"This too, shall pass..." A. Arfrian | @aarfrian [email protected]
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Kuat jika Dihadapi Bersama
oleh Arci Arfrian untuk pernikahan Ageng dan Fitri.

TERHITUNG, sudah tujuh tahun sejak pertemuanku dengan Fitri dan kemudian bertemu Ageng pada tahun 2019. Cukup intens bertemu pasangan ini pada tahun 2021 saat saya, Faris dan Reyhan mengelola Podcast Ora Gol dan nonton bareng sepakbola di Radio Buku (RB).
Terkadang, kami bertiga dengan ringan membicarakan hubungan Ageng dan Fitri. Yang terkesan jauh dari kata romantis, tanpa public display of affection (PDA), dan terheran-heran sebegitu kuatnya keduanya saling menatap laptop seharian di pojok belakang Radio Buku Sewon--tanpa mengusap rambut atau pipi satu sama lain, misalnya.
Jika bosan mendesain cover buku, Fitri hanya sibuk dengan kucing-kucingnya, makhluk aneh yang bikin saya sebal karena gemar gigit jempol kaki orang secara serampangan–mungkin itu cara PDA mereka (?).
Sementara Ageng, saat itu larut dalam tugas-tugas nirlaba menerjemahkan teks Bahasa Inggris untuk blognya–kapan lagi kau lakukan ini, Geng?.
Ada tiga kucing yang pada akhirnya jadi "anak" Fitri dan Ageng. Saya lupa nama mereka, tidak penting. Yang paling saya ingat adalah kedatangan pasangan ini ke RB, malam-malam, hujan, berboncengan Supra, klebus, hanya untuk memberi makan tiga kucing berandal itu. Dalam hati saya: malang betul jadi budak anabul.

MALAM ITU, saya menyadari jika komunikasi yang menghubungkanku dengan Ageng adalah perihal film. Sayangnya, saya baru mengikuti Klub Nontonn (dengan dua n) saat RB sudah berada di Nitikan.
Film Budi Pekerti kami diskusikan hingga larut malam. Perihal Animalus, beracunnya cancel culture, dan soal cara keluar dari lingkungan beracun adalah dengan meninggalkannya.
Meski pada akhirnya keluarga Bu Prani harus pindah ke Salatiga--dan ini bukan soal kekalahan, bukan pula penyesalan. Mereka kuat karena tetap bersama.
Kata-kata "kuat jika dihadapi bersama" ini kemudian saya ingat kembali saat Ageng berkomentar di postingan Instagram pernikahan Erika dengan Rimbawana.
Dan, ketika Ageng dan Fitri menikah pada November 2023 ini, Erika di Story IG-nya mengembalikan kata-kata tersebut "kuat jika dihadapi bersama/berdua". Seperti sebuah tantangan sekaligus berkah doa.
Soal menikah, kata Faiz Ahsoul: “Menikahlah bagi yang belum, setelah itu kau akan tahu rasanya menemui masalah (lagi)”. Sementara kata Muhidin M Dahlan, hanya: “Begitu”.
Mungkin, rasa berbagi kasur tiap malam, bertahun-tahun, dalam status pernikahan ya begitu-begitu saja. Kalian bisa menuliskannya, memaknai masalah, berhalaman-halaman, tanpa ada batas waktu.
Saya tak muluk-muluk untuk mengharapkan sebuah pernikahan akan terus langgeng pada seseorang, seperti satu ketetapan alam ikatan pelangi dan hujan.
Namun, sulit menemukan penyangkalan pada keindahan hujan dan pelangi jika bersama. Kalian kuat jika bersama. Pun jika tidak, baca lagi catatan kecil ini.[]
1 note
·
View note
Text
Malam 27 Juni

Seharian, aku tak bisa bekerja dengan baik. Di hari ulang tahunmu 27 Juni ini, aku masih memproyeksikan sebuah hubungan yang akrab, dengan percakapan yang hangat.
Tapi, kemudian, kutahu, berangsur-angsur, waktu membuatnya aus. Tidak ada kata, ucapan, meme, video Reels IG lagi yang kudapat darimu.
Tak ada surat cinta (online) yang bisa dibaca lagi.
Sebenarnya, aku ingin memberimu postcard. Dengan ada gambar karikatur kita. Namun, aku mengurungkan niatku yang terkesan norak itu. Ada keraguan dan ketakutanTogamas. Aku tak ingin melihatmu menangis lagi ketika bertemu denganku.
Aku masih ingat, ketika kau berusaha tak meneteskan air matamu tepat di hadapanku. Saat itu kita berdua ada di sebuah kafe yang kita pilih secara acak. Di kafe yang sepi dan terkesan tak terawat dengan baik.
