Kholilah Dzati Izzah | Aku bisa jadi adalah seorang pendiam. Bisa jadi juga adalah yang terheboh, 'the crazy one'. Tergantung sampai dimana kita berkenalan, dan pada frekuensi apa kita saling berhubungan ||| Memuat pikiran dan perasaan dari sudut pandang personal.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
H-9
Tepat di hari-hari terakhir usia kepala dua-ku, dengan kesadaran penuh kuakui ternyata aku masih punya mimpi. Yah, sebenarnya aku nggak terlalu ingin meromantisasi hal yang selalu membuatku tertarik untuk menekuni profesi tertentu sebagai ‘mimpi’ sih. Jujur, menggelikan. Aku hanya nggak tau kata apa yang tepat dan sederhana untuk menggambarkan bahwa hasrat untuk bisa melakukannya dengan lebih baik lagi masih ada dan bahkan makin menyala. Tahun-tahun belakangan ini yang kupikir akan menuntunku untuk mengakhiri ambisi dalam perjalanan pencarian eksistensiku di dunia karir ternyata justru menumbuhkan benih-benih baru keingintahuan dan perasaan untuk lebih bebas. Aku masih ingin tahu, masih ingin berjalan lebih jauh dan -maaf, yang ini tidak bisa kunafikan- berekspresi di tempat yang baru.
Banyak orang bilang, hidupmu harus dilepaskan dari kemelekatan dengan apa yang kamu lakukan sebagai sumber penghasilan. Mereka bilang, seharusnya kamu tidak didefinisikan oleh karirmu. Atau lebih tepatnya, jangan biarkan pekerjaanmu, statusmu di tempat kerjamu dan apa yang kamu hasilkan menyetirmu dalam memandang seberapa berharga dirimu. Dalam banyak kesempatan, aku bisa setuju dengan hal ini. Tapi di saat-saat paling intim ketika aku berbicara dengan diriku, aku tahu ia tidak bisa begitu saja membiarkan dirinya telanjang bulat tanpa pakaian yang diberikan oleh pekerjaannya. Oh, akhirnya aku tau. Orang ini mungkin sangat berambisi untuk punya “karya”, entah apapun definisi karya itu. Aku hampir tertawa geli membayangkan dirinya menyebut hasil-hasil pekerjaannya sebagai “karya”, sama gelinya ketika aku memberi nama “mimpi” pada sesuatu yang ingin aku kerjakan lebih jauh tadi. Sama gelinya dengan tulisan ini, sangat kekanakan dan naif sebagaimana biasanya. Maksudku, aku akan berumur 30 beberapa hari lagi, tapi lihatlah tulisan menggelikan ini!
Dia, dibanding menitikberatkan pada ambisinya untuk “punya karya”, sepertinya lebih butuh perhatian pada sisi gelapnya. Pada sisi terdalam dari dirinya. Ada ketidakamanan dan kerapuhan yang nyata, inferioritas yang sulit sekali disembuhkan, terkubur semakin dalam namun malah hidup dan mengakar. Mencengkeram, menggerogoti, menjadi hantu. Dan insecurity itu -dalam banyak kasus- membawa kerepotan lain bernama validasi. Ia terus menerus menuntut validasi. Dari diriku sendiri.
Aku bisa mendengarnya menggema dari kedalaman, suara-suara sumbang dan ketidakpuasan. Mereka bagaikan rakyat, dan aku adalah penguasa yang tak berdaya (oh, apalah artinya penguasa tapi tak berdaya!), seorang tertuntut. Aku diliputi perasaan bertanggung jawab untuk memberi makan suara-suara yang kelaparan. Mereka haus validasi. Tampak mengerikan, tapi toh aku menerimanya. Apatah artinya kerangka yang berjalan tanpa suara. Suara itu, meski muncul dari kegelapan, tetaplah tanda kehidupan. Jika ini adalah sahara, aku akan terus berjalan lebih jauh, berharap menemukan oase. Menenggak airnya meski sebentar, untuk kemudian berjalan lagi. Berharap lagi menemukan oase, atau berharap menemukan jalan menuju perkampungan, membangun rumah dan menetap.
