Perjalanan Awai dan yang andil dalam kalut-kalut tak bertuan.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Sakit Apa? 2018.

️️️️
Derap langkah seseorang menginterupsi lamunan Awai yang kelampau dalam. Ada terbesit buru-buru seperti dikejar hantu, bahkan hanya dengan sekali tengok, Awai mampu menafsirkan makna dari air durjanya. Iya, itu seorang dokter dan suster yang terlihat ketakutan menghadap Awai secara gamblang.
️️️️
Tanpa ingin menyela embusan nafas pertama, dokter perempuan yang sedikit gemetar dan ringkih itu mencoba menangkap sudut mata Awai yang sayu dimakan waktu.
️️️️
"Apa betul dengan keluarga Soelastri Aminah?"
️️️️
Awai mengangguk, karena memang sudah berhari-hari ia di rumah sakit. Namun rasanya, dokter yang menghampiri selalu saja berganti, bahkan dengan yang satu ini.
️️️️
"Betul, saya sendiri. Awai."
️️️️
Ia menjelaskan hipotesa, diikuti senyum tipis cuma-cuma yang ditarik dari ujung pipi.
️️️️
"Sekali lagi mohon maaf atas keterlambatan penanganannya, Pak Awai. Saya dr. Lasmina yang bertugas hari ini, meneruskan pesan dari dr. Jamal, hari ini Ibu Soelastri dipindahkan ke Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan untuk perawatan lebih lanjut dan rutin, Pak."
️️️️
Ada titik hampa yang tak dapat dipahami tingkat kewarasan manusia. Pula, pada akhirnya, Awai akan mendengar ucapan itu langsung tanpa perantara. Kendati dokter yang kepayahan menjabarkan kondisi Ibu serta ke mana kelanjutannya; itu bergetar, Awai tidak curiga sedikitpun. Dengkus ringan diiringi tawa ambang dari sudut bibir membuat kedua presensi di depan pandang terjerat dalam atmosfer merinding dan hening.
️️️️
Pasalnya, ini seperti guyonan bagi Awai.
️️️️
Bagi Lasmina, Ibu Awai tidak dalam kategori sakit di bagian fisik, melainkan pada mental yang entah kapan telah mengusik.
️️️️
Awai menyerngit, ia mengangguk dan enggan untuk bicara. Lebih baik di-iya-kan saja daripada mengundang segudang tanya. Decit-decit kursi roda serta derap langkah puluhan manusia menyertai lamunan di tengah keramaian, Awai mengutuk seorang diri, mungkin memang inilah saat-saat yang telah lama harus ia hadapi. Mungkin pula, ini adalah alasan Bapaknya pergi terbirit-birit membawa diri?
️️️️
Meski rangkaian dugaan serta kronologi telah hampir mencapai destinasi, Awai tidak akan kalah telak oleh waktu. Baginya, ini bukan apa-apa. Lagipula, jenis penyakit itu sangatlah banyak. Fakta ini, bukan lagi seutas mimpi; kenyataan yang tertunda, melainkan memang senyata-nyatanya buah hasil dari sakit hati yang kelampau dalam.
️️️️
Awai tidak langsung terkejut. Sepasang matanya hanya sayu menatap sisi durja Ibu di atas kapuk, sembari berbenah, pelan-pelan ia memecahkan gelas hening di sana.
️️️️
"Pemeriksaan terakhir kali, apa kata dokter sebelumnya?", katanya dengan nada yang datar.
"Selain down syndrome-"
"Iya kalau itu saya tahu. Ada lagi kah memangnya?", sela Awai dengan ketus.
"Oh maaf, Pak. Ibu mengalami gangguan perkembangan mental dan saraf yang tergolong dalam gangguan spektrum autisme. Ibu sedikit berbeda, Pak Awai. Ibu mengalami sindrom Asperger. Enggak heran kalau yang dari saya dengar langsung, sudah banyak jurnal dan hasil penelitian atas nama Soelastri Aminah, mengenai jenis batu, intan, hingga permata," dengan pelan, Lasmina mengerdip-ngerdipkan sepasang matanya, mengakhiri jawaban atas pertanyaan yang Awai beri.
