mediamuse-blog1
mediamuse-blog1
Media Muse
48 posts
In the name of media and technology.
Don't wanna be here? Send us removal request.
mediamuse-blog1 · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Tugas UAS Mata Kuliah Pengantar Desain Grafis B
Konsep Bilboard Ad Makanan Ringan Indonesia
Nama : Intan Syafira G.
NPM : 1506685914
Produk : Kembang Goyang
Konsep : Strategi USP (Kerenyahan produk yang tahan lama)
 Konsep awal saya pilih dikarenakan Kembang Goyang memang memiliki kerenyahan yang tahan lama dibanding makanan ringan dalam kemasan lainya. Namun untuk menampilkannya secara menarik kepada target market young adults, kerenyahan kembang goyang ditampilkan dengan membandingkannya dengan bunga(kembang) biasa yang mudah layu. 
Print Ad ini saya desain untuk menarik audiens khususnya remaja dan young adults, dengan menggunakan sedikit elemen jenaka (membandingkan kembang goyang dengan bunga). Kembang goyang yang telah memiliki bentuk yang khas dan atraktif, diberi tangkai seakan bunga sungguhan, tetapi masih berdiri tegak dan mekar dibanding dibanding dengan bunga yang layu di sampingnya. Emoticon mata pada kembang goyang ditambahkan untuk menarik atensi ke kembang goyang. Memberi kesan young dan playful pada brand (konsep emoticon mata serupa digunakan pada tugas poster UTS produk yang sama).
Billboard berformat vertikal agar dapat menunjukkan tangkai bunga dan produk dengan baik. Background menggunakan warna abu dengan efek gradasi dan sedikit tekstur seakan dinding. Warna abu dipilih agar tidak menjadi scene stealer dikarenakan elemen pada keseluruhan desain tidak banyak dan sangat sederhana. Bunga layu berwarna ungu untuk memberi elemen baru dan balance pada desain.
Copy utama yaitu ‘Stay CRISP All Day’ untuk menunjukkan USP produk yaitu kerenyahannya yang tahan lama. Kata ‘CRISP’ dalam bahasa inggris dapat diartikan 2 hal, yaitu ‘renyah’ dan ‘segar’. Kata ‘CRISP’ ditonjolkan (sebagai USP) dengan kapitalisasi dapan penggunaan warna font kuning keemasan yang serupa dengan warna produk, ditambah dengan aksen crumbles disekitarnya. Copy mengunakan font Another Shabby agar menarik dan dapat menampilkan kesan young dan playful.
Terakhir, di bagian bawah desain terdapat space putih untuk logo pribadi, logo 100% Indonesia, logo halal, dan kemasan produk. Logo 100 & Indonesia dan logo halal berwarna hitam putih agar gambar kemasan produk tetap dapat menonjol.
1 note · View note
mediamuse-blog1 · 8 years ago
Video
youtube
Pop Cosmopolitanism: NSYNC Rasa Korea
Selama 200 tahun terakhir, peradaban dan budaya barat mendominasi dunia. Mulai dari Mickey Mouse hingga Beyonce, kegemaran terhadap pop culture barat sudah menjadi hal yang lumrah. Namun, pada tahun 1990-an, peradaban dan budaya timur juga mulai menunjukkan eksistensinya di ranah global. Salah satu guncangan terbesar berasal dari negeri gingseng, Korea Selatan, pada pertengahan tahun 1999. Korea mulai mencuri perhatian masyarakat dunia dengan pergerakan budaya Korea dari segi musik (K-Pop), konten audiovisual (TV drama dan film), juga gaya hidup (K-Beauty dan gadgets). Pergerakan ini disebut sebagai ‘Hallyu’, yang artinya korean culture wave.
Tentunya kalian juga pasti familiar dengan beberapa pengaruh Korea di industri hiburan. Pernah dengar drama Full House dan Stairway to Heaven? Atau pernah nonton musik video dari Super Junior dan Girls Generation? Sejak awal tahun 2000-an, konten hiburan Korea mulai menyebar dengan pesat. Pengaruh ini tidak hanya dirasakan di Asia, tetapi juga di Amerika. Beberapa musisi asal Korea pun telah memasuki tangga lagu populer Amerika, yaitu Billboard, seperti BTS, Big Bang, dan WINNER. 
Sejatinya, bentuk boyband dan girlband di industri musik bukan lah hal yang eksklusif berasal dari Korean Pop. Di Amerika, beberapa grup musik seperti NSYNC, Backstreet Boys, Spice Girls, dan Destiny’s Child sudah lebih dulu populer. Yang mendefinisikan musik K-Pop bukanlah bentuk boyband atau girlband-nya, tetapi musiknya yang berbahasa Korea.
