Text
Selamat Tinggal
Rasanya berantakan.
Sebelumnya kamu sudah pernah merasa seperti ini.
Kebingungan tanpa arah, tangis tanpa sebab, gemetar pada tubuhmu sendiri tanpa kontrol…
“Hormon,” begitu pasti pikirmu.
Ya, memang benar.
Hormon bangsat.
Hal seperti ini memang sewajarnya terjadi.
Hanya saja mungkin seharusnya di keadaan yang lebih baik dan stabil.
Kamu… atau kalian hadir. Aku senang dengan kehadiran kalian, walau singkat dan tanpa bekas.
Sungguh, aku senang.
Tapi selain aku, kalian tidak disapa kebahagiaan dan senyum dari semua orang.
Pada akhirnya… kalian pergi dan mengucap pamit.
Semua berantakan.
Dirimu berantakan.
Dan kamu sedang bersusah payah membenahi semuanya.
Satu demi satu, perlahan.
Sambil dirimu terus bertanya-tanya, berkali-kali, hingga telinga dan kepalamu sendiri lelah mendengarkannya.
“Untuk apa kehidupan itu?”
1 note
·
View note
Text
Selamanya Terekam di Bawah Lantai Dansa
Aku baru ingat betapa cokelat warna bola matamu ketika jarak terkikis di antara kita. Di suatu ruangan dengan lantai bergetar karena gegap gempita banyak manusia ibukota, kita bertemu kembali.
Di kepalaku hanya ada satu hal, aku ingin sekali mempertemukan kembali rindu yang ada di antara kita berdua setelah tiga tahun lamanya.
Air mata menggenang di sudut matamu ketika kita saling bertukar kecupan. Sementara gemuruh di dadaku bergetar sama kencangnya dengan bunyi musik di klub dansa lantai atas ruangan kita berpelukan.
Air matamu dan milikku bertemu. Saling bertukar kisah tentang apa saja yang terjadi selama kita saling melaju di dua jalan berbeda.
Momen ini jadi milik kita berdua. Terdengar klise tapi sungguh jika aku bisa menghentikan waktu, maka aku buat kita tidak akan pernah berpisah dari situasi ini.
Ketika masa kini dan momen ini memudar, yang kita miliki hanya memori dalam kepala yang terekam selamanya.
Desahmu dan desahku jadi satu.
Lagi.
Dan tak akan pernah kembali.
Lagi.
—
Again This couldn't happen again This is that once in a lifetime This is the thrill "divine"
What's more This never happened before Though I have prayed for a lifetime That such as you would suddenly be mine
Mine to hold as I'm holding you now And yet never so near Mine to have When the now and the here disappear What matters, dear, for when This doesn't happen again We'll have this moment forever But never, never again (never, never) We'll have this moment forever But never, never again (never, never)
#np Again, Doris Day
10 notes
·
View notes
Text
Bermain Waktu dengan Tuan Api
Tiga puluh menit.
Oh, bukan.
Ternyata sudah satu jam aku menunggu dan laki-laki itu belum juga tiba. Pesan terakhir yang dia kirim hanya berisi titik lokasi di aplikasi chatting. Lokasi di mana dia berada sekarang.
Aku menyeruput minumanku setengah tidak sabar, lalu membuka laptop dan mulai bekerja untuk mencari distraksi dari waktu yang terus berjalan.
“Apa mungkin dia tidak jadi datang?”
“Apa mungkin dia tidak tertarik denganku?”
“Apa mungkin dia salah pilih jalan?”
Aku bergumul dengan isi kepalaku sendiri, sementara pekerjaan yang sudah kuselesaikan dari tadi siang melihat ke arahku kembali dengan rasa prihatin. Sudah tidak ada yang perlu dikerjakan. Proses menunggu ini jadi semakin membuatku cemas.
DING!
Sebuah pesan masuk berisi foto yang diambil depan lokasi janjian kami.
“Sudah di bawah,” katanya, “masuknya dari mana?”
“Coba tanya satpam saja,” balasku.
Isi kepalaku jadi makin tidak karuan. Dari yang tadinya aku kira dia tidak datang, sekarang justru penuh memikirkan aku harus memasang wajah seperti apa untuk bertemu dengannya.
“Apa ini terlalu cepat ya?” ujarku pada diriku sendiri.
Aku baru berkenalan seminggu dengan laki-laki ini--aku memanggilnya Tuan Api atau Tuan Vulkan, mana saja yang lebih mudah untuk dibaca--dan kami berkenalan melalui dating apps yang sedang populer di kalangan anak muda sekarang. Menulis kalimat sebelumnya sungguh membuatku merasa malu karena sebetulnya aku tidaklah muda lagi.