️️️️
"Kalau itu, saya juga tahu. Yang saya tanyakan ini mengenai luka di dada Ibu!" urat-urat pada leher serta dahi kian muncul tak tentu. Suara Awai melengking tinggi menyelimuti atap-atap hingga menimbulkan gamang di tengah kerumunan orang-orang. Tidak peduli pada sesiapa yang menganggapnya gila, Awai hanyut begitu saja dalam kekalutan sebagai manusia.
️️️️
Belum lagi Lasmina dan suster di seberang mata yang bergidik ngeri menatap Awai. Keduanya saling adu pandang, tidak ada salah satu dari keduanya mau angkat bicara. Begitulah bisik-bisik dari luar ruangan membawa kabar burung hingga ke bangsal sebelah. Keluarga pasien emosilah, dokter dimarahi keluarga pasienlah, mungkin juga Awai sudah buruk dalam cerita mereka.
️️️️
"Kapan Ibu bisa dipindahkan?" sekali lagi pertanyaan diberi. Walau muntab telah bersarang ria di dada, bergumul bagai kafilah semut, agaknya akal sehat masih tersisa.
️️️️
"Satu jam lagi, Pak. Untuk administrasi akan dilakukan di sana. Sementara waktu, Ibu dan Pak Awai bisa bersiap terlebih dahulu," ada jeda yang menjadi koma, dokter itu kembali membuka tabir, "sebelumnya saya minta maaf. Ibu Soelastri salah satu pasien yang baru saya tangani, mendengar kronologi serta penjelasan dari dr. Jamal sendiri, mungkin Pak Awai bisa berkonsultasi dengan beliau."
️️️️
Anggukan akhirnya diberikan. Bicara soal dr. Jamal, Awai tidak asing lagi. Hanya saja, pergantian sif dokter yang merawat serta meresepkan obat beberapa hari ini sedikit banyak mengundang tanya. Padahal, perbincangannya dengan dr. Jamal sudah lebih dari cukup.
️️️️️️️️
"Terima kasih," tidak ada kata yang bisa ia jabarkan, secukupnya untuk menyudahi basa-basi dunia, begitulah Awai menutup kelesah dan buncah di dada serta kepala.
️️️️️️️️
Tak lama setelah Lasmina dan suster itu beranjak pergi, samar-samar presensi seorang perempuan kembali memetik atensi.
️️️️
"Dewi?"
️️️️
Tiada angin dan hujan, apalagi petir dan gempa, perempuan yang baru saja beradu pandang dengannya sudah tentu Dewi, anak tetangga yang baru saja pindah.
️️️️
"Kakak."
"Kenapa?"
"Ada surat dari seseorang, katanya dia kenal Kakak."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan, Kak.."
"Dari mana kamu dapat ini, Dewi?"
"Semalam, dari pagi sampai sore, dia berdiri di depan rumah Kakak, sambil lihat-lihat sekitar seperti orang ketakukan. Aku enggak sengaja lihat ada memar di dahi dan mukanya, kakinya juga seperti bekas cambuk."
"Bagaimana perawakannya?"
"Ibu-ibu, Kak..."
️️️️️️️️
Rasa nyeri yang mengalir melalui nadi serta darah dalam diri, membuatnya tak lagi mampu menampung kemertab emosi. Mendengarnya saja, Awai menggertak, mengaduk-aduk surai yang sudah kering dan lunglai, ia berpaling untuk membuang air durja, tak mau kalau Dewi melihat betapa murkanya ia kini.
️️️️️️️️
"Kakak?"
"Dewi, temani Ibu saya ke Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan. Malam nanti, jam 10, kamu boleh pulang."
"Kakak mau ke mana?"
"Saya ada urusan."
0 notes
Text
Permata, 2018.
️️️️
Awai sedikit khawatir tentang ucapan Ibunya yang menjerumus pada metafora definisi permata. Baginya, ada maksud di balik itu. Tidak mungkin semata-mata diucapkan tanpa mengandung arti. Ditambah lagi dangkal dan dongkolnya hati selepas ditinggal Bapaknya pergi untuk kawin lagi, perempuan mana yang tidak sakit hati?
