moonfraction
moonfraction
a pocket of twists
36 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
moonfraction · 5 years ago
Text
awal yang baru
Aku kembali menulis,
sesederhana untuk kembali mencari jati diri.
untuk menangkap pecahan-pecahan jiwa yang bergentayangan.
untuk kembali menemukan letak kehangatan sesungguhnya.
Aku kembali menulis,
bukan sekedar untuk mendengar tutur-tutur pujian.
walaupun—
tidak mampu untuk membohongi diri,
apabila mereka menyanjung butiran-butiran kalimat dalam lembaranku.
Aku kembali menjelajahi perjalanan alam,
bersuara dengan riak-riak semesta,
berjumpa dengan segelintir jiwa;
Jung, Murakami, Coelho, Plato,
yang barangkali—
berkenan untuk membantu menggali-gali inspirasi untuk kembali menulis.
Aku kembali menyadari,
bahkan untuk berdamai dengan diri sendiri,
memang bukanlah perkara yang mudah.
bukan sekedar hitam, putih, hitam, putih,
namun juga harus siap ditelan kekacauan.
Aku kembali menulis,
tiga puluh hari lamanya,
selalu diburu oleh waktu,
terkadang dirundung kekesalan, kekecewaan, dan ketidakpuasan.
hanya menatap fakta bahwa tulisan-tulisan ini belum seberapa.
tidak menendang,
tidak beraturan,
terlalu dipaksakan,
dan sebut saja yang lainnya.
Aku kembali menulis,
masih tenggelam dalam ketidakpuasan, terkadang,
namun paling tidak,
jiwaku perlahan mengalir tenang.
tidurku kembali lelap.
tanganku berhenti bergetar.
dan tubuhku mulai kembali bugar.
4 notes · View notes
moonfraction · 5 years ago
Text
tutup emosi
Untuk menjadi pribadi yang tegar, bukanlah perkara mudah.
Untuk menjadi pribadi yang selalu menebar senyuman, bukan berarti mereka tidak pernah memendam rasa sakit.
Untuk menjadi pribadi yang terus mendahulukan kepentingan diri sendiri, bukan berarti mereka tidak pernah mendengar cemooh-cemooh yang melabeli mereka dengan ‘egois’.
Untuk menjadi pribadi yang mampu bangkit, bukan berarti mereka tidak pernah merasa tenggelam akibat terjatuh.
Tidak sedikit orang-orang yang mengganggap bahwa bangkit dapat dengan mudah dilakukan, terutama apabila kamu berasal dari kelas yang jauh diatas. Sejujurnya, bahkan masih banyak sekali yang membanding-bandingkan penderitaan yang diderita oleh masing-masing individu. Mereka seringkali mengkalim bahwa masih banyak yang jauh lebih menderita dibanding yang lain. Secara tidak langsung, mereka menjadikan kekurangan orang lain sebagai bahan untuk meningkatkan rasa syukur yang dimiliki.
Keinginan untuk bangkit atau biasa disebut sebagai resiliensi memegang peranan penting dalam setiap individu, mengingat bahwa seluruh manusia tidak pernah tidak mendapatkan masalah. Namun perlu diingat, bahwa kemampuan mereka untuk bangkit juga dipengaruhi oleh beragam faktor. Kita tidak bisa membandingkan seberapa besar kesedihan yang dialami orang lain dengan diri kita sendiri. Mungkin, bagi kita tragedi tersebut hanyalah peristiwa biasa. Namun, bagi orang lain, apakah akan sama?
Menumbuhkan kemampuan dan keinginan untuk bangkit, tidak melulu melalui proses yang insan. Bukan berarti bahwa kita harus mengunci perasaan negatif dan berpura-pura bahwa hal tersebut tidaklah nyata. Nyatanya, berbagai penelitian telah membuktikan bahwa seorang manusia yang terlalu fokus pada emosi positif, maka mereka akan kehilangan esensi dari resiliensi itu sendiri.
Membiarkan emosi negatif mengalir merupakan suatu perjalanan untuk berdamai dengan diri sendiri. Akan sangat fatal akibatnya apabila manusia tidak pernah merasakan emosi negatif, atau yang lebih mengerikan, menolak untuk mengakui bahwa perasaan-perasaan seperti itu memang ada. Resiliensi atau kemauan untuk bangkit senantiasa mengingatkan kita, bahwasannya emosi negatif juga perlu kita rangkul. Perlu kita haturkan ucapan terima kasih. Terima kasih, karena telah mengasah diri untuk menjadi lebih kuat dan tegar. Untuk dapat mendorong kemauan bangkit tersebut bergelora dalam diri sendiri.
Sekali lagi, perkara mampu untuk bangkit, bukanlah perkara yang mudah.
1 note · View note
moonfraction · 5 years ago
Text
eccedentesiast;
Ting Tong 
Bel pulang sekolah telah berbunyi. Sore hari, jam menandakan pukul 16.45. Langit oranye sore perlahan berpulang kembali ke singgasananya.
Ana segera bergegas untuk merapikan buku-bukunya dan meluncur menuju loker. Ia harus cekatan agar bisa mengejar ketertinggalan jam pelajarannya di tempat les kemarin sore.
“Ana, hari ini kita mau pergi karaoke dengan Nina dan Puput! Mau ikut, tidak?” Elisa menepuk pelan bahu Ana dari belakang. Ana, dengan pandangan fokusnya tertuju pada loker hanya bisa mendesah dalam hati. Kenyataan bahwa besok akan diadakan ulangan harian rupanya tidak membuat teman-teman dekatnya bergidik mendapatkan nilai rendah.
Ana menolehkan kepalanya, “Hari ini aku harus les. Kemarin tidak masuk, soalnya,” jawabnya.
“Ah, benar-benar membosankan! Memangnya sepenting itu, ya?” tubuh Elisa bersandar pada loker di samping loker Ana, wajahnya benar-benar melukiskan kebosanan yang teramat dalam pada sahabatnya itu.
“Lis, sebentar lagi akan ada ujian masuk kuliah. Memangnya kamu tidak khawatir?”
“Tidak sama sekali! Toh, masih banyak universitas swasta yang tidak mengharuskan nilai atau peringkat yang tinggi! Hihi,” Elisa tertawa kecil. Ia melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya, “Wah, aku nyaris terlambat! Sampai besok, Na!” lanjutnya melambaikan tangan dan berlari menuju gerbang sekolah.
