Text
FAKKKKK SKRIPSIIII FAKINGSYIT FAAAKKKK gak peduli sesusah apa kehidupan setelah lulus kuliah COOOKKKK FAAKKK SKRIPSIIIIIIIIIIIIIII FAAAKKKINGGGGGGGGGGGSSSSSSSYYYYYIIIIIIIIITTTTTTTT
0 notes
Text
belum selesai (sidang) sih. tapi skripsimu udah nyampe 100 halaman
aku pengen nonton drama korea dari pagi sampai pagi lagi tanpa kepikiran apa-apa
aku pengen nonton pelem sehari 5 pelem salah satunya A DEVIL WEARS PRADA yg udah kutonton 1jt kali
aku pengen berenang dari pagi sampai jam 12 siang bersama mamaku
aku pengen jalan-jalan ke sekitar rumahku sendirian subuh-subuh
tapi setiap hari yang ada di kepalaku skripsi skirspi skrispi kalau belum selesai aku belum bisa bahagia
kadang2 aku seneng baca jurnal2 obscure itu ya seneng banget sih harus diakui tapi kan skripsi bukan cuma baca ya nah numpahin isi otak ke skrispi itu yang bikin ARRRRGGGGGGHHHH taiii bisa ga sihhhh gak harus 60 halaman? it took me so long to finally reach 10.000 words and you want me to write 10.000 words more? GOD FUCK ME. what should i write? my feelings? my childhood trauma?
probably yes??????
no
kapan ini selesainya?
aku pengen S2.... LAH LOH? terus kamu akan melewati ini lagi dong? iYA tapi setidaknya bukan yang "ini" banget ..... aku kayak sedikit udh bosen
4 notes
·
View notes
Text
aku pengen nonton drama korea dari pagi sampai pagi lagi tanpa kepikiran apa-apa
aku pengen nonton pelem sehari 5 pelem salah satunya A DEVIL WEARS PRADA yg udah kutonton 1jt kali
aku pengen berenang dari pagi sampai jam 12 siang bersama mamaku
aku pengen jalan-jalan ke sekitar rumahku sendirian subuh-subuh
tapi setiap hari yang ada di kepalaku skripsi skirspi skrispi kalau belum selesai aku belum bisa bahagia
kadang2 aku seneng baca jurnal2 obscure itu ya seneng banget sih harus diakui tapi kan skripsi bukan cuma baca ya nah numpahin isi otak ke skrispi itu yang bikin ARRRRGGGGGGHHHH taiii bisa ga sihhhh gak harus 60 halaman? it took me so long to finally reach 10.000 words and you want me to write 10.000 words more? GOD FUCK ME. what should i write? my feelings? my childhood trauma?
probably yes??????
no
kapan ini selesainya?
aku pengen S2.... LAH LOH? terus kamu akan melewati ini lagi dong? iYA tapi setidaknya bukan yang "ini" banget ..... aku kayak sedikit udh bosen
4 notes
·
View notes
Text
kakakku memberiku cinta dalam bentuk yang luar biasa sederhana. saking luar biasa sederhananya, aku gak pernah kepikiran.
hari ini, aku berburu di sekitar meja kerjanya. kalau dia di rumah, hampir selalu aku dapat rokok. namun, pagi tadi dia pergi bersama istrinya. iseng, meski tahu dia sedang pergi, aku melakukan perburuan lagi. eh, ada satu batang rokok di bungkusnya. persis satu batang!
hOhOhOHo. bisa saja dia ga sadar kalau masih ada sebatang, bisa saja dia pikir repot mau bawa sebungkus padahal tinggal sebatang, bisa saja aku cuma GR. tapi ini gak terjadi sekali. hampir setiap dia pergi, aku nemu rokok yang ditinggal, kadang sampai 4 batang. hOhOhO. (人 •͈ᴗ•͈) jangan mencuri
1 note
·
View note
Text
kamarku menyimpan debu-debu dari 2019. ketika aku jarang di rumah, nggak pernah di kelas, selalu di kampus. ketika aku merasa kalau hidupku akan panjang dan duniaku akan luas. ketika aku merasa kalau aku akan menggapai apapun yang aku inginkan di masa depan, mungkin karier, mungkin uang, dan segala kemungkinan kayaknya mungkin, mungkin digapai.
aku selalu percaya betapa superiornya tahun itu: aku sedang cantik-cantiknya dan begitu berbinar. aku simpan dalam-dalam potongan-potongan, apapun yang akan mengingatkanku pada tahun itu. betapa cantik dan berbinarnya aku! sangat passionate, penuh gairah! seolah kalau aku nggak melihat 2019 di sekelilingku aku akan mati begitu saja. kenapa meromantisasi 2019? emangnya kamu cuma punya itu?