Kegemaran terhadap Korean Pop yang telah mengglobal ini dapat dikaitkan dengan konsep Pop Cosmopolitanism. Menurut Henry Jenkins (2006), Pop Cosmopolitan merupakan orang-orang yang merangkul dan menggemari media yang populer secara global yang dapat menjadi bentuk pelarian atau jalan keluar dari budaya atau media yang digemari oleh sebagian besar komunitas lokal. Bentuk kegemaran terhadap K-Pop sebenarnya tidak hanya dengan sekadar mengonsumsi kontennya saja, tetapi juga kemudian mendorong minat untuk ikut terlibat di dalam industrinya. 
EXP Edition
Tumblr media
Photo Credit: http://www.sbs.com.au/popasia/blog/2017/05/22/american-k-pop-group-exp-edition-hope-bring-new-style-k-pop 
Dilansir dari laman NBC News, pada awal tahun 2015 lalu untuk pertama kalinya dalam sejarah K-Pop, terbentuk sebuah boyband bernama EXP Edition yang mengklaim diri mereka sebagai boyband Korea asal Amerika pertama. EXP Edition beranggotakan empat orang member bernama Koki Tomlinson, Frankie DaPonte, Hunter Kohl, dan Sime Kosta yang seluruhnya bukan merupakan orang Korea. Boyband ini awalnya dibentuk sebagai proyek eksperimen tiga mahasiswi Columbia University di New York, yakni Bora Kim, Karin Kuroda, dan Samantha Shao, yang ingin meneliti fenomena Korean Wave dan kesuksesan boyband K-Pop di ranah global. Tidak hanya beraktivitas di New York, boyband ini juga melakukan official debut di Korea Selatan. EXP Edition merilis single berjudul ‘Feel Like This’ yang dinyanyikan dalam bahasa Korea walaupun sebenarnya bahasa tersebut bukan bahasa utama mereka. 
(Informasi selengkapnya tentang EXP Edition dapat dibaca di tautan berikut: http://www.nbcnews.com/news/asian-america/new-york-born-k-pop-band-makes-debut-south-korea-n749291)
youtube
Di industri musik Korea sendiri, penambahan anggota boyband atau girlband yang berasal dari luar Korea sebetulnya sudah menjadi taktik yang sengaja dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat global. Namun, belum pernah ada grup K-Pop yang semua anggotanya tidak berasal dari Korea seperti EXP Edition. Kemunculan mereka tentunya menarik banyak perhatian, baik dari dalam maupun luar Korea. Respon tersebut dapat dilihat dari komenter netizen di akun YouTube EXP Edition. Pada foto di bawah ini dapat dilihat bahwa sebagian besar netizen memberikan respon negatif.
Tumblr media
Photo Credit: youtube
Tumblr media
Photo Credit: twitter
Dari respon-respon negatif ini, terlihat bahwa masuknya EXP Edition ke industri K-Pop masih dipandang sebagai sesuatu yang asing meskipun K-Pop itu sendiri sebetulnya sudah diakui secara global. Fakta bahwa anggota EXP Edition merupakan orang-orang yang berasal dari Barat tetapi menyanyikan lagu dalam bahasa Korea tidak bisa diterima oleh sebagian orang. Namun demikian, ada beberapa orang yang tetap mendukung EXP Edition. Bahkan, debut mereka di Korea Selatan disambut dengan baik. 
Tumblr media
Photo Credit: youtube 
Tumblr media
Photo Credit: youtube 
Tebentuknya EXP Edition yang anggota-anggotanya tidak berasal dari Korea tetapi ikut memproduksi produk budaya Korea melalui K-Pop ini merupakan salah satu bentuk dari Pop Cosmopolitanism yang menunjukkan kekuatan pergerakan Hallyu dalam mempengaruhi perilaku masyarakat global. Ini juga membuktikan bahwa sekarang bukan hanya budaya Barat yang dapat mendominasi, tetapi budaya Timur juga sudah memiliki pengaruh besar di ranah global. 