Dengan ini, berakhirlah keceriaan sehari-hari Ana.
Ana segera bergegas mencari angkutan umum yang mengantarkannya menuju tempat les. Ia harus benar-benar memperhatikan seluruh mata pelajaran sore ini.
Ana belajar di tempat les hingga pukul setengah delapan malam yang disertai dengan dua waktu istirahat. Ana tetap tersenyum dan mengerjakan soal-soal yang diberikan.
Pukul 20.00, Ana sudah sampai di rumahnya. Sesampainya di rumah, Ana sangat lapar dan melangkahkan kakinya ke dapur. Begitu tangannya meraih pisang goreng di meja makan, tangan Mama menahannya. “Ana, sudah pulang, ya? Sebelum makan, kerjakan soal terlebih dulu, ya?” kata Mama tersenyum.
“Tapi Ana lapar—”
“Hari ini di tempat les, mendapatkan nilai berapa?”
Ana menatap lekat tatapan Mama yang jelas jauh lebih mengkhawatirkan kondisi akademiknya ketimbang perutnya yang meronta kelaparan, “Tertinggi lagi, Ma. Tadi Ana mendapat 85,” Ana tersenyum. Mendengar jawaban putrinya, raut wajah Mama berubah kaget dan mengeras, “Kalau begitu, hari ini jam belajarnya ditambah lagi, ya!”
Ana kembali menatap wajah Mama. Dengan berat hati, ia tersenyum, “Oke,”
Ah. Melelahkan sekali.
Kaki Ana melangkah menuju kamarnya yang berada di lantai tiga. Sesampainya di kamar, ia segera mengeluarkan buku-buku pelajarannya. Mama yang mengikutinya dari belakang memilihkan soal-soal yang harus Ana kerjakan lalu mengunci pintu kamar putrinya dari luar. Ana baru boleh makan selesai ia menjawab 40 soal uraian matematika dan 20 soal uraian kimia terlebih dahulu.
Tik Tok.
Manakah yang akan lebih sakit? Melalui tali atau terbang saja? Atau dengan meminum? Dengan menyelam?
Sembari mengerjakan soal-soal, Ana mulai mendengar pertengkaran yang terjadi antara Mama dengan Papa, yang sudah menjadi makanan sehari-harinya.
Tik Tok.
Pukul 23.00, Ana mengumpulkan jawabannya ke Mama lalu menanyakan satu hal yang ia inginkan, “Boleh, kamu boleh melakukan apapun sekarang!” kata Mama.
Ana tidak memercayai perkataan tersebut, matanya berkaca-kaca. Arus perasaan lega mulai mengaliri nadinya. Ia kembali ke kamar tidurnya dan membuka pintu balkon. Ia memanjati pagar balkon, lalu mulai melayang di udara.
Ah, rasanya bebas sekali.
0 notes
moonfraction · 5 years ago
Text
monster
Terdapat banyak hal di dunia ini yang manusia takuti; seperti rasa kehilangan, dikhianati, dicampakkan, dan lainnya. Tidak hanya melalui emosi, namun manusia juga merasa takut akan hal-hal yang menyeramkan seperti jin dan makhluk gaib lainnya.
Yang menjadi pertanyaan besar adalah;
Mengapa mereka merasa setakut itu untuk menghadapi makhluk-makhluk tersebut?
Apakah mereka takut untuk diganggu?
Apakah mereka takut dengan rupa mereka?
Apakah mereka takut untuk dirasuki?
Berkali-kali Ibu mengatakan untuk tidak perlu merasa takut akan hal seperti itu. Alasannya cukup sederhana, “Mereka juga merupakan makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa. Untuk apa kita merasa takut dengan sesama makhluk yang diciptakan-Nya?”
Logika yang sederhana namun melekat hingga kini aku mulai menetap sendiri di kota orang.
Aku memang tidak banyak berbicara, tidak banyak membaur dengan berbagai grup sosial, tidak sering disapa oleh seseorang setiap aku pergi ke suatu tempat, dan tidak biasa untuk memulai obrolan dengan seseorang yang masih asing di mataku. Walau begitu, hal tersebut tidak menutup diriku untuk melakukan observasi. Tidak perlu jauh-jauh, aku cukup sering memantau sekelilingku; dimulai dari perilaku mereka, bagaimana mereka bereaksi terhadap tekanan akademik, bagaimana mereka bersosialisasi, bagaimana mereka menampilkan jati diri mereka di media sosial, bagaimana mereka menyembunyikan rahasia tergelap mereka (walau hanya dengan segelintir insan), dan masih banyak lagi.
Banyak hal yang didapat dari hasil pengamatan tersebut, dan beberapa pelajaran itu seringkali aku kaitkan dengan kesehatan mental yang kupelajari di jurusan tempat aku berkuliah. Aku menyadari satu hal:
Bahwasannya manusia-lah yang merupakan makhluk paling mengerikan diatas segalanya. Yang paling memiliki banyak akal, yang dapat dengan mudahnya memanipulasi, dan lainnya.
Tidak banyak orang yang bisa menyadari, bahwa teman kuliah yang selama ini selalu tersenyum membantu kita rupanya menyimpan berjuta rahasia yang menyayat pergalangan tangannya setiap malam. Dosen yang seringkali mengajar mahasiswa dengan suasana hati buruk bisa saja sedang bermasalah dengan keluarganya. Teman kita yang terlihat malas dan tidak niat untuk belajar bisa saja sedang mengalihkan pikirannya dari kegelisahan dan trauma yang pernah menimpa mereka.
Rentetan kejadian tersebut dimulai dari manusia. Bisa orang lain, atau diri sendiri. Karena pada dasarnya manusia lebih sering berfokus pada sisi negatif ketimbang yang positif. Karena manusia bisa dengan mudahnya mencari-cari kesalahan orang lain yang mengabaikan kebaikan mereka.
Dan yang mengerikan, bahwa kita semua berpotensi untuk melakukan hal yang serupa. Entah kepada diri sendiri, orang-orang di sekitar, atau bahkan keduanya.
Kita terlalu takut dengan hal-hal dari luar yang mengerikan, dengan mengenyampingkan kekuatan jahat yang kita miliki dalam diri sendiri. Kita terlalu takut untuk berlarut-larut dalam emosi negatif yang akhirnya menutup rasa empati diri sendiri. Kita terlalu takut oleh monster yang dimiliki orang lain tanpa memperhatikan monster dalam diri sendiri.