enggak sih. setiap tahun pasti ada cerita menariknya. cuman, tahun itu aku bener-bener lagi seneng-senengnya aja. jadi keingetnya selalu itu, tahun terbaikku adalah tahun 2019! padahal, banyak yang seharusnya aku sesali dan evaluasi.
malam ini, aku membersihkan sedikit demi sedikit debu-debu dari 2019. membiarkannya pergi. membiarkan aku yang cantik dan berbinar itu untuk sepenuhnya bersenang-senang di tahun 2019. dengan lebih senang! dengan lebih bebas! hal itu kulakukan, supaya aku di 2024 bisa menambal cela-celaku di 2019 dan tahun setelahnya dengan tanpa pamrih dan bahagia.
selamat belajar, elvin. semoga skripsimu lekas selesai. hai, elvin di 2019! jangan lupa pulang ke rumah dan jangan kebanyakan merokok ya! kali ini, akan aku biarkan kamu bersenang-senang deh! aku tak akan memikirkan dan menarik-narikmu lagi!
1 note
·
View note
Text
Aku nggak tahu kalau kita bisa jatuh cinta berkali-kali, di waktu yang berbeda, pada orang yang sama. Lupakan hubungan banal dengan garangan-garangan aplikasi kencan itu. Sungguh, aku nggak tahu kalau kita bisa jatuh cinta berkali-kali di waktu yang berbeda, pada orang yang sama.
Pada suatu malam, saat masaku hampir lewat, aku didatangi seseorang. "Kamu ngapain saja?" adalah hal yang pertama kali ia tanyakan. Aku nggak pernah menyangka kalau dia akan bertanya seperti itu. Setelah dosa-dosa jariyahku (yang efeknya masih kurasakan sampai sekarang) kepadanya, kok bisa dia masih bertanya begitu? Curse me out! Loud and clear! Tapi untuknya, aku berterima kasih banyak. Kedatangannya saat itu membuatku hidup lagi.
Sejak itu kayaknya. Kalau ketemu dia, rasanya kayak lagi tiduran di rumput yang empuk dan mencium aroma parfum Casablanca yang warna biru. Nyaman meskipun sedikit wagu. Anehnya, aku nggak banyak tahu tentang dia. Aku selalu menumpahkan diri kepadanya, nggak ada yang kusembunyikan. Tapi dia begitu rapuh, sekaligus kuat, kayak orang yang masang barikade tapi bolong-bolong. Meski begitu, aku nggak bisa juga nerobos barikadenya.
Pada suatu malam aku bilang kalau aku menyukainya. Ia sesegera mungkin memasang barikade, yang lebih kokoh, dan lebih kuat. Seperti pada tulisan:
aku beneran cuma bisa mimik. Biar sejenak lupa. Padahal biasanya aku selalu mikirin dia. Karena bagiku, mikirin dia adalah caraku buat tenang.
Hari ini, aku baca tulisannya. Terus, yah, aku nggak tahu kalau kita bisa jatuh cinta berkali-kali di waktu yang berbeda, pada orang yang sama.
1 note
·
View note
Text
Hai, Sabda! Namaku Elvin, aku adalah budhemu yang tinggalnya di Prambanan. Mamaku adalah kakaknya omamu, jadi aku disebut budhe. Relasi ini cukup rumit dan mungkin akan tetep membingungkan nantinya. Nggak masalah, cukup ketahui aja kalau kita keluarga!
Sedikit latar belakang, aku dipanggil mbak oleh bapakmu. Kami sering bertengkar. Macam-macam penyebabnya. Kadang karena masak-masakan, kadang karena ucapan nyeleneh kami berdua, tapi seringnya aku yang memicu pertengkaran. Tetapi, hal itu cukup bikin kami jadi dekat saat itu. Suatu hari, ketika bapakmu datang dengan lukisan keren di tubuhnya, aku nggak bilang apa-apa sih. Karena emang lukisan keren, meskipun bapakmu bilang, Akung (kakek buyutmu) kurang setuju. Oh iya, bapakmu juga punya band saat SMP, namanya 'Day to Scooby' kalau nggak salah. Penggalan liriknya masih kuingat, "Tapi, masih ada hari esok!" Optimisme khas anak muda yang saat ini masih aku yakini. Soalnya aku masih muda :p
Kalau ibumu, kayaknya ingatan pertamaku adalah ketemu dia di rumah Utik (nenek buyutmu). Tersenyum manis dan nampak malu-malu. Bapakmu mengenalkan perempuan manis itu sebagai pacarnya, "calon istri". Rasanya nggak lama setelah itu, aku bertemu lagi dengannya di pernikahan bapak dan ibumu. Aku terharu banget karena teman tengkar masa kecilku kini sudah menikah dan punya kehidupan sendiri. Tapi ya, jujur, senang banget juga! You go, boy! Bapakmu itu keren dan berani banget! Ibumu juga begitu.
