling identik dengan Bapak. Beliau sangat menjaga sholatnya, baik kualitas maupun kuantitas. Bahkan, di hari-hari terakhirnya, saat beliau mulai kesulitan menahan BAK dan buang angin, beliau tetap berusaha menyempurnakan sholatnya meski harus mengulang puluhan kali karena batal di tengah sholat.
Beliau juga suka menanam pohon yang menghasilkan buah. Alasannya, supaya buahnya bisa dinikmati orang lain dan menjadi amal jariyah. Beliau juga merupakan sosok yang workaholic. Meski begitu, kehadirannya dalam keluarga tak pernah kurang.
Kalau diperhatikan baik-baik, ketiga pekerjaan tersebut hakikatnya adalah untuk memudahkan orang lain. Sholat bisa menjadi penjaga diri dan keluarga. Menanam bisa menghindarkan dari kelaparan. Dan bekerja bisa menjaga kehormatan keluarga.
=====
Disiplin. Tanggung Jawab. Tegas.
Tiga kata sifat tersebut adalah yang paling dekat menggambarkan sosok Bapak. Beliau memiliki rutinitas dan amalan yaumiyah yang istiqomah. Sesibuk apapun agendanya, beliau tetap berusaha memenuhi amalan yaumiyahnya.
Bapak juga memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi. Amanah pekerjaan, peran sosial, dan dakwah dikerjakan sesuai tuntutannya. Waktunya dibagi semaksimal mungkin agar amanah yang diemban tidak tercederai.
Bapak juga merupakan sosok yang tegas. Jika sudah memiliki kehendak dan menetapkan pilihan, pantang mundur dan menunda. Bapak paling tidak suka melihat orang yang ambivalen dan "esok dele sore tempe".
Dan lagi, ketiga sifat tersebut, pada hakikatnya adalah untuk memudahkan urusan muamalah dengan orang lain.
=====
13 Agustus 2020. Lima tahun sudah Bapak meninggal dunia. Selamat memanen amal jariyah yang sudah ditanam. Semoga kami bisa meneruskan prinsip hidup dan cita-cita Bapak.
Allaahummaghfirlahuu warhamhuu wa 'aafihii wa'fu 'anhu.
21 notes · View notes
k-fahmi · 5 years ago
Photo
Tumblr media
[MENGEJAR FITRAH] Entah kenapa saya merasa Ramadhan kali ini berjalan lambat. Hari kelima tapi terasa sudah lama sekali Ramadhan berjalan. Barangkali karena tidak adanya aktivitas berjamaah sebagaimana Ramadhan sebelumnya. Sehingga, kebaikan dan amalan yang dikerjakan sendiri terasa lama dan cepat bosan. Lain halnya Ramadhan seperti sebelumnya. Sholat fardlu berjamaah di masjid. Kajian ramai-ramai. Buka bersama. Tarawih keliling berjamaah. Tadarus bergantian sampai khatam. Hampir semuanya dilakukan bersama-sama. Kali ini, memang tidak bisa dipungkiri, Ramadhannya terasa berbeda. Semuanya dilakukan sendiri. Potensi futur dan lalai jadi besar. Padahal, kalau sendiri dan futur, mau balik dan bangkit tentu lebih sulit. Namun, Allaah swt menciptakan kondisi Ramadhan yang seperti ini tentu bukan tanpa alasan. Pasti ada hikmah yang bisa dipelajari bagi mereka yang mencari dan membuka indera baik-baik. Dan alhamdulillaah, atas taufik Allaah swt, saya dimudahkan untuk mendapatkan secuil hikmah di awal Ramadhan. Ya, hikmah yang berasal dari ayat yang masyhur itu, surat Al-Baqarah ayat 183. Buah dari memperbaiki intensitas interaksi dengan Al-Quran yang mulai memudar belakangan ini. Meski sudah sering membaca, tadabbur tafsirnya, sering menyampaikan dalam forum kajian, namun tadabbur yang sampai memahami tujuan puasa sedekat kehidupan saya baru saya rasakan di Ramadhan kali ini. Hasil tadabburnya seperti apa? Selengkapnya bisa dibaca tulisan terbaru kami di fahmizahranotes.com (link di bio). Yuk, perbanyak lagi interaksi dengan Al-Quran secara personal. Mumpung sendirian sama Al-Quran. Kapan lagi bisa tadabbur di momen yang sangat intim dengan Al-Quran kalau bukan di masa pandemi kaya sekarang? Semoga Allaah swt memudahkan kita menerima hikmah-Nya dan segera mengangkat pandemi COVID-19 ini. (at Desa Minomartani Ngaglik Sleman Yogyakarta) https://www.instagram.com/p/B_iAVmglxPY/?igshid=197jeyoxdiw2v
2 notes · View notes
k-fahmi · 5 years ago
Photo
Tumblr media
[SELAMAT SATU TAHUN, RAFIKA!] . Selamat satu tahun, Rafika. Terima kasih telah bersedia menemani perjuangan Ayah-Bunda. Terima kasih telah menjadi teman bermain Ayah-Bunda. Terima kasih telah menjadi teman bekerja Ayah dan teman belajar Bunda. Terima kasih telah memberi warna dalam keluarga kecil kita. Rafika Anisah Hafiyya, tumbuhlah engkau seperti doa kami dalam namamu. Rafika, tumbuhlah menjadi sebaik-baik kawan bagi teman-temanmu. Yang senantiasa hadir di kala susah maupun senang. Yang mengingatkan ketika salah. Yang membantu dan menolong dalam kebaikan. Yang menjadi sebaik-baik istri bagi suamimu. Anisah, tumbuhlah engkau menjadi pelita ilmu dalam kebodohan. Pelita yang menenangkan orang yang gelisah, takut, dan cemas. Pelita yang menghangatkan meski dalam kesendirian. Pelita yang menunjukkan manusia jalan menuju Allaah swt. Hafiyya, tumbuhlah engkau menjadi perempuan yang ilmu dan wawasannya luas. Yang mampu menyelesaikan masalah-masalah pada umat. Yang ilmunya menjadi amal jariyahmu karena manfaatnya yang dirasakan oleh masyarakat luas. Semoga keselamatan dan keberkahan senantiasa dilimpahkan atasmu. Sebagaimana Allaah swt juga melimpahkannya kepada siapa yang dikasihi dan dicintainya. Dan semoga kita dikumpulkan dalam kebaikan di dunia, dan dikumpulkan pula kelak dalam kebaikan di akhirat. Selamat satu tahun, Rafika. (at Minomartani) https://www.instagram.com/p/B-e4XlPlBIs/?igshid=1viajkpvkkey5
5 notes · View notes
k-fahmi · 5 years ago
Photo
Tumblr media
[PERTANYAAN RUTIN] Salah satu fungsi pertanyaan adalah untuk mencari tahu suatu keadaan. Ada orang-orang yang suka bertanya tentang hal yang itu-itu saja karena ingin tahu bagaimana kondisi dari objek pertanyaannya. Apakah kondisinya baik atau kurang baik? Adakah masalah yang sedang terjadi? Dan sebagainya. Misalnya, seorang bos bertanya selalu tentang perkembangan proyek yang sedang dikerjakan. Ia merasa perlu untuk bertanya supaya tahu sampai mana progresnya. Tentu tidak semua proyek ditanyakan. Hanya proyek bernilai besar dan penting saja. Atau misalnya seorang konsulen yang menguji mahasiswa koass dengan pertanyaan rutin. Sampai-sampai, para mahasiswa koass sudah tahu semua akan ditanya apa saat ujian. Tentu, pertanyaan tersebut adalah hal yang penting diketahui dan dipahami oleh seorang calon dokter. Harapannya, setiap yang lulus ujian dengannya, jaminan paham standar minimal kompetensi seorang dokter. Begitu pula orang tua. Ada orang tua atau mertua yang suka bertanya tentang hal itu-itu saja. Kadang sampai tampak cerewet sekali. Kadang terdengar membosankan karena setiap kali bertemu, itu saja yang ditanya. Padahal kita berharap pertanyaan lainnya. Dan itulah yang kami alami menghadapi Ummi dan Ibu. Entah kebetulan atau tidak, keduanya punya pertanyaan rutin yang sama. Apa itu pertanyaannya? Selengkapnya bisa dibaca tulisan terbaru kami di fahmizahranotes.com. (at Rumah Tahfidz al-Falah Minomartani) https://www.instagram.com/p/B8-LNsqFjmj/?igshid=11pqgxv1wrvfd
5 notes · View notes
k-fahmi · 5 years ago
Photo
Tumblr media
[MENGGENAP KEMBALI] Dulu, ketika Bapak meninggal dunia, kami tidak pernah ingin Ibu menyusui menikah lagi. Membayangkan hal tersebut pun tidak. Bagi kami ketika itu, cukuplah Bapak menjadi figur laki-laki bagi kami. Namun, sebagai manusia yang dinamis, pola pikir pasti akan berubah seiring pendewasaan. Ketika saya menikah, saya baru menyadari, tentang adanya ruang yang kosong bagi mereka orang dewasa yang hidup sendiri. Karena secara fitrah, manusia diciptakan berpasangan. Maka, ketika ia telah dewasa, apalagi pernah menikah, lalu hidup sendiri, pasti ada ruang kosong yang menganga. Tak bisa ditutup dengan kehadiran kami, anak-anaknya, maupun saudaranya. Maka, ketika itulah saya sadar, Ibu harus menikah lagi. Tapi pertanyaannya, bagaimana cara menyampaikan hal tersebut kepada Ibu. Hampir tiga tahun saya memendam pertanyaan tersebut sembari berdoa demi tidak mengganggu fokus Ibu yang sedang menyelesaikan program doktoral. Dan, alhamdulillaah, tak sampai tiga bulan pasca selesai studi, tak perlu saya mengutarakan pertanyaan tadi, Allaah swt jawab semuanya. Allaah swt kirimkan laki-laki yang juga baru setahun ditinggal oleh istrinya, orang yang dikenal Ibu dengan baik pula. Sehingga, tidak butuh waktu lama untuk memutuskan menerima lamaran beliau ketika itu. Meski ada drama dan beberapa halangan, namun alhamdulillaah bisa terlewati. Selamat mengarungi rumah tangga baru, Bu. Izinkan dan ingatkan kami untuk tetap berbakti. Semoga menjadi keluarga yang selamat dan menyelamatkan, saling menjaga dan dijaga oleh Allaah swt, dan berkumpul kembali di surga-Nya kelak. (at Minomartani) https://www.instagram.com/p/B7_x1pJFVKs/?igshid=g4dt1fobsrgn
14 notes · View notes