Pintu restoran terbuka dan kamu muncul dari sana. Seseorang yang selama seminggu terakhir ini sering berbincang denganku melalui chat. Yang sering becanda gurau dan ikut meramaikan INTERNATIONAL CAPSLOCK DAY seharian bersamaku.
“Ternyata kamu nyata,” pikirku sambil melihat tanganmu menarik bangku yang ada di depanku dan duduk di sana.
Ternyata kamu nyata dan ada. Bukan laki-laki fiksi dari game otome yang biasa kumaikan di waktu senggang.
“Macet banget ya?” aku membuka percakapan
“Lumayan, tadi aku berhenti di halte Blok M lalu lanjut ke sini naik gojek. Padahal ternyata bisa pakai MRT ya.”
Dia membuka masker yang menutupi setengah wajahnya. Sementara itu aku dan perasaanku yang membuncah memilih untuk berpura-pura kerja dan menutupi wajaku sendiri dengan layar laptop.
Degup jantung ini tidak bisa bohong.
Degup jantung ini ada, dan kamu penyebabnya.
--
Hal yang selanjutnya terjadi adalah dia banyak bercerita tentang dirinya sendiri dan aku tentang diriku sembari menyantap makanan yang sudah disuguhkan. Tepat pukul 11 malam, aku mengajaknya pergi ke ruang kecil berbentuk kamar hotel untuk melanjutkan perbincangan.
Aku duduk diam di atas kasur sembari mengamatimu. Kamu si Tuan Api, si perancang banyak hal, dengan sibuk melihat bentuk kamar mandi yang ada di ruangan itu, menyentuh keramik-keramiknya dan kadang berkacak pinggang memikirkan hal-hal yang kemungkinan besar tidak akan pernah aku mengerti.
“Ini kenapa ada sekatnya gak penting gini aku masih gak ngerti,” ujarnya sambil menunjuk hal yang ia pertanyakan. Aku hanya mengangkat bahuku sambil menggelengkan kepala. Kalau kamu saja tidak tahu, apalagi aku?
Satu-satunya hal yang aku tahu di sini adalah aku sedang berdua di dalam suatu ruang kecil dengan Si Tuan Api yang baru pertama aku jumpai. Rasa berdebar itu masih ada.
Berdebar.
Seperti ditempa oleh pembuat senjata.
Ditempa saat dirimu masih terbakar dan berwarna merah panas.
Terus ditempa sampai akhirnya lelehannya terbentuk suatu hal yang menurutku tidak asing lagi.
Bagaimana bisa aku tidak mengenali bentuk hatiku sendiri?
Aku, jatuh hati pada Si Tuan Api bahkan sejak pertama kami bertemu.
Apakah hal ini mungkin?
Ini baru beberapa jam setelah kami bertemu. Tapi perasaanku tidak pernah bohong.
Sang Waktu pasti sedang menertawakanku saat ini.
“Dasar bodoh,” ujar Sang Waktu, “bisa-bisanya perempuan ini langsung mengakui bahwa ia menaruh rasa pada Si Tuan Api, laki-laki pertama yang ia temui sejak ia mulai bermain aplikasi pencari pasangan itu sejak 2 minggu lalu.
“Apakah ini nyata?”
“Apakah rasa berdegup di dadaku ini sungguhan?”
“Apakah benar ada percikan yang muncul saat pertama kali bibir kami saling bertemu?”
“Akankah ada waktu lain di mana kita bisa bertemu seperti ini lagi di masa mendatang?”
Sang Waktu kembali tertawa mendengar pertanyaan bodohku. Si Tuan Api juga tertawa karena ternyata dia juga mendengar apa yang kukatakan sedari tadi.
“Nanti kita tentu bisa bertemu lagi. Masih ada banyak sekali waktu di dunia ini untuk kita nikmati bersama-sama. Tenaaaaaang sajaaaa”
Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya berusaha keluar dari isi kepalaku yang penuh dengna ketidakpastian dan proyeksi masa depan yang belum jelas.
“Baiklah. Nanti kita harus bertemu lagi. Aku masih ingin ditemani. Bolehkah?”
Kamu mengangguk dan menutupnya dengan peluk.
Si Tuan Api pasti tahu, bahwa degup jantungku masih berdebar dengan sangat cepat.
Sangat... cepat.
Cepat.
Cepat.
Mungkin jika benar akan ada waktu lain, aku akan bisa lebih belajar untuk mengedalikannya.
--
Teruntuk Abednego, terima kasih sudah datang.
1 note
·
View note
Text
Bukan Sulap Bukan Sihir
Aku terlahir dalam keluarga yang biasa saja. Setidaknya itu yang mungkin kamu lihat dari luar. Tapi ada satu rahasia yang kubawa dalam darah di tubuhku. Keluargaku bisa menghilang.
Jangan bilang siapa-siapa soal ini. Justru bukan karena ini hal yang penting, melainkan karena kekuatan menghilang yang aku dan keluargaku miliki bukanlah hal yang patut dibanggakan.
Semua berawal pada tahun 1965, waktu pada tetangga di desa Kakek menggedor rumah tua tempat ayahku dan keluarga kecilnya tinggal. Kakek adalah orang pertama di keluargaku yang melakukan atraksi hilang. Ia diseret para tetangganya sebelum diserahkan pada sekelompok tentara dan dibawa, entah ke mana. Ayah yang bercerita tentang masa kecilnya hanya ingat bahwa semua orang menunjuk-nunjuk ke wajah renta Kakek sambil berteriak bahwa ia antek pengkhianat.
Malam itu Kakek hilang dari desanya. Tidak ada yang banyak berkomentar tentang atraksi hebat yang ia lakukan. Tapi, semua orang tahu ia sudah tidak ada.
Kemudian, giliran Nenek yang melakukan atraksi. Malam hari ketujuh setelah Kakek selesai melakukan trik sulapnya, Nenek menghilang tanpa jejak. Kabar tersiar dari desa-desa tetangga bahwa pada malam-malam tertentu, kalian dapat melihat seorang nenek-nenek berkain batik yang berjalan tergopoh-gopoh keliling desa, menanyakan ke mana suaminya pergi pada setiap orang yang ia temui.
“Apa sampeyan ndeleng bojoku?”
“…”
“Apa sampeyan ndeleng bojoku?”
“…”
“Apa sampeyan ndeleng bojoku?”
“…”
Jika nenek bertanya tiga kali dan orang itu masih belum merespon, maka ia akan diajak nenek pergi bersamanya. Tidak pernah kembali lagi ke rumah dan bertemu keluarga mereka.
****
Tiga puluh tahun kemudian, Ayahku berhasil meraih mimpi membangun perjalanan keluarga barunya. Menggantikan keluarga aslinya yang sempat hilang. Nahas, ternyata bakat menghilang mendarah daging dalam Ayahku dan keturunannya.
Tiga tahun lalu, giliran kakak perempuanku yang melakukan atraksi. Ia seorang dokter muda, manusia yang kelewat baik tanpa sadar bahwa itu berbahaya untuk dirinya sendiri. Saat sedang mengabdi di desa sebagai tenaga medis, ia dan bantuan beberapa pemuda desa dipaksa melakukan atraksi diam-diam. Berlatar sebuah gubuk reyot dalam hutan di pinggir desa, kakak perempuanku melakukan atraksi menghilangkan daranya.
Tiga harus penuh ia tak bisa dikontak, membuat satu desa khawatir akan kepergiannya yang mendadak. Ia lantas ditemukan oleh Ibuku di pekarangan rumah dalam keadaan tak sadarkan diri. Ternyata ia berjalan kaki pulang ke rumah, penuh air mata dan memar di wajah serta rembesan darah kering di sekitar pahanya. Melihat hal ini, Ibuku lantas berinisiatif untuk ikut melakukan atraksi. Sejak kepulangan Kakakku, setiap hari ia menangisi anaknya yang dipaksa melakukan atraksi terlarang oleh para bedebah. Perlahan tapi pasti, Ibu mulai kehilangan akalnya. Ia kehilangan dirinya, Ayahku kehilangan istrinya, dan aku kehilangan seorang Ibu.
Ayam murka, tak terima dengan nasib yang ia dapatkan. Berbekal secarik kertas yang ia peroleh dari kawan lamanya di desa, ia pergi berguru ke orang pintar yang tinggal di kaki gunung Slamet. Ayah tidak banyak bicara sebelum pergi. Satu hal yang aku ingat; dia tidak bisa mengatakan kapan ia akan pulang atau apakah ia dapat pulang sama sekali ke keluarganya ini.
Lima bulan berlalu, dan selama itu pula aku yang harus bersusah payah mengurus kedua perempuan yang sekarang hidup bersamaku di rumah. Suatu hari aku mendapatkan pesan singkat dari Ayah. Ia berkata tidak akan pernah bisa pulang ke rumah. Tapi, ia berjanji akan terus mengirimkan uang untuk mengurus keperluan rumah. Usut punya usut, ternyata Ayah ikut melakukan atraksi.
Berkat atraksi ayah, tersiar kabar bahwa beberapa pemuda tewas mengenaskan di desa dengan berbagai macam cara yang ganjil. Sayangnya, sejak saat itu pula aku kehilangan seorang Ayah. Ia tenggelam dalam hal-hal gaib, dan tak pernah terlintas di benaknya keinginan untuk berputar balik.
