muberkemajuan
muberkemajuan
MuBerkemajuan
1K posts
MuBerkemajuan
Don't wanna be here? Send us removal request.
muberkemajuan · 11 months ago
Text
Tumblr media
1 note · View note
muberkemajuan · 1 year ago
Text
0 notes
muberkemajuan · 2 years ago
Text
1 note · View note
muberkemajuan · 2 years ago
Text
Tumblr media
0 notes
muberkemajuan · 2 years ago
Text
Menapak Jejak Wacana Politik di Muhammadiyah
foto kiprahkit4.blogspot.com
Oleh Dr. H. Shofwan Karim Elhussein, MA
Dosen Program Pascasarjana UM Sumbar
PENGANTAR
Pada pertengahan Juni hingga Juli 2022 lalu, saat itu masih menjabat sebagai ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumatera Barat, Dr. H. Shofwan Karim El-Hussein, MA, menulis essay politik, terutama dalam kaitan antara Muhammadiyah dan Pemilu 2024.
Essay itu sudah diterbitkan secara bersambung pada laman potretkita.net (kini: potretkit4.blogspot.com). Sehubungan dengan semakin dekatnya pelaksanaan pemilihan umum itu, essay itu kami terbitkan ulang, guna memenuhi permintaan sejumlah pembaca. Selamat menikmati.
REDAKSI
KIPRAHKITA.com - Wacana politik sudah lama berkembang di lingkungan Muhammadiyah. Pembahasan yang kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai kebijakan sudah dilakukan. Namun, bila ditilik kepada lima khittah yang ada, baru pada khittah ketiga Ponorogo agak semakin jelas dalam kaitan hak warga persyarikan dengan politik kebangsaan. Pada khittah kedua masih belum.
Khittah kedua, Palembang 1956. Berisikan 7 hal. (1) Menjiwai pribadi para anggota, utamanya para pimpinan Muhammadiyah; (2) Menjalankan uswatun hasanah; (3) Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi; (4) Memperbanyak dan mempertinggi mutu amal; (5) Mempertinggi mutu anggota serta membentuk kader; (6) Mempererat ukhuwah; (7) Menuntun penghidupan anggota.
Pada khittah lain, netralitas persyarikatan semakin mengemuka tanpa menahan warga yang terjun ke politik praktis dan pesan tidak bertentangan dengan dasar dan tujuan Muhammadiyah.
Mari lihat Khittah ketiga, Ponorogo 1969. Tanwir Muhammadiyah tahun 1969 di Ponorogo memproduk Khittah Perjuangan Muhammadiyah. Singkatnya disebut “Khittah Ponorogo”. Khittah ini lahir sebagai amanah dari Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta. Khittah ini kelihatannya agak lebih “jantan-politik”, meski agak samar-samar
Matan (teks) Khittah Ponorogo dibagi menjadi dua bagian: pola dasar perjuangan dan program dasar perjuangan.
Pola Dasar Perjuangan : (1) Muhammadiyah berjuang untuk mencapai atau mewujudkan suatu cita-cita dan keyakinan hidup yang bersumber dari ajaran Islam; (2) Dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya sebagaimana yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW adalah satu-satunya jalan untuk mencapai cita-cita dan keyakinan hidup;
(3) Dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar seperti yang dimaksud harus dilakukan melalui dua saluran/bidang secara simultan yaitu : (a) Saluran politik kenegaraan (politik praktis); (b) Saluran Masyarakat;
(4) Untuk melakukan perjuangan dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi mungkar seperti yang dimaksud di atas dibuat alatnya masing-masing yang berupa organisasi; (a) Untuk saluran/bidang politik kenegaraan (politik praktis) dengan organisasi politik (partai); (b) Untuk saluran/bidang masyarakat dengan organisasi non partai, Muhammadiyah sebagai organisasi memilih dan menempatkan diri sebagai gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dalam bidang masyarakat.
Sedang untuk alat perjuangan dalam bidang politik kenegaraan (politik praktis), Muhammadiyah membentuk satu partai politik diluar organisasi Muhammadiyah. (1) Muhammadiyah harus menyadari bahwa partai tersebut adalah merupakan obyek dan wajib membinanya; (2) Antara Muhammadiyah dan partai tidak ada hubungan organisatoris, tetapi tetap mempunyai hubungan ideologis;
(3) Masing-masing berdiri dan berjalan sendiri-sendiri menurut caranya sendiri-sendiri, tetapi dengan saling pengertian dan menuju tujuan yang satu. (4) Pada prinsipnya tidak dibenarkan adanya perangkapan jabatan, terutama jabatan pimpinan antara keduanya demi tertibnya pembagian pekerjaan (spesialisasi).