k-fahmi · 5 years ago
Photo
Tumblr media
[UJIAN KEISTIQOMAHAN] Saya pernah menulis bahwa saya menulis untuk me-maintain level keimanan agar istiqomah. Maka, ketika saya tidak menulis dalam jangka waktu tertentu, tentu ada yang salah dengan kehidupan saya. Konsep ini saya pelajari dari @dahlaniskan19 melalui laman disway.id atau Azrul Ananda yang menulis setiap rabu di Catatan Rabuan. Yaa, mungkin secara konten saya masih kalah jauh karena pengalaman dan wawasan mereka yang notabene mantan wartawan dan aktivis begitu luas. Begitu pula keistiqomahannya, saya masih kalah jauh. Saya yang menulis minimal sebulan sekali masih saja bolong. Begitu pula dua bulan terakhir ini. Saya lebih banyak lalai daripada dzikirnya. Alasannya sederhana tapi lama-lama menghanyutkan. Selengkapnya bisa dibaca tulisan terbaru kami di fahmizahranotes.com. Selesainya tulisan ini menjadi kebahagiaan tersendiri bagi saya. Karena itu berarti saya mulai meniti jalur yang benar setelah melenceng terlalu jauh. Ya, semoga kita semua senantiasa dimudahkan untuk belajar dan dikuatkan agar istiqomah sampai kelak menghadap Allaah swt. (at Pantai Parangtritis) https://www.instagram.com/p/B7LldQeF2GJ/?igshid=1vjgj1bc0480u
4 notes · View notes
k-fahmi · 5 years ago
Photo
Tumblr media
[NIKMAT KEMAMPUAN MOTORIK] Lima bulan bersama Rafika mengajarkan banyak hal. Salah satunya adalah tentang kerasnya dia berlatih untuk mengasah kemampuannya. Mulai dari mendengar, melihat, mengombinasikan keduanya, hingga memfokuskan kemampuannya agar bisa belajar kemampuan berikutnya. Usahanya paling keras tampak saat ia belajar dan berlatih motorik. Mulai dari mengangkat kepala, menggerakkan lengan dan kaki, sampai menggenggam benda. Kadang, ia kesal sendiri karena gagal terus. Tapi, semangatnya untuk mencoba lagi tak pernah surut. Sampai ia kelelahan, lalu menangis atau terlelap tidur. Saya yang menemaninya belajar kadang kasihan, tapi juga lucu melihat tingkahnya. Saya jadi teringat kembali masa-masa ketika koass dulu. Ya, saya seolah melihat orang yang sama dengan pasien pasca stroke, pasien cedera spinal, atau pasien dengan gangguan muskuloskeletal lain. Pasien tersebut, sama dengan Rafika. Mereka juga berusaha keras untuk berlatih mengembalikan kemampuan motoriknya kembali. Tak jarang mereka frustasi dan kesal karena gagal. Bahkan, sebagian berputus asa dan beralih minum obat alternatif sembari berharap bisa menyembuhkan. Padahal obatnya adalah latihan. Betapa nikmat kemampuan motorik adalah sebuah hal yang mahal. Kita bisa berdiri tanpa goyah, memegang benda tanpa tremor, dan bisa membuat gerakan sesuai yang kita kehendaki adalah sebuah nikmat yang luar biasa. Maka, jangan pernah salah menggunakannya untuk durhaka kepada Dzat Yang Maha Memberi Nikmat. Jangan pula menyakiti saudara seiman dengan menggunakan kemampuan tersebut. Jangan sampai Allaah swt menegur kita sebagaimana kisah yang saya ceritakan dalam tulisan terbaru saya di fahmizahranotes.com. Semoga kita dijaga Allaah swt dari sifat kufur nikmat. https://www.instagram.com/p/B2Bkyq5lcms/?igshid=1lkr7xcbdmhx4
16 notes · View notes
k-fahmi · 5 years ago
Text
Menitipkan Amanah
"Mi, Bapak-Ibu memasukkan kamu ke pondok bukan karena tidak sayang. Tapi, karena saat ini, Bapak dan Ibu tidak bisa maksimal mengasuh dan memberi kasih sayang. Jadi, untuk sementara waktu, kamu dititipkan dulu di sini. Bapak-Ibu yakin kamu akan dikasihi dan disayangi, karena Bapak-Ibu menitipkan kamu kepada Allaah swt yang Maha Mengasihi dan Maha Menyayangi."
Kurang lebih begitulah kalimat yang disampaikan Bapak dan Ibu ketika akan meninggalkan saya di pondok pesantren dulu. Usia saya saat itu belum genap enam tahun. Saya harus menyusul kakak saya melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Tahfidz Anak-Anak Yanbu'ul Quran di Kudus.
Ini bukan kali pertama saya harus tinggal berpisah dari orangtua. Sebelumnya, saya sudah sering tinggal di Tempat Penitipan Anak di dekat tempat kuliah Ibu, yaitu Universitas Negeri Sebelas Maret. Sebuah hal yang maklum, mengingat saya dan kakak saya lahir ketika Ibu saya masih menjalani koass. Dan, ketika sumpah dokter, Ibu sedang hamil tua adik saya yang nomor tiga. Sementara, Bapak saya ketika itu sedang menempuh studi magister jurusan agama Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Kondisi di atas yang membuat orangtua saya harus berjibaku untuk merawat kami, anak-anaknya. Seingat saya, kakak saya dititipkan kepada kakek dan nenek. Saya dititipkan di Tempat Penitipan Anak. Sementara, adik saya diasuh bergantian, antara dibawa Ibu atau Bapak ke kampus, atau dititipkan kepada asisten rumah tangga.
Cerita di atas sekilas hanya menjadi sejarah dalam kehidupan saya. Namun nyatanya, bayangan tentang bagaimana tempat saya dititipkan, tentang dinamika kehidupan keluarga saya saat itu, sangat membekas dan memberi pelajaran bagi saya. Pelajaran paling pentingnya adalah soal pentingnya amanah pendidikan dan pengasuhan anak.
*****
Setelah Rafika lahir, banyak yang menanyakan kepada kami, tentang bagaimana rencana kami ke depan. Hal ini mengingat, saya dan Dek Zahra, sama-sama sedang dalam masa studi. Siapakah yang harus mengalah untuk menjaga Rafika? Apakah Rafika akan dititipkan? Bagaimana melanjutkan studi setelah Rafika lahir? Dan pertanyaan seterusnya.
Pada prinsipnya, kami yakin betul bahwa amanah tidak pernah salah memilih pundak. Jelas sekali Allaah swt menyatakan,
"Tidaklah kami bebankan amanah kepada seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuannya..." (Surat Al-Baqarah ayat 286)
Artinya, setiap orang akan mendapatkan bagian amanah sesuai kemampuannya. Kalau kita tidak mampu, tentu Allaah swt tidak akan memberikan kepada kita. Misalnya, kita ingin kuliah di luar negeri atau di jurusan favorit, tapi gagal lolos. Maka, berarti kita yang sekarang belum mampu untuk kuliah di sana. Sebaliknya, dalam skenario lain, ada orang yang kemampuannya jauh di bawah kita, ternyata bisa kuliah di sana. Maka, berarti menurut Allaah swt, orang inilah yang lebih mampu dari kita. Entah karena karakternya, usahanya, potensinya, ataupun doa dan amalannya.
Dengan meyakini prinsip ini, maka kami yakin bahwa lahirnya Rafika menandakan bahwa kami mampu menerima amanah pendidikan dan pengasuhannya dengan baik. Tinggal bagaimana kami berusaha, apakah menjaga amanah ini dengan sebaik-baiknya atau sebaliknya.
Parameter seseorang disebut mampu bisa jadi relatif di hadapan Allaah swt. Bisa jadi secara kualitas dan kuantitas, seseorang dianggap mampu. Namun, ketika dihadapkan pada masalah yang nyata, ternyata kemampuannya masih kurang alias tidak mampu. Kuncinya sebenarnya sudah jelas tertulis dalam lanjutan ayat di atas,
"...Baginya pahala untuk apa yang diusahakannya, dan ia akan mendapat siksaan untuk apa yang diusahakannya..." (Surat Al-Baqarah ayat 286)
Kunci terpenting seseorang dianggap mampu adalah ikhtiar. Mungkin, secara kapasitas kita belum mampu, tetapi ketika kita sudah menempuh jalan untuk meningkatkan kapasitas, dan sudah istiqomah berada di atasnya, inSyaaAllaah Allaah swt akan memberikan hasil yang terbaik.
Jika ikhtiar kita dalam menerima amanah dari Allaah swt, kita laksanakan dengan maksimal, maka tentu ada pahala yang akaj kita dapatkan sesuai ikhtiar kita. Sebaliknya, jika amanah Allaah swt kita sepelekan dan tidak dijaga dengan sebaik-baik, maka hendaknya kita banyak-banyak memohon ampun dan membaca doa lanjutan ayat di atas.
Pertanyaan berikutnya adalah, ikhtiar seperti apakah yang disebut pantas mendapatkan amanah dari Allaah swt? Jawabannya ada di surat At-Taghaabun ayat 16.
"Maka bertaqwalah kalian kepada Allaah swt sesuai dengan kemampuan (terbaik) kalian (ma (i)statha'tum)..."
Penjelasan terbaik dari ayat ini adalah sebuah cerita klasik tentang seorang mujaahid dan murabbi terbaik, yaitu Syaikh Abdullah Azzam. Ketika itu, beliau ditanya tentang ayat ini oleh muridnya. Maka beliau meminta mereka untuk berlari mengelilingi lapangan. Beliau pun juga ikut berlari bersama mereka.
Satu putaran, dua putaran, tiga putaran, dan seterusnya. Semakin banyak putaran, jumlah murid-murid yang ikut berlari semakin berkurang. Sebagian berhenti karena kelelahan, sebagian bermalas-malasan. Sementara itu, Syaikh Abdullah Azzam masih saja berlari meski napasnya mulai tersengal.
Tiba-tiba, Syaikh Abdullah Azzam tampak terhuyung dan jatuh pingsan saat sedang berlari. Para muridnya pun berlari menghampiri beliau dan menolongnya. Saat siuman, beliau berkata dengan ucapannya yang terkenal,
"Wahai muridku, inilah yang disebut "ma (i)statha'tum", sesuai kemampuan terbaik kalian..."
