Tumgik
karyawatibercerita · 1 year
Text
Kiram
Seorang bayi laki-laki dijadwalkan akan lahir esok Selasa 28 Maret 2023 di belahan dunia bernama Zurich yang jaraknya belasan ribu kilometer dari rumah leluhurnya berada. Entah akan seperti apa rupa anak ini, apakah matanya “belok” seperti ibu ayahnya? Apakah kulitnya akan putih bengkoang seperti ibunya? Apakah rambutnya akan lurus atau keriting? Apakah tubuhnya akan kurus seperti Ayahnya semasa balita dahulu? Bagaimanapun itu, yang kami inginkan hanyalah kesehatan dan kelengkapan fisikmu ketika lahir ke dunia ini. 
Panggil ia Kiram, kami semua setuju menyebutnya dengan nama ini, artinya mulia. Entah cita-citanya apa nanti, sekolah apa yang akan ia ambil, jalan hidup apa yang ia lalui, atau persimpangan apa yang tidak ia lewati, tapi aku yakin sekali suatu hari nanti ia akan menjadi orang besar seperti namanya, Kiram. 
Nak, ketika semua orang sedang siap-siap menyambutmu dengan segala kebahagiaan yang tak ada habisnya, ada aku di sini yang sedang sedih tak karuan entah memikirkan urusan apa. Mungkin patah hati, mungkin kerjaan sedang menumpuk. Aku minta maaf, jika dalam penyambutanmu kali ini, aku tidak bisa sebahagia orang-orang lainnya. Tantemu ini seringkali tidak bisa tidur terlelap di tengah dinginnya malam, ini tepat seminggu berjalan di mana aku sudah tidak percaya cinta. Berita kehadiranmu dalam waktu kurang dari 24 jam pun tidak menambah rasa gembira dalam dada.  Maaf ya, akhir-akhir ini aku sedikit gamang, nak. Dengan segala hiruk pikuk ibukota, alarm bangun subuh, suara mencuci beras di pagi hari, bunyi knalpot ojek yang bising, serta gesekan rel kereta dari Sudimara, semuanya jadi tiba-tiba bisu tak berbunyi di telingaku. Aku kesepian, tapi juga ngos-ngosan. Tergesa-gesa, terengah-engah, jangan ditanyakan lagi. Mau minta tolong, tidak ada orang. Mau berkeluh kesah, khawatir disebut manja. Tapi kamu jangan khawatir, ketika kita sudah bisa bertegur sapa nanti, aku janji akan menampilkan wujud tante terbaik untuk kamu dan adik-adikmu nanti. Kita berdoa bersama-sama saja semoga kita berdua akan panjang umur ya. Untuk hari ini saja, hari ini, aku ingin jadi orang paling lemah sedunia. 
Nak, semalam aku menghubungi ayahmu karena tidak bisa tidur setelah mencoba 3,5 jam memejamkan mata. “Mas, apa sudah tidur?” tanyaku pada Ayahmu. “Belum mir, ada apa?” jawabnya pukul 23.30 di zona waktu GMT+2. Ayahmu adalah pria yang penyayang serta perhatian, meski kadang sedikit galak, tapi dia itu laki-laki paling punya prinsip yang aku kenal. Kiram, kamu harus senang menjadi anak seorang Lugas Raka, Ayahmu itu selalu ada untuk keluarganya, sesibuk apapun dirinya, semarah apapun dirinya, sesedih apapun dirinya. Seperti semalam, ia mengirimkan voice note padahal sudah masuk waktu tidurnya, kata-katanya lembut sekali, meneduhkan dan menenangkan. “Coba minum air hangat atau teh hangat ya mir, susu hangat juga boleh. Kalau Mira capek, besok cuti saja. Ya?”. Pesan suaranya tidak kubalas, tapi ia tidak ragu untuk menyapa kembali keesokan paginya. “Sungguh perhatian dan peduli”, gumamku pagi itu. Bagaimana bisa laki-laki seperhatian ini beberapa hari lalu mengeluarkan kata-kata “Mungkin Raka gak siap ya jadi orang tua?” Lucu, ia khawatir tidak bisa menjadi orang tua yang baik karena sempat emosi melihat tingkah anak kecil yang hobi menangis dan nakal tak karuan. Aku dan ibuku hanya tertawa saja. Lagi pula, menurutku orang-orang yang melontarkan kalimat “tidak siap” adalah orang paling siap sedunia karena mereka sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan. “Tidak siap itu wajar, nak”, begitu pesan ibuku dalam menenangkan anak sulungnya. Ia mungkin gelisah tak karuan dalam menyambut satu nyawa penuh harapan yang akan ia didik dan jaga setengah hidupnya, wajar jika ada rasa takut dan gagal yang menghantuinya. Tapi nak...aku bisa pastikan bahwa Ayahmu adalah calon orang tua yang tidak usah kamu ragukan lagi kapabilitasnya. Sebelum nyawamu hadirpun, ia sudah tahu ingin menjadi orang tua seperti apa dan bagaimana. 
Kiram, kamu lahir di tengah keluarga penuh cinta dan serba berkecukupan. Jangan jadi sombong, aku tahu wajahmu akan tampan dengan adonan suku jawa-minang-sunda di dalamnya, cara berpikirmu akan sangat jenius, caramu mengaji akan tepat di setiap hukum bacaan, tapi mungkin kamu juga akan jahil seperti Ayahmu waktu kecil dahulu.
Dunia ini penuh misteri dan lika-liku. Akupun masih mencari tahu meski sudah hidup 26 tahun di sini. Orang baik itu banyak nak, namun patut diingat jika tak semua orang baik itu akan baik juga denganmu. Akupun masih meraba-raba caraku berjalan di dunia ini. 
Selamat datang ke dunia, nak. Sampai jumpa, segera. 
-Tante Amira.
8 notes · View notes
karyawatibercerita · 1 year
Text
RAMA
Pagi ini tiba-tiba teringat sosok Rama, remaja tidak terkenal di SMAku yang potongan rambutnya selalu semi botak tiap semester awal berjalan. Dia anak OSIS, aku ingat dia selalu mengenakan jaket OSIS kebanggannya yang berwana biru laut itu kemana-mana. Dia juga bukan seorang ketua, bukan wakil, ataupun atribut OSIS lainnya yang menjabati posisi tinggi. Rama hanyalah anggota yang keberadaannya pun tidak dipermasalahkan jika ia tidak menghadiri satu-dua rapat OSIS. Aku juga ingat dia berasal dari kelas IPA, tapi tentu bukan sekelas denganku atau satu lantai denganku dulu. 
Rama selalu menarik perhatian, bukan karena wajahnya yang manis dan tampan ketika remaja dulu, tapi karena dia tidak tahu kalau dia itu manis dan tampan sehingga ia selalu menundukkan wajahnya karena malu. Tapi memang dasarnya dia lugu, tidak mau bergaul dengan banyak orang, serta lurus sekali jadi anak sekolah. Telat tidak pernah, nongkrong di pinggir lapangan basket tidak pernah, bahkan di kantinpun hanya makan lalu pergi tanpa ada bincang-bincang dengan teman di sebelahnya. Aku jadi penasaran, Rama ini bisa bicara tidak sih?
Rama, aku tahu nama kamu dari nametag di seragam putih abu-abu kita dahulu. ‘RAMA PUTRA’ tertulis jelas di kain seragammu sebelah kanan. "Bagus namanya” ucapku dalam hati sambil tersenyum tipis. Aku gak pernah suka sama kamu, cuman ada rasa selalu ingin jadi temanmu biar hari-harimu tidak begitu sepi. Tapi waktu itu aku bingung, bagaimana cara berkenalan denganmu? Ikut OSIS sudah telat, jadi anak baru di kelasmu juga tidak mungkin, tiba-tiba menyapamu di kantin juga aneh bukan main. Gang buntu, aku dan kamu tidak akan pernah bisa berteman.
Namun di suatu pagi, yang aku ingat hari itu adalah hari pendidikan, seluruh siswa di sekolah harus masuk untuk upacara dan jalan santai meskipun hari itu jatuh pada tanggal merah. Malas sekali rasanya harus masuk saat hari libur, untuk sekedar panas-panasan pula. Dengan berat hati, semua proses itu aku jalani demi absen dan nama baik Amira Swastika seorang bintang kelas. Setelah upacara, aku memutuskan untuk makan bakso di kantin sekolah. Aku duduk tanpa melihat kiri kananku, wajar, saat itu aku lapar berat sampai tidak peduli sekitar. Satu-satunya yang menarik perhatianku saat itu adalah semangkuk bakso panas yang baru datang. Ketika sedang mengambil sendok garpu, pandanganku terlempar pada sosok manis di sebelah kananku. “RAMA!” teriakku kencang dalam hati, mataku langsung melotot, jantungku berdegup lebih cepat, keringat dingin mulai datang entah dari arah angin yang mana. 