Terus, waktu kamu ada di perut ibumu, aku sempat ngantar ibumu membeli pecel lele. Sekali doang ding. Waktu itu aku sedang sibuk kuliah dan menyusun bab 2. Jadi, aku nggak bisa sering-sering menemani ibumu. Meskipun aku tau dia kesepian di rumah. Maaf ya, Mbak Yola. Ibumu bilang, dia nggak suka bau yang terlalu menyengat. Gegara ada kamu di perut ibumu, ibu jadi sering muntah-muntah, Sab!
Waktu kamu lahir, keluarga di Prambanan merayakan dari jauh. Bapak dan ibumu mengirim fotomu di grup Wasap. Aku langsung jatuh cinta begitu melihatmu. Eh, aku juga punya keponakan lho! Namanya Kaina, Maisa, dan Hatta. Aku kira ketika kita punya ponakan baru, cintaku otomatis terganti. Dari yang satu ke yang lain. Tapi ternyata ngga begitu. Ternyata, tumbuh cinta baru! Jadi, selamat datang di dunia, ya, Sabda! Terima kasih karena telah hadir dan menjadi cinta baru bagi keluarga ini!
4 notes
·
View notes
Text
batas-batas PUEBI yang terkadang manasuka kita terabas itu betulan membuat aku kepalang pusing. aku bahkan nggak tahu, spasi yang kutaruh di sini pas kah?
apakah kata yang aku gunakan benar? ada kah kata ini pada KBBI? apakah jelas dan bisa kau selami artinya?
tetapi, sepolitis dan sengehenya apapun ini namanya aku tetap harus mempelajarinya. dengannya, aku bisa menyampaikannya kepadamu. harus kusampaikan jelas dan mengusahakan benar agar kamu bisa cari artinya. barangkali itu jembatan supaya aku dan kamu bisa terus terhubung. apa namanya apa namanya? bahasa. iya, supaya apa yang ada di dalam diriku ini bisa kusalurkan kepadamu. supaya bisa menari-nari di otakmu. supaya tidak harus berada di sisimu tapi bisa kau rasakan kehadirannya.
aku masih tidak suka dengan batas-batas itu, sih. kapan-kapan aku akan sengaja terabas, apalagi kalau ingin kamu tidak mengerti. kadang-kadang kita butuh ruang untuk menyendiri kan?
4 notes
·
View notes
Text
Seekor kelinci pernah sangat menyukai wortel. Ia melihatnya sepanjang hari. Mengelusnya. Kadang menjilatnya. Ia menyukai wortel karena warnanya yang indah. Oranye dengan daun panjang berwarna hijau.
Wortel diam. Wortel hanya bisa diam.
Kelinci sering mengajak wortel berbicara. Ia bercerita tentang harinya: pagi ini aku berjalan ke sawah dan bertemu petani, aku makan tomat, air mataku tak bisa berhenti melihat anak kecil menyusu ibunya,
tetapi wortel hanya diam.
Lama kelamaan wortel berwarna cokelat. Kemudian dimakan belatung. Kelinci tak menyukainya lagi.
Kelinci menangis. Lalu, ia bertemu dengan wortel lagi. Kali ini, tak hanya menjilat. Ia membuka mulut dan mengapitkan wortel di antara giginya yang tajam. Kemudian menggigitnya. Mencecap rasanya dengan lidahnya. Begini, rasanya. Begini, rasanya. Begitulah, cara kelinci berdamai dengan rasa sukanya pada wortel. Ia memakannya dan menelannya. "Enak," katanya.
