muhammad-anwari-sn
muhammad-anwari-sn
Untitled
61 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
muhammad-anwari-sn · 6 days ago
Text
Menginspirasi
Tumblr media
Kamu suka yang baru atau bekas?
0 notes
muhammad-anwari-sn · 10 days ago
Text
Utang
Tumblr media Tumblr media
Tabloid Cempaka edisi 141/III/11 - 17 Desember 1991
Utang
Cerpen Muhammad Anwari SN
Dua hari lagi Munandar, kakaknya Tutik, menikah. Kakak beradik itu teman sekantorku. Mau tak mau aku harus datang. Apalagi ini ada hubungannya dengan Tutik, teman sekantorku yang paling dekat, sangat mengharapkan kehadiranku pula. Sampai sejauh ini di antara kami memang belum ada yang menyatakan cinta. Namun acara ngobrol, tukar pengalaman sambil makan di luar atau sekedar jalan-jalan, sering kami lakukan tanpa sepengetahuan teman-teman. Sayangnya pernikahan itu diselenggarakan pas pada tanggal tua, saat gajiku bulan ini telah habis.
Kini aku bingung. Sebab sama sekali belum punya uang. Bisakah aku sepulang kerja nanti mencari pinjaman uang untuk beli kado? Rasanya tak mungkin.
Esoknya aku mencoba cari pinjaman di antara teman-teman dengan berbisik-bisik. Tapi tak ada yang bersedia memberi pinjaman. Tanggal tua, uang mereka sudah banyak yang habis. Kalaupun ada, cuma pas untuk kebutuhan mereka sendiri. Aku semakin resah.
Parno, teman sekantorku juga, pagi itu mulai narikin iuran sewa mobil.
“Budi, nanti sore kamu jadi ikut ke Ngawi, kan?” tanyanya.
“Jadi,” jawabku.
“Pukul berapa?” kataku balik tanya.
“Enam sore.”
Berarti sepulang kerja nanti, aku harus mati-matian mencari pinjaman uang. Tak boleh gagal. Sebab sudah telanjur janji akan ikut ke Ngawi, di mana pernikahan Munandar akan dilangsungkan.
Aku sedikit lega, karena Parno bersedia meminjamiku dulu untuk bayar iuran sewa mobil, meski nanti sore aku harus cepat-cepat mengembalikannya lagi. Kami akan kumpul di depan kantor ini nanti sore, setelah pulang untuk mandi dan pamit pada yang ada di rumah.
Hari ini setelah berhasil mengelabuhi bos, aku sengaja pulang lebih awal dari biasanya, hanya untuk ngobyek cari pinjaman.
Mula-mula aku mendatangi Tinoyo. Dia sering memberi pinjaman uang padaku. Kupikir kali ini pun dia pasti mau memberi pinjaman. Terlebih untuk keperluan yang teramat mendesak ini. Dugaanku ternyata meleset. Dia malah mengaku tak ada uang. Sialan.
Dengan langkah lunglai kutinggalkan rumah Tinoyo di bilangan Puspowarno itu. Kukayuh sepedaku yang terasa semakin berat, seolah ikut kelelahan.
Aku menuju Jalan Imam Bonjol, menemui Ida Nur Khasanah, pacarku nomor tiga. Dia masih seperti dulu, penuh perhatian dan suka memberondong pertanyaan bila aku lama tak mengapelinya.
“Dari rumah saja, mas? Kenapa lama tak ke sini? Sibuk, atau sudah punya yang lain?” Begitu pertanyaan-pertanyaannya, beruntun. Sampai bingung untuk menjawabnya.
Langsung kukemukakan maksud kedatanganku. Dia malah mengeluh. Sesambat tak punya uang. Rupanya nasibku lagi benar-benar sial kali ini.
“Tolong Dik Ida, bantu aku. Uang kantor yang belum bisa kukembalikan itu, nanti sore akan digunakan teman-temanku untuk keperluan kantor. Cuma kurang lima puluh ribu rupiah. Aku dulu tak akan menggunakan uang kantor kalau tidak dalam keadaan terpaksa. Apa boleh buat, tak ada uang lain, sementara ibuku sakit keras, kataku berbohong.
Dia malah cuma termenung dan ikut-ikutan bingung.
Akhirnya aku pulang dengan tangan hampa. Sebelumnya aku memaksa Ida menyediakan uang itu sore ini juga dengan sedikit ancaman.
“Dik Ida, kalau kau masih suka padaku, pasti kau bisa menyediakan uang itu sore ini, entah apa pun caramu. Kalau tidak, jangan harap kita bisa bertemu lagi.”
“Ya jangan gitu, Mas Budi,” keluhnya dengan sedih sekali.
Kutinggalkan rumah Ida Nur Khasanah. Aku sempat memperhatikan wajahnya sekilas sebelum kukayuh sepedaku, nampak murung dan semakin sedih. Sebenarnya aku tak sampai hati. Apa boleh buat. Aku pun merasa cuma sebagai korban keadaan.
Pukul lima sore saat aku tiba di rumah kembali. Kurebahkan tubuhku dengan lemas campur gelisah. Pasti beberapa teman sudah menunggu kedatanganku. Satu jam lagi mereka sudah berangkat ke Ngawi. Tanpa diriku. Sungguh tak bisa kubayangkan, bagaimana teman-teman akan mencaci-maki aku besok. Soalnya aku sudah telanjur janji. Ongkos sewa mobil sudah telