kaktuskecill
kaktuskecill
Untitled
7 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
kaktuskecill · 2 years ago
Text
JUNI Bagian kelima
“Ibu kamu sukanya makan apa?”
“Durian,” kata Sabda.
April mengerutkan keningnya. Dia tidak suka bau durian. Mencium aromanya sedikit saja sudah bisa membutnya mual. “selain itu ada lagi gak?” tanya April. Berharap ada pilihan lain dari Sabda.
“Ibu juga suka roti sus sih.”
“Oke kita beliin Ibu kamu itu aja ya. aku gak suka bau durian soalnya.”
“Nanti ada toko roti di depan. Kita mampir di sana aja.”
Sabda memenuhi janjinya untuk mengajak April bertemu ibunya. Hanya berjarak 30 Km dari ibukota, rumah yang selalu dirindukan Sabda menyambutnya ramah siang itu. pelukan hangat ibunya selalu sama dan semoga tidak pernah berubah. April menjabat tangan ibunya Sabda. Memperkenalkan diri dan memberikan bingkisan roti sus yang mereka beli diperjalanan.
“Duh jadi negerepotin anak cantik ini,” ucap ibunya Sabda lembut.
“Gak kok tante, gak ngerepotin sama sekali. Aku malah senang banget diajak Sabda main kesini.”
“Ya udah kita makan dulu yuk. Tante udah masak banyak karena anak tante ini gak bisa kalau makan sedikit.”
Mereka berjalan menuju meja makan. Rumah Sabda tidak terlalu besar. Tapi halaman rumahnya luas bak taman bunga. Ibunya Sabda juga punya hobi merawat tanaman. Di teras  rumah ada kursi rotan berwarna cokelat dan vas bunga kaktus hijau muda. Lalu di ruang tamu ada foto-foto kecil Sabda dan adiknya Sabrina. Ada tiga kamar di rumah itu. kamar Sabda yang paling  besar. Katanya untuk alat-alat musik Sabda banyak jadi butuh ruang yang lebih besar.
Aroma masakan Ibu memang tidak pernah gagal menggiurkan selera. Ada oseng tempe, sayur asam, ayam kecap manis, sambal ijo kesukaan Sabda, dan beberapa buah pepaya segar. Mereka menikmati makan siang sambil sesekali bercerita tentang banyak hal.
“Ayah sama adik kamu kemana ya Sab? Kok gak gabung sih sama kita?” tanya April
“Rina jam segini belum pulang sekolah, kalau Ayah lagi ada urusan,” jawab Sabda
“Oh iya ya ini kan hari sekolah, aku lupa lagi,” kata April sedikit malu-malu.
Setelah selesai makan siang mereka bertiga berpindah ke teras rumah. Menikmati es buah segar dan beberapa kudapan manis.
“Juni gimana kabarnya Sab?” tanya ibunya Sabda di sela-sela obrolan mereka.
“Bapaknya masuk rumah sakit Bu. Tapi udah baikan katanya. Aku tadi mau nyusul ke sana tapi kata Juni ga usah.”
April terdiam. Dia tidak suka obrolan yang ada Juni di dalamnya. Kalau saja bukan ibunya Sabda yang bertanya, April sudah sejak tadi meninggalkan Sabda.
“Alhamdulillah kalau udah gapapa. Juni pasti khawatir sama keadaan bapaknya.”
“Iya Bu. Kita doain aja yang semoga semuanya baik-baik aja.”
“Pasti nak. Lain kali kalian main bertiga ke rumah. Ibu pasti senang rumah jadi ramai.”
Sabda hanya tersenyum. Lalu menatap April yang duduk di sampingnya. Sabda tau April hanya sedang berusaha tampak biasa saja di depan ibunya. Tangannya menggenggam tangan April dan tersenyum hangat.
Pukul  empat sore Sabda dan April berpamitan untuk kembali ke ibu kota. April memeluk ibunya Sabda erat. “Aku boleh ke sini lagi kan tante?”
“Tentu boleh nak. Rumah ini selalu terbuka untuk April,” jawab ibunya Sabda
“Kamu tunggu di motor aja, aku ambil barang dulu di kamar,” kata Sabda mencari alasan.
April menuruti kata Sabda. Setelah agak jauh, Sabda memulai obrolannya dengan pelan bersama ibunya.
“Udah berapa hari Ayah gak pulang Bu?”
Ibunya diam sejenak. Seperti ada sesuatu yang membuatnya sesak dan sulit mengatakan apa yang beliau rasakan. “Jangan benci Ayah ya nak, dia selalu berusaha jadi Ayah yang baik buat kamu,” ucapnya sambil memegang tangan anaknya.
“Bu, aku gapapa kalau Ibu memilih pisah dari Ayah. Sabda mau Ibu juga bahagia. Sabda mungkin bisa gak benci Ayah. Tapi gak buat Ibu. Ayah jahat ke Ibu.”
“Ibu masih sanggup bertahan. Asal ada kamu sama Rina di sisi Ibu. Hubungan suami dan istri terlalu runyam diakhiri sepihak nak. Ibu mau kasih kalian keluarga yang utuh.”
“Ibu udah cukup berkorban untuk aku sama Rina selama ini. Cari bahagia Ibu di tempat lain. Gak ada keluarga yang utuh kalau udah ada orang lain yang masuk Bu.”
Ibunya memeluk anak laki-lakinya itu. “Kamu udah tumbuh dewasa sekarang nak. Ibu bangga. Jangan pernah jadi seperti ayahmu yang terlalu pengecut menentukan perasaannya sendiri.”
Sabda membalas pelukan ibunya lebih erat. Perempuan yang paling ia cintai, yang matanya selalu berbinar, senyumnya yang selalu muda dari usianya, ternyata punya luka yang mungkin tidak akan bisa sembuh meski dalam waktu yang lama.