Kau menawariku makan bakmi kuah di sana. Enak. Di penghujung hari itu, di kafe belakang Togamas, kita sepakat untuk berpisah. Atas kesalahanku.
Yang jelas, aku pulang dengan menangis. Menyesali apa yang telah kuperbuat. Sepanjang jalan Gejayan - Magelang - Bantul aku berteriak 'arrgghhh' kenapa ini bisa terjadi?
"It was dark and stormy night."
Malam terasa gelap dengan mendung menggantung di atas kepala kita.
Kemudian, kita hampir bertemu di FFD. Dalam keadaan pusing, minum obat penenang, aku ke sana. Aku melihatmu dari bangku belakang. Dan itu menjadi terakhir kalinya. Aku tak pernah melihatmu lagi, baik secara nyata maupun layar kaca.
Jelas aku merindukanmu. Aku masih mengingat tanggal lahirmu, ketoprak Jakarta makanan paling kau nikmati, Elephant Kind yang kau dengarkan, hingga secuil apa yang terjadi dalam masa kanak-kanakmu. Jika bisa melipat waktu, aku akan tetap ingin tahu tentang dirimu.
Selamat ulang tahun, Safira. Atau Jennifer, nama yang kau beri ke barista di kafe manapun. Panjang umur dan bahagia di tumpukan hari-hari penuh gairah.
NB: Jika kau membaca surat online ini, artinya kau harus traktir aku minum teh hangat tanpa gula. Gak mau tau!
4 notes
·
View notes
Text
Aku Jadi Bukan Aku Lagi

Ingatan sering membantu orang. Sering melemahkan, kebanyakan menguatkan. Dengan ingatan, kadang kita mengambil jeda sebentar saat akan melangkah. Satu dua tiga detik. Apa langkahku selanjutnya? Sejauh apa sih langkahku? Apakah aku mampu melangkah lagi?
Ingatan melemparku pada pengalaman yang tak bisa aku lupakan meski ingin kuhilangkan. Aku pernah, sering malah, menekan perasaan hatiku yang sebenarnya hingga mati rasa. Padahal harusnya pada detik itu aku bisa merasakan kesakitan yang teramat perih. Sakit yang sekaligus melegakan.
Namun aku menolaknya. Aku menghindar dari kebenaran akan sakit getir yang ada persis di depanku. Alhasil, hingga saat ini aku terus-menerus memendam hati hampa tanpa isi.
Aku terus melarikan diri dari duniaku sendiri yang sempit. Ogah untuk mengingat apa yang terjadi dengan duniaku yang kucipta, kurancang dan kupelihara dengan segenap usaha yang mampu kuusahakan.
Ingatan membawa kita pada sejarah dan peristiwa keakuan. Di mana, peristiwa seperti sunat, lulus, wisuda, menikah, hingga melahirkan adalah titik-titik checkpoint yang banyak diketahui orang.
Namun, pengalaman akan ingatan adalah suatu proses, satu periode, dalam mana lulus, wisuda atau menikah bukan satu-satunya peristiwa sejarah, tetapi satu mata rantai belaka dan tidak lebih, juga tidak penting daripada yang lain juga tidak kurang penting dibanding yang lain.
Peristiwa kelulusan kemudian wisuda tanpa proses kejutan mencari dosen pembimbing atau drama putus-nyambung dengan kekasih, kemungkinan tidak akan diingat.
Peristiwa menikah tidak akan penting jika tak mengingat proses kejutan perselingkuhan, penyatuan komitmen, toleransi dan kesabaran pada pendapat yang berbeda.
Semua peristiwa yang teringat, mempunyai puncak kejut yang langka, bukan barang rutin yang persis identik dengan orang lain.
Aku tidak mengharap ingatanku keliru, dan memang yang aku punya kini adalah pendapatku sendiri.
Aku ingat pendapat-pendapatku di masa lalu bisa saja salah. Pun aku tak tahu pendapatku hari ini benar atau salah. Setidaknya aku punya pendapat sendiri.
Meski, pendapat yang sangat individual dari seorang individualis tentu takkan mudah diterima oleh orang dan aku pun tak mengharap untuk diterima, karena itu hanya pedoman semata.
Kau tahu, pendapat bisa salah dan kenyataan selalu benar an sich sebagai kenyataan.
Masa yang lewat telah banyak kekeliruan, kekurangan dan kesalahan, tanpa ada kesempatan untuk membetulkannya. Kehidupan begitu riuh berbusa-busa, berkali-kali memekakkan telinga menggetarkan batin seorang introvert.