Maksudnya, jika Allaah swt memberikan amanah kepada kita, maka tidak ada pilihan yang lebih baik selain daripada menerimanya dengan kemampuan terbaik yang kita miliki. Entah amanah itu berupa ilmu, kendaraan, rumah, keluarga, anak, kekuasaan, dan lain-lainnya.
*****
Prinsip di atas kami pegang betul dalam menerima amanah berupa anak yang kami beri nama Rafika. Amanahnya jelas, memastikan seluruh keluarga selamat baik di dunia maupun di akhirat. Tinggal bagaimana implementasi dalam kehidupan nyata yang penuh fitnah dan ujian ini.
Dalam konteks Rafika, kami tidak akan menitipkan amanah pendidikan dan pengasuhan Rafika pada orang lain kecuali kami tidak lagi mampu memberikan pendidikan dan pengasuhan yang terbaik. Hal itulah yang dulu saya alami ketika masih kanak-kanak sebagaimana ucapan Bapak dan Ibu saya di awal tulisan ini.
Lagi-lagi parameter kemampuan di sini bersifat relatif. Tergantung bagaimana situasi dan kondisi. Seperti kami misalnya, kami memilih menunda menyelesaikan studi untuk mendidik dan mengasuh Rafika dahulu karena memang tahapan studinya bisa ditunda. Selain itu, kami juga masih bisa hidup layak dengan amanah kepada masyarakat yang hampir tidak terganggu sama sekali.
Kondisinya akan berbeda jika kemudian studi kami harus segera selesai karena biaya sudah terbatas. Kondisinya juga berbeda jika kami harus bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kondisinya juga akan berbeda jika Rafika memiliki adik yang menuntut kami untuk memperbesar kapasitas lagi. Kondisinya akan berbeda jika kami dituntut keluar dari rumah untuk belajar atau kontribusi bagi umat.
Jika terdapat kondisi yang mengganggu urusan primer tersebut, maka itu berarti kami sudah tak mampu lagi memberikan pendidikan dan pengasuhan terbaik bagi anak kami. Pilihan terbaiknya adalah menitipkannya pada pihak yang lebih amanah. Entah itu Tempat Penitipan Anak, Pendidikan Anak Usia Dini, Taman Kanak-Kanak, Pondok Pesantren, dan seterusnya.
*****
Untuk saat ini, kami masih berusaha dengan kemampuan terbaik kami, agar seluruh amanah kami bisa berjalan semua. Amanah pendidikan dan pengasuhan Rafika. Amanah mengelola Rumah Tahfidz Al-Falah. Amanah sebagai anak dan mertua. Amanah sebagai mahasiswa pendidikan profesi dokter. Dan amanah-amanah lainnya.
Jika harus membawa Rafika ke kampus sambil kuliah, itu buka sebuah perkara besar. Jika harus membawa Rafika ikut mengisi materi, that's not a big deal. Bahkan, kami bersyukur Rafika bisa menemani kami dalam aktivitas kami. Selain menjadi hiburan bagi kami, juga menjadi pendidikan bagi Rafika. Kelak, jika harus "dikorbankan" salah satu amanahnya, maka asasnya harus tetap maslahat untuk umat.
Untuk menutup tulisan ini, ada sebuah doa yang sebaiknya kita baca setiap ada kesempatan agar kita tidak lalai dan celaka karena amanah yang kita terima dari Allaah swt. Doanya ada di akhir surat Al-Baqarah ayat 286.
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau kami berbuat salah (dengan amanah yang Engkau berikan pada kami). Ya Tuhan kami, janganlah Engkau membebani kami tanggung jawab seperti telah Engkau telah bebankan atas orang-orang sebelum kami (yang mereka celaka karenanya). Ya Tuhan kami, janganlah Engkau membebani kami apa yang kami tidak kuat menanggungnya. Dan maafkanlah kami, ampunilah kami, serta kasihanilah kami, karena Engkau-lah Pelindung kami. Maka, tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir."
62 notes · View notes
k-fahmi · 5 years ago
Text
Harga Menjadi Orangtua
Sejak memutuskan untuk menjadi ayah dua puluh empat jam bagi Rafika, banyak hal yang berubah dalam hidup saya. Mulai dari soal prioritas, jadwal harian, sampai milestone yang saya buat. Ini kali kedua saya mengubah life plan dan milestone kehidupan untuk menyesuaikan kondisi. Yang pertama, ketika saya “mendadak” menikah.
Sebenarnya sebelum Rafika lahir, saya dan Dek Zahra sudah mempersiapkan sedemikian rupa menyambut kelahirannya. Barang-barang yang perlu dibeli dimasukkan dalam wishlist lalu dipilih sesuai prioritas agar sesuai dengan saldo yang kami alokasikan. Pekerjaan dan tanggungan yang belum selesai dimaksimalkan agar selesai sebelum Rafika lahir. Bahkan, sampai jadwal harian dan pembagian tugas pasca Rafika lahir sudah kami rencanakan.
Hal tersebut kami lakukan sebagai ikhtiar untuk menyambut Rafika dalam kondisi terbaik. Mengingat hari-hari menjelang kelahiran Rafika, tanda-tanda persalinan seolah tak kunjung muncul. Kami berharap dengan ikhtiar tersebut, Rafika bisa segera lahir dan penantian kami berganti dengan tanggung jawab.
*****
Namun kenyataannya, ketika Rafika lahir, semuanya menjadi berantakan. Jadwal yang kami susun sebelumnya kacau. Pembagian tugas tidak lagi berlaku, siapa yang mampu dan masih ada tenaga, dialah yang mengambil tanggung jawab. Segalanya serba heboh dan chaos. Keadaan ini berjalan kurang lebih sampai dua minggu lamanya.
Kami tak lagi bisa meluangkan waktu untuk menulis. Waktu bersama Al-Quran untuk ziyadah maupun muroja’ah pun sebisanya. Dan yang paling kami khawatirkan adalah berantakannya amalan yaumiyah yang sudah kami jalankan selama ini. Ya, mungkin ini bagian dari risiko yang tidak kami perhitungkan ketika memutuskan untuk tinggal sendiri bertiga pasca persalinan Dek Zahra.
Mungkin terkesan lebay, tapi begitulah yang kami alami. Waktu itu, hampir setiap jam Rafika bangun, entah karena ingin minum ASI, gumoh, kolik perutnya, atau karena BAK dan BAB. Kami pun bergantian siaga untuk membantu Rafika agar tenang kembali. Entah berkah atau musibah, kami tinggal sendiri hanya bertiga, sehingga kami bisa mengatur segalanya sesuai sistem dan preferensi kami. Tidak ada intervensi dari orangtua. Sehingga kami cukup nyaman meski banyak kurang maksimal karena belum berpengalaman.
Dua minggu berjalan, kami mulai mendapatkan polanya. Kapan Rafika lapar, kapan Rafika akan BAB, apa tanda kalau dia tidak nyaman, dan seterusnya. Kami pun mulai menyusun ulang jadwal harian. Kapan harus mencuci, melipat baju, membersihkan rumah, hingga keluar untuk belanja. Dan, alhamdulillaah, sampai hari ini kami terus belajar lifehack dan pola kehidupan Rafika yang berubah seiring perkembangannya.
Kami juga belajar bagaimana memberikan treatment untuk Rafika supaya nyaman dan tentang. Mulai dari digendong tegak, digendong tengkurap, dibacakan Al-Quran, diperdengarkan dzikir dan shalawat, dan segala macam treatment lainnya. Ya, banyak sekali hal yang kami pelajari khusus untuk Rafika, baik dari buku, pengalaman orangtua, cerita teman, dan lainnya. Itupun kami pilih dan dibuat custom untuk Rafika.
*****
Dua minggu pertama kelahiran Rafika, benar-benar mengajari kami tentang harga menjadi orangtua. Ya, setiap kali saya kelelahan menggendong, punggung saya sakit saat mencuci popok, saya jadi lebih banyak ber-istighfaar atas semua dosa saya terhadap orangtua. Betapa mahal harga menjadi orangtua bagi seorang anak. Cinta orangtua terhadap anak akan menuntut pengorbanan seluruh aspek kehidupannya. Mulai dari pekerjaannya, karirnya, waktunya, sampai perhatiannya. Itulah harga yang harus dibayar sebagai orangtua.
Saya kadang menangis ketika sedang sangat lelah. Ya, saya menangisi betapa teganya saya membantah orangtua. Betapa beraninya saya menyakiti hati orang yang dulu melakukan hal yang saat ini saya lakukan. Saya menangis karena membayangkan bagaimana sakit hatinya Bapak dan Ibu ketika saya marah atau tidak taat pada mereka. Astaghfirullaah.
Pantas sekali!
Pantaslah jika Al-Quran yang merupakan kalaamullaah mengatakan,
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai pada usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Surat Al-Isra’ ayat 23).
Lihatlah bagaimana Allaah swt dengan jelas mengingatkan kita tentang cara bergaul dengan orangtua. Bahkan, sekedar membantah dengan kata “ah” saja sudah cukup akan menyinggung perasaan orangtua. Apalagi jika kemudian membentak dan memarahinya. Dan saking pentingnya perintah berbuat baik kepada kedua orangtua itu, Allaah swt meletakkannya tepat setelah perintah untuk ber-tauhid kepada Allaah swt.
Meski begitu, bagaimana pun mulianya orangtua, mereka tentu pernah salah. Dan ketika orangtua salah, wajib bagi kita untuk mengingatkannya, bukan malah menjerumuskannya. Maka, perhatikanlah bagaimana Allaah swt mengajarkan adab untuk mengingatkan orangtua yang salah di akhir ayat di atas dan ayat berikutnya.
Pertama, yaitu mengingatkan dengan perkataan yang mulia. Dalam arti, puji terlebih dahulu pendapat atau tindakan orangtua kita. Besarkan hatinya terlebih dahulu. Baru kemudian kita berikan contoh atau pilihan lain yang lebih baik dan tepat untuk dilakukan.
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sewaktu kecil.” (Surat Al-Isra’ ayat 24)
Dan seluruh tahapan perkataan yang mulia di atas harus dilakukan dengan cara yang rendah diri. Ingat! Tidak cukup rendah hati di hadapan orangtua, tapi harus rendah diri. Posisi kita terhadap orangtua harus lebih rendah. Seperti misalnya seorang budak terhadap tuannya, seorang karyawan terhadap majikannya, seorang tentara kepada jenderalnya, dan seterusnya.