Sekarang, Ibu masih sering berbicara sendiri di dalam kamarnya, sementara Kakakku masih lebih sering mengunci mulutnya. Walaupun bisa dibilang kehidupan kami membaik, tapi semua ini masih terasa begitu sial dan tak adil.
Kenapa semua orang bisa melakukan atraksi mereka sendiri-sendiri, tapi aku tidak? Aku juga ingin memberikan atraksi hebat supaya bisa disaksikan semua orang. Melanjutkan warisan keluargaku agar tidak hilang ditelan waktu. Maka dari itulah, aku berdiri di sini. Dengan kamu, pembaca surat yang kutulis ini, sebagai penonton atraksi perdana yang akan aku lakukan.
Sudah siap? Atraksi ini tidak bisa kuulangi lagi, jadi kamu harus memperhatikannya dengan seksama.
“Bukan sulap, bukan sihir,” bisikku pada diri sendiri, sebelum akhirnya melompat dari atap gedung perkantoran di tengah kota.
Lihat aku. Saksikan kehebatanku. Sekarang giliranku memamerkan atraksi terakhir: redam dan menghilang dari dunia.
1 note
·
View note
Text
Kalibut di Ibukota
Pada suatu waktu, dikabarkan bahwa dunia akan kiamat esok hari.
Permasalahannya adalah, sejak kemarin, hari esok tidak pernah hadir. Setiap hari semua orang terbangun di malam hari dan tidur di pagi hari. Semua waktu berjalan mundur dan tidak ada yang berkomentar apa-apa karena mereka semua menganggap hal tersebut normal, entah sejak kapan. Mungkin sejak besok.
Hal yang paling menyebalkan dari ini semua adalah, aku tidak merasa seperti itu. Bagi diriku yang sadar bahwa waktu berjalan mundur dan esok tidak akan pernah datang, adaptasi merupakan hal yang sulit. Aku hanya sendirian ketika menyadari bahwa dunia berputar ke arah sebaliknya. Matahari kini selalu terbit dari barat dan tenggelam di ufuk timur. Yang dulu kita kenal sebagai matahari terbenam, berubah menjadi terbit. Selama 72 jam pertama yang terasa seperti selamanya, aku perlahan mulai beradaptasi dengan kegilaan ini.
Kehidupan sehari-hari tidak pernah sesulit ini sebelumnya. Aku tetap terbangun di pagi hari dan mendapati bahwa matahari yang seharusnya terbit kini tenggelam dan aku harus bertahan dalam gulita selama beberapa jam sampai akhirnya ibukota kembali hidup pada pukul sembilan malam, kemarin. Kini semua orang menyantap makan malamnya sebagai pembuka dari keseharian mereka. Mereka bekerja di malam hari dan pulang keesokan harinya di pagi hari. Peran sarapan kini menjadi santapan penutup di pagi hari, sebelum akhirnya mereka terlelap dan memulai hari mereka lagi. Di hari kemarin.
Hal ini membingungkan untuk diriku dan sungguh merepotkan, karena saat aku terjaga di malam hari tidak banyak yang bisa kulakukan, sementara di siang harinya rasa kantuk selalu menyerang tanpa ampun. Semua candaan dan gelak tawa sudah pernah kudengar sebelumnya. Semua pekerjaan dan kegiatan yang kulakukan setiap harinya adalah yang pernah kulewati. Mendapati bahwa semua pekerjaan biasanya akan aku selesaikan besok membuatku pusing bukan kepalang. Kini yang kulakukan setiap harinya adalah mempreteli pekerjaanku yang sudah selesai, mengulang kembali meeting bersama para kolega yang selalu diakhiri dengan pertanyaan apa yang kita lakukan di esok hari.
Dengan susah payah aku juga harus beradaptasi dengan kehidupan sosialku. Orang-orang yang dahulu kuanggap paling terkasih kini perlahan menjadi orang-orang asing yang belum pernah hadir dalam hidupku dan bahkan tidak mengetahui eksistensiku. Aku menghela napas sembari melihat kalender yang tertempel di dinding meja kerjaku. Kemarin aku akan bertemu untuk pertama kalinya dengan kekasihku. Selanjutnya ia tidak akan lagi mengenal wajahku. Ia tidak akan merasa kehilangan. Tidak akan merindukan. Tidak akan pernah sadar bahwa selama setahun ke depan akan ada banyak hal yang kami lakukan bersama. Satu lagi orang yang kusayang akan pergi. Satu lagi alasan aku merasa semakin sendirian di tengah kalibut yang seperti tidak ada habisnya di ibukota.