PROGRAM DASAR PERJUANGAN
Dengan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dengan arti dan proporsi yang sebenarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsional, secara operasional dan secara kongkrit tentang Islam.
Bahwa Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 menjadi masyarakat yang adil, makmur, sejahtera bahagia materiil dan spirituil yang diridhoi Alloh SWT.
Khittah Keempat, Ujung Pandang 1971. Muhammadiyah memang pernah terlibat poltik praktis melalui Masyumi. Namun, sejak khittah Ujung Pandang tahun 1971, Muhammadiyah tak pernah lagi terlibat dalam politik praktis hingga saat ini.
Pada khittah berikut, netralitas persyarikatan semakin mengemuka tanpa menahan warga yang terjun ke politik praktis dan pesan tidak bertentangan dengan dasar dan tujuan Muhammadiyah.
Berikut isi khittah Ujung Pandang (1971): (a) Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam bidang kehidupan masyarakat dan tidak mempunyai afiliasi dengan partai politik manapun; (b) Setiap warga Muhammadiyah, sesuai dengan asasinya dapat / tidak memasuki organisasi lain sepanjang tidak menyimpang dari AD/ART:
(c) Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah islam setelah pemilu 1971, Muhammadiyah melakukan gerakan amar ma’ruf nahi munkar secara konstruktif dan positif terhadap Partai Muslimin Indonesia (Parmusi); (d) Mengamanatkan PP Muhammadiyah untuk menggariskan dan mengambil langkah-langkah dalam pembangunan ekonomi, sosial, dan mental spiritual.
Mari lihat berikutnya. Khittah kelima, Surabaya 1978. (a) Muhammadiyah adalah Gerakan Da’wah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apapun.
(b). Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muham­madiyah.
Khittah keenam, Denpasar 2002. Khittah ini menyatakan bahwa Muhammadiyah akan tetap berada dalam kerangka gerakan dakwah dan tajdid yang menjadi fokus dan orientasi utama gerakannya, dapat mengembangkan fungsi kelompok kepentingan atau sebagai gerakan social civil-society dalam memainkan peran berbangsa dan bernegara.
Sampai sekarang, sejak 2002 pedoman sebagai gerakan sosial civil-society belum pernah ditinjau apalagi diubah. Artinya, tetap saja secara arif dipahami bahwa persyarikan sebagai jamaah dan jam’iah bebas dan aktif menjaga hubungan kedekatan dengan berbagai politik tanpa terkontaminasi secara struktural.
Tentu saja secara kultural dan fungsional sebagai gerakan masyarakat madani, Muhammadiyah bukan membelakang kepada Partai Politik. Akan tetapi tetap menjaga kedekatan dan dapat saja secara arif mencari dan mendorong keunggulan warga Muhammadiyah yang punya talenta dan DNA serta jagoan politik harus disokong dengan cara yang lebih dinamis dan kondusif.***
0 notes
muberkemajuan · 2 years ago
Text
12 Langkah Muhammadiyah dan Kekinian
Oleh Dr. H. Shofwan Karim El-Hussein, MA
(Dosen Program Pasca Sarjana UM Sumbar)
PENGANTAR
Pada pertengahan Juni hingga Juli 2022 lalu, saat itu masih menjabat sebagai ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumatera Barat, Dr. H. Shofwan Karim El-Hussein, MA, menulis essay politik, terutama dalam kaitan antara Muhammadiyah dan Pemilu 2024.
Essay itu sudah diterbitkan secara bersambung pada laman potretkita.net (kini: potretkit4.blogspot.com). Sehubungan dengan semakin dekatnya pelaksanaan pemilihan umum itu, essay itu kami terbitkan ulang, guna memenuhi permintaan sejumlah pembaca. Selamat menikmati.
REDAKSI
OPINI, kiprahkita.com - Khittah berarti garis atau langkah. Garis besar perjuangan. Dalam khittah terkandung konsepsi perjuangan yang merupakan tuntunan, pedoman, dan arah dari Persyarikatan Muhammadiyah.
Dalam Muhammadiyah, khittah merupakan landasan filosofis gerakan. Khittah menjadi landasan berpikir, bertindak, dan beramal bagi semua pimpinan dan anggota Muhammadiyah.