️️️️
Sekalipun rumah dan kediaman yang telah ia permak sedemikian rupa, hembusan angin serta rerintik hujan yang kala-kala waktu mengetuk atap jendela, tetap menghadirkan sensasi murung dan teduh dari segala sakit yang terkurung hebat. Sebab, kesudahan dikonklusikan sepihak, tidak atas dua kepala. Yang satu merana, yang satu bahagia. Adil, kah?
️️️️
Awai tidak rela. Biarlah doa ia bentangkan dengan lurus dan panjang-panjang. Menyemogakan mati itu lekas jatuh dan menimpa Bapaknya, agar lusa hingga seterusnya, tidak perlu lagi untuk Ibu menangisi setiap detik dan waktunya. Percuma.
️️️️
Di hadapan Awai terbentang jelas beberapa buku soal permata dan intan. Ia tidak tahu yang mana satu untuk dibaca. Semalam, di laptopnya penuh dengan jurnal penelitian, hingga artikel yang jarang dikunjungi pembaca sebab materinya kelewat membosankan; Awai telusuri satu per satu. Tiada satupun jawaban yang bisa ia dapatkan. Ia berdecak kesal, jemari kusamnya menggaruk-garuk surai dan hidung secara berganti.
️️️️
Berhari-hari dihabiskan untuk melihat sesuatu yang tidak terlihat. Awai tidak rela membiarkan Ibunya merana dalam kesedihan yang seperti tak punya tidur untuk istirahat, hendak sekali; atau selamanya, kesedihan dan sakit hati itu lekas berganti menjadi senyum di pagi hari.
️️️️
Sebab dari seutas kata yang lepas dari bibir Ibunya itu telah menuai tanya yang tak berkesudahan dalam urusan mengantri. Mungkin saja ada maksud di balik kata? Mungkin juga Ibunya senang memakai metafora? Mengingat bahwa Ibu adalah seorang penulis novel yang telah mati di dalam kisah sendiri.
️️️️
"Apa aku tanya Saman, ya?"
️️️️
Gumamnya sendiri sembari kepayahan mencari titik konklusi. Dalam gamang yang tidak beranjak sejak tadi, akhirnya Awai membenahi buku serta lembar-lembar yang berantakan di atas meja. Hendak hati, ingin menghampiri Saman, orang paling paham tentang bahasa dan kata. Mungkin bahasa orang jatuh cinta saja, Samanlah yang bisa menafsirkannya.
️️️️
Akan tetapi, sesuatu yang tidak terpikir membuat Awai gelagapan seorang diri. Bagaimana tidak?
️️️️️️️️
Ibunya tergeletak tak berdaya di lantai. Bersama cucuran darah yang mengalir dari dada kiri, sebuah tusuk konde dengan motif intan permata putih adalah bukti yang bisa Awai dapatkan. Gerangan, akal sehat tidak mampu berpikir lebih panjang, Awai lekas-lekas berlarian tidak karuan menuju rumah Dewi.
️️️️
"DEWI! DEWI!"
️️️️️️️️
Teriakan yang menggema sontak menjadi bual-bualan tetangga sebelah. Awai dianggap gila, pasalnya lajak tidak satu dengan mulut yang kepalang getir.
️️️️️️️️
"Kenapa, kak?!"
️️️️️️️️
Dewi ikut-ikut memburu waktu dan angin untuk segera bersabung durja dengan Awai.
️️️️
"Bapakmu, adakah? Saya minta tolong,"
"Minta tolong apa kamu?!"
️️️️️️️️
Sahut Ayah Dewi dengan sinis di bibir pintu, lagaknya jumawa sebab tangan disimpul di depan dada.
️️️️️️️️
"IBU SAYA!! LIHAT SAJA SENDIRI, DASAR ORANG TUA!"
️️️️️️️️
Dengkus kasar lepas tanpa kedali. Lagi-lagi Awai harus bertemu cerminan dari Bapaknya yang ada di Ayah Dewi. Kalang-kalap kaki menapak pada tanah yang tidak mau beri ampun, rintik-rintik berdatangan seperti sedang mengantarkan Awai pada ambang sakit hati yang sesungguhnya.