2 notes
·
View notes
Text
Habis Gelap, Terbitlah Orderan

Aku mengetahui sedikit soal pekerja seks komersial (PSK) di Solo dari temanku, saat kami mampir sebentar di Stasiun Balapan tahun 2019. Dia bercerita, “Ning sekitar kene, karo Lapangan Manahan, akeh PSK.” Kebetulan, tahun 2021, karena ada tugas Travel Writing, aku berkesempatan untuk melakukan usaha pembuktian. Menurut informasi gethok tular (informasi yang disampaikan dari mulut ke mulut), PSK banyak ditemui di sekitar stasiun. Seperti contohnya, Pasar Kembang, yang lokasinya di dekat Stasiun Tugu. Jadi, pikirku, informasi yang temanku berikan, bukan diada-ada. Ternyata, alasan banyaknya PSK di sekitar stasiun adalah untuk memuaskan hasrat seksual pekerja-pekerja yang membangun rel kereta. Itu dulu. Kalau sekarang, mungkin karena di dekat stasiun banyak dibangun hotel, asumsinya karena strategis dan praktis untuk orang-orang yang kelelahan sehabis menempuh perjalanan jauh. PSK menawarkan jasa untuk melepas kepenatan dan kelelahan, dan biasanya tempatnya, ya, di kamar-kamar. Kamar-kamar hotel.

Perjalananku ke Solo dimulai hari Minggu, tanggal 30 Mei 2021 di Stasiun Lempuyangan. Aku naik KRL untuk pertama kalinya. “Mbak, beli kartu KRL di mana?” tanyaku pada mbak-mbak penjaga loket. “Di loket belakang, ya,” jawabnya. Aku melihat kilat matanya, menandakan frustasi dan kelelahan. Sepertinya, sudah banyak yang menanyakan hal serupa hari ini. Maaf, ya, Mbak. Aku membeli kartu KRL, harganya tiga puluh ribu. Tapi isinya cuma sepuluh ribu, jadi kutambahin sepuluh ribu lagi sekalian untuk pulang. Setelah menunggu sebentar, jam 17.30 akhirnya aku berangkat ke Solo. Suasana di kereta penuh sesak, kayaknya hari itu semua orang punya urusan di Solo. Aku berdiri sepanjang perjalanan.
Sesampainya di Solo, jam 18.55, aku mampir makan di angkringan. Pemilik angkringan bernama Pak Suharto. Beliau sudah berjualan di seberang Stasiun Balapan sejak tahun 1998. Setelah pesanan mie rebusku datang, aku ngobrol dan bertanya soal PSK di sana. “Pak, di sekitar sini, banyak PSK-nya ya?” langsung kutanya begitu, rasa penasaran sudah menggebu-gebu. Kebetulan, temanku, Fadhil, yang tinggal di Solo, datang menemaniku saat itu. Sebelum berangkat, aku membaca sebuah artikel di Tribun Solo, tentang “Mburi RRI”. RRI adalah Radio Republik Indonesia. Kalau di Solo, kantornya terletak di daerah Kestalan, dekat Stasiun Balapan. Pak Suharto bercerita, sebelum Gibran melakukan lokalisasi dan razia PSK besar-besaran, banyak PSK yang mangkal di sekitar kantor RRI. Beliau juga menambahkan setelah adanya razia, PSK baru bekerja jam dua ke atas. Kalau kita cari di internet, “Kestalan” dan “Mburi RRI” memang dikenal sebagai tempat kerja para PSK. Biasanya, PSK duduk di atas motor matic dan melakukan transaksi dengan pelanggan-pelanggan. “Sekarang pada pakai Michat,” tambah Pak Suharto. Michat adalah aplikasi sejenis WhatsApp, untuk ngobrol dan mencari teman. Bedanya, Michat ini bisa melacak pengguna di sekitar kita. Jadi, kita bisa memilih dan mencari teman tanpa harus punya nomernya. Fadhil langsung mengunduh aplikasi Michat, penelusuran kami pun dimulai.

Setelah mendapatkan informasi dari Pak Suharto, aku dan Fadhil akhirnya mulai memilih PSK dari aplikasi Michat. Kami mencoba menemui salah satu mbak-mbak di Pose In Hotel, yang letaknya persis di seberang pintu masuk Stasiun Balapan. Fadhil temanku yang baik namun ngaco, sudah pesan kamar. Supaya menjiwai wawancaranya, katanya sih begitu. Naasnya, kami ditipu. Aku ngirim pulsa sejumlah lima puluh ribu, itupun ngutang ke teman. Ujung-ujungnya kamar itu kami pakai buat ngobrol dan merokok. Tidak cuma satu, banyak penipu-penipu di Michat berkedok menawarkan layanan seksual. Ada yang maunya ditransfer dulu, tapi setelah diminta ketemu, ogah-ogahan. Fadhil sampai dihubungi resepsionis hotel, khawatir dia ketipu, dan menawarkan shemale (istilah untuk transpuan). Karena kami nggak punya uang dan mencari PSK yang mau dibayar seratus ribu untuk ngobrol saja, kami nggak mengiyakan tawarannya. Tapi, terima kasih, ya, Mas!