Kini semua orang beranjak muda. Kucingku yang telah aku kubur pasti sedang merekonstruksi komponen tubuhnya perlahan-lahan. Cacing-cacing dan belatung memuntahkan isi perut mereka untuk membantu membentuk kucing oranye yang pernah aku tangisi kepergiannya. Aku merasa senang sekaligus takut. Pertama kali aku mengetahui bahwa makhluk hidup yang telah mati akan bangkit kembali selama waktu berjalan mundur adalah saat aku mendengar kabar bahwa tetangga sebelah rumahku yang 2 bulan ke depan meninggal ternyata sudah beraktivitas lagi seperti biasa. Di rumahnya, bersama keluarganya.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal sama sekali sambil kembali tenggelam dalam pikiranku. Di dalam bus Transjakarta yang berjalan mundur, mengantarku pulang di pagi hari setelah selesai mempreteli pekerjaan pada sore dan siang hari tadi.
“Kira-kira, hal apalagi yang akan aku rindukan dari masa depan, ya?” aku bergumam sendiri sambil perlahan mengingat-ingat kejadian apa saja yang kemarin telah terjadi.
2 notes
·
View notes
Text
Kisah Tentang Tiga Puluh Menit Terakhir
Degup jantung yang berdebar ini tidak mungkin berbohong.
Semua karena kamu.
Semua karena kamu.
Semua karena kamu... dan kita.
“Cinta ini kuberikan untukmu,” ujarmu akhirnya setelah entah berapa waktu yang terlewat saat mata kita bertemu. Aku tidak bisa menghitung waktu yang berjalan. Aku tidak bisa menjawab dan berhenti bersuara. Aku hanya bisa mengangguk sambil memanjangkan lengan untuk menerima cinta yang selama ini kamu simpan rapat di dalam saku kemejamu.
Aku terkejut bukan kepalang karena tidak pernah menyangka cinta di saku kemejamu ternyata seberat itu, tidak seperti kelihatannya.
“Kamu yakin?”
“Ini untukmu, untuk menunjukkan bahwa aku sungguh serius dengan perasaan ini. Bahwa kamu berharga.”
Aku menatap ke dalam matanya yang balas melihatku dengan mata sendu yang dahulu biasa aku curi-curi pandang dari kejauhan.
Dengan beban yang ternyata tidak seperti kelihatannya, sekarang justru aku yang merasa takut untuk mengecewakanmu.
“Kalau ternyata kamu menyesal bagaimana?” tanyaku padanya, “bagaimana jika aku tidak seberharga itu untuk kamu berikan cinta sebesar ini?” isi kepalaku bergumul dan kini aku sedang berdebat dengan diriku sendiri.
Kamu meyakinkan diriku bahwa suara-suara jahat di dalam kepalaku keliru dan memeluk tubuhku dengan perlahan.
Apa yang kamu pikirkan? Rasanya seperti berusaha membelah lautan penuh suara-suara dari kepalamu. Apa yang kamu rasakan? Degup seperti apa yang jantungmu buat saat kamu memberikan cinta milikmu ini?
“Kamu yang pertama...” ujarmu akhirnya.
‘...tapi mungkin bukan yang terakhir,’ sahut isi kepalaku.
Aku benci isi kepalaku sendiri. Ingin rasanya aku menampar wajahku sendiri agar tersadar dan tidak kabur menyusup ke dalam pikiran-pikiran tentang masa depan atau masa lalu.
Aku ingin ada di masa sekarang. Bersama kita. Bersama kamu yang telah menyuguhkan cinta dari saku kemejamu pada tiga puluh menit terakhir yang kita punya--setidaknya untuk hari ini.
Aku terlalu takut melempar pengandaian pada masa depan.
Tapi satu yang pasti, di momen ini, aku menggenggam cinta dari saku kemejamu. Di momen yang akan terekam abadi ini, aku milikmu.
--
“What once was fantasy, is all I’ve ever known”
3 notes
·
View notes
Text
Apakah Bulan Masih Menaruh Rasa Pada Matahari?
Ya, dan entah kapan akan berhenti.
Rasanya seperti sudah bertahun-tahun sejak kita terakhir bertemu.
Tidak. Memang tidak selama itu.
Tapi perasaan membuncah di dada ini tidak mungkin berbohong. Aku masih mencintaimu. Perasaan ini masih milikmu. Kamu. Sang Matahari yang masih dengan sombongnya menyinari semesta kecil bernama Bumi itu--kekasih barumu--sementara membiarkanku sedikit tersinari oleh pancaran cahayamu setiap kali kita berpapasan.
Aku tidak ingin mengakui hal ini tapi sungguh, aku tidak bisa berbohong. Perasaan membuncah di dadaku ini memanggil namamu. Berharap suatu hari gerhana akan tiba dan kita akan kembali dipertemukan.
