Text
unmagical mirror
Dua hari terakhir ini, aku diberi kesempatan jadi tempat curhat dua orang. Di tengah kesibukan yang beraneka ragam, aku menyempatkan waktu untuk menerima kesempatan tersebut.
Satu orang curhat mengenai karir dan pekerjaan.
Satu orang lainnya curhat mengenai patah hati dan percintaan.
Sementara aku sebagai tempat curhat mereka, saat ini sedang tidak punya pekerjaan dan masih ragu akan berkarir di mana, sekaligus sedang tidak mengalami kisah cinta selama beberapa bulan.
Hidup lucu sekali, ya?
0 notes
Text
Ordinary day, mundane past
Hari itu seharusnya adalah hari yang biasa saja.
Kota ini dengan terik cahaya mataharinya, dan gedung ini dengan air conditioner yang berusaha melawannya. Berapa jumlah hari seperti ini?
Tidak ada tanda keanehan dari pagi. Tidak ada peristiwa besar seperti gempa yang mengguncang dari sisi utara, tidak ada peristiwa menengah misalnya tas yang terkena pipis kucing sembarangan, juga tidak ada peristiwa kecil ketika pena biasa itu hilang entah ke mana.
Benar-benar hari yang biasa saja. Tidak ada yang istimewa, juga tidak ada yang berbeda.
Aku tidak ingat apa saja yang terjadi pada hari itu. Tidak ada pemberitahuan dari OneDrive yang tidak malu untuk membuka masa lalu. Tidak ada foto untuk mengucap ribuan kata tentang hari itu. Tidak ada catatan di buku harianku mengenai hari itu.
Hari yang biasa saja.
Namun, entah bagaimana, aku bisa samar-samar sekaligus jelas mengingat perasaan itu. Melangkah bersama orang-orang yang sejalan denganku. Berbicara dengan orang-orang yang seirama denganku. Makan bersama dengan orang-orang yang se-selera denganku.
Hari yang biasa saja.
Padahal, banyak yang terjadi hari itu. Aku percaya, hari itu kelompok anak pintar sedang presentasi di kelas. Kalau tidak salah, slide presentasinya sangat bagus sampai-sampai aku sempat berniat meminta template-nya walaupun akhirnya kuurungkan. Atau ketika salah satu dari kita mengaku tidak pernah menonton marvel cinematic universe dan tidak berminat untuk menonton Avengers: Endgame, yang membuat kita merendahkannya dengan nada bercanda. Eh, satu lagi, kita berpindah tempat makan dari cafetaria menuju tempat kursi-kursi tak bernama.
Masih hari yang biasa saja.
Aku tidak mengerti mengapa ingatan itu hilang begitu saja. Mungkin karena semua hal, khususnya hal yang biasa saja, akan tergantikan oleh ingatan lain yang lebih penting. Dan, sejujurnya, memang banyak hal yang jauh lebih penting pada masa-masa itu. Aku tidak bisa mengingat semuanya. Aku juga tidak bisa mengabadikan semuanya.
Entahlah, tiba-tiba saja aku teringat ini. Ketika akan berganti hari, dengan berbagai kegiatan tidak biasa yang menanti. Mungkin karena itu? Karena aku lebih banyak menantikan hari-hari yang tidak biasa. Hari dengan sesuatu yang besar, hari dengan keberadaan tambahan foto di galeri, hari dengan sebuah catatan di tumblr atau wordpress. Merayakannya dengan segelas jus buah naga, melupakan lelah yang begitu kentara, serta menceritakannya ke tiap orang yang memasang telinga.
Demi hari yang biasa saja.
0 notes
Text
Hadiah Lama
Saat itu adalah masa-masa ulang tahunku yang ke enam belas (16). Penghujung tahun 2017, lebih tepatnya. Ada dua (2) orang temanku yang memberiku sebuah hadiah buku (novel). Mereka tahu aku suka membaca buku dan memutuskan untuk membeli satu (1) buah dari gramedia untukku. Aku menerimanya dengan senang hati.
Tidak lama, aku langsung membukanya. Aku tidak pernah mendengar nama penulis ini sebelumnya, tetapi justru buku-buku dari penulis tidak [begitu] terkenal seperti inilah yang aku suka. Aku lihat cover bukunya, sebenarnya tidak terlalu menarik dan tidak ada sesuatu yang begitu menonjol. Sementara dari sinopsis/blurb yang ada di bagian belakang buku, aku mengambil kesimpulan bahwa novel ini bercerita tentang pertemanan atau persahabatan. Mungkin itu pula alasan utama kenapa mereka memberikan buku ini.
Seperti halnya buku-buku yang kubeli sendiri, aku lebih banyak membiarkannya tertutup daripada terbuka. Pada suatu kesempatan, aku memutuskan untuk mulai membacanya. Ceritanya berpusat pada tiga (3) orang yang mempunyai latar belakang (agama) yang berbeda. Mereka bertiga berteman dekat dan berusaha bersama-sama menghadapi tantangan pertemanan yang muncul karena perbedaan mereka. Aku baru awal-awal membaca, mungkin sekitar tiga puluh (30)-an halaman. Lalu, aku berhenti untuk fokus ke prioritas lainnya.
Setelah tahun baru, aku berada di semester terakhir SMA. Aku harus mempersiapkan diri untuk berbagai macam ujian sampai dengan persiapan mendaftar kuliah. Ujian sekolah, praktikum, ujian nasional, try-out berulang-ulang, snmptn, sbmptn, kedinasan, dsb. Praktis hal seperti membaca novel pun terlupakan. Lambat laun, keberadaan novel ini pun mulai menghilang dari jangkauan mata dan pikiran.
Sampai tiba masa ulang tahunku berikutnya. Penghujung tahun 2018. Saat itu, aku bertemu kembali dengan mereka, dan sebagai orang yang baik (I think) aku selalu mengingat pemberian mereka dan mengungkit kembali tentang hadiah tersebut. Namun, dari situ aku baru menyadari bahwa buku ini benar-benar sudah kulupakan. Aku tidak ingat judul, penulis, dan penerbitnya. Aku hanya ingat tentang novel mengenai pertemanan tiga (3) orang beda agama, itu saja. Sedangkan keberadaan fisik buku tersebut sudah entah ke mana. Aku sempat mencarinya, tetapi tidak ketemu. Aku mulai menduga bahwa mungkin suatu hari yang lalu aku pernah membawa buku ini ke sekolah, lalu tertinggal di sana tanpa aku ketahui.
Sementara, mereka juga tidak ingat sama sekali tentang identitas buku tersebut. Mereka hanya ingat kalau pernah memberikan suatu novel untukku sebagai hadiah ulang tahun. Aku tidak menyalahkan mereka, karena aku sendiri juga seperti itu. Aku juga memberikan hadiah ketika tiba waktunya hari ulang tahun mereka, tetapi aku lupa (detail) apa yang aku berikan. Misalnya, aku ingat sering memberikan buku ke orang lain, tetapi kalau ditanya aku tidak tahu buku [berjudul] apa yang aku berikan. Kurang lebih seperti itu.
Waktu berlalu. Aku masih penasaran tentang novel tersebut. Kalau ternyata hilang atau terselip entah di mana, aku ingin membelinya sendiri untuk bisa membaca ceritanya. Namun, kendala utamanya tentu saja adalah ketidaktahuanku akan judul dan/atau penulisnya. Bagaimana caraku mencarinya? Bahkan aku sempat mencari di google, “novel tentang pertemanan beda agama”, tetapi tidak muncul buku yang aku pernah pegang. Tidak ada petunjuk lain.
Ketika aku ke gramedia dan ada waktu luang, aku berusaha untuk menemukan novel ini. Aku menuju ke bagian fiksi/novel, melihat bagian belakang (blurb) novel satu persatu. Begitu terus. Tidak ketemu di satu baris, cari di baris lainnya. Tidak ketemu di gramedia x, maka aku melakukannya lagi [kalau aku sedang] di gramedia y. Ternyata tidak ada sama sekali. Akhirnya, lama kelamaan aku menyerah dan mengikhlaskan jika seandainya aku tidak bisa membaca buku tersebut sekali lagi.
Awal tahun ini (2025), aku sempat beres-beres (menata) beberapa buku lama-ku yang berada di sudut lemari yang jarang terjamah. Sebelumnya, aku juga pernah menatanya, kok, hanya kali ini agak berbeda dari biasanya. Sejak beberapa bulan lalu, aku memutuskan untuk mendata buku yang kupunya terutama judul dan penulisnya. Sehingga, ketika aku menata buku tersebut kemarin, aku lebih memerhatikan secara detail tiap bukunya.
Buku demi buku berlalu, ada beberapa buku yang masih kuingat ceritanya dan kesanku membaca buku tersebut. Ada yang membuatku tidak menyangka bahwa “ternyata aku punya buku ini”. Lalu tibalah pada suatu buku.
Entah kenapa, buku ini terasa sangat familiar. Covernya berupa judul dalam huruf yang besar dengan latar belakang warna cokelat yang, ehem, tidak begitu menarik. Tunggu, arti judul novel ini adalah perbedaan. Tiba-tiba ingatanku berkata bahwa aku pernah mengenal buku ini. Aku melihat bagian belakang bukunya. Pertemanan. Tiga (3) orang. Beda agama.
Ketemu!
Ternyata, buku yang kukira hilang entah kemana ini hanya tersembunyi tersimpan jauh di tempat aman (aman karena nggak pernah dibuka, haha). Perasaan lega muncul di dada, karena aku bisa kembali membacanya setelah bertahun-tahun mencarinya. Aku memisahkan buku tersebut dari buku-buku lainnya, karena akan kubawa dan [mungkin] akan kubaca dalam waktu dekat (alias setahun).
Karena penasaran kenapa aku tidak bisa menemukan ini di gramedia maupun event obral buku/cuci gudang lainnya, aku mengetikkan judul buku ini ke goodreads. Oh, ternyata buku ini bahkan tidak mempunyai cover di goodreads, dan hanya ada dua (2) ratings tanpa review di sana. Pantas saja. Kalau cari di google, ternyata ada yang jual di tokopedia maupun shopee, tapi tentu saja kamu harus tahu judul dan penulisnya terlebih dahulu untuk bisa tahu halaman penjualnya. Bagaimana dengan review? Tidak ada sama sekali di internet. Mungkin kalau aku selesai membaca dan membagikan kesanku tentang novel ini, aku adalah orang yang pertama.
Buku ini benar-benar sangat langka (haha).
Dan aku senang mendapat kesempatan untuk membacanya.
0 notes
Text
ELPT
Jumat, 06 Desember 2024
Hari senin sebelumnya, aku memutuskan untuk mendaftar tes elpt (english language proficiency test) pusat bahasa unair yang dijadwalkan pada hari ini. Sebenarnya, aku sudah memenuhi batas syarat kelulusan (450), tapi itu sudah lima (5) tahun yang lalu pada tahun 2019. Sejak tahun lalu aku ingin mengikuti tes lagi untuk mengetahui skill bahasa inggrisku saat ini, tetapi selalu kutunda dengan alasan “aku belum siap”.
Kapan siapnya? Saat itu aku berpikir kalau udah lulus [sidang], barulah kuurus urusan duniawi dsb yang berhubungan dengan yudisium termasuk elpt ini.
Eh, nyatanya belum lulus juga sampai sekarang. Selain itu, ada seorang teman yang gagal yudisium karena elpt-nya belum memenuhi batas kelulusan. Niatku untuk tes elpt lagi pun semakin kuat. Sekali lagi, sebenarnya aku sudah ‘lulus’ elpt dan ternyata jarak lima (5) tahun masa tes diperbolehkan untuk keperluan yudisium (in normal word, sertifikatnya hanya berlaku dua (2) tahun).