Di meja kantin yang kecil itu, kami makan bersama, bersebelahan pula, mimpi apa aku semalam? Gugup sekali rasanya makan di sebelah Rama. Saking tak bisa berkutik, bakso-ku sempat terjatuh dari sendok dan menyebabkan cipratan ke wajah Rama. Ya, Rama terciprat kuah baksoku yang panas dan pedas. Ya, rasanya seperti mau pingsan. Bagaimana ceritanya, belum kenal tapi sudah bikin malu. “Maaf ya” kalimat pertama yang kuucapkan untuk Rama yang kemudian dia balas dengan “Iya ga apa-apa kok”. Aku, mangkok, serta kumpulan rasa malu di setiap nafasku, dan Rama yang melanjutkan makannya seperti biasa. Selepas makan, aku berusaha mengelap keringatku dengan tisu kantin yang kuyakin dibeli karena harganya paling murah di toko. Bahannya tipis, warnanya kekuningan. Aku mengelap wajahku dengan tisu itu secara perlahan, berharap tidak ada sisa debu dan kuah bakso di wajahku. Kemudian aku lihat Rama di samping duduk dengan rasa bimbang melihatku, seperti ingin mengucap sesuatu namun ditahan. "Rama kenapa sih, mau nembak ya?" "Gak mungkin dong, kan kalian gak kenal" diskusiku dalam hati. Dalam penuh kira-kira, akhirnya Rama mengucapkan sesuatu.
"Amira, ada tisu di muka"
DEG DEG DEG
"Hah? Apa?" *panikku tak karuan. Antara karena dia mengucap namaku Amira atau karena ada tisu di wajah.
"Itu, ada sisa tisu di muka" *dia menunjuk pipi kiriku berusaha mengambil sisa tisu murahan ibu kantin itu yang kemudian berhasil aku sisihkan dengan secepat kilat.
Kemudian hening. Lalu ia pergi, meninggalkan meja kantin.
Hari itu berlalu dan kami tetap tak saling mengenal. Kadang aku temui ia di ujung lorong ruangan guru sambil membantu bapak ibu guru membawakan kepentingan alat mengajar, kadang aku temui ia sedang mengatur barisan upacara, kadang juga di bale-bale dekat pura besar di sekolahku. Aku dan Rama hanya bisa melempar senyum, tidak ada kata yang terucap setelahnya, toh kami bukan teman.
Rama oh Rama. Aku suka bagaimana kamu bisa tampil di depan umum dengan gagah, lalu jadi kutu buku kembali setelah itu. Aku suka bagaimana kamu menatap lawan bicaramu dengan dalam, lalu tiba-tiba menundukkan kepalamu ketika berjalan di keramaian. Kamu unik, itu lucu, untukku, saat itu.
Masih menjadi misteri bagaimana Rama tahu namaku. Bisa jadi karena ia membaca nametag di seragamku juga ketika peristiwa bakso ajaib terjadi, atau kejadian lainnya yang biarlah menjadi pertanyaan.
Rama bukan cinta pertama, aku juga gak pernah menaruh perasaan dalam kepada Rama. Ia...lucu untuk diobservasi. Mengenal sifat Rama jadi bikin aku tahu ingin hidup dengan pria seperti apa. Pria yang kalem, tapi tidak pendiam. Pria yang bisa tampil berbicara di depan banyak orang, tapi tidak haus sorotan menjadi bintang utama. Pria yang mudah melempar senyuman, tapi untuk orang tertentu saja. Pria yang tidak suka konflik, tapi mau jika diajak berdebat.
Rama oh Rama, salam kenal.
0 notes
karyawatibercerita · 1 year
Text
Sapa 2023
Tau-tau tahun berganti lagi. Satu tahun kebelakangan ini rasanya seperti naik mobil di tengah kota. Aku gak lagi berpikir soal bagaimana menghindari polisi tidur dan keluar dari dalam gang seperti Pogung, tapi lebih soal memilih jalan yang tepat untuk mencapai tujuan, mau pakai tol atau tidak. Di jalan yang dipilih itu, kadang aku ditemukan dengan berbagai hal. Ada waktunya mengalah ketika ambulans lewat, ada kalanya menginjak gas yang kencang ketika berada di kanan jalan, ada juga rem yang lembut agar teman sebelahmu tidak mengomel panjang. Kadang juga kita terlalu cepat atau terlalu lambat dalam mengambil belokan, ya meski ujung-ujungnya sampai juga, tetap ada rasa bersalah yang menyisa di tikungan tersebut. 
Soal Keluarga
Perjalanan tahun ke-2 tanpa kepala keluarga kami, Ayah. Hidup tanpa Ayah setelah dijalani ternyata tidak sekelam itu. Meski hilang satu laki-laki yang menyayangi aku dengan tulus, tapi seenggaknya aku pernah merasakan dicintai yang begitu besar sampai paham rasanya gak dibolehin sedih lama-lama, gak dibolehin telat makan, sampai gak dibolehin sendirian ketika sedang patah hati. Sejak hilangnya sandaran utama di keluarga kami, sekarang Ibu, Mas Raka, dan aku jadi begitu makin mesra. Kami jadi takut kehilangan satu sama lain lagi. Kami juga jadi sadar kalau keluarga itu nomor satu. Ada kalanya juga aku dan ibu bertengkar hebat, saling caci, saling maki, keluar dua tangisan hebat, membela diri satu sama lain, hati patah tak karuan. Namun di ujung hari, kita berdua kembali memeluk satu sama lain. Aku baru tau, ada rasa cinta yang besarnya begitu dahsyat sampai-sampai kamu gak akan bisa marah dengan orang itu begitu lama. 
Saking aku sayangnya sama ibu, aku jadi ingin lihat dia bangga minta ampun sama anaknya ini. Dulu aku pernah tanya “bu, apa sih yang buat ibu bahagia?” kemudian beliau cuman balas “Anak-anak ibu sehat, gak merepotkan orang lain, sama selalu habiskan masakan ibu.” “Itu aja bu?” “Kamu harus jadi orang tua dulu buat paham hal sederhana itu maknanya besar banget buat orangtua”. Lucu ya, kadang aku pulang mengabari habis dapat award dari kantor dan dia tidak begitu nampak sumringah, tapi ketika aku habiskan sayur bening yang dia masak pagi tadi, ada ucap syukur lebih dari 5x yang dia panjatkan. 
Tahun ini keluarga kami akan makin ramai. Mas Raka dan Mbak Cantika akan memililiki anak laki-laki sebentar lagi. Insyaallah aku akan jadi tante di bulan Maret ini. Masih jelas sekali di ingatanku soal masa kecil kami di Kotamobagu, tak terasa sebentar lagi anak kecil dalam ingatanku malah akan menjadi seorang ayah di keluarga kecilnya. Ada nyawa dan harapan baru yang akan kupastikan menjadi anak kecil paling bahagia di dunia ini. 
Soal Pasangan
2022 masih tanpa tujuan dan pelabuhan. Kehidupan asmara rasanya datar-datar saja, tidak ada yang menjanjikan, tidak ada yang diharapakan.
Suka dengan seseorang pasti tetap ada, tapi biarlah dibuat padam dan tiada untuk menghindari benih patah hati lagi. Rasa ingin pacaran juga selalu ada. Bertemu pasangan yang lihat dan dengerin kamu, apresiasi kamu, mengerti kamu, dukung kamu, peluk kamu, aduh dibayangi saja sudah bahagia betulan rasanya. Tapi semesta itu aneh luar biasa. Bisa aja kita ngerasa sudah bertemu dengan orang yang diidamkan itu, lalu tiba-tiba datang segudang alasan kenapa kita gak bisa bersama. Ada yang inginnya “jalanin aja dulu” lah, ada yang gak siap maju ambil risiko, dan segelintir hal-hal aneh yang capek aku tulis ulang soalnya semuanya sudah terprediksi. Lagian ya, kalau ada laki-laki ngomong begitu, mungkin dia memang gak sesuka itu saja sama kamu.
Tapi cari pasangan tuh memang susah ya. Dua-duanya gak bisa saling suka aja. Harus dapat restu dari orang tua dan dari teman, harus sama-sama punya ingin yang sama, harus satu kota, harus ngerti kalau dia punya sahabat lawan jenis, harus rela menempuh jarak jauh biar bisa makan malam bersama, banyak harus ini itu lainnya yang kalau sudah dijalani dengan orang yang tepat kok rasanya tidak berat sama sekali. Bisa aku visualkan, di ujung hari yang begitu lelah, nada dering muncul dan namamu keluar di whatsapp call-ku, “Halo lagi apa?” sapamu. Beban hari itu rasanya terangkat begitu saja, lucu ya. 
Aku ingin punya seseorang yang selalu ada di hari-hari lelah itu. Aku sudah capek atur strategi juga, tidak ada lagi tarik ulur untuk perempuan usia 26 tahun. Mau main-main ya bilang, mau serius juga ayok. Hari ini aku pengen bahagia yang panjang aja. Aku sudah gak inget rasanya diperjuangin itu kayak gimana. Yang aku paling paham saat ini adalah soal buang-buang waktu. Lagian waktu memang sudah pasti habis, makanya disebut spending time, pertanyaannya adalah di sisa waktu ini, mau kamu habiskan dengan siapa?
Kalau boleh meminta, 2023 ini aku punya impian. Impian sederhana yang mungkin banyak orang sudah rasakan, bahkan sahabat non-islam ku (Dewi) pun sudah pernah lalui. Impiannya simpel aja, bisa makan ketupat+opor+rendang di rumah pacar pas hari lebaran atau H+1 lebaran. Aku pengen ada di tengah keluarga yang ramai kembali. Waktu lebaran 2022 kemarin, aku dan ibu habiskan di Pamulang saja. Sepi, sepi sekali dan lebih dingin saja rasanya. Ternyata punya keluarga yang ramai itu menyenangkan ya.