Dan jika nasehat serta peringatan yang kita sampaikan tidak digubris oleh orangtua, kita tak bisa memaksa mereka. Ingatlah posisi kita yang harus lebih rendah. Maka, adab yang diajarkan oleh Allaah swt ketika kita bertemu dengan kondisi ini adalah mendoakan mereka seperti yang diajarkan oleh Allaah swt di akhir ayat di atas,
"Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sewaktu kecil."
Satu hal penting lagi yang Allaah swt ajarkan kepada kita tentang adab bergaul dengan orangtua adalah, tidak boleh kita membenci, marah, ataupun kesal dengan keputusan orangtua. Allaah swt yang Maha Lembut telah memfirmankan peringatannya,
“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.” (Surat Al-Isra’ ayat 25).
Seluruh tindakan kita terhadap orangtua tidak boleh ada benci atau kesal sedikitpun. Karena sewaktu kecil, orangtua tidak pernah kesal ataupun membenci kita meski kita sering menyulitkan mereka, membuat mereka sakit, bahkan mempermalukan mereka.
Perhatikan bagaimana lembutnya Allaah swt mengingatkan kita, Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Mungkin di depan orangtua, kita tetap taat, kita tetap tersenyum. Tapi, begitu di dalam hati kita ada wajah yang berbeda, misalnya kesal, nggerundel, marah, dan lainnya, maka ridho Allaah swt tidak akan sampai pada kita.
Dan adab yang Allaah swt ajarkan kepada kita tentang bergaul dengan orangtua ini ditutup dengan ajakan untuk banyak-banyak memaafkan kesalahan orangtua agar kita tidak mudah menyimpan kesal dan amarah di dalam hati. Kenapa? Karena sebanyak apapun dosa dan kesalahan orangtua kepada kita, masih lebih banyak dosa dan kesalahan kita kepada Allaah swt. Dan bergaul dengan cara yang terbaik terhadap orangtua adalah sumber ampunan dosa kita dari Allaah swt.
Dan sepertinya, itulah yang hendak disampaikan oleh Rasuulullaah saw dalam haditsnya berikut ini,
“Celaka orang itu, celaka orang itu, celaka orang itu!” Para sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasuulullaah, siapakah yang engkau maksud?” Rasuulullaah saw menjawab, “Orang yang celaka adalah orang yang mendapati kedua orangtuanya masih hidup, atau salah satu darinya, tapi dia masuk neraka (karenanya).“
Allaahumma (i)ghfirlanaa wa liwaalidainaa wa (i)rhamhum kamaa rabbaunaa sighaaraa. Semoga kita bisa beradab yang baik terhadap setiap orangtua kita, yang padanya tertawan keridhaan dan rahmat Allaah swt untuk kita.
116 notes · View notes
k-fahmi · 5 years ago
Text
Identitas Perempuan
Salah satu hal yang kami sepakati ketika Rafika lahir adalah, kami tidak akan membuatkan lubang di daun telinganya sebagai tempat anting dan sejenisnya alias tindik. Sebuah kesepakatan sederhana bagi kami namun menjadi heboh karena banyak keluarga besar yang menanyakan alasannya. Bahkan, ada yang mengatakan kalau tidak ditindik, nanti bisa jadi tomboi kalau sudah besar.
Tapi kami tetap bergeming. Pilihan sudah dibuat dan prinsip tidak boleh dilanggar kecuali alasan syariat. Begitulah kami membangun nilai dalam keluarga. Dan sejauh yang kami pelajari, hukum menindik telinga paling kuat adalah mubah, bukan sunnah apalagi fardlu.
Alasan utama kami untuk tidak menindik telinga Rafika adalah karena kami ingin mengajarkan kepadanya kelak tentang dua hal. Pertama, adalah soal identitas perempuan, dalam hal ini adalah hijab. Di manapun, perempuan adalah makhluk yang mahjuub, harus tertutup dan terlindungi. Dan dalam ketertutupannya tersebut, perempuan akan terjaga kehormatannya dalam setiap aktivitasnya. Menjadi apapun kelak, selama Rafika menutup dan melindungi tubuhnya, maka dia akan terhormat sebagai perempuan seutuhnya.
Inilah mengapa setiap kali ada yang menyatakan bahwa bayi perempuan ditindik supaya jelas identitasnya, kami membalas dengan argumen tersebut. Identitas perempuan adalah hijabnya. Fitrah perempuan ada di dunia sebagai makhluk yang terjaga dan terlindungi. Untuk tujuan tersebut, perempuan harus senantiasa tertutup ketika di luar atau menetap di dalam rumah.
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allaah swt adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Surat Al-Ahzab ayat 59)
Ayat di atas dengan jelas mengajarkan kepada kita tentang syariat hijab dan tujuannya bagi perempuan yang beriman. Jilbab dikenakan untuk menutupi seluruh tubuh, tidak membentuk lekuk tubuh. Kemudian, dijelaskan pula tujuan penggunaan jilbab ada dua hal. Pertama, yaitu supaya perempuan mudah dikenal, yang bisa diartikan bahwa jilbab adalah identitas khas perempuan. Kedua, supaya perempuan terjaga kehormatannya dan tidak diganggu dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, baik di luar maupun di dalam rumah.
Inilah pelajaran penting yang hendak kami ajarkan kepada Rafika kelak. Tentu, menjelaskan perkara ini jauh lebih mudah dan bermanfaat dibanding kami harus menjelaskan alasan mengapa ia harus ditindik. Dan satu hal yang hendak kami ajarkan pula kelak adalah, bahwa esensi dari berhijab adalah untuk menutup. Sehingga, tidak pantas kemudian hijab dijadikan sebagai tontonan di muka umum dan menarik banyak orang. Karena hal tersebut jelas menyalahi nilai hijab itu sendiri.
Alasan kedua, kami ingin mengajarkan Rafika bahwa perhiasan terbaik adalah akhlak yang mulia dan pakaian terbaik adalah pakaian taqwa. Jika alasan membuat tindik adalah agar kelak ia bisa berhias dan tampil cantik, maka kami ingin memahamkan dirinya bahwa sebaik-baik perhiasan di dunia adalah akhlak mulia yang ada dalam dirinya.
"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allaah swt, mudah-mudahan mereka selalu ingat." (Surat Al-A'raaf ayat 26)
Sekali lagi, Allaah swt mengajarkan kepada manusia, bahwa tujuan diciptakannya pakaian adalah menutup aurat. Maka, jika kemudian pakaian yang kita gunakan masih menampakkan aurat, membentuk lekuk tubuh, sesungguhnya kain yang menempel di tubuh kita tersebut tidak layak disebut sebagai pakaian. Karena secara fungsi dasar dan nilai yang ada dari sebuah pakaian tidak terpenuhi.
Dalam ayat di atas pula, sebenarnya Allaah swt juga mengajarkan bahwa pakaian yang indah, menarik, berwarna cerah, memang diciptakan untuk berhias. Hal ini karena sifat dari pakaian tersebut yang menarik setiap orang yang memandangnya. Namun, Allaah swt langsung mengajarkan hal penting berikutnya, bahwa sebaik-baik pakaian adalah ketaqwaan kepada Allaah swt. Sehingga, tidak bernilai lagi seluruh pakaian indah dan menarik di hadapan Allaah swt jika pemakainya tidak bertaqwa kepada-Nya.
Rasuulullaah saw juga menguatkan firman Allaah swt di atas. Dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra, beliau saw bersabda,
"Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah." (H.R. Muslim)
Kami ingin mengantisipasi agar Rafika tumbuh menjadi orang yang tidak menghabiskan waktu dan uang untuk berhias. Penampilan memang harus rapi dan enak dipandang, namun tidak harus berlebihan. Waktu dan uang akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk beramal shalih atau bercengkrama menuntut ilmu.
Semoga Rafika tumbuh dalam penjagaan dan lingkungan yang baik, berkembang menjadi sebaik-baik perhiasan dunia, dan terlindung dalam hijab kehormatan dirinya.
67 notes · View notes
k-fahmi · 6 years ago
Text
Ayah 24 Jam
“Assalaamu’alaikum, Kak Rafika. Ayah pulang, bawa berita gembira buat Kak Rafika. Ayah sekarang bisa jadi ayah 24 jam untuk Kak Rafika.“
Saya pulang dari kampus dengan perasaan bahagia penuh haru. Ya, untuk pertama kalinya, saya merasa begitu bebas dari semua ikatan dan aturan akademik dunia per-koass-an. Dan ini berarti, saya bisa fokus menjadi ayah 24 jam untuk Kak Rafika. Sebuah kenikmatan yang Allaah swt berikan saya kesempatan untuk mendapatkannya.
*****
Setelah Rafika lahir, kami memang berencana untuk langsung aktif kembali agar segera menuntaskan amanah belajar kami. Rencananya, saya dan Dek Zahra akan bergantian menyesuaikan jadwal agar tetap bisa mengasuh Rafika. Hal ini, mengingat saya sudah selesai koass dan tinggal bimbingan untuk ujian akhir, dan jadwal koass Dek Zahra juga tidak terlalu padat.
Namun, ternyata Allaah swt berkehendak lain. Jadwal bimbingan saya mengharuskan untuk masuk setiap hari dan bersifat wajib. Jika tidak mengikuti bimbingan, maka tidak diperbolehkan mengikuti ujian akhir. Sebuah ikhtiar dari pihak kampus untuk memastikan kelulusan mahasiswanya dan menjaga kualitas kampus, begitu kata admin dari Kantor Program Studi. Beliau juga menambahkan, jika saya tidak ikut ujian akhir periode ini, maka saya tetap dianggap ikut ujian tapi tidak lulus. Kesimpulannya, saya tidak punya pilihan lain selain mengikuti bimbingan dan ujian akhir periode ini.
Saya tidak mau menyerah begitu saja. Saya yakin pasti ada jalan tengah yang akan menjadi win-win solution baik untuk saya maupun kampus. Maka, saya dengan sedikit memaksa, menjelaskan kepada admin tersebut tentang perbandingan untung-rugi terkait masalah ini.
Opsi pertama, saya ikut bimbingan dan ujian akhir. Maka, saya tetap memiliki kemungkinan antara lulus atau tidak. Dengan catatan kemungkinan lulus akan lebih besar mengingat saya sudah siap ujian karena bimbingan yang diberikan kampus. Namun, opsi ini jelas tidak bisa saya pilih karena saya harus bergantian mengasuh Rafika dengan Dek Zahra. Meski begitu, kampus sangat yakin ini opsi terbaik.