Akhirnya, kesempatan itu datang. Ais, temanku yang belum lulus elpt, memberitahuku bahwa dia akan mengikuti tes elpt pada tanggal ini. Aku, yang jarang belajar bahasa inggris dalam beberapa bulan terakhir, memutuskan untuk sekalian mendaftar supaya bisa satu ruang bersama-sama. Setelah mengurus administrasi (pembayaran), tercantumlah aku sebagai salah satu pesertanya.
Jumat, 06 Desember 2024. Ruang D. 08.30 – 11.30
Namun, persiapanku menghadapi itu benar-benar kurang. Hari senin dan selasa, aku memprioritaskan suatu urusan lain sehingga aku tidak menyentuh perkara ini sama sekali. Hari rabu datang dan aku menyadari bahwa tes ini akan berlangsung kurang dari empat puluh delapan (48) jam lagi. Oke, saatnya fokus ke sini.
Aku menyadari bahwa kelemahanku di tes bahasa inggris adalah grammar atau structure. Maka, aku memusatkan fokus belajar untuk memperbaiki area tersebut. Masalahnya, grammar tuh banyak banget yang harus dipelajari. Ketika aku melihat mind map mengenai grammar saja, ada sepuluh (10) poin penting yang tertera di sana. Aku harus mulai dari mana?
Aku memutuskan untuk melakukan pencarian toefl practice di youtube untuk sekadar mengetahui cara belajar yang ‘tepat’. Eh, aku menemukan [dan menonton] video mengenai ielts dan pembahasan mengenai penulisan essay yang tepat untuk mendapatkan band (score) tujuh (7) ke atas. Hadeh. Namun, ada satu (1) hal yang benar-benar kusimpan dari video tersebut.
Do what the test want you to do.
Lakukan apa yang tes tersebut ingin kamu lakukan.
Nggak perlu aneh-aneh. Nggak perlu ribet-ribet. Aku tahu, elpt terdiri dari tiga (3) section. Listening, structure, dan reading. Aku hanya perlu memasang telinga dan memahami makna pembicaraan saat listening. Aku hanya perlu membaca dan memahami bacaan saat reading. Lalu, aku hanya perlu memerhatikan struktur kalimat dan penggunaan kata saat structure.
Sederhana, kan? Kalau kata pengajar dari video youtube yang kutonton, dia akan bilang “simple, but not easy.” Sederhana, tetapi tidak mudah.
Maka, aku mencari beberapa soal mengenai structure dan mulai mengerjakan sendiri. Ternyata susah, banget. Bahkan perkara tenses saja aku masih sering tertukar. Aku sampai membuat tabel sendiri mengenai dua belas (12) tenses ini. Dalam prosesnya, sering muncul perasaan minder di dalam hati. Gini aja kok gak bisa, batinku. Ini baru elpt, belum toefl itp apalagi ielts. Katanya mau pergi ke luar negeri? Katanya bisa bahasa inggris?
Aku mempunyai target khusus mengenai skor yang ingin kudapatkan dalam elpt ini. Sekadar informasi, tesku pada tahun 2019 mendapatkan skor 547, dengan rincian listening 60, structure 49, dan reading 54. Kata orang sih itu sudah bagus. Aku tidak membantahnya, tetapi aku merasa bahwa aku bisa… lebih. Kebetulan, ada seorang teman yang skor toefl itp-nya mencapai 620. Aku jadi termotivasi untuk bisa mengejar dia, terutama karena sekarang dia sudah bekerja di perusahan bumn ternama sementara aku belum jadi apa-apa (hiks).
Targetku adalah mendapat skor minimal 600.
Agak nggak masuk akal, ya? Temanku bisa, kok. Aku pasti bisa, semoga.
Lalu, hari kamis malamnya, karena aku percaya kondisi segar (refresh) itu lebih penting dibandingkan belajar semalaman sampai pagi, aku memutuskan untuk tidur lebih awal.
Hari jumat datang.
Aku tiba di area aseec tower pukul 07.30. Aku memutuskan menunggu di lobby lantai satu (1) dan membaca sekilas catatan yang telah kubuat. Aku juga menunggu Ais datang, tetapi ternyata dia bilang belum berangkat dan masih sarapan. Pukul 08.00, aku memutuskan untuk naik lift ke lantai tujuh (7), tempat pusat bahasa berada. Aku tidak langsung masuk ke dalam ruangan, tetapi menunggu terlebih dahulu di luar. Beberapa peserta lain mulai berdatangan dan langsung memasuki ruangan.

Pukul 08.15, Ais tidak kunjung datang. Sesuai petunjuk sebelumnya, bahwa peserta diharapkan datang lima belas (15) menit ke dalam ruangan, akhirnya aku pun masuk. Terdapat daftar peserta yang tertempel di pintu dan aku melihat kami berdua adalah paling senior di sana (duh). Aku berada di nomor satu (1), yang artinya kursiku berada di depan meja pengawas. Whatever, I guess. Aku segera duduk di sana dan mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan seperti pensil, papan dada, penghapus, dan kartu peserta.
Ternyata, pengawas tes telah membagikan lembar jawaban di atas meja beserta buku soal di bawahnya. Aku melihat peserta lainnya telah mengisi bagian identitas sebelum diminta sehingga aku segera mengikuti mereka. Sudah lama sekali aku tidak melingkari butir-butir jawaban menggunakan pensil 2B ini. Lumayan memakan waktu juga, khususnya pada orang yang namanya cukup panjang sepertiku.
Menjelang pukul 08.30, sosok Ais tidak kunjung datang. Tes akan dimulai sesaat lagi. Panitia (pengawas) memberikan arahan menggunakan sound speaker yang berada di atas ruangan. Alias ternyata pengawasnya berada di ruangan lain. Sebagai permulaan, kami (peserta) diberi petunjuk cara pengisian lembar jawaban, khsususnya bagian identitas. Nama, nomor peserta, tanggal lahir, sampai dengan nilai yang diharapkan (targeted score). Ada dilema tersendiri ketika mengisi bagian terakhir ini. Pilihannya ada 400, 450, 500, 550, dan 600. Secara teknis, target lulus fakultasku adalah 450. Sedangkan, target pribadiku adalah 600, tetapi sepertinya tidak mungkin dong kalau aku memilih pilihan tersebut. Malu, terutama kalau hasil akhirnya jauh tidak sesuai dari harapan tersebut. Akhirnya aku memilih 550. Tetap ketinggian, sih, haha.
Panduan lisan pengisian lembar jawaban telah selesai. Saat ini tiba waktunya listening. Saat itu pula tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruangan. Pasti Ais, batinku. Melalui telepati, aku menyampaikan “langsung buka aja pintunya” ke dia. Benar saja. Setelah ketukan kedua, dia langsung membuka pintu tersebut dan bergegas menuju tempat duduknya yang berada tepat di belakangku. Syukurlah masih tepat waktu, karena setelah itu sesi listening benar-benar dimulai.
Aku mencoba mendengarkan dengan saksama. Hal yang agak bikin kesal adalah kualitas speaker yang… kureng. Tidak jernih, apalagi kondisi untuk satu ruangan yang juga disisipi suara-suara kecil lainnya. But it’s okay, namanya juga elpt doang. Beberapa soal pertama berhasil kulalui dengan lancar. And then…
Pintu terbuka. Ada peserta yang baru datang. Di tengah sesi listening. Hadeh. Peserta itu duduk ke tempat duduknya. Namun, dia tidak langsung mengerjakan. Ternyata dia belum siap. Dia harus meraut pensilnya terlebih dahulu. Oh, surprise, dia tidak membawa rautan. Akhirnya dia ke depan tempat meja pengawas berada (btw tidak ada pengawasnya, beliau di ruangan lain), yaitu di depan tempat dudukku, untuk meraut pensilnya dengan suara yang sangat mengganggu. ksabar, batinku. Tidak hanya itu, dia juga berkali-kali batuk. Entah mungkin lagi sakit atau bagaimana, tetapi jelas itu bukan keadaan yang tepat bagi dirinya dan orang lain untuk ikut tes. Egois banget.
Tingkat fokusku mendengarkan pun berkurang. Pada satu titik, aku mengalami blank alias pembicaran dalam listening itu tidak masuk sama sekali ke kepalaku. Duh, gawat. Ada satu-dua soal yang tidak mungkin aku pastikan jawabannya karena itu. Meskipun sempat muncul kekesalan sebentar, aku berhasil mengembalikan diri untuk fokus ke soal-soal berikutnya. Kerjakan apa yang bisa kamu kerjakan.
Sesi listening selesai. Fiuuuh, aku bernapas lega. Namun, aku tidak punya waktu istirahat karena tes langsung berlanjut ke sesi structure. Aku merasa bahwa skor di sesi listening akan lebih rendah daripada tes sebelumnya. Jadi, aku harus memaksimalkan dua sesi lainnya untuk mencapai — atau setidaknya mendekati — skor yang kuinginkan. Aku membuka lembar soal structure. Masih sama saja. Mencari kata yang salah. Aku segera menjawab satu-persatu. Diluar dugaan, aku cukup lancar menjawabnya. Entah benar atau salah, yang penting lancar aja dulu, hehe. Ada beberapa soal yang membuatku berpikir lebih lama memang. Selain itu, ada hal yang cukup membuatku ragu, yaitu ketika ada empat (4) soal berturut-turut yang kujawab dengan satu (1) pilihan jawaban yang sama (misalnya A). Masa’ sih, ini jawabannya begini semua?
Tanpa terasa, waktu pengerjaan structure selesai dan saatnya lanjut ke sesi berikutnya. Reading. Bagiku, reading adalah bagian paling, ehm… ‘mudah’ dibandingkan sesi lainnya. Selain karena jawabannya ada di bahan bacaan, kalau tidak bisa menjawab, berarti memang tidak bisa menjawab. Biasanya ada di vocabulary. Maksudnya adalah, misal ada soal yang tidak kamu mengerti, kamu tidak bisa mengobrak-abrik ingatan untuk mencari tahu petunjuk yang bisa menjawab soal tersebut. Contoh, ada pertanyaan makna dari kata tranquility adalah? Sementara kamu tidak pernah membaca/mendengar kata tersebut sama sekali. Gitu deh.
Mungkin hanya butuh waktu sepuluh (10) menit bagiku untuk menyelesaikan lima puluh (50) soal reading. Terlalu cepat, kan? Aku menghabiskan sisa waktu untuk mengoreksi kembali jawabanku. Menurutku, terdapat enam (6) soal yang tidak bisa kukerjakan. Alias aku percaya bahwa jawabanku di empat puluh empat (44) soal lainnya benar. Terdengar begitu optimis, ya?
Aku kira penyelesaian tesnya akan dilakukan bersama-sama. Namun, mungkin sekitar lima belas (15) menit sebelum berakhir, beberapa peserta lain mulai mengumpulkan (menaruh lembar jawaban di buku soal) dan keluar ruangan. Aku berniat menunggu sampai akhir, tetapi dengan keadaan suhu ruangan yang begitu dingin, akhirnya aku memutuskan keluar juga setelah memastikan semuanya beres. Lalu segera mengucur ke toilet, haha.
Aku keluar dari toilet tepat pukul 10.30. Ruangan tes sudah hampir kosong, tetapi aku tidak melihat keberadaan Ais di sana. Mungkin dia keluar dari ruangan setelahku dan ke toilet juga. Aku memutuskan untuk turun dari lantai tujuh (7) menuju lantai satu (1) dan menunggu di lobby sana. Sembari mengecek beberapa jawaban dari soal yang masih kuingat. Namun, setelah tiga (3) soal yang aku cek ternyata jawabanku salah semua, aku memutuskan untuk menghentikan kegiatan tersebut sebelum kepercayaan diriku berkurang.
Tidak lama kemudian, Ais datang. Kami berdiskusi mengenai pengerjaan tes barusan, tentang soal-soal yang masih membekas di ingatan, dan jawaban masing-masing. Kata dia, pengumuman skornya akan bisa dilihat nanti malam di akun masing-masing. Saat itu, aku merasa yaudah lah ya, whatever happen, happened mengenai skor yang akan kudapatkan.