Bagiku sendiri, aku ingin tetap seperti diriku sendiri, tidak ada keinginan untuk mendapatkan pengaruh dan menjalani hidup sesuai dengan yang menurut perasaan dan pikiranku baik, dengan berpegang pada moral sosial: bebas tanpa merugikan orang lain atau melanggar kebebasan orang lain.
Namun, apakah aku masih tetap aku yang dulu? Yang aku tahu aku tetap diriku sendiri.
Kata Pramoedya Ananta Toer: I'm what I am.[]
5 notes
·
View notes
Text
Ambivalen

Malam ini hujan mulai turun. Gerimis halus yang membuat orang ragu-ragu apakah sebaiknya memakai payung atau tidak. Bau hujan dan hawa malam masuk ke kamarku.
Hanya tinggal aku dan perempuan itu yang saling menuang arak Bali sejak sejam yang lalu. Sebenarnya, tadi ada 4 orang, namun 2 kawan kami, sepasang kekasih, telah pulang.
Dalam diam dan menikmati bau hujan memukul tanah yang kering sepanjang hari, kami menghabiskan sisa arak, tinggal setengah botol.
"Boleh aku minta arak segelas lagi?" Tanya perempuan itu.
Aku menungkan arak Bali ke dalam gelasnya. Dia minum seteguk lalu memastikan kehangatan menuruni bagian dalam dadanya perlahan-lahan.
Sejak semula, aku sebenarnya merasakan ada sesuatu yang tidak lazim dalam diri perempuan itu. Dan suatu suara kecil naluriah memperingatkanku. Jangan terlalu dekat dengannya.
Terlebih, ada bekas luka sayatan di lengan bagian dalamnya itu. Aku sebenarnya cukup waspada. Toh, kalau sulit menahan hasrat memeluk perempuan, aku tinggal melakukannya dengan wanita profesional. Bayar dan beres, tanpa berkelanjutan.
Akan tetapi, aku merasa perempuan di depanku menuntut untuk didekap seorang laki-laki malam itu. Matanya pun sudah sayu, dan ia mulai menangis terisak tanpa sebab.
Aku yang sedang mabuk pun sudah tak punya kekuatan cukup untuk tak memeluknya. Namun, aku takut. Aku masih waspada.
"Kamu tak pulang malam ini?" Tanyaku seolah tak memahami situasi.
Dia tak menjawabnya namun mulai menyeka matanya yang telah basah. "Di luar hujan dan aku sangat membenci pulang malam dalam hujan".
Jawabannya secara tak jelas mengungkapkan "Boleh aku menginap di sini?" dalam pemahamanku yang sudah setengah tak sadar.
"Oh kalau begitu, kamu boleh tidur sini. Asal, kita tidur tidak sejajar. "
Aku kemudian mengunci pintu kamarku. Dan mematikan lampu utama. Perempuan itu secara otomatis juga ingin mematikan lampu depan kamar mandi, tapi kucegah.
"Jangan matikan, biarkan lampu remang kuning itu menyala. Jika tidak, kamarku akan gelap total. Kita tak bisa melihat apapun."
Perempuan itu paham instruksiku. Kemudian, ia menjemputku ke kasur dengan posisi kakinya ada di kepalaku dan sebaliknya. Kurasai, kakiku basah, ternyata ia masih menangis. Aku sempat tidur sesaat, namun tangisan perempuan itu ternyata merasuk ke mimpiku untuk mencegahku tertidur.
Tanpa sadar, aku menyejajarkan kepala kami. Kupeluk dirinya. Perempuan itu meraih tanganku lantas menuntunnya ke sejumlah bagian intim dirinya. Ke puting ke alat kelaminnya.
Karena dalam kesadaran yang tak penuh, aku membayangkan sedang membuat garis dengan pensil mengikuti nomor untuk menggambar sesuatu. Terkadang garisnya bolak-balik, melingkar dan menghujam ke dalam. Jelas ini bukan rasi bintang.
Akhirnya, kami pun jatuh ke bawah lantai, menanggalkan semua pakaian dan menumpahkan air arak yang tersisa di botol. Tak peduli.
Tanpa percakapan, tanpa pemanasan, tak sempat berciuman juga tak memedulikan air arak yang menggenang.
Lidah perempuan itu kemudian merogoh mulutku. Bagai seekor binatang yang kelaparan. Pun aku juga pasrah menyerahkan seluruh apa yang ada di tubuhku.
