lazyredwizard
lazyredwizard
Jas Hujan
10 posts
What will you find here: sappy writings, trip stories, picspams, and drawings.
Don't wanna be here? Send us removal request.
lazyredwizard · 8 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Arashiyama
13 notes · View notes
lazyredwizard · 8 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Fushimi Inari-taisha
0 notes
lazyredwizard · 8 years ago
Text
Japan Part 1: Kyoto & Arashiyama
Jepang.
Kalau dulu gue inget julukannya “Negeri Matahari Terbit” dan “Negeri Sakura”, tapi salah satu hal yang dulu paling gue kaitkan dengan Jepang adalah anime dan manga. Hehehe. Meskipun sekarang gue bukan penggemar Jejepangan banget, gue masih suka baca manga shoujo random di internet—tipikal one-shot manis-manis yang kadang bikin senyam-senyum sendiri pas malem—atau bahkan masih menguatkan diri untuk nonton film animasi Jepang atau anime yang lagi populer-populernya. Terakhir kali gue nonton anime itu, kayaknya Yuri on Ice!! deh. Gue juga masih paham manga yang udah lumayan lama, coba tanya aja apa gue masih inget. (Kalau ditanya Naruto atau barangnya CLAMP pasti inget.)
Mengesampingkan masalah anime dan manga itu, tahun lalu gue pergi ke Jepang bareng mak-mak Ladies Traveler (yang bisa kalian baca di sini itu apa). Sebenernya trip ke Jepang ini merupakan acara jalan-jalan perdana gue bareng Ladies Traveler, waktu itu dengan lebih banyak mak-mak yang sekarang gue agak lupa-lupa namanya.
Selain itu, sebenernya sebelum pergi ke Jepang itu, gue ke Korea dulu selama 3 hari. Gue nggak akan mengulas trip yang ke Korea karena honestly nggak banyak banget yang bisa gue tulis, tapi mungkin bakalan ada picspam tentang jalan-jalan di Korea nanti.
Yang ke Jepang ini, gue pergi selama kira-kira 9 hari. Dari tanggal 17 sampai 26 Mei. Cukup lama sampai gue sedikit lupa sama suasananya Indonesia.
(Note: Sayangnya, foto-foto yang gue ambil di Jepang ada di HP lama, jadi gue menggunakan foto dari album Mama di Facebook. Bakal rada pecah tapi gue sudah mencoba untuk menguranginya sedikit;;)
 Sebelum itu, gue memperkenalkan karakter baru dulu.
Mak Ika: Beliau adalah orang yang lucu dan penuh semangat. Gokil pokoknya. Beliau tampak seperti orang yang banyak jalan-jalan, istilahnya apa, ya... seasoned traveler? Beberapa memori yang gue ingat tentang Mak Ika adalah: (1) beliau nunjukin gue sejenis foundation stick dari Nature Republic (2) kalau beliau foto, nggak cuma yang difoto aja yang pose, tapi beliau selaku juru potret juga turut berpose.
Berangkat ke Kyoto
Perjalanan ke Jepang dimulai dengan berangkat dari Incheon International Airport, naik Peach Airlines ke Kansai International Airport (KIX). Tujuan pertama gue di Jepang adalah Kyoto, alih-alih Tokyo. Pesawat yang waktu itu rombongan LT tumpangi itu terbangnya rendah, nggak sampai lapisan tropopause sepertinya. Biasanya kalau naik pesawat itu, kita terbang di atas lautan awan putih yang bergumpal-gumpal, ‘kan? Tapi pas pergi ke Kyoto ini, pesawatnya terbang rendah, dan gue bisa melihat bukit sepanjang perjalanan. Yang paling parah dari semua itu, adalah fakta kalau pesawatnya goyang-goyang tak henti dan tentu saja, gue panik.
Untunglah perjalanan menggunakan pesawat dari Incheon ini tidak memakan waktu lama, pesawat kita pun mendarat dengan selamat di KIX. Bandara yang satu ini katanya dinobatkan sebagai salah satu low-cost airport terbaik di dunia. Dari bandara ini, kita naik kereta JR (Japan Railways). Tapi, sebelum kita pergi ke Kyoto, kita menyempatkan diri pergi ke satu tempat dulu.