Opsi kedua, saya tidak ikut bimbingan, atau ikut bimbingan semampunya, sehingga saya tidak ikut ujian akhir periode ini dan menunda ke periode berikutnya karena tidak memenuhi syarat, yaitu kewajiban ikut bimbingan. Akibatnya, saya dianggap ikut ujian dan otomatis tidak lulus, sehingga akan memperbesar presentase mahasiswa yang tidak lulus ujian. Tentu, baik saya maupun kampus akan dirugikan.
Opsi ketiga, saya tidak ikut bimbingan, atau ikut bimbingan semampunya, namun saya diizinkan untuk mengikuti ujian akhir. Dalam opsi ini, saya memiliki kemungkinan untuk lulus walaupun tidak sebesar opsi satu. Opsi ini menurut saya terbaik, tapi tidak menurut kampus karena kemungkinan lulusnya tidak meyakinkan.
Setelah saya jelaskan opsi-opsi di atas, ternyata admin Kantor Program Studi masih tetap tidak mau tahu. Akhirnya, saya mengambil jalan terakhir yang legal. Saya meminta beliau untuk membuat janji dengan Ibu Dekan Fakultas agar saya bisa berbicara dengan beliau langsung sebagai penanggungjawab. Saya yakin,
Setiap manusia punya hati, yang bisa lebih fleksibel dalam menyikapi sebuah aturan yang baku.
Sayangnya, birokrasi membuat saya harus menunggu lebih lama karena saya harus mengajukan surat terlebih dahulu.
Esoknya, saya mencoba menghubungi salah satu admin Kantor Program Studi yang lain. Kebetulan kami kenal dekat, sering diskusi dan mengobrol hangat saat di masjid. Saya pun meminta bantuan beliau untuk mempertemukan dengan Dekan Fakultas. Dan voila, tanpa harus surat-menyurat dan menunggu lama, saya bertemu dengan Dekan Fakultas hari itu juga.
Saya pun akhirnya mengonsultasikan kondisi saya kepada beliau. Dari informasi yang saya jelaskan, beliau merekomendasikan saya untuk menunda ujian akhir ke periode yang berikutnya. Jaraknya kurang lebih sekitar tiga sampai empat bulan. Ketika saya ceritakan keterangan dari admin hari sebelumnya, beliau menjelaskan bahwa kondisi tersebut berlaku jika mahasiswa sudah didaftarkan ke panitia nasional. Jika belum, maka tinggal membuat surat pengunduran diri dari ujian akhir periode ini kepada beliau selaku Ketua Program Studi. Nantinya, beliau yang akan mengurus sehingga saya tidak didaftarkan sebagai peserta ujian.
Memang, sesuai dengan informasi yang beredar sebelumnya, seharusnya hari itu sudah penutupan pendaftaran peserta ujian akhir nasional. Namun, entah kenapa sampai hari ketika saya bertemu dengan Dekan Fakultas, pendaftaran ujian akhir belum dibuka. Ya, mungkin rezeki anakmu, kata Ibu Denny, selaku Dekan Fakultas. Dan mungkin memang benar, karena ternyata pembukaan pendaftaran baru dibuka hari setelah saya diskusi dengan Dekan Fakultas tersebut. Allaahu akbar!
Saya begitu bersyukur hari itu, bertemu dengan Ibu Dekan Fakultas. Beliau malah memberikan banyak nasehat dan saran terkait menjadi ayah dan bunda baru. Beliau mendukung penuh dan berjanji akan membantu semampunya agar saya bisa menyelesaikan studi dengan baik. Sungguh, nasehat dari pengalaman beliau sangat membantu saya dan Dek Zahra dalam beradaptasi.
*****
Menjadi ayah 24 jam, tentu tidak banyak laki-laki yang memilihnya. Sebagai laki-laki, kebanyakan berusaha untuk meneruskan jenjang karir, baik itu pendidikan maupun pekerjaan. Hal ini karena berkaitan dengan ikhtiar mereka sebagai kepala keluarga yang harus menafkahi dan mengelola keluarganya.
Saya, mengambil keputusan untuk menjadi ayah 24 jam bagi Rafika selama Dek Zahra koass, juga mempertimbangkan hal tersebut. Konsekuensinya, saya akan menunda kelulusan sebagai dokter. Akibatnya, internship-nya harus molor sampai Dek Zahra selesai koass. Pastinya, akan banyak tertinggal dari teman-teman seangkatan lainnya.
Banyak orang yang menyayangkan keputusan tersebut. Mulai dari keluarga, teman-teman, hingga tetangga. Meski begitu, saya tetap mengambil pilihan tersebut. Karena pilihan tersebut adalah bentuk komitmen saya, untuk memberikan kesempatan kepada Dek Zahra menyelesaikan dan kelak melanjutkan studi maupun profesinya. Di sisi lain, saya juga harus berkomitmen bahwa keluarga adalah yang utama. Inilah komitmen yang sama-sama kami sepakati bersama di awal menikah.
Konsekuensi dari komitmen tersebut, sudah pasti kami akan tertinggal karena lebih lambat berjalan dan berproses. Kami sudah siap dengan pilihan tersebut. Kami tidak sampai hati untuk menitipkan pengasuhan Rafika kepada pembantu atau asisten rumah tangga. Kami ingin mengasuhnya langsung, menanamkan nilai-nilai keimanan ke dalam dirinya, dan membersamai proses tumbuh kembangnya.
*****
Dan begitulah kemungkinan hari-hari kami berjalan sampai minimal setahun ke depan. Saya akan menjadi ayah 24 jam bagi Rafika yang mengasuh dan menjaganya selama Dek Zahra koass. Saya begitu bersyukur dengan kondisi ini karena saya begitu merasakan ikatan kekeluargaan dan kebersamaan kami semakin kuat. Saya pun juga mendapatkan kebebasan untuk melakukan hal-hal yang saya sukai untuk mengisi waktu bersama Rafika.
Yaa Allaah, sungguh anak dan keturunan adalah amanah dari-Mu yang menjadi ujian keimanan kami. Sementara, dalam hadits nabi-Mu, beliau bersabda bahwa anak perempuan sendiri adalah ujian. Maka, berilah kekuatan dan petunjuk kepada kami dalam mendidik dan mengasuh Rafika, dan bantu kami untuk menjaganya, agar kelak Engkau berkenan menjadikannya alatmu untuk menegakkan dan mendakwahkan agama-Mu di muka bumi ini.
59 notes · View notes
k-fahmi · 6 years ago
Text
Rafika Anisah Hafiyya
Hari itu, kami berencana untuk kontrol kehamilan pada bulan ketujuh. Sesuai jadwal, kontrol kali ini, kami akan pergi ke dokter spesialis kandungan untuk melakukan USG lagi. Dua bulan sebelumnya, kami sudah kontrol ke dokter spesialis. Ketika itu, kami diberi informasi jika janin yang dikandung dalam kondisi sehat, air ketuban cukup, berat badan sesuai. Perkiraan jenis kelamin calon anak kami adalah perempuan.
Informasi terakhir tersebut membuat kami sedikit kecewa. Ya, jujur sejak awal, kami berharap anak pertama kami adalah laki-laki. Harapannya, supaya kami bisa mengajaknya untuk berjuang bersama dan kelak menjadi teladan bagi adik-adiknya. Namun, sepertinya Allaah swt berkehendak lain. Begitu pula hasil pemeriksaan USG kali ini. Lagi-lagi dokter mengatakan kemungkinan besar jenis kelamin janin adalah perempuan. Sebagai keluarga yang berlatar belakang ilmu kesehatan, kami tahu informasi tersebut memang tidak menjamin kepastian. Namun, hampir pasti selalu benar, apalagi jika posisinya janinnya bagus.
Entah kenapa, dalam kekecewaan tersebut, tiba-tiba saya teringat kisah bangsa Arab jaahiliyyah. Sejarah kelam yang menggambarkan betapa memalukannya memiliki anak perempuan. Sejarah tentang umat yang tidak memiliki penghargaan terhadap perempuan. Perempuan hanya dihargai sebagai teman tidur, pelayan rumah tangga, dan pabrik anak laki-laki.
Di sisi lain, begitu Islam datang, perempuan begitu dimuliakan. Mereka dijaga sedemikian rupa dan dididik supaya memiliki ilmu dan akhlak yang mulia. Sebagian menjadi ‘ulamaa‘, sebagian lainnya menjadi pejuang yang ikut berperang bersama Rasuulullaah saw, dan sebagian besar lainnya menjadi barisan pendukung dakwah suami dan anak-anaknya.
Jika kemudian kami masih kecewa diberi amanah anak pertama seorang perempuan, maka ini berarti mental kami belum terlepas dari mental jaahiliyyah. Tentu ini adalah sebuah kemunduran paling jauh setelah usaha kami untuk berkembang selama ini. Kita memang boleh berharap tentang sesuatu, tetapi jangan sampai harapan tersebut ditunggangi oleh nafsu yang kemudian dijadikan setan menjadi celah untuk merusak keikhlasan kita. Dan kami, baru saja gagal mengantisipasi celah ini.
Astaghfirullaah, kami pun beristighfar banyak-banyak. Sungguh, keinginan dan harapan kami membuat kami lupa bahwa yang berhak menentukan takdir terbaik adalah Dia, Allaah swt. Padahal, jika merujuk pada perkataan ‘Ali ibn Abi Thaalib ra, seharusnya kami bergembira sepuluh kali lipat karena ketentuan Allaah swt berbeda dengan harapan kami, karena itu berarti jelas sebuah jaminan hasil yang lebih baik.
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Surat Al-Baqarah ayat 216).
*****
Setelah melewati proses penerimaan dan pembelajaran tersebut, akhirnya kami bisa menerima kenyataan bahwa anak pertama kami kemungkinan besar perempuan. Kami pun mulai bergegas mengejar keterlambatan persiapan penyambutannya. Kami memohon ampun atas kebodohan kami, beristighfar sebanyak mungkin, kami perbanyak sedekah, dan tambah amalan yaumiyah kembali.
Kami juga me-muraaja’ah kembali catatan kajian dan buku-buku tentang pendidikan anak perempuan. Kami mulai menghitung anggaran untuk aqiqah, biaya persalinan, dan lainnya. Tak lupa, kami juga belanja kebutuhan dan perlengkapan bayi. Kami benar-benar ingin bertemu dengan anak pertama kami dalam kondisi terbaik secara ruhiyah maupun jasadiyah.