Di akhir usia 20-an ini, aku putuskan tidak jadi mati.
0 notes
Text
aku tak tahu gemuruh yang datang dari kejauhan itu ternyata hujan yang menyergapku dengan gemericik keramaian, memberiku ruang untuk berteriak dan memelukku dengan kelegaan di akhir pertunjukan. aku hanya tak pernah tahu sebelum kutangkap sosoknya dengan indraku. dan kini ia berseloroh "untung saja kau belum sempat melarikan diri. untung saja.." dan sepanjang hidupku, ya, memang, aku - h a n y a - beruntung.
0 notes
Text
Bangun, tidur
Bangun, tidur
Setiap ingin bangun, aku harus tidur
/apakah ini sabotase/
/?/
Setiap akan bangun, "tidak!"
Kembali rebah
Dan menampar-nampar di wajah, dalam kepalaku
Demi usaha membangunkan, atau menidurkan
Kini tidak ada bedanya.
0 notes
Text
SUATU SORE
Diam-diam aku berguru
Pada deretan gigimu yang tampak saat tertawa
Pada sorot mata: kedalaman yang menjurang dan seberapa entah
Diam-diam aku menikmati
Kata-katamu yang serupa sulur
Merambat dan hidup muda
Terus tumbuh hingga liang telinga
lalu kuhafalkan setiap gerak isyarat--mu,
penggalpenggal yang terjulur dari kedalaman
perasaan--mu
dan kurapal setiap katakata—mu
seperti mantra yang
menyembuhkan;
merawat benih muda;
seperti—
Diam-diam aku belajar
Pada kisah yang selalu kau bagikan
Setiap kesempatan kita duduk berhadapan
Ketika hujan turun di luar
dan sulur yang makin menghijau liar
seperti—
“Apa kau menyukai hujan dan kota ini yang selalu lekat?"
Catatan pada 2024: Tulisan ini pertama kali direkam dalam sebuah dokumen bertanggal 30 Maret 2014. Belum satu tahun sejak pertama kali kakiku menapaki tanah yang saban sore basah kehujanan: Bogor. What a memory!
0 notes
Text
Aku jadi membayangkan sedihnya jadi pelepah kurma
Kalau rindu, ia hanya bisa terpuruk dan berdiam tak kemana, menunggu Cahaya mendekat dan memeluk gelisahnya
Sedang aku dilempar ke bumi sebagai manusia
Kelak kalau diizinkan, bisa berlari menghampiri Kekasih
Dan mengikuti di belakang, ke manapun Cahaya berjalaran
Meski di surga Tuhan bisa kabulkan apa saja, tapi dia hanya pelepah kurma, tak pernah jadi manusia
Dan kalau diizinkan, aku yang manusia ini bisa selalu mengaku-ngaku pecintanya, menceritakan penderitaanku selama di dunia dan bahwasannya aku berhasil mati wajar bukan menempuh cara ilegal
Terima kasih Tuhan, aku manusia dan alangkah beruntungnya tidak jadi pelepah kurma
23 Rabiul Awal 1446 H
0 notes
Text
Kuhanya ingin pulang / Kemana hati berlabuh / Hati mengeluh / Kuhanya ingin kembali
Cr: Paul Partohap
0 notes
Text
I’ve spent too much times
Believing in my dreams
Now I know I'm going nowhere
And the time keep passing by
The path I take is one solid rock
Which now blends with the dirt
Ah and the lights are dying
And the picture of you is fading
But I'll be remembering you
I'll be remembering you
...
Cr: The Overtunes
0 notes
Text
Menggambar!