Hal itu boleh disebut sebagai Garis-garis Besar Haluan Perjuangan Muhammadiyah (GBHPM). Selamanya tidak boleh bertentangan dengan mukaddimah Anggaran Dasar, asas dan tujuan Muhammadiyah.
Berbeda dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah, kedudukan khittah dalam persyarikatan memiliki posisi khusus.
Jika Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) merupakan landasan dalam menggerakkan persyarikatan sebagai sebuah organisasi, maka khittah menjadi landasan berbuat dan berperilaku anggota Muhammadiyah, baik dalam kehidupan pribadi, kehidupan sosial, maupun dalam hal-hal strategis di dalam pengambilan kebijakan organisasi.
Dalam kaitan inilah, berkelindan secara lentur dan bijak dalalam interaksi Muhammadiyah sebagai persyarikan maupun individu warga dalam kehidupan berbangsa bernegara.
Di dalam bentangan panjang sejarah Muhammadiyah dikenal paling tidak ada 6 khittah perjuangan. Satu di antara 6 itu adalah yang paling awal, khittah 12 Tafsir Langkah Muhammadiyah 1938.
Pada waktu itu dianggap semangat bermuhammadiyah agak melemah, maka khittah ini menjahit kembali semangat revitalisasi.
Situs UM Metro (Mukhtar Hadi, 2021) menguraikan agak rinci khitttah ini dalam diksi kata dan frasa masa itu. Langkah pertama adalah memperdalam masuknya iman, yaitu hendaklah iman itu ditablighkan (disampaikan), disiarkan dengan selebar-lebarnya, diberi riwayatnya dan diberi dalil buktinya, dipengaruhkan dan digembirakan sampai iman itu mendarah daging, masuk di tulang sungsum dan mendalam di hati sanubari kita.
Langkah kedua adalah memperluas faham agama, yaitu hendaklah faham agama yang sesungguhnya itu dibentangkan dengan arti yang seluas-luasnya, boleh diujikan dan diperbandingkan, sehingga kita anggota Muhammadiyah memahami agama Islam secara luas, tidak memahami Islam secara sempit dan kaku.
Langkah ketiga, memperbuahkan budi pekerti, yaitu bahwa setiap anggota Muhammadiyah harus memahami dan menerangkannya pada yang lain, mana akhlak yang terpuji ( akhlaqul mahmudah) dan mana akhlak yang tercela ( akhlaqul mazmumah). Setiap anggota Muhammadiyah harus melaksanakan akhlak terpuji dan menjauhi akhlak yang tercela dalam kehidupan sehari-hari.
Langkah keempat, menuntun amalan Intiqad. Yang dimaksud amalan intiqad adalah hendaknya kita senantiasa melakukan perbaikan diri kita sendiri (self corectie) atau senantiasa melakukan evaluasi baik untuk amalan kita sendiri maupun evaluasi terhadap pekerjaan atau tugas tanggungjawab kita di persyarikatan.
Langkah kelima, menguatkan persatuan, yaitu hendaklah senentiasa menguatkan persatuan organisasi dan mengokohkan persaudaraan (Ukhuwah), menempatkan persamaan hak dan memberikan kemerdekaan bagi pikiran-pikiran yang berkembang.
Langkah keenam, menegakkan keadilan, yaitu hendaklah keadilan itu dijalankan dan ditegakkan dengan semestinya walaupun akan mengenai badan sendiri dan sanak famili kita sendiri. Ketetapan yang sudah diputuskan dengan seadil-adilnya hendaknya dibela dan dipertahankan dimanapun juga.
Langkah ketujuh, melakukan kebijaksanaan. Setiap anggota Muhammadiyah, dalam segala gerak dan langkahnya tidak boleh melupakan hikmah kebijaksanaan, yaitu bisa menempatkan segala sesuatu pada tempatnya (proporsinya), memutuskan dan melakukan sesuatu dengan penuh pertimbangan, tidak tergesa-gesa, disendikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.
Sedangkan langkah kedelapan sampai dengan langkah ke dua belas adalah, menguatkan majlis Tanwir, mengadakan konperensi bagian, mempermusyawaratkan putusan, mengawaskan gerakan jalan (memperhatikan secara tajam gerakan yang sudah dilaksanakan, sedang dilaksanakan dan yang akan dihadapi ke depan), dan mempersambungkan gerakan luar (bekerjasama dengan pihak eksternal dengan dasar silaturahmi dan tolong menolong).