Siang harinya, sekitar pukul 14.15, aku iseng-iseng mengecek akunku di laman pusat bahasa. Ternyata skornya sudah muncul! Coba tebak dapat berapa?
600. Tepat 600.
Hah, ini beneran? Aku masih tidak percaya. Aku lihat kembali detail tiap bagiannya. Listening 58. Sudah kuduga akan lebih rendah daripada tes sebelumnya. Lalu ke bagian berikutnya yang membuatku tidak percaya. Structure 63! What!!?? Artinya, aku hanya salah tiga (3) dari empat puluh (40) soal grammar. Sementara reading mendapat 59, alias salah enam (6) dari lima puluh (50) soal, yang kuasumsikan adalah enam (6) soal yang tidak bisa kukerjakan tersebut.
Syukurlah. Tidak menyangka ternyata aku bisa tepat memenuhi target, haha. Walaupun mungkin banyak suara di kepalaku yang bilang itu elpt doang (dan mungkin benar), aku tetap harus mengapresiasinya. You did it, and you should be proud of it!
Lalu, bagaimana dengan Ais? Ehm, mungkin bukan bagianku untuk menceritakan hasil dia. Pastinya aku tetap berterima kasih kepadanya sudah menarikku untuk ikut tes ini dan belajar bahasa inggris kembali. Semoga di tes-tes berikutnya (hopefully toefl or ielts) bisa berlangsung baik dan mendapat hasil yang aku inginkan.
Cheers!
0 notes
Text
Psikologi Mencari Bakat
Kamis, 14 November 2024
Pukul 15.00
Aku berdiri di area lapangan basket yang terpancar teriknya sinar matahari. Di depanku, terdapat sebuah karya seni rupa berupa gambar atau lukisan yang diciptakan oleh anak berkebutuhan khusus (ABK). Sementara di sebelahku, ada anak kecil yang begitu ceria dan ditemani oleh beberapa panitia. Aku menebak anak tersebut sebagai ABK, dan mungkin saja karya dia juga terpajang di sana.
Aku beralih menuju area amfiteater. Tujuan utamaku adalah ke sana. Ada sebuah gelar wicara (talkshow) yang ingin kudengarkan. Gelar wicara ini merupakan bagian dari serangkaian acara ekshibisi Psikologi Mencari Bakat (PMB), kegiatan untuk memberikan ruang berkarya bagi mereka yang punya karakteristik khusus dibandingkan dengan orang biasa. PMB diadakan setiap tahun sejak tahun 2013, dan tahun ini mengangkat tema “I’m able to make it possible!”. Gelar wicara dan pameran karya rupa ABK hari ini merupakan kegiatan terakhir sebelum acara utama yaitu Puncak (grand final) PMB yang akan diselenggarakan hari Sabtu, 16 November 2024 nanti (atau kemarin karena tulisan ini dibuat setelah hari tersebut).
Kini, aku berada di area tempat duduk paling belakang amfiteater. Berdasarkan jadwal, seharusnya acara sudah dimulai, tetapi aku melihat panitia masih berada di fase persiapan. Setelah tiga puluh (30) menit menunggu, akhirnya acara ini akan dimulai.
Gelar wicara ini mempunyai tema “unlock the unseen” yang kalau dalam bahasa indonesia berarti “membuka [bakat] yang tidak terlihat.” Ada kata lain yang lebih tepat daripada membuka, tetapi aku belum menemukannya sekarang. Intinya adalah ABK punya bakat yang [seringkali] terpendam, jadi gelar wicara ini akan memberikan informasi yang dibutuhkan untuk mengeluarkan potensi bakat ABK tersebut.

Terdapat dua (2) narasumber yang akan saling berbagi pada gelar wicara ini. Bu Wiwin sebagai dosen fakultas psikologi universitas airlangga sekaligus ketua ikatan psikologi perkembangan indonesia. Lalu, ada Pak Nawa sebagai… orang tua dari anak ABK.
Terdapat pula seorang moderator yang akan memandu gelar wicara ini. Sebut saja namanya M. M telah menyiapkan beberapa topik pembicaraan supaya lebih rapi dan tertata, sekaligus merangkum penjelasan dari kedua narasumber untuk dibagikan kembali ke audiens.
Bicara tentang audiens, sebagian besar penonton acara ini adalah mahasiswa dan dosen psikologi. Selain itu, aku melihat dua (2) orang yang aku asumsikan sebagai ABK, dan dua (2) sebagai orang tua anak ABK. Kalau dijumlah, mungkin totalnya mencapai tiga puluh (30) orang. Fluktuatif, ya, karena banyak perubahan (keluar-masuk) selama berlangsungnya gelar wicara.
Pak Nawa lebih banyak menceritakan tentang anak ABK-nya, dan bagaimana cara beliau menjadi orang tua yang baik untuk tumbuh kembang anaknya tersebut. Ketika anaknya masih kecil, pada zaman tersebut masih belum banyak pengetahuan mengenai anak berkebutuhan khusus yang tersedia. Oh, ya, latar belakang mengenai Pak Nawa serta anaknya ini tidak disebutkan sama sekali sebelumnya, sehingga aku baru mengetahuinya dari penjelasan langsung Pak Nawa sendiri. Bahkan namanya saja aku tidak tahu. Aku akan menyebutnya A ke depannya.
A mendapatkan diagnosis autisme. Pak Nawa berusaha mencari tahu mengenai autisme ini dengan mengikuti berbagai kelas, bahkan sampai ke Australia untuk menemui ahli/expert disana. Setelah mendapatkan pengetahuan mengenai autisme, beliau menerapkan hal-hal yang bisa membantu perkembangan A. Ternyata, A betah berlama-lama bermain alat musik. Melihat itu, Pak Nawa pun menunjang kesukaan A dalam bidang musik. Dari sanalah, bakat yang terpendam itu bisa terkeluarkan dan masih bertahan di A sampai sekarang.
Sementara, Bu Wiwin lebih banyak menjelaskan mengenai penerimaan dan pentingnya dukungan dari lingkungan sekitar. Jika suatu hari nanti, ada audiens yang mempunyai anak berkebutuhan khusus, hal pertama yang harus dilakukan adalah menerimanya. Ini tidak hanya berlaku untuk orang tua saja, tetapi juga untuk saudara, keluarga besar, tetangga, pengajar, dan orang-orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung terhadap tumbuh kembang anak. Dukungan dari lingkungan sekitar juga penting untuk tumbuh kembang anak, terutama anak berkebutuhan khusus.
“Kalau kalian melihat anak-anak di sekolah yang pendiam atau ketakutan, bisa jadi itu karena feedback dari lingkungan sekitar dia yang membuatnya seperti itu.”
Benar juga. Mungkin anak yang pendiam itu dulunya ceria, tetapi tidak ada yang menanggapi perkataannya. Mungkin anak yang ketakutan itu dulunya sering tertawa, tetapi orang tua dia sering memarahinya. Hal ini lebih terasa dampaknya pada abk, khususnya autisme, yang biasanya mengalami kesulitan berkomunikasi untuk menyampaikan keinginannya.
Gelar wicara ditutup dengan penampilan touch heart band, grup musik yang seluruh pemainnya adalah penyandang autisme. Mereka menampilkan karya musik buatan mereka sendiri, dan diakhiri dengan cover lagu Die With a Smile dari Lady Gaga dan Bruno Mars. Penampilan mereka benar-benar bagus. Vokalisnya sendiri, Andaru, mempunyai bakat unik yaitu bisa menebak hari kelahiran seseorang berdasarkan tanggal lahirnya. Misal, kamu lahir pada tanggal 14 November 2004, maka Andaru dapat menyebutkan bahwa kamu lahir pada hari Minggu.
Keren banget, kan?
Saksikan penampilan bakat yang keren lainnya di sini.
0 notes
Text
Radio
Selasa, 12 November 2024
Pukul 19.00
Sembari mengerjakan suatu tugas, aku sedang mendengarkan siaran langsung di radio suara surabaya. Pembicaranya adalah seseorang yang kukenal, yaitu kakak tingkatku dulu sewaktu kuliah. Eh, secara teknis bukan kakak tingkat, sih, karena dia lulus ketika aku baru masuk.
Namanya Kak Erizza. Saat ini, dia sebagai dosen di universitas negeri surabaya (unesa). Dia mengisi program klinik psikologi suara surabaya yang hari itu membahas topik “menikmati kegagalan orang lain”, atau kalau istilah aslinya adalah schadenfreude. Tulisan ini tidak akan membahas konsep tersebut, tetapi bahasan lain yang lebih bersifat personal.
Selama masa siaran yang berlangsung selama satu (1) jam tersebut, Kak Erizza begitu lancar menyampaikan informasi, berdiskusi dengan pembawa acara, dan menjawab beberapa pertanyaan. Sangat jarang terucap kata hmmm, eh, atau kata-kata penjeda lainnya dari dia. Kata demi kata, kalimat demi kalimat diutarakan dengan begitu jelas. Bahkan, ketika pembawa acara sering menyela untuk menambah atau mengonfirmasi perkataan dia, Kak Erizza tetap bisa meneruskan pembicaraannya dengan baik. Keren banget, deh.
Esok harinya, Kak Erizza mengunggah pengalaman tersebut di instagramnya. Foto-foto ketika berada di studio yang disertai takarir yang begitu merefleksikan kesannya:
“Aku yang selalu takut buat ngomong… kalau mau ngomong cemas dan takut salah. Akhirnya lebih milih diam. Yang ngomong gak jelas sampe disebut babbling karena pelafalannya gak jelas… ternyata bisa berani mengambil kesempatan-kesempatan belajar ngomong di depan orang. Terharu bisa berkembang sejauh ini… terimakasih aku yang sudah melawan ketakutan dan mau berusaha sejauh ini”
Aku pernah bertemu Kak Erizza beberapa bulan yang lalu. Lebih tepatnya pada Bulan Juni tahun ini. Saat itu, dia belum jadi dosen, hehe. Kami berada di kegiatan/acara yang sama, bersama dengan beberapa orang lainnya. Pada satu kesempatan, kami [semua] berkumpul bersama di suatu tempat dan saling mengobrol satu sama lain. Lambat laun, topik yang dibahas mulai mengarah ke suatu bahasan. Perkara jodoh dan menikah, haha.
Di antara kami [semua] saat itu, ada tiga (3) orang yang sudah menikah, termasuk Kak Erizza. Pembicaraan itu kalau pakai istilah menfess twitter adalah “orang yang belum menikah bertanya ke orang yang sudah menikah”, kurang lebih seperti itu.
“Bagaimana cara tahu kalau orang yang sekarang itu adalah orang yang tepat bagi kita?” adalah salah satu (1) pertanyaan yang kutanyakan pada mereka. Aku sering mendengar kisah tentang jodoh dsb, bahwa kamu akan tahu siapa jodohmu ketika kamu tahu. Istilahnya you just know, atau when you know, you know. Karena aku belum pernah merasakan tahu ini, aku selalu terheran-heran. Tahu darimana? Bagaimana kamu tahu? Apalagi kalau kamu berpengalaman mengenai lika-liku percintaan dan baru saja putus dengan orang yang kamu yakini akan menjadi pasanganmu seumur hidup. Kalimat terakhir itu bukan aku, ya, gaes, hehe.
Kak Erizza menjawab dengan bercerita tentang perjalanan cintanya dulu (dan sekarang). Lalu sampailah ke alasan bagaimana dia bisa tahu bahwa orang itu yang akan menjadi suaminya esok hari nanti. Sebuah jawaban sederhana, yang masih tersimpan di kepala.
“Karena aku merasa didengarkan”.
Didengarkan.
Kak Erizza lalu bercerita bahwa dia merupakan orang yang pendiam, terutama ketika berada di keramaian. Bukan karena tidak ada yang bisa dibicarakan, melainkan karena tidak ada yang mau mendengarkan. Maka, ketika ada seseorang yang bisa memberikan ruang kenyamanan tersebut, dia tahu bahwa orang tersebut adalah orang yang tepat baginya.
