Text
Picky Eater.
Okey, mari kita luruskan.
Kalau kamu pengikut akun ini dari lama, dan pernah baca kalau pemilik akun ini gapunya kriteria untuk menerima lamaran seseorang.
Nope. See? Kita selalu bertumbuh mengikuti waktu, bertemu dengan orang - orang yang memberi pengaruh. Kemarin kita lakukan kesalahan, evaluasi. Dan untuk beberapa kejadian berkaitan dengan ini. Saya, dengan ini memberi sikap.
Ada banyak sekali pertimbangan, sebab dalam banyak kekurangan, yap! saya adalah seorang picky eater.
Saya rewel dalam memilih, saya punya keras kepala dan sangat bersikukuh pada nilai - nilai kehidupan yang saya anut. Maka dengan begitu, urusan -hidup dan teman hidup ini, singkat saya, jauh lebih penting untuk menjadi picky dan musti melalui proses panjang dalam menentukannya.
Dalam memilih sesepele makanan, memilih teman saja saya sangat selektif, apalagi untuk teman hidup.
Beriringan dengan itu, saya memilih untuk tidak mempublikasikan kriteria. Terima kasih atas pengertiannya.
7 notes
·
View notes
Note
Azfa, kalau aku sbg laki-laki menaruh perasaan suka kagum kepadamu gimana?
Kalau boleh tau tipe laki-laki seperti apa yg kamu inginkan sbg pendamping hidupmu?
Maaf masih berupa anonymous, kamu juga sangat boleh membalasnya secara tidak langsung (tanpa me-reply ask ini) dan membuat tulisan sendiri membahas akan hal ini. Semoga bisa jadi bentuk tolak ukur ku dan muhasabah ku hahahwkwk. (Jgn cari aku ya!)
Semoga Allah sll kabulkan atas doa-doa yang kamu langitkan, Terimakasih azfa!
Don’t stop to spreading your magical words! ✨
Orang - orang pada kenapa sih?
As long as. Setelah banyak melalui diskusi panjang bersama orang - orang penting dalam hidup..
I'm already have a type. Dan tidak layak untuk disayembarakan.
Saya tidak ingin lagi memberi harapan kepada orang - orang yang menemukan saya hanya lewat layar.
Buka lagi mata, sadari ada orang - orang yang indah di sekitar kalian. Dan itu, bukan saya.
3 notes
·
View notes
Text
tidak ada perpisahan yang baik- baik saja. sebab, semua akan membekas, menyayat, dan porak poranda.
33 notes
·
View notes
Text
Semua orang sibuk menjadi ‘baik-baik saja’ demi citra, bukan demi jiwa. Kita berlomba menunjukkan pencapaian, hingga lupa bahwa bernapas tanpa beban pun adalah kemenangan.
155 notes
·
View notes
Text
Seperti Musa dalam Penjagaan Harun
“Betapa indahnya jika engkau menemui hati yang tidak pernah menuntut apa-apa darimu kecuali sebatas keinginan melihatmu dalam keadaan baik.”
Ada kasih yang tidak perlu digenggam atau dilihat dengan mata dunia. Ia hadir dalam diam, menjaga dengan cara yang paling halus: menginginkan keselamatan yang utuh—pada raga, jiwa, dan iman.
Keadaan baik, dalam pandangannya, bukan sekadar senyum yang tampak atau keberhasilan yang bisa diceritakan. Ia lebih dalam dari itu. Ia menghendaki ruh yang tetap hidup, hati yang tidak asing dari zikir, dan langkah yang selalu berada di jalan yang benar, meski dilanda lelah dan keraguan.
Ia ingin yang disayang tetap utuh, bukan hanya dari luka dunia, tapi juga dari keretakan batin yang menjauh dari Sang Pemilik Hati. Seperti Harun yang selalu menjaga Musa, meski tak tampak, ia memastikan langkahmu tetap berada di jalan yang benar, tanpa kata yang terucap.