Ditambahkan Mukhtar Hadi mengutip penjesalan di atas. Dalam kata penutup 12 tafsir langkah Muhammadiyah dinyatakan bahwa langkah ke 1 sampai dengan 7 adalah langkah ilmu yang membutuhkan keterangan dan penjelasan. Adapun langkah ke 8 sampai dengan langkah 12 adalah langkah mati, yakni tinggal dipratekkan saja atau dilaksanakan saja, karena sudah terang dan nyata.
Meskipun khittah dua belas tafsir langkah Muhammadiyah sebagaimana di atas adalah kebijakan PP Muhammadiyah yang dijadikan garis perjuangan Muhammadiyah antara 1938 – 1940, namun khittah itu sampai sekarang masih sangat relevan bagi persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Di dalam pengkaderan Pemuda Muhammadiyah, IMM dan IPM kapan saja sampai sekarang, selalu khittah 12 langkah ini menjadi materi pokok. Penulis ingat Kembali betapa Allah Yarham Ramli AD sebagai Bapak Ideologis Muhammadiyah Sumbar tahun-tahun 70-an, 80-an, dengan sistematis dan retorika jitu meresapkannya semua butir tadi ke dalam jiwa dan lubuk hati AMM.***
0 notes
muberkemajuan · 2 years ago
Link
0 notes
muberkemajuan · 2 years ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Sesi hari-2 Baitul Arqam Terpadu PDM-PDA T Datar dan Kota Sawahlunto Ahad 23/7/2023 bersama Irman Gusman, Afrijal Harun, Marhadi Efendi, Rizal, Jon Masnedi dan Ismail di Islamic Center Batu Sangkar. (Foto: Dok)
0 notes
muberkemajuan · 2 years ago
Text
Purnatugas jadi Ketua PW Sumbar, Shofwan Karim Sebut akan Terus Berkiprah di Muhammadiyah - Tribunpadang.com
0 notes
muberkemajuan · 2 years ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
PRM Legoso dan Cabe Ilir Tangsel, shalat Idul Adha Khatib dan Imam Dr. Faozan Amar, S.Ag., MM dan H Dasrizal M. Nainin, S. S. I., M. I.S Lapangan Ruhama Prof Zakiah Darajat UHAMKA , 28.6.2023 (Dok).
0 notes
muberkemajuan · 2 years ago
Text
Arab Saudi dan Muhammadiyah Tetapkan 28 Juni sebagai Idul Adha 2023, Pemerintah Indonesia Kapan?
Category: Religi | Posted date: Sabtu, 17-Jun-2023 11:02 | Updated date: 2023-06-17 12:00:18 | Posted by: Della Amelia
Arab Saudi dan Muhammadiyah Tetapkan 28 Juni sebagai Idul Adha 2023, Pemerintah Indonesia Kapan?
KORANMANDALA.COM - Pusat Astronomi Internasional (IAC) telah menetapkan jadwal Idul Adha 2023.
Menurut AIC, sebagian besar negara berpenduduk Islam akan melangsungkan Idul Adha pada hari Rabu, 28 Juni 2023.
Lantas, apakah Idul Adha di Indonesia jatuh di hari yang sama seperti IAC?
Dilansir oleh Koran Mandala dari berbagai sumber, Rabu 28 Juni 2023 bertepatan dengan 10 Dzulhijjah 1444 Hijriah di Arab Saudi. Pada tanggal tersebut juga, ditetapkan sebagai Idul Adha 2023 sesuai dengan keputusan Kerajaan Arab Saudi.
Baca juga: Tanggal Berapa Muhammadiyah, NU, dan Pemerintah Rayakan Hari Raya Idul Adha 2023? Berikut Penjelasannya
Saat ini, umat Islam dari seluruh dunia sedang melaksanakan ibadah haji dengan khusyuk sambil menanti hari raya umat Islam yang memperingati peristiwa kurban.
Sementara itu, jadwal Idul Adha di Indonesia masih menunggu sidang isbat yang akan digelar besok, hari Minggu, 18 Juni 2023.
Sidang isbat penetapan Idul Adha 2023 sendiri akan dilangsungkan di Auditorium H.M Rasjidi Kementerian Agama, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat.
Baca juga: Gak Sampai Rp500 Ribu! Intip Skema Cicilan Ringan Motor Listrik Smoot ZUZU yang Disubsidi Pemerintah Rp7 Juta, Murah Banget Lhoo
Kementerian Agama (Kemenag) juga akan menggelar Ruqyatul Hilal atau pemantauan Hilal untuk penetapan awal Dzulhijjah pada 99 titik di Indonesia.