Bumi tidak tahu hubungan seperti apa yang sebelumnya kita pernah miliki. Seberapa kuat kekuatan yang bisa kita bangkitkan ketika kita bersama. Kamu bisa membuat sebuah planet terbakar sementara aku bisa menguasai pasang laut. Berdua, kita tidak akan tunduk pada apapun.
Tidak sampai suatu hari aku terbangun dan beberapa bagian tubuhku sudah berlubang di sana dan sini. Kamu pergi terburu-buru. Mengira dengan kepergianmu aku akan bahagia dan bisa melaju sendiri seperti biasa. Kamu lupa bahwa sebetulnya aku masih butuh cahaya darimu. Atau pura-pura tidak tahu? Dan menganggapku beban karena selalu bergantung padamu?
Tapi sudah cukup. Aku tidak mau selalu menyalahkan kepergianmu. Sekarang tujuanku adalah mempertemukan kita kembali. Gerhana selanjutnya. Kapan waktu itu akan tiba?
Mungkinkah kelak kamu masih bisa mengingat saat pertama kali aku bertanya apakah aku boleh mencuri kecupan dari bibirmu?
Atau saat kamu sering menggandeng tanganku erat seakan tidak rela untuk melepasnya?
Juga tentang berjuta pelukan erat yang kamu berikan sampai tertidur dengan tenang di sebelahku?
Apakah engkau Matahari yang mahamulia masih menaruh rasa pada sang Bulan yang kelabu ini?
Bisakah kita kembali pulang dan berbagi rasa seperti sedia kala?
Bagaimana cara memenangkan inti matahari di dalam tubuhmu agar mau menyinariku kembali? Bagaimana caraku agar bisa menang dari Bumi yang jelita itu? Sementara aku di sini hanyalah seonggok batu melayang penuh lubang berwarna kelam yang kurang rupawan. Memaki dunia dan membenci eksistensi diriku sendiri.
Apakah kita hanya akan menjadi memori yang dikenang sepanjang usia dan diceritakan kembali pada anak cucu semesta kelak?
---
To the first boy who lit me a flame Does your heart still remember my name?
1 note
·
View note
Text
Aku Melihat Kita di Jalan-jalan Kota
Ada decakan sebal keluar tanpa rem dari mulutku sendiri ketika sadar bahwa ada memori tentang kita di banyak tempat yang kulalui hari ini.
Kita pernah berjalan di tempat ini, pada suatu hari, dan mungkin kamu sudah lupa.
Kita juga pernah menyusuri sudut jalanan ini dan berbagi memori . Berdua, masih dengan cinta yang mendesah dan berdebar dari dada.
Jika menyusuri jalan setapak yang ini, akan ada satu kafe penuh ornamen beruang, tempatmu pernah menemaniku bekerja di suatu akhir pekan.
Di halte bis ini kita pernah saling melepas rindu disambut wajah setengah sebalmu yang aku lupa karena apa. Mungkin karena sebelumnya aku sempat melakukan hal menyebalkan?
Gereja besar yang sedang tutup karena acara dan galeri seni yang pernah kita datangi juga masih utuh pada tempatnya masing-masing. Menolak untuk berpindah dan menghapus memori tentang kita dari dalam kepalaku setiap aku melintas.
Melewati tempat kita bergandeng tangan dan menyeberang jalan saat mengunjungi suatu pasar seni murah karya seniman lokal di balai kota.
Aku juga tak mampu menahan lelah dan menghela napas saat bis kota membawaku melaju melewati museum tempat kita pernah berkencan menelusuri sejarah peradaban manusia sembari bersenda gurau penuh tawa.
Aku bahkan sampai sudah bosan melewati restoran favorit tempat kamu menjadi diam karena senang menyantap makanan yang dihidangkan. Tempat yang sangat dekat dengan stasiun kereta yang sering menemaniku mengantarmu pulang.
Aku melihat kita di jalan-jalan kota. Sementara aku berharap kamu masih sempat menoleh ke belakang dan menyapa segala memori tentang itu semua.
Mungkin ini bisa membantu kepalamu untuk mengingat memori tentang kita lebih baik.
1 note
·
View note
Text
Mencari Semesta di Mana Kita Bisa Bersatu
Mulai dan Berhenti.
Hidup dan Mati.
Awal dan Akhir.
Matahari dan Rembulan.
Putih dan Hitam.
Ada dan Tiada.
Terang dan Gelap.
Oksigen dan Karbondioksida.
Natal dan Moral.
Bertemu dan Berpisah. Tanpa henti.
--
“Gagal lagi. Mungkin bukan di semesta ini.”
“Yak, mari kita ulangi lagi.”
“Lagi?”