Tumblr media
 Fushimi Inari-taisha
(Inari, Konkon, Koi Iroha... #NAK)
Kuil ini merupakan kuil utamanya dari dewa bernama Inari Okami, letaknya di Fushimi-ku, Kyoto. Ini tempat yang bagus buat foto-foto, terutama bagian jalan yang isinya hanya ada torii semua. Untuk mengakses kuil ini, kalian bisa naik kereta JR Nara Line dan turun di Inari Station. Nggak jauh dari Kyoto Station. Yang paling gue suka dari tempat ini adalah suasananya yang cukup tenang dan adem. Gue adalah penikmat tempat-tempat tenang di mana gue bisa duduk, melamun, dan lebih enak lagi kalau bisa minum sesuatu juga. Nilai plus plus kalo ada teman buat diajak ngobrol. Bisa ada tiga jam lebih dihabiskan di tempat itu aja sambil duduk-duduk dan bercakap-cakap tentang kehidupan. Ea.
Suasana Kyoto
Kita baru kembali ke pusat kota Kyoto pas malam hari, dan saat itu kita sempet nyasar mencari penginapan. Waktu itu jalannya lumayan jauh sampai ke perempatan besar lainnya, dan ternyata kita kelewat banyak blok. Karena sambil menarik koper, ya, waktu itu gue capek banget. Tapi kita berhasil dijemput oleh pegawai penginapan tersebut dan akhirnya sampai di tempat menginap kita dengan selamat.
Pas di post yang tentang Hualien, gue menulis tentang hotel kapsul, bukan? Nah, pengalaman pertama gue dengan tempat tidur kotak kecil menyerupai kapsul adalah di Kyoto, yang waktu itu lebih kecil dibandingkan dengan apa yang gue dapat di Hualien. Rasanya? Karena gue nggak takut sempit, rasanya nyaman-nyaman aja sebetulnya, tapi gue nggak menyarankan kalian untuk menginap di tempat seperti ini kalau: (1) takut sempit (2) bawa banyak barang (3) kalian orang yang rempong.
Perjalanan kita baru dilanjutkan lagi esok paginya, tanggal 18 Mei. Gue, seperti biasa, setelah bersih-bersih langsung tidur, apalagi esok harinya kita akan pergi.
Tumblr media
 Arashiyama
Gue yang pelupa ini, nggak inget apakah kita naik JR atau naik bus ke Arashiyama. Melihat Kyoto di pagi hari jauh enak dibandingkan saat malam hari, di mana gue mendapatkan kesan yang cukup memorable mengenai Jepang. Jepang itu, di mata gue, adalah perpaduan dari tua dan modern. Gedung, jalan, teknologi canggih, dan semuanya boleh modern, tapi suasananya terasa cukup vintage untuk ukuran gue. Kalo gue mengekspresikan bagaimana Jepang itu dengan film, sejujurnya gue membayangkan filmnya itu punya palet warna yang agak muted dan lembut. 
Arashiyama adalah tujuan rombongan LT untuk hari itu. Meskipun gue sering memberikan link ke Wikipedia atau informasi apapun itu tentang tempat yang gue kunjungi, gue bisa menerjemahkan sedikit arti nama Arashiyama ini (mengandalkan kosakata abal-abal bahasa Jepang gue), arashi artinya badai dan yama artinya gunung. Gue bahkan tahu cara menulis kanji yama. Tempat ini merupakan sebuah distrik di bagian barat Kyoto, terkenal sebagai tempat jalan-jalan untuk para turis.
Salah satu kenangan yang paling gue inget dari Arashiyama adalah es krim tofu dan matcha yang rasanya enak banget. Lalu sambil jalan-jalan, menikmati keramaian dan panas matahari. Banyak turis berfoto-foto di jembatan yang melintasi sungai besar di Arashiyama. Distrik ini masih punya bangunan-bangunan khas Jepang, yang kebanyakan isinya adalah tempat jualan suvenir dan juga tempat makan. Waktu gue pergi ke sana, gue melihat banyak sekali anak SMP di Jepang yang lagi jalan-jalan—sepertinya karyawisata, sih.
Selain itu, kalian bisa pergi ke Bamboo Grove, sejenis hutan bambu yang juga tempat turis di Arashiyama ini. Kalian bisa menyusuri jalanan yang di sekelilingnya ada banyak tanaman bambu menjulang tinggi. Dari celah-celah antar bambu itu, cahaya matahari menyeruak masuk ke dalamnya dan menyelimuti tempat itu dengan kehangatan. Di sekitar gue semuanya berwarna hijau karena bambu-bambu tinggi tersebut. Cobalah untuk mengambil foto di tengah jalan, tapi jangan sampai menghalangi mobilisasi turis lain, ya. Di ujung Bamboo Grove ini ada sebuah kuil kecil.