Iya juga, ya.
Aku membenarkan jawaban tersebut. Sederhana, tetapi mungkin memang yang paling utama.
Mungkin kalau dilihat-lihat, aku juga seperti itu. Tipe orang yang tidak bisa bicara, terutama di keramaian atau situasi yang tidak biasa. Kalau kamu baru kenal aku, mungkin kamu akan punya pandangan seperti itu. Eh, bukan mungkin lagi, karena sudah banyak orang yang bilang hal yang sama kepadaku. Baru ketika beberapa kali bertemu atau lebih terbiasa, aku bisa menunjukkan sedikit keakraban pada mereka.
Aku merasa bahwa aku ini adalah orang yang suka dan bisa bicara, atau lebih tepatnya bercerita. Terutama ketika ke orang-orang yang membuatku nyaman untuk bercerita. Salah satunya adalah ketika aku merasa didengarkan. Sayangnya, biasanya kenyamanan tersebut hanya bersifat semu di kepalaku saja.
Aku bisa merasakan siapa yang benar-benar mendengarkan, dan siapa yang mendengarkan for the sake of mendengarkan. Get it? Perbedaan antara keduanya begitu terasa. Sedih banget, sih, ketika aku sudah sangat antusias untuk bercerita, sedangkan lawan bicara tidak mengimbanginya. Atau yang lebih parah, tidak mendengarkan sama sekali.
Aku termasuk orang yang begitu peduli akan feedback (umpan balik) yang aku terima, terutama berkaitan dengan apa yang telah aku berikan untuk itu. Menurutku, respons orang lain termasuk feedback penting dalam sebuah percakapan. Kalau tidak mendengarkan, berarti dia tidak ingin menjadi bagian dalam percakapan tersebut. Maka, tergantung suasana hatiku, aku biasanya menyesuaikan diri sesuai dengan feedback yang aku terima. Seperti meringankan antusias, menahan diri sebisanya, tidak jadi bercerita, atau bercerita for the sake of bercerita. Hal terakhir ini terjadi karena aku termasuk people pleaser dan berusaha untuk melanjutkan pembicaraan, mengisi waktu, atau memeriahkan suasana. (Oke, aku berusaha untuk menghilangkan sifat ini because it sucks)
Sebagai orang yang sering melakukan self-blaming dan mempunyai negative thought ke diri sendiri (yes, these also suck), aku merasa bahwa kemampuan bicaraku yang perlu ditingkatkan. Aku merasa bahwa cara bicara dan pelafalanku tidak jelas. Lebih parah lagi karena suaraku tidak merdu alias tidak enak didengar, hiks.
Mungkin orang lain tidak mendengarkanku karena penyampaianku yang kurang baik atau menarik.
Eh, tidak juga.
Dalam konteks profesional atau public speaking, aku bisa melakukannya dengan baik. I think. Seperti Kak Erizza, aku juga banyak belajar dari kesempatan yang aku dapatkan. Menurutku, pengalaman berbicara di depan banyak orang itu penting. Aku ingat, dulu ketika awal-awal masuk sebuah organisasi di kampus, aku pernah request untuk menjadi mc (pembawa acara) suatu acara supaya bisa mendapatkan pengalaman tersebut. Tentu saja ditolak, haha. Untungnya beberapa bulan kemudian, aku mendapatkan kesempatan tersebut di tempat lain. Memang pada mulanya aku tidak sempurna dan banyak salah, tetapi dari situ aku bisa belajar untuk menjadi lebih baik. Sekarang, aku bisa bilang berani untuk mengambil kesempatan berikutnya yang akan datang.
Mungkin, salah satu perbedaan utamaku antara public speaking dengan personal conversation adalah ekspektasi terhadap feedback. Ketika berbicara di depan umum, aku bisa menekankan pada apa yang aku sampaikan dan bagaimana caraku menyampaikannya dengan jelas. Karena sejak awal, beban untuk mendengarkan sudah berada di audiens. Kalau mereka tidak mau mendengarkan, mereka tidak perlu datang atau meninggalkan ruangan. Sehingga aku tidak begitu terpengaruh feedback yang aku dapatkan. Well, tentu aku ingin mendapat feedback yang baik, tetapi selama aku bisa menyampaikan dengan baik, aku lebih menyerahkan hasilnya kepada mereka. Lain halnya dengan pembicaraan bersama orang lain yang lebih personal.
Jadi, bagaimana?
Begitulah, aku akan tetap berusaha untuk berbicara dan bercerita lebih baik lagi. Berkaitan dengan pengembangan diri maupun menjalin relasi. Menunggu kesempatan yang akan datang suatu hari nanti.
Aku telah terbiasa untuk tidak didengarkan. Hanya aku sendiri yang membuat aku merasa didengarkan. Hanya aku yang bisa memberikan feedback yang aku inginkan.
Mungkin cerita sehari-hari lebih baik kusimpan sendiri atau kubagikan di sini.
Sampai ada seseorang yang mengerti, yang mungkin akan kujumpai di lain hari atau bahkan di lain bumi.
0 notes
Text
Barter Buku (Hari ini)

Sudah kuduga, pada akhirnya mendapatkan buku seperti ini.
Btw mau sekalian cerita panjang lebar tentang acara tadi juga.
*aslinya ini mau reblog dari postingan sebelumnya, tetapi ingat bahwa tumblr tuh tulisan ini-nya berada di bawah. Jadi bikin postingan baru aja deh.*
Aku sampai di gramedia manyar tepat pada pukul 10.00. Kalau berdasarkan rundown gramedia, itu adalah dimulainya acara. Sedangkan dari komunitas bukunya malah menyebutkan setengah jam sebelumnya. Meskipun sudah ramai, tetapi acaranya belum dimulai dan belum ada tanda-tanda untuk mulai.
Aku turut berbaris untuk mengucapkan selamat tinggal pada buku dharitri yang aku bawa untuk dikasihkan ini. Setelah membubuhkan tanda tangan dan melepaskan bukunya, aku duduk di tempat yang sudah disediakan. Harap-harap cemas dan menguatkan hati, karena buku-buku yang terlihat di mataku sedari tadi adalah buku-buku yang tidak [begitu] kusukai.
Hingga pukul 10.15-an, acara pada akhirnya dimulai. Sebelum itu, tempat duduk kami mengalami penyesuaian supaya lebih tertata rapi. Lalu, bungkus bertuliskan secret books diletakkan di tengah-tengah. Secara berurutan, tiap peserta mengambil satu (1) bungkus sebagai buku yang akan mereka terima. Lalu, sebelum bungkusan tersebut dibuka, terdapat presentasi dulu dari mc acara. Ternyata mengenai “buku bajakan”. Oke, nice info deh. Lalu, tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Pembukaan bungkus secret books ini.
Buku yang aku dapatkan adalah No More Burnout karya Weda S. Atmanegara. Huft, batinku saat itu. Sedih. Aku nggak tahu apakah aku bisa baca buku ini. Kubuka sekilas isinya, dan memang tulisannya bisa kutebak. Bab pertamanya membahas tentang waktu, dan aku berusaha keras untuk bisa membacanya. Yang kuingat itu menyebutkan eisenhower matrix, tipe-tipe orang membuang waktu, dan secuil kisah tokoh besar dunia. Setelah itu? Gak bisa. Aku memang nggak punya appetite untuk buku seperti ini.
Akhirnya aku lebih banyak melihat keadaan sekitar dan mencari di tangan siapa bukuku akhirnya singgah. Ternyata di ujung sana, seorang perempuan yang sepertinya-aku-kenal-tapi-aku-lupa-namanya lah yang mendapatkannya. Aku melihat reaksi dia saat melihat buku itu. Awalnya, dia terkejut gembira dan bertanya-tanya. Kurang lebih seperti ini yang aku tangkap dari jauh. “Wah, ini siapa yang bawa buku ini? Ini tuh xxx yyy (bercerita ke teman sebelahnya dengan antusias).”
Aku cukup senang melihat reaksi tersebut. Namun, seiring sesi baca bersama berlangsung, kesenangan tersebut semakin memudar. Bagaimana tidak? Buku tersebut tidak dibaca sama sekali oleh yang bersangkutan! Dia lebih banyak bermain hp dan mengobrol dengan yang lain. Sedih banget. Hiks.
Aku juga melihat isi buku orang di sebelahku. Salah satunya mendapatkan novel klasik bahasa inggris (tidak bisa dibilang klasik juga, sih, tapi sudah lama banget lah) berjudul The Last Song karya Nicholas Sparks. Karena bukunya setebal itu dan bahasa inggris, dia (bukan penyuka novel, of course) memutuskan untuk mencari review-nya di google dan membaca bagian ending untuk mengetahui akhir ceritanya.
Pada akhirnya, aku juga melakukan hal yang sama. Aku mencari ulasan buku ini di internet, tetapi ternyata tidak ada. Hmmm. Aku memutuskan mencari nama penulisnya saja. Ketemu instagramnya, dong. Begitu kulihat profilnya, ternyata dia ini penulis yang belum begitu terkenal. Followers-nya masih sekitar 900-an. Meski begitu, berdasarkan biodata instagramnya, dia sudah menerbitkan 10+ buku, terutama tentang self-improvement. Melihat itu, rasa empati dan ke-relate-an sesama penulis muncul. Mungkin aku yang tidak cocok dengan buku-buku dia. Tetap semangat menulis dan semoga sukses, kak!
Sesi membaca berlangsung cukup singkat, sekitar tiga puluh (30) menit. Lalu dilanjutkan dengan sesi diskusi. Kalau biasanya, diskusi ini dibagi ke beberapa kelompok kecil dan baru bisa sharing buku yang baru dibaca ke kelompok tersebut. Namun, karena waktunya terbatas dan susah mengaturnya juga, akhirnya hanya tiga (3) orang yang diberi kesempatan sharing ke semua orang.
Peserta pertama yang maju ternyata mendapatkan buku dia sendiri. Dia memulai sharing dengan ranting mengenai buku-bukunya Agatha Christie. Lalu, baru dia menjelaskan mengenai buku tersebut. Buku misteri karya Sidney Sheldon. Aku lupa apa judulnya, dan baru ini aku melihat nama penulis-nya jauh lebih besar dibandingkan judul bukunya! Dia juga menyampaikan keluhannya bagaimana susahnya mendapatkan buku-buku dari penulis ini, bahkan sempat menyebutkan pihak gramedia juga. Haha.
Peserta kedua mendapatkan buku Love in London karya Silvarani. Dia baru membaca tiga belas (13) halaman dan merasa senang bisa mendapatkan buku tersebut karena dia punya impian untuk ke luar negeri. Lalu, dia menjelaskan tentang buku yang dia kasihkan ke orang lain. Sebuah buku antalogi puisi yang diterbitkan oleh Ellunar. Senja, Sendu, dan Sendiri karya … banyak orang, salah satunya adalah dia. Setelah aku cek, ternyata itu adalah program Nuram Marun-nya Ellunar, tepatnya pada bulan Desember tahun lalu. Wah, ada sesama penulis juga di komunitas ini. Penulis Ellunar pula! Mungkin dia akan ikut Festival Menulis Ellunar tahun ini juga. Sainganku, nih, haha. Eh, siapa tahu kita sama-sama terpilih dan dia akan mempromosikan buku antalogi tersebut suatu hari nanti (mimpi dulu lah ya).
Peserta ketiga mendapatkan buku Kreatif Sampai Mati karya Wahyu Aditya. Jadi kilas balik kenangan zaman dulu. Aku pernah punya buku itu dulu (dan harusnya masih ada sampai sekarang, tapi aku lupa itu berada di mana), dan aku benar-benar menyukainya. Gila, itu sih udah lebih dari sepuluh (10) tahun yang lalu! Aku masih ingat sebagian besar isinya. Salah satu buku favoritku zaman dulu. Dia baru membaca halaman-halaman awal saja, sehingga belum banyak yang bisa di-sharing-kan. Namun, dia sudah mendapatkan kesan bagus dan sudah berkata bahwa buku ini keren banget. Aku setuju, memang bukunya tuh keren banget! Kalian yang belum pernah baca harus baca buku ini, deh. Serius.