Ia tidak meminta peran dalam cerita hidupmu. Ia tidak merengek untuk ditempatkan dalam ruang khusus. Rasa pedulinya adalah langit yang luas, tidak membatasi, hanya menaungi. Ia tidak menuntut untuk dikenali, cukup tahu bahwa dalam setiap malam, nama yang dicintainya tetap disebut dalam doa yang tak pernah putus. Ia adalah senja yang tak menahan matahari, hanya mendoakan agar cahaya itu kembali pulang dalam damai.
Ia tidak hadir untuk menjadi tujuan, namun menjadi saksi bisu yang berharap: semoga langkahmu selalu menuju kebaikan. Semoga bahumu tetap kuat meski ia tak bisa menyandarkannya. Semoga hatimu tetap lapang, meski tak ada tempat baginya di sana. Dan yang paling dalam—semoga Tuhan tak pernah melepas genggaman-Nya darimu.
Pada akhirnya, kasih yang paling tulus adalah yang merelakan, namun tetap setia dalam harapan. Yang tidak membungkus diri dengan kepemilikan, tapi membalut namamu dengan doa-doa yang tak diminta untuk dibalas. Seperti Harun yang setia dalam diam, meski tidak mendampingi setiap langkah, ia tetap menjaga dan berdoa agar Musa selalu dalam penjagaan Tuhan.
Jika di sepanjang perjalanan ini kita tak dipertemukan dengan hati yang seperti itu—yang menyayangi tanpa menuntut, yang hanya ingin melihatmu dalam keadaan baik, yang mendoakan tanpa pernah menyapa—semoga kita sendiri yang tumbuh menjadi sosok yang demikian.
Sebab dunia ini terlalu sempit untuk harapan yang serakah, namun cukup luas untuk ketulusan yang merdeka. Mungkin bukan tugas kita untuk selalu dipedulikan dengan cara yang tenang, tapi mungkin Tuhan menghendaki kita belajar menjadi pribadi yang meneduhkan.
Menjadi hati yang tidak menggenggam, tapi menuntun. Yang tidak menuntut balasan, hanya berharap kebaikan dibalas Tuhan. Menjadi pelita yang tak ingin dikenali sumber cahayanya, cukup menjadi terang bagi yang tengah dalam gelap. Seperti Harun yang tidak mencari pujian, tapi hadir untuk menjaga dalam diam, kita pun dapat belajar memberikan yang terbaik dalam hening, untuk orang-orang yang kita sayangi.
Dan semoga, jika tidak ada jiwa yang setia mendoakan kita dalam diam, kitalah yang diam-diam mendoakan dunia—agar semakin banyak kasih yang tidak menyesakkan, perhatian yang tidak memberatkan, dan hati-hati yang tidak ingin memiliki apa pun selain melihat sesamanya dalam keadaan benar-benar baik: lahir, batin, dan iman.
Yogyakarta, April 2025 || Kaderiyen
149 notes
·
View notes
Text
Agar Kamu Tidak Bersedih
Ternyata di Qur'an tuh banyak banget kalimat-kalimat yang "aneh" dalam artian, "pasti ada maksudnya nih, ini mah bukan buatan manusia."
Jadi tadi aku notice potongan ayat, bagus banget.
"— karena itu Allah menimpakan kepadamu kesedihan demi kesedihan, agar kamu tidak bersedih hati (lagi) terhadap apa yang luput dari kamu dan terhadap apa yang menimpamu—"
Respons pertama saat baca kalimatnya adalah: Hah? 😧 Bentar.. nggak salah nih? Kesedihan demi kesedihan supaya nggak sedih? Hah? Gimana ceritanya? Memang istilah bahasa Arab yang dipakainya apa?
Ternyata untuk kesedihan demi kesedihan diksinya tuh "غَمًّا بِۢغَمٍّ" , sementara untuk bersedih hati pakai diksi "تَحْزَنُوْا". Berarti ada kesedihan yang berbeda kan?
Apa perbedaan antara: الحزن (al-huzn), الغمّ (al-ghamm), dan الهمّ (al-hamm)?
Huzn (الحزن) berkaitan dengan hal-hal yang telah berlalu (masa lalu).
Ghamm (الغمّ) berkaitan dengan hal-hal yang sedang terjadi (masa kini).