Kemudian pada tikungan salah itu, kamu akan menemukan kedai kopi yang nampaknya baru buka, sepasang pengamen dengan suara indah, anak kucing lucu yang haus akan belaian manusia, dan tukang parkir yang kemudian mendoakan kesehatanmu. Di dalam mobil, radiopun menggemakan suara azan magrib untuk wilayah Jakarta. “Sholat dulu mau gak” ucapku padamu, “Boleh” katamu lembut. Setelah sholat, kita berdua menghampiri kedai kopi baru itu, lalu mendengar 1 lagu cinta dari Kahitna yang dibawakan oleh sepasang pengamen muda, membelai anak kucing lucu yang menghampiri kita, lalu pergi dengan doa “sehat-sehat bos, lancar rejekinya” hanya karena kamu memberikan 5rb rupiah untuk tukang parkir yang sudah lansia itu. Pukul 7.15 kamu bertanya “Jadi ke tempat yang kamu pengen?” “Jadi, udah deket kok kayanya” jawabku. Pukul 8 kita sampai. Meski telat, namun tiba juga pada tujuan. Kalau gak salah jalan, mungkin kita akan tiba tepat waktu, namun banyak hal juga yang terlewati. Seperti itu 2022 bagiku. Aku masih banyak salah dalam mengambil keputusan, salah dalam mencintai, salah dalam pekerjaan, serta salah-salah lainnya. Semoga setiap salah ini punya arti besar untuk tahun ini, tahun esok, dan tahun-tahun selanjutnya. 
Aku harap 2022-mu menyenangkan, aku harap juga masih ada aku di 2023-mu. 
0 notes
karyawatibercerita · 1 year
Text
Barrymore : “I’m not a fighter, I’m a lover.” 
Reeves : “No, no. Because if you’re a lover you’ve gotta be a fighter.”
Barrymore : “How so?” 
Reeves :  “Because if you don’t fight for your love, what kind of love do you have?”
0 notes
karyawatibercerita · 1 year
Text
Kayaknya aku lagi capek banget, boleh gak nyender yang lama banget di pundak orang?
0 notes
karyawatibercerita · 2 years
Text
Jonson
Cerita hari ini soal kolega kantor bernama Pak Jonson. Memori pernah bekerja bersama Pak Jonson saat itu cukup melekat di kepalaku meski kami tidak sedekat itu, personal maupun profesional. 
Namanya Jonson, seorang koordinator lapangan di daerah Pekanbaru. Biasanya aku panggil dia Pak Jonson, maklum, beliau sudah kelewat matang untuk kami panggil “mas” di kantor. Aku selalu ingat gaya berpakaiannya yang konsisten menggunakan atasan polo + celana kain berserta ikat pinggangnya yang lebar itu. Tak lupa, ada kacata mata bingkai silver yang begitu tebal sekali lensanya. Rambutnya selalu rapih, nampaknya dia sisir setiap jam. Tubuhnya berisi, representasi bapak-bapak Indonesia seperti yang ada di pikiran kalian. 
Dulu kantornya ada di Sumatra, hari-hariku komunikasi dengan Pak Jonson menggunakan google meet. Sampai akhirnya beliau dipindahkan ke Jakarta, menjadi salah satu koordinator field Jakarta yang kekurangan orang. Pertemuan pertama kami secara langsung terjadi di lantai 15 gedung Mayapada Sudirman. Saat itu aku baru habis kembali dari toilet, kemudian aku dengar suara yang begitu familiar dengan logat Sumatra yang begitu kental mengisi ruangan ini. Aku hampiri beliau, aku bilang “Pak Jonson ya? Saya Amira yang biasanya bapak telfon di whatsapp hehe”. Pak Jonson pun seperti senang sekali ada yang mengenalinya di gedung ini. Kalau aku boleh membagi informasi, sebenarnya kantor Pak Jonson ada di Tebet, namun beliau datang ke kantor Sudirman untuk mengambil laptop di IT. Fyi juga, kantor Sudirman dan kantor Tebet begitu berbeda. Aku bisa mencium ambisi calon-calon borju yang begitu dahsyat dari lift di kantor Sudirman, sementara di Tebet yang aku rasakan cuman kehangatan seluruh pekerja dan kuliner yang tumpah di kiri kanan kantorku. Jadi wajar sekali, jika hari itu Pak Jonson senang bukan main ketika ada yang menyapanya secara langsung di gedung tersebut. “Oh Amira, akhirnya kita ketemu ya. Biasanya dengar suaranya saja, sekarang bisa lihat orangnya seperti apa.” Selanjutnya kami mengobrol, aku mengabaikan pekerjaanku selama 20 menit kala itu. Managerku sampai heran aku tidak kembali ke meja setelah sekian lama pergi dari toilet. Di dalam waktuku “lari dari tanggung jawab” selama 20 menit ini, aku jadi tahu banyak soal kehidupan Pak Jonson. Dia cerita banyak hal. Dari keresahannya gagap menggunakan teknologi, keresahannya akan dirinya sebagai orang yang paling tua di jabatan field coordinator, sampai kisah istrinya adalah seorang ex-Nielsen. 
Sebagai seorang anak yang memiliki Ayah usia 50an kala itu, aku maklum sekali jika ada orang berusia 50an yang kurang pandai dalam mengoperasikan komputer. Namun soal Pak Jonson, aku bisa lihat bagaimana dia berusaha mengejar ketertinggalan dan selalu punya siasat baru terhadap hal yang kurang ia kuasai.Menjadi seorang PM saat itu, kami sering meminta Pak Jonson untuk update sheet yang ada di google sheet online. Namun, tentu kami harus terima untuk diganggu olehnya berkali-kali karena ia kurang paham soal sheet apa yang harus diisi. Ia selalu menggunakan whatsapp dalam komunikasi meski sebenarnya kantor kami punya platform sendiri untuk saling bertegur sapa. Beberapa temanku merasa terganggu sekali dengan sikapnya yang dianggap kurang profesional. Menurutku sih tidak masalah aplikasinya apa, selama komunikasi bisa terjalin dan isu yang ada selesai. 
Selain soal komunikasi, Pak Jonson juga sering dibicarakan antar timku kala itu. Semuanya lebih banyak tertawa terhadap cara kerjanya. Mereka bilang jika Pak Jonson seling melontarkan pertanyaan aneh dan tidak bermutu ketika briefing. Padahal menurutku tidak ada yang salah dari sebuah pertanyaan, jika memang dia belum paham, memang salah jika bertanya? Kita kan gak punya otak yang sama dalam mencerna sesuatu, jadi menurutku sih gak ada yang layak ditertawakan dari sebuah pertanyaan. Mau itu pertanyaan tak bermutu, pertanyaan berkualitas, dua-duanya butuh hal yang sama : JAWABAN. Kata temanku yang vokal sekali soal Pak Jonson, “Hal yang sudah jelas di depan mata, tidak usah ditanyakan karena buang-buang waktu”. Dalam hati aku cuman bergumam kesal. Tolong deh, tidak ada kok waktu yang terbuang selama kita sudah meringankan hidup 1 orang atau lebih karena berhasil menjawab pertanyaan mereka.
Dan benar lho, ketika aku briefing dengan Pak Jonson, beliau memang banyak sekali bertanya. Pertanyaannya terlihat simpel, namun kalau dipikir-pikir kembali ya cerdas juga. Beliau tanya soal kata-kata yang sulit dalam qnaire, ini definisinya apa, ini bisa begini atau tidak, serta yes/no qtion lainnya. Di ujung pertanyaan, dia ambil kesimpulan “Menurut saya ini bahasanya tidak mudah dimengerti orang awam. Apalagi kriteria kita sampai kondisi ekonomi lower 2, cara bertanya seperti ini salah. Jika salah, maka datanya nanti akan tidak berkualitas.” Saat itu ada client, langsunglah si client kepikiran soal kata-kata Pak Jonson lalu langsung mengiyakan saran darinya saat itu juga
Beliau ini sangat memorable. Kegiatan follow-up terhadap sesuatu kencang sekali. Ketika briefing pun, Pak Jonson selalu bawa pulpen dan kertas untuk mencatat, hal yang tidak pernah aku lihat di coodinator manapun di seluruh Jakarta (atau mungkin Indonesia). Aku juga bisa lihat dia cukup galak terhadap interviewernya, poin penting untuk on-schedule dalam sebuah projek. Pak Jonson memang sudah tua, tapi aku bisa merasakan 2x upaya darinya jika dibandingkan dengan teman-teman koordinator yang lain. 
Aku gak pernah ngerti kenapa bisa orang yang sepekerja keras ini kok ditertawakan? Terakhir yang aku ingat, grup whatsapp kami menertawakan cara dia menulis pesan cuti ketika natal tiba untuk balasan otomatis di email. Dia menulis “Jonson sedang cuti merayakan natal. Bisa hubungi Jonson di tanggal xxxxx”. Dan ini dibahas di grup seharian, kayak gak punya hal lain aja untuk dibicarakan.
Kabar Pak Jonson sekarang bagaimana? Kabar buruk, beliau sudah meninggal. Selama ini dia sakit keras. Pagi itu pukul 8 pagi aku baca chat di grup kantor, isinya pesan dari whatsapp personal Pak Jonson namun istrinya yang menuliskan. Katanya sang suami telah tiada, mohon beri maaf jika ada kesalahan. 
Pak, sebenarnya saya yang harusnya minta maaf. Selama ini saya begitu cupu, tidak berani membela bapak. Hal terbaik yang saya lakukan cuman tidak tertawa.
Aku berdoa semoga nanti banyak pekerja lain di luar sana yang lebih berani dalam membela teman kantornya. 