Sekitar pukul tiga pagi, setelah cukup yakin untuk mengikhlaskan pulsa dan tipuan mbak-mbak Michat, kami keluar hotel dan mencari PSK yang mangkal di jalan. Aku bertanya pada bapak-bapak yang sedang nongkrong (sambil minum-minum) di seberang kantor RRI. Jawabannya ngelantur dan malah merayu kami untuk duduk sambil makan cilok. Akhirnya kami jalan-jalan ke perkampungan di belakang RRI. Banyak sekali hotel-hotel yang bentuknya kayak indekos atau rumah. Aku menulis banyak sekali karena memang banyak. Ada satu gang yang hotelnya sampai dua-tiga, gang Natuna. Kebanyakan hotelnya sudah gelap, ada juga yang masih terang, ada yang dengkuran penjaganya sampai terdengar saat kami lewat. Tapi, kami nggak menemui PSK yang mangkal. Kemudian, kami bertemu tiga perempuan berumur sekitar empat puluh tahun, pukul empat pagi. Mereka tidak menjawab pertanyaan kami soal PSK-PSK di sekitar RRI. “Nggak tahu, sayang,” kata salah seorang tante (aku memanggil tante, supaya akrab). Ia mengaku ingin ke pasar dan sedang menunggu cowoknya. Kami mendapati ada tante yang lain didekati seorang pria dengan motor gigi, tapi kemudian pria itu pergi. Mereka mengusir kami, bilang “Maaf ya”.

Akhirnya, kami bertemu seorang PSK di dekat kantor RRI. Ia duduk di atas motor. Fadhil aku mintai tolong untuk menego harga dan izin untuk ngobrol. Aku duduk di motor. Kemudian, ketika ada pria yang lewat dan mencoba menawar aku menggelengkan kepala. Asu, batinku. Namanya Mellinda. Mellinda awalnya ragu untuk menjawab pertanyaanku. Ia tinggal di Colomadu, jaraknya sekitar 10 kilometer dari Kestalan. “Sebenernya kan nggak boleh di jalan, tapi aku nekat,” katanya. Pernyataan itu merujuk pada program lokalisasi Gibran yang sempat aku singgung di awal tulisan. Kata Mellinda, jam delapan malam, polisi berkeliling di sekitar Kestalan dan merazia PSK yang mangkal. Selain itu, kata Mellinda, ia memang lebih suka bekerja malam hari sampai pagi buta. Mellinda biasanya mematok harga 150-200 ribu. Katanya, ia lebih memilih untuk mangkal daripada berjaga di hotel karena ia tidak mendapat potongan dari hotel, keuntungannya untuk sendiri. Setelah ngobrol dengan Mellinda, aku memisahkan diri karena Fadhil bilang, “Kalau saya sama mbak lanjut ngamar gimana?” Jancuk.
Sumber:
https://solo.tribunnews.com/2020/10/17/asal-usul-mburi-rri-jadi-daerah-prostitusi-di-solo-temani-malam-para-penunggu-kereta-selanjutnya?page=all (accesed on May 30, 2021)
https://www.solopos.com/yang-tersisa-dari-masa-lalu-solo-kota-pelesiran-esek-esek-prostitusi-di-jl-natuna-bagian-iv-habis-1070425 (accesed on May 30, 2021)
https://tirto.id/mengapa-banyak-prostitusi-di-dekat-rel-kereta-api-b5qq (accesed on May 30, 2021)
5 notes
·
View notes
Text
Sedang Terbang Harap Tenang

Panggung terbuka, FIB. 2018. Pertemuan pertama dengan minuman berwarna oranye dan budaya muter minuman.
“Iki sapa saiki?” “Koe, cuk, aku wis.”
Gelas plastik digilir. Masing-masing meminum cairan oranye itu, kadang disertai bunyi “kkkh”. Lama-lama, obrolan bergulir dan bahasan menjadi semakin wagu. Satu-dua orang memuntahkan isi makanan di perut.
Jeruk liar. Minuman beralkohol khas Jogja (menurut keterangan Bhagavad Sambadha, selebtwit). Dijual di aplikasi LINE dengan akun “Jeruk Liar”. Harganya 55 ribu rupiah. Sedangkan, anggur merah biasanya di atas 60 ribu. Isinya kurang lebih sama, 750 ml. Bedanya, rasanya tentu saja dan nggak dijual sebebas anggur merah (dalam artian banyak banget yang jual, platform-nya beragam). Jeruk liar dijual di botol plastik bening dengan tutup bewarna hitam. Tidak ada labelnya. Warnanya kuning mentereng. Setelah kita pesan di LINE, akan diantar ke tempat tujuan, ongkos kirimnya sebesar sepuluh ribu.