Selain itu masih banyak tempat-tempat yang bisa dikunjungi di Arashiyama, kalian bisa pakai peta atau melihat papan penunjuk jalan yang dengan baik hati akan menuntun kalian ke tempat-tempat turis yang terkenal. Dari Arashiyama, setelah selesai jalan-jalan, gue pulang naik bus ke Kyoto. Transportasi umum di Jepang itu enak, jadi sering-seringlah naik kereta atau busnya!
 Sampai di sini dulu. Part berikutnya akan mengulas perjalanan gue ke Nara dan Osaka! 
0 notes
lazyredwizard · 8 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Yehliu, Taiwan
0 notes
lazyredwizard · 8 years ago
Text
Trip to Taiwan: Day 3
Sejujurnya, memori gue ternyata tidak sebagus itu untuk mengingat dan menulis semua detail perjalanan gue dengan lancar (...) I’ll try my best, though. Gue sangat mengandalkan foto-foto untuk mengingatkan kira-kira gue jalan ke mana, gue ngapain.
Tumblr media
Yehliu
Menurut Wikipedia, Yehliu adalah sebuah semenanjung yang terletak di utara Taiwan, di kota New Taipei. Fyi, New Taipei itu adalah kota teramai di Taiwan. Yehliu itu terkenal akan taman batu (namanya Yehliu Geopark) di mana kalian bisa melihat... batu. Hasil bentukan proses geologi yang foto-fotonya bisa dilihat di halaman Wikipedia-nya Yehliu.
Pagi-pagi banget kita sudah harus bersiap, karena ternyata habis dari Yehliu kita akan pindah kota. Perjalanan kita waktu itu naik bus, berangkat dari Taipei Main Station. Busnya itu luar biasa, sih. Di jalan-jalan berbelok, supirnya akan membawa bus itu dalam kecepatan tinggi, seakan-akan lagi di Need For Speed. Gue yang waktu itu ngantuk dan ketiduran di dalam bus sampai bangun gara-gara busnya yang ngebut di belokan. Tampaknya sang supir sudah sangat terlatih dalam mengendarai bus dan menaklukkan jalanan berbelok. Anyway, kita sampai juga di Yehliu yang... panas banget. Kalau kulit kalian nggak pengen terbakar, gue serius merekomendasikan untuk pakai sunblock. Silahkan pakai setiap dua jam untuk memastikan perlindungan yang memadai.
Meskipun panas, pemandangannya bagus. Langitnya biru, lautnya pun biru. Warna kuning kecoklatan dari batu-batuan dan birunya laut yang saling berdampingan terlihat hangat dan adem di saat yang bersamaan. Sepanjang jalan dari halte bus Yehliu ke taman batunya sendiri, ada bangunan-bangunan berjajar di pinggir jalan yang entah kenapa menurut gue lucu kalau difoto. Bau asin khas laut bisa tercium ketika gue menyusuri jalanan yang sesekali naik dan turun menuju Yehliu Geopark. Banyak turis berkumpul, mengambil foto di depan taman batu tersebut, dan tentunya juga berjalan masuk ke dalam taman untuk jalan-jalan.
Anginnya kencang, btw. Sebagai orang yang punya rambut tipis dan mudah berantakan, angin seperti ini bikin repot, tapi setidaknya bisa menjadi penyejuk dari hawa Yehliu yang panas. Ketika sudah sampai di tempat di mana semua batu itu berada, pemandangannya semakin bagus. Entah kenapa vibe-nya mirip Tanah Lot, padahal kedua tempat ini berbeda. Waktu itu gue foto-foto lautnya dari bagian depan taman dan ada keluarga orang Korea yang minta foto dengan pemandangan laut tersebut, gue nggak nolak meskipun panasnya luar biasa. Kacamata hitam itu akan sangat membantu. Tapi baju warna hitam nggak membantu sama sekali. (Jangan pakai baju hitam ke sana. Serius. Panas.)