Struggling banget setiap dapet kerjaan desain yang basisnya ilustrasi atau yang membutuhkan lebih banyak ilustrasi ketimbang grafis. Merasa tidak bisa banyak berbuat dan berkontribusi dalam tim dengan skil gambar gue yang pas-pasan. Gak bisa gambar satu karakter dengan konsisten, gak paham anatomi pula! Seringkali, kontribusi gw berakhir dengan diketawain satu tim, guenya juga ikut ketawa dan tidak merasa sakit hati sedikitpun karena emang gambar gue layak diketawain T_T
Secara pribadi, gue juga masih merasa sangat kesulitan 'membebaskan' tangan gue buat menggambar sesuai yang gue inginkan. Gue selalu tertarik dengan gaya ilustrasi yang naif dan kekanakan, atau ugly-drawing kali yah, yang gak kenal perspektif dan kedalaman, dan seterusnya. Padahal untuk melakukannya hanya cukup berpura-pura jadi anak TK dan tidak takut salah. (Gak 'hanya cukup' juga sih.. wkwk)
Tapi mungkin keberanian untuk menggambar seada-adanya juga merupakan sesuatu yang harus dipelajari, diasah pelan-pelan. Kita adalah orang berumur tua yang pernah menjadi anak kecil dengan mendengarkan berbagai hal kurang tepat di masa lalu. Gambarnya kok gitu doang, misalnya. Gambarnya kok miring, misalnya lagi. Orangnya kok gak cantik, misalnya lagi. Hidungnya kok gitu, misalnya lagi...
Semakin dewasa, semakin banyak melihat referensi, semakin mengagumi ketidaksempurnaan dalam setiap karya ilustrasi. Bagaimana ketidaksempurnaan itu dijaga, bahkan diciptakan untuk tetap menjadikan jiwa anak-anak dalam diri ilustrator dan penikmatnya lestari.
Demikianlah, gak ada kesimpulan atau apapun lagi yang bisa gue tulis.
Maksud gue mengenai gaya ilustrasi naif atau kekanakan yang ingin capai:




source: pinterest
0 notes
Text
[1]
Ingin bersandar pada rindangnya
Duduk sebentar dan
tidak takut ketinggalan
[2]
Hantu-hantu semakin kurang ajar
Datang-datang gak pakai ketuk pintu
Dari lusuhnya aku tau Ia jauh-jauh
berangkat dari masa lalu
[3]
Sekali saja memandang laut
Sambil telanjang kaki
Di bale-bale
Biar cuma heboh ombak
yang masuk ke telinga
[4]
Apa rasanya pipi yang kena helaian rambut yang pasrah saja dibawa-bawa angin?
Arsip Agustus 2023
0 notes
Text
Di bawah naungan Tuhan
Aku begitu kecil didekap oleh keagungan Di bawahMu aku terlindungi Aku kecil tapi itu tidak mengusik ketenanganku Aku bukanlah aku -mungkin itu yang membuatku tidak ragu
/Menyenangkan sekali bisa menyadari bahwa ada tempat untuk bernaung/
Dan bahwasannya aku hanya cukup bergantung pada Tuhan yang tidak akan kehabisan tangan untuk menggenggam Tidak kehabisan daya untuk menopang Tidak kehabisan waktu untuk mewujudkan
/Dan kata “cukup” merupakan anugerah/
Aku kecil dan lemah tapi aku tidak merasa akan dikecewekan Oleh Tuhan yang membuatku tidak perlu repot-repot mengurusi hidupku sendiri Katanya, cukup. Cukup minta padaKu Cukup berserah padaKu Cukup adukan padaKu
Menyenangkan sekali menjadi kecil di bawah Tuhan yang besar dan Maha penyayang
0 notes
Text
Rasanya takut sekali, tiba-tiba meragukan diri (meski biasanya juga begitu sih), dan bertanya-tanya:
"Emang gw orang yang tepat? Emang gw bisa? Emang gw layak? Emang gw..." Nggak ada habisnya.
Berkebalikan dengan sekantong recehan terakhir yang baru saja kuhabisi di meja perjudian.
Tak ada sisanya, kecuali satu hal: menjalani keputusan. Rasanya seperti bermimpi, terlalu ajaib untuk dipercaya, tapi terlalu menakutkan jika ini ternyata memang sekadar mimpi.
Bukan hal besar, mungkin justru menggelikan bagi banyak orang.
"Jangan-jangan..."