Sesi sharing selesai, lalu ada kuis sebentar dari gramedia, setelah itu acaranya selesai. Pukul 11.30, berarti acaranya tadi sekitar satu (1) jam lima belas (15) menit. Sangat singkat sekali. Setelah foto bersama, lalu bebas deh pesertanya mau ngapain. Banyak yang pulang, ada yang ngobrol-ngobrol dulu, ada yang langsung berburu buku. Jujur, dari aku sendiri, merasa bahwa acara ini sangat underwhelming. Entahlah, padahal aku tidak ada ekspektasi apa-apa sebelumnya, tetapi aku merasa acara ini tuh kurang. Mungkin karena perkara waktu yang terbatas, atau karena lokasi tempat di gramedia sehingga kendali utamanya ada di pihak sana dibandingkan komunitas, atau faktor-faktor lainnya. Yang pasti, aku sedikit punya harapan lebih terkait barter buku sebagai main course acara ini. Senang? Iya. Seru? Iya. Namun, aku merasa tadi itu bisa lebih baik.
Lalu, ternyata ada beberapa orang yang tidak suka dengan buku yang mereka dapatkan, kemudian mereka bertukar lagi dengan orang lain sesuai dengan pilihan mereka. Tentu saja, hal ini banyak dilakukan oleh penganut mahzab buku bermanfaat yang kusebut di postingan sebelumnya. Hadeh. Aku sendiri sudah berniat dari awal, aku tidak akan menukar buku yang aku dapatkan dengan buku lainnya. Sebenarnya aku berusaha menebak siapa pemilik sebelumnya, tetapi karena aku nggak kenal dengan banyak orang di sini, aku tidak mendapat clue sama sekali dong. Sampai acara berakhir, tidak ada orang yang datang untuk menyampaikan itu. Baiklah. Terima kasih atas bukunya, ya! Lalu, aku menemui perempuan yang membawa bukuku tadi. Aku bertanya beberapa hal terutama kesan dia terhadap buku tersebut. Dia berkata bahwa dia tahu nellaneva, tetapi memang dia tidak suka dengan novel fantasi. Sehingga dia tidak membaca buku tersebut pada acara tadi. Oke, deh. Kalau aku berasumsi, mungkin buku itu akan disumbangkan lagi oleh dia ke orang atau tempat tertentu. Hiks.
Eh, bicara tentang nellaneva, ternyata tadi karya terbarunya yang berjudul Tujuh Kelana terpajang di rak paling depan gramedia. Sepertinya dia sudah lumayan populer sekarang, karena beberapa orang yang kutanya di acara tadi juga mengetahui dia. Bahkan, salah satu peserta pernah mengundang dia sebagai pembicara online untuk acara komunitas buku dia. Bagus, deh. Di sebelah Tujuh Kelana terdapat cetakan baru Di Tanah Lada karya ziggy zezsyazeoviennazabrizkie, yang rumornya mempunyai ending yang berbeda dengan cerita aslinya. Aku memutuskan untuk membeli buku Di Tanah Lada tersebut, karena penasaran dan sebagai koleksi juga. Aku berencana membahasnya dalam waktu dekat di platform lain. Harganya sangat mahal, Rp95.000, hiks. Untuk Tujuh Kelana dan karya nellaneva lainnya mungkin kapan-kapan saja (kapan-kapan mulu nih).
Sekian, cerita hari ini. Bye-bye!
0 notes
Text
Barter Buku (Besok)
Malam ini lagi kepikiran sesuatu, tapi nggak terlalu overthinking banget sih.
Jadi, esok hari aku rencananya akan ikutan acaranya komunitas buku yang beberapa waktu belakangan sering kuikuti. Nah, besok itu beda dari biasanya. Pertama, kegiatannya bekerjasama dan diadakan di gramedia manyar. Kedua, ada gimmick bertukar buku untuk tiap pesertanya. Dan itu bersifat permanen. Jadi buku yang aku bawa akan dikasihkan ke orang lain. Begitu pula aku akan menerima buku random dari orang lain.
Nah, yang jadi bahan pemikiran adalah, kira-kira buku apa yang akan aku beri dan terima untuk acara tersebut?
Sebenarnya, dulu aku sering banget memberi buku ke orang lain (read: temen). Ketika mereka ulang tahun, wisuda, salah satu go-to kado dariku adalah buku. Dan biasanya jenis buku tersebut adalah novel atau cerita fiksi. Karena, well, itu adalah jenis buku favoritku dan cukup banyak ketersediannya di rumah. Lagipula, orang-orang yang menerima buku tersebut sudah kukenal sebagai orang yang setidaknya suka membaca tulisan orang.
Namun, beberapa tahun terakhir, aku merasa eman (sayang) untuk memberikan buku ke orang lain lagi. Buku terakhir yang kuberikan berjudul Turn Right karya Inez Natalia. Dulu aku beli itu di big bad wolf (bbw) surabaya ketika ada promo. Belum pernah kubaca, bahkan sampulnya masih utuh. Lalu, beberapa saat setelah itu ada temanku yang wisuda. Karena kita pernah cerita-cerita tentang permasalahan pekerjaan dan karir, aku merasa buku ini cocok untuk dia yang akan menghadapi masalah itu [lagi] setelah wisuda. Namun, beberapa bulan kemudian, aku merasa bahwa buku ini sepertinya akan cocok banget buat aku sendiri (hiks). Mau beli lagi, tapi aku tidak menemukan keberadaannya di gramedia. Bisa online, sih, tapi males. Aku selalu mencari judul buku itu di setiap event obralan buku yang aku datangi. Belum ada yang ketemu. Untungnya aku masih ingat judul dan penulisnya. Soalnya, beberapa buku yang lain udah kulupakan semuanya. Jadi kadang aku nggak ingat kalau aku pernah baca buku itu karena bukunya udah nggak kupegang lagi. So sad.
Nah, karena itulah aku bingung banget menentukan buku apa yang akan kurelakan. Terutama karena buku yang ada di rak bukuku adalah peninggalan masa dahulu kala, sebelum masuk kuliah. Buku-buku yang mungkin sekarang nggak akan terpajang di gramedia. Meskipun belum semuanya kubaca, tapi rasa takut kehilangan itu selalu muncul di kepalaku. “Buku ini dari tahun 2013, kalau aku suatu hari nanti ingin baca buku ini, aku akan beli di mana?”. Kurang lebih seperti itulah bahan pemikiranku tadi.
Sekarang aku sudah menentukan satu (1) buku yang akan kuikhlaskan. Alasan utamanya adalah karena penulisnya adalah salah satu penulis favoritku, nellaneva. Loh? Kok bisa? Iya, karena aku ingin koleksi semua buku yang ditulis beliau. Saat ini aku baru punya dua (2) judul saja. Mungkin suatu hari aku akan beli judul-judul lainnya. Nah, satu (1) buku yang akan aku berikan besok ini bisa kubeli lagi pada saat itu. Memang peluang muncul di gramedia sangat kecil, tapi aku follow instagram penulisnya dan dia cukup sering menjual buku-buku karyanya di platformnya sendiri. Selain itu, aku juga ingin orang lain tahu tentang karya penulis yang menurutku masih underrated ini.
Nah, ini bersinambung juga dengan pertanyaan kedua. Apa buku yang akan aku dapatkan?
Ada hal yang sangat kusadari dari komunitas buku yang aku ikuti ini. Mereka lebih suka baca buku non-fiksi. Buku-buku informatif, filosofis, psikologi, self-help, self-improvement, self-care, dan self-self lainnya. Sebagian besar buku yang kujumpai ketika acara baca buku bersama seperti itu. Sangat jarang sebuah novel, apalagi yang sedang tidak tren, menarik perhatian (dibaca) mereka. Bahkan, hari ini tuh ada beberapa orang yang membahas akan membawa buku apa di grup. Mereka menyebut buku-buku itu. Sedih banget. Ini calon-calon buku yang akan aku terima dan harus kubaca esok. Hiks.
Mungkin lain waktu, aku akan membahas tentang pandangan orang-orang yang menganut mahzab “buku bermanfaat” ini. Kapan-kapan aja, dan mungkin tidak di platform ini. Intinya adalah komunitas buku yang aku ikuti* (*kurasa semua komunitas buku juga begini, kecuali fandom penulis tertentu*) ini penuh (mayoritas) oleh individu penganut mahzab ini. Namanya juga komunitas buku. Untungnya, mereka masih ramah dan terbuka ke semua orang. Tidak bersikap elitist maupun membangun dinding mehiko ke penganut mahzab lain. Hal yang sama mungkin tidak ditemukan di komunitas buku lain (sad).
Aku belum bisa membayangkan bagaimana reaksiku jika mendapat buku seperti itu. Apalagi melihat keberuntunganku, rasanya sudah pasti aku akan mendapatkannya. Sedih? Tentu saja. Namun, tidak mungkin bagiku untuk menunjukkannya di acara tersebut, terutama di depan orang yang memberikan buku tersebut. Di lubuk hatiku, aku berharap bisa menemukan orang-orang yang satu frekuensi (mahzab) pada acara esok. Orang-orang yang lebih suka novel atau cerita fiksi, terutama yang underrated dan tidak terpajang di rak utama gramedia, dibandingkan buku non-fiksi. Mereka akan memberikan buku yang begitu berkesan bagi mereka, lalu aku yang akan mendapatkan buku tersebut. Harapannya lagi, itu bukan buku yang pernah kubaca. Aku akan begitu senang menerimanya.
Namun, kemungkinan itu terjadi sangat kecil. Bagaimana jika the worst case scenario happen? Aku sudah bertekad dari sekarang, aku tetap akan menikmati acara tersebut. Menikmati apa yang aku terima. Tetap membaca dan mengambil apapun yang ada di dalamnya. Merumuskan kesimpulan dan membagikan intisari buku itu kepada yang lainnya. It will be a good day!
Terakhir, semoga ada orang lain yang begitu senang mendapatkan novel pertama nellaneva. Cheers!
0 notes
Text
(Not) Friends
Setelah sekian lama tersimpan di watchlist, hari ini aku memutuskan menonton film Not Friends.
Film dari Thailand. Aku memang suka dengan film thailand yang "menggugah hati". Terutama kalau udah membahas tentang pertemanan. Beuh.
Aku sendiri tidak punya gambaran apa-apa mengenai film ini sebelumnya. Jadinya aku nggak punya ekspektasi sama sekali. Bahkan sinopsis atau jalan ceritanya aku belum pernah baca sebelumnya. "Loh, terus kok bisa masuk ke watchlist?" Entahlah, udah lama jadinya lupa. Mungkin waktu itu nemu di bagian recommended terus dari judul dan fakta itu film thailand sudah cukup bagiku, haha.
Terkait ceritanya, hmm agak susah nulisnya nih kalau mau nggak ada spoiler. Intinya, ada seorang murid baru di sekolah bernama Pae, yang kemudian duduk sebangku dan menjadi dekat dengan Joe. Namun, suatu hari, Joe meninggal dunia. Hari berlalu, orang-orang pun mulai melupakan Joe. Pae kemudian berniat dan berusaha untuk membuat film demi mengenang Joe. Ternyata, ada orang lain yang mengetahui niat lain Pae. Apakah rencana Pae berhasil?
Oke semoga sinopsisnya masuk akal. Sebenarnya, di awal-awal film tuh agak boring gitu deh, terutama scene waktu pengambilan adegan film. Apalagi lagu tentang tokoh-tokoh utama di dunia film itu nggak enak didengar [banget]. Tapi ya secara general nggak terlalu buruk juga sih. Terus karena ceritanya terkesan lancar banget nggak ada konflik, mungkin akan muncul pemikiran "kok gini doang ya?"