Sebelum menuju pembahasan tentang jeruk liar lebih lanjut, mari bahas minuman beralkohol. Menurut jurnal yang ditulis oleh Fikri Muhammad, yang kutemui di Twitter, budaya menenggak minuman beralkohol sudah ada dari jaman 10000 SM. Ada minuman beralkohol yang ditemukan di residu artefak guci di Turki. Raffles, dalam History of Java, menyatakan kalau minuman beralkohol dipakai oleh awak kapal dari Eropa yang menuju ke Indonesia untuk bekal, karena tahan lama. Alkohol memberikan efek hangat, rasa rileks, dan membunuh bakteri.
Kalau minum alkohol, terus apa efek yang ditimbulkan? Sederhananya, seperti mabuk di perjalanan. Kepala berat, pusing, dan mual. Dalam beberapa kasus, manusia-manusia yang minum alkohol lupa mereka berbuat apa saat sedang mabuk. Menurut alcohol.org, website yang khusus meneliti dan membahas alkohol, fenomena ini disebut alcohol-induced blackout. Minuman beralkohol mengganggu perkembangan otak dalam pembentukan memori baru. Biasanya, orang-orang yang mabuk dan tidak sadar ini mengingat kejadian sebelum mereka mabuk. Saya pernah melakukan hal bodoh, tapi nggak mau cerita. Selanjutnya, kembali ke jeruk liar.
“Jeruk Liar” menjual alkohol dengan dua varian. Jeruk dan apel. Jeruk rasanya mirip Nutrisari jeruk peras, alkoholnya tidak terlalu pekat, dan aromanya mirip minuman-minuman berperisa jeruk. Apel, rasanya mirip cuka apel. Yah, bayangkan minuman fermentasi dan perisa apel, rasanya agak mirip cuka (sotoy). Dua-duanya—tentu saja ini tergantung kemampuan tubuh dalam menerima minuman beralkohol, “naik”nya lama. Naik itu maksudnya mabuk. Anggur merah lebih cepat membuat naik daripada jeruk dan apel. Saya yang kebetulan sangat mudah untuk mabuk, merasakan bahwa jeruk liar tidak cepat-cepat amat membuat keliyengan.
Saya pernah minum jeruk liar di gelas kecil, kurang lebih 50-70 ml, baru mabuk saat tenggakan ke empat atau lima. Itu kalau badan sedang bagas waras. Kalau sedang capek, tenggakan pertama saya sudah pusing. Pengalaman ini tentu berbeda dengan orang lain. Teman saya, sebut saja Yanto, baru mabuk saat sudah habis dua botol jeruk liar, diputar ke 3 orang, jadi kurang lebih dia minum sebanyak ................ (susah nih matematikanya).
Suatu hari, saya dan kawan-kawan membeli jeruk liar, dua botol. Setelah diminum, rasanya mirip kamper, benda pengharum lemari. Saya yang saat itu sedang patah hati, merasa sedang butuh menenggak jeruk liar dengan semangat. Walhasil, saya mabuk sendirian. Paginya, saya menghubungi akun jeruk liar. “Mas, kok rasanya mirip kamper ya?”
“Masa, Mbak? Ya sudah, kami ganti.”
Diganti! Dua botol lagi. Selain itu, saya iseng bertanya macam-macam soal jeruk liar ini.
Ternyata, “Jeruk Liar” sudah ada sejak tahun 2015. Dibuat di rumah, home industry, produksi rumahan. Menurut keterangan admin, “Jeruk Liar” sudah cukup lama ada dibanding penjual minuman lokal lainnya. Dibuat bergotong royong sampai sekarang punya alat yang memadai. Alkohol dari jeruk liar dibuat dari bioetanol food grade, distilasi dari fermentasi molase atau tetes tebu. Jeruk kadar alkoholnya 15% sedangkan apel 23%. “Bahan kita food grade, jadi halal, Mbak,” kata adminnya dengan emoticon tertawa sambil menangis. Food grade maksudnya berasal dari makanan, bahannya alami. Untuk rasanya, memakai concentrat dari buah asli.
Jeruk liar menemani saya di kala patah hati, bahagia, dan ia minuman beralkohol yang pertama kali saya tenggak. Tidak berlebihan bila saya bilang bahwa jeruk liar adalah bagian yang penting dalam hidup saya. Meskipun rasanya pernah seperti kamper, toh ia tetap saya tenggak dan membantu saya melewati malam bersama remuk redamnya perasaan dan pikiran. Aduh, jadi sedih. Berikut adalah percakapan saya dengan teman saya yang paling saya sukai.