Tak hanya Kemenag, organisasi Islam di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) juga belum menentukan kapan awal mula Idul Adha 2023.
Sementara itu, organisasi Islam lainnya yakni Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah menetapkan Idul Adha 1444 Hijriah yang jatuh pada Rabu, 28 Juni 2023.
Baca juga: SLTA Sederajat Merapat, Loker 2023 Posisi Operator Produksi di Kabupaten Karawang, Gajinya Lebih dari Rp5 Juta
Muhammadiyah menentukan penetapan tersebut dberdasarkan hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid. (*)
0 notes
muberkemajuan · 2 years ago
Text
Buka Musyda Terpadu Muhammadiyah Dharmasraya, Ketua PWM Sumbar Wajibkan Semua Kader Baitul Arqam
Ketua PWM Sumbar Bahktiar saat di gelaran Musyda Terpadu Muhammadiyah Dharmasraya. (Foto: Hafiz Mahendra)
DHARMASRAYA – Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumatera Barat (Sumbar) membuka Musyawarah Daerah (Musyda) Terpadu Muhammadiyah, Aisyiyah, dan Nasyiatul Aisyiyah ke-4 Kabupaten Dharmasrya, Kamis (15/6/2023).
Ketua Panitia Musyda Terpadu Muhammadiyah Dharmasraya, Ibnu Sahid mengatakan, peserta Musyda Muhammadiyah mencapai 61 orang. Kemudian, 65 orang dari Aisyiyah, 30 orang Nasyiatul Aisyiyah.
“Terimakasih kami ucapkan atas kehadiran pimpinan wilayah dan juga ratusan warga Muhammadyah yang telah menyemarakkan Musyda terpadu ini,” katanya dalam sambutan.
Sementara itu, Ketua PDM Dharmasrya Surhan Harahap mengatakan, Musyda ini bagian untuk menata kembali PDM hingga ke tingkat cabang dan ranting.
Saat ini, kata Surhan, baru 4 cabang Muhammadyah yang definitif di Dharmasraya. Setidaknya, ada 2 cabang lagi yang akan aktif di periode 2023-2027 mendatang.
Baca Juga: Matahari Dunia Menggema di Bumi Para Wali; Budaya Berkemajuan Grand Opening RS Sarkies 'Aisyiyah Kudus
“Kami mohon maaf Musyda ini tertunda. Alhamdulillah terlaksana di bulan Juni,” katanya.
Ketua PWA Sumbar, Syur’aini mengapresiasi gelaran Musyda Muhammadiyah terpadu di Dharmasraya. Dia berharap PDM dan PDA kompak dalam menjalankan program keMuhammadiyahan.
“Kami berharap Nasyiatul Aisyiyah menjadi kader berkarakter, berkemajuan serta memiliki iman yang tinggi kemudian berfikir tajdit, dan tidak inskusif serta menjadi wanita mulia,” katanya.
Asisten III Pemkab Dharmasraya, Khairudin mengatakan, Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dia berharap kader-kader dan program Muhammadiyah bisa menjadi contoh dan tauladan umat beragama.
“Bupati sangat mensupport kegiatan Muhammadiyah karena masalah keagamaan adalah elemen penting dalam pemerintah,” katanya.
Ketua PWM Sumbar, Bakhtiar mengatakan, Muhammadiyah akan menghadapi tantangan berat di masa depan dibandingkan masa lalu. Atas dasar itu, PDM terpilih nantinya diharuskan untuk bersinergi dan berkomitmen membesarkan persyarikatan.
Baca Juga: PDM Terpilih Kabupaten Limapuluh Kota Laksanakan Rapat Perdana
“Kita cabang terbentuk, termasuk ranting dan nagari se Dharmasraya,” katanya.
Setelah terpilih nantinya PDM yang baru, kata Bahktiar, pimpinan Muhammadiyah Kabupaten harus melakukan konsolidasi dan penguatan ideologi ke cabang-cabang. Kemudian, semuanya juga diwajibkan mengikuti Baitul Arqom.
“Baitul Arqam tidak hanya untuk pimpinan, tapi juga seluruh kader Muhammadiyah, Aisyiyah,” katanya.