Mendengar berbagai "jangan-jangan.." yang berisik sekali membuatku ingin berlari, bertelanjang kaki di atas pasir pantai yang panas terpanggang matahari. Menghampiri ombak dan memaki. Saat ini belum kepikiran (si)apa yang paling ingin kumaki, tapi diri sendiri tentu saja menempati urutan pertama dari daftarnya.
Setelah itu ingin rasanya makan indomie goreng kotak di pinggiran pantai sambil menyeka keringat karena terlalu banyak makian yang terlontar. Minum air dingin dan bersandar pada salah satu tiang bale-bale. Memejamkan mata dan dielus angin, atau mungkin udara panas juga bisa. Sepertinya sih lebih ke tamparan.
Dan di penutupnya, menertawakan diri. Aku ingin merasa cukup. Kali ini saja.
Satu kali lagi sebenarnya, tapi yang itu kusimpan untuk hal lain nanti.
Tambahan:
Jika boleh kugambarkan, teriakan disela-sela makiannya akan seperti ini:
"AaaaaaaaaaaaaaaaaAaaaaaaaaaaaAaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaAaaaaaaaaaaaaaAaaaaaaaaaaaa!"
0 notes
Text
Judul: Doakan saja aku cepat dewasa.
Ceritanya, gue lagi iseng ngulik folder-folder lama dari jaman kuliah yang ada di laptop. Kemudian gue menemukan banyak banget file tulisan antah berantah yang semua isinya adalah curahan hati.
Bikin ngakak sih, betapa gue selalu nulis apapun yang gue rasakan pada periode tertentu kala itu. Terasa sangat intens, baik emosinya maupun kenaifannya.
Saat membacanya, beberapa tulisan bahkan membuat gue bingung, lupa dan hampir gak percaya pernah menuliskannya. Tapi setelah dibaca secara keseluruhan gue bisa langsung inget untuk (atau karena) siapa tulisan itu dibuat😆
Salah satunya adalah tulisan yang ingin gue muat ini, yang dari informasi filenya sih tertulis dibuat pada Senin, 9 Maret 2015 jam 10 pagi. Berarti saat itu gue bahkan belum genap berumur... 20 tahun?!
Yah, bagi sebagian orang mungkin umur 20 tahun itu sudah bisa dibilang dewasa, ya. Tapi, buat gue kayaknya sangat-sangat tidak berlaku, sih, mengingat sampai detik ini di umur 28 tahun, gue justru merasa semakin bocil dan tidak kunjung berpikiran dewasa, haha..
Jadi tulisannya begini:
Doakan saja aku cepat dewasa.
Sudah saatnya keluar dari ruang-ruang rindu. Sudah saatnya selesai dengan hatimu yang patah. Setelah esok, tentu ia mengharapkanmu lekas dewasa. Tidak cengeng lagi. Ia mungkin tidak ingin lagi bertemu dengan seseorang yang dulu selalu bawel dengan tugas-tugas kuliahnya, selalu memotong pembicaraan, yang selalu jutek sampai membuatnya gemas. Ia mungkin, setelah esok, ingin melihat seseorang yang berbeda dari yang pernah ia usili dulu. Menjadi seseorang dengan sisi yang bisa dibanggakan. Bukan lagi bersembunyi di balik bahunya, memutuskan pilihan tanpa berpikir panjang. Bukan lagi seseorang yang menurutnya tidak bisa bicara dengan baik di hadapan orang-orang, dan tidak lagi seorang penakut. Mungkin saja ia berharap suatu saat kamu bisa mengiriminya gambar dirimu yang sedang memegang kibaran bendera merah putih di puncak gunung.
Sudah saatnya selesai dengan keegoisanmu yang tak pernah berarti itu. Sebentuk rasa suka saja tidak cukup untuk menjadi sampan mengarungi lautan bersamanya. Hanya yang merasakan pengorbanan yang akan bertahan. Hanya yang memperjuangkan ketulusan yang keluar menjadi pemenang.