Kami bersenggama tanpa kata-kata, yang ku ingat, berbagai posisi dengan beragam cara, nyaris tanpa henti hingga pagi.
Aku terbangun saat alarm HP menunjukkan sudah 9 pagi. Kamarku berantakan dan banyak helai rambut hitam di bantal putih. Sosok perempuan itu masih tidur di sampingku.
Aku merasakan kesakitan di sekujur tubuhku. Ada bekas cakaran di punggung, gigitan di lenganku dan penisku yang terasa nyeri seperti habis diimpit kuat-kuat.
Kulihat dengan seksama, payudara perempuan itu juga penuh dengan bekas gigitanku, ciumanku. Lebam membiru. Ternyata kami adalah dua ekor binatang kemarin malam. Dan, aku melihat sayatan itu kembali di lengannya.
Aku beranjak untuk mandi dan pergi bekerja. Perempuan itu masih pulas, Aku biarkan ia tetap tertidur.
Jam 1 siang, perempuan itu mengabari untuk pergi dari kamarku. Ia menyelipkan kunci di rak sepatuku. Seperti sudah tahu jika aku kerap menyembunyikan di situ.
Tapi saat itu tak ada yang menggetarkan dadaku.
Berpekan-pekan, perempuan dengan sayatan di lengan kanan itu tidak muncul. Aku takut ia akan datang seorang diri pada malam gerimis turun seperti saat ini, namun pada saat yang sama aku diam-diam menginginkannya. Ambivalen.
Lebih baik aku keluar dari sini sebelum hujan panjang mulai turun tak lama lagi. Ke tempat jauh. Sebelum hujan ini mendatangkan ketidakberdayaan yang lembap dan dingin. Batinku.[]
*) Sejumlah kata-kata dalam cerita ini disadur dari cerpen berjudul 'Kino' karangan Haruki Murakami.
2 notes
·
View notes
Text
Jika manusia tidak menjadi tua

Aku pernah membayangkan hidupku hanya bisa bekerja terbatas, berangkat pukul 9 pagi dan pulang saat makan siang. Aku sempat membayangkan tiap akhir pekan bisa pergi ke konser apapun, meski tak tahu band apa yang akan main.
Pun, aku pernah membayangkan jika cinta tidak pernah diciptakan. Jika seekor kucing adalah bintang langka dan terancam punah. Jika kamu tidak pernah pergi. Jika manusia tidak pernah tua.
Saat merenungi usiaku bertambah setahun demi setahun, aku merasa semua berputar-putar, kenang-kenangan itu bertubrukan dan lalu bertabrakan di kepalaku. Seumur hidup sepertinya aku ingin sekali menangis.
Aku pernah mencarimu sampai ke sudut terkecil kota ini namun yang kutemukan hanya penjual ketoprak Jakarta, tempat favoritmu di sebelah minimarket jalan searah itu. Aku sudah mencarimu. Kembalilah. Pulanglah.
Aku akan baik. Aku akan menerima diriku ini, yang terkutuk dan membeku, apa adanya. [Semoga] Aku tak akan mimpi buruk dan mengigaukan nama perempuan lain.
Tiap pulang tak mendapat apa-apa, aku akan segera tidur. Paginya, ketika terbangun, aku merasa sangat lelah. Aneh. Mungkin saat ini keadaanku terlihat terlalu menyedihkan.

Malam tahun ke 28, aku membaca buku lusuh, sajak penuh 'aku' yang tak idealis-idealisnya atau realis-realisnya. Tiba-tiba pergi ke Solo dan seseoranv membisikkan paragraf penuh sinis, terasa getir:
"Dunia ini kadang seperti penantian yang tak usai-usai. Perjalanan yang sunyi. Kadang menyenangkan, lebih sering menyakitkan. Ditinggalkan. Terpaksa meninggalkan. Patah hati. Dilupakan. Terpaksa melupakan. Kalah. Terpaksa menyerah... "

Hingga aku berada di sebuah ruangan dengan jendela besar. Aku diam saja dan mencoba tidak berpikir apa pun sehingga tak ada yang bisa membaca pikiranku. Aku terdiam macam batu.
Aku kembali membaca buku lusuh. Tiba-tiba tersenyum sendiri dengan sajak-prosa yang absurd dan penuh metafora. Namun aku sudah sangat lelah. Di saat bersamaan, anehnya, aku merasa puas.
Jika kamu ada di sini saat ini, tentu aku akan langsung menceritakan semuanya. Serius. []
1 note
·
View note
Text
Untukmu:
Kau beranjak dari tidurmu dan mendekati meja kerja. Kau memang agak penat dengan kehidupan ini. Kau tak punya gairah untuk bermain gitar atau bahkan membaca buku. Kini, kau buka platform streaming dan mulai nonton film apocalyptic.