Oh ya, kalau ingin ambil-ambil foto sama batunya, jangan disentuh batunya. Ada semacam satpam yang dengan sigap mengawasi semuanya, dan mata elangnya bisa menangkap turis yang iseng menyentuh (apalagi meluk) batunya. Kalian bisa diteriakin dari kejauhan dengan bahasa Mandarin yang gue bahkan nggak ngerti.
Setelah jalan-jalan, foto-foto (dan menunggu ibu-ibu foto juga), dari taman batu itu kita pergi makan di restoran seafood yang letaknya nggak jauh dari pintu masuk Yehliu Geopark. Pemilik restorannya sungguhan “jemput bola” a.k.a mereka sangat proaktif menarik pelanggan. Istilah ini terinspirasi dari Mak Vita, yang bilang kalau mereka sangat jemput bola. Seperti kata guru SMA, muridlah yang harus menjemput bola jika ingin mendapat nilai bagus, maka itulah yang dilakukan oleh para pemilik restoran. Mereka yang berinisiatif menjemput para pelanggan, menarik hati mereka untuk makan di restoran mereka. Persaingannya cukup ketat karena restorannya sebelahan.
Tempat makannya enak. Gue inget kalau restoran itu udah ada sejak tahun 1964 (atau ingatan gue yang salah, gue lupa), jadi ini restoran tua. Pas makan di sana itu ada meja berputar yang bisa ditemuin di restoran Cina! Wow! Kita menikmati makan dengan hati yang senang (siapa yang nggak suka makan? lol), dan entah kenapa rasa makannya nggak asing di lidah. Selama di Taiwan gue makan dengan tenang, nggak merasa aneh dengan rasa makanan yang ada di sana. Pas kita bayar untuk makan siang, ternyata kasirnya bisa bahasa Indonesia! Wow lagi!
Dari Yehliu, kita akhirnya memutuskan untuk kembali ke penginapan di Ximen pakai Uber. Kalau kalian bingung mau ke mana tapi nggak pengen naik kereta, bus, atau taksi, selalu ada Uber yang bisa kalian pesan. Selama di perjalanan balik, lagi-lagi, gue tidur.
 Perjalanan ke Hualien
Setelah sampai di penginapan, kita udah harus siap-siap untuk pindah ke kota berikutnya, yaitu Hualien! Hualien letaknya ada di timur Taiwan. Kita naik kereta ke sana, yang dinamakan Taiwan Railways Administration (TRA). Gue lupa naik dari stasiun apa (...) tapi waktu itu gue inget kalo HP Mama hilang! di! 7-Eleven! Tapi akhirnya Mama merelakan dan berniat untuk beli HP baru pas udah balik ke Indonesia.
Perjalanannya berapa jam pun gue nggak ingat, tapi yang pasti lama. Kita sampai di Hualien waktu itu memang udah malem. Tapi perjalanannya enak, duduk di kereta aja sambil menikmati pemandangan. Sepanjang rel itu bisa terlihat ladang sawah yang besar, atau padang rumput yang hijau. Taiwan ini alam negaranya masih terpelihara (tampaknya) dan rasanya adem melihat semuanya hijau sepanjang perjalanan.
Waktu sampai di Hualien, kita naik taksi untuk sampai di penginapan kita berikutnya. Penginapan ini tempat tidurnya mirip banget sama tempat yang gue pernah menginap di Kyoto—semacam hotel kapsul? Tempat tidurnya lebih besar sih, dan kamar mandinya menurut gue lebih enak. Walau harus sempit-sempitan di dalam tempat tidur berbentuk kecil, tapi tempatnya enak, kok. Apalagi menu sarapannya (haha!)
Seperti biasanya, gue langsung berdiam di kamar dan bersiap untuk tidur. Gue orang yang butuh banyak tidur (dan kadang terlalu banyak), dan seakan-akan tempat tidur itu punya daya gravitasi yang lebih kuat dari bumi itu sendiri, gue terlelap setelah mandi dan bersih-bersih.
 Perjalanan berikutnya akan dilanjutkan di post hari keempat! Btw, gue juga akan ngepost perjalanan gue tahun lalu ke Jepang. Soon.