Sudah, benahi dulu dirimu itu. Akan ada saatnya nanti kamu mengerti kenapa kamu sampai menangis ditinggalnya pergi. Dasar bocah. Jangan ngambek lagi jika yang ia ingat tentang dirimu hanyalah pipimu yang cemberut, mulutmu yang bawel, dan kepalamu yang sekeras batu. Sekarang, mari kutemani kamu menertawakan diri. Biarkan lepas segala kerikil-kerikil itu seperti anak-anak panah yang melesat bebas. Jadikan jenaka. Dan rasakan bahwa semua masih dan akan terus baik-baik saja...
Setelah membaca tulisan itu, gue semakin yakin betapa gue adalah orang bawel, judes, nyebelin (ini sampe sekarang sih) tapi di sisi bersamaan, juga sebenarnya ceria dan ekspresif di hadapan orang (-orang) yang tepat, ceileh.
Setidaknya itulah yang bisa gue ingat tentang masa itu. (dih, berasa sekarang udah tuir amat ya?!)
3 notes
·
View notes
Text
aku kembali diajak ke sana, tempat yang sempat kurindukan. Tapi ternyata belukar di kiri kanan jalannya kini semakin menakutkan.
Jalannya semakin panjang dan medannya berat. Coklat tanah belum sepenuhnya kering, entah hujan atau hanya embun yang membuatnya basah. (Tapi aku berada di ujung hari. Apakah embun kini bertahan hingga pukul 6 sore?)
Hap! Ada yang menunggu untuk melahap di depan sana. Meski begitu ternyata aku bisa juga melewatinya. Setengah mati kengerian menjalar tiap kali berpapasan. Ngomong-ngomong, makhluk-makhluk ganjil itu baru kali pertama muncul di sana.
Jadi, dimana rumahnya? Tidak tahu, belum nampak juga. Aku hanya terus jalan, melewati berkali-kali makhluk mengerikan, bergandengan erat dengan temanku sampai tiba saatnya yang kutahu telah selesai. Kupeluk temanku dan berteriak senang, entah apa yang baru kuselesaikan.
Alarm menyalak dari sisi kiri. Saatnya bangun lekas mandi.
1 note
·
View note
Text
Hal yang Perlu Aku Sampaikan dari Manusia itu kepadamu
Mungkin komitmen adalah hal paling menantang-jika tidak mau dibilang paling berat- yang ditugaskan kepada manusia. Kenapa manusia ini susah berkomitmen?
Sebenarnya ia memang susah atau hanya takut melakukannya?
Apa yang ia takutkan, atau apa yang membuatnya takut?
Mungkin keraguan yang telah menjadi teman karibnya sejak lama yang membisikinya. Keraguan yang selalu bergelayut dan tidak pernah mendengar kata ‘cukup sudah’ sejak kali pertama ia dijamu. Keraguan yang semakin besar kepala dapat tinggal selamanya di dalam diri manusia itu.
"Keraguan, Keraguan, coba katakan apa hubunganmu dengan Ketakutan?
Apakah ia kembaranmu, atau pengiringmu, atau malah penguasa yang mendorongmu masuk ke kediamannya? Seumur-umur ia hidup bersamamu, wujudmu selalu abstrak dan tak kasat. Padahal mungkin ia sesekali ingin juga bertatapan mata dengan mata, agar bisa ia menerka kejujuran atau hanya kebohongan di balik setiap bisikanmu.
Tapi Keraguan, aku juga yakin sebenarnya ia tidak benar-benar siap menatap matamu. Jadi kutarik ucapanku yang barusan. Hanya saja, cobalah tidak terlalu sering-sering menemaninya. Terkadang ia butuh mengambil keputusan tanpa distraksi bising suara darimu. Oh maaf, apa kata-kataku barusan menyinggungmu?
Hanya saja..
(Aku tidak bisa berhenti mengatakan ‘hanya saja’)
Cobalah beristirahat dengan damai di liang yang telah ia siapkan. Ia tidak langsung mengatakannya kepadamu, mungkin aneh saja rasanya jika tanpa angin tanpa hujan, kamu dan Ketakutan tiba-tiba lenyap dari rumahnya. Setidaknya harus ada satu alasan natural kan, yang membuatnya bisa memintamu pergi darinya?"
0 notes