Di pertengahan film, kau mulai berkata dalam hati: Sepertinya menyenangkan ya, hidup tanpa teknologi. Hidup hanya untuk bertahan hidup, karena semua berawal dari nol lagi.
Namun, 98 menit usai nonton film berakhir sedih itu, ada pertanyaan yang tiba-tiba saja terbesit dalam hati: "Bukankah apapun kondisinya, hidup tidak pernah menyenangkan?". Kau bahkan mengingat betul tulisan Szymborska yang menyatakan bahwa tubuh manusia adalah tempat penampungan duka.
Saat remaja dulu, kau berusaha tak pernah melewatkan segala hal yang sedang terjadi. Gosip, keanehan guru, berita artis ibu kota hingga mancanegara.
Namun ketika beranjak dewasa, kau malah berusaha untuk melewatkan segala sesuatu, hidup tanpa aturan, melupakan kata-kata bijak. Lupa segalanya.
Kini, detik ini, kau mungkin diam sebelum akhirnya mengangguk. Ternyata kau mengingat kembali belasan tahun yang berlalu.
Di benakmu sekarang ada adegan reka ulang tentang kejadian yang kau alami di atas sebuah sepeda, sepeda motor, bersamanya, di pasar, atau di terminal, atau di simpang empat pada tengah malam.
Kau sekarang, detik ini, tersenyum. Mengingatnya kembali. Terdengar samar percakapan antara kau dan dia di atas sebuah mobil, sepeda motor tua atau atas telapak kaki sendiri.
Kini, kau pejamkan matamu untuk mengusir semuanya: Traffic lights di simpang empat sebelah toko buku, itu adalah kesedihan; Barisan lirik lagu True Love-nya Elephant Kind, itu adalah kesedihan; dan kesedihan lain yang hingga kini tak mau kau sentuh seperti tongkol daun kemangi.
Kau teringat bahwa kau tetap tak bisa melenyapkan satu kesedihan, yaitu ingatan akan sedih itu sendiri.
Kau ingin memang ingin mengulang waktu, tapi jauh kembali ke rahim ibumu, dan berharap tak pernah mengalami semua itu.
Untukmu, tutup matamu. Dengar kata-kataku: "Jangan pernah sakit lagi." Biarkanlah dia pergi.
Kau pasti bisa melanjutkan hidup. Kau melanjutkan hidupmu. Lihat, kau sudah melanjutkan hidupmu!
Pun aku. Meski ku menangis tak henti hari ini hingga buliran air mengalir dari mataku, membeku bahkan sebelum jatuh. []
1 note
·
View note
Text
Gas air mata
Bu, perih sekali
Ditembaki polisi
Pakai gas air mata
Iya nak, ibu tahu di berita
30 anak mati
Perih sekali mata ini
Air mata tak kunjung henti
Kasihan YK, 7 Oktober 2022
Usut tuntas Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022.
1 note
·
View note
Text
For you:
Saat saya bertemu dengan perempuan lain, sosok perempuan itu selalu dan masih terbayang di suatu tempat di kepala saya. Bayangannya tidak bisa saya usir. Saya sudah terlanjur semakin mengenalnya, sudah semakin besar kasih sayang padanya. Meski kami berpacaran hanya sebentar.
Sekarang, saya tenggelam jauh lebih dalam pada diri perempuan--pacar singkat saya itu. Jatuh cinta memang begitu. Entah saya terlambat atau tidak.
Kini, saya tidak ingin kehilangannya--meski tampaknya sudah. Saya masih ingin bertemu dengannya lagi. Jika tidak, serasa dunia akan berakhir begitu saja.
Apakah aneh? Saya rasa tidak. Jatuh cinta dan penyesalan sudah amat umum dalam kehidupan manusia. Ahhhrrhhhggg~
1 note
·
View note
Text
Pernah ga ngerasa bahwa kau seperti hidup di pulau terpencil? Tapi, ternyata kau yang menjadi pulau terpencil itu sendiri.
Setelah mengetahui, "Akulah pulau terpencil itu." Lantas, bagaimana membuat pulau tersebut menjadi permai, penuh hijau, dibentangi hal-hal menarik yang menyejukkan mata?
Bagaimana cara agar pulau tersebut bisa bertahan dari terjangan ombak yang mengikis, hingga tsunami yang membawa petaka?
Bagaimana pula, membuat pulau tersebut terhubung dengan pulau lain di sekitarnya. Agar ada pertemuan yang menjadi awal saling memahami.