Pembukaan Musyda itu juga dihadiri Sekretaris PWM Apris, Wakil Ketua Yosmeri Yusuf, Marhadi Efendi dan penasehat PWM Sumbar Shofwan Karim. (Hafiz Mahendra)
www.shofwankarim.com, www.shofwankarim.me, www.shofwankarim.id
Tumblr media
0 notes
muberkemajuan · 2 years ago
Text
MENJERNIHKAN TAFSIR PANCASILA
Dr. Adian Husaini
HARIAN Republika, Rabu (11/5) menurunkan berita berjudul: “Kembalikan Pancasila dalam Kurikulum”. Berita itu mengungkap pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie yang mempertanyakan mengapa Pendidikan Pancasila hilang di kurikulum pendidikan. Kata Aburizal, Pancasila tidak boleh dikerdilkan dengan hanya menjadi bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
“Sikap Partai Golkar jelas, kembalikan materi pendidikan Pancasila menjadi bagian dari kurikulum pendidikan secara khusus, karena materinya harus diajarkan secara tersendiri,” kata Aburizal Bakrie.
Menurut Aburizal Bakrie, penghapusan pendidikan Pancasila adalah sebuah upaya memotong anak bangsa ini dari akar budayanya sendiri. Pancasila adalah pintu gerbang masuk pelajaran tentang semangat nasionalisme, gotong royong, budi pekerti, nilai-nilai kemanusiaan, kerukunan, dan toleransi beragama.
Demikian seruan Partai Golkar tentang Pancasila sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umumnya. Akhir-akhir ini kita sering mendengar seruan berbagai pihak tentang Pancasila. Tentu saja, ini bukan hal baru. Berbagai seminar, diskusi, dan konferensi telah digelar untuk mengangkat kembali “nasib Pancasila” yang terpuruk, bersama dengan berakhirnya rezim Orde Baru, yang sangat rajin mengucapkan Pancasila.
Partai Golkar atau siapa pun yang menginginkan diterapkannya di Pancasila, seyogyanya bersedia belajar dari sejarah; bagaimana Pancasila dijadikan sebagai slogan di masa Orde Lama dan Orde Baru, dan kemudian berakhir dengan tragis. Sejak tahun 1945, Pancasila telah diletakkan dalam perspektif sekular, yang lepas dari perspektif pandangan alam Islam (Islamic worldview). Padahal, sejak kelahirannya, Pancasila – yang merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945 – sangat kental dengan nuansa Islamic worldview.
Contoh terkenal dari tafsir sekular Pancasila, misalnya, dilakukan oleh konsep Ali Moertopo, ketua kehormatan CSIS yang sempat berpengaruh besar dalam penataan kebijakan politik dan ideologi di masa-masa awal Orde Baru. Mayjen TNI (Purn) Ali Moertopo yang pernah menjadi asisten khusus Presiden Soeharto merumuskan Pancasila sebagai “Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, Ali Moertopo merumuskan, bahwa diantara makna sila pertama Pancasila adalah hak untuk pindah agama. “Bagi para warganegara hak untuk memilih, memeluk atau pindah agama adalah hak yang paling asasi, dan hak ini tidak diberikan oleh negara, maka dari itu negara RI tidak mewajibkan atau memaksakan atau melarang siapa saja untuk memilih, memeluk atau pindah agama apa saja.”
Tokoh Katolik di era Orde Lama dan Orde Baru, Pater Beek S.J., juga merumuskan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep yang netral agama, dan tidak condong pada satu agama. Ia menggariskan tentang masalah ini:
“Barang siapa beranggapan Sila Ketuhanan ini juga meliputi anggapan bahwa Tuhan itu tidak ada, atheisme (materialisme); atau bahwa Tuhan berjumlah banyak (politeisme), maka ia tidak lagi berdiri di atas Pancasila. Pun pula jika orang beranggapan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya tepat bagi kepercayaan Islam atau Yahudi saja, misalnya, maka orang semacam itu pada hakikatnya juga tidak lagi berdiri di atas Pancasila.” (J.B. Soedarmanta, Pater Beek S.J., Larut tetapi Tidak Hanyut).
Tetapi, sebagian kalangan ada juga yang memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga menjamin orang untuk tidak beragama. Drs. R.M. S.S. Mardanus S.Hn., dalam bukunya, “Pendidikan—Pembinaan Djiwa Pantja Sila”, (1968), menulis: “Begitu pula kita harus mengetahui, bahwa orang yang ber-Tuhan tidak sekaligus harus menganut suatu agama. Bisa saja orang itu ber-Tuhan, yaitu percaya dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak memeluk suatu agama, karena ia merasa tidak cocok dengan ajaran-ajaran dan dogma-dogma agama tertentu. Orang yang ber-Tuhan tetapi tidak beragama bukanlah seorang ateis. Pengertian ini sebaiknya jangan dikaburkan.”