Hamm (الهمّ) berkaitan dengan hal-hal yang akan datang (masa depan).
Secara literal, "غَمّ" berarti menutupi, menyelubungi, atau menekan. Dalam konteks emosional, "ghamm" menggambarkan perasaan yang menutupi hati seseorang dengan beban berat.
Di ayat lain, "غَمّ" juga berarti awan/kabut yang meliputi. Cukup masuk akal, ketika di dalamnya kita jadi tidak dapat melihat ke depan maupun ke belakang. Di ayat lainnya lagi, bentuknya "غُمَّةً" artinya dirahasiakan. Masuk akal juga, karena ketika kita mengalaminya, kita nggak pengen dunia tau apa yang terjadi pada kita. Kita akan merahasiakannya serapat mungkin and act like everything is fine.
Aku menemukan bahwa "غَمّ" digunakan di 4 cerita di dalam Qur'an:
Nabi Musa setelah membunuh seseorang secara tidak sengaja dan menyadari dampak serius dari tindakannya yaitu menjadi buronan dan menghadapi risiko yang besar serta konsekuensi yang mungkin timbul.
Nabi Yunus setelah menyadari bahwa meninggalkan misi dakwah dan melarikan diri dari tanggung jawabnya telah menyebabkan dirinya berada dalam situasi yang sangat sulit, yaitu dalam perut ikan. Perasaannya mencekam dan tertekan akibat kesadaran atas kelalaian dan dampaknya terhadap tugas yang diberikan Allah.
Pasukan pemanah Uhud yang meninggalkan posisi mereka di medan perang Uhud menyadari bahwa ketidakdisiplinan mereka menyebabkan kekalahan yang fatal bagi seluruh pasukan dan mereka cemas terhadap hasil dari tindakan mereka.
Penghuni neraka yang merasakan cambuk dari besi dan berusaha keluar dari siksaan neraka.
Ada pola menarik dalam penggunaan ghamm di 4 cerita itu:
Semua terjadi karena kesalahan manusia itu sendiri (baik disengaja atau tidak). Jadi ghamm datang sebagai wake-up call dari Allah setelah tindakan yang membawa konsekuensi nyata. Kayak.. membangkitkan rasa fatal.
Gham muncul saat sadar akan akibatnya. Ghamm lebih dari sedih atau takut biasa, yang muncul karena "aku melakukan sesuatu, dan sekarang aku harus menanggungnya". Berarti ghamm hanya dapat terjadi pada orang yang taklif dan memahami konsekuensi atau hukum sebab-akibat.
Gham membuka jalan untuk reframing, taubat, dan perubahan (kecuali yang di neraka). Musa dan Yunus segera memohon ampun dan berdoa. Pasukan Uhud menerima koreksi dan pelajaran keras dari Allah. Bahkan penghuni neraka ingin keluar, tapi sudah terlambat.
Gham adalah kemurahan Allah sebelum hukuman akhir. Allah izinkan ghamm menimpa seseorang agar ia tidak terus terbuai, agar hatinya mencicipi "penyempitan" sebelum terlambat. Tapi jika tidak direspons dengan sadar dan taubat, barulah ia bisa berujung pada hukuman.
Jadi bayangin, ghamm itu kayak, "damn moment" yang rembetan konsekuensinya gede dan fatal.
"Gue udah ngelakuin ini, dan sekarang semuanya runtuh."
"Gue sadar banget salahnya, tapi gue juga belum tau harus gimana."
"Ini bukan sekadar sedih. Ini dada gue sempit, kalut, gelap, dan berat."
"Gue menyesal, tapi ga ada waktu untuk menyesal di tengah-tengah himpitan ini."
Dia beda dari Huzn (sedih karena masa lalu) yang lebih lembut, reflektif. Dan beda juga dari Hamm (cemas akan masa depan) yang lebih ngawang, belum terjadi. Tapi dia bisa jadi adalah gabungan dari Huzn dan Hamm 🤯
Terus gimana ceritanya ghamm dapat mencegah huzn?