“Aku pamit Bu. Kabarin aku kalau ada apa-apa. Salamin sama Rina,” ucap Sabda lalu mencium tangan ibunya.
Sabda dan April berlalu. Membelah jalanan sore bersama langit jingga. April memeluk Sabda dari belakang begitu erat. Seperti tidak ingin jauh dari kekasihnya itu. April membayangkan beberapa tahun ke depan mereka akan menjadi keluarga kecil yang bahagia. Ia tersenyum sendiri memikirkan khayalannya. Sementara Sabda hanya melihat sosok ayahnya di dalam isi kepalanya. Seorang ayah yang begitu menyayangi anak-anaknya, tapi hatinya tidak pernah untuk istrinya. Melainkan untuk masa lalunya yang tidak pernah bisa ia lepaskan.
“Kamu kok diam aja dari tadi? kenapa?” tanya April memecah kesunyian
“Gapapa, lagi mikirin revisian aja,” ucap Sabda
“Kita mampir yuk di cafe dekat perempatan yang di depan, kita  ngopi bentar dulu. Aku lumayan ngantuk nih.”
Sabda mengangguk. Cafe yang dimkasud April cukup terkenal karena kopi torajanya. Sabda pertama kali ke sana bersama Juni dua tahun yang lalu.
“Ramai ya Sab di sini,” kata Juni memperhatikan sekitar. Cafe dengan suguhan pemandangan hamparan sawah itu dipenuhi pengunjung yang rata-rata memilih kopi sebagai menu hidangannya.
“Karena kopi disini enak, kopi asli dari Toraja,” jelas Sabda.
“Oh gitu ya, kamu tau dari mana lagi sih?”
“Aku coba searching cafe yang recomended beberapa hari yang lalu, terus ketemu deh sama cafe ini.”
“Udah terkenal aja ya.”
“Sekarang semua mudah dengan bantuan dunia digital Juni. Kamu kalau mau promosiin lukisan kamu juga bisa. Siapa tau aja bisa dilelang sampai ratusan juta.”
“Hahaha kejauhan kamu mah mikirnya. Aku kan gak jago-jago amat ngelukisnya. Lagian lukisan yang kubuat cuma untuk pribadi, bukan buat dijual.”
“Ya kali aja mau nyoba.”
Mereka menikmati seduhan kopi khas Toraja dengan santai. Dengan angin yang bersahabat, lagu Tulus yang sedang diputar oleh karyawan cafe, membuat suasana hari itu terlalu disayangkan untuk berakhir dengan cepat.
“Balik yuk Sab, udah sorean nih,” ajak Juni.
Mereka berjalan keluar menuju parkiran. Lalu Juni melihat seseorang yang tidak asing sedang keluar dari toko kue di samping cafe,
“Sab itu ayah kamu kan?” tanya Juni.
Sabda melihat ke arah toko kue itu. benar itu ayahnya. Sabda berjalan lebih cepat untuk menghampirinya. Disusul Juni dari belakang.
“Ayah.”
Laki-laki separuh baya itu menoleh. Begitupun perempuan dan seorang anak gadis yang tepat berdiri di samping ayahnya Sabda. Mereka terkejut dengan siapa yang baru saja menyapanya.
“Halo om, gak nyangka ketemu di sini,” kata Juni memecah kesunyian. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Tapi Juni bisa menebak dari raut wajah Sabda yang gusar dan tampak kecewa. Juni tidak tahu siapa dua orang perempuan yang bersama ayahnya Sabda hari itu. Yang ia tahu mereka bukan Ibu dan adiknya Sabda.
“Om mampir bentar beli kue,” kata ayahnya Sabda terbata-bata.
“Kita balik Juni,” ucap sabda lalu menarik tangan Juni untuk pergi.
“Kami duluan ya om, buru-buru soalnya,” kata Juni tidak enak meninggalkan mereka begitu saja.
Sabda hanya diam di perjalanan. Juni tidak berani bertanya. Ini urusan keluarga Sabda. Tidak baik ikut campur. Juni mengerti kalau Sabda mungkin butuh waktu untuk bisa menjelaskan semuanya padanya.
Sabda mengantarkan Juni pulang.
“Kamu hati-hati ya pulangnya, terus langsung istirahat,” kata Juni.
“Itu istri Ayah yang lain.”
Juni menelan ludah. Ia bingung harus merespon seperti apa.
“Ayah selalu berusaha jadi Ayah yang baik untuk anak-anaknya. Tapi dia juga menyakiti hati Ibu dari anak-anaknya. Yang aku gak suka karena Ibu memilih bertahan dan menelan lukanya sendirian.”
“Ibu kamu mungkin punya alasannya Sab. Dan apapun itu pasti demi kamu dan adik kamu. Kamu tau kan, seorang Ibu akan selalu memikirkan anaknya berkali-kali sebelum mikirin dirinya sendiri.”
“Aku baik-baik aja gak sama Ayah Juni. Aku bisa jagain Ibu sama Rina. Kita gak butuh Ayah.”
Juni menepuk-nepuk pelan pundak Sabda. Sepertinya tidak ada kata yang lebih menenangkan daripada diam. Karena yang sabda butuhkan hanya waktu untuk bisa membuatnya menerima keadaan ini.
0 notes
kaktuskecill · 2 years ago
Text
better on my own
0 notes
kaktuskecill · 2 years ago
Text
JUNI Bagian keempat
Sementara di depan ruang administrasi, Sabda sudah menunggu Juni sedari tadi. menurutnya Juni tidak butuh waktu sampai dua puluh menit untuk hanya ke minimarket kampus. Ia lalu memutuskan untuk menelpon Juni. Tapi tidak diangkat. Sabda mencoba sekali lagi, tapi masih tetap tidak diangkat. Tidak lama kemudian, April datang.