Kita terlalu sering menjatuhkan orang lain, sangat dalam, tanpa pernah memperkirakan bahwa hal tersebut sama saja dengan menjatuhkan diri sendiri.
0 notes
moonfraction · 5 years ago
Text
in a world full of
In a world full of madness, there are numberless types of people who seeks for recognition. One who glorifies the concept of busyness, one who competes to see who runs into weariness the most, one who forces him/herself to break through the daily hustles and bustles, and another one who enjoys to measure their gaining based on how hectic the daily activities they undertake every single day.
In a world full of impermanence, lots of people seems to enjoy delving and mingling into the silhouette of others; which had probably been ingrained for decades. Or worse, converging into their identity. The beauty standard, lack of mental health awareness, a never ending argumentation regarding masculinity and femininity, tolerance, empathy, and many more. Those are just a fraction of examples which reflect our reality. One tries to bargain everything they have with an unimaginable appearance, or excessive and unhealthy amount of surgeries just to gain approval on social media. In a world full of temporaries, numerous people—instead of understanding who they really are, even are willing to identify themselves as what the society has labelled them.
In a world full of noises, however, there is still hope. Hope will always exist, no matter where it lies. Even it is buried, trapped or concealed within the deepest ashes. There are people who continuously prays for hope. One still wishes for authenticity, and slowness. One still wishes to accept the actuality and flourish his/her empathy.  And one still wishes to be true to who they really are.
1 note · View note
moonfraction · 5 years ago
Text
dalam gelap
Dalam gelap aku terbangun,
merasa bingung dan tak karuan,
menyandarkan tubuh yang letih,
dan memeluk lututku.
Dalam gelap aku terbangun,
hanya bisa meratapi langit angkasa,
bertaburan bintang-bintang
dilukis oleh nada malam.
Dalam gelap aku masih terbangun,
membiasakan tatapan ini bercengkrama dengan pekatnya suasana,
kembali memeluk selembar kenangan yang bertumpahkan perasaan,
yang hanya bisa kuratapi dari kejauhan.
Apakah aku menunggu seseorang?
Ataukah sedang ditunggu seseorang?
Dalam gelap aku teringat,
lembutnya belaian tangan yang menyusuri helai-helai rambut,
hangatnya pelukan yang menyapa di pagi hari,
yang menanti di sore hari,
yang mengunci dinginnya angin malam hari.
juga manisnya senyuman yang senantiasa mengobati rasa duka.
Dalam gelap aku masih teringat,
asap hangat yang membumbung di atas secangkir teh,
diiringi dengan suara indah yang tak lelah bercerita,
halaman-halaman kuno akan;
kisah kasih,
perang pena,
kekecewaan,
pernikahan,
senda gurau,
dan masih banyak lagi.
Apakah aku,
masih memiliki kesempatan yang sama?
masih mendapatkan kebebasan yang serupa?
Dalam gelap aku memejamkan mata,
hanya untuk mengulang itu semua. 
0 notes
moonfraction · 5 years ago
Text
blessed rain after the drought
Barangkali kamu pernah merasa,
atau mungkin sedang merasa,
bahwa dunia ini tidak akan pernah adil,
bahwa dunia ini hanya memihak pada mereka yang lebih mulia.
Mulia,
di mata siapa?
Rasa penasaran itu tidak pernah berhenti berlari,
dan terus membayang-bayangi.
Barangkali kamu pernah mempertanyakan,
mengapa ia pergi meninggalkan,
mengapa ia enggan untuk kembali,
setiap detik semenjak kekasih hati perlahan menjauh,
setiap menit yang ia habiskan dengan wanita lain di belakangmu,
dan setiap janji yang telah ia ingkari dalam tautan kepercayaanmu.
Barangkali kamu pernah merenungkan,
setiap jejak kebersamaan yang telah memudar,
setiap panggilan istimewa yang telah menjadi nama,
setiap sapa yang menjelma menjadi kaku,
juga setiap kenangan yang hanya tinggal kenangan.
Barangkali kamu pernah meragukan,
setiap kekuatan usaha juga panjatan doa,
yang pada akhirnya mengkhianati diri sendiri,
yang pada akhirnya tidak menyeretmu dari keterpurukan,
atau mungkin itu yang kamu pikirkan.
Barangkali kamu juga harus melihat,
bahwasannya setiap insan memiliki cerita,
yang akan berjalan di waktunya masing-masing,
yang akan memiliki nasihat,
terkadang teguran,
yang berbeda satu sama lain.
Barangkali kamu harus menyadari,
bahwasannya kehangatan masih terbit di tengah dinginnya salju putih,
bahwasannya seekor kunang-kunang masih menerangi kebun malam,
bahwasannya,
tetesan air hujan masih akan mengunjungi ditengah kekeringan.
0 notes
moonfraction · 5 years ago
Text
satu burung gagak
Hanya membutuhkan dua burung gagak.
Dua burung gagak saja.
Satu burung gagak,
Telah berhasil membanting kepercayaan diriku habis-habisan beberapa bulan yang lalu. Setelah diterpa kebangkrutan bisnis perhiasan yang telah kulakoni selama empat bulan; yang berakar dari cerita beserta gosip yang tidak-tidak dari salah seorang kolegaku sendiri, jujur saja, aku tidak bisa membohongi diri sendiri apabila tidak merasa sedih.
Sangat sedih. Teramat kecewa. Teramat marah.
Setelah bertahun-tahun menekuni seni dalam bidang ornamen dan perhiasan, setelah bertahun-tahun mencoba untuk meyakinkan diri dengan kegemaranmu sendiri, dan setelah memutuskan untuk lenyap dari perkumpulan keluarga yang kerap mempertanyakan, “Mengapa tidak melanjutkan kuliah saja?”
Aku memang masih terbilang muda untuk menekuni bisnis seperti ini. Terlebih lagi, aku juga tidak memiliki relasi yang cukup kuat untuk menopang kelangsungan bisnisku mulanya. Hanya berdasarkan modal yang lumayan membukit setelah menabung sekian lamanya, aku akhirnya memberanikan diri untuk menjual produk-produk yang aku cintai.
Namun, seluruh harga diri tersebut bisa dalam sekejap jatuh hanya karena ocehan orang-orang. Aku sudah tidak tahu telah berapa kali memberitahu fakta sebenarnya, namun, pada akhirnya, hanya insan-insan yang bermandikan uang yang seringkali menang.