Penting pula, bagaimana agar pulau terpencil itu menjadi hal yang bisa kau banggakan. Bukan sebagai kekerdilan diri yang bikin kau malu.
Valid jika kamu belum menamai pulau terpencilmu. Mengetahuinya saja mungkin kau belum sadar.
1 note
·
View note
Text
Tak apa-apa kan menjadi orang jujur yang sekali-sekali berbohong, orang-orang cermat yang sekali-sekali tersandung. Atau, orang-orang hemat yang sekali-sekali menghaburkan kekayaan untuk bersenang-senang.
2 notes
·
View notes
Text
Waktuku Benci, Waktumu Rindu
Kita tahu jika waktu adalah pengkhianat paling bengis. Penjahat yang tak bisa ditundukkan, dan pasangan hate-love-hate yang selalu kita rindu.
Saya pernah membenci waktu, berharap kepada waktu dan begitu menyayangi waktu. Setidaknya, saya pernah ingin mengulangi satu momen dalam lintasan ritme pengalaman hidup.
Membenci waktu adalah saat ibu saya meninggal. Kemudian, saya berharap--lagi dan lagi--punya cukup waktu untuk tidur tiap malam. Dan begitu menyayangi waktu ketika saya bersama orang terkasih.
Waktu begitu melenakan. Dan tiba-tiba saja saya retropeksi diri: Apa saja yang telah saya lakukan di Jogja selama hampir 10 tahun?
Bermodal positif, apa yang saya kerjakan di Jogja selama itu adalah pengalaman yang perlu dibanggakan. Mengenal banyak teman dengan penuh syukur dan bahagia.
Mendengar podcast Joe Rogan, ia berucap dengan sok bijak, "coba kalau aku tahu ini sejak usia muda."
Seperti taik jika menyesali waktu dengan sentimen negatif: terbuang sia-sia. Tak ada yg sia-sia jika saya renungkan kembali.
Meski demikian, waktu selalu tak bersahabat dengan saya. Dalam beberapa pekerjaan, jarang saya untuk bisa tepat waktu. Seperti hari ini dan dua hari sebelumnya, saya tetap terlambat masuk kantor.
Mungkin saya hanya seorang pemalas yang mencoba apapun dengan ritme pelan, karena saya bukan siapa-siapa. Dan tak seambisius itu dengan duniawi.
--- Kasihan, 5 Juli 2022
3 notes
·
View notes
Text
Paranoia is good
For you:
Saya takjub sekaligus mengena usai membaca refleksi getir berjudul "Memberitahu Ibu Soal Pengunduran Diri" yang ditulis Raka Ibrahim di Kumparan Plus pekan ini.
Begitu paranoia-nya ia (dan mungkin sebagian besar dari kita pula) akan nasib tak menentu dan keraguan yang terus berulang.
"Tapi ini semua belum pasti, Ma," ucap Raka pada Mamanya. Dalam ingatan masa lalu saya juga sempat mengatakan kalimat yang sama kepada ibu.
Tentang hal-hal siasat hidup yang belum pasti. Hal-hal yang mungkin saya niati dalam sehari, kemudian saya malas untuk kerjakan pada enam hari selanjutnya.
Kata Pramoedya Ananta Toer, setiap bekerja adalah keraguan. Apapun yang kita kerjakan selalu diiringi keraguan.
Sisi buruk dari keraguan adalah kena tanggung. Saya pernah ragu untuk meneruskan atau menghentikan pendidikan tinggi saya. Dan pada masa itu, hidup bagai panoptikon medsos tanpa tujuan.
Usai menentukan pilihan, tak lantas keraguan hilang. Dan di sinilah saya melihat sisi positif dari keraguan atau paranoia.
Kenyamanan hidup itu tak ada dan tak pernah cukup. Oleh karenanya, saya tak mengapa tetap menjadi orang yang penasaran. Ingin mencoba banyak hal dan tak gengsi untuk tetap belajar.
Meski terkadang berbeda pendapat dengan orang terdekat pun kerap terjadi hanya untuk memuaskan dahaga jawaban yang saya inginkan.
Melihat salah satu video YouTube Dr. Indrawan Nugroho berjudul "Hanya perusahaan paranoid yang akan selamat" membuat saya yakin, paranoia adalah wajar dan keraguan bisa menyelamatkan saya. Pasalnya, saya hanya butuh survive, seperti apa yg dikatakan Raka, saya hanyalah penjahat medioker (malahan, medioker aja belum). Xixixi~
1 note
·
View note
Text
For you:
Teman saya sedang sakit hati. Dalam keluhannya, ia tak pantas untuk dibohongi oleh casual partnernya. Dalam keluhannya lagi, ia tak seharusnya dalam keadaan terbuang seperti demikian. "Padahal, ada banyak hal yang perlu dipikirkan selain cinta melulu," ucapnya.