“Nih buat kamu, siapa tau haus,” kata April sambil memberikan botol air mineral untuk Sabda.
“Kamu ada bimbingan juga hari ini?” tanya Sabda
“Gak ada sih, cuma mau nyusul kamu aja ke kampus.”
“Kamu ketemu Juni gak di minimarket? Tadi katanya mau beli air mineral juga tapi sampai sekarang gak balik-balik.”
“Aku gak liat Juni,” nada bicara April ketus
“Kemana ya tuh anak, gak biasanya ngilang gini?” Sabda bertanya ssendiri
“Juni bukan anak kecil yang gak bisa hilang Sabda, kamu gak perlu khawatir sampai segitunya sama dia,” kata April sedikit kesal.
“Aku gak khawatir, ya cuma gak biasanya aja dia kayak gini,” ucap Sabda. “kamu udah makan?” lanjuntya.
“Ini baru mau ngajak kamu makan, aku pengen sushi yang di tempat biasa, yuk,” ajak April lalu menggandeng tangan Sabda.
Mereka berlalu meninggalkan kampus menuju restoran sushi favorit April. Langit masih mendung setelah hujan reda, dan pikiran Sabda terus bertanya kemana Juni pergi. Apa mungin terjadi sesuatu? Benaknya membatin banyak hal.
Seporsi sushi di depannya tidak menarik selera makan sabda. Meski memang selama ini ia tidak terlalu suka makanan asal Jepang itu. Hanya saja April selalu ingin menikmati makanan yang sama dengan Sabda.
Ponsel sabda berdering, ada pesan masuk dari Juni. “Aku pulang duluan tadi, tiba-tiba sakit perut, sorry ya.”
“Sekarang udah baikan?”
“Gapapa, santai.”
April menatap Sabda yang sibuk dengan ponselnya. “sibuk banget main hpnya, gak lapar?” tanyanya.
“Eh iya iya ini udah mau makan kok.” Kata Sabda lalu menaruh ponselnya. “ Tadi Juni kabarin kalau dia sakit perut jadi buru-buru pulang. Hampir aja aku nungguin dia, untung kamu datang.”
“Bisa gak selalu ada Juni kalau kita lagi quality time gini? Iya dia emang teman kamu. Aku ngerti kok. Tapi masih banyak topik lain yang bisa kita obrolin ketimbang dia.”
Sabda tersenyum. “oke, kalau gitu kita bahas yang lain aja. Hmm besok aku mau pulang jenguk Ibu, Mau ikut gak?”
April balas tersenyum, lalu mengangguk dengan yakin.
Keesokan harinya Sabda hendak mengabari Juni kalau ia dan April akan mengunngjungi Ibunya di kampung.  Pukul delapan pagi, Sabda sudah tiba di depan indekos Juni.
“Halo?”
“Nala, ini aku Sabda.”
“Iya kenapa Sab?”
“Juni ada di kamarnya gak? Aku ada diluar sekarang. Dari tadi aku coba hubungin tapi gak aktif,” tanya Sabda yang sudah lima belas menit menunggu di depan indekos Juni.
“Juni pulang ke rumahnya tadi subuh, bapaknya sakit,” kata Nala.
Sepanjang perjalanan, isi kepala sabda penuh dengan tanda tanya dan khawatir. Kenapa Juni tidak mengabarinya? Apa keadaan ayahnya memburuk? Iya, Juni pernah bercerita kalau ayahnya punya riwayat penyakkit maag. Tapi tidak pernah sampai dirawat di rumah sakit. Sabda hanya tau itu. Selebihnya Juni hanya selalu mengatakan kalau orangtuanya baik-baik saja.
Sabda mampir di salah satu kedai kopi tak jauh dari rumahnya. Memesan espresso kesukaannya lalu mengeluarkan ponselnya. Ia membuka ruang obrolan via online, dan mulai mengetik.
“Juni kamu baik-baik aja di sana? Bapak kamu gimana keadaannya? Aku dengar beritanya dari Nala. Kalau udah aktif lagi, kabarin aku ya. Aku khawatir.”
Di depan ruang IGD.
“Bapak saya gimana dok?” tanya Juni yang sudah menunggu bersama ibunya.
“Dilihat dari gejalanya, ini mengarah pada gastritis akut. Tapi kami masih harus melakukan biopsi terlebih dahulu. Jangan khawatir, pasien akan baik-baik saja,” jelas dokter yang menangani Ayah Juni.
“Jadi harus dirawat inap ya dok?”
“Iya sebaiknya begitu. Meski pemeriksaan menyeluruh tidak langsung dilakukan, tapi ada baiknya kalau pasien diawat saja di rumah sakit.”
“Iya dok, kami ikut saran dokter aja.”
Dokter itu berlalu, Ibu Juni menjatuhkan badannya di kursi dan menarik napas panjang.. lalu disusul Juni. Tangannya menggenggam erat tangan ibunya. Mereka baru bisa bernapas lega setelah mendengar penjelasan dari dokter. Ayah Juni sudah dari kemarin mengeluhkan perutnya yang sakit. Tapi tidak langsung di bawah ke rumah sakit. Pukul empat dini hari, Juni diminta  pulang oleh ibunya karena ayahnya tidak kunjung membaik.
“Bapak biar Ibu yang jaga nak, kalau mau balik ke kota gapapa. Kamu kan banyak urusan juga,” kata Ibu
“Aku temenin Ibu aja sampai proses biopsi Bapak selesai. Lagian jadwal bimbingan aku dua hari lagi kok Bu.”
“ Hm, harusnya Ibu buatin kamu bubur kacang ijo di rumah, tapi musibah siapa yang tau ya,” kata Ibu menatapku dengan sedikit rasa bersalah.
“ Bubur kacang ijo bisa kapan-kapan Bu, udah ah gak usah gak enak gitu. pokoknya Ibu juga gak boleh banyak pikiran, biar kita semua kuat buat jagain Bapak.”
Ibu Juni tersenyum. Juni pun demikian.
Kata Ibu, rumah tidak selalu tentang ruang tamu yang luas, ruang keluarga dengan karpet buatan luar negeri, meja makan dengan menu yang beragam, dan kamar tidur dengan kasur empuk. Bukan. Rumah lebih dari sekadar hal-hal material seperti itu. Ketika suatu waktu kamu bertemu hal pelik, merasakan luka yang dalam, dihakimi dunia, berlari tanpa arah, tersesat, atau merasa kehilangan dirimu sendiri, maka peran rumah ialah sebagai telinga tanpa suara, lengan yang mampu memeluk dengan hangat, menatap matamu dengan lembut, dan menina bobok kan isi kepalamu yang berantakan. Itu rumah yang sebenarnya.
Juni keluar membeli makanan dan beberapa buah segar tidak jauh dari rumah sakit. Ia menunggu sebentar. Lalu ia teringat kalau sejak subuh tadi Juni tidak mengatifkan ponselnya. Ada beberapa pesan dari Nala dan juga Sabda yang belum ia baca.
“Bapak baik-baik aja. Udah ditanganin sama dokter,” balas Juni pada pesan Sabda.
“Aku nyusul ke sana ya?” tanya Sabda beberapa menit kemudian.
“Gak usah, kamu fokus aja sama skripsi dan kerjaan kamu. Aku cuma dua hari di sini.”
“Oke kabarin kalau ada apa-apa.”
“Pasti.”
“Aku rencana mau pulang juga ketemu Ibu. Mau sama April. Tapi kalau kamu butuh ditemenin rencananya bisa ku undur.”
Juni tidak langsung membalas. Ia menatap lama layar ponselnya. Juni memang tidak pernah bisa menebak isi kepala Sabda. Di satu sisi, Sabda seolah begitu memperhatikan Juni. pernah beberapa kali Sabda lebih memilih mengantarkan Juni ke tempat bimbel melukis ketimbang menemani April mengerjakan tugas kuliahnya. Tapi di satu sisi juga, April selalu ada di setiap rencana Sabda.
“Kamu pergi aja,” balas Juni singkat.
Aku suka bersamamu. Tapi bukan sebagai sepasang sepatu. Aku hanya ingin yang lebih sederhana. Sebagai dua manusia yang saling jatuh cinta lalu melangkah bersama
0 notes
kaktuskecill · 2 years ago
Text
JUNI Bagian Ketiga
“Vanila latte nya satu mbak.”
Juni membuka laptopnya. Lalu mengeluarkan revisian skripsi dari dalam tasnya. Pukul dua siang seharusnya jadi waktu tidur yang menyenangkan. Juni menghela napas panjang. Berkutak seharian dengan data-data penelitian sangat membosankan baginya. Ditambah lagi dosen pembimbingnya mengharuskan ia menyelesaikan skripsinya paling lambat dalam tiga bulan ke depan. Jika tidak, maka Juni harus siap menunggu enam bulan ke depan sampai dosen pembimbingnya kembali dari Singapura.
“Ini vanila lattenya kak, selamat menikmati, “ ucap weitres cafe dengan ramah.
“Makasih mbak,” balas Juni.
Juni menikmati minuman kesukaannya itu. Aroma espresso yang menenangkan ditambah rasa susu yang manis. Perpaduan yang sempurna bagi orang-orang yang tidak terlalu suka minum kopi yang terlalu pekat.
Lima belas menit berlalu, seseorang datang menghampiri meja Juni. Itu Sabda.
“Kenapa gak ngajak kalau mau ke sini?”
“Kamu tau dari mana aku di sini?” tanya balik Juni
“Tadi aku cari kamu di depan ruangannya pak Yunus, siapa tau kamu masih bimbingan. Tapi gak ketemu jadi aku pulang. Ketemu Nala di parkiran, dia yang bilang kamu di sini.”
“Ohhh gitu, udah mesan?”
“Udah tadi. Eh besok sore ikut aku ya ke ulang tahunnya April. Ada acara kecil-kecilan gitu deh. Gak banyak kok yang diundang.”
Juni tidak langsung menjawab. Ia berpikir sebentar sebelum melanjutkan. Bukan. Bukan untuk menimbang nimbang  apa ia harus ikut atau tidak. Tapi Juni sedang mencari alasan yang masuk akal untuk menolak ajakan Sabda. Lagi pula Juni tau kalau April tidak begitu menyukainya. April bahkan pernah terang terangan meminta Sabda untuk tidak terlalu akrab dengan Juni. Ya itu memang hal wajar. Siapa yang tidak merasa keberatan kalau pacarnya terlalu akrab dengan teman perempuannya.
“Aku ada meet up sama teman-teman SMA ku, gak enak kalau gak datang. Ntar dikira sombong lagi. Lagian revisianku banyak banget nih, lain kali aja aku ikut.”
“Emangnya ulang tahun bisa dirayain sering-sering gitu?” tanya Sabda mengoceh
“Ya kan bisa tahun depan,” kata Juni tidak yakin.
“Tahun depan terlalu lama Juni. Kita gak tau hal apa aja yang bisa terjadi. Siapa tau aku udah putus sama April, atau dia nikah duluan gitu,” kata Sabda.