Sial!
Apakah aku hanya bisa mendapatkan satu burung gagak saja?
Apakah aku tidak bisa mendapatkan lebih dari itu?
Apakah ejekanku terhadap kolegaku tersebut sia-sia? Apakah mereka lebih memercayainya ketimbang perkataanku?
Aku tidak bisa mengubur emosi negatif tersebut, yang telah lama menggerogoti akal sehatku. Toh, tidak ada gunanya juga untuk berlama-lama mengenakan topeng palsu yang biasa disebut sebagai senyuman.
Tidak ada gunanya. Darahku benar-benar mendidih apabila mendengar namanya disebut di dekat telingaku. Aku ingin membuka matanya untuk melihat kebenaran yang terpampang, tetapi tidak bisa dipungkiri, aku hanya manusia biasa. Seringkali terbesit dalam pikiranku untuk membuatnya menderita, bagaimanapun caranya. Tidak sekali dua kali aku mendoakan agar ia dihujani oleh rasa kekecewaan yang mendalam, yang membuatnya lebih memilih untuk mati ketimbang harus membawa rasa malu ini. Terkadang, ingin sekali rasanya aku menikmati kehancuran agar terjadi padanya, juga pada orang-orang terdekatnya.
Aku hanya manusia biasa. Aku tidak sempurna, dan emosi-emosi seperti ini dapat dengan mudahnya memanipulasi rasa empatiku.
Mendapat satu burung gagak memang bukan perkara yang mudah, rupanya.
Mendapat satu burung gagak berarti dirimu harus benar-benar tangguh untuk menghadapi tekanan batin dalam diri. 
1 note · View note
moonfraction · 5 years ago
Text
hiraeth
Halo.
Apa kabar? Aku harap, semuanya baik-baik sa—
Dengan frustasi, Kana meremukkan kertas surat yang baru saja ia tulisi. Ia melempar kertas tersebut ke lantai, dan mengerang kesal. Ia menyandarkan punggung badannya ke kursi, dan memejamkan mata.
Apakah ia benar-benar harus mengikuti tradisi ini?
Tradisi keluarga besar Kana sedari dulu, yaitu saling mengirimi surat satu sama lain di awal tahun baru. Tidak hanya berupa surat, tetapi juga bisa diiringi dengan benda-benda lainnya seperti makanan, foto, dan masih banyak lagi. Semacam parsel yang dikirim oleh anggota keluarga sendiri, terutama diperuntukkan bagi anggota keluarga yang merantau. Tepat seperti yang Kana sedang lakukan saat ini.
Momen ini menandakan kali pertama Kana memutuskan untuk mengikuti tradisi ini. Setelah dijejali ocehan panjang lebar dari Mika, serta ratusan panggilan tidak terjawab dari Ibu, ia akhirnya pasrah dan memutuskan untuk mengikuti permainan mereka.
Kana tidak benar-benar dekat atau peduli dengan keluarganya, yang merupakan salah satu kesalahan yang ia sadari. Apakah ia merasa menyesal? Jujur saja, apabila harus menjawab saat itu juga, mungkin Kana hanya bisa membeo. Ia bingung, dan tidak ingin kepalanya dipadati oleh arus kebingungan terus menerus.
Tetapi—
Kana rindu rumah; ia merindukan aroma kopi Bapak yang menusuk indera penciumannya pertama kali ia menuruni tangga dari kamar tidur. Ia merindukan pertengkaran konyol dengan Mas Ihsan demi memperebutkan kue kering yang telah berhamburan jatuh ke lantai. Ia merindukan kucing peliharaannya yang diam-diam memanjati tempat tidur Kana hanya untuk larut dalam pelukannya setiap malam. Ia merindukan garis-garis oranye keunguan senja yang melintasi halaman buku yang ia baca setiap sore di balkon kamar. Walaupun terdengar egois, tetapi Kana merindukan perhatian Ibu yang lebih banyak ia curahkan kepadanya dibanding anak-anaknya yang lain. Ia merindukan Dik Lia yang seringkali memeluk dan mencium pipinya hanya untuk semangkuk bakso tetangga sebelah. Ia merindukan—
Air mata Kana perlahan mengaliri kedua pipinya yang dingin, menjadikan perpaduan dingin dan hangat yang anehnya, menenangkan. Mungkin hal inilah yang Kana butuhkan setelah sekian lama, yaitu menangis dan meluapkan emosinya. Kana paham betul akan kerinduannya akan suasana rumah, namun ia juga sangat mengerti bahwa seberapa keras ia mencoba untuk kembali, ia tidak bisa.
Ia akan merasa mual dan berakhir memuntahkan seluruh makanannya yang baru ia santap begitu ia sampai di depan gerbang bandara. Ia akan menangis tidak karuan di perjalanan pesawat yang terasa seperti satu dasawarsa.
Ia tidak bisa kembali.
Tidak setelah kematian Dik Lia menghantuinya beberapa minggu ini. Bahkan kerap muncul di mimpi Kana yang lain, yang tidak ada sangkut pautnya dengan anggota keluarganya.
Tidak setelah menyadari bahwa Ibu tidak pernah betul-betul mengerti keinginannya.
Tidak setelah mengetahui bahwa Ibu telah merencanakan seluruh hidup Kana di momen saat Kana terpilih menjadi juara kelas kelas satu SD dulu.
Tidak setelah Ayah hanya tersenyum mengikuti perkataan Ibu.
Tidak setelah Mas Ihsan tidak pernah mengabari kondisi hidupnya setelah menikah dengan Mbak Puput.
Tidak setelah—
Kana menghela nafas.
Ia menegakkan badannya, dan mulai menulis. Entahlah, tulisannya sangat kusut untuk ditelusuri maknanya. Namun Kana tidak berhenti.
Kana rindu rumah, tetapi bahkan ia tidak tahu apakah ia memiliki rumah yang sesungguhnya.
0 notes
moonfraction · 5 years ago
Text
Aubade
Agaknya,
Kamu tampak lelah untuk menguliti diri dengan keraguan,
Yang menjelma menjadi kegelisahan,
Dan berlabuh hingga menjadi kebencian.
Agaknya,
Kamu masih sulit untuk terlepas dari watak masa dahulu,
Yang mengikatmu erat dalam relung semu,
Tik tok, tik tok
Bersandar pada pecahan impian-impian yang dibangun,
Dari gelora yang kini telah membeku.