Dalam prosesnya, alhamdulillaah betapa Allaah swt begitu baik menyemangati kami untuk lebih bersyukur. Pernah tiba-tiba ketika saya sedang koass, dokter konsulen saya bercerita tentang anak-anaknya di tengah bimbingan koass,
“Anak perempuan itu menyenangkan. Beda sama anak laki-laki. Anak saya, pertama dan kedua laki-laki, itu susahnya minta ampun kalau diatur. Disuruh belajar, malah main game. Game-nya diambil langsung marah-marah. Kalau anak perempuan saya yang nomor tiga, nyenengin banget. Tiap pulang langsung lari menyambut gembira. Kalau mau berangkat, tiba-tiba udah di depan bawain sepatu saya. Nyenengin banget lah pokoknya.“
Saya hanya senyum-senyum mendengarnya. Yaa Allaah, ini kenapa tiba-tiba bimbingan koass-nya jadi menyambung ke masalah pribadi. Alhamdulillaah ‘alaa kulli haal.
Atau dalam sesi yang lain, pernah juga saya sedang berada di Poli Bedah Anak bersama seorang dokter konsulen. Beliau sangat ramah dan pandai menarik perhatian anak kecil. Beliau juga bilang,
“Kalau anak perempuan, biasanya akan lebih cepat berkembang kemampuan afektif dan emosinya dibanding motoriknya. Beda sama laki-laki. Jadinya, lebih menyenangkan kalau diajak bepergian, ketemu banyak orang, cepet bisa senyum dan diajak main.“
Setiap kali ada kejadian seperti itu, saya selalu sharing dengan Dek Zahra supaya menambah rasa syukur kami bahwa kami dikaruniai anak perempuan. Ya, mungkin ini bagian yang menyenangkan. Tentu ada pula bagian sulit dan tidak menyenangkan memiliki anak perempuan. Toh, masing-masing anak terlepas dari jenis kelamin memiliki tantangan dan potensinya sendiri-sendiri.
*****
Hal terakhir yang kami persiapkan adalah soal nama. Ya, kami harus mengubah nama yang sudah direncanakan karena awalnya kami berharap anak laki-laki. Maka, waktu dua bulan kurang lebih menjelang lahirnya anak pertama, kami berpikir keras untuk membuat nama terbaik untuknya.
Sempat terbersit untuk memberi nama seperti kebiasaan Rasuulullaah saw dan para shahaabat-nya dengan nama satu kata saja. Nama panjangnya dinisbatkan kepada nama ayahnya. Namun, setelah kami pikir dan diskusikan, persoalan nama ini bukan semata soal pertimbangan agama saja, namun juga soal budaya masyarakat sekitar.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan kami antara lain, soal arti dari nama. Karena nama adalah doa, kami berharap bisa memberinya nama terbaik, terutama nama panggilannya, agar menjadi doa sepanjang hayat untuk anak kami. Kedua, apakah nama tersebut bully-able atau tidak. Kami tidak ingin, anak kami menjadi korban bullying karena nama yang kami berikan. Kami ingin anak kami bangga dengan namanya. Ketiga, kami mengambil namanya dari Bahasa Arab. Hal ini karena secara umum, Bahasa Arab identik dengan Islam. Sehingga, siapapun yang menyebut namanya akan tahu bahwa anak kami adalah seorang muslim. Pertimbangan terakhir, sebenarnya tidak penting. Kami ingin anak kami memiliki nama yang huruf terakhir kata pertamanya sama dengan huruf pertama kata berikutnya.
Jadilah nama anak kami adalah,
RAFIKA ANISAH HAFIYYA
Rafika berasal dari kata rafiiqah yang berarti sifat yang lembut, pasangan hidup yang setia, dan teman yang baik. Kami ingin anak kami menjadi pribadi yang penuh kelembutan, karena kelembutan adalah kunci memikat hati seseorang. Kami juga berharap dari nama Rafika, agar dia menjadi pasangan yang setia untuk suaminya kelak. Senantiasa membersamai dan mendukung dalam kebaikan di kala susah maupun senang. Kami juga berdoa, semoga dia bisa menjadi sebaik-baik sahabat bagi teman-temannya. Sahabat yang peduli dan paham bagaimana harus berbuat. Sahabat yang bisa membawa orang-orang yang berkawan dengannya bersama ke surga.
Anisah berasal dari kata aniisah yang berarti api yang menerangi, sumber kebahagiaan dan ketenangan, dan sahabat karib. Dalam sebuah syair arab dikatakan, ni’matul aniis fiz zamaani kutubun. Sebaik-baik teman sepanjang waktu adalah buku. Teman di sini diartikan dari kata aniis didefinisikan sebagai buku, karena sifat teman yang bisa menerangi, membahagiakan, menenangkan, adalah buku. Maka, kami berharap agar anak kami bisa menjadi pelita dalam kegelapan, sebagaimana menerangi hati orangtuanya yang sempat jatuh dalam ke-jaahiliyyah-an. Kami juga ingin agar ia menjadi sumber kebahagiaan dan ketenangan orang-orang di sekitarnya. Untuk itulah, kami memberinya nama yang berikutnya, yaitu hafiyya.
Hafiyya berasal dari kata hafiyyah, bentuk perempuan dari hafiyy yang berarti orang yang berwawasan luas ilmunya. Kami berdoa, semoga anak pertama kami menjadi seperti buku yang menjadi rujukan orang bertanya. Dia bisa menenangkan orang-orang bermasalah di sekitarnya dan membahagiakan mereka dengan keputusannya yang adil dan sesuai dengan ajaran Islam.
Inilah doa kami untuknya yang terkandung dalam namanya. Semoga bisa menjadi penjaga dalam dirinya, penentu takdirnya, dan terkabul seiring berjalan usianya.
*****
Satu hal lagi yang menjadi pengingat kami tentang anak pertama kami adalah hadits berikut ini,
“Barangsiapa yang diuji dengan anak-anak perempuan, kemudian dia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anak perempuan tersebut akan menjadi penghalang bagi orangtuanya dari siksa api neraka.” (H.R Muslim nomor 2629)
Amanah anak jelas merupakan sebuah ujian. Maka, jika disebutkan lebih jelas dalam hadits bahwa anak perempuan adalah ujian, maka berarti akan lebih berat ujian yang Allaah swt berikan.
Rafika, semoga engkau bisa menjadi penghalang bagi kami, orangtuamu, dari api neraka.
Allaahumma inni u’iidzuhaa bika wa dzurriyyatahaa min kulli ‘ainin laamatin, wa minasy syaithaanir rajiim. Allaahumma (i)j’alhaa kamaa da’aunaaka fii ismihaa, wa (i)j’alhaa min ahlil’ ilmi, wa min ahlil khairi, wa min ahlil quraani, wa min ahlika fid dunyaa wal aakhirah.
32 notes · View notes
k-fahmi · 6 years ago
Text
Welcoming My Twenty Fourth
06 Maret 1995.
*****
06 Maret 2019.
Dua puluh empat tahun sudah saya hidup di dunia ini. Bersyukur sekali hingga saat ini masih diberikan nikmat kehidupan, kesehatan, dan keimanan. Tiga nikmat yang ketika didapatkan bersamaan akan memastikan keselamatan dan keberkahan. Kalau tidak, maka itu cukup menjadi alamat bahwa kita tidak bersyukur.
Dua puluh empat tahun adalah usia yang krusial bagi kebanyakan orang. Usia ini sering disebut sebagai usia quarter life crisis. Banyak kegalauan di masa ini yang membuat banyak orang menjadi kontraproduktif. Galau soal pekerjaan. Galau soal pernikahan. Galau soal pendidikan. Galau soal karier. Dan berbagai kegalauan yang menghantui pikiran.
Belum lagi ketika godaan media sosial dengan segala penampakan baiknya. Teman seangkatan sudah menikah. Ada yang sudah mapan bekerja. Ada yang menjadi bos startup baru. Ada yang sudah memiliki momongan dan nyaman dengan keluarga baru. Sampai yang suka pamer jalan-jalan berkedok kuliah di luar negeri.
Parahnya lagi ketika kita kemudian disibukkan melihat "kesuksesan" mereka, lalu mulai merenung. Kita mulai membandingkan diri kita dengan mereka. Pencapaian kita, produktivitas kita, tampak tak lagi berharga. Kita mulai menyalahkan diri dan mencari ruang sendiri untuk tenggelam dalam keputusasaan. Tanpa sadar, muncullah sebuah pertanyaan yang menjadi tembok pembatas yang besar di hadapan kita,
"Apalah saya dibanding mereka?"
Seolah kita berada dalam ruangan dan melihat semua kesuksesan orang-orang yang kita kenal dari bingkai jendela.
*****
Saya pernah mengalami masa itu. Bahkan tidak hanya sekali. Terakhir saya mengalaminya ketika sudah menikah. Selepas menikah, saya disibukkan oleh dua urusan yang paling urgen, koass dan nafkah keluarga. Kesibukan yang kemudian menyita waktu untuk melakukan hal yang saya sukai, berkumpul dan travelling dengan teman-teman, menghabiskan waktu bersama buku, dan kegiatan di luar rutinitas lainnya.
Satu-satunya pelampiasan terdekat saat adalah membuka smartphone. Kalau tidak membuka media sosial ya bermain game. Apalagi yang bisa dilakukan saat pikiran dan badan sudah lelah. Sementara, saya tidak bisa beristirahat karena harus jaga malam, sambil lembur mengerjakan tugas, dan lainnya. Dan sejujurnya, itu adalah sebuah kesalahan yang menjerumuskan.
Beruntungnya, saya hanya melakukannya ketika suntuk dan lelah jaga malam. Ketika saya bisa pulang ke rumah, berkumpul bersama keluarga, maka family time selalu bisa menjadi penawar. Kadang, situasi bertambah buruk ketika jadwal jaga malam saya bertambah. Karena itu berarti, rasio penawar dan paparan keburukannya semakin sedikit.
Di momen ketika saya membuka smartphone itulah, setan mulai masuk pikiran. Saya membuka pintu bagi setan dengan mulai tidak mensyukuri nikmat yang telah Allaah swt berikan. Melihat konten media sosial, di saat teman-teman saya bisa jalan-jalan, tampak bahagia dan sukses dengan karier dan pekerjaannya, sementara saya masih harus berkutat dengan koass dan pendidikan. Momen inilah yang membuat saya lalai dari mensyukuri nikmat yang sudah didapatkan. Momen yang membuat saya kurang menghargai pencapaian hasil kerja keras.