Usai mengeluh yang ke 15 kalinya dalam 30 menit panggilan telepon, lantas ia mengajak saya bertemu. Ajak minum ciu.
Saya menolak ajakannya. Alkohol bukanlah jalan paling baik, kecuali nantinya muncul bertubi-tubi keluhan. Dan, saya takut tak bisa merespon keluhan ke 20 atau 30 dalam semalam. Kecuali, ia memang tak mau direspon, cuman ingin didengar.
Dalam panggilan telepon tersebut, saya hanya berkata, "Sabar". Sederhana. Hanya itu yang ada di kepala saya dan mengalir ke mulut sebagai hilir.
Bahwa semua orang pernah sakit hati. Semua orang pernah ingin mati dengan berbagai kiat karena perihal masalah cinta dan kasih. Dari situ, kita bisa belajar dengan mengusap dada dan berkata pada diri sendiri, "yang sabar ya".
1 note
·
View note
Text
For you:
Kecenderungan untuk jadi pahlawan yang tak hanya kesiangan, tapi juga tak diperlukan kerap mencekik saya. Siapa sih saya kok mau-maunya menyelamatkan seseorang? Toh, saya sendiri perlu diselamatkan dan dientaskan dari kolam masa lalu.
Namun, savior complex seperti mencengkram otak. Kebutuhan pribadi dinomorduakan untuk membantu orang lain.
Sayangnya kebanyakan orang, termasuk saya, punya keinginan membantu tanpa tahu proporsional dan kapan ia berhenti untuk membantu.
Saya pernah mengalaminya hingga menjadi delusional: bahwa dirinya akan tetap ada di sisi saya.
Toh, pada akhirnya tidak.
Mungkin, inilah yang didik pada kita. Bahwa menolong orang tanpa pamrih adalah bentuk rasa sayang tanpa batas.
Menurutku, itu mitos dan pangkal kenaifan. Kesabaran punya batas, rasa sayang bisa habis dan membantu ada tenggat waktu--juga tak harus sepenuhnya kamu.
1 note
·
View note
Text
For you:
Stabilitas dan rasa aman adalah dua hal yang dicari manusia. Berbagai hal ia lakukan untuk mendapatkan keduanya sekaligus.
Seperti, bapak yang mewariskan rumah pada anaknya. Sebagai harapan agar si anak tak repot lagi mencari tempat untuk beranak pinak.
Atau, sepasang manusia yang memutuskan untuk menikah. Mereka tahu, jalin pernikahan adalah salah satu jalan yang tepat untuk bekerja sama, baik dalam akumulasi kapital atau keamanan--juga ketenaran.
Namun, seperti itulah hidup bergema, beberapa orang tak ditakdirkan untuk punya kehidupan yang stabil dan rasa aman yang berkelanjutan.
Nikah sebentar kemudian cerai, nikah lagi cerai lagi, tak meninggalkan warisan, dan tak ada kawanan yang loyal. Hingga, pada akhirnya ia mati kesepian.
Hormat setinggi-tingginya dari saya pada orang-orang yang dikutuk jadi si paling dinamis. Sebab, jika saya adalah orangnya, saya takkan bisa bisa bertahan.
1 note
·
View note
Text
For you:
Mereka yang melarikan diri dari ketakutan pun berkumpul dan bergabung. Menceritakan kembali apa-apa yang masing-masing takutkan tak terperi.
Mereka menceritakan kembali penampakan apa-apa yang mereka lihat dengan kepala mata sendiri. Saling berdesakan. Mendekat dari ruangan yang jauh dan gelap menuju perapian.
Ketika entitas takut yang ada di benak masing-masing tak terjadi, mereka malah ketakutan setengah mati.
Rintihan kesengsaraan makin menjadi-jadi, perlahan, muncullah pikiran yang acap menyerang jiwa manusia dalam kondisi sedang terhimpit.
Mereka mulai membandingkan, apakah jiwa mereka lebih berarti meski tak pernah dibaptis sedari kecil?
Kini, mereka tak pernah lagi ketakutan atas hal luar yang asing. Namun, ada pikiran-pikiran yang lambat laun mulai menghabisi diri sendiri.
Saya adalah bagian dari mereka. Yang mayoritas, yang berlomba-lomba ingin tahu apa yang sedang sebenarnya terjadi.