Jawabannya satu kalimat: luka lama dilampaui oleh luka kini. Sejujurnya meringis sih pas ngetiknya, kayak.. tega banget 😅 tapi dipikir-pikir cukup masuk akal.
Allah menggantikan luka yang membeku dengan luka yang bergerak. Huzn membuat kita stuck, menyesal, menoleh ke belakang, dan menyalahkan diri, sementara Gham membuat kita sadar, bangkit, bergerak, bertahan, dan berserah. Allah lebih memilih menimpakan kesedihan yang "aktif" agar kita selamat dari kesedihan yang "membeku."
Menariknya, Menurut Lazarus & Folkman, coping dibagi dua:
Problem-focused coping: usaha menyelesaikan masalah.
Emotion-focused coping: usaha mengelola perasaan.
Kalau huzn mungkin fokusnya di emosi dan masih punya keluangan mental dan waktu untuk mendalami rasa sesal. Kalau ghamm benar-benar harus switch ke problem focused coping. Jadi, kesedihan baru (ghamm) yang mengharuskan seseorang bergerak, ternyata bisa mengaktifkan mekanisme coping yang sebelumnya tidak muncul saat larut dalam huzn.
Selain itu, dalam psikologi kognitif, ada konsep Cognitive Load Theory yang menyatakan bahwa otak manusia hanya mampu memproses sejumlah informasi atau emosi secara bersamaan. Dalam tekanan yang aktual dan mendesak (ghamm), otak akan secara otomatis mengalihkan sumber daya mentalnya ke situasi itu. Alhasil, grief (huzn) yang tadinya mendominasi bakal terdorong ke latar belakang karena otak sedang sibuk survive di "sekarang". Kayak.. untuk bersedih pun tidak sempat.
Tapi, karena Allah Maha Mengetahui cara jiwa bekerja lebih dari siapa pun, maka penempaan jiwa melalui penimpaan ghamm itu hakikatnya adalah penyelamatan. Allah mungkin nggak serta merta hapus luka dalam waktu cepat secara ajaib. Allah lebih pilih menempa kita, saking bangga dan percayanya Dia, bahwa kita bisa lebih kuat. Dan akan ada saatnya "ketenangan" Dia turunkan sebagai imbalan, di kondisi kita yang semakin pantas untuk menerima ketenangan itu.
— Giza, masih terus mencoba melakukan pendekatan lewat jalur apapun. Mungkin pendekatannya selama ini ada aja yang keliru, tapi bisa dianulir seiring bertambahnya iman dan ilmu.
149 notes
·
View notes
Text
Tanpamu, entah kenapa hari - hari terasa begitu lama..
Kenangan seperti sudah terjadi berbulan - bulan yang lalu, tapi ternyata itu terjadi baru saja.
Kapan aku bisa berhenti berhitung?
4 notes
·
View notes
Text
Simpel aja sih.
Kamu ditinggalin? Kebaikan - kebaikan lain yang layak membersamai akan menghampiri kok. Ga perlu khawatir.
2 notes
·
View notes
Text
Apa yang membuat hidupmu terlihat menarik? Karena kamu bergairah melakukan hal-hal yang kamu sukai. Sekecil apapun kesenangan itu, selama kamu melakukannya sepenuh jiwa, maka lahirlah cahaya-cahaya kecil yang mengelilingi dirimu. Lalu keberuntungan perlahan hinggap di segala penjuru karena tertarik oleh getaranmu yang indah.
Bersinarlah ✨
56 notes
·
View notes
Text
Kenapa perihal mimpi-mimpi kita seringkali memintanya lebih berambisi.
Padahal kalau mampu tercium, sebetulnya busuk dari dosa yang menghiasi tubuhmu itu.. Menyengat sekali..
Kenapa?
13 notes
·
View notes
Text
Kalau lukamu sangat dalam, impianmu harus jauh lebih besar dari luka itu.
Jika tidak, kamu pasti berpikir untuk mati saja daripada hidup lebih lama.
189 notes
·
View notes
Text
Overwhelmed gegara banyak tugas dan ga tau harus mulai dari mana itu nyebelin.