< Back to Day 2
0 notes
lazyredwizard · 8 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media
Taipei 101 Observatory
0 notes
lazyredwizard · 8 years ago
Text
Trip to Taiwan: Day 2
Pesawat AirAsia yang kru LT andalkan untuk pergi ke Taiwan akhirnya mendarat juga di Taiwan Taoyuan International Airport, menjelang tengah malam. Gue lupa apa waktu itu ada delay apa nggak, tapi kita telat check-in ke tempat penginapan, jadi kena denda. Btw, bandara ini letaknya bukan di Taipei (di kota yang namanya Taoyuan), maka dari itu kita harus cari kendaraan buat pergi ke Taipei. Berhubung sudah tengah malam dan MRT-nya sudah tidak beroperasi, kita akhirnya naik bus. Busnya enak, deh. Kalau kata Mak Dewi, “kalau naik bus ini kemana-mana mah saya juga mau.”
Perjalanannya nggak lama, apalagi kita lewat tol. Pas lewat tol itu gue ngeliat jalan layang tiga tumpuk atau lebih. Teringat akan tol Jakarta-Cikampek yang katanya mau dibangun lagi jalan di atasnya, gue jadi lebih terbayang berkat jalan layang tumpuk-tumpuk itu.
Oh ya, Taiwan itu jalannya di kanan. Jadi semua mobil itu adalah mobil setiran kiri. Gue sempet kagok pas tiba-tiba busnya melintas ke jalan kanan.
Tempat kita nginep di Taipei letaknya ada di Ximen—kayaknya sih, bacanya si-men, ‘men’ seperti ‘mentimun’. Kalau di bahasa Sunda, huruf e yang nggak pakai coreng di atasnya (bukan é yang ini). Sayangnya gue nggak ngerti bahasa Mandarin, jadi gue nggak tahu mengeja kata Ximen yang benar itu seperti apa. Ximen ini ternyata lokasinya di pusat kota, jadi lumayan dekat kemana-mana. Selain itu Ximen juga punya pasar malam. Pasar malamnya Taiwan itu bukan pasar malam Indonesia yang ada bianglala, tapi food stall di sepanjang jalan dan kadang-kadang juga jualan pernak-pernik. Lokasinya juga di jalan, bukan di padang rumput.
Setelah itu gue langsung tidur. Capek banget soalnya.
Tumblr media
Taipei 101
Besoknya, kita jalan ke Taipei 101. Ya, karena gue tidak melakukan research apa-apa soal Taiwan, gue nggak tahu kalau Taiwan punya “gedung tertinggi”-nya sendiri. Setelah gue baca di Wikipedia, ternyata sebelum Dubai punya Burj Al-Khalifa pada tahun 2009, dulu Taipei 101 itu adalah gedung yang paling tinggi di dunia. Mantan gedung tertinggi dunia ini terdiri dari sebuah mal dan tempat observatori.
Sebagai orang yang kurang suka dengan ketinggian (kecuali kalau roller coaster, gue nggak begitu takut karena di ketinggian segitu gue gerak), Taipei 101 itu sejujurnya bukan tempat yang akan gue datangi pertama kali. Meskipun memang, pemandangan Taipei dari atas itu bagus banget... dan rapi. Kalau gue main SimCity kali aja Taipei bisa jadi inspirasi. Tapi gue nggak bisa mendekati jendela. Berdiri di depannya aja langsung ada angin dingin yang menggelitik betis gue, jadi gue menyerah. Gue hanya bisa melihat dari kejauhan, foto-foto langit biru yang indah itu.
Di atas itu, gue jalan-jalan dan foto-foto sedikit. Kita juga bisa pergi melihat tuned mass damper-nya gedung Taipei 101, sejenis alat yang dipakai untuk mengurangi amplitudo getaran begitu, deh. Terus kita bisa beli suvenir. Oh ya, waktu itu gue mengirim kartu pos ke rumah. Kalian bisa memilih dan membeli kartu posnya sendiri, lalu jangan lupa beli perangkonya, dan tulis apa yang kalian inginkan. Tulislah alamat yang lengkap dan nanti ada tempat untuk masukin kartu posnya. Kartu itu betulan dikirim, lho.
Apa yang bisa dilihat di Taipei 101 itu tentunya toko-toko bermerk di bagian malnya. Di lantai atas tadi itu juga, ada sejenis drugstore dan jualan macam-macam produk. Tapi, salah satu hal yang perlu kalian tahu tentang gedung ini adalah... Starbucks.
Kenapa sama Starbucks?
Ada dua Starbucks di Taipei 101. Gue lupa lokasi persisnya, tapi Starbucks yang pertama itu ada di dekat eskalator menuju lantai bawah, di mana ada food court yang sangat luas. Starbucks yang kedua, adalah Starbucks yang spesial. Katanya berada di lantai 35 gedung Taipei 101 ini, dan digadang-gadang sebagai Starbucks tertinggi di dunia. Gue nggak sempet ke sana karena memang harus reservasi dulu satu hari sebelumnya. Untuk informasi lebih lengkapnya, coba cek sini.
Tumblr media
Chiang Kai-Shek Memorial Hall
Setelah makan siang di food court Taipei 101, kita pergi ke Chiang Kai-Shek Memorial Hall. Salah satu national monument-nya Taiwan untuk menghargai jasanya Chiang Kai-Shek. Di sini memang bagusnya untuk foto-foto. Oh ya, tempat ini ada National Theater-nya. Waktu kita datang ke sini juga ada acara pentas anak-anak.
Tempatnya bersih banget. Kalian bisa pergi ke sini naik Taipei Metro, ada stasiunnya khusus yang didedikasikan untuk CKS Memorial Hall ini. Sayangnya, waktu itu gue nggak sampai pergi ke Sun Yat-sen Memorial Hall, national monument lain yang juga punya stasiunnya sendiri dan sama terkenalnya sama Chiang Kai-shek. (Gue baru tahu kalau SYS Memorial Hall itu nggak jauh dari Taipei 101 setelah pulang dari Taiwan, haha;;) One day, then! Another reason to visit Taiwan again.
Tumblr media
Ximen Night Market
Pasar malam yang gue maksud tadi di awal-awal. Katanya dijulukin Harajukunya Taiwan. Kalau yang di Ximen ini sebenarnya lebih mirip tempat pertokoan, tapi tetap ada bagian food stall-nya, terutama di dekat ritelnya Uniqlo dan Starbucks yang ada di sana. Di sini tempat untuk belanja, di mana ada suvenir, tas, baju (Uniqlo, H&M, dkk), kosmetik (The Face Shop, Innisfree, dan belum lagi ada drugstore besar), Miniso, dan masih banyak lagi. Pas gue pergi ke sana juga kayak ada atraksi sulap yang sayangnya gue nggak lihat itu apa. Gue nggak banyak keliling karena udah capek. Tapi gue menyempatkan diri untuk belanja.
 Hari kedua berakhir dengan gue balik duluan ke tempat penginapan bareng Mama dan Mak Dewi. Di jalan ketemu Dito yang tadi ketinggalan di stasiun............... tapi untunglah dia bisa balik (HAHA).
< Back to Day 1 | Next to Day 3 >
0 notes
lazyredwizard · 8 years ago
Text
Trip to Taiwan: Day 1
Taiwan.
“Tempat yang kayak apa, sih?”
Itu salah satu pikiran yang terlintas di kepala gue pas diajak pergi ke Taiwan sama Mama. Ya, kayak… lo pernah nggak sih, lihat iklan jalan-jalan ke Taiwan gitu? ‘Kan biasanya rame tuh, pergi ke Jepang, Korea, Hong Kong, dan lain-lain. Pergi ke Singapura, itu juga udah sering banget. Atau Malaysia. Thailand juga sering dikunjungin. Peminat wisata Nusantara juga nggak kalah hebatnya, mengingat Indonesia punya banyak banget keindahan alam yang bisa dilihat juga (gue sampai saat ini pun belum banyak pergi ke belahan Indonesia yang lain, haha.) Negara-negara Eropa juga destinasi yang populer.
Nah. Terus kalau Taiwan?
Gue belum pernah ke Cina. Eh ya, terlepas dari intrik politiknya Taiwan-Cina, gue sedikit menganggap kalau kedua negara ini tidak jauh berbeda, apalagi mereka budayanya mirip-mirip. Maka dari itu, Taiwan di kepala gue waktu itu bayangannya mirip Cina, meskipun gue sendiri belum pernah ke sana (yha).
Kurang lebih ada 8 hal yang bisa gue asosiasikan dengan negara ini: (1) Sun Yat-sen (2) Chiang Kai-shek (3) Tsai Ing-wen (4) Lai Kuan-lin (5) Chou Tzu-yu (6) pengesahan pernikahan sesama jenis (7) My Beauty Diary (8) ShareTea.
Yah, banyak juga sih. Masalahnya di sini, gue sendiri nggak tahu daya tarik wisatanya apa.