Agaknya,
Masih terasa berat untuk kembali bangkit,
Dari ketidaksempurnaan yang mendarah penyakit,
Dari benang-benang kegagalan yang berbelit,
Juga dari kebiasaan yang membibit.
Memang,
Akan terasa berat,
Pasti terasa berat.
Nyatanya,
Hari ini kamu menikmati pelupuk fajar yang menyingsing
Mentari yang belum berhenti menyapa,
Kicauan burung yang bersahut-sahutan,
Senyuman wanita tua di gubuk sebelah,
Yang seringkali kamu abaikan.
Nyatanya,
Hari ini sepasang kekasih itu saling merangkul,
Walaupun semalam,
Setiap malam,
Selalu saling bergumul,
Hanya mengocehkan tabiat-tabiat yang tidak berhenti,
Untuk saling menubruk.
Tidak ada suatu yang akan abadi,
Perasaan pun tidak terkecuali;
Senang, marah, terkejut, gugup, sedih,
Yang alih-alih kamu dekati,
Malah terus kamu tinggali.
0 notes
moonfraction · 5 years ago
Text
apakah sia-sia?
Apakah sia-sia?
Untuk berusaha menumbuhkan cinta kepada diri sendiri,
Untuk bangkit dari kemalasan agar tubuh bisa membaik,
Namun dalam sekejap dipatahkan dengan caci dan maki, karena tubuh ini belum memenuhi standar sosial di masyarakat yang diagung-agungkan,
Karena fisik ini bahkan dinilai tidak pantas untuk berada di ruang olahraga yang dipadati oleh kumpulan insan yang berparas dan bertubuh elok,
sehina itu, kah?
Apakah sia-sia?
Untuk menebarkan benih kebaikan dengan nilai-nilai agama,
Untuk mengejar lembaran pahala dengan panjatan doa dan tangisan dalam sujud,
Untuk menyapu dosa-dosa yang menempel dalam jiwa dengan bacaan kitab suci,
Namun dalam sekejap dirampas dengan dalih yang memuakkan,
Dengan alasan yang tidak masuk akal,
Dengan sorotan tajam dari sekeliling yang tidak mendukung dan mengatakan,
betapa sombongnya.
Atau—
tidak usah sok baik.
Apakah sia-sia?
Untuk seorang istri yang menghargai kasih sayang yang dilimpahkan oleh suami,
Dengan menyiapkan makan siang untuk menemani hari-harinya di kantor,
Untuk seorang istri yang tulus membantu suami mengenakan dasi yang rapi,
Demi membalas perilaku dan tutur kata belahan jiwanya yang senantiasa saling menghargai juga menghormati satu sama lain,
Yang memperlakukannya secara seimbang tanpa pandang jenis kelamin,
Hanya untuk diprotes oleh kaum ekstrimis,
Dengan teriakan—
tidak sepantasnya laki-laki diperlakukan seperti itu!
jangan mau menjadi budak pemuas nafsu para lelaki!
perempuan harus mempunyai harga diri yang tinggi!
Atau bahkan,
sia-sia saja bangun hanya untuk menyiapkan bekal suami, kalau pada akhirnya tiga bulan lagi ia akan selingkuh.
Apakah begitu sia-sia?
Hanya untuk bersikap baik,
Sekedar untuk saling berempati,
Dan juga memahami hati sesama manusia?
Mungkin memang seperti inilah masanya.
Masa dimana orang-orang berusaha untuk melek dan menerapkan toleransi terhadap situasi apapun,
Masa dimana setiap jiwa ini saling mengingatkan ketidaksempurnaan masing-masing,
Juga untuk saling melirik dari seluruh sudut pandang.
Namun perlu diingat,
Sejatinya seluruh hal yang berlebihan juga tidak berujung baik, sayang.
Sejatinya seluruh hal yang berlebihan bisa menutup mata empatimu, sayang.
Dan tak terkecuali,
bisa menjadi pedang yang menerkam dirimu sendiri.  
1 note · View note
moonfraction · 5 years ago
Text
kisah gadis itu (part 3)
Sara terbangun. Ia dibangunkan oleh suara pintu yang terbuka di dekat ruang kamarnya.
Ayah. Ucapnya dalam hati.
Sara jarang bertemu dengan Ayahnya, karena kepala keluarga itu sangat sibuk. Ia sudah harus pergi bekerja pagi-pagi sekali untuk mengejar penerbangan ke luar kota (atau terkadang ke luar negeri), sementara Sara terkadang masih terlelap dalam tidurnya mengingat waktu mulai sekolahnya tidak terlalu pagi. Sara seringkali mengajak Ayahnya untuk sekedar mengobrol atau melakukan hal yang ia sukai bersama, namun Ayahnya selalu menolak.
Malam ini, Sara tidak mungkin bisa melepaskan kesempatan yang jarang mendarat tepat di depan matanya.
Perlahan, ia turun dari kasur dan mengendap-ngendap mendekati pintu kamar. Telinganya ditempelkan di daun pintu agar ia bisa mendengar lebih jelas, dan agar ia bisa mengageti Ayahnya.
“Sempurna!” katanya riang, namun tentu saja, ia tidak bisa bersikap terlalu gembira di momen tersebut.
Setelah memastikan bahwa tidak ada siapa pun di depan kamarnya, ia membuka daun pintunya perlahan. Menelusuri lorong kamar, ia mengendap-ngendap bergerak di balik bayangan, menuju kamar orang tuanya. Lorong tersebut sangat sepi malam ini, dan seketika Sara teringat bahwa Ibunya sedang berada di luar kota untuk mengunjungi neneknya. Apabila ada Ibu, tentunya ia tidak bisa leluasa untuk berkeliaran seperti sekarang.
Saat ia mendekati daun pintu kamar orang tuanya, Sara membungkukkan badannya untuk mendengar lebih jelas situasi di seberang.
“Iya, aku akan segera menjelaskan semuanya nanti kepadanya. Sabar dulu, ya,” terdengar suara Ayah sedang berbicara dengan seseorang. Seolah-olah sedang menenangkan lawan bicaranya tersebut.
Sara mengernyitkan dahi. Telepon? Apa Ayah sedang menelepon Ibu?
Namun, rasa penasarannya terbuyarkan dan terjawab ketika mendengar suara lain. Suara seorang wanita. Suara tawa seorang wanita selain Ibunya.