0 notes
karyawatibercerita · 2 years
Text
Bekasi
Beberapa waktu yang lalu aku sempat mengunjungi kembali kota Bekasi setelah sekian lama kutinggalkan. Sejak Ayah tidak ada, aku dan ibuku hampir tidak kembali lagi ke kota tersebut kecuali ada hal genting terkait bank. Maklum, ibuku sengaja menyimpan sebagian harta Ayah di kantor lamanya, tidak ia tarik sama sekali. Kata ibu "Kenang-kenangan saja, biar ada yang tertinggal di kota ini dan menjadi alasan untuk kembali."
Kembali ke kota yang mencatat memori duka terdalam namun sekaligus menyimpan kenangan manis selama hidupku, rasanya campur aduk.
Almarhum Ayahku adalah seorang pegawai bank. Ketika ia pensiun, beberapa tawaran kerja datang padanya. Ia sempat ditawari menjadi direktur di sebuah rumah sakit area Jawa Barat. Tentu ia sangat tertarik, semangat sekali ia bercerita soal pembangunan rumah sakit tersebut. Terlebih ini adalah dunia baru, bukan bank, lalu di tempatkan di Jawa Barat, mana sanggup hati menolak. Dua bulan ia menunggu, namun sayang pembangunan rumah sakit sedikit tertunda. Sebagai laki-laki yang tak pernah menganggur seumur hidupnya, ia putuskan untuk mundur dari posisi tersebut sampai akhirnya ada anak perusahaan BRI yang meminangnya kembali. Rasanya dejavu, kembali ke dunia yang nyaris ia tinggalkan, BANK. Daripada ia diam di rumah, ia ambillah kesempatan ini. Berpindahlah kami ke kota yang paling sering diejek pada sosmed, BEKASI.
Aku melihat Ayah sebagai orang yang bahagia sekali sejak pindah ke kota ini. Kantor dekat, masjid dekat, mall dekat, hiburan banyak tersedia. Aku dan ibu sebenarnya tidak menetap di Bekasi, kami hanya bolak balik saja suka-suka. Aku juga sangat merasakan presensi seorang ayah ketika kami tinggal di Bekasi. Pernah suatu hari aku pusing naik busway hingga nyaris pingsan. Aku telfon ayahku, kataku "Ayah, Mira mau pingsan." lalu Ayah membalas "Ya sudah, dikuatkan sedikit lagi. Turun di Bandar Djakarta, lalu naik ojek ke sini." Kemudian 30 menit berlalu, ojekku sudah sampai depan lobi. Aku melihat Ayahku sudah berdiri di muka lobi, membawa 1 susu bear brand untukku. Ia pegang pundakku "Masih pusing? Minum dulu." Aku terharu, sebagai ayah paling cuek sedunia, tidak pernah peduli dengan urusan sekolahku dan kakakku sejak SD, tidak pernah antar jemput, tidak pernah antar kami ke rumah sakit, serta banyak tidak pernah ini itu lainnya, makanya menjemput aku yg nyaris ingin pingsan di lobi apartemen dengan membawa susu beruang adalah hal paling manis yang pernah ia lakukan.
Manis, tapi tentu tak kelampau manis.
Ketika aku WFH pun, ia selalu berusaha menjemputku siang-siang untuk mengajakku makan siang di luar. Jika ia tidak sempat, makan siang selalu ia antar lewat OB kantor yang kemudian dititipkan di lobi apartemen. Hari Sabtu Minggu pun juga tak kalah penting, ia selalu ajak kami keluar seperti ketika jaman kecil dahulu di mana hari weekend adalah hari keluar rumah.
Dari 2018-2021 kami tinggal di Bekasi. Di kota yang jauh sekali, panas, tidak ada spesial-spesialnya sampai aku sadar sesuatu. Ini bukan soal di mananya, melainkan sama siapanya.
Ingin sekali aku membenci Bekasi. Tapi bagaimana? Aku pernah diperlakukan begitu spesial di kota ini, aku pernah menghabiskan weekend termanis di kota ini, aku pernah makan hampir di setiap rumah makan jagoan kota ini, bahkan pernah pdkt - jatuh cinta -patah hati juga di kota ini.
Ingin sekali aku membenci Bekasi, harusnya Ayah menjadi direktur rumah sakit saja di kota Garut, bukan bekerja di bank setiap hari seperti kemarin hingga akhirnya ia terkena covid di Bekasi. Tapi ibu berpesan untuk tidak marah atas apapun keputusan yang sudah diambil, serta tidak boleh berandai-andai karena sesuatu yang sudah terjadi ya dilewati saja.
Makanya, kemarin ketika kembali ke Bekasi, aku buang jauh pengalaman melihat Ayahku di bangsal rumah sakit, tapi menghadirkan ulang memori manis 2018-2021 lalu saja. Toh Bekasi pun tidak sebegitu ngangenin kok.
Dari awal, menghampiri Bekasi ini memang bukan tentang mengobati rindu, tapi soal mengulang kembali senyuman yang pernah tercipta di hari kemarin.
0 notes
karyawatibercerita · 2 years
Text
Satu Masalah Tuntas
Kemarin ibuku menelfon, dia tanya soal siapa laki-laki yang dekat dengan anaknya ini. Aku jawab jujur “Gak ada bu, malas cari, lagian Mira belum mau kawin juga.” Dia langsung meninggikan suara, keluar beberapa kata Minang yang tentu aku tak pandai mengulangnya kembali. 
Ibuku : “Yang suruh nikah memang siapa? Kan ada prosesnya dulu. Pacaran. Baru habis itu lamaran. Lalu menikah. 2-3 tahun makan waktu. Gak mungkin lah kenalan hari ini lalu bulan depan ajak kawin, orang gila namanya.”
Aku : “Yaaaaaaaaaaaaaaaa tau. Tapi memang gak ada kandidat.”
Ibuku : “Jangan pasrah-pasrah gitu ah nak. Berdoa makanya. Kalau ibu aja yang berdoa tapi kamu engga, Allah mau ngabulin doa juga ragu.”
Aku : “Berarti ibadah ibu kurang kenceng karena doanya tidak diprioritaskan tuh...”
Ibuku : “Mimpi apa aku punya anak perempuan begini ya? Perasaan waktu hamil kemarin dikasih suara Alquran tiap hari dan makan makanan bergizi terus kok keluarnya kayak gini ya?
Aku : “Hihihi kenapa bu? Di atas ekspektasi ya?” 
Ibuku : “DI LUAR EKSPEKTASI!” lalu kami tertawa lewat video call whatsapp ini.
Jika ditanya soal mengapa harus menikah, aku gak punya jawaban lain selain “Pengen punya mini ME” alias anak perempuan. Soal bagaimana pernikahan adalah bagian dari ibadah, membawa kita ke surga, atau mengenai menikah menjadikan kita sebagai manusia yang utuh secara emosional dan spiritual lah, punya safety-net lah, menghindari dosa lah, atau blablabla lainnya, semuanya belum terlintas di kepala, jadi boro-boro masuk prioritas. 
Yang terpenting saat ini, aku sudah punya nama anak perempuan jika suatu saat nanti aku jadi seorang ibu. Tidak masalah jika calon suami belum ada, setidaknya ada 1 hal dalam rumah tangga yang tidak usah dipikir lagi nanti. Lumayan kan untuk mengurangi beban pikiran dan tenaga di masa depan nanti. 
AISHALUNA ARIMBI. 
Aisha aku ambil dari nama istri baginda Rasulullah, Aisyah. Harapannya agar dia menjadi seseorang yang pintar, namun lembut juga hatinya seperti Āʾishah bint Abī Bakr.
Nama Aisha diatas aku pasangkan dengan Luna, yang artinya bulan. Cahaya bulan memang tidak seterang matahari, namun ia ada sebagai fungsi stabilitas dan proteksi bumi. 
Kemudian pada nama tengah ada Arimbi, nama seorang Dewi dari kisah perwayangan Jawa. Arimbi adalah dewi yang cantik, seorang putri dari Negara Pringgandani. Ia jujur, penyayang, dan setia.
Untuk last name mungkin masih perlu diskusi dahulu ya, tapi mohon sabar menanti, harus aku tunda dahulu proses FGDnya karena yang diajak diskusi belum aku tentukan(temukan) siapanya. 
Tapi bagus kan ya? Kok tiba-tiba aku jadi kurang percaya diri. 
0 notes
karyawatibercerita · 2 years
Text
Sidharta
Sudah lama aku tidak bercerita soal masa laluku. Kisah kali ini tentang Sidharta, teman kecilku di Sekolah Dasar Negeri kota Denpasar. Sampai detik ini aku masih menebak-nebak apakah betul nama dia Sidharta atau ini hanya karanganku saja? Entah mana yang benar soal nama dia, tapi soal tiap detail kejadian yang akan aku tulis ini murni benar dan bukan tebak-tebak buah manggis saja. Aku selalu bilang ke orang-orang jika temanku sedikit, tapi bukan berarti ceritaku sedikit. Banyak hal yang bisa aku ceritakan (tulis, karena aku malas bicara) mengenai satu per satu temanku, dekat tak dekat, kawan atau lawan, semuanya punya cerita yang layak disampaikan.
Sidharta bocah yang pendiam, tidak berprestasi, tidak nakal, tidak aktif di kelas. Dia orang paling biasa-biasa saja, iseng pun tidak. Dari sahabatku, aku tahu dia bukan orang yang cukup mampu. Ibunya seorang tukang cuci keliling, kalau Ayahnya aku tidak ingat. Meski sang ibu adalah tukang cuci, namun baju Sidharta selalu paling lecek dan kecokelatan. Celana merahnya pun terlihat sudah sangat kecil sekali, pendek jauh di atas lutut, mungkin tidak pernah ia ganti selama 2 tahun. Rambut belakangnya ia panjangkan dan ikat kepang, katanya tidak boleh digunting sampai ia dewasa.