Walau gue pergi ke Taiwan tanpa tahu tempatnya kayak apa, ternyata perjalanan gue seru, menyenangkan, dan memberi gue banyak kenangan indah. Karena nggak tahu banyak, gue jadi dikejutkan oleh negara yang bentuk pulaunya kayak ubi jalar ini.
Fyi, gue menghabiskan waktu 5 hari di Taiwan. Nggak cuma pergi ke ibukotanya aja, Taipei, tapi juga kota-kota lainnya seperti Hualien dan Kaohsiung.
.
.
.
Perjalanannya cukup panjang. Totalnya kurang lebih 6-7 jam, dari Jakarta ke Kuala Lumpur (KL), lalu dari KL ke Taipei. Tapi itu nggak termasuk jam transitnya, soalnya gue lupa berapa lama gue nunggunya. Gue berangkat dari rumah sekitar jam 6 pagi bareng temen-temen Mama. Ya, gue jalan bareng emak-emak. Sejenis komunitas jalan ibu-ibu begitulah, namanya Ladies Traveler (LT). Mama salah satu anggota, begitu juga dengan temen-temennya ini. Meskipun mereka ibu-ibu, ketahuilah, kadang lo akan melihat bahwa mereka jauh lebih gokil dari anak muda.
Kalau nggak salah lagi, waktu itu pesawatnya baru berangkat agak siang. Jalannya pagi biar nggak kena macet, selain itu buat mengurus check-in dan segala macam proses ke luar negeri. Sebenarnya nggak banyak yang bisa diceritain tentang hari keberangkatan kita, sih…
Maka dari itu, gue cerita dulu tentang orang-orang yang jalan bareng gue.
Mama: Kalo di cerita ini, mak gue itu sidekick-nya. Gue main character-nya (haha). Kita sering jalan bareng berdua, karena Mama memang suka jalan dan gue juga suka jalan tapi nggak punya duit, serta biasanya mager keluar rumah. Tapi gue suka jalan-jalan kok, sungguhan. Apa yang perlu diketahui tentang Mama adalah, beliau adalah tipe mak-mak yang cukup gaul. Kadang lebih gaul dari gue. Penekanan pada kata kadang. Beliau juga orang yang paling bisa ‘membujuk’ gue untuk foto meskipun gue bukan orang yang suka difoto. Panggilannya “akap”.
Dito: Titelnya dia di kru jalan-jalan ini adalah fotografer. Yah, soalnya dia kemana-mana selalu bawa kamera dan pasti bakal disuruh fotoin (kalo gue selalu bawa HP dan dimainin di mana-mana ^^;;) Pastinya gue nggak tahu orangnya kayak gimana sebelum ketemu, tapi karena namanya mirip anak di kampus, sumpah, imejnya agak tertukar-tukar. Untunglah setelah ketemu, orangnya beda. Kita omongannya nyambung, humornya mirip-mirip. Yang pasti kalo disapa “Assalamualaikum ahli nerakeu” dia pasti bisa bales. HAHA.
Angel, Jessica, Jennifer: Awalnya gue bingung mereka bersaudara kandung atau bukan, atau sepupu, atau gimana. Sampai sekarang pun gue belum tahu secara pasti (yha). Tapi mereka tidak terpisahkan, pasti selalu bareng. Angel itu jago makeup (nggak kayak gue, pake matte liquid lipstick aja masih suka kebingungan sendiri.) Jessica adalah jiejie yang menjadi guide kru selama di Taiwan, soalnya dia bisa bahasanya. Kalau nggak ada dia mungkin kita akan lebih kesulitan. Rambutnya juga badai (tebel gitu, nggak kayak rambut gue yang tipis dan lemes ini T.T). Lalu yang terakhir ada Jennifer, dipanggilnya Ipenk sih. Kulitnya putih… yah, tiga bersaudara ini putih sih kulitnya…….. dan yang pasti kalo lagi difoto posenya bagus dan cantik (sekali lagi, nggak kayak gue.)
Mak Jetty: Adalah salah satu temen Mama yang paling deket. Beliau satu gereja, jadi gue sering banget ketemuan. Mak Jetty adalah orang yang pede, cool, dan pokoknya admirable deh.
Mak Suci: Dulu gue lebih mengenal beliau sebagai mama-nya anak sesama pemuda di gereja, tapi sekarang gue lebih mendefinisikannya sebagai Mak Suci. Beliau sering jadi bendahara, jago ngurusin duit. Punya banyak tips dan trik yang macam-macam soal kehidupan, misalnya bagaimana caranya biar nggak lupa sama resep favorit anaknya.