“Vin, ayo ngombe.”
“Apa?”
“Jeruk.”
“Gas.”
3 notes
·
View notes
Text
P
Notifikasi WA dari kamu muncul tiba-tiba. Sudah berapa tahun, ya? Satu, dua, tiga? Entah. Kata “tiba-tiba” cukup menggambarkan kenihilan komunikasi kita. Kamu kesulitan? Kamu jatuh cinta? Kamu kangen? Kamu habis nonton film? Kamu lagi baca buku dan tokohnya mengingatkanmu padaku? Kamu lagi mabuk? Tiga tahun berlalu. Apa hal yang sekiranya ingin kamu sampaikan kepadaku? Kenapa sekarang? Kenapa harus sekarang? Kenapa baru sekarang? Sebelum membaca pesanmu, aku mikir macem-macem dulu. Aku-aku di kepalaku berteriak-teriak,
“ASU!”
“BAJINGAND!”
“GAK USAH!”
Aku memantapkan hati untuk membaca pesanmu.
Halo, apa kabar?
Demi diriku sendiri, usaha-usahaku untuk: tahu diri, melupakanmu, dan hidup biasa saja, aku memutuskan untuk....
Baik, kamu gimana?
membalas pesanmu.
2 notes
·
View notes
Text
Untung Ada Langit
Untung ada langit. Suaka asap kebal-kebulku yang tidak pernah komentar.
Suatu hari, aku didudukkan oleh kakakku. Ia berkata, “Ada yang lapor ke aku.” Lapor apa ya? “Kamu merokok di terminal, tidak pakai jilbab.” Oke, terus? “Nakal boleh, jangan sampai malu-maluin keluarga.” Kakakku kemudian bercerita, dia nakal tapi orang-orang se-Prambanan tidak tahu. Katanya, kalau mau nakal, empan papan dong. Jangan sembarangan, begitu katanya. Sampai detik ini, aku masih memikirkan. Apa definisi nakal baginya? Bagian mana yang membuatnya berkata aku mempermalukan keluarga bila merokok dan tidak pakai jilbab? Jawabannya mungkin bisa ditebak. Perempuan ya nggak seharusnya merokok. Perempuan yang asalnya dari keluarga baik-baik, dipondokin enam tahun pula, seharusnya pakai jilbab. Tetapi, kakakku merokok di mana saja, dan sepertinya, itu nggak membuatnya jadi orang yang “mempermalukan keluarga”. Merokok bagi laki-laki sah-sah saja, tidak nakal. Laporan dari seseorang yang melihatku menikmati rokok di terminal bagi kakakku adalah sebuah hal besar. Iya, kalau sampai dilaporkan, berarti memang besar halnya. Sesuatu yang harus diomongin.
Sudahlah, berdamailah. Ini perkara gampang. Aku berujar pada diri sendiri. Aku yang lain menolaknya. Merokok di Prambanan adalah caraku berdamai. Aku yang lain menolaknya lagi. Cara berdamaimu butut. Nggak begitu. Jangan merokok, pakai jilbablah. Aku yang lain diam saja. Aku diam saja. Aku mikir, harus begitu ya? Sementara memang aku nggak tahu diriku itu apa, sebenarnya bagaimana, kenapa hidup dan lahir kemudian ngedumel karena nggak diperbolehkan merokok. Namun, sementara ini, merokok dan nggak pakai jilbab adalah caraku berkenalan dengan diriku. Dua-duanya membuatku merasa nyaman. Enak di mulut, merokok. Silir, nggak pakai jilbab. Keduanya, kayaknya nggak ada hubungannya dengan ideologi macam-macam. Cuma enak saja. Gampang, tapi kenapa sulit? Kenapa aku harus melakukan hal-hal gampang itu diam-diam?
Untung ada langit..... langit di terminal Prambanan diam saja. Seseorang yang melihatku di terminal saat itu yang tidak diam.
“Mas minta rokok.”
Untung ada langit. Selain itu, ada masku yang ngasih rokok, tanpa melihat mataku. Pemakluman yang lapang dari dua-duanya, membuatku masih bisa merokok. FFFuuuuh, enak.