Dan, percayalah, bahwa semakin kita abai dengan nikmat yang kita terima, semakin kita tidak bersyukur, semakin banyak pikiran buruk yang akan menambah kegalauan. Karena setan akan masuk ke dalam hati manusia, tepat saat manusia membukanya, yaitu ketika ia tidak dalam kondisi bersyukur.
"Kemudian saya (iblis) akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur." (Surat Al-A'raaf ayat 17).
Sampai saya diingatkan kembali oleh Allaah swt tentang tulisan saya beberapa waktu yang lalu. Saya menuliskan tentang bagaimana pembagian usia dalam kehidupan dengan istilah "Twenty Interval".
*****
Twenty Interval adalah cara saya membagi fase kehidupan dalam interval dua puluh tahun. Dalam setiap dua puluh tahun, kita akan berada di fase bayi, kanak-kanak, remaja, hingga dewasa. Kita akan mengalami fase ketika berbuat kesalahan adalah hal biasa.
Kita akan mengalami masa mencoba-coba sesuatu yang kita sukai. Sampai kita berada di posisi menjadi orang yang berperan dan memberi syafaat untuk orang lain. Lalu kemudian akan ada transisi dari puncak itu menjadi bawah kembali. Di masa inilah, krisis kehidupan dan kegalauan itu muncul kembali.
Saya beberapa kali berbincang dengan teman-teman seusia dan yang sudah mulai menginjak kepala lima. Masing-masing dari mereka gelisah dengan masalahnya. Teman-teman seusia saya hampir kebanyakan menggelisahkan hal yang sama seperti saya. Kapan akan menikah? Kerja dulu atau lanjut pendidikan? Akan tinggal di mana? Dan lain sebagainya.
Sementara, mereka yang sudah menginjak kepala lima, mereka gelisah pada hal-hal yang sifatnya post-materi. Mereka bingung bagaimana memanfaatkan kekayaannya. Mereka bingung bagaimana memperbanyak bekal akhirat. Mereka bingung bagaimana mengisi kegiatan di hari tua. Kebanyakan saya bertemu dengan kelompok ini ketika koass karena merupakan keluarga pasien atau pasien itu sendiri.
Sementara, masa transisi itu saya alami ketika saya berusia antara 20-22 tahun. Di akhir-akhir masa kuliah, saya merasa di puncak kehidupan karena bisa berperan banyak hal, baik di kampus maupun di masyarakat sekitar. Tentu peran pada hal yang saya mampu dan kuasai. Tapi, di sisi lain, saya dibenturkan pada kenyataan dunia yang baru. Dunia sebagai koass yang menjadi batu pijakan untuk jenjang karier berikutnya. Ditambah dengan dinamika sebagai seorang suami muda dan calon ayah sekarang.
Inilah transisi yang saya maksud, dari puncak lalu menjadi terbawah lagi. Ya, mungkin seolah saya tampak lebih maju dengan menikah. Saya juga beberapa kali mengisi materi, menulis artikel, sampai melahirkan buku. Namun, di sisi lain, saya banyak tertinggal dari para suami dan ayah senior. Saya juga belum ada apa-apanya dibandingkan dengan para dokter konsultan. Saya pun dihadapkan kembali pada kegalauan soal pilihan-pilihan di masa depan.
Maka, saya mengambil pengingat bahwa saat ini, ibaratnya saya kembali pada masa kanak-kanak. Usia dua puluh empat tahun ibarat anak usia taman kanak-kanak yang memasuki interval kedua dalam hidupnya. Sebagaimana usia kanak-kanak, saya bebas untuk mencoba segala sesuatu yang menarik dan saya sukai. Saya bebas untuk membuat target dan membentuk pondasi masa depan saya untuk dua puluh tahun interval kedua.
Pola pikir inilah yang kemudian membuat saya menjadi pribadi yang lebih tenang. Karena saya tahu betul, masa depan saya akan jelas selama saya senantiasa bergerak dan berubah. Masa depan akan semakin jelas ketika kita tetap bergerak mendekatinya sesuai jalur yang kita buat. Jika jalurnya tak tampak jelas, maka cara paling realistis untuk membuatnya jelas adalah dengan berjalan mendekatinya. Kita perlu mencoba, dan mengulang jika salah atau gagal. Karena, jika saya diam menyalahkan diri sendiri, melihat penampakan kesuksesan teman-teman, iri dengan apa yang mereka raih, sibuk membandingkan dan menilai diri, maka saya akan semakin tertinggal jauh dari rombongan.
*****
Dan memang itulah yang saya rasakan menyambut usia kedua puluh empat ini. Betapa indahnya hidup sebagai seorang anak berbakti, koass, guru ngaji, suami muda, dan calon ayah di usia kanak-kanak pada Twenty Interval kedua. Perjalanan fase kedua ini tentu masih panjang. Maka, peran-peran tadi harus saya syukuri banyak-banyak agar setan tidak merasuki diri.
Dua puluh empat tahun. Dan saya berada di penghujung masa pendidikan koass. Menanti kelahiran anak pertama. Mendidik istri supaya menjadi haamilul Quran. Jika saya masih merasa sulit untuk bersyukur, maka cukuplah surat Ar-Rahmaan menjadi pengingat,
"Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?"
Tulisan ini saya buat khusus untuk diri saya sendiri, Khoirul Fahmi, yang saat ini menginjak usia dua puluh empat tahun. Semoga ini menjadi pengingat untuk kita. Sebagai penutup dan doa keberkahan umur yang tambah, saya kutip ayat di bawah ini,
"Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali." (Surat Maryam ayat 33).
71 notes · View notes
k-fahmi · 6 years ago
Photo
Tumblr media
[KETIKA IMAN MENJADI JAMINAN] Ada tiga kisah, dua pendek dan satu sedikit panjang, yang membuat saya selalu bermimpi dan optimis. Mimpi tentang bagaimana umat ini benar-benar lahir dalam bentuk yang ideal. Umat Islam yang lahir dalam sosok yang menjadi candu bagi agama lain. Wajah yang kemudian senantiasa memikat orang-orang yang melihat dan mengenal Islam. Ya, saya bermimpi dan sering membayangkan betapa indahnya ketika masa itu tiba. Masa ketika Islam menjadi jaminan kebaikan semua yang terkait dengannya. Baik itu pemeluknya, syariat-nya, ilmunya, muamalah-nya, dan seluruh hal yang berkaitan. Dan tadi siang, selepas menyelesaikan sebuah transaksi jual-beli yang tanpa ribet, saya teringat kembali tentang mimpi itu. Ya, ketika hari itu tiba, saya tak lagi khawatir untuk membeli sesuatu karena penjualnya muslim. Dia tahu betul bagaimana Islam mengatur pembuatan harga, mengatur cara menawarkan barang, dan tidak akan mencurangi pembelinya. Jadi, saya akan dengan senang hati dan ikhlas membeli barangnya. Asas yang wajib ada saat jual-beli, yaitu suka sama suka, saling rela antara penjual dan pembelinya. Inilah wajah indah Islam yang selalu saya bayangkan. Betapa mudahnya kehidupan kita jika semuanya berjalan dengan ketaatan dan keimanan kepada Allaah swt. Tertarik membaca tiga kisah tersebut? Selengkapnya di tulisan terbaru kami di fahmizahranotes.com. Agak panjang sih, tapi semoga layak dibaca untuk menjadi renungan kita. Semoga hari itu segera tiba. Yuk, bantu sama-sama mewujudkannya! . . 📷 @lisanullatifah (at Cilacap, Jawa Tengah, Indonesia) https://www.instagram.com/p/BtlVedxn-bN/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=rll5p7kvgia
10 notes · View notes
k-fahmi · 6 years ago
Text
Prasangka, Pintu Gerbang Dosa
Pekan lalu, Allaah swt memberikan pelajaran yang begitu berharga dalam kehidupan LDM yang baru kami jalani setengahnya. Sejak saya mendapat stase jejaring Bedah di Cilacap, kami harus hidup LDM selama enam minggu ke depan. Dan tepat di minggu ketiga kemarin, kami dibenturkan pada peristiwa yang membuat kami harus murojaah kembali tentang nilai-nilai yang seharusnya telah kami internalisasi dalam diri.
Kejadiannya bermula saat proses pengajuan perpanjangan penurunan UKT (biaya kuliah) saya bermasalah. Alasannya birokratif sekali, karena surat yang saya buat masih menggunakan nama fakultas yang lama. Sekedar informasi, nama fakultas tempat saya belajar saat ini sudah ganti dan menjadi sangat panjang. Akibatnya, surat yang saya masukkan tidak pernah terproses. Dek Zahra yang selama seminggu terakhir mengurus dan menanyakan progres surat tersebut akhirnya seolah sia-sia.
Singkat cerita, kami pun harus membayar biaya UKT sesuai tagihan sebelumnya sekitar empat belas juta lima ratus ribu rupiah. Dek Zahra harus bolak-balik dari rumah, bank, dan kampus untuk mengurus pembayaran dan daftar ulang di detik-detik terakhir penutupan agar saya tetap bisa melanjutkan koass. Hal ini karena saya sedang di luar kota, dan urusan uang dipegang oleh Dek Zahra. Yang lebih membuat lelah lagi adalah, informasi terkait tidak diprosesnya surat permohonan yang saya buat baru diberi tahu siang harinya, sekitar tiga jam sebelum penutupan.
Selepas masalah tersebut selesai, Dek Zahra yang begitu lelah lalu menyampaikan kabar tersebut kepada saya via WhatsApp.
“Alhamdulillaah, UKT sudah terbayar dan daftar ulang beres.”
Saya yang baru mengetahui jika surat permohonannya tidak diproses, dan harus menutupi kekurangan biaya untuk UKT, lalu membuka laporan keuangan keluarga. Saya mengecek dan menghitung kembali, untuk menyesuaikan tabungan dan pengeluaran. Hal ini mengingat selama di Cilacap, otomatis saya tidak bisa mendapatkan pemasukan seperti biasanya. Sementara, kurang lebih tiga bulan lagi kami akan menyambut kelahiran anak pertama kami. Tentu, kebutuhan-kebutuhan tersebut harus diperhitungkan.
Setelah mengecek dan membuat perkiraan, saya pun kembali bertanya kepada Dek Zahra untuk crosscheck tanpa menanggapi kabar yang baru saja disampaikan Dek Zahra tadi.