Pastor J.O.H. Padmaseputra, dalam bukunya, “Ketuhanan di Indonesia” (Semarang, 1968), menulis: “Apakah orang yang tidak beragama harus dipandang ateis? Tidak. Karena amat mungkin dan memang ada orang tidak sedikit yang percaya akan Tuhan, tetapi tidak menganut agama yang tertentu.” (Dikutip dari buku Pantjasila dan Agama Konfusius karya RimbaDjohar, (Semarang: Indonezia Esperanto-Instituto, MCMLXIX), hal. 34-35).
Padahal, jika dicermati dengan jujur, rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa ada kaitannya dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bung Hatta yang aktif melobi tokoh-tokoh Islam agar rela menerima pencoretan tujuh kata itu, menjelaskan, bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak lain kecuali Allah. Sebagai saksi sejarah, Prof. Kasman Singodimedjo, menegaskan: “Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam.” (Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 123-125.)
Lebih jelas lagi adalah keterangan Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah, yang akhirnya bersedia menerima penghapusan “tujuh kata” setelah diyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Dan itu juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).
Sebenarnya, sebagaimana dituturkan Kasman Singodimedjo, Ki Bagus sangat alot dalam mempertahankan rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sebab, rumusan itu dihasilkan dengan susah payah. Dalam sidang-sidang BPUPK, Ki Bagus dan sejumlah tokoh Islam lainnya juga masih menyimpan ketidakpuasan terhadap rumusan itu. Ia, misalnya, setuju agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan. Tapi, karena dalam sidang PPKI tersebut, sampai dua kali dilakukan lobi, dan Soekarno juga menjanjikan, bahwa semua itu masih bersifat sementara. Di dalam sidang MPR berikutnya, umat Islam bisa memperjuangkan kembali masuknya tujuh kata tersebut. Di samping itu, Ki Bagus juga mau menerima rumusan tersebut, dengan catatan, kata Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa, bukan sekedar “Ketuhanan”, sebagaimana diusulkan Soekarno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK. Pengertian inilah yang sebenarnya lebih masuk akal dibandingkan dengan pengertian yang diajukan berbagai kalangan. (Ibid).
Dalam bukunya, “Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin” (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif juga mencatat, bahwa pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya, dan setuju mengganti “tujuh kata” dengan “Yang Maha Esa”. Syafii Maarif selanjutnya menulis: “Dengan fakta ini, tidak diragukan lagi bahwa atribut Yang Maha Esa bagi sila Ketuhanan adalah sebagai ganti dari tujuh kata atau delapan perkataan yang dicoret, disamping juga melambangkan ajaran tauhid (monoteisme), pusat seluruh sistem kepercayaan dalam Islam.” Namun tidak berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan sila pertama menurut agama mereka masing-masing. (hal. 31).
Tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa identik dengan Tauhid, juga ditegaskan oleh tokoh NU KH Achmad Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, Rais Aam NU, KH Achmad Siddiq, menyatakan:
“Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.” (Dikutip dari buku Kajian Agama dan Masyarakat, 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama 1975-1990, disunting oleh Sudjangi (Jakarta: Balitbang Departemen Agama, 1991-1992).
Jika para tokoh Islam di Indonesia memahami makna sila pertama dengan Tauhid, tentu ada baiknya para politisi Muslim seperti Aburizal Bakrie dan sebagainya berani menegaskan, bahwa tafsir Ketuhanan Yang Maha Esa yang tepat adalah bermakna Tauhid. Itu artinya, di Indonesia, haram hukumnya disebarkan paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Tauhid. Tauhid maknanya, men-SATU-kan Allah. Yang SATU itu harus Allah, nama dan sifat-sifat-Nya. Allah dalam makna yang dijelaskan dalam konsepsi Islam, yakni Allah yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan; bukan Allah seperti dalam konsep kaum Musyrik Arab, atau dalam konsep lainnya.