Nah, film ini baru menunjukkan keunggulannya ketika konflik mulai berdatangan. Yap, banyak twist-twist yang bikin aku teriak "ooooooh gitu" terus "whaaat nooooooo". Karena emang konfliknya tuh beneran bikin aku (penonton) tergugah banget gitu. Terutama kalau kita di posisi Pae. What will you do? Aku bahkan nggak ngerti apa yang aku lakukan kalau di posisi dia. Damn.
Itu juga yang bikin aku suka dari film ini. Kita tuh diberi kebebasan untuk mengikuti ceritanya secara linear dan menebak apa yang terjadi berikutnya, tapi ternyata ada kejutan yang tidak terduga dan kelanjutan kejutan tersebut benar-benar masuk akal dan menambah keindahan ceritanya. Jadi setiap adegan itu berpengaruh dan ada resolusinya.
Momen favoritku ada 2, yaitu ketika penyelesaian konflik dan ending. Keputusan Pae untuk melakukan apa yang dia lakukan benar-benar memuaskan. Padahal sebenarnya filmnya bisa main aman dan Pae yaudah ada faktor lain dsb gitu, tapi ini Pae sendiri yang mengambil keputusan tersebut. Best banget deh.
Lalu endingnya. wow. Yes I really love this kind of ending haha. Not happy, not bad, but just right ending. Kalian harus nonton ini deh!
Bagian ini aku mau me-relate-kan filmnya dengan kehidupan pribadiku. Kebetulan hampir sebulan yang lalu, ada temanku yang meninggal dunia. Dan kami tuh deket, tapi nggak deket banget gitu. Nggak tahu juga sih. I dont even know what is a friendship anymore. Demi tulisan ini, anggap aja gitu.
Tentu aku sedih banget kan, dan pastinya beberapa temanku yang lain juga sedih. Aku tuh kepikiran buat bikin video memorial seperti yang dibuat Pae ini. Tapi nggak kesampaian karena banyak hal. Nggak ada waktu, footage yang masih dibawa orang, dan keragu-raguan. Ragu apakah aku pantas untuk membuat hal semacam ini. Karena, well, kita teman yang dekat tapi tidak dekat. huft.
Mungkin mendekati hari ulang tahunnya (yang sekaligus malam tahun baru) aku akan membuat video tersebut dan menampilkannya ke teman-teman lainnya. Entahlah, baru angan-angan belaka. Konsepnya udah ada di kepala, sih. Konsepnya aja.
Nah, momen Pae ketika menampilkan hasil filmnya ke teman-teman Joe, mungkin seperti itulah jika aku melaksanakan niat tersebut. Mungkin akan ada teman lain yang tidak suka, tapi mungkin memang isi videonya yang lebih penting. Atau lebih tepatnya dia yang lebih penting. Walaupun bukan siapa-siapa, aku ingin mengenang dia sebagai teman.
Kepada teman-temanku terutama teman kelas sma dan teman masa kuliah. Kepada para teman yang dekat tapi nggak dekat, kalimat di ending film ini aku persembahkan untuk kalian.
Meskipun kita mungkin kelak takkan bertemu lagi
Karena hari kita telah berubah sejak hari-hari kita biasa bermimpi
Tidak masalah kita dekat atau tidak
Pada masa depan...
Pikirkanlah aku sesekali, [wahai] semua temanku yang tidak begitu dekat.
0 notes
Text
Am I broken beyond repair?
Yes I am.
Jujur sedih banget harus hidup dengan 'penyakit' ini. Udah coba berbagai cara, tapi hasilnya sama aja. Ada sih, satu yang belum pernah kucoba. Namun, takut banget kalau itu bikin aku tidak diterima dan malah memperburuk masa depanku daripada sekarang.
Sayangnya, mungkin hanya itulah satu-satunya cara untuk memperbaiki penyakit ini. Iya, memperbaiki, karena penyakit ini tuh nggak bisa sembuh. Ada sampai akhir hayat. Aku udah mencari tahu tentang cara ini. Nama-namanya, bagaimana cara kerjanya, sampai ke efek sampingnya. I think it wasnt that bad, tapi sedih juga seperti harus mengorbankan bagian tubuh yang lain supaya yang ini tidak terlalu parah.
Nggak tahu deh harus gimana. Kadang setiap kali berusaha berpikir positif, selalu mikir ini apakah ini baik bagiku atau aku malah delusional? Tapi delusional ini yang bikin aku tetap melangkah sampai sekarang. Meskipun tahu belum jadi apa-apa. Meskipun ngerti akan kalah melawan dunia.
Jadi, gimana? Entahlah. Seandainya aku adalah orang lain. Mungkin itu salah satu doa(?) yang sering terucap dariku beberapa akhir tahun ini. Tidak, bukan karena aku nggak bersyukur. Bukan karena aku iri melihat orang lain. Salah satu ungkapan favoritku bahkan adalah setiap manusia punya hebat punya cacat. Aku percaya aku punya kehebatanku sendiri dengan berbagai macam flaw yang menyertainya. Begitu pula dengan orang lain.
Namun, aku merasa bahwa siapapun orang lain yang kutemui, ada dua kemungkinan. Mereka menjalani hidup dengan lebih mudah, atau mereka mempunyai kekuatan yang lebih kuat untuk menghadapi setiap aspek kehidupannya. Keduanya adalah dua hal yang tidak kupunya. Menjadi orang lain akan jauh lebih mudah atau lebih kuat dibandingkan diriku ini.
Sekian ocehan kali ini. tidak bermanfaat dan begitu memalukan sih. perhaps this is just the life I have to lived.
0 notes
Text
Dua nama
Hari ini aku nggak sengaja ketemu dengan Mbak Firda dan Mbak Ulfa. Ternyata mereka berdua barusan yudisium.
Aku sedang menuju kantin perpus, Ketika melihat ke arah gazebo terjauh, aku merasa bahwa dua wajah itu begitu familiar. Tapi nggak mungkin, kan? Ngapain mereka berdua di sini? Mungkin aku salah orang, pikirku.
Akhirnya aku mengecek tayangan ulang livestream yudisium fakultas untuk memastikan apakah itu benar-benar mereka. Ternyata benar. Oh, iya juga. Aku kira anak2 17 itu sudah yudisium bulan agustus kemarin. Ternyata mereka baru ikut yang yudisium september ini. Oke, make sense.
Setelah membeli makan, aku pun nimbrung ke mereka. Memang aku nih orangnya sok supel banget haha. Untungnya mereka masih ingat aku. Jadinya aku gabung pembicaraan mereka deh, tanya2 kabar satu sama lain dan cerita seputar skripsian yang menjadi momok bagi kita dulu (dan masih sampai sekarang bagiku hiks).
Btw mau flashback banyak.
Aku pertama kenal Mbak Firda saat ikut kepanitiaan SD-PC dulu. Divisi humjin, alias humas dan perijinan, alias hubungan masyarakat dan perizinan. Gitu deh. Ketuanya adalah Mbak Lila, dan ternyata Mbak Firda dan Mbak Lila ini satu sirkel gitu. Ternyata oh ternyata, aku dan Mbak Firda udah berada di satu organisasi yang sama sebenarnya. Yaitu SKI, bahkan kita satu departemen pula yaitu syiar. Tapi jujur waktu itu aku bener2 gak kenal sama beliau ketika di SKI, wkwkwk. Soalnya di syiar sendiri ada bagiannya sendiri gitu, sub-departemen lah istilahnya dan aku kebagian dakret sementara mbak firda ada di phbi (kalau gak salah).
Anyway, humjin adalah pengalaman panitia pertamaku. Well, bukan pertama sih secara umum, tapi yang pertama di fakultas. Jadi aku yang gak tahu apa-apa nih belajar banyak mengenai prosedur2 ribet yang ada di kampus. Terutama mengenai peminjaman ruangan dsb lah. Dan itu cukup ribet ternyata. Bahkan mengurus ttd ke sekre bem saja susahnya minta ampun. Saat itu aku sempat berpikiran, ini nggak ada cara yang lebih mudah apa? Walaupun saat itu memang belum zaman online2 banget, tapi bener deh itu beneran bawa kertas perizinan kemana-mana, terus kalau beruntung bisa ketemu mbak zata (sekre bem) atau mas ahmad (ketua bem) di depan musola atau ruang organisasi (RO). Oh, sebelum itu harus ke ketua acara dulu. Terus, berdasarkan kategorinya, harus ke dosen atau pihak yang berwenang. Berkali-kali menunggu di depan ruangan bu neny (wadek I) maupun pak Ilham (wadek II), dan sebagainya. Cukup banyak ya alurnya. Kalau ada yang salah? Ya ngulang dari awal.
Untungnya, ada Mbak Lila dan Mbak Firda yang benar2 memandu aku dari awal banget. Dikasih tahu cara-cara mengikuti prosedur dengan baik dan benar. Plus ilmu-ilmu tentang kepanitiaan juga. Plus banyak serunya juga. Aku senang banget bisa ketemu orang-orang di dalam humjin ini. Mbak Lila, Mbak Firda, Mbak Salwa (dulu dipanggilnya Mbak Rosi), Mbak Nurma, Effie, dan Tata. Best banget deh.
Wait, kok malah jadi cerita humjin ya? Nah, dari situ aku juga tanya2 tentang kuliah ke Mbak Lila dan Mbak Firda. Dan mereka berdua baik banget, mau sharing macem2 tentang itu. Ketika semester 4 dan semester 5, mereka sharing bahan2 materi yang dibutuhkan di tiap matkulnya untuk aku. Benar-benar sangat membantu sekali. Di SKI, aku juga sering minta pendapat ke Mbak Firda terutama terkait syiar yang saat itu aku pegang. Dan ya banyak juga ilmu yang bisa kupraktikkan di sana.
Aku sudah lama nggak bertemu Mbak Firda. Kalau nggak salah ingat ya sebelum covid itu. Setelah covid nggak ada urusan lagi kan buat ketemuan. Udah mulai jarang kontakan juga. Sampai tiba-tiba tahun 2023 Mbak Firda nikah. Tiba-tiba banget. Aku sih turut senang mendengar kabar tersebut. Kadang merasa tua juga melihat orang-orang yang jarak umurnya dekat denganku udah mulai menikah dan berumah tangga, haha.
Lalu, kembali ke masa sekarang, aku lihat beliau nggak banyak berubah, sih. Entahlah, aku juga nggak begitu menyadari perubahan seseorang kecuali pakai/lepas kerudung atau kacamata. Beliau masih informatif as usual, masih sabar as usual, dan masih usual as usual (lah loh).
Kini flashback ke mbak ulfa.
Aku pertama kenal mbak ulfa ketika magang di paud anak ceria. Aku masuk desember-januari, dan mbak ulfa udah masuk di periode sebelumnya tapi masih ada masa magang sampai beberapa bulan mendatang. Jadinya intercross lah, atau entah apa istilahnya. Sebelumnya aku benar2 nggak tahu kalau ada yang namanya mbak ulfa di kampus, dan aku nggak tahu kalau ada sosok/wajah mbak ulfa di kampus.
Waktu di paud, aku lihat ada seseorang yang sedang bantu anak-anak untuk menggambar. Dan gambaran dia tuh bagus banget. Waktu udah bukan jam ngajar aku kenalan sama beliau kan, ternyata itu mbak ulfa dan ternyata dia anak 17. Aku kaget kan dan bilang bahwa aku nggak pernah lihat beliau di kampus. Ternyata dia ini segolongan juga sama mbak lila dan mbak firda, walaupun mungkin bukan sirkel yang deket banget karena aku hampir nggak pernah lihat nama (dan wajah) nya di kelompoknya mbak firda.