Dulu saat istirahat berlangsung, aku suka penasaran apa yang Sidharta lakukan. Apa ia punya uang jajan? Apa ia bawa bekal? Apa ia baik-baik saja? Kadang perasaan iba muncul. Aku ingat pernah belikan dia donat 2ribuan ketika ada les sore. Seingatku dulu ketika ujian sudah dekat, sekolah suka mengadakan jam pelajaran tambahan sampai jam 3 sore. Kami ada waktu pulang dulu selama 1 jam, atau tidak usah pulang sama sekali dan berdiam di sekolah sampai pelajaran les berlangsung. Sidharta tidak pulang, ia hanya berdiam di bangkunya sambil memejamkan mata seperti orang tidur. Murid lain makan bekal bersama atau lunch di kantin sekolah. Aku hampiri Sidharta kala itu, kataku “Mau donat? Tadi kelebihan belinya” lalu ia balas “Makasih ya Amira”. Waktu itu usiaku masih 10 tahun, tapi mendengar orang mengucap terimakasih dengan nama lengkapku yg benar “A-M-I-R-A” kok rasanya senang sekali tak karuan.
Tapi aku melakukan kesalahan besar, kesalahan yang aku sesali sampai hari ini. Kala itu Sidharta ulang tahun, aku tahu dari buku biodata di kelas. Ketika selesai upacara, aku dan Ambari (sahabat SDku, namanya cantik) menghampir Sidharta yang sedang duduk-duduk di tangga. “Sidharta, kamu ulang tahun ya hari ini?” “Iya” “Ambari, Sidharta ulang tahun. Kita salami yuk!” kataku penuh keceriaan. Kami bersalaman, aku bilang “Selamat ulang tahun Sidharta, semoga panjang umur dan jadi orang sukses” diikuti dengan salaman dari Ambari juga. Setelah salaman, aku tak sengaja menggosok kedua tanganku seakan membersihkan jejak tangan Sidharta tadi. Aku ingat-ingat kembali, gerak refleks itu membuatku seperti orang jahat dan sombong. Padahal tidak ada maksud seperti itu karena aku hanya membersihkan sisa kapur yang menempel di tangan, bukan sedang menjadi bocah sombong yang tak sudi bersalaman dengan anak tukang cuci keliling. Aku jadi terus kepikiran soal kejadian super singkat itu. Diulangi salah, dijelaskan juga tidak berguna.
Sehabis itu, aku merasa dia sedikit menjaga jarak denganku. Aku jadi sedih, tapi aku juga tidak berusaha memperbaiki keadaan kala itu, tidak ada nyali.
Kemudian kisah perang dingin ini berlanjut sampai akhirnya aku pindah sekolah ke Jawa Timur. Di hari aku pindah, aku lihat Sidharta sudah menggunakan pakaian sekolah yang baru. Atasannya putih bersih, terlihat sangat longgar, mungkin ibunya jaga-jaga agar seragam ini bisa digunakan sampai Sidharta lulus sekolah. Soal celana merah pun tidak kalah kebesaran. Ia pakai sabuk super kencang hingga membuat lipatan sebesar 3 jari orang dewasa, panjangnya pun menyentuh lutut. Sidharta sangat tenggelam di seragam barunya, tapi yang pasti ia lebih percaya diri karena bajunya adalah baju terputih di kelas kala itu. Aku jadi senang lihat Sidharta pakai baju baru, dia berubah jadi sedikit lebih banyak bicara.
Hi Sidharta, aku minta maaf kalau pernah nyakitin perasaan kamu ya. Semoga kamu betulan panjang umur dan sukses. Ayo kita ngopi suatu saat, tidak usah tahun ini, karena aku pun tidak tahu kamu ada di mana. Big sorry, percaya deh donat yang aku berikan saat itu tulus, begitu juga doa yang aku lontarkan ketika kamu ulang tahun kemarin.
Kalau aku bisa kembali ke masa lalu, mungkin aku akan pilih hari di mana Sidharta ulang tahun. Aku akan ulangi kembali salaman tersebut dengan benar dan tepat. 
0 notes
karyawatibercerita · 2 years
Text
Ar Rum 21
Ibuku selalu bilang jika pernikahan akan berjalan lebih mulus jika sang laki-laki lebih mencintai istrinya daripada bagaimana si istri mencintai suaminya. Aku tentu kesulitan memahami petuah ini, maksudnya bagaimana? Ribet amat? Memang kita bisa ukur rasa sayang? Yang lebih mudah dipahami, ibuku bilang carilah laki-laki yang mencintai kamu lebih besar, kitanya tak usah tak apa. Aku, si suka debat dengan ibu sendiri, membalas perkataan dia “Ya kalau Miranya gak cinta-cinta amat, gimana dong?”
Balasan ibu cuman “Ibu sama Ayah nikah gak pake cinta-cintaan tuh”
Kalau sudah seperti ini, gak usah didebat lagi. Lebih baik cari tahu sendiri. Dari agama, pengalaman teman, pengamatan sosial, atau pengalaman sendiri. Soal bagaimana agama memandang cinta dan bagaimana aku mencari pasangan, sebenarnya segalanya beririsan.
Di dalam Al Quran sendiri, sebelum menyebut soal love/mercy/kindness, tertulis dengan jelas bahwa alasan fundamental pernikahan terjadi adalah untuk menemukan kedamaian satu sama lain. “ And one of His signs is that He created for you spouses from among yourselves so that you may find comfort in them. “
Mungkin ini soal bagaimana tatapan mata seseorang bisa membuat rasa lega dan tenang yang mengalir begitu saja di dalam dada. Tidak ada pikiran soal kelamnya masa lalunya dan masa laluku, semuanya terasa lebih sederhana saja jika dengan dia. Mungkin dia bukan orangnya, jika dalam matanya sekalipun kamu masih menemukan segala sakit hati yang pernah ia buat dahulu. Jika tidak ada kedamaian ketika menatapnya, mengapa harus dilanjutkan? Its not okay to not be at peace, begitu pesan dari Ar Rum 21, kita harus tanamkan ini sebelum berpikir soal love. Urutannya harus benar, peace/comfort dahulu, baru kemudian rasa cinta.
Kembali ke soal pengukuran cinta, sebenarnya aku belum tahu alatnya pakai apa. Kita semua punya bahasa cinta yang beda-beda. Ada yang ramah luar biasa ketika bertemu, namun ketus sekali ketika mengirim pesan. Ada yang selalu membelikan kamu sesuatu, tapi tak pernah ada waktu banyak untukmu. Ada yang selalu membuatmu tertawa, tapi ternyata tak paham bagaimana mengucap sayang. Semuanya unik, dengan kelebihannya masing-masing, serta toleransinya masing-masing. 
Selagi kita single, yang penting sih buka hati saja. Untuk segala orang yang akan singgah, selamat datang. Gak salah untuk coba-coba, kan lagi menguji rasa nyaman. Lagi-lagi, Ibuku benar, cinta itu bukan yang utama, tapi ya bukan yang terakhir juga ya, Bu.
Salam,
Amira, yang kemarin habis ulang tahun.
1 note · View note
karyawatibercerita · 2 years
Text
Taman Puring
Tadi sore aku sempatkan berkunjung ke Taman Puring, tempat favorit almarhum Ayahku di Jakarta. Dari tahun 2002, dia selalu berkunjung ke sana setiap tahunnya. Kami ini orang daerah, tidak tinggal di Ibu kota, jadi kadang Ayah suka ajak kami sekeluarga untuk jalan-jalan lihat kota metropolitan. Aku gak pernah suka kalau di ajak ke pasar tersebut, sudah tak ada barang yang aku suka, panas, sempit pula lorongnya. Taman Puring tidak akan menjadi tujuan utamaku ketika berada di Jakarta, aku remaja dan aku versi dewasa pasti akan setuju untuk hal ini. 
Dari aku kecil sekali, tugasku hanya mengekori Ayahku dan menjawab pertanyaan “Bagus gak, Mbak?” yang beliau lontarkan. Aku hanya angguk-angguk yakin atau menggeleng tak setuju saja tanpa harus memberikan alasan mengapa aku setuju atau tidak, ini sih biar cepat pulang saja sebenarnya. Anehnya, Ayah selalu nurut. Aku bilang suka, dia langsung beli. Aku bilang tidak setuju, dia kembali letakkan barang tersebut tanpa dipandangnya lagi. Ada momen aku asbun alias asal bunyi saja, tapi Ayah juga gak meragukan keputusanku sedikitpun. Dari kacamata baca, kacamata hitam, sepatu, arloji, tas, semuanya ia beli di sini. 
Hampir 20 tahun dia berbelanja di Taman Puring. Banyak orang yang kenal dirinya. Dia disapa dengan “Bapak Agung” atau “Bapak Andi (karena mirip Andi Mallarangeng) di pasar ini. Aku pun selalu dapat service plus-plus kalau sedang berbelanja sama Ayah. Dibelikan teh botol dingin lah, dikasih aqua lah, ditanyakan mau makan apa lah, mau duduk di mana, butuh kipas angin atau tidak, semua serba layanan hotel berbintang pokoknya. Aku gak tau apa yang Ayah lakukan selama 20 tahun ini, cuman terasa sekali bagaimana kehadirannya begitu dinantikan banyak orang di pasar ini.