“Tentu saja!”
“Sampai kapan?”
“Sampah berhasil. Entah.”
“Tidak lelah? Tidak mau menyerah?”
“Tidak akan pernah!”
0 notes
Quote
Tuhan Sebut Kita Sia-sia
dan Tuhan tidak pernah salah
0 notes
Text
Kau Bukan Lagi Rumah
Hari ini aku kembali bertandang. Kamu mempersilakan masuk, walaupun ternyata sebetulnya aku masih memegang kunci rumah. Tempat kita pernah tinggal. Berdua, saling berbagi rasa dan asa.
‘Kau bukan rumah,’ batinku berulang kali saat kamu memintaku duduk di sebelahmu.
“Apa kabar?”
“Seperti biasa.”
Lalu kita saling diam.
Rumah ini kini terasa asing walau familiar. Lucu rasanya bisa kembali menapaki tempat ini setelah sebelumnya kamu mengusirku keluar tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Aku hanya diberi waktu kurang dari sehari untuk mengumpulkan barang-barangku yang berserakkan di rumah ini. Menjejalkan semuanya ke dalam koper kecil nan usang yang berusaha memberi protes kepada pemiliknya--aku--bahwa dirinya sudah penuh sesak. Aku tidak bisa membawa semua memoriku pergi.
Tidak sempat melakukan kurasi.
Tidak sempat berpamitan.
Tidak bisa memproses seluruh gemuruh perasaan.
Menjadi gelandangan hanya dalam waktu singkat. Berjabat tangan, masih diperbolehkan menyimpan kunci, namun dilarang keras untuk masuk.
Esoknya, ternyata rumah kita sudah hilang tanpa bekas.
‘Kau bukan rumah,’ ujarku lagi di dalam kepala, seperti mantra.
Kamu tersenyum. Mengajak berbincang sembari banyak bernostalgia tentang masa lalu. Dulu furniturnya begini, cat dindingnya pernah seperti ini, ingat sudut di sini? Kamu bilang aku senang menghabiskan waktuku di titik ini memandang keluar jendela setiap sore hari.
Aku mengangguk sambil mengamati semua yang kamu tunjuk. Semua sudah berbeda. Furnitur berbeda, cat yang berbeda, sudut yang sama, tapi kali ini tidak menyambutku dengan baik.
Aku melempar pandanganku ke sekitar hingga akhirnya aku berhenti dan sadar akan sesuatu: rumah ini bukan lagi milik kita. Masih milikmu, hanya saja bukan lagi buatku.
Aku hanya singgah.
Sungguh, aku hanya kamu bolehkan untuk singgah sejenak.
Aku hanya menyewa selama kurang dari dua tahun sebelum akhirnya terpaksa pergi.
Sudah ada orang lain yang tinggal di rumah ini. Bersamamu.
“Penghuni baru?” tanyaku.
Kamu mengangguk, sambil lalu lanjut bercerita tentang masa lalu.
Tanpa sadar mataku sudah basah dengan derasnya air.
Kamu masih lanjut bercerita, sementara aku perlahan merayap keluar tanpa kamu sadari.
"Kau bukan lagi rumah,” ujarku akhirnya.
0 notes
Text
Tempat Favoritku Adalah di dalam Lingkar Pelukmu
Sudah.
Segitu saja.
Aku nyaman.
Hanya sesederhana itu.
Aku bahagia.
Sungguh, jangan bertanya lagi.
Tidak mungkin aku berbohong perihal seperti ini.
Terlebih kepadamu.
Kuulangi sekali lagi.
“Tempat favoritku adalah di dalam lingkar pelukmu.”
Lengah yang kokoh dan kuat. Yang berani melawan saat tertindas.
Lengan yang bekerja dengan keras.
Telapak tangan yang memberi genggam dengan lembut.
Yang menyapu lembut pipiku saat air mata menetes di sana.
Kepal tangan yang meninju dengan keras di setiap latihan-latihan bela diri yang paling kamu sukai.
“Tempat favoritmu adalah di dalam lingkar pelukku?”
Kamu bertanya sambil mengerutkan dahi lalu tertawa setelahnya.
"Aku serius,” begitu ujarku yang disambut dengan senyum milikmu.
Aku ingin selamanya berada dalam lingkar pelukmu. Melindungiku dari lingkar setan di dalam kepala yang selalu membisikkan kata-kata jahat. Aku ingin berlindung di kamu.
Dalam lingkar pelukmu.
Beri aku satu kali lagi.
Satu kesempatan.
Untuk mendapatkan pelukan hangat darimu.
Sekali lagi dan untuk selamanya.
1 note
·
View note
Text
Si Demon
Aturan baru.
Aturan ini, aturan itu.