“Uang di Dek Zahra ada berapa? Di ATM sisa berapa?”
“Yang tak pegang ada sekian dan di ATM ada sekian.” Ujar Dek Zahra.
“Lho kok nggak sesuai? Sisanya di mana?” Saya bertanya lagi karena ada yang tidak sesuai. Biasanya karena memang belum dimasukkan ke laporan.
“Ada pengeluaran sekian dipinjam oleh teman buat keperluannya.” Dek Zahra menjawab beberapa saat kemudian setelah mencoba mengingat.
Saya tak menjawab lagi.
Melihat saya tidak menjawab obrolan via WhatsApp, Dek Zahra menduga bahwa saya sedang kesal dan marah. Dek Zahra pun semakin kesal karena saya seolah tidak menghargai usaha dan kelelahannya sepanjang hari bolak-balik untuk membayar UKT. Dan reaksi yang dilakukan Dek Zahra adalah meninggalkan obrolan di grup WhatsApp kami, Ruang Keluarga. Ya, dia meninggalkan grup keluarga kami.
*****
Sore itu, selepas bertanya tentang selisih laporan keuangan untuk klasifikasi, saya langsung berangkat ke RSUD untuk melakukan tugas rutin, membuat template laporan follow up pagi dan periksa pasien baru sekalian sensus pasien rencana tindakan esok hari. Kebetulan hari itu saya melakukan semuanya sendirian. Jadilah, saya tak sempat membuka gawai sampai malam.
Setelah semua tugas saya selesaikan, saya berencana untuk segera pulang ke asrama untuk istirahat. Tiba-tiba, smartphone saya bergetar. Ada informasi dari grup koass di WhatsApp yang mengabarkan jika akan ada operasi cito malam itu. Operasinya laparotomi eksplorasi pula, pasti tidak bisa cepat selesai. Kebetulan saya yang giliran jaga operasi cito. Jadilah, saya yang maju untuk jadi asisten bedah operasi malam itu.
Saya pun bergegas kembali ke RSUD untuk mempersiapkan pasien, lalu menjadi asisten bedah selama operasi. Operasi dilakukan mulai pukul 21.30 kurang lebih, dan selesai sekitar pukul 01.30 dini hari. Empat jam saya berdiri selama operasi yang molor karena sempat terhambat oleh satu-dua hal. Hal yang biasa terjadi ketika operasi cito malam hari, mengingat tidak semua petugas hadir lengkap, hanya yang terjadwal piket.
Selesai operasi, saya pulang ke asrama dalam kondisi badan yang sudah sangat lelah. Sambil berjalan, saya membuka media sosial dan melihat kabar supaya tidak mengantuk. Betapa kagetnya saya, saat mengetahui Dek Zahra meninggalkan grup obrolan Ruang Keluarga. Saya pun tak sanggup lagi berpikir saking lelahnya. Jadilah, saya hanya biarkan saja dan menduga bahwa Dek Zahra sedang marah seperti saat sebelum menikah dulu.
Belakangan setelah saya konfirmasi, ternyata Dek Zahra hanya ingin menenangkan diri dan istirahat. Karena Dek Zahra menduga saya kesal akibat laporan keuangannya tidak sesuai, maka ia memilih meninggalkan grup daripada ditanya macam-macam lagi.
*****
Sebenarnya, peristiwa di atas sangat sepele sekali, namun memberikan efek yang luar biasa bagi kami. Malam itu, saya dan Dek Zahra sama-sama menduga, berprasangka buruk, dan membuat keputusan berdasarkan dugaan. Dugaan atau prasangka yang kami buat sepihak tanpa konfirmasi. Keputusan yang lahir pun juga tidak menghasilkan maslahat karena disandarkan pada sebuah prasangka.
Barangkali, inilah alasan mengapa Allaah swt melarang untuk membuat praduga atau prasangka. Bahkan prasangka disebut sebagian dari dosa. Karena, hampir setiap prasangka yang kita buat, selalu membenarkan diri kita sendiri. Kita selalu mengunggulkan ego kita dalam membuat prasangka. Kita akan berusaha mencari pembenaran dan mencari kesalahan orang lain untuk menguatkan prasangka kita. Wajar jika kemudian prasangka kita turuti akan melahirkan dosa yang lebih besar lagi. Dan setan akan dengan senang hati mengompori dan menampakkan ingatan-ingatan yang membantu kita semakin berprasangka buruk. Sungguh benar Allaah swt mengingatkan kita,
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (Q.S. Al-Hujuraat ayat 12)
Ayat di atas tepat sekali mengingatkan kami tentang urutan dosa yang baru saja kami lakukan. Kami berprasangka, mencari-cari kesalahan, memperkuat prasangka, lalu mengambil keputusan yang semakin merusak hubungan dengan sesama manusia. Astaghfirullaah.
Inilah sebuah pelajaran berharga yang kami lupakan. Ya, kami lupa pernah menulisnya di buku kami, Mengukir Peradaban. Bahwa tidak boleh ada komunikasi yang dibangun atas dasar dugaan, prasangka, atau anggapan. Komunikasi harus jelas, berdasar kuat, dan dua arah. Tapi, sepertinya setan berhasil memasuki celah hati kami saat masing-masing sedang lelah. Jadilah kami tergelincir untuk saling berprasangka buruk dan parahnya membuat keputusan sesaat yang semakin membuat rumit masalah.
Saya katakan semakin rumit, karena setelah kejadian tersebut, hampir sehari kami tidak saling menghubungi. Kami menganggap bahwa masing-masing dari kami sedang marah sehingga tidak berani untuk memulai percakapan. Hingga akhirnya, Dek Zahra meminta untuk dimasukkan lagi ke grup Ruang Keluarga. Kami coba untuk saling konfirmasi tentang kejadian kemarin. Kami pun saling meminta maaf. Dan pada akhirnya, kami bersama-sama menertawakan kebodohan kami.
Sekilas, ketika kami membuat kesepakatan nilai-nilai keluarga dan menulisnya, seakan semuanya akan mudah. Kami juga percaya diri sudah mampu menginternalisasi nilai-nilai tersebut dengan baik. Kenyataannya, ketika nilai-nilai tersebut dibenturkan pada kondisi dan masalahnya langsung, kami masih harus saling menguatkan dan mengingatkan kembali. Terutama jika kondisi kami sedang lemah dan lelah. Ah, ternyata kami ini memang masih lemah. Mudah bicara dan mengingat, tapi malah lupa tepat ketika terpapar dengan masalahnya.
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan (kewajiban)mu sendiri? Padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (Q.S. Al-Baqarah ayat 44)
Yaa Allaah, jaga hati kami agar senantiasa taat kepada-Mu, kuatkan kami saat kelelahan dan kelemahan melanda kami, ingatkan kami tentang kebaikan dan ketaatan yang telah kami pelajari di kala kami lupa, sunggu Engkau lah Dzat sebaik-baik penjaga dan pemberi kekuatan
43 notes · View notes
k-fahmi · 6 years ago
Photo
Tumblr media
[WELCOME 2019!] . Yeay! Akhirnya bisa menyelesaikan tulisan pertama di 2019. Tahun yang sepertinya bakal hectic dan perlu banyak penyesuaian. Ya namanya juga tahun baru, tentu harus dengan tantangan baru. . Alhamdulillaah, tahun 2019 berarti akan melewati dua tahun pernikahan saya dengan Dek @zhriftikar. Saya baca kembali proposal pernikahan yang saya ajukan ke Abah-Ummi. Saya lihat kembali target-target yang saya buat di sana. . Alhamdulillaah, hampir semuanya sesuai rencana. Kami tinggal menunggu bagian akhirnya saja. Dek Zahra akan wisuda, lalu masuk koass, dan dilanjutkan dengan mutqin hafalannya. Lalu saya akan selesai koass, dilanjutkan dengan ujian nasional, lalu internship. . Alhamdulillaah lagi, kami juga menanti kejutan dari Allaah swt di luar rencana yang kami buat dulu. Ya, kami sedang menanti mujaahid/ah pertama kami. Semoga ini adalah awal dari kejutan-kejutan Allaah swt berikutnya. . Dan untuk menyambut semua kebaikan tersebut, kami harus mempersiapkan diri terlebih dahulu. Alhamdulillaah, Allaah swt Yang Maha Baik telah memberikan waktu dan tempatnya untuk kami memantaskan diri menjemput semua kejutannya di 2019 nanti. . Allaah swt takdirkan kami berpisah di awal 2019 ini selama dua bulan pertama. Meski harus ada drama nangis-nangis dan futur terlebih dahulu, pada akhirnya kami sadar, inilah tarbiyah Allaah swt untuk menyiapkan kami. Dramanya gimana? Selengkapnya di tulisan terbaru kami di fahmizahranotes.com. https://www.instagram.com/p/Bs7Y795nXyV/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=uoiugrbpdvq1
5 notes · View notes
k-fahmi · 6 years ago
Photo
Tumblr media
[MENJAGA DENGAN SHOLAT] Pernahkah kita membayangkan bahwa setiap kita memiliki peran dalam keseimbangan di alam ini? Pernahkah terpikir, bahwa dalam setiap aktivitas kita, akan memberikan efek terhadap banyak orang? Sadarkah bahwa setiap kebaikan kita, meski kecil dan sederhana, bisa menjadi asbab terjaganya umat Islam yang semakin besar ini? Atau sebaliknya, kemalasan kita untuk bangun pagi menjemput sholat shubuh menjadi sumber kelemahan umat ini? Maka, mari perhatikan dan refleksikan lagi aktivitas kita. Bisa jadi, kebaikan yang kita lakukan hari ini menjadi asbab terhindarnya keburukan untuk keluarga kita kelak. Bisa jadi, penjagaan sholat fardlu kita menjadi sumber persatuan umat Islam di sekitar kita. Misalnya, sesederhana merapatkan dan meluruskan shaf shalat bisa menjadi sumber kekuatan umat. Jika disepelekan, bisa menjadi penyebab perpecahan umat. Ya, kebaikan dan keburukan, sekecil apapun akan menyebar dan menular. Pelan tapi pasti, efeknya akan muncul semakin besar. Bagaimana caranya? Selengkapnya bisa dibaca di fahmizahranotes.com (link di bio). Yuk, jaga kembali (sholat) jamaah kita. (at Rumah Sakit Akademik UGM) https://www.instagram.com/p/BpqzMwInW1t/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=yzcj9wd7syt7
36 notes · View notes