Seperti, melihat pohon rambutan mekar dan berbuah, menertawakan orang-orang yang berkelahi karena surat izin mengemudi. Atau, merasakan kembali gemetar kedinginan di lembah bukit.
Sejak mereka heran dan kerap bertanya: ada ya, orang yang bisa merasakan udara pagi tanpa mendengar sayup-sayup suara gema lonceng kematian? Ih ngeri~
1 note
·
View note
Text
Saya gila bercinta, meski payah dalam memainkannya.
Waktu kecil, saya kerap sekali melihat orang lain bercinta. Di bawah parit kampung, atau di tempat pemandian umum.
Pengalaman itu jadi jelas di depan mata ketika jelang Final Piala Dunia 2006, mungkin dua jam sebelum Zinadine Zidane menanduk Marco Materazzi. Ayah dan ibuku bersenggama di kamar di sanpingku.
Mungkin, saat itu ayah dan ibuku mengira aku sedang dalam keadaan tidur. Namun, karena takut bisa bangun untuk nonton Final Piala Dunia 2006, aku tak tidur betul.
Jadi, di dalam rumah kami yang dahulu, kamar ayah dan ibu-lah yang diisi oleh Televisi. Bukannya tak ada ruang tamu, melainkan tempat atau box atau meja untuk menaruh TV-lah yang tak ada.
Alhasil, atap lemari jadi tumpuan kaki-kaki TV dengan merk JTV berwarna milenium. Warnanya sudah menggambarkan zaman apa Ayahku membelinya.
2006, Kira-kira aku masih kelas enam SD. Baru kelas enam SD malah. Dan aku menyaksikan secara langsung bapakku menindihi ibukku.
Aku mendengar rintihan ibuku, serta desahan bapakku. Sejak saat itu, aku begitu penasaran dengan percintaan atau bersenggama.
Namun, terkadang, aku juga merasa jijik dengan kegiatan yang, bisa dibilang, paling intim yg dilakukan oleh dua orang atau lebih tersebut.
Entah, ini karena efek traumatis tersebut atau bukan. Dalam bercinta terkadang aku sangat bergairah, namun terkadang bisa sangat membencinya.
Bercinta bisa jadi adalah kegiatan yang dilakukan oleh sejumlah orang untuk mengisi waktu luang. Orang tuaku termasuk yg punya banyak waktu luang hingga kami, anaknya, adalah 5 bersaudara.
Hukum-hukum ekonomi logis sudah tak berlaku bagi ayah atau ibuku. Yang masuk hanya omongan para alim ulama yg ditelan mentah, "Anak adalah sumber rezeki".
Oleh karena itu, slogan KB pun diludahi oleh ayahku. Entah itu dengan sperma atau dahak dari mulutnya, "Dua anak cukup, Cuih! ".
Tak peduli seberapa banyak pemerintah sosialisasi pentingnya bercukup dengan jumlah anak, ayahku adalah tipe orang yg tak cakap mendengar dan memahami.
Toh, bagi dia, yang penting anak dikasih makan nasi sama tempe dan kecap sudah cukup. Kalo ada rezeki berlebih bolehlah bonus krupuk.
Nrimo ing pandum ayahku lakukan, namun tanpa perencanaan yg jelas. Boro-boro jelas, merencanakan perencanaan aja mungkin tak ada dalam direktori kepala.
Padahal, tanpa perencanaan, hidup bak hanya tuk menekan emosi-emosi. Berharap-harap cemas namun tak pernah terlampiaskan.
Jika harapan tak sesuai dengan apa yg diusahakan, anak istri jadi budak pelampiasan. Ah cukuplah, itu shit moment banget.
Beruntung, orang tuaku terkhusus ayah, tak pernah terperosok ke dalam ranah perilaku manusia yang lebih kelam.
Untuk anakku, tak ada alasan untuk kau ingin jaga bapakmu ini. Tak ada alasan kenapa patriarki secara turun-temurun harus terkulminasi dalam perasaan yang buruk ini.
Tapi, bahkan dari sisi muram dan malang dari ayahku ini, aku tetap menghormatinya sebagai penghasil sperma yg pada akhirnya membuahkan manusia bernama Arfrian Rahmanta.
Pada akhirnya, Italia menang penalti dari Prancis. Zidane di kartu merah, dan Calciopoli tak terlalu berarti untuk Timnas Italia.
Setelah Fabio Cannavaro mengangkat Piala, aku mulai menta tidur. Meski dengan mimpi ada bayangan seorang laki-laki yg menindih perempuan. Hingga kini.[]
1 note
·
View note