️️️️️️️️
"Ibu, sebentar, Ibu, sebentar,"
️️️️️️️️
katanya berkali-kali menjabarkan situasi, yang nampak dan tersisa jejak dari tusuk konde itu lekas dilempar oleh Awai. Sekujur tubuhnya bergetar. Tangan dan air muka, tidak bisa berkata.
️️️️
Decak kesal mengiringi, sembari laun ringkih tubuh Ibunya sampai dalam dekapan. Dingin. Sangat dingin. Surai Ibunya telah rontok, keriput sudah menjadi kawan, mulutnya menganga dengan sembab di pelupuk matanya yang indah.
️️️️️️️️
"Ibu, sebentar,"
️️️️️️️️
tidak ada kata yang bisa disampaikan. Padahal, ada banyak kata maaf berserakan di kepala, ampunan-ampunan bahkan sumpah serta serapah. Ibu, oh Ibu. Seberapa dalamkah sakit hati itu? Barangkali, bisa dibagikan ke Awai, barang sedikit, barang secuil, barang setitik, agar tidak tenggelam di tengah lautan benci.
️️️️️️️️
Kanan dan kiri gemuruh kian menjadi. Bisik dan berisik dari mulut tetangga mulai menarik konklusi. Rumah Awai telah ramai, ia menjadi tontonan setempat. Ia menjadi objek yang tanpa sengaja dipentaskan oleh keadaan. Ia menjadi, bualan-bualan kebencian di tengah sakit hati terdalam.
️️️️️️️️
"Ibunya bunuh diri?"
"Bukan! Itu ditusuk ke dada, mana mungkin langsung mati?"
"Sudah telpon Ambulance kah?"
"Aku enggak tahu."
️️️️️️️️
"MINGGIR! KAK AWAI, AYO MASUK KE MOBIL. BIAR AYAH YANG ANTAR,"
️️️️️️️️
Awai tidak mampu mendengar. Hanya sebuah bising serupa ultrasonik yang berdengung sinting di telinga. Mustaka Ibunya; mahkota yang paling indah, ia dekap lamat-lamat bersama air mata yang berlinang, jatuh, dan terukir di pipi.
️️️️️️️️️️️️
Kecupan tidak berhenti diberi di pematang dahi, menimang-nimang tubuh Ibu yang kian ringkih diteguk waktu dan sakit hati. Kalau begini, siapa pelakunya?
1 note
·
View note
Text
Hitamnya Hati, 2018.

️️️️
Adzan maghrib telah menggema syahdu dari surau yang kelewat jauh. Saling bersahut-sahutan tiada henti sejak beberapa menit lepas. Awai beru saja menyudahi pekerjaan yang tidak dibayar pemerintah. Kaki dan tangannya penuh dengan likat tanah liat serta ilalang muda. Pelan-pelan, mengedarlah pandang Awai, tak lupa berkacak pinggang seperti juragan tanah, menerka-nerka sejauh mana pekerjannya telah terlewati. Jangan heran, semenjak ditinggal Bapaknya kawin lagi, Awai telah berubah profesi menjadi kepala keluarga. Segala apa yang menurutnya tidak layak dipandang, lekas-lekas dibenahi daripada dibuang. Hingga saat ini, selasar rumah dibersihkannya, taman belakang tak luput dari pandang dan jalan-jalan yang menyulitkan untuk kaki berpijak, dibuatkannya jalan darurat.
️️️️
Ada sedikit kebanggaan.
️️️️
Ibu biasa bangun sore dengan keadaan mata yang lembab oleh tangisan pagi, helai surainya kusut hingga Awai harus rutin menyisirnya setiap pagi. Kadang-kadang, kalau terlepas dari pantauan, Ibu diam-diam pergi ke taman belakang, berdiri di tengah-tengah tanah liat yang menjadi sarang serangga, menatap langit dan seluruh tatanan yang terbentang di atas sana. Sebab itulah, Awai tidak bisa hanya diam saja. Perlu waktu serta tenaga baginya untuk membenahi yang dirasa urgensi.