Kata “Allah” juga muncul di alinea ketiga Pembukaan UUD 1945: “Atas berkat rahmat Allah….”. Sulit dibayangkan, bahwa konsepsi Allah di situ bukan konsep Allah seperti yang dijelaskan dalam al-Quran. Karena itu, tidak salah sama sekali jika para cendekiawan dan politisi Muslim berani menyatakan, bahwa sila pertama Pancasila bermakna Tauhid sebagaimana dalam konsepsi Islam. Rumusan dan penafsiran sila pertama Pancasila jelas tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah munculnya rumusan tersebut.
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”, yang antara lain menegaskan: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (5) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).
Kaum Muslim perlu mencermati kemungkinan adanya upaya sebagian kalangan untuk menjadikan Pancasila sebagai alat penindas hak konsotistusional umat Islam, sehingga setiap upaya penerapan ajaran Islam di bumi Indonesia dianggap sebagai usaha untuk menghancurkan NKRI. Dalam ceramahnya saat Peringatan Nuzulul Quran, Mei 1954, Natsir sudah mengingatkan agar tidak terburu-buru memberikan vonis kepada umat Islam, seolah-olah umat Islam akan menghapuskan Pancasila. Atau seolah-olah umat Islam tidak setia pada Proklamasi. ”Yang demikian itu sudah berada dalam lapangan agitasi yang sama sekali tidak beralasan logika dan kejujuran lagi,” kata Natsir. Lebih jauh Natsir menyampaikan, ”Setia kepada Proklamasi itu bukan berarti bahwa harus menindas dan menahan perkembangan dan terciptanya cita-cita dan kaidah Islam dalam kehidupan bangsa dan negara kita”
Natsir juga meminta agar Pancasila dalam perjalannya tidak diisi dengan ajaran-ajaran yang menentang al-Quran, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar bangsa Indonesia. (M. Natsir, Capita Selecta 2).
Contoh penyimpangan penafsiran Pancasila pernah dilakukan dengan proyek indoktrinasi melalui Program P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Pancasila bukan hanya dijadikan sebagai dasar Negara. Tetapi, lebih dari itu, Pancasila dijadikan landasan moral yang seharusnya menjadi wilayah agama. Penempatan Pancasila semacam ini sudah berlebihan. Di Majalah Panji Masyarakat edisi 328/1981, mantan anggota DPR dari PPP, Ridwan Saidi pernah menulis kolom berjudul ”Gejala Perongrongan Agama”. Sejarawan dan budayawan Betawi ini mengupas dengan tajam pemikiran Prof. Dardji Darmodiharjo, salah satu konseptor P-4.
”Saya memandang sosok tubuhnya pertama kali adalah pada kwartal terakhir tahun 1977 pada Sidang Paripurna Badan Pekerja MPR, waktu itu Prof. Dardji menyampaikan pidato pemandangan umumnya mewakili Fraksi Utusan Daerah. Pidatonya menguraikan tentang falsafah Pancasila. Sudah barang tentu uraiannya itu bertitik tolak dari pandangan diri pribadinya belaka. Dan sempat pula pada kesempatan itu Prof. Dardji menyampaikan kejengkelannya ketika katanya pada suatu kesempatan dia selesai ceramah tentang sikap hidup Pancasila, seorang hadirin bertanya padanya bagaimana cara gosok gigi Pancasila.”
Kuatnya pengaruh Islamic worldview dalam penyusunan Pembukaan UUD 1945 – termasuk Pancasila – terlihat jelas dalam sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Manusia Indonesia harus bersikap adil dan beradab. Adil dan adab merupakan dua kosa kata pokok dalam Islam yang memiliki makna penting. Salah satu makna adab adalah pengakuan terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammad saw sebagai Nabi, utusan Allah. Menserikatkan Allah dengan makhluk – dalam pandangan Muslim – bukanlah tindakan yang beradab.
Meletakkan manusia biasa lebih tinggi kedudukannya dibandingkan utusan Allah SWT tentu juga tidak beradab. Menempatkan pezina dan penjahat lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan orang yang bertaqwa, jelas sangat tidak beradab.
Jadi, jika Golkar atau siapa pun bersungguh-sungguh menegakkan Pancasila di Indonesia, siapkah Golkar menegakkan Tauhid dan adab di bumi Indonesia? Wallahu a’lam bil-sahawab.*
0 notes
muberkemajuan · 2 years ago
Text
0 notes
muberkemajuan · 2 years ago
Text
0 notes
muberkemajuan · 2 years ago
Text
0 notes
muberkemajuan · 2 years ago
Text
Tumblr media
1/6/23 pelantikan BPP PPM Al Kautsar
0 notes