Tumblr media
References:
Buchori, H.F. (2016). Korean Wave Sebagai Sarana Soft Diplomacy dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Hiburan di Indonesia. Bandung: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan
Cologne. (2013, Agustus 13). Power of culture – Hallyu, the Korean wave. Retrieved from GlobeOne: http://globe-one.com/power-of-culture-hallyu-the-korean-wave-4636/
EXP EDITION (이엑스피 에디션) - LUV/WRONG MV 뮤직비디오 TEASER 최초공개! [Video file]. (2015, November 4). Retrieved May 23, 2017, from https://www.youtube.com/watch?v=sQ19pFXAEGs
Fuchs, C. (2017, April 21). New York-Born K-Pop Band Makes Debut in South Korea Amid Criticism. Retrieved from NBC News: http://www.nbcnews.com/news/asian-america/new-york-born-k-pop-band-makes-debut-south-korea-n749291
Humanities at Stanford. (2010, December 1). Why the West Rules—For Now. Retrieved from Stanford Humanities Center: http://shc.stanford.edu/news/research/why-west-rules%E2%80%94-now
Jenkins, H. (2006). Pop Cosmopolitanism: Mapping Cultural Flows in an Age of Media Convergence. In H. Jenkins, Fans, Bloggers, and Gamers: Exploring Participatory Culture (pp. 152-172). New York: New York University Press
Show Champion EP.226 EXP EDITION - FEEL LIKE THIS [Video file]. (2017, April 26). Retrieved May 23, 2017, from https://www.youtube.com/watch?v=QonVnVwU6Pc
- UTS PTIK
Hasna Shabrinisa (1506736045), Intan Syafira G. (1506685914), Melody Herawati Sitorus (1506755561)
46 notes · View notes
mediamuse-blog1 · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Pada awal 2012, Google melakukan ‘pemadaman’ sementara dengan mensensor logonya. Aksi ini merupakan salah satu bentuk protes Google terhadap SOPA dan PIPA. Selain Google, beberapa situs juga bergabung dengan gerakan anti SOPA dan PIPA seperti Wikipedia, Reddit, dan Flickr. SOPA dan PIPA menuai kontroversi besar karena undang-undang tersebut dipandang tidak melibatkan sisi industri teknologi, membungkam kebebasan berbicara, meningkatkan risiko keamanan internet, dan menghambat perkembangan internet yang inovatif. SOPA dan PIPA dirancang untuk melindungi pemegang hak cipta, dalam hal ini khususnya industri film dan musik yang sering mengalami pembajakan. Tetapi, aturan ini justru membahayakan pihak ketiga atau situs pencari informasi. Google mendukung pengajuan alternatif lain, yaitu OPEN ACT. Aturan OPEN ACT lebih menekankan bahwa untuk mengatasi pelanggaran hak cipta, solusinya bukan dengan menutup situs tetapi dengan memotong pendanaan terhadap situs yang melakukan pelanggaran tersebut. 
0 notes
mediamuse-blog1 · 8 years ago
Text
ACTA dan Global Internet Censorship
yang A
Tumblr media
Di zaman internet dan social media sekarang ini, sepertinya aksi pelanggaran copyright sudah terlalu marak dan sulit untuk dilacak saking banyaknya.  Pengguna internet sebagai pihak yang melakukan, baik dia paham copyright atau tidak, nampaknya juga masih santai-santai saja. Tapi sekarang ini sudah mulai ada bahaya mengancam nih, yaitu dari perjanjian ACTA.
Menurut WIkipedia, ACTA ini singkatan dari Anti-Counterfeiting Trade Agreement yang merupakan perjanjian multinasional tingkat global dalam maksud menyetarakan standar perlindungan dan penindakan kekayaan intelektual. Sejauh ini, sudah ada 11 negara, yang didominasi oleh negara maju, yang telah menandatanganinya. dari perjanjian ini, kalau pengguna internet melakukan salah guna kekayaan intelektual, website dan akun social media yang dia punya bisa langsung di tutup. Mereka bisa langsung diblok dari internet, mendapat ganjaran denda maupun tahanan penjara tanpa melalui persidangan. Mengerikan bukan?
Walau sudah ditandatangani sejak 2011, masih banyak masyarakat yang merasa keberatan dengan perjanjian ini. Salah satunya adalah penyalahan terhadap kebebasan berpendapat. Perjanjian ini membuka kesempatan bagi pihak berwenang untuk menekan dan menyelaksi informasi yang beredar, entah untuk kepentingan apa. It is the end of the American Dream.
youtube
Source:
https://en.wikipedia.org/wiki/Anti-Counterfeiting_Trade_Agreement
http://mastersofmedia.hum.uva.nl/blog/2013/09/13/global-internet-censorship-acta/
https://www.youtube.com/watch?v=N8Xg_C2YmG0
https://cdn.meme.am/cache/instances/folder684/62068684.jpg
0 notes
mediamuse-blog1 · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Censorship, ‘Anak Baik-Baik’ yang Sebetulnya Tidak Selalu Baik
Screenshot laman di atas rasanya pasti sudah sangat familiar bagi kita semua. Apalagi untuk yang suka buka situs aneh-aneh. Apa reaksimu ketika niat hendak mengunjungi suatu situs justru berakhir disambut tampilan yang demikian? Kesal kah, atau justru lega dan senang?