Harus ini, harus itu.
Tidak suka.
Keteraturan.
Tidak efektif.
Apa ini?
Buang-buang waktu.
Kalian saja lah kalau begitu.
Sana jauh-jauh.
Pergi.
Enyah.
Selamat tinggal.
--
Kamu lagi.
Sudah kubilang kan tak usah datang?
0 notes
Text
Lessons I Got
...from you.
First, love is giving.
It doesn’t have to come back and you may not even think that it’ll come back. But in the end, you give it anyway.
Second, separation is the beginning of growth.
Admit it, life was not meant to be stagnant. Just like a river, it’ll flow. And it has an ending, just like the water from the river will taste the Ocean.
You can’t avoid separation. And that’s why memory is such an important thing to hold.
Third, being sad is okay.
Even though at the moment you loved someone and you loved by someone. It’s okay being sad because OR with someone you loved. It’s okay to be sad. Period. Whatever the reasons, it’s still okay being sad.
You’re a human being too. And sometimes, it is known that human can be sentimental.
Fourth, you only meant to be with yourself.
You can’t own people. Possession is not good for your mind. It’s okay not being together with the one you think you “want”.
They were never yours in the first place. Just like you was never theirs. It’s mutual.
Lastly, a companion is a bliss.
Being cared by someone, especially when you’re in the lowest part of your life was one of the best things that could ever happen. Even if you’re not actually helping with anything, but just being there--present--was more than enough.
Thank you.
For letting me keep giving.
5 notes
·
View notes
Text
Teruntuk Matahari
Mungkin persembahan paling besar dariku adalah memberi kasih sayang, tanpa mengharapkan apapun selain kebahagiaan bagimu.
1 note
·
View note
Text
Kontemplasi Tentang Matahari
Mungkin sebenarnya aku tidak pernah suka padamu.
Mungkin aku hanya menyukai ide tentang keberadaan dirimu. Bahwa kamu ada. Nyata. Eksis di dunia yang sempurna dengan segala ketidaksempurnaannya.
Mungkin... Sebenarnya aku tidak pernah suka padamu.
Mungkin aku hanya menyukai potongan-potongan kecil dari dirimu. Kecil, namun banyak. Hingga hampir menjadi satu dirimu yang utuh. Potongan-potongan kecil seperti puzzle yang harus kucoba susun sendiri sedikit demi sedikit. Menjadi sebuah permainan menyenangkan mencoba menyatukan semua tentangmu.
Mungkin... sebenarnya aku tidak pernah suka padamu.
Mungkin aku hanya menyukai senyum mililkmu. Mungkin tawamu. Atau selera humormu, caramu membuatku tertawa. Mungkin juga kerut di dahimu saat kamu panik memikirkan sesuatu yang belum tentu akan terjadi. Mungkin aku menyukai marahmu. Terhadap sesuatu, apapun itu bentuknya, seaneh apapun alasannya. Mungkin aku menyukai juga saat dirimu sedang tidak menjadi kamu. Saat ada rasa lain yang kamu berikan ketika kamu bermain peran.
Tapi... mungkin aku hanya menyukai ide tentang menyukai seseorang. Dan kebetulan--serta sialnya--saat ini, seseorang itu adalah kamu.
Mungkin... sebenarnya aku tidak pernah suka padamu.
Mungkin aku hanya menyukai caraku menyakiti diri sendiri dengan hal-hal yang tidak pasti.
Kita.
Tidak mungkin terjadi.
Setidaknya... tidak di semesta yang ini.
Mungkin.
3 notes
·
View notes
Text
Gelora Renjana Satu Arah
Semua tentangmu selalu kuasosiasikan dengan Renjana. Rasa hati yang kuat, entah itu rindu, cinta kasih, birahi, lainnya. Entah. Sebanyak itu, mungkin benci juga termasuk di dalamnya. Aku tidak pernah tahu.
Renjana.
Renjana.
Renjana.
“Bagaimana mungkin kamu bisa tetap menyukai seseorang walaupun tahu kalian tidak akan pernah bisa bersama?”
“Renjana,” jawabku.
“Itu namanya bodoh,” ujarnya, “bodoh dan keras kepala,” lanjutnya.
Aku membalasnya dengan hening.
“Kamu bahkan tidak mengetahui apa perasaannya terhadapmu. Iya, kan?” tanyanya.
“Tidak perlu. Cukup seperti ini,” jawabku.
“Betul kan apa kubilang tadi? Bodoh dan keras kepala.”
“Renjana.”
“Terserah.”
“Renjana.”
“Iya.”
“Renjana.”
“Diam.”
“Renjana.”
Teruntuk kamu, terima kasih masih mengizinkan renjana ini bergelora.
1 note
·
View note