Buang tenaga dan waktu buat bengong di hadapan tugas - tugas..
7 notes
·
View notes
Text
Lepaskan genggamanmu dari ilusi yang kamu ciptakan sendiri. Pikiranmu bukan panggung sandiwara yang harus dipenuhi skenario tak berujung. Bukan tugasmu meraba-raba kepastian yang sudah ditetapkan-Nya. Sebab sekeras apa pun kamu menata kemungkinan, masa depan tetap berjalan di luar kuasamu.
Kita ini sering kali berlagak sutradara dalam film yang naskahnya bahkan tak pernah kita pegang. Sibuk mengatur alur, menentukan babak, bahkan memilih siapa yang boleh bertahan dan siapa yang harus pergi. Padahal, kita tak lebih dari aktor yang sering lupa skrip, salah masuk adegan, dan kelewat banyak improvisasi yang justru merusak cerita.
Kita membayangkan skenario paling buruk, lalu menangisinya sebelum terjadi. Kita merancang masa depan dengan segenggam ambisi, lalu kecewa ketika kenyataan tak tunduk pada kehendak kita. Kita berdiskusi dengan ketakutan lebih sering daripada berdialog dengan-Nya. Ironis, bukan?
Padahal, kalau kita mau jujur, hidup ini tak butuh seambisius itu untuk dipahami. Takdir berjalan dengan ritmenya sendiri. Bukan tugas kita untuk mengintervensi setiap detailnya, apalagi mengatur ulang sesuai kehendak kita yang terbatas.
Jadi, cukup sudah. Berhenti bersilat pikir dengan kemungkinan-kemungkinan yang hanya menambah lelah. Serahkan pada-Nya yang sejak awal sudah paham ke mana kaki ini harus melangkah. Tugas kita hanya melangkah, bukan merampas kendali yang sejak awal tak pernah jadi milik kita.
162 notes
·
View notes
Text
Tak perlu membuktikan apa pun kepada siapa-siapa. Tak perlu menuntut orang lain untuk selalu memahami. Sebab, menjadi baik bukan tentang bagaimana dunia memperlakukanmu, tapi tentang bagaimana kamu memilih untuk tetap berjalan dengan hati yang utuh.
Semoga, di tengah lelah dan kecewa, masih ada ruang dalam dirimu untuk percaya—bahwa setiap kebaikan, sekecil apa pun, tak pernah sia-sia. Allah selalu melihat, selalu tahu, dan selalu membalas dengan cara yang tak terduga.
Tetaplah berjalan, tetaplah menjadi baik, bukan untuk siapa-siapa, tapi karena itulah dirimu yang sesungguhnya.
- 19 Ramadhan 1446 H/ 19 Maret 2025 M -
69 notes
·
View notes
Text
Bab takdir mengajarkan manusia 2 pelajaran berharga, yaitu; belajar menyukai apa yang Allah sukai dan belajar menyukai apa yang Allah takdirkan.
Sebab yang disukai manusia, belum tentu disukai Allah juga. Sebab yang manusia harapkan dan ikhtiarkan belum tentu pada akhirnya Allah takdirkan.
Maka beruntunglah mereka yang sejak awal hingga akhir senantiasa melibatkan Allah dalam menjemput setiap takdir.
Rizqan Kareema
167 notes
·
View notes
Text
Catatan Pribadi: Mengungkapkan Pikiran, Perasaan, dan Kebutuhan Tanpa Drama
Pernah nggak sih ngerasa kesal sama seseorang, tapi bukannya ngomong langsung, malah diem aja sambil berharap dia bisa baca pikiranmu? Atau pernah nggak, pas akhirnya ngomong, malah keluar dengan nada marah dan bikin situasi makin ribet? Kalau pernah, kita sama!
Banyak dari kita tumbuh dengan keyakinan bahwa mengungkapkan perasaan itu ribet, bikin lemah, atau malah bisa bikin orang lain ilfeel. Akhirnya, kita memilih diam, menahan diri, atau kalau udah nggak kuat, baru meledak. Padahal, komunikasi yang sehat bukan cuma bikin hidup lebih tenang, tapi juga menyelamatkan banyak hubungan—entah itu hubungan asmara, pertemanan, atau profesional.