Internet positif yang berlaku di Indonesia sebetulnya menunjukkan upaya pemerintah untuk melakukan censorship konten media, khususnya apa yang ada di dalam dunia maya. Namun demikian, censorship itu sendiri sebetulnya masih menjadi sesuatu yang cukup membuat dilema sebab ia ibarat pisau bermata dua. Memang benar censorship itu ibarat malaikat yang menyelamatkan generasi muda dari perilaku-perilaku tak berguna atau bahkan malah berbahaya. Berkat censorship, boleh jadi generasi tua setidaknya jauh lebih bisa bernapas lega dan tak perlu khawatir anak-anaknya berbut asusila hingga menambah dosa.
Namun, sadarkah bila censorship juga bisa jadi penjara bagi kita? Coba berkaca dari Cina. Bukan tak mungkin censorship yang sejauh ini kekuatan terbesarnya masih dipegang pemerintah dipraktikkan berdasar kepentingan-kepentingan tertentu yang menguntungkan penguasa semata. Meski kesannya censorship ini adalah ‘anak baik-baik’, jangan lupa kalau ia bekerja di bawah kendali manusia biasa yang tentu selalu punya motif dan niat entah apa.
Oh iya, jangan lupa pula kalau internet juga kenal dengan yang namanya VPN. Sementara censorship ini diberi labelling sebagai anak baik-baik, VPN kebalikannya. Banyak orang menganggap VPN ini sebagai sahabatnya netizen-netizen nakal yang entah gila judi, kekerasan, barang ilegal, atau gila seksual. Padahal, tidak juga. VPN ini justru jadi savior bagi khalayak yang akses internetnya terlalu dikekang negara sampai-sampai buta terhadap informasi dan kebenaran.
Don’t trust everything you see.
0 notes
mediamuse-blog1 · 8 years ago
Photo
Tumblr media
2014 lalu, Guardian sempat memberitakan bahwa badan intelijen Amerika, National Security Agency (NSA), dan badan intelijen Inggris, GCHQ, dapat menyadap informasi pribadi melalui aplikasi game Angry Birds. Penyadapan ini merupakan bagian dari sebuah skenario yang disebuat dengan Golden Nugget. Apa saja informasi yang diambil? Dari pengguna game ini, NSA dapat mengambil sampai data pribadi yang detail seperti lokasi pengguna, pendapatan, tingkat pendidikan, orientasi seksual, dan status pernikahan. So creepy.
sumber:
theguardian.com
0 notes
mediamuse-blog1 · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Budaya partisipasi online telah membuka ruang gelap dari internet melalui perilaku-perilaku pelecehan. Ada banyak sekali komentar-komentar buruk yang beredar di media sosial. Rasisme, komentar homophobic, bullying, dan tentunya komentar yang misoginis banyak terjadi di internet.
Mari melihat komentar-komentar misoginis. Screenshots di atas merupakan komentar yang muncul dari postingan politik yang dibuat aktivis Laura Bates. 'Surely you should go back to the kitchen' atau 'Has she got knockers' merupakan respon-respon yang ia dapatkan. Komentar-komentar ini  sama sekali mengacuhkan konten yang ditulisnya. 
Ini hanya sedikit contoh komentar misoginis di media sosial. Komentar bernada serupa sangat sering muncul hingga dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Komentar seperti ini juga menunjukkan bahwa ketika perempuan menuliskan pemikirannya di internet, mereka tidak dipandang serius. Hal yang juga menyedihkan adalah ketika perempuan melaporkan bahwa mereka telah dilecehkan, komentar-komentar yang didapat adalah komentar yang menyepelekan seperti 'Get on with it', 'It's not that serious', 'You're exaggerating'. Pelecehan-pelecehan ini membuat perempuan merasa tidak aman serta menekan kepercayaan diri mereka.
sumber gambar
womenundersiegeproject.org
0 notes
mediamuse-blog1 · 8 years ago
Video
youtube
Buat teman-teman kelas PTIK, setelah baca bahan “Inside the Matrix” dari James Bamford (2012) dan mulai ngebayangin isu tersebut, bisa mendalami lagi soal data assembly NSA dengan media yang lebih menarik mealui film “Snowden”. Will you be like him, taping your laptop’s webcam out of fear of being under surveillance?