Sara terdiam. Ia kembali menegakkan badannya dan membeku. Dengan wajah sekaku patung, pikirannya berlari tidak beraturan dengan latar belakang suara tawa dan canda gurau di belakangnya.
Oh. Katanya dalam hati.
Selanjutnya, Sara tidak benar-benar mengingat apa yang terjadi. Ia kembali dengan kaki yang dingin menyatu dengan suhu ubin lorong, lalu membuka daun pintu kamarnya. Setelah menutup daun pintu kamar di belakangnya, tubuhnya merosot ke lantai dan pandangannya yang kosong hanya bisa menatap meja belajarnya. Ia tidak paham, ia tidak mengerti. Ia tahu betul tidak ada yang boleh sembarangan masuk ke dalam kamar orang tuanya apabila tidak diperintahkan; bahkan dirinya sendiri sering dimarahi karena masuk tanpa diundang.
Tetapi? Mengapa wanita itu—
Sekali lagi, Sara tidak mengerti. Dan ia tidak ingin mengerti. Matanya yang sayu hanya bisa menatap meja belajarnya lebih lama lagi, dan untuk beberapa saat, ia membiarkan tubuhnya melorot seperti itu.
Oh. Ucapnya sekali lagi.
0 notes
moonfraction · 5 years ago
Text
kisah gadis itu (part 2)
Salah satu pelayan terdekat Sara, Nana, telah menghidangkan makan malam yang teramat menggugah selera, lengkap berisi empat sehat lima sempurna. Hal ini tentunya dilakukan untuk menjaga kesehatan majikan kecilnya tersebut; mengingat bahwa ia merupakan aset dari keluarga ini.
“Terima kasih banyak, Nana. Kamu pasti lelah, ya? Setelah seharian mengerjakan urusan rumah besar seperti ini?” tanya Sara seraya mengambil sesuap nasi putih yang masih mengepul. Ia segera memasukan nasi tersebut ke dalam mulut kecilnya.
“Ah, tidak, Sara. Saya mah sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti ini. Selama Sara dan keluarga sehat-sehat dan merasa nyaman, sudah membuat saya bahagia dengan hasil pekerjaan saya!” jawab Nana tersipu malu. Mendengar jawaban dari pelayannya, Sara hanya mengganggukkan kepalanya sembari menikmati makan malam. Nana hanya berdiri di samping Sara, menunggu majikannya tersebut untuk selesai makan. Merasa tidak enak, Sara menarik kursi di sampingnya agar Nana bisa menyandarkan tubuhnya di sebelahnya.
“Nana, duduk saja! Pasti bertambah lelahnya apabila berdiri terus-terusan seperti itu,” kata Sara menyuruh. Melihat tingkah Sara, Nana hanya tersenyum kecil. Wajahnya menyiratkan penyesalan karena sesungguhnya, tidak ada gunanya Sara menyuruhnya untuk duduk di sampingnya. Lagipula, hal ini bukan kali pertama ia diminta untuk duduk di kursi tersebut.
Pelayan tidak mendapat hak istimewa untuk bisa bersantai seperti itu dengan majikannya. Paling tidak, hal tersebutlah yang telah ditanamkan oleh kepala pelayan detik sesaat Nana memutuskan untuk bekerja di rumah ini.
“Sara,” Nana membungkukkan badannya untuk menyeimbangkan tatapan mereka. Ia tersenyum sebelum melanjutkan, “Sara tidak bisa mengajak saya seperti itu. Sara harus duduk sendiri, oke?”
Mendengar jawaban tersebut, Nana sudah bisa menebak reaksi yang akan Sara berikan terhadap balasannya. Sara hanya bisa merengut, lalu melanjutkan makan malamnya dengan lemas.
Sontak, mata Sara melebar menandakan bahwa ia mendapat suatu ide. Ia mengangkat tubuhnya cepat dengan gaduh, lalu berteriak, “Nana! Tadi sore salah satu teman kelasku baru saja memberitahu teka-teki yang sangat konyol! Mau tahu, tidak?”
Nana terkejut melihat aksi majikannya tersebut, ia kembali mendekatkan wajahnya kepada wajah Sara dan berbisik, “Sara, jangan membuat keributan! Pelan-pelan saja,”
“Maaf,” Mulut Sara hanya bisa menyengir, lalu kembali melanjutkan obrolan, “Jadi, mau tahu, tidak?”
Nana hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, “Maaf, Sara. Saya masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan dan tidak memiliki banyak waktu. Sekarang, selesaikan makannya, ya!”
Sara kembali merengut, karena kedua balasan dari Nana benar-benar menjatuhkan semangatnya. Ia pun segera menyelesaikan makan malam, lalu buru-buru menyuruh Nana membersihkannya.
“Baik, kira-kira apa ada yang Sara perlukan nanti?” tanya Nana.
Sara menggelengkan kepalanya. Ia memalingkan wajahnya dari Nana, menatap corak-corak lampu yang menghiasi teras rumahnya di kediaman malam ini.
“Kalau tidak ada, saya permisi dulu, ya, Sara,” ucap Nana sembari membawa peralatan makan malam Sara keluar dari kamarnya. Ia menutup pintu kamarnya dengan pelan lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Dalam hati, Nana beberapa kali merasa tidak tega dengan anak itu. Ia masih terlalu polos untuk mengetahui segalanya yang terjadi di rumah itu. Sara pasti merasa kesepian, tetapi Nana juga tidak bisa menolongnya. Bagaimana pun juga, ia hanya bekerja sebagai pelayan, dan Sara merupakan majikannya.
Sara mengganti bajunya dengan piyama tidur, lalu ia menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Ia sudah tidak merasa ingin melanjutkan tugasnya. Toh, masih bisa dikerjakan di sekolah besok.
Sendiri.
Seharusnya Sara sudah tidak asing dengan kata itu. Seharusnya ia sudah bisa beradaptasi.
Toh, manusia dilahirkan ke dunia ini sendiri. Mati pun juga akan sendiri.
Mungkin karena hal itulah, ia sudah dilatih untuk terbiasa sendiri.
0 notes
moonfraction · 5 years ago
Text
kisah gadis itu (part 1)
Sara yang berusia empat belas tahun baru saja pulang ke rumah.
Hari ini, ia belajar di sekolah hingga pukul lima sore. Ia melanjutkannya dengan bimbel tambahan yang bersifat wajib, yang menjadi salah satu penentu kelanjutan masa depannya nanti.