Lalu pernah suatu hari di kampus, di tempat duduk lantai 3, aku lihat mbak ulfa lagi sendirian di sana. Aku samperin dong dan ngajak ngobrol. Aku udah lupa waktu itu ada urusan apa dan bahasan obrolannya tentang apa, tapi harusnya itu bahas tentang perkuliahan deh. Itu doang sih, terus covid. Tapi dari situ dan ketika magang di paud, aku tuh jadi kagum gitu ke beliau. Kagum karena dia ini orang yang bisa berdiri sendiri gitu loh. Bahasa gaulnya independent. Aku emang suka sama orang-orang seperti ini, orang yang bisa kemana-mana sendiri, bisa melakukan apa-apa sendiri. Soalnya aku (saat itu) gak bisa, hiks. Makan aja harus sama temen, kalau nggak ada temen ya nggak makan. Dan dia independent yang fokus ke dirinya sendiri, tahu mau apa dan bisa melakukan untuk mendapatkan apa yang dimau. Keren banget sih.
Waktu aku semester 6, aku sempet tanya2 tentang materi kuliah ke mbak ulfa. Soalnya semester 6 itu udah mulai peminatan, dan ternyata peminatanku sama mbak lila dan mbak firda itu beda, jadi aku gak bisa diskusi ke mereka lagi. Nah ternyata mbak ulfa ini sama, yaitu peminatan klinis. Lalu karena waktu itu aku juga pernah ngurusin ngobrol skripsi dan masih ngikutin dunia perskripsian, mbak ulfa yang udah mulai skripsian pun juga tanya-tanya tentang itu. Ternyata panjang juga ya proses kita ini. Tahun 2021 woiii. Mbak ulfa baru selesai tahun 2024 dan aku belum selesai sampai tulisan ini terpajang. Hadeh.
Aku semester 9 mungkin adalah masa2 terakhir aku kontakan dengan mbak ulfa. Bahas skripsi (again) tapi ya gitu-gitu aja. Terus ya mulai berjuang sendiri-sendiri. Tapi sempet ketemu lagi. Waktu bulan oktober tahun lalu, ada sertifikasi digital marketing gitu dari fakultas. Aku ikut, dan ternyata mbak ulfa juga ikut. Acaranya offline kan di kampus, jadi dia yang tinggal di luar kota harus ke surabaya. Nah ketika aku dan eka (temenku) udah kelar urusan digital marketing ini, ternyata mbak ulfa dan mbak tiara (temennya) belum selesai dan minta bantuan kita. Jadinya yaudah deh kita bantuin dengan imbalan mekdi basuki rahmat. Lalu ternyata mbak ulfa pp kan dari luar kota, tapi nggak mungkin dong pulang semalam itu, jadinya sama eka ditawarin buat tidur di kosnya dia aja dulu, baru pulang besok paginya. Akhirnya setelah susah payah urusan digital marketing mereka selesai. Tapi mereka berdua ini belum selesai skripsinya. Mbak ulfa sendiri udah dapat kerja di daerahnya sana. Jadi yaudah deh saat itu saling menyemangati satu sama lain.
Terus tahun ini, nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba mbak ulfa nikah dong! Tiba-tiba banget! tapi kalau jodoh ya memang akan dilancarkan sama yang di atas. Aku juga seneng dong denger kabar itu. Sebenarnya tiap tahu kabar2 seperti itu, nikah kek, kerja kek, kuliah di luar negeri kek, hal yang paling bikin aku bersyukur tuh bahwa mereka masih sehat dan tetep thrive gitu loh. Nggak tahu kenapa ya, mungkin karena aku orang yang punya empati tinggi dan bisa merasakan kesenangan orang lain juga.
Anyway, sekian deh flashbacknya. Sebenarnya tadi ingin minta foto bareng juga sih, tapi nggak sempet dan akhirnya kelupaan, haha. Besok mereka wisuda, tapi aku nggak bisa datang jadi ngucapinnya tadi sekalian. Lulus sudah, nikah sudah, kerja sudah. Sudah menapak kaki ke fase kehidupan berikutnya. Dan meninggalkan fase kehidupan yang lalu. Dulu kenal dan menjalin relasi juga karena tugas, magang, skripsi waktu kuliah. Kedepan kalau nggak ada hal yang sama terutama di area pekerjaan, mungkin hanya jadi penonton instagram story aja. Gapapa, setiap pengalaman sebelumnya akan selalu kukenang dan setiap kebaikan sebelumnya akan selalu aku doakan. Semoga sukses di luar sana!
Cheers!
*btw, gaya ceritaku beda banget di tulisan ini. aku niru tulisan seseorang yang cerita apa adanya banget. mungkin lebih cocok juga buat kenang-kenangan dibandingkan tulisanku biasanya. atau mungkin akan deleted soon, entahlah. byeee
0 notes
Text
Aku senang banget setiap kali kamu mampir ke mimpiku.
Selain karena bisa melihat / bertemu denganmu, aku senang kamu yang datang ke mimpiku adalah kamu versi kamu yang ceria, antusias, ramah, dan penuh perhatian. Berbeda dengan kamu sekarang, yang cenderung diam, jaga jarak, dan membuatku harus menyimpan segala antusias dan rasa senang di dalam hati.
Tapi apa daya, begitulah dunia nyata. Mungkin waktunya sudah habis untuk kita berdua. Mungkin dunia ingin kita berjalan menempuh hidup masing-masing. Mungkin tuhan ingin kamu bersama dengan teman hidup yang selama ini kamu dambakan, dan itu bukan aku. Mungkin benang takdir hanya membawa kita sejauh ini.
Sementara mimpi, aku bisa bahagia sebentar dalam dunia fana. Aku bisa bercerita apapun yang akan kamu dengar dengan saksama. Aku bisa mengajakmu berpetualang tanpa meminta-minta dengan balas kasihan. Aku bisa melakukan hal-hal yang kita suka, berdua, dengan segala penuh suka duka yang ada. Lucu, kan?
Sering-sering mampir ke mimpiku, ya!
0 notes
Text
Satu, dua, tiga, tak berempat.
Sebuah lembaran kertas itu kupegang erat di tanganku. Setelah serangkaian acara wisuda ini berakhir, aku akan menggunakan kupon tersebut di tempat pengambilan foto. Sebenarnya tiap orang mendapat dua. Aku telah menggunakan salah satunya untuk mengabadikan kelulusanku bersama dengan ibuku.
“Hei, kalian. Foto bareng, yuk!”
Satunya aku pergunakan bersama dengan orang-orang ini. Ketika masa depan pasca sekolah masih tak menentu, aku percaya bahwa ketiga orang yang kupanggil ini akan berbagi cerita nantinya kepadaku. Namun, dalam hati maupun permukaan, aku sadar bahwa mereka bukan siapa-siapa. Kita bukan apa-apa. Tidak ada kata kita dalam kegiatan yang dilalui bersama-sama. Tidak ada grup khusus yang membahas apa saja dari selamat makan sampai dengan turut berduka. Kenyataannya adalah, kita hanyalah empat orang dengan nama yang kebetulan berurutan dalam kelas yang sama. Atau mungkin lebih tepatnya aku yang kebetulan daftar namanya berada tepat setelah mereka.
Ketika mereka menerima tawaran foto tersebut, aku senang mendengarnya. Karena di antara teman-teman lainnya, mereka-lah tempat yang paling sering kukunjungi untuk bertukar kata. Mereka-lah yang aku inginkan berada di sebelahku ketika reuni kelas suatu hari nantinya.
Setelah menunggu antrean yang lumayan memakan waktu, kini tiba saatnya giliran kami berpose di depan kamera. Satu, dua, tiga! Petugas foto itu memberikan aba-aba. Kami bergaya dan sesi foto selesai begitu saja. Aku menerima hasilnya tidak lama. Karena menggunakan kuponku, aku sendiri yang menyimpan foto tersebut. Foto yang akan kulihat jika aku ingin mengingat masa-masa sekolah.
Masa kuliah datang, kami berpisah sesuai dengan kampus masing-masing. Masih dalam kota yang sama, tapi dalam kesehariannya seakan-akan berbeda dunia. Ketika masa reuni tahun pertama tiba, tidak banyak yang berubah dari sebelumnya. Namun, seperti yang kusebutkan, konsep kita berempat hanya ada di kepalaku saja. Bagi mereka, aku hanyalah teman satu kelasnya saja. Tidak lebih.
Tahun-tahun berikutnya, aku semakin terjebak dalam pikiranku sendiri. Aku selalu berpikir bahwa satu-satunya cara supaya aku lebih diterima oleh mereka adalah dengan aku memperjuangkan pertemenan ini. Lalu, karena konsep kita berempat tidak akan pernah terbentuk, aku akhirnya memutuskan untuk menjaga pertemanan secara personal. Di tulisan setelah paragraf ini, mereka tidak sepenuhnya merujuk ke tiga orang tersebut. Bisa salah satu atau keduanya.
Maka, dalam lima tahun terakhir, aku selalu memperjuangkan mereka. Aku selalu mengucapkan selamat ulang tahun di hari kelahiran mereka, pada beberapa kesempatan bahkan memberikan hadiah secara langsung maupun tidak langsung. Aku selalu mengupayakan kehadiranku pada mereka. Ketika ada acara reuni kelas, aku selalu menyambut kehadiran mereka. Ketika mereka terlihat dalam kesulitan, aku selalu berupaya memberikan yang aku bisa untuk membantu mereka. Meski seringkali aku tidak mendapatkan timbal balik yang serupa.
Aku bodoh dan naif sekali, ya?
Mungkin puncaknya bisa dikatakan terjadi tahun lalu. Aku, bersama dengan satu temanku, cukup sering mengadakan kegiatan atau acara. Di semua kegiatan tersebut, aku selalu mengajak mereka. Tidak jarang aku menyesuaikan detail kegiatannya demi mereka.
Namun, ketika mereka mengadakan kegiatan serupa, tidak pernah ada namaku di dalamnya.
Aku tidak bisa bercerita panjang lebar di sini karena mengingatnya saja membuat hatiku lebih berat tiga kali lipat. Intinya adalah, apapun yang kulakukan, aku tidak akan bisa membuat diriku menjadi teman penting bagi mereka.
Tahun ini, ketika banyak permasalahan pertemanan yang terjadi, aku mengevaluasi ulang mengenai konsepku tentang pertemanan dan siapa yang layak untuk mendapatkannya. Aku harus merelakan bahwa kita berempat tidak pernah ada dan tidak akan pernah bisa ada. I’m done merendahkan diri hanya untuk bisa melihat wajah mereka.
Selamat tinggal, semoga bahagia di kehidupan masing-masing. Setidaknya mereka tidak hidup di kepalaku lagi.
0 notes
Text
Sebenarnya, untuk berhasil itu perlu berapa jatah gagal sih?
Biar keterima fulltime tuh harus berapa kali internship dulu?
Untuk akhirnya mencapai apa yang kita mimpiin, butuh berapa prioritas lain yang dijalanin sih? Butuh kerja tanpa hati sampai kapan sih?
Tak terhingga?
10 notes
·
View notes
Text
Grace
“Aku besok minggu balik ke Sidoarjo, pulang kampung.”
Kalimat itu datang dari seorang teman lama. Teman yang dulu tetap berperilaku baik kepadaku ketika orang-orang menjauhiku. Aku akan menyebutnya dengan nama Grace.
Grace adalah seorang mahasiswa kedokteran. Dulu, aku sempat bingung saat dia memilih jurusan kedokteran, mengingat dia sangat bagus di bidang matematika. Kalau tidak salah ingat, nilai ujian nasional (UN)-nya di mata pelajaran matematika hampir sempurna. Namun, setelah dia lolos dan diterima sebagai mahasiswa kedokteran, aku percaya bahwa jurusan itu cocok untuknya. Grace adalah anak yang rajin, cekatan, pintar, dan cerdas. Kecerdasan (IQ)-nya merupakan yang tertinggi kedua seantero sekolah. Semua hal yang diperlukan untuk menjadi mahasiswa kedokteran ada di dalam Grace.
Grace sudah lulus dari S1 pendidikan dokter pada bulan Agustus tahun lalu. Kini, saatnya dia menempuh koas (co-assistant) dokter selama dua tahun. Grace ditempatkan di rumah sakit umum daerah (RSUD) di kota rantaunya. Masa koas dibagi menjadi beberapa stase, dengan stase besar selama sepuluh minggu dan stase lainnya selama lima minggu. Totalnya bisa mencapai dua tahun.