Sumber Video:
https://www.youtube.com/watch?v=QlSAiI3xMh4
0 notes
mediamuse-blog1 · 8 years ago
Text
Pelecehan dan Victim Blaming
Tumblr media
Dikutip dari Blogging While Female oleh Jill Filipovic (2007), pemilik dari AutoAdmit, Jarret Cohen dan Anthony Ciolli, mengatakan pada The Washington Post bahwa para perempuan diikutkan dalam kontes “Most Appealing Women” telah mengundang pelecehan dengan mengunggah foto-foto mereka secara online - dengan kata lain, mereka sendiri yang menginginkannya terjadi.
Dari pernyataan tersebut, saya menemukan unsur yang serupa bila dibandingkan dengan kasus pelecehan fisik, yaitu Victim Blaming. Dengan menyalahkan perilaku korban sebagai penyebab utama dari terjadinya pelecehan itu sendiri, seakan mencoba mencari pembenaran dari apa yang dilakukan oleh pelaku. Pelecehan dalam bentuk apapun seharusnya tidak diberikan pembenaran apapun. Apa perempuan tidak lagi memiliki hak untuk merasa aman, baik di dunia nyata maupun online?
Source:
Filipovic, Jill. 2007. Blogging While Female: How Internet Misogyny Parallels “Real-World” Harassment. Yale Journal of Law & Feminism
https://cfuwadvocacy.files.wordpress.com/2014/04/tumblr_n04sukdv5n1rtvc4ao1_500.jpg
0 notes
mediamuse-blog1 · 8 years ago
Link
I Know You Know That I Know You Know I Know 
Sebelum tiba pada tulisan ini, mungkin sebelumnya kamu sedang menjelajah situs-situs lain yang penuh dengan iklan di mana-mana. Beberapa iklan bisa jadi terasa cocok atau ‘pas’ dengan apa yang kini tengah jadi keinginan dan kebutuhanmu. Atau mungkin, boleh jadi sebelum ini kamu sedang mengorek informasi soal ia yang diam-diam jadi incaran hati. Kalau dia aktif menggunakan internet dan kamu pandai menggunakan search engine, sudah pasti ada banyak hal yang tergali. Tahu kenapa bisa begitu?
Artikel di atas serta video di bawah ini sangat menarik dan dapat menjelaskan masalah privasi di dunia maya dengan sederhana pun mudah dipahami. Kamu akan takjub dengan cara kerja ‘segala sesuatu’ di balik layar gadget yang kelihatannya hanya sekadar benda mati. Mulai detik ini, jangan lagi salah sangka. Sekali membuka gadget, sejujurnya kamu sudah tak punya kuasa. Sekecil apapun tindakanmu, semua terekam dan tak lagi ada kata privasi dalam kamus maya. Nasihat untuk berhati-hati dalam menjelajah dunia digital adalah benar adanya,
youtube
Terakhir, biarkan kutipan dari video di atas yang saya ambil dari description box-nya ini menyimpulkan satu kebenaran pahit dan mengerikan untuk selalu dikenang oleh ingatan..
If you're not paying, you're not the customer--you're the product.
0 notes
mediamuse-blog1 · 8 years ago
Link
Sisi Lain Budaya Partisipasi Online, Bahaya yang Sering Kali Tak Disadari
Sudah sempat tahu atau baca berita serupa yang di atas? Kejadian yang cukup menghebohkan jagad maya itu hanya lah salah satu bukti bahwa partisipasi online tak selamanya manis. Nyatanya, partisipasi online acap kali justru membuka ruang terhadap berbagai hal negatif yang agaknya patut diwaspadai. 
Cyber-bullying ini adalah salah satu contohnya. Ruang-ruang terbuka untuk berkomentar, menuliskan pendapat, ataupun mengungggah konten sesuai kehendak pribadi dapat berakhir menjadi sarana menyakiti. Kasus yang dialami Cinta Kuya dapat mencuat ke publik dan para pelaku cyber-bullying yang bersangkutan boleh jadi berkurang atau malah hilang. Namun, coba bayangkan kasus serupa terjadi pada mereka yang tidak memiliki daya dan kuasa seperti Cinta serta keluarga Kuya. Belum tentu mereka akan mendapat perlindungan dan bantuan yang sama. Malangnya, sebetulnya memang benar-benar banyak kejadian serupa di dunia maya yang tak terkuak. Beberapa bahkan berakhir pada bunuh diri, dampak paling fatal dari bahaya yang sering kali tak disadari ini.