️️️️
Lama-lama, matahari tidak lagi terlihat. Kicauan burung sudah pergi entah ke mana. Awai berniat untuk segera menyudahi pekerjaannya dengan membasuh kaki di keran mengalir. Akan tetapi, derap langkah kaki terdengar laun selaun siput yang mencari makan, hentak lambat tak berirama nampak familiar di telinga.
️️️️
"Ibu?"
️️️️
Awai bergumam seraya lekas membasuh kakinya.
️️️️
"Kenapa? Mimpi burukkah?"
️️️️
Gesit tangan menangkap raga yang kelewat ringkih, pergelangan tangan kurus terbalut baju putih tulang susu, surai kusut namun masihlah wangi, Awai tahu betul kalau jam segini Ibu akan bangun tanpa diminta.
️️️️
"Ada orang di depan, Wai.."
️️️️
Seluruh kata terucapkan dengan kepayahan. Bibir bergetar bersama pandang kosong ke depan, namun untungnya ada maksud dari perkataan tadi.
️️️️
"Tamu?"
️️️️
Awai mendekatkan durja, bermaksud memastikan pertanyaan ambang yang masih harus ditafsirkan.
️️️️
Dan ada angguk sebagai balasan. Lantas, Awai segera mengajak Ibu kembali ke kamar, tidak perlu repot-repot bangkit dan memberi laporan. Awai paling tahu, sakit hati yang masih bersarang tidak bisa ditawar dengan berbagai penawar.
️️️️
"Ibu tunggu sini, ya? Aku lihat dulu siapa."
️️️️
Katanya menguraikan. Di rumah tidak ada siapa-siapa selain Awai dan Ibu saja. Kalau Bapaknya, sudah pasti sedang sibuk bercinta dan mendesah bersama istri barunya. Jadi, tidak perlu dicari. Karena memang tidaklah penting.
️️️️
Sudah hampir gelap, tapi ada tamu yang datang, membuat Awai sedikit banyak menyimpan tanya di kepala. Siapa gerangan?
️️️️
Tok. Tok. Tok. Tok.
️️️️
Bunyi ketukan pada pintu terdengar tidak buru-buru. Sepertinya benar, ada tamu.
️️️️
Namun, begitu batang pintu dibuka lebar, presensi seorang yang tidak dikenal hadir bersama kudapan di kedua tangan. Awai menyelinapkan mata ke berbagai sisi dan penjuru, bukan tetangga yang biasa menggerutu atau melempar kutuk-kutuk batu, kalau begitu, siapa perempuan ini?
️️️️
"Siapa, ya?"
"Selamat sore. Aku Dewi, aku dan Ayah baru pindah semalam. Dan rumah kita bersebelahan. Ini, kubuatkan oseng kangkung dan tempe goreng. Kamu bisa makan sambal nggak?"
️️️️
Tunggu, tunggu.
️️️️
Perlu waktu untuk Awai mencerna. Pasalnya, ada banyak yang baru saja pindah rumah. Jadi, Awai tidak tahu yang mana satu orangnya. Belum lagi perempuan itu, saking tidak pedulinya dengan lingkungan bertetangga, Awai baru tahu kalau ada rumah yang persis dekat dengannya. Bersebelahan pula.
️️️️
"Oh.."
️️️️
Jawab Awai kemudian, sebab lancang rasanya kalau si Dewi itu malah dapat tatapan sinis dan jijik dari Awai.
️️️️
"Iya, saya bisa makan sambal. Kebetulan sekali saya belum masak untuk Ibu. Terima kasih banyak, Dewi,"
️️️️
Penjelasan diberi cuma-cuma.
️️️️
"Yang tadi Ibumu ya.."
"Iya, kenapa?"
"Sakit apa beliau?"
"Sakit biasa. Sedang saya rawat. Omong-omong, titip salam ke Ayahmu, ya? Salam dari Awai, semoga bisa saling membantu,"
"Oh iya Awai! Eh tapi kakak? atau..."
"Saya lahir tahun 1999,"
"Kak Awai!"
️️️️
Lekas senyum terbit dari durja Dewi, diam-diam ia sumringah. Ketahuan dari caranya bicara, tengil dan ceria.