Aku suka bingung, barang-barang yang dibeli pun ya barang second, tidak dalam kondisi prima, bahkan ada yang harus diservis total pada tempat reparasi lain. Ayahku itu orangnya sangat bijaksana dalam mengatur pengeluaran uangnya, namun soal biaya yang dikeluarkan di Taman Puring, oh entah ke mana kebijaksaan itu menghilang. Sekali berbelanja, selalu berjuta-juta. Dulu aku pernah tanya “ Yah, beli baru kan bisa” yang kemudian langsung ia jawab dengan “Nanti kalau bukan Ayah yang beli, siapalagi?” Wow, men and their logic.
Tapi Ibuku juga gak pernah marah. Lagian itu bisa disebut hobi Ayah, belanja di Taman Puring, gak ada yang perlu dilarang sebenarnya. Selagi itu bisa membuat dia bahagia, kenapa dibatasi? Jadilah aku ini si anak perempuan yang  belasan tahunnya digunakan untuk menemani sang Ayah berbelanja barang penting tak penting itu.
Aku bisa membayangi betapa mereka sangat merindukan bagaimana Ayahku menawar dengan ekstrim, bercanda dengan setiap penjual, ataupun berjam-jam lenggok sana lenggok sini memastikan barang yang dibeli sudah cocok 100%.
Taman Puring pasti bertanya-tanya, ke mana Bapak Agung, kenapa tidak mampir lagi tahun ini?
Aku kira ketika hanya aku dan Ibu yang berbelanja, tidak akan terbesit soal siapa kami. Tadi sore, semuanya terjawab. Ternyata aku salah. Penjual kacamata di ujung lorong Taman Puring langsung bertanya “Bapak mana?”. Ibuku tidak jawab, seperti biasa, tidak mau dikasihani. Kami lanjutkan kembali ke toko lainnya, toko tas. Dengan logat Sundanya yang begitu kental, ia juga bertanya “Bapak mana?”
Pesan untuk seluruh warga Taman Puring, tidak akan ada lagi sosok yang kalian nantikan itu. Namun jangan khawatir, ada anak istrinya yang siap menggantikan posisi beliau. Tapi kami gak janji ya akan belanja se-gila Ayah. Harap maklum :D
Bonus foto aku dan Ibuku di depan Taman Puring. Tadi langsung disapa jagoan parkir di sini, katanya “Neng, kalau foto jangan di pasar”, dalam hati sudah kujawab “Ah Bapak, ini bukan soal lokasinya, tapi memorinya!”
Tumblr media
Ya ya ya, aku tarik kembali ucapan tegasku soal Taman Puring tidak akan menjadi tujuanku ketika berada di Jakarta.
0 notes
karyawatibercerita · 2 years
Text
Pendengaran
Ibuku melahirkanku ketika usianya 34,5 tahun. Mungkin bukan usia yang muda dan ideal bagi perempuan jamannya. Saat aku sekolahpun, sering aku melakukan random sampling untuk catat usia ibu teman-temanku saat itu. Dari Sulawesi Utara, Bengkulu, Denpasar, Jember, semuanya melahirkan hipotesis dan kesimpulan yang sama, tidak ada ibu lain yang melebihi usia ibuku. Perhitungan kuantitatifku saat itu (yang aku ingat), rata-rata usia ibu mereka ketika melahirkan yaitu 22-26 tahun. Aku selalu merasa menang karena belum pernah ada yang bisa mengungguli kelahiran 1962, tahun lahir ibuku.
Ibuku juga pandai merawat diri, pakainnya pun begitu elegan. Maklum, ia merupakan mantan pramugari yang sudah nyaris 18 tahun mengudara. Aku gak pernah melihat ibuku “tua”. SD-SMP-SMA-KULIAH, aku selalu merasa ibuku sangat awet muda. Ketika 40an tahun, ia seperti 30 tahun. Ketika 50 tahun, ia seperti 40 tahun. Waktu seperti membeku, merawat wajah dan tubuh ibuku sampai sebegitu mudanya. 
Aku gak pernah melihat dia tua, sampai aku sadar ini sudah tahun 2022 dan usianya genap 60 tahun Maret lalu. Tahun ini, pertama kalinya dalam hidupku, aku harus menerima dan sadar jika waktu tidak membeku lagi. Keriputnya nampak sangat jelas membentuk patahan panjang di sekitar mata dan garis pipinya. Ubannya sudah hampir mengisi setengah kepalanya. Untung saja dia menggunakan kerudung sehingga tak perlu rutin mengecat rambut. Tapi ketika sudah seharian memakai kerudung, kadang banyak rambut halus keluar mengintip dari dalam kain kerudungnya. Rambut-rambut putih yang keluar itu sering aku bantu rapihkan agar masuk ke dalam kain kembali. Aku usap pelan dahinya mengikuti arah rambut keluar. Keriput di dahinya teraba oleh telunjukku, putih rambutnya tertangkap oleh mataku dari jarak dekat. “Ibuku memang sudah tua ya?” gumamku dalam hati.
Jika soal penampilan, selalu ada jalan keluar untuk menutupi kekurangan tersebut. Wajah yang menua dan lelah bisa dibantu oleh makeup, rambut yang putih bisa ditutup oleh cat rambut. Kalian tau satu hal yang tidak bisa kita curangi? Pendengaran. Aku gak tau dengan orang tua kalian seperti apa, tapi pendengaran ibuku memang sudah tidak sebaik dulu.
Ketika berinteraksi dengannya, seringkali apa yang kita tanyakan tidak bisa dia respon dengan tepat. Bisa salah dengar, bisa juga tidak dia dengar sama sekali. Ketika berdialog pun, aku sering mengulang ucapanku 2-3 kali. Bagiku ini hal biasa, tidak merepotkan, tidak melelahkan, dan tidak ada yang perlu ditertawakan. Ya tapi kembali lagi, ibuku tidak berinteraksi denganku saja. Beberapa orang merasa ini bukan hal biasa, merepotkan, dan lucu. 
Kadang responnya yang tidak nyambung itu sering ditertawakan oleh lawan bicaranya, tapi untungnya dia tidak dengar, jadi mana sempat ada ruang untuk sakit hati. Malahan aku yang sakit hati. Ketika berada di dekatnya, aku sering menjadi interpreter pribadinya. Aku sering menanyakan ulang pertanyaan orang lain yang ditujukan untuk ibu, sering juga membantu ibuku menjawab pertanyaan orang lain tersebut jika sekiranya tidak ia jawab dengan tepat. 
Mohon maaf jika ibuku pernah salah menjawab pertanyaan kalian, tapi tolong jangan ditertawai. Suatu saat nanti, kita akan tua dan mengalami kesulitan dalam pendengaran juga. Apalagi semasa mudanya dulu, ia keluar masuk pesawat yang hari-hari harus berada dalam ketinggian puluhan ribu kaki di atas permukaan laut. Telinganya pernah sakit luar biasa ketika kerja dahulu, entah dioperasi atau tidak, aku lupa dengan bagian cerita ini. Aku juga tidak perlu menceritakan sejarah mengapa pendengarannya tidak berfungsi begitu baik ke orang lain. Aku cuman butuh orang tidak mudah tertawa saja ketika ada orang tua yang salah merespon sesuatu karena turunnya fungsi pendengaran.
Ibuku sudah tidak muda lagi, waktu sudah tidak membeku kembali. Satu hal yang aku janjikan, aku akan selalu berusaha menjadi interpreternya. Tapi satu hal yang pasti, mungkin aku juga akan tumbuh menua, dewasa, punya keluarga sendiri, dan tidak akan selalu dekat dengannya seperti ketika aku single saat ini.
Kalau aku minta waktu membeku sedikit lagi, apa boleh, Tuhan?
0 notes
karyawatibercerita · 2 years
Text
Batas
Sejak dipindahkan ke tim QOD (Qnaire Developer & Output Delivery), aku jadi jarang kerja di waktu weekend. Kalaupun kerja, biasanya karena aku kurang lihai merakit waktu di hari kerja kemarin. Minggu ini pun demikian tertatanya, aku yakin tidak akan ada kerja yang menggangguku. Pagi-pagi jam 6, Ibu sudah buatkan aku kopi susu kebanggaannya. Tak ketinggalan dalam memeriahkan hari libur, sudah ada juga gudeg Yudjum dengan telurnya yang istimewa itu di atas meja kami. Selesai, sarapan sudah, ngopi sudah, dan ini baru pukul delapan pagi!
Dddrt….dddrrttt….
Tiba-tiba ada telepon masuk dari whatsapp. “Ah rekan kerja” gumamku. Aku diamkan dering itu cukup lama. 10 menit, 20 menit, aman, tidak ada pesan masuk ataupun dering telpon kembali. “Ah tidak sepenting itu...Syukurlah..” ucapku lega. Namun, tiba-tiba ia menelpon kembali. Rasa iba muncul, dengan berat hati kuangkatlah telpon ini. “Iya, Mas?” nadaku penuh curiga dan was-was. Ternyata ia meminta waktuku untuk gabung ke meeting pagi serta melakukan brief ulang ke beberapa Field Coordinator. Bukannya aku tidak mau, tapi dalam SOP sudah jelas jika bagianku hanyalah briefing di awal projek saja sebelum penelitian dimulai. Jikapun butuh re-briefing, sudah jelas harusnya bukan aku lagi orangnya. Sungguh ia sangat paham dengan peraturan ini, namun tim Client Service lah yang meminta keharusanku untuk datang. 