Tumblr media
Sementara itu, tidak hanya cyber-bullying yang perlu menjadi sorotan dalam membahas sisi lain partisipasi online. Sexual harrasment, catcalling, dan hal-hal semacamnya ternyata juga terjadi di ranah maya. Pelakunya pun mungkin saja orang-orang yang sama, tapi mungkin pula justru mereka-mereka yang di dunia nyata tak punya keberanian dan lantas berlindung dalam akun-akun palsu atau tanpa nama. Screenshot di atas diambil oleh teman saya yang beberapa hari lalu sedang menyimak live salah satu MUA (Make Up Artist) sekaligus Youtuber Indonesia terkenal. Tak perlu dijelaskan sebetulnya screenshot tersebut sudah cukup bercerita. Sepanjang sesi live, aneka komentar berupa kalimat-kalimat berbau hal seksual yang cukup eksplisit dilontarkan tanpa malu-malu. 
Dua contoh di atas menunjukkan sebuah ironi tersendiri. Ketika berbagai platform digital banyak dimanfaatkan untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu identitas dan perbedaan, pada saat yang sama platform serupa juga digunakan mereka yang tak punya cukup literasi media untuk melakukan hal-hal yang bersinggungan dengan isu-isu identitas dan perbedaan tersebut. 
Nb: Bonus sebuah video singkat yang layak kamu saksikan untuk meningkatkan kesadaran akan cyber-bullying sebagai salah satu sisi lain partisipasi online. Menyentuh dan bikin haru!
youtube
0 notes
mediamuse-blog1 · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Nama: Intan Syafira G. NPM: 1506685914 Logo ini dibuat untuk Yeremia Geoffrey dalam rangka tugas pembuatan logo mata kuliah Pengantar Desain Grafis (PDG) B. Logo membentuk huruf Y dari inisial nama Yeremia. Bentuk Y tersebut juga membentuk ujung kubus dengan kesan multi dimensional. Ini untuk menggambarkan pribadi Yeremia yang juga multi dimensional, memiliki beraneka ragam sifat. 3 buah panah yang mengarah ke poros logo di sekitarnya ini untuk menggambarkan kemampuan Yeremia untuk belajar dan menyerap ilmu dari mengobservasi lingkungannya. Selain itu warna yang dipilih merupakan warna merah hati untuk menggambarkan boldness di diri Yeremia yang tidak terlalu menonjol dan overpowering. Font yang digunakan untuk nama Yeremia adalah font Montserrat Light. Desain Logo secara keseluruhan bernada minimalis dan futuristik untuk menimbulkan kesan organized, profesional, dan lebih relevan terhadap trend desain masa kini. Kekurangan dari desain ini adalah, apabila di cetak dalam hitam putih, kesan dimensional dapat hilang. Hal ini dapat disiasati dengan menggunakan garis tepi.
0 notes
mediamuse-blog1 · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Perkembangan teknologi seperti yang terlihat pada perkembangan internet kini sudah memungkinkan partisipan juga memiliki kesempatan untuk membuat pesan mereka didengar. Perkembangan ini membuat para fans kini dapat berada sejajar, bahkan lebih dikenal, dengan seniman yang mereka idolakan. Karya-karya yang dibuat oleh para fans seperti mashups yang tersebar dari mulut-ke-mulut serta lewat internet kini dapat menarik perhatian lebih besar daripada sumber asli atau material yang menginspirasi karya para fans tersebut. Kegiatan ini kini tidak hanya dilakukan secara independen, tetapi juga dapat dilakukan secara agregat. Tetapi, karya-karya seperti mashups ini menuai perdebatan. Di satu sisi mashups dipandang sebagai sesuatu yang kreatif atau inventif dan juga membentuk nilai budaya dan artistik dalam proses pembuatannya. Musik seperti hip hop kerap berkembang melalui sampling. Namun, perkembangan mashups berbenturan dengan hak cipta. Di sisi lain para penentang mashups memandang bahwa pembuat karya original perlu dilindungi dari pelanggaran hak cipta dan ingin membatasi fair use.
0 notes
mediamuse-blog1 · 8 years ago
Text
Sousa serta Hubungan antara Manusia & Budaya
Dalam bukunya (Remix, 2008), Lawrence Lessig membahas mengenai Sousa serta hubungan antara manusia dan budaya di masa lalu. John Philip Sousa merupakan seorangkomposer dan konduktor pada akhir era Romantik.