️️️️
Namun kemudian, pandang tajam dilempar kasar dari ujung jendela kayu. Ayah Dewi dengan kaus abu-abu menyulutkan bara api, kumisnya ikut-ikutan mendeklarasi peperangan harga mati antar tetangga. Awai menyeringai, kelewat narsis nampaknya, sebab Dewi sendiri yang sumringah dan wara-wiri ke rumahnya.
️️️️
"Kalau boleh saya tahu, kamu kuliah jurusan apa, Dewi?"
"Aku Hukum Pidana. Kakak?"
"Saya Desain Interior,"
️️️️
Balas Awai sembari menyuratkan senyum di durja, semata-mata menerima peperangan yang Ayah Dewi gelarkan di sore hari.
️️️️️️️️
"Oh.. hehe. Kalau begitu aku permisi ya kak Awai! Semoga Ibu kakak cepat sembuh!"
"Iya, jangan lupa salam saya untuk Ayah, ya?"
️️️️️️️️
Sebuah kedip diberikan tanpa bayar. Maksud hati untuk memastikan, bahwa anakmu sudah suka denganku, ini diberikan melalui siratan mata pada Ayahnya yang menyimpan geram di bibir jendela.
️️️️️️️️
"Polisi dan hukum,"
️️️️️️️️
Awai bergumam tidak percaya.
️️️️️️️️
"Merepotkan."
0 notes
Text
Hampir Gila, 2018.

️️️️
Pelan-pelan dengan pasti, Awai mengusap punggung tangan Ibu dengan sehelai handuk basah. Sudah lewat hitungan hari dari kejadian yang tak mengenakan hati; telah berlalu, Ibu masih tenggelam di lautan bara api dan benci. Tiada juga suara yang keluar dari mulut Ibunya, hanya rerintih serta tangis yang terisak, amat pedih kalau diuraikan dengan lampiran kata. Begitu pula pada Awai, di antara letih dan remuk yang terpatri di hati, ia hanya bisa membasuh sisa-sisa pertengkaran semalam dengan rutin menyapu lantai, mengelap dinding yang terciprat darah, mengusap badan Ibunya, serta menyirami tanaman yang layu di bibir jendela.
️️️️
Sudah gila? Hampir.
️️️️
Terhitung sudah seminggu lamanya ia berbenah. Mencoba mengganti kelopak yang koyak dengan kain baru. Seperti mengubah posisi serta tatanan perabot di rumah, mengecat ulang warna dinding rumah, sampai memangkas rambut yang sempat panjang menjadi pendek untuk disibak angin senja.
️️️️
Meski sempat, sabar melewati batas seharusnya, Awai mengurung jauh-jauh dendam itu di dada. Padahal, ia sudah tahu kemana lelaki hidung belang itu berkelana. Tidak jauh-jauh dari mencari para perawan muda, lalu menikah dan saling mengadu kemaluan, hamil dan punya anak, tak lupa membawa lari harta istri senyampang jidat.
️️️️
Mau berapa kali Awai menyerngit dan menabung dengki, ia memilih untuk bersabar dan berdiam diri. Ya bagaimana? Lihatlah Ibunya. Sudah diambang kematian rona dan akal sehat. Tiada satu haripun terlewat hanya untuk sebatas menangis dan meronta. Meminta apa yang beranjak lekas pulang dan masuk ke dalam rangkulan hangat.
️️️️
Bangsat.
️️️️
Memangnya Awai hendak? Mau lelaki itu datang dan meminta ampun untung pulang, Awai tidak akan pernah sudi. Jilat kakinya hingga bersih, paling-paling ada yang mati diinjak ratusan kali.
️️️️️️️️
Satu hela napas berat akhirnya berkelana. Itu, Ibunya sudah rekat-rekat memeluk guling dan meringkuh dengan sehelai selimut. Kini, Awai bisa permisi. Memulai hari dengan sumpah serapah yang memaksa untuk dikibarkan kencang-kencang.
️️️️️️️️
"Bangsat. Kencang juga orang itu memukulku semalam."
"Biru pula."
"Sekarang aku harus apa?"