Tim CS sering kami anggap sebagai raja, apapun yang ia inginkan, haruslah diusahakan. Salah seorang senior di kantor pernah berpesan padaku : “Mir, tim CS tuh bukan client yang harus kita iyain semua requestnya. Lo jangan treat mereka kayak raja, lo harus bangun sistem kerja partnership dong”. Aku hanya angguk-angguk penuh harap saja, toh aku masih anak baru saat itu, belum banyak paham. Teringat kembali petuah emas ini, aku hubungi lah si CS. Sedikit bohong, aku katakan : “Hi, sorry banget ya aku lagi away from laptop. Silahkan lanjutkan briefing dengan si X saja yang in-charge dalam rebriefing ini”. 
Sebenarnya aku selalu bawa laptop kemanapun aku pergi, teman terdekatku paham betul ini. Pagi tadi, laptop kutinggalkan di mobil. Bisa-bisa saja aku ambil kemudian lanjut ikut meeting tersebut. Tapi tidak perlu lah. Lagi-lagi harus aku tegaskan, bukannya aku tidak mau membantu, bukannya aku kejam, namun jika tidak begitu genting kondisinya, harusnya tidak perlu aku bela-belakan. Ia paham, lalu meeting pagi itu berlanjut tanpa kehadiranku.
Batasan-batasan harus kita buat sejelas mungkin. Tidak perlu ditulis seperti SOP kerjaku yang begitu panjang menjabarkan satu per satu perintilan kerja di kantor, tapi cukup batasan yang nilainya mudah dipahami sajalah.  Tidak juga seperti konsep peraturan yang ada untuk dilanggar, batasan ada untuk dipertegas. Ketika punya batasan dan paham batasnya ada di mana, kita jadi lebih mudah mengambil keputusan. 
Dari dulu sampai hari ini pun, ibuku tak pernah lelah mengingatkan anak-anaknya untuk tahu batas. Mana yang pantas, mana yang tidak. Soal masa lalu, masa kini, maupun soal masa depan. 
Pernah Ibu berpesan padaku agar aku jangan menitipkan anakku nanti kepada dirinya. Kalau mau menitipkan anak, tolong bawa asisten. Tidak bercanda, ia tegas sekali bilang “Ibu ini ibumu, bukan pembantumu. Jangan mentang-mentang kamu sibuk, lalu main nitipin anak ke ibu. Seumur-umur pun, ibu gak pernah ngerepotin mertua maupun ortu ibu sendiri soal anak. Ibu harap kamu paham ya mbak”
Padahal aku belum punya anak, ultimatumnya sudah ada saja!
Atau ketika aku dan kakakku masih sekolah dulu, ibu tidak pernah bangun siang dan menginap di luar rumah tanpa anak-anaknya, satu malam pun tidak. Selarut apapun agenda ibu, ia selalu kembali ke rumah. Batasan ini ia buat untuk dirinya sendiri, tak pernah ia langgar. Menurutnya, sudah menjadi kewajiban dia untuk selalu ada saat anak-anaknya bangun tidur. Apalagi ia tidak mudah percaya dengan orang, tidak ada seorang pun yang masuk standar minimum dia dalam mengurus aku dan kakakku. Sahabatnya, keluarganya, atau best nanny in the world pun rasanya masih tak sentuh bare minimum ibuku. 
Bukan berarti orang yang menitipkan anaknya pada orang tua atau orang lain adalah contoh yang kurang baik, tidak, tidak pernah ibuku mengajarkan kami memandang rendah keputusan orang lain. Hanya saja, tiap orang punya batasnya masing-masing. Tidak ada yang salah, tidak ada yang benar, yang ada hanya batasan orang saja yang beda-beda. Ketika kita punya batasan yang berbeda, tidak ada kompetisi tentang mana yang lebih unggul dari satu lainnya. 
Soal bekerja di hari libur pun demikian, ketika sudah yakin batasku sampai mana, aku jadi lebih mantap dalam mengambil keputusan. Tidak ada rasa bersalah sebagai karyawan pemalas yang tidak mau membantu rekan kerjanya di Sabtu pagi. Sekali lagi, ini bukan soal menjadi orang terbaik di dunia, tapi soal menjadi pekerja yang tahu batas!
Aku harap kita punya batasan yang sama. Dalam mengurus keluarga, pekerjaan, keuangan, membuang sampah, menjemur handuk, atau hal penting tak penting lainnya. Kalaupun tak sama, mungkin perlu dibicarakan baik-baik soal toleransimu dan toleransiku. 
0 notes
karyawatibercerita · 2 years
Text
Haniffa
Artinya jalan terang dalam bahasa arab. Nama yang sangat islami ini dimiliki oleh sahabat lamaku, Haniffa Arista lengkapnya. Kami bertemu ketika aku pindah ke SMP Negri 1 Denpasar dari sekolah lamaku di Jember. Sudah sering aku pindah sekolah, sudah sering aku berganti kawan, dan kali ini, aku pun langsung yakin jika Haniffa akan menjadi teman dekatku. 
Tubuhnya mungil, bajunya selalu terlihat kebesaran, rambutnya setengah berantakan meskipun ia sudah berusaha sebaik mungkin mengikat kedua belah rambutnya dengan kepangan yang rapih serta pita merah sebagai pelengkapnya. Warna kulitnya lebih coklat dari kami, ini pun bukan karena ia hitam, tapi karena teman-teman kelas kami saja yang kebetulan memiliki kulit kuning dan putih karena multi-ras dari orang tuanya. 
Ia suka membaca dan fotografi. Seingatku, hp yang dikantonginya sehari-hari adalah hp merek sony ericsson yang selalu ia gunakan untuk memotret dedaunan, turunnya hujan, serta foto acak lainnya. Setelah difoto, gambar itu akan diedit olehnya via photoscape untuk menambahkan watermark “Hani” pada sudut gambar tersebut. Orangnya sangat kreatif, serta aktif. Aku juga ingat dia mengikuti ekskul Jurnalisme untuk mendukung hobi fotografinya. Lincah, lincah sekali di ingatanku. Suaranya berisik, namun berisik yang menyenangkan. Tapi entah mengapa, anak perempuan 13/14 tahun ini sering diolok-olok oleh teman laki-laki di kelasku.
Bukan satu-dua orang, namun beberapa. “Jawir jawir....” kata bocah ini kepada Haniffa untuk menegaskan kalau Haniffa adalah orang Jawa. Sebenarnya tidak ada yang salah dari suku ini. Anak laki-laki ini juga belum paham soal rasisme. Kami semua masih bocah belasan tahun kala itu, belum belajar banyak hal tentang dunia. Dan aku, aku merasa gagal menjadi teman Haniffa yang tidak berani berdiri ketika sahabatnya dibully. 
Menjadi Haniffa-remaja pasti sangat berat. Dia masih kecil, tapi sudah diserang untuk alasan yang tidak jelas. Ketika disudutkan pun, dia tidak lantas menangis dan menyudutkan diri. Haniffa yang kuingat, dia hanya menarik nafas begitu dalam, lalu menatap tajam para perundungnya kala itu. Sekali-dua kali, mungkin ia pernah meneriaki laki-laki yang mengejeknya, namun lama kelamaan, dia hanya menghela nafas. Kuat dan bijaksana sekali untuk anak usia 13 tahun. 
Selepas SMP, kami berpisah dan masuk SMA yang berbeda. Aku jadi jarang bertemu Haniffa. Namun ada saatnya kami bertemu sesekali untuk menceritakan perjalanan hidup kami masing-masing. Aku hanya ingat kami bertemu 1x ketika kuliah, dan 1x lagi ketika kami sudah kerja.
Dia tumbuh menjadi perempuan mandiri dan punya semangat kerja yang tinggi. Karirnya bagus, sepertinya sudah menjadi manager. Harusnya aku tidak kaget dengan fakta ini karena Haniffa-remaja yang kutemui dulu sudah menunjukkan sisi cerdasnya dari lama. 
Dia masih aktif dan lincah, bahkan rambutnya ia warnai hijau. Banyak yang ia sampaikan : soal anak buahnya, soal kegiatan sosialnya, soal bagaimana ia sangat peduli pada pendidikan seks untuk anak usia remaja, soal ia mengikuti konferensi di Afrika, soal banyak hal deh yang kuanggap sebagai prestasinya. Sepanjang ia bercerita, aku menangkap ada sedikit muram di balik senyumnya. Aku tanya, “Ada apa?” lalu Haniffa mulai terbuka menyebutkan keresahan hatinya satu per satu. 
Kemudian taksiku berhenti, kami terpaksa harus berpisah lagi. Mungkin cerita yang ia sampaikan belum selesai, tapi apapun kisah pilu yang akan disampaikan, aku harap dia tidak merasa sendiri. 
Kadang kita lupa kalau masih ada keluarga, kadang kita lupa kalau masih ada teman lama yang kadang mampir di beberapa momen dalam hidupmu, kadang kita lupa banyak hal. Ah apapun itu, semoga Haniffa gak lupa kalau waktu remaja dulu dia keren banget melawan bullying seorang diri dengan satu tarikan nafas. 
Haniffa-remaja pasti bangga banget lihat pencapaian Haniffa-dewasa hari ini. Jadi, untuk segala rintangan dan tantangan di depan nanti, tolong selalu ingat ada little-Hani yang kuat dan bijaksana itu. She’s always there Han, di samping kamu, kamu gak sendiri!
0 notes
karyawatibercerita · 2 years
Text
Berduka
Belum genap satu tahun Ayah pergi meninggalkan kami semua, namun rasanya seperti sudah sangat lama sekali. Tidak ada rasa duka mendalam dan tangisan tersisa lagi. Kami seperti tidak sedang berduka. Entahlah, mungkin banyak teman atau keluargaku yang berpikiran seperti itu. Aku seperti perempuan 25 tahun pada umumnya saja yang selalu mengoceh di media sosial tentang konyolnya hidupku, masih berbohong pada ibuku soal aku pergi dengan siapa, masih menggunakan gajiku untuk hal-hal yang tidak penting, serta berkelana tiap bulan mencoba kuliner daerah yang sepertinya enak jika kutonton ulasannya di youtube. 