Sousa mengalami apa yang disebut sebagai Read & Write (RW) culture dimana orang-orang membaca atau mengkonsumsi suatu produk budaya tertentu dan setelah itu mencoba untuk menulis atau memproduksi ulang ke bentuk baru yang lebih memuaskan mereka. Namun dengan berkembangannya berbagai medium yang makin mempermudah konsumsi produk budaya (contoh: radio, recorder, kaset, CD, dll) menimbulkan suatu ketakutan akan hilangnya budaya RW ini.
Budaya RW tersebut dapat dengan mudah digantikan oleh Read Only (RO) culture, dimana orang-orang cenderung hanya membaca dan mengkonsumsi produk budaya sehingga mengurangi praktik dan kreatifitas amatir. Berkembangnya berbagai medium dalam mengkonsumsi produk budaya mendorong adanya kebutuhan untuk membangun suatu industri yang tersistematis dan profesional. Budaya RO ini dipercaya telah membawa perubahan dengan munculnya musisi dan superstar yang berpengaruh luas.
Menurut saya, kekhawatiran Sousa mengenai mulai menghilangnya budaya RW tersebut dapat dipahami. Namun dengan berkembang pesatnya budaya RO dengan industri produk budaya yang tersistematis tidak serta merta menghanguskan budaya RW. Nyatanya sekarang ini dengan bantuan medium internet yang sangat terbuka akan partisipasi dan kolaborasi, orang-orang tidak hanya didorong untuk mengkonsumsi, tapi juga memproduksi karya budayanya tersendiri. Kreatifitas amatir yang mereka miliki kini malah dapat didistribusikan dengan mudah melalui social media dan medium lainnya.
Sumber Bahan:
Lessig, Lawrence (2008) Remix: making art and commerce thrive in the hybrid economy, pp.23-31
https://en.wikipedia.org/wiki/John_Philip_Sousa
Sumber Foto:
https://cdn.meme.am/cache/instances/folder599/500x/64932599.jpg
0 notes
mediamuse-blog1 · 8 years ago
Video
youtube
Cover video ini boleh jadi menampilkan potongan videoclip lagu dari selebgram terkenal yang cukup kontroversial dan tidak disukai banyak orang. Tapi jangan salah sangka dan jadi malas duluan! Video di atas bukan versi aslinya, melainkan versi parody yang justru bikin ngakak karena sudah di-remix/di-mashup.
Budaya ‘remix’ atau ‘mashup’ memang telah memberi ruang untuk seluruh khalayak menyalurkan kreativitas mereka dengan mengubah, menambah, atau memodifikasi konten media yang sudah ada sebelumnya.
Pada intinya, dapat ditarik benang merah berupa dua kata kunci yang menggambarkan bagaimana remix atau mashup bekerja, yaitu sharing dan reworking.
0 notes
mediamuse-blog1 · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Naruto merupakan salah satu fiksi yang cukup dekat dengan masa kecil saya. Ketika animenya pertama kali muncul di Global TV, anime ini langsung populer. Banyak teman-teman saya yang menggemarinya dan setia mengikuti perjalanan Naruto sampai saat ini. Hampir semua tas teman sekelas saya memiliki gantungan kunci Naruto. Mereka membeli komik, film, merchandise, trading cards, game, membahas fan fiction, hingga membeli kostum tokoh-tokohnya dan berlarian di sekolah dengan gaya Naruto. Bahkan hingga saya lulus SMA, masih banyak teman-teman saya yang setia dengan Naruto, dan ternyata tidak hanya lingkungan saya saja yang menyukai Naruto, namun karya Masashi Kishimoto ini sudah sangat mendunia. 
Apa yang terjadi pada Naruto adalah transmedia storytelling. Menurut Jenkins, transmedia storytelling merupakan proses ketika elemen-elemen yang tidak terpisahkan dari sebuah fiksi tersebar secara sistematis pada berbagai saluran pengiriman dengan tujuan menciptakan pengalaman hiburan yang padu dan terkoordinasi. Idealnya, setiap medium memiliki kontribusi uniknya sendiri dalam pengungkapan cerita. Kita dapat melihat bagaimana dunia Naruto mengalir dalam berbagai media: dari komik, anime, film, merchandise, website, game, fan fiction, fan arts, dan masih banyak lagi. Kompleksitas dari cerita Naruto menjadi bahan bagi perusahaan media untuk memanfaatkannya dengan memperluas Naruto ke dalam sebanyak mungkin platform. 