️️️️️️️️
Katanya selagi mengedarkan pandang ke penjuru ruang. Meneliti sudut per sudut yang dirasa kurang. Belum lama ini, Awai memang ingin mengubah isi rumah yang semula macam neraka, paling tidak kini menjadi tempat berlabuh di kala gundah.
️️️️
Ia tidak punya siapa-siapa. Selain Ibunya yang sakit-sakitan. Kucingnya sudah mati, ia kubur tempo hari di belakang rumah. Sudah dibilang, Awai tidak punya pulang. Sekarang itu, ia sedang sibuk membuat jembatan untuk berlabuh. Meskipun tidak seapik semalam, kiranya mampulah 'tuk menjadi singgah yang teduh.
️️️️
Mau tak mau, Awai berakhir dengan membuang diri di sofa tua. Di sana, ia menyandarkan pundak yang kelewat berat, serta kepala yang tak lagi mampu ditimang dengan raga. Sesekali, Awai memandang langit-langit rumah yang terasa sendu. Terbayang akan renyah tawa dahulu, sebelum perkelahian terjadi. Namun, apalah daya. Semua sudah menjadi bubur.
️️️️️️️️
Tak lama kemudian, ada sebuah ketukan pintu setelah sekian lama. Bunyinya asing, Awai tidak kenal. Biasanya ada yang memanggil, paling tidak namanya. Ini, hanya hening yang terlampau kering dimakan waktu. Pada akhirnya, Awai bangkit dan menghampiri. Namun yang bertamu, bukan orang yang ia ketahui.
️️️️️️️️
Awai lekas melempar tanya pada seorang perempuan paruh baya di sana.
️️️️️️️️
"Maaf, siapa ya?"
"Apa benar ini rumah Yudistira Andai?"
️️️️️️️️
Hanya sekali perempuan itu bicara, nadi mulai bertimbulan sinting pada dahi dan leher Awai. Itu nama yang sangat ia benci.
️️️️️️️️
"Salah alamat, Bu. Permisi."
️️️️️️️️
Balas Awai dengan sigap hendak menutup batang pintu.
️️️️️️️️
"Berarti kamu Awai, ya?"
️️️️️️️️
Lagi-lagi pertanyaan diberi padahal tiada satupun segan beranjak di sini.
️️️️️️️️
"Kenapa memangnya?"
️️️️️️️️
Nada bicara Awai nampak jelas tidak ingin berlama-lama.
️️️️️️️️
"Tolong saya, Nak.. Mungkin sebentar lagi, Pak Andai akan menikahi anak perempuan saya. Padahal belum lama ini, dia berjanji akan menikahi saya."
️️️️️️️️
Meletup isi kepala Awai. Ibaratkan, bumi ini siap untuk dibakarnya dengan api yang menyala di dada.
️️️️️️️️
"Si bangsat ini kelakuannya makin menjadi-jadi."
️️️️
Begitu kata Awai.
️️️️️️️️
"Kenapa anda repot-repot kemari?"
️️️️️️️️
Katanya menginterupsi.
️️️️️️️️
"Saya tidak tahu harus ke mana lagi. Yang saya tahu, Pak Andai sudah cerai dan punya anak lelaki. Mungkin juga, perceraian itu diakibatkan oleh saya."
️️️️️️️️
Meski terdengar mengada-ada, kini tiada lagi sabar yang tersisa. Awai menutup kedua mata, kuasa yang lain berlabuh pada bidang dinding, seraya penat hati dibuat muntab, Awai hanya bisa diam dalam kalut yang terajut sempurna.
️️️️️️️️
Tanpa mau melanjutkan pembicaraan, Awai meminta perempuan paruh baya itu untuk segera mengeluarkan gawai.
️️️️️️️️
"Ini nomor saya. Kalau lelaki itu datang lagi, langsung hubungi saya, secepatnya. Jangan berani untuk berpikir dua kali. Paham?"
️️️️️️️️
Peringatan diberi. Setelahnya, perempuan itu pergi dengan tangan yang gemetar, dilanjutkan pada sirat mata Awai yang menyimpan segala sumpah di sana.
️️️️
"Yang brengsek bukan cuman dunia. Bapakku sendiri sama brengseknya."
0 notes