Kenapa Kita Susah Ngomongin Pikiran, Perasaan, dan Kebutuhan?
Alasannya banyak. Bisa jadi karena kita tumbuh di lingkungan yang nggak membiasakan komunikasi terbuka. Mungkin dulu waktu kecil, setiap kali nangis atau marah, kita malah disuruh diam dan "jangan manja." Atau kita sering melihat orang-orang di sekitar kita lebih memilih menyampaikan kekesalan atau kebutuhannya dengan cara tidak langsung, alias pasif-agresif, daripada berbicara secara terbuka.
Misalnya:
Daripada bilang "Aku butuh bantuanmu di rumah," seseorang malah ngomel sendiri sambil banting-banting piring biar pasangannya sadar.
Daripada bilang "Aku kecewa karena kamu nggak datang," seseorang malah diam dan ngasih jawaban "Yaudah, gapapa kok" dengan nada ketus.
Daripada jujur merasa nggak suka, seseorang malah nyeletuk sindiran kayak "Wah, enak ya jadi kamu, bisa seenaknya sendiri."
Yang paling sering, mengunggah status sindiran di media sosial, atau menunjukkan sikap kesal tanpa mau menjelaskan apa yang sebenarnya dipikirkan, dirasakan, dan dibutuhkan.
Di sisi lain, kita mungkin takut dikira terlalu sensitif, terlalu ribet, atau malah terlalu banyak mau. Jadi, daripada ngomongin apa yang sebenarnya kita rasakan, kita memilih menahannya, pura-pura baik-baik saja, lalu berharap orang lain ngerti sendiri.
Pasif-agresif ini sering dipilih karena dianggap lebih ‘halus’, tapi justru bikin komunikasi makin berantakan. Orang lain bisa bingung atau malah kesal karena nggak ngerti maksudnya.
Kesalahan Umum dalam Berkomunikasi
Diam Tapi Berharap Orang Lain Ngerti Sendiri “Kalau dia benar-benar peduli, harusnya dia sadar sendiri dong!” Maaf, tapi nggak. Sebaik apa pun seseorang, mereka tetap nggak bisa baca pikiranmu.
Ngomong, Tapi Pas Udah Meledak Awalnya diem, diem, diem… lalu tiba-tiba meledak seperti gunung berapi. Akibatnya? Bukannya masalah selesai, malah makin runyam.
Menggunakan Sindiran atau Kode-Kode Nggak Jelas Pernah dengar kalimat kayak gini? "Terserah deh!" atau "Gak apa-apa kok, aku udah biasa gak dianggap." Kalau iya, selamat datang di dunia komunikasi pasif-agresif! Masalahnya, nggak semua orang paham kode.
Fokus Menyalahkan Daripada Menjelaskan Apa yang Dirasakan “Kamu tuh emang selalu nggak peka!” Dibanding menyampaikan perasaan, kalimat ini malah terdengar seperti serangan. Respon yang didapat? Mungkin defensif, bukan solusi.
Tapi, mengomunikasikan pikiran, perasaan, dan kebutuhan dengan benar bukan cuma soal kita bisa ngomong atau nggak. Ini juga soal bagaimana cara kita menyampaikannya agar bisa dipahami dan diterima oleh orang lain. Kalau caranya menyindir, menyalahkan, atau terlalu abstrak, orang lain justru merasa diserang atau tidak mengerti maksud kita.
Di sinilah Nonviolent Communication (NVC) bisa jadi pilihan yang tepat—metode komunikasi yang dikembangkan oleh Marshall Rosenberg untuk membantu orang menyampaikan perasaan dan kebutuhan mereka dengan jujur, tanpa menyalahkan atau menyerang lawan bicara.
Empat Komponen Utama dalam NVC
Observation → Feel → Needs → Request
1. Observasi / Observation (O)→ Menyampaikan fakta tanpa opini atau asumsi.
❌ "Kamu tuh selalu cuek sama aku!" (Ini subjektif dan mengandung asumsi) ✅ "Aku perhatiin minggu ini kita jarang ngobrol berdua." (Ini fakta, tanpa tuduhan)
❌ "Kamu selalu telat!" ✅ "Aku perhatikan tadi kamu datang 30 menit setelah waktu yang kita sepakati."