Seiring dengan perkembangan usia tokoh-tokoh Naruto, khalayak yang dapat diraih pun tidak hanya pada segmen anak-anak, tetapi juga remaja dan dewasa. Dari penyebarannya pun Naruto yang merupakan fiksi dari Jepang berhasil menemukan pasarnya di belahan dunia lain termasuk Amerika. Viz Media, perusahaan manga, anime, dan hiburan Jepang yang berada di San Fransisco berhasil memasarkan lini produk Naruto untuk khalayak dari semua usia dan bekerja sama dengan Cartoon Network untuk menayangkan anime Naruto untuk anak-anak dan remaja. Usaha ini mendorong potensi animasi Jepang yang sebelumnya merupakan pasar yang kecil di Amerika kini mulai dilihat sebagai sesuatu yang mainstream. Di sisi lain kita juga dapat melihat fenomena ini sebagai pop cosmopolitanism, yang menurut Jenkins mengacu pada cara-cara arus transkultural dari budaya populer menginspirasi bentuk-bentuk baru dari kesadaran global dan kompetensi budaya. Berbeda dari generasi sebelumnya, anak-anak di Amerika yang sebelumnya mengidentifikasi diri mereka dengan komik Marvel atau DC kini jgua mengidentifikasi diri mereka dengan konsumsi manga dan anime Jepang.
-
gambar: https://www.hulu.com/naruto
sumber: 
http://www.animenewsnetwork.com/press-release/2005-12-06/viz-media-announces-anniversarry-edition-of-shonen-jump
https://icv2.com/articles/comics/view/13941/whv-distribute-viz-media-anime
0 notes
mediamuse-blog1 · 8 years ago
Text
Popularitas Korea di Indonesia
Tumblr media
Menurut Henry Jenkins, Pop Cosmopolitan merupakan orang-orang yang merangkul dan menggemari media yang populer secara global yang dapat menjadi bentuk pelarian atau jalan keluar dari budaya atau media yang digemari oleh sebagian besar komunitas lokal. Menurut saya definisi ini dapat sangat dikaitkan dengan pennggemar Korea di Indonesia.
Buat kalian yang sekarang ini sudah familiar dengan K-Pop/Hallyu Wave atau bahkan sudah mengaku sebagai die-hard fans, bisa dibiliang sekarang ini sudah merupakan masa emas K-Pop. Saya sebagai salah satu penggemar sejak lama pernah merasakan apa yang digambarkan di meme diatas, bahkan masih sampai sekarang.
Sejak SD (mungkin) saya sudah mulai terekspos dengan hal-hal berbau Korea, dimulai dari drama-drama Korea yang di re-run di stasiun TV lokal. Yang familiar dengan Stairway to Heaven dan Full House, itu tontonan rumah saya dulu, yang selalu saja diidentikkan dengan Taomingse dan Meteor Garden sama ibu saya. Beranjak SMP saya mulai terekspos Internet, dan mulai juga keracunan K-Pop (ini zamannya Super Junior). Di masa ini masih terasa kesepian, karena teman berbagi kegemaran K-Pop masih sulit ditemukan. Walau begitu saya tetap curi-curi untuk mendengarkan musiknya, menonton dramanya, dan seterusnya.
Beranjak ke SMA dan juga kuliah, saya semakin sering berusaha beranjak dari realita hidup dan meng-eksplor hiburan ala Korea via Internet. Di saat yang sama, K-Pop dan K-Drama makin mengglobal. Kini tidak lagi sulit untuk bertemu dengan fellow K-Pop fans  melalui komunitas online. Walau sekarang, re-run K-Drama makin sering di TV lokal, dan makin banyak lagu Korea yang dimainkan di tempat umum, masih banyak warga lokal yang tidak menyadari dan mengenalinya.
Nyatanya berbagai global popular culture memang belum tentu diketahui dan dipahami keseluruhan orang di area lokal kita. Tidak hanya disebabkan oleh exposure media yang berbeda, tapi juga karena makin banyaknya persaingan, terutama dari sisi barat versus timur. Konvergensi media membuka kesempatan bagi berbagai budaya untuk diangkat ke taraf global. Amerika tidak lagi menjadi satu-satunya pemeran dominan dalam hal budaya populer global. Kita sebagai konsumen memiliki opsi dan kekuatan untuk memilih konten dan budaya yang kita konsumsi sekarang.
Sumber Foto:
https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/564x/15/8c/3a/158c3a06069034aa1783e70f74350504.jpg
Sumber Bacaan:
Jenkins, H. Pop cosmopolitanism : mapping cultural flows in an age of media convergence. Fans bloggers and gamers : exploring participatory culture 2006 ch. 7 pp 152-172 New York University Press https://med104exp.files.wordpress.com/2010/11/2-3jenkins.pdf
0 notes