Mereka tertawa. Meski Sabda hanya bergurau, tapi jika boleh jujur, dari hati yang paling dalam Juni ingin sekali mengaminkan ucapan Sabda. Memang terkesan jahat mendoakan hal yang buruk untuk sabahat sendiri, tapi adanya demikian. Hati mana bisa berbohong.
“Ini kak espresso nya.”
“Makasih.”
Sabda memang suka sekali espresso. Katanya, kopi baru nikmat ketika rasanya pekat, kental, dan kuat. Bahkan dulunya, Sabda bisa membeli espresso tiga sampai empat kali sehari.
“Ini espresso yang keberapa?” selidik Juni.
“Satu.”
“Masa sih?”
“Kalau gitu dua.”
Juni melototkan matanya ke arah Sabda. Sabda tertawa. Lalu melanjutkan “Baru satu nona Juni. Kan aku udah janji gak minum lebih dari dua gelas sehari.”
Iya. Juni yang meminta Sabda  untuk mengurangi porsi  miunm kopinya dalam sehari.  Juni yang selama ini tidak pernah melarang apapun yang dilakukan Sabda, tiba-tiba melarangnya minum kopi terlalu banyak. Juni khawatir dengan kesehatan Sabda.
“Gak boleh labih dari dua gelas ya sehari, kasian lambung kamu. Mana makannya gak teratur, sering begadang. Pokoknya untuk kali ini kamu harus nurut,” kata Juni tegas waktu itu.
“Dasar curang, kamu aja bisa minum sampai 3 gelas vanilla late dalam sehari. Kan sama-sama kopi,” kata Sabda tidak terima.
“Ya beda lah. Meski ada espressonya tapi takarannya beda. Perbandingan susunya lebih banyak dari kopinya. Lagian kapan aku minum sebanyak itu, perasaan gak pernah deh.”
“Waktu kita bantuin anak-anak bikin panggung acara mereka tuh, kamu udah minum dua gelas siangya. Terus minum lagi pas malam.”
“Oh itu, ya kan dikasih sama mereka. ya masa ku tolak sih.”
“Apa susahnya buat nolak, jadi orang gak enakan itu gak baik.”
“Daripada bikin mereka kecewa.”
“Daripada kamu sakit?”
“Iya iya bawel banget sih jadi cowok. Lain kali gak gitu lagi,” kata Juni mengalah.
“Kalau kamu khawatir sama lambung aku, ya aku juga khawatir lah sama lambung kecil kamu,” ucap Sabda lembut.
“Jangan terlalu banyak khawatirnya, gak baik.”
“Intinya kamu harus selalu sehat, biar aku juga baik-baik aja.”
“Aku udah selesai nih, balik kampus yuk,” ucap Juni mengalihkan pembicaraan. Percuma dilanjutkan, tidak akan ada ujungnya juga. Toh pada akhirnya yang akan membuat Sabda Bahagia adalah April.
Dengan motor tua kesayangan Sabda, mereka kembali ke kampus untuk mengurus beberapa berkas persyaratan ujian akhir. Ruang administrasi kampus siang itu kebetulan masih lengang. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sibuk bermain ponsel.
“Aku beli air bentar ya, haus nih,” kata Juni
Ia lalu berjalan menuruni anak tangga menuju pelataran kampus. Ada minimarket yang selalu ramai setiap waktu di sana. Juni hanya membeli dua botol air mineral dan berlalu keluar.
“Dari makan siang ya sama Sabda?” tanya seseorang dari belakang.
Juni berbalik. Ia tidak menyangka bisa bertemu dengan April di pelataran. Juni tersenyum tipis. Lebih tepatnya ia mencoba tetap ramah dengan pacar sahabatnya itu. Meski April tetap saja dingin dengannya.
“Ngopi bentar aja kok tadi, kebetulan ketemu di cafe,” jawab Juni ramah.
“Kalian harus selalu bareng ya?”
Juni tidak langsung menjawab. Hubungan dengan manusia memang terlalu rumit untuk dibuat sederhana. Juni tau perasaan April. Bahkan sejak Sabda dan April mulai menjalin hubungan, Juni sudah mulai membatasi pertemannya dengan Sabda. Tidak lagi selalu meminta tolong jika masih bisa ia lakukan sendirian. dan sering menolak ajakan Sabda untuk hanya sekadar makan diluar.
“Mungkin baiknya kamu juga perlu bicara baik-baik sama Sabda. Aku udah lakuin semampuku untuk membatasi pertemanan kami. Aku tau kamu gak suka, maaf,” kata Juni
“Kalau kamu di posisi aku, kamu akan tau rasanya Juni. Aku gak pernah salahin pertemanan kalian, toh aku ketemu Sabda pas kalian emang udah temenan. Tapi sekarang keadannya berubah. Dunia Sabda bukan cuma tentang kamu lagi, tapi ada aku juga,” kata April dengan nada yang tegas.
Juni menarik napas, semua yang dikatakan April benar. keadaan sudah berubah sekarang. Tapi apa harus Juni mengorbankan persahabatannya untuk April? Ah, Juni benci situasi seperti ini. Ia seolah-olah yang menjadi orang jahat di cerita orang lain.
“Aku gak punya pembelaan apapun, karena semua hal yang aku benarkan pasti akan salah di mata kamu. Aku akan sebisa mungkin untuk jaga jarak sama Sabda. Tapi pelan-pelan. Tolong kamu mengerti sekali ini,” kata Juni lalu pergi meninggalkan April.
Ia tidak kembali ke ruang administrasi menemui Sabda. Juni berjalan keluar meninggalkan kampus menuju indekosnya. Dua botol air mineral yang ia beli masih dipegangnya erat. Gerimis turun perlahan, membuat langkah kaki Juni semakin cepat. Dan untuk kali ini, hujan yang jatuh tidak membuat hati Juni merasa senang.