Semenjak Grace menjalani masa koas, aku menyadari kesibukannya. Aku yang biasa chatting perkara macam-macam, memutuskan menunggu dia yang chat duluan. Atau, membalas story dengan kata sederhana yang tidak berujung percakapan panjang.
“Aku libur satu minggu.”
Apakah ini saatnya aku bertemu? Terakhir kali aku bertemu dengan Grace pada saat dia sedang menunggu kelulusan. Tidak ada salahnya, kan?
Senin, 20 Juni 2022
Awalnya, aku mengajakanya bertemu di sebuah tempat makan. Namun, Grace bertanya tentang ‘tempat hijau-hijau’ yang ada di Sidoarjo. Aku memberikan dua jawaban, yaitu jalan menuju arah bandara juanda dan alun-alun Sidoarjo. Ternyata, Grace meminta supaya jalan-jalan ke sana sekalian. Akhirnya, rencana pun diubah menjadi jalan-jalan lalu makan di daerah sana.
Aku menjemput Grace di rumahnya, lalu berangkat menuju jalan arah bandara juanda (tbh aku nggak tahu nama jalannya). Setelah beberapa saat menikmati pemandangan hijau-hijau, kami berangkat menuju alun-alun. Melalui perempatan gedangan yang selalu macet dan penuh dengan truk besar, lalu melaju lancar sampai tujuan.
“Kamu berapa kali ke alun-alun?” tanyaku begitu tiba di parkiran.
“Jujur saja ini baru pertama kali aku ke sini,” jawabnya tertawa ringan.
“Waaw, kamu anak Surabaya* sih,” balasku bercanda.
*Sebagai orang yang tinggal di daerah Sidoarjo yang berdekatan dengan Surabaya, aku lebih sering memperkenalkan diri sebagai orang Surabaya*
Kamu masuk ke alun-alun, yang ternyata tidak sehijau apa yang kuingat. Cahaya matahari masih menembus kulit tanpa tertutup awan. Kami berkeliling ke arah selatan, sebelum memutuskan duduk di tempat ayunan.
Kami duduk sambil mengayunkan diri. Kebetulan, posisi ayunan terlindungi dari sinar matahari oleh bayangan pohon besar. Lalu, tibalah waktu untuk bercerita macam-macam. Grace bercerita tentang pengalaman koasnya yang cukup berat. Sehari-harinya berkutat dengan koas-makan-koas-tidur.
Grace bercerita banyak dokter di tempatnya yang berperilaku tidak menyenangkan. Sehingga cukup sering Grace dan teman koasnya harus hidup penuh tekanan. Tidak jarang marah dan kekesalan harus mereka terima. Ada teman koas Grace yang pernah salah dalam menyambut dokter dengan sebutan “Pak”, bukan “Dok” seperti yang diharuskan. Dokter tersebut langsung memarahinya di depan banyak orang dan meminta supaya teman koas Grace itu dihilangkan dari sudut pandangnya.
Ketika sedang bertugas, ada dokter yang selalu menanyakan ini-itu kepada anak koas. Salah sedikit, akan langsung mendapat konsekuensinya. Sebenarnya, kalau melihat dari sisi dokter dan umum, aku bisa memahaminya sih, mengingat dokter harus bertanggung jawab penuh atas kesehatan pasien. Namun, karena aku mendengar dari sisi Grace selaku koas, rasanya tetap menyedihkan juga.
Grace sendiri pernah mendapat perlakuan itu. Ketika sedang bertugas memeriksa telinga seorang pasien, Grace mendapat seorang pasien yang sensitif akan bagian tubuhnya. Sehingga, setiap kali Grace akan memeriksa, pasien itu akan merespons dengan penolakan (sebagai sesama orang yang sensitif, aku sangat relate dengan pasien tersebut ‘-‘ ) yang mengakibatkan pemeriksaan berjalan lama. Dokter yang bertugas pun menganggap bahwa kelamaan pemeriksaan adalah hasil dari ketidakbecusan Grace dalam memeriksa pasien. Akhirnya dia menekan Grace tepat di hadapan pasien, dan meminta supaya teman koas yang lain menggantikan Grace.
Kalau mau seimbang, pasti ada dokter yang baik dan menyenangkan. Namun, sepertinya tujuan utama Grace bertemu denganku adalah untuk menceritakan hal-hal negatif yang disimpannya. Aku sih tidak masalah. Bahkan aku senang mendengarkan cerita baik maupun buruk orang lain. Hingga tiba di suatu cerita yang tidak kuduga sebelumnya.
“Aku udah nggak kuat lagi. Mau menyerah saja. Rasanya seperti nggak bisa terus berjalan, tetapi putar balik juga nggak mungkin. Aku nggak sepintar teman-temanku yang lain, aku nggak tahu bisa jadi dokter atau nggak. Menurutmu, aku harus gimana?”
Aku terdiam. Duh, aku tidak menyiapkan jawaban apa-apa tentang ini. Masalahnya, jawaban ‘kamu pasti bisa’ dan semacamnya pasti sudah banyak diterima oleh Grace dan tidak membantunya. Sedangkan jawaban ‘menyerah saja’ tentu bukan jawaban yang bisa kuberikan mengingat dia sudah sejauh ini melangkah.
Grace bercerita bahwa kedokteran bukanlah jurusan yang dia inginkan. Dia lebih senang berkutat dengan dunia matematika dan seni. Pilihan utamanya adalah arsitektur dan desain komunikasi visual. Grace memilih jurusan kedokteran atas dorongan orang tuanya.
Kini, Grace berada di persimpangan yang tidak menentu. Lanjut dokter, tetapi tidak ada semangat dan [menurutnya] kemampuan ke sana. Pindah jurusan, harus mengulang semuanya dari awal. Harus bagaimana?
Kalau boleh jujur, jawabanku sangat tidak memuaskan. Aku hanya memberikan beberapa penjelasan ulang tentang situasi yang sedang Grace alami saat ini, memberikan alasan dan konsekuensinya apabila memilih keputusan tertentu, dan memberikan satu-dua kata motivasi kepadanya bahwa aku paham kondisi Grace dan sangat kagum dengan dirinya yang mampu bertahan sampai sekarang.
Aku kecewa karena merasa tidak bisa memberikan jawaban yang tepat bagi Grace. Mungkin, Grace lebih kecewa karena dia berharap akan mendapat jawaban yang berbeda dari yang selama ini dia terima.
Berkat pertemuan dengan Grace hari itu, aku jadi membuka pandangan baru. Orang seperti Grace yang sebelumnya selalu kuanggap sebagai orang yang sempurna, punya struggle tersendiri yang mungkin tidak akan dipahami oleh banyak orang. Jika biasanya orang begitu mendambakan keberuntungan, Grace malah membencinya karena dia merasa bisa sejauh ini hanya karena keberuntungan.
“Aku hanya beruntung. Bagaimana jika situasinya berbeda? Aku tidak percaya bisa melewatinya.”
Aku mengerti. Dalam diriku, aku percaya bahwa itu bukan keberuntungan belaka, pasti ada usaha dan kemampuan yang dipunya. Jika suatu hari keberuntungannya pergi, aku percaya dia masih bisa berdiri sendiri.
Akhir cerita, aku harap Grace bisa berjuang sebaik mungkin. Aku tahu Grace bisa, dan aku percaya Grace akan kuat menghadapinya. Semangat! :)
0 notes
Text
trust issue dan hubungannya sama solitude.
Imagine, betapa kepengennya ada orang di sisi lo tapi lo sendiri step back dan udah nerka bahwa ‘udah deh kejadian lagi, ni orang ga bakal mau lama-lama sama gue, mau seberapa effort gue mempertahankannya.’
Dari dulu, permasalahan sosial gue yang paradoks ya kayak gini. Especially di pertemanan, love life gue juga sampai sekarang mungkin masih ada sedikit karena sisa luka masa lalu yang bikin gue terkadang berpikir kayak gini.
I was born as an only child. Ga pernah punya teman main sampai SMP. My highschool life was a nightmare. Udah terbiasa ditinggal orang tua kerja, satu-satunya temen gue cuma bibi dan keong yang gue beli di abang-abang yang kalo dikeluarin harus di ‘hah’-in dulu.
Dengan saking sendirian dan kesepiannya gue di masa kecil, sekalinya gue diterima sama satu dua-orang atau bahkan satu circle itu sebuah achievement yang luar biasa sih. Karena pada saat itu gue udah nggak mentingin prestasi diri sebagai pencapaian, tapi gimana caranya gue bisa berhasil fit in di suatu kelompok.
Tapi nggak pernah bertahan lama. Ada aja yang menjauh dengan cara yang nggak enak dan membuat gue bertanya-tanya, mostly nggak enak sih. Entah karena gue selalu kurang di mata mereka atau gimana. Selalu gue tanya sama orang terdekat dan ortu tentang ini dan jawaban mereka “mungkin di kamu nya yang salah, mungkin kamu kurang begini begitu.”
“Emang gue seburuk itu kah? Salah dan se-kurang itu kah sampe orang lain itu stab my back dan treat me like I dont exist?” itu yang selalu muter di otak gue. I’ll try my best to correct myself, introspeksi diri dan berusaha memperbaiki diri, ngasih semua yang gue bisa kasih biar gue diterima dan mereka nggak ninggalin gue.
Tapi itu nggak ngubah apapun. Selalu aja ada hal yang salah dan kurang di mata orang lain. Mungkin karena gue nggak berguna lah, nggak punya privilege apa-apa yang bisa ngasih kemudahan buat orang lain. Meskipun, dalam pov diri sendiri gue udah berusaha semaksimal mungkin untuk berbuat baik dan nggak melukai hati mereka.
Setelah itu, gue nggak akan pernah percaya lagi sama orang lain lagi. Gue nggak mau berharap terlalu banyak, dan expect for the worst case only. Menerima konsekuensi terburuk seperti yang pernah gue alami sebelumnya, karena emang lebih banyak konsekuensi buruk dibandingkan baik yang hadir di hidup gue.
Gue nggak bisa terlalu percaya sama orang lain, karena mereka sewaktu-waktu bakal ninggalin gue ketika udah habis manis sepah dibuang, ketika gue udah nggak ada manfaatnya buat mereka. Friends come and go, walaupun gue akan terus berusaha ngasih yang terbaik buat mempertahankan pertemanan sampai waktu yang lama. But nothing to lose.
Padahal, satu sisi gue berharap banget at least ada satu orang yang bisa nemenin gue dan gue juga bisa begitu sebaliknya.
Sakit nggak bayanginnya? Banget. Sangat sakit bahwa lo harus menerima kalau lo cuma bisa ngandelin diri sendiri dan nggak ada orang yang bakal stay terus sama lo. Sangat sakit rasanya ketika lo harus bersahabat dengan kesepian dan kesendirian, meskipun itu adalah musuh bebuyutan lo yang udah membersamai lo sejak lahir. Sakit rasanya kalau di titik tertentu lo butuh bantuan tapi lo nggak tau mau reach out ke siapa. Because the fact that they don’t need you and you don’t wanna burden them either. Lo cuma punya diri sendiri dan Tuhan yang bisa lo andalkan
Tapi balik lagi, kalo nggak ada mereka gue harus bisa bertahan hidup sendiri. Gue akan tetep terus bantuin orang lain siapapun itu, tapi kalo emang mereka nggak mau bantu dan menemani lo yaudah nggak maksa dan nggak ngerepotin orang lain. Prinsip hidup gue yang gue pegang teguh: jangan jadi orang yang hidupnya ngerepotin orang lain.
Jadi, itu lah trust issue gue terhadap komitmen orang lain ke gue. Ya, kenyataan pahit yang cuma bisa gue telen dan gue jalan terus. Gue harus bisa belajar rely on myself more.
2 notes
·
View notes