2. Perasaan / Feel (F) → Mengungkapkan emosi yang benar-benar dirasakan.
❌ "Kamu nyebelin banget sih!" (Ini menyalahkan) ✅ "Aku merasa kesepian dan diabaikan." (Ini lebih jujur dan fokus pada perasaan sendiri)
❌ "Kamu nggak pernah peduli!" ✅ "Aku merasa kecewa dan kesal ketika harus menunggu tanpa kepastian."
3. Kebutuhan / Needs (N) → Menyatakan kebutuhan yang mendasari perasaan tersebut.
❌ "Kenapa sih kamu gak pernah perhatian?" ✅ "Aku butuh komunikasi yang lebih sering supaya merasa lebih terhubung sama kamu."
❌ "Kenapa sih kamu kayak gini terus?" ✅ "Aku butuh kepastian waktu supaya bisa mengatur rencanaku dengan baik."
4. Permintaan / Request (R) → Mengajukan permintaan yang konkret dan realistis.
❌ "Coba deh lebih peka!" (Terlalu abstrak, sulit dipahami) ✅ "Bisa nggak kita luangin waktu ngobrol berdua setiap malam sebelum tidur?"
❌ "Kamu harus berubah!" ✅ "Bisa nggak kamu kasih tahu aku kalau kamu bakal telat?"
Jadi, daripada ngomong: "Kamu tuh nggak pernah peduli sama aku!" Coba ubah menjadi: "Aku perhatiin akhir-akhir ini kita jarang ngobrol. Aku merasa agak jauh dan kesepian. Aku butuh lebih banyak komunikasi sama kamu. Bisa nggak kita luangin waktu ngobrol sebentar setiap malam?"
Tambahan: Cara Efektif Mengomunikasikan Pikiran, Perasaan, dan Kebutuhan
Gunakan “I Statement” daripada “You Statement” Coba bandingkan: ❌ "Kamu tuh nggak pernah dengerin aku!" ✅ "Aku merasa diabaikan ketika aku cerita tapi kamu sibuk main HP." Lihat bedanya? Yang satu menuduh, yang satu menyampaikan perasaan.
Jangan Takut Kelihatan “Lemah” Saat Ngomongin Perasaan Justru yang berani jujur itu kuat. Mengungkapkan apa yang kamu rasakan bukan tanda kelemahan, tapi tanda kedewasaan.
Kenali Kebutuhanmu Dulu Sebelum Menyampaikannya Kadang kita marah, tapi nggak tahu sebenarnya butuh apa. Misalnya, marah karena pasangan sibuk, tapi sebenarnya yang kita butuhkan adalah waktu berkualitas. Kalau kita nggak tahu kebutuhan kita sendiri, gimana orang lain bisa mengerti?
Jangan Pakai Asumsi, Tanyakan Langsung Daripada berpikir “Dia pasti udah nggak peduli”, lebih baik bertanya, “Aku merasa kurang diperhatikan, ada sesuatu yang bikin kamu jadi lebih sibuk akhir-akhir ini?”
Apa yang Bisa Didapat Kalau Kita Bisa Melakukan Ini?
Hubungan lebih sehat dan minim drama.
Lebih mudah memahami diri sendiri dan orang lain.
Terhindar dari kesalahpahaman yang nggak perlu.
Mental lebih sehat karena nggak menumpuk unek-unek.
Tantangan:
Dalam seminggu ke depan, coba lakukan ini: ✔️ Setiap kali ada sesuatu yang mengganggumu, coba ungkapkan dengan jelas dan jujur. ✔️ Hindari asumsi, tanyakan langsung. ✔️ Catat hasilnya. Siapa tahu ini jadi awal perubahan besar dalam hidupmu.
Orang lain bukan cenayang. Kalau butuh dimengerti, belajarlah untuk bicara.
76 notes
·
View notes