0 notes
kaktuskecill · 2 years ago
Text
JUNI # Bagian kedua
Pukul satu lewat dini hari Juni terbangun karena merasakan tangan Sabda bergerak. Ia, mereka masih di rumah sakit. Meski keadaan Sabda tidak terlalu parah, tapi dokter menyarankan untuk menginap satu hari untuk melihat perkembangannya.
“Kenapa? Lukanya sakit banget?” tanya Juni sedikit cemas.
“Lapar, tadi gak sempat makan malam,” kata Sabda datar.
“Duh, gimana ya? aku gak yakin masih ada warung yang buka. Tapi bentar. Aku coba pesan online aja. Kamu mau makan apa?”
“Yang tersedia aja Juni, asal makan.”
“Ini ada nasi goreng, sate, sama sari laut, kamu mau yang mana?”
“Kamu pengennya makan apa?” tanya balik Sabda
“Burger,” kata Juni polos.
Sabda tertawa sambil menahan sakit kepalanya. Kalau saja ini bukan dini hari dan bukan di rumah sakit, Sabda sudah tertawa keras dengan keluguan sahabatnya itu.
“Terus kenapa pilihannya gak ada burgernya?”
“Ya kan itu makanan junk food, gak sehat buat orang sakit.”
“Udah pesan aja, aku juga pengen makan burger nih.”
Juni tersenyum. “Okey aku delivery sekarang,” kata Juni riang.
“Dasar bocah,” ucap Sabda lalu mengelus kepala Juni.
Jantung Juni berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan pura-pura mengecek ponselnya yang tidak ada apa-apa di dalamnya.
“Tenang Juni tenang, dia sahabat kamu okey, jangan manjain perasaan kamu,” gumannya.
Apa jatuh cinta itu salah? apa menyukai teman sendiri selalu banyak sedihnya? Ah andai saja bisa waktu berjalan mundur, Juni ingin kembali mengenal Sabda sebagai seorang laki-laki, bukan sebagai seorang teman. Juni tidak tahu pasti kapan dan bagaimana hatinya bisa jatuh kepada Sabda, mungkin karena perhatian Sabda, mungkin dari setiap es krim yang dia belikan untuk Juni, atau mungkin karena Juni merasa dilindungi olehnya.
Setengah jam lebih mereka menunggu, burger pesanan mereka tiba. Seorang laki-laki pengantar paket sudah menunggu di depan ruang IGD tempat Sabda dirawat. Juni yang keluar mengambil pesanannya tersenyum hangat dan ramah.
“Makasih kak, maaf ya ganggu waktu tidur kakak,” kata Juni sungkan.
“Kebetulan lagi di dekat tempat burgernya juga. Tolong bintang limanya ya.”
“Kalau ada bintang sepuluh, pasti dikasih kak hehe, sekali lagi makasih ya kak.”
Laki-laki itu berlalu. Juni kembali ke dalam dengan melangkah sangat pelan. Takut membangunkan pasien yang lain. Aroma burger pesanannya benar-benar membuatnya sangat lapar. Juni sengaja membeli tiga porsi ukuran sedang karena jatahnya harus dua. Dan Sabda hanya satu dengan alasan dia adalah pasien.
“Curang benget aku cuma dapat satu. Gak bisa gitu dong,” kata Sabda ketus.
“Pasien jatahnya cuma satu,” tegas Juni.
Mereka menikmati makan malamnya dengan sangat terlambat. Sesekali bercerita hal-hal kecil dan tertawa pelan. Makan malam yang menyenangkan. lebih tepatnya semua hal menyenangkan jika bersama Sabda.
“Eh iya dari tadi kok aku gak ngeliat hp kamu sih, gak kelupaan kan?”
“Lagi dicharger sama suster yang rawat tadi. ku bilang besok aja baru diambil.”
“Yang nabrak kamu gimana keadaannya?”
“Paling lagi ngorok di bawah jembatan.”
“Padahal aku serius loh nanyanya.”
“Ya aku juga serius jawabnya Juni.”
“Kamu emang nabrak apa?” tanya Juni penasaran.
“Anjing.”
Juni tertawa. Lalu melanjutkan “masa kalah sih sama anjing.”
“Aku tadi gak fokus bawa motornya, gak ngeliat kalau ada anjing mau nyebrang. Untungnya kecepatan motorku gak tinggi jadi cuma kebentur kecil aja. Orang-orang yang nolongin juga sigap langsung nelpon ambulans,” jelas Sabda.
“kamu gak ngasih tau April? Tanya Juni sedikit sungkan.
“Kan aku gapapa, nanti dia khawatir. Aku gak enak ganggu dia lagi kumpul sama keluarganya. Ada kamu di sini udah cukup kok.”
Juni hanya mengangguk. seperti ada goresan kecil yang tiba-tiba tepat mengenai hati kecilnya. Mungkin perasaan cemburu, atau perasaan marah yang seharusnya tidak boleh ada. Entahlah, perasaan Juni kalut dan sulit ia jelaskan sendiri.
“Kamu mikir perasaan aku gak sih Sab?” tanyanya dalam hati
Tidak ada lagi obrolan di antara keduanya. Juni beralasan sudah mengantuk karena kekenyangan. Hanya beralaskan selimut tipis yang memang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk satu orang wali pasien, Juni berbaring di samping bawah Sabda. Ia menutup matanya tapi isi kepalanya sedang ribut dalam diam. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar begitu jelas. Sabda sudah tertidur lebih dulu.
Apa yang dulu terlihat berwarna warni sekarang abu-abu tak berujung. Empat tahun berjalan begitu cepat sampai Juni tidak pernah terpikirkan hal pelik yang harus ia rasakan sekarang. Apa sebentar lagi Juni akan kehilangan sahabatnya?