Tidak bermaksud kurang-ajar menjadi seorang anak, namun ibuku, Marina namanya, selalu menekankan padaku kalau aku tidak boleh terlihat sedih di depan orang, ataupun di media sosial. Menurutnya, tidak elok jika perasaan sedih terlalu ditunjukkan karena orang-orang otomatis akan merasa iba maupun simpati pada kami. Belas kasih tidak perlu dipamerkan, apalagi diminta. Larangan keras dari ibuku ini sudah dia ucapkan pada hari Ayahku dikebumikan. 
“Mira, jangan upload apa-apa yang sedih. Kalau mau menangis, sini sama Ibu. Jangan sampai orang tahu kita sedang kesusahan.”
Tegas sekali ucapannya seperti guru yang sedang menasihati anak didiknya. Bedanya, kalimat tersebut diucapkan setelah sholat berjamaah dengan mata basah dan tangan menengadah ke atas. Setelah berdoa, ia hapus air matanya, kemudian menjadi “Tuan Rumah” yang harus memastikan semua orang yang datang di pemakaman Ayahku sudah menerima nasi box dan makan dengan lahap. Ada pegawai-pegawai Ayahku yang datang dari Bekasi, ada supir mobil jenazah dari RS Hermina, ada Pak Yadi (supir pribadi Ayahku yang sudah kami anggap saudara), serta sanak saudara dari Banjarnegara. Belum genap 24 jam, ia sudah sigap menjadi EO di hari itu. Hebat, dia sedang berduka, namun tetap memastikan semua orang dalam keadaan kenyang. Aku sempat bertanya, “Bu, bukannya harusnya ibu diam saja ya? Kan kita sedang berduka”. Lalu ibuku balas “Berdukanya nanti saja kalau sudah sepi.”
Sering ia bepesan untuk aku menjadi perempuan dengan penuh gengsi, namun soal berduka, aku cukup kaget kalau ternyata perasaan duka pun tidak boleh ditampilkan. Hal ini bikin aku jadi....terlalu kuat, mungkin.
Aku gak pernah takut buat pulang malam. Aku gak pernah takut buat jalan sendirian. Aku gak pernah takut kalau dimarahi orang lain. Aku selalu menawarkan diri untuk ngomong duluan. Aku selalu ingin bantuin orang yang lagi terdesak kondisinya. Aku gak pernah khawatir kalau aku diputusin (atau bahasa jaman sekarang “ghosting”) karena aku yakin aku kuat.
Yang aku takutkan cuman 2 : Turbulensi pesawat & didiemin ibuku. 
Tapi ada kalanya aku lagi rapuh, sedih, dan pengennya dimanja aja. Ada. Tapi gak begitu sering. Terus aku ngapain? Melamun. Kadang bercanda sama Dewi. Kadang jalan sama orang yang aku suka. Beneran deh, ketemu sama orang yang tepat kadang bikin lupa diri kalau kita lagi sedih.
0 notes
karyawatibercerita · 2 years
Text
Esa
Melihat anak-anak SD berkumpul membuatku kembali teringat Esa. Aku lupa nama lengkapnya siapa, yang kuingat hari ini ya hanya tiga huruf itu saja, E-S-A. Muka tampannya pun hampir tak tersisa di memoriku ini, namun rasa deg-degan pernah menyukainya selalu tertempel di memori dewasaku sekarang. Lucu, lucu sekali rasanya mengingat bagaimana seorang anak perempuan yang haid saja belum namun sudah paham bagaimana meletakkan hati pada seorang anak laki-laki di sekolahnya saat itu.
Aku yakin sekali aku tidak pernah ngobrol serius dengan Esa. Kita beda kelas, beda kawan, beda ekskul. Tapi entah bagaimana tiba-tiba saja aku suka dengannya. Tiba-tiba jantung berdetak lebih cepat ketika dia lewat. Tiba-tiba langkah kakinya bisa kudengar dari jauh tanpa harus melihatnya ada. Tiba-tiba suara tertawanya menjadi suara yang paling kencang di telingaku meski aku sedang berbicara dengan orang lain. Tiba-tiba aku selalu ingin melihatnya dan mengetahui dia sedang apa, di mana, sama siapa.
Sangat aneh, aku dan Esa tidak saling kenal. Dia pacar sahabatku. Aku sebagai anak baru ya tidak tahu awalnya kalau orang yang aku sukai ini ternyata adalah pacar sahabatku. Kaget? Tidak. Sedih? Sedikit. Tapi ya mau bagaimana lagi, kepalang suka, pandang-pandang dikit boleh kan?
Kok bisa suka dengan Esa? Belum paham juga. Ketika naksir dengan seseorang, we just know gak sih di pertemuan pertama? Pikiran kecil seperti “Wow, boleh juga ni orang” kadang suka nyeletuk sendiri dalam hati. Kemudian datang pertemuan kedua, “Wow, kok deg2an?” yang menyundul masuk pikiran. Pertemuan selanjutnya tentu bukan misteri lagi. Kita jadi ingin terus-terusan dekat dia. Padahal kenal juga belum. Komunikasi terdekat kami ya hanya satu minggu ketika sekolahku mengadakan study tour ke Jogjakarta. Aku dan Esa duduk berdekatan. Ia duduk di bangku bis terdepan, sementara aku ada di baris nomor 2. Ia sering menjatuhkan sesuatu ke kursiku, aku jadi pura-pura sebal meski dalam hati rasanya aduhay. Aku sempat berpikir Esa juga suka denganku, namun kukubur saja praduga ini. Toh laki-laki memang iseng pada semua orang kan? Satu minggu berakhir, dialog-dialog kecil di Jogja antara aku dan Esa begitu istimewa. Padahal ya dia cuman bilang minta aqua, minta antangin, tolong ambilkan sesuatu, dan hal gak penting lainnya. Lucu sekali anak laki-laki ini, aku semakin naksir dan itu gawat!
Aku gak pernah bilang sama siapapun soal Esa ini. Dia cukup manis dikenang sebagai cinta monyet sepihak saja. Lumayanlah, kehadirannya membuatku makin semangat masuk sekolah. Meski ketika sampai sekolah, yang aku lihat ya Esa dan sahabatku asik pacaran di depan sekolah ketika jam istirahat mulai. Usiaku baru 12 tahun, namun sudah bisa merasakan cinta multi-level (cinta monyet – cinta sepihak – cinta pacar orang). Tapi sedihpun tidak. Di pikiranku saat itu sih yang penting hari ini bisa lihat Esa tertawa. Ketika dia senang, aku ikut senang. Sederhana sekali bahagiaku.
Enam bulan berlalu, kami lulus sekolah dasar. Esa kebetulan satu sekolah lagi denganku. Di pagi hari itu, aku berangkat sekolah lebih cepat dari biasanya. Aku selalu jalan kaki karena rumahku hanya 200 meter dari sekolah. Di depan pintu sekolah, aku melihat Esa dan bapaknya. Dia diantar naik motor. Aku lupa motornya apa, namun seingatku motornya bukan seri terbaru. Bapaknya sederhana sekali, kemejanya sedikit lusuh. Esa ingin melepas jaket yang ia kenakan, namun Bapaknya menolak, ia bilang agar Esa yang pakai saja karena pagi ini masih dingin sekali. Selepas itu, Bapaknya mengingatkan Esa untuk semangat sekolah dan jangan malas bila mau jadi “orang”. Raut wajah Esa datar-datar saja, namun sepertinya ada sedikit pilu di sana. Apa Esa lagi sedih? Apa Esa sedang ada masalah? Apa yang Esa pikirkan? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul begitu saja sambil aku berjalan masuk ke kelas setelah melewati mereka tadi. Entah jawabannya apa, aku jadi semakin ingin mengenal Esa karena ingin menghiburnya. Ingin kupeluk dari jauh. Sampai hari ini pun, aku selalu ingin menjadi pelipur lara orang-orang yang aku sayang. Indah sekali pasti rasanya menjadi alasan seseorang kembali ceria lagi. Aku gak tau juga, tapi semoga kehadiranku bisa menjadi penyemangat siapapun itu. Aku akan senang sekali mendengarnya!
Lanjut soal Esa…
Tak lama, Ayahku harus pindah tugas. Itu berarti aku harus pindah sekolah juga. Terpaksalah aku akhiri rasa suka ini. Aku gak pamit sama Esa karena memang kami gak sedekat itu. Sampai detik ini pun, aku gak ada kepikiran buat tahu Esa ada di mana dan kerja di mana. Aku gak penasaran sama sekali.
Esa cukup disimpan sebagai kisah lama saja. Toh beberapa orang memang cukup ada pada masa lalu, tidak usah dibawa-bawa ke masa kini ataupun masa depan, kan sudah ada porsinya masing-masing. Di manapun Esa berada, terima kasih ya sudah menjadi penyemangatku dulu, semoga kamu sehat selalu, Sa.
Aku sedang mencari “Esa”-ku masa kini. Ayolah, usiaku sudah mau 26 tahun masa kisahku sama-sama saja seperti aku 12 tahun?
Ini gak lagi protes, cuman request.
0 notes
karyawatibercerita · 2 years
Text
Kangen, pengen nyapa deh rasanya. Sehat? Lagi apa? Kerjaan gimana? Tahun baru ke mana? Bareng mau?
0 notes