Di tempat bimbel tersebut, ia banyak menemui teman-teman sekolahnya yang menyapanya saat bertemu di depan kaca toilet. Saat bertemu di tengah aula pertemuan murid-murid. Saat bartemu di dekat ruangan kelas tempat ia menuntut ilmu tambahan. Saat juga,
“Sedang apa ia kemari? Bukankah ia sudah pintar dan sempurna?”
Tentunya, Sara tersenyum membalas sapaan mereka satu persatu.
Sara yang berusia empat belas tahun melirik jam di dinding. Rupanya, sudah pukul delapan malam.
Hari ini, ia kembali memeriksa kondisi rumahnya. Atau sebenarnya, hanya ingin mengetahui seisi rumahnya. Kakinya berlari memapah langkah-langkahnya menuju beberapa ruangan. Ruang tamu, ruang musik, ruang keluarga, ruang kerja, beserta ruang tidur.
Tidak ada. Tidak ada siapa-siapa.
Sara merasa penasaran akan destinasi mereka pada saat itu. Namun begitu, Sara tetap tersenyum dan menari-nari kembali ke kamar.
Sara yang berusia empat belas tahun telah selesai membersihkan tubuhnya dari rasa letih yang kian mengusiknya. Salah satu pelayan datang mengetuk pintu kamar, dan meminta izin untuk menawarkan  hidangan penambah energi juga panjatan-panjatan harapan yang diharapkannya mampu untuk mencabut kepedihan Sara.
Dengan seringai yang manis, Sara hanya bisa menjawab, “Silahkan masuk,”
Ia masih tersenyum. 
0 notes
moonfraction · 5 years ago
Text
bebas
Alisa bergeming, masih melamun meratapi makna dari kalimat yang baru saja ia lontarkan. Tatapannya kosong, ia hanya bisa menatap secangkir teh hijau yang sedari tadi ia pegangi erat-erat hingga gelasnya mendingin.
Aku mengayunkan telapak tanganku di depan wajahnya, “Lis? Masih sadar, kan?”
Ia tersentak bangun dari lamunannya, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Matanya beralih menemukan tatapanku. Sambil menghela nafas, ia akhirnya meminum teh hijaunya yang sudah berhenti mengepulkan asap.
“Aku mungkin tidak bisa memahami apa yang kamu rasakan, karena, yah, aku sendiri belum pernah merasakannya,” aku memulai pembicaraan, sekedar mengarahkan Alisa agar ia berhenti melamun. “Tetapi kalau kamu memang benar-benar merasa tidak nyaman, mungkin kamu bisa beristirahat sejenak, Lis. Bagaimanapun juga, media sosial bisa menjadi platform yang kejam,” usulku.
Alisa baru saja naik daun melalui akun media sosialnya, rekaman-rekaman video dirinya menyanyikan lagu-lagu terkini akhirnya membuahkan hasil. Awalnya, ia hanya terkenal lewat YouTube, namun, seolah mengikuti perkembangan jaman, lama-kelamaan akun media sosial lain yang ia miliki memadat akan daftar endorsement. Tidak dapat dipungkiri, selain memiliki bakat tarik suara, Alisa memancarkan paras dan aura yang menawan. Aku tidak heran apabila ia begitu cepat dikenal masyarakat melalui media sosial.
Layaknya seorang content creator lainnya, Alisa juga kerap menerima komentar-komentar ‘jahat’ dari bermacam-macam warganet. Sebetulnya, aku rasa apabila komentar tersebut berisi kritik yang membangun, maka tentunya Alisa akan sangat terbantu untuk bisa mengembangkan bakatnya. Namun, terkadang, tidak semuanya bisa berjalan mulus, bukan? Komentar-komentar yang dimuntahkan para warganet di akun Instagram Alisa benar-benar sudah melewati batas. Mereka bahkan tidak segan-segan menjelekkan nama adik perempuannya yang masih berusia 9 tahun 3 bulan.
“Aku tidak bisa melakukan hal tersebut, Ri,” balas Alisa membantah usulanku. “Sudah banyak pesanan-pesanan endorsement dari berbagai online shop yang harus aku promosikan. Jadwalku seminggu kedepan benar-benar padat, tentu saja aku tidak bisa begitu saja membatalkan jadwal itu!” ungkapnya merasa frustasi. Ia membenamkan kepalanya ke dalam pergelangan tangannya, yang baru saja kusadari, penuh akan sayatan.
Melihat kondisi teman dekatku itu, jujur saja, aku benar-benar sedih. Terkadang, aku tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa aku juga turut merasakan lelah yang harus ia tanggung setiap harinya, terutama dalam situasi seperti ini. Situasi yang mengharuskan aku dan Alisa untuk menetap di kamar apartemen yang sama. Situasi yang seharusnya mendorong kami untuk menyadari dan memahami kondisi satu sama lain, namun, aku malah tidak menyadari kenyataan bahwa ia rupanya sudah sering menggoreskan silet ke pergelangan tangannya.
“Yah, melihat kondisimu saat ini, mungkin agak sulit untuk mengambil waktu sebentar sepertinya,” lanjutku. “Kalau begitu, matikan saja kolom komentarnya,” usulku. Alisa mengangkat kepalanya, lalu mengalihkan tatapannya, ia tampak berpikir, “Sepertinya tidak akan ada perbedaan yang signifikan, Ri. Mereka mungkin akan langsung menuju kolom pesan untuk melontarkan komentar-komentar seperti itu lagi,”
Ia tidak salah. Akan terdapat banyak cara menuju negeri Cina apabila bersungguh-sungguh; termasuk bersungguh-sungguh dalam menjatuhkan seseorang.
“Setidaknya dengan mematikan notifikasi kolom komentar, komentar-komentar seperti itu akan mulai berkurang, Lis. Kamu bisa menenangkan pikiranmu sejenak,” balasku. Aku menarik nafas, lalu menghembuskannya perlahan.
“Mereka bilang, detik dimana kamu memutuskan untuk terjun ke dalam ranah media sosial, kamu harus sudah siap untuk menerima baik dan buruknya,” aku kembali melanjutkan obrolan. “Aku setuju. Pada akhirnya, akan sulit sekali untuk mengontrol segala hal yang terjadi. Termasuk komentar-komentar itu,” aku mengangkat tangan kiriku, untuk menopang dagu.