Keesokan harinya, setelah mengurus biaya administrasi dan menebus obat untuk Sabda, Juni mengantarnya pulang. Sabda tinggal di kompleks perumahan yang lumayan jauh dari kampus. Rumah itu sengaja dibeli orang tua Sabda agar lebih mudah untuk menengok anak sulungnya itu. Tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Ada pohon mangga di samping halaman rumahnya. Ada tanaman kaktus, krisan dan juga anggrek yang memenuhi teras rumahnya.
“kaktusnya satu dong buat aku,” minta Juni
“Ambil aja, mau ambil semuanya juga gapapa,” kata Sabda.
“kamu gak minat buka bisnis tanaman hias gitu? siapa tau aja banyak pelanggannya Sab.”
“Kasin tanamannya Juni.”
“Kasian? Kasian kenapa?” tanya Juni
“Ya gak semua yang beli tanaman benar-benar suka tanaman kan? siapa tau aja mereka iseng beli karena bunganya cantik. Terus lama-lama bosan, dibiarin deh bunganya mati gitu aja. Aku rawat semuanya tulus Juni, jadi gak akan kubiarkan layu atau sampai mati.”
Juni menggaruk kepalanya, lalu melanjutkan. “Kalau gitu aku gak jadi ambil deh.”
“Kenapa gak jadi?” tanya Sabda.
“Kamu tau sendiri aku suka lupa. Takutnya aku kelupaan nyiram kaktusnya. Kamu aja deh yang rawat.”
“Nanti kalau kangen sama kaktusnya, kamu datang aja ketemu dia,” ucap Sabda lalu tersenyum ke arah Juni.
Begitu lah Sabda, selalu hangat kepada Juni. Sejak pertama kali mereka bertemu, tidak ada yang berubah dari Sabda sampai sekarang. Laki-laki penyuka tanaman itu memang di kenal ramah oleh teman-temannya yang lain. suka membantu dan tidak masalah jika direpotkan. Juni ingat sekali dua tahun yang lalu, ketika jadwal praktikum sedang padat-padatnya, Sabda dengan senang hati mengantarkan teman-temannya bolak-balik tempat fotocopy untuk mencetak laporan hasil praktikum yang harus dikumpulkan sebelum masuk ke dalam laboratorium.
Dua tahun yang lalu.
“Pintu darurat samping kampus udah di tutup. Kita gak boleh lewat di situ lagi. Padahal kalau lewat situ, tinggal nyebrang aja ke tempat Bang Ucup (kakak ramah pemilik tempat foto copy di sebarang jalan).” keluh Dina.
“Iya nih, kalau lewat pintu utama kan jauh jalannya. Gak ngerti banget sih pak satpamnya,” tambah Ayu.
“Sini aku anterin aja ke depan, naik motor lebih cepat,” kata Sabda.
“Aku nitip foto dokumentasi ya, sekalian di cetakin juga,” sahut salah satu dari teman Sabda
Sabda mengangguk. Ia pergi bersama Dina, teman satu kelompoknya.  Belum cukup lima menit sampai di sana, ponsel Sabda berdering. Ada pesan masuk dari temannya yang lain.
“Mintol print ini juga ya,” kata Suri yang mengririm dua file laporan kepada Sabda
“Siap.”
“Nanti uangnya ku ganti di kampus.”
“Oke.”
Hampir pukul dua siang, Sabda dan Dina sudah berada di depan labolatorium. Menyusun laporan praktikum, dan menyiapkan kotak alat yyang harus dibawa masuk. Suasana ketika itu sedang gaduh. Beberapa mengeluh karena ada beberapa halaman yang salah ketik, tidak menyertakan sumber, dan format penulisan yang berantakan.
“Kira-kira kalau ini diprint ulang waktunya cukup gak ya?” tanya Hera cemas.
“Kayaknya kamu bakal telat deh Ra kalau keluar sekarang. Udah hampir jam dua nih. Bentar lagi masuk,” kata Juni.
“aaaaa duh gimana nih, aku takut banget kita gak masuk satu kelompok gara-gara laporanku,” kata Hera dengan mata berkaca-kaca.
“Tenang dulu. Minggu lalu ada kelompok lain juga kok yang laporannya gak lengkap tapi tetap dibolehin masuk,” ucap Juni mencoba menenangkan Hera.
“Sini aku antar ke depan. Semoga masih keburu waktunya,” kata Sabda yang kebetulan saat itu tidak jauh dari Juni.
Kembali ke masa sekarang.
Setelah mengobrol sebentar dengan Sabda, Juni pamit pulang.
“Langsung istirahat, jangan ngelukis dulu. Kamu pasti capek.”
“Aku cuma mau istirahat bentar, terus ke kampus lagi. Aku janji nemenin Nala bimbingan hari ini.”
“Oke. Jangan lupa makan siang. Tapi jangan makan burger lagi. Besok-besok aja. Nanti biar kubelikan,” ucap Sabda.
0 notes
kaktuskecill · 2 years ago
Text
JUNI # Bagian Pertama
“Juni,” panggil seseorang dari belakang. Laki-laki itu berlari kecil menghampiri Juni. “kamu mau ke mana?” tanya dia.
            “Mau ke toko alat lukis, kanvasku udah habis,” kata Juni
            “Mau ditemenin? Aku juga udah selesai bimbingannya.”
            “Gak usah, tokonya gak terlalu jauh kok. Aku naik ojol aja. Mau nitip sesuatu?” tanya Juni.
            “Nitip satu set alat lukis juga deh, siapa tau April mau nyoba lukis juga.”