3 notes
·
View notes
Text
Berlari Santai ke B21
Sejak Januari 2021, saya bisa mengendarai motor. Namun, ada waktu di mana saya tidak bisa. Misalnya, ketika mama saya butuh motornya. Mau tidak mau, wong itu motor punya mama saya. Saya lupa kapan persisnya, tetapi hari itu mama saya butuh motor. Baiklah, akhirnya, saya mengalah dan naik Transjogja. Saya berjalan dari rumah ke halte. Menyeberang rel kereta api, menapaki jalanan basah Pasar Prambanan, menyeberang jalan raya, kemudian sampai di terminal. Haltenya tidak jauh dari deretan angkot-angkot di parkiran terminal. Agak timur. Harga tiket Transjogja murah sekali. 3500 rupiah saja. Aman di kantong. Transjogja masih belum seramai ketika sebelum pandemi. Bangkunya masih belum terisi penuh. Tidak sesak. Biasanya, Transjogja dari Prambanan penuh sekali. Seperti shaf shalat jenazah, rapat. Transjogja bergerak dengan agak ugal-ugalan. Saya memandang miris pengendara motor dari jendela. Transjogja dengan santai main salip saja.
Tujuan saya, seperti yang biasa saya tuju: B21. Sebutan anak-anak UKM Balairung[1] untuk sekretariat mereka. Mengapa B21? Perumahan Dosen, Nomer B21. Nomer sekretariatnya. Sampai sekarang, saya masih kurang terbiasa mengoreksi diri ketika sedang menjelaskan keberadaan saya. Kepada orang yang tidak familier dengan B21, atau setidaknya yang bukan anak Balairung.

“Lagi di mana?”
“B21... ah, sekretariat Balairung.”
Perjalanan ke B21 naik Transjogja lumayan panjang. Dari Prambanan, ke Bandara Adisucipto, lurus ke Ambarrukmo Plaza, singkatnya, saya turun di Bethesda. Dari Bethesda, transit ke Kosudgama. Sesampainya di Kosudgama, saya jalan dari halte ke B21. Biasanya, saya akan mampir membeli rokok di warung rokok dekat bunderan.[2]
Saat berjalan kaki, saya jadi bisa melihat lebih dekat, gelanggang yang sampai saat ini masih rata dengan tanah. Ckckck. Dasar gila.
“Itu rambutnya kenapa, Mbak?” tanya bapak satpam. “Saya warnain, Pak,” kata saya. Saya jadi bisa ngobrol dengan orang-orang baru. Saya nggak bermaksud mengglorifikasi kemiskinan atau apapun itu, ini cuma, beneran cerita tentang pengalaman saja. Saya mengakui, naik motor memang lebih efisien. Lebih memicu adrenalin juga. Tetapi, naik Transjogja dan jalan kaki menuju B21, tidak buruk juga.
Mengapa ke sekretariat? Saya tidak tahu, B21 punya kekuatan magis apa yang membuat saya bisa se-effort itu untuk menuju ke sana. Yang pasti, saya bahagia dan menikmati perjalanan menuju B21.

[1] Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) jurnalistik di UGM.
[2] Itu sebutan saya untuk warung-warung yang berjejer di trotoar depan Rumah Sakit Panti Rapih.
1 note
·
View note
Text
Andai Aku Anggrek
Koe kepanasan, ya?
Tak pindah kene
Kok koe bosok sih?
Sori, yo..
Aku ra pener le ngerumat
Kamu kok malam banget pulangnya?
Masih ngerokok ya?!?!
Mama harus mati dulu baru kamu sadar?
1 note
·
View note
Text
02.42
Tik tok tik tok (suara jam dinding).
Aku pecundang sekali, ya.
Tik tok tik tok.
Aku kuliah karena aku pecundang.
Tik tok tik tok.
Aku tidak bisa menjamin keahlian apapun tanpa ijazah S1.
Tik tok tik tok.
Sampai sekarang masih belum memikirkan susahnya cari uang karena malas dan ketakutan sama dunia orang dewasa.
Tik tok tik tok.
Di tempat kerja ngomongin orang nggak ya?
Tik tok tik tok.
Takut punya sirkel yang nggak cocok.
Tik tok tik tok.
Nggak suka dikekang dan merasa terkekang.
Tik tok tik tok.
Benci deadline.
Tik tok tik tok.
Takut mengecewakan orang-orang terdekat (seperti yang sering terjadi).
Tik tok tik tok.
Sering kepikiran mau udahan, tapi takut sama alam barzah dan yaumul hisab, yassalam.
Tik tok tik tok.
Menginginkan sistem sosia......grrrr..... diketawain PNS.
Tik tok tik tok.
Semua pakai uang kali.
Tik tok tik tok.
Pengangguran juga butuh uang.
Tik tok tik tok.
Pensiunan.
Tik tok tik tok.
1 note
·
View note