Mak Yo: Mak yang paling gokil di LT. Kalo ngerti MBTI, beliau itu seorang ESFP. Pokoknya jago banget menghibur orang lain, entah kenapa gue bisa memahami jokes-nya beliau. Orangnya asik, lucu. Tapi yang paling gue salut adalah, beliau bijak dan punya banyak nasihat tentang kehidupan ini. Beliau juga seorang penyuka musik India bersama dengan Mama.
 Mak Magda: Ketua-nya LT. Tipe mak yang cool juga, punya imej tomboy gitu. Seorang pejalan yang sangat kuat. Bisa tahan menghadapi kelakuan teman-temannya yang terlalu gokil, gampang terdistraksi oleh tempat-tempat dan barang-barang lucu, alias suka foto dan belanja. Terus beliau jago banget ngepang rambut...
Mak Vita: Selama ini cuma pernah melihat Facebook-nya, sekarang ketemu beneran. Baju-bajunya bagus, pokoknya udah kayak mak yang paling cantik kalau soal berpenampilan. Panggilannya “agan”.
Mak Dewi: Masih baru di LT, terutama yang kawasan Jakarta. Beliau orang Bandung. Dengar-dengar seorang pebisnis kopi. Walaupun punya cucu, beliau masih suka jalan-jalan. Sejauh itu beliau pergi, ke Rusia dan Maroko dan segala macamnya. Wah.
Pak Mukti: Orang yang penuh misteri dan kejutan. Sering menghilang tiba-tiba dan lalu muncul lagi. Entah kenapa gue percaya kalau dia sebenarnya bisa bahasa Cina dan bisa berkeliling Taiwan tanpa susah payah. Suka belanja dan entah kenapa bisa menemukan makanan enak-enak. Gue diperkenalkan dengan sup jagungnya 7-Eleven yang enak berkat beliau. Oh ya, dia juga ngajarin supir rombongan kita waktu itu di Hualien seperti “aku/kamu ganteng”. Sebagai gantinya, kita diajarin supir itu “Amitabha”. Terus beliau sumpah lucu banget deh. Beliau ngasih oleh-oleh ke Mama dan sekarang ada di mobil oleh-olehnya, haha.
Sampai di sini dulu, lanjut ke part berikutnya! 
Next to Day 2 >
0 notes
lazyredwizard · 8 years ago
Text
“If two people are meant to be together, eventually they’ll find their way back.”
“You believe that?”
“I want to.”
.
.
.
Is it just fantasy, hoping that distance, differences, the others, don’t matter? Is it unrealistic?
.
.
.
I hope that we can meet again. 
In this place where we are surrounded by lights and strangers that won’t judge us. Where there are the two of us in the crowd—the only thing that matters.
(28/7/2017)
0 notes
lazyredwizard · 8 years ago
Text
The last thing she saw was his smile. Funny, because the first thing she saw from him was also his smile; that brilliant smile capable of lighting the entire town, if it actually could. They held their hands together tightly, meeting each other gaze in the most loving way. They didn’t need to say anything, their eyes expressed everything they would probably tell each other.
 And just like that, they escaped. Leaving the pressure, rumors, expectations, basically everything in the depths.
 .
.
.
 She asked him if this is a good idea.
 He said that this is the only way.
 .
.
.
 A memory from the past surfaced in her mind. She still remembered the exact thing perfectly as if it was yesterday.
 The day was coming to an end. Old pop and jazz songs were playing in the background. She recognized some of them, and even smiled when her favorite ones came out. She looked lonely, with a cup of warm matcha milk as only company. Her friends were around, but as usual, she got left out. She didn’t mind. She was sitting separatedly, after all.
 Being an observer was something familiar to her. Listening to laughter and seeing happy smiles of her friends were some of her favorite definitions of satisfaction.
 Especially him.
 She noticed everything he did. She was being acutely aware of the little things he did, like the way he laughed or his eyes glittered. But his large smile was her favorite; she saw it for the first time when they met in a friend’s party.
 Ah, yes.
 Smile.
 Being a simple girl she was, that one charming smile was all she needed. If she could only write one definition for satisfaction in the dictionary, it was his smile. Her greatest satisfaction.
(21/7/2017 - inspired from Love River, Kaohsiung)
0 notes