Juni terdiam. Dia tidak suka nama itu. Tapi laki-laki di depannya sangat menyukainya. Lebih dari ia menyukai Juni yang hanya ia anggap sebagai teman.  Iya teman. Hanya teman.
“Hei kok diam aja sih, bisa nitip gak nih? Atau kita barengan aja deh perginya,” ajak dia.
Juni buru-buru tersenyum pelan sebelum dia curiga dengan sikapnya. “Nanti aku beliin ya, kita ketemu ntar malam aja di bazar,” kata Juni.
Katanya jatuh cinta itu menyenangkan. Seperti melihat bunga-bunga tulip sedang mekar di taman, atau seperti ketika kamu menikmati es krim favoritmu. Tapi mungkin jatuh cinta dengan teman sendiri adalah pengecualian. Rasanya kurang lebih seperti ketika kamu tetap ingin memakai sepatu kesayangmu meski sudah usang dan ukurannya tidak muat lagi di kakimu.
Hari-hari Juni menyenangkan ketika bersamanya. Dia selalu bisa Juni andalkan dalam hal apapun. Menemaninya mengerjakan tugas kuliah dan laporan prakikum, teman makan bakso tiap pulang kampus, membelikannya obat ketika ia sakit, bercerita hal apa saja setiap saat, dan menunggunya sampai selesai kuliah. Dia teman Juni satu satunya. Perempuan yang tidak mudah dekat dengan banyak orang itu sangat amat beruntung bisa menjadi temannya. Dan karena hal itu juga, ia tidak pernah keberatan dengan perasaannya selama ini.
Pukul delapan malam, di Cafe Daun tempat kegiatan bazar diadakan. Juni datang bersama teman indekosnya, Nala. Matanya mencari seseorang yang punya titipan tadi siang dengannya. Dan benar, dia sudah di sana. Duduk di kursi pojok dekat jendela bersama beberapa orang temannya. Memakai kaos longgar navy dan sepatu hadiah dari Juni.
“Sabda,” panggil Juni.
Sabda menoleh, lalu melambaikan tangan ke arah Juni.
“Nih pesanannya, bayarannya ditambah sama uang jalan ya,” kata Juni bercanda
“Siapa suruh tadi gak mau dianterin, kan kalau sama aku gratis,” ucap Sabda.
“Kanvasnya aku pilih yang kecil aja, kan baru mau belajar juga kan?”
“Makasih ya, April pasti senang. Aku gak bisa lama-lama di sini, April minta tolong dianterin ke rumah tantenya, mau nginap di sana katanya. Kalau kamu mau tinggal sampai acara selesai, nanti aku suruh Ifan buat antar kamu pulang.”
“Gak usah, aku sama Nala ke sini,” kata Juni dengan nada yang sedikit berat.
Sabda pulang lebih dulu, sedang Juni masih menikmati live music dengan Nala. Lagunya garis terdepan, dari Fiersa Besari. Lagunya persis kisah Juni. Yang selalu ada untuk Sabda, jadi orang yang mendengarkan semua ceritanya sampai dini hari, tapi sebatas teman cerita ternyata tidak cukup untuk bisa punya perasaan yang sama.
Pukul sebelas malam, Juni dan Nala sampai di indekosnya. Tapi belum masuk pintu kamar, ponselnya berdering. Nama Sabda muncul di layar ponselnya.
“Iya kenapa Sab?”
“Maaf kami dari pihak rumah sakit mau menginformasikan bahwa saudara Sabda, umur 21 tahun mengalami kecelakaan dan sedang berada di rumah sakit Harapan. Kami menguhungi anda karena anda orang terakhir yang pasien hubungi,” jelasnya.
“Saya ke sana sekarang,” ucap Juni lalu berlari keluar.
Rumah sakitnya tidak terlalu jauh, jalanan kota juga sudah mulai sepi. Juni berlari masuk dan langsung menuju tempat administrasi. Kata suster yang berugas Sabda sudah dipidahkan di ruang IGD. Juni masuk dan langsung mencari Sabda. Laki-laki itu terbaring dengan perban di kepala dan di tangannya. Ia sadar, tapi kondisinya masih lemah.
“Hei, apanya yang sakit?” tanya Juni pelan. Ia memegang tangan Sabda lembut. Air matanya menetes, tapi tidak terlalu deras.
“Gapapa,” balas Sabda pelan. Ia mengambil napas sebentar lalu melanjutkan. “Kenapa gak pake jaket ke sini? Angin malam gak sehat.”
Juni tidak menjawab. Ia saja tidak memikirkan untuk memakai jaket. Perasannya tidak enak sejak tadi. Tapi untuk hal kecil seperti ini, Sabda selalu peka. Jadi bagaimana bisa Juni tidak punya perasaan itu?
1 note · View note
kaktuskecill · 4 years ago
Text
Halo. Gak tau siapa yang bakal baca tulisan ini tapi makasih banget udah menyempatkan waktu untuk baca hehe. Ini kali pertama aku gabung di tumblr, setelah searching banyak aplikasi yang dirasa cocok buat si penulis story kaktus ini nantinya ya ini. Karena ya jujur sekarang lagi benar2 cari sesuatu yang bisa jadi teman cerita walaupun bentuknya beda hehe.
Beberapa ada yang bilang kalau nama penanya unik. Kaktus kecil. Kenapa sampai kepikiran milih nama ini karena buat aku kaktus tuh tumbuhan yang hebat, unik, menarik tapi gak sembarangan yang bisa nyentuh. Dan juga kebetulan saat itu seseorang yang istimewa buat aku sedang memposting foto kaktus di story whatsappnya. Ya kurang lebih gitu deh perkenalan singkat di tulisan pertama ini.
See you next time😊
1 note · View note