“Tetapi kalau boleh jujur dan gamblang, untukku pernyataan seperti itu merupakan pernyataan yang bodoh apabila tidak dipikirkan matang-matang. Terutama apabila hanya dilihat dari satu sisi saja,”
Alisa mengernyit, “Maksudmu?”
“Kita memang tidak bisa mengontrol segala sesuatu yang terjadi, Lis. Tetapi setidaknya kita bisa mengontrol diri sendiri untuk meminimalisir suatu hal yang buruk untuk terjadi, bukan? Sepertinya para pembencimusedang dirasuki setan atau golongan sejenisnya,” jawabku ketus.
“Puri!” suara Alisa memekik, tatapannya berubah ngeri. “Jangan berkata seperti itu! Mereka hanya manusia biasa, yang mungkin sedang memiliki banyak masalah,” kata Alisa dengan suara lirih.
“Manusia egois yang sedang melawan permasalahan mereka sendiri, lebih tepatnya,” aku membenarkan. “Melampiaskan permasalahan yang mereka alami kepada orang lain. Cih, benar-benar egois,”
“Tetapi—” Sejenak, Alisa mengurungkan niatnya untuk membalas pernyataanku. Ia menunduk, seakan masih menimbang pantas atau tidaknya kalimat selanjutnya untuk dilontarkan. “Itu merupakan hak mereka juga, bukan? Bagaimanapun, melontarkan komentar-komentar kasar seperti itu merupakan kebebasan untuk berpendapat…” suara Alisa mengecil ragu.
Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan—aku bahkan tidak tahu. Sudahkah aku mengatakan bahwa terkadang aku pasrah akan seluruh reaksi pasif yang dicurahkan teman dekatku ini?
Aku menghela nafas, sembari menyilangkan kedua pergelangan tanganku, “Jadi menurutmu,” aku berdeham sejenak, “Kebebasan untuk berpendapat tidak melihat emosi dan perasaan orang lain, ya?”
Alisa membungkam. Tatapannya langsung ia alihkan untuk kembali menunduk menatap sepatu putihnya.
0 notes
moonfraction · 5 years ago
Text
luruh
Darah. Pekat. Amis.
Dipenuhi dengan tubuh-tubuh kaku yang mulai berjatuhan, pistol masih tergenggam di dalam pegangan; walaupun senjata tersebutlah yang pada akhirnya membinasakan mereka. Tanah malam itu baru saja dipenuhi oleh separuh mayat-mayat serdadu yang telah menaruhkan nyawa mereka semenjak malam tadi. Ini belum semua, dan mungkin, tanah ini akan benar-benar penuh oleh seluruh serdadu apabila fajar menjemput nanti.
Suasana yang begitu mencekam, namun hal ini adalah hal yang biasa. Sudah terlalu sering untuk terjadi, dan bahkan akan selamanya terjadi mengingat sejarah buruk yang dimiliki oleh kedua faksi ini. Suara tembakan pistol ramai menusuk gelapnya malam, disertai jeritan-jeritan para serdadu saling menyahuti satu sama lain, bergabung menjadi suara yang memilukan hati. Sebagai sudut pandang ketiga, pohon tua ini sudah menyaksikan tragedi yang sama berulang kali; sedari zaman dimana pistol masih belum digunakan sebagai alat untuk berperang. Walau terlalu sering melihat peristiwa yang serupa, tidak menutup sedikitpun rasa empati yang diberikan pohon tua tersebut. Semakin banyak serdadu yang mulai berguguran, ia menggumamkan doa-doanya dengan kencang,
“Mereka yang bermandikan darah pada malam hari ini,
Bunga-bunga kesepian yang mulai berjatuhan,
Yang jatuh ke dalam jurang kebengisan dua kubu yang,
Tidak pernah menutup ego masing-masing.
Semoga mereka dapat beristirahat dengan tenang di kala mentari fajar menyingsing.”
0 notes
moonfraction · 5 years ago
Text
bertahan (part 1)
Hitam. Gelap. Pengap. Buram. Pekat.
Perlahan, ia membuka matanya. Tidak jauh berbeda.
Gadis itu mengerang, “Sama saja,” katanya sebelum kembali memejamkan mata.
Sudah beberapa hari ia terbangun di tempat yang sama, dan akan sangat lumrah apabila ia mulai terbiasa dengan suasana baru tersebut.
Namun nyatanya, ia malah semakin takut.
Sambil kembali membuka kelopak matanya, ia menarik badannya untuk bangun dari sofa. Tatapannya menyesuaikan kegelapan ruang tamu yang lagi-lagi, selalu dimatikan. Ia ingin memastikan bahwa ia tidak tertidur dalam waktu yang cukup atau bahkan kelewat lama.
Sia-sia. Pandangannya tetap sulit untuk menangkap arah jam dinding. Ia kembali menghela nafas, lalu mengintip melalui gorden ruang tamu yang dibukanya secara perlahan. Sudah malam. Lampu-lampu apartemen yang berwarna-warni menerangi jalan raya yang padat akan kendaraan yang berlalu lalang memeriahkan malam Sabtu ini.
“Ah!” jeritnya kesakitan, sebelum akhirnya ia menyadari bahwa pergelangan tangannya sudah ternodai oleh bercak-bercak darah. Gadis itu diam mematung, berusaha memproses segala urutan peristiwa yang telah terjadi di kamar nomor 207 tersebut. Ia mencoba mengingat-ngingat apa yang sebenarnya terjadi, kepadanya. Tatapannya beralih pada silet yang terjatuh di dekat kaki meja, yang kembali membingungkannya karena ia tidak ingat sempat memegang benda tersebut. Dengan lemas, pergelangan tangannya meraih silet tersebut lalu menjatuhkan dalam pangkuannya. Sembari menyilangkan kaki, gadis itu menatap dalam silet tersebut. Berharap dapat memetik secarik memori yang menghalangi pikirannya. Ia bahkan tidak bisa mengingat hal-hal yang telah terjadi setelah kejadian itu.
“Hei,” suara kecil membuyarkan fokusnya. “Apakah ini tidak keterlaluan?”
Gadis itu tersentak, lantas mengalihkan pandangannya ke hadapannya. Kosong.
Sesaat sebelum ia mengeluarkan suaranya, suara kecil itu sudah menerobos perkataannya lagi dengan terburu-buru, “Nanti saja. Sekarang, cepat kembali tidur! Ia sudah kembali!”
Tepat saat ia menyelesaikan kalimatnya, suara pintu apartemen berbunyi keras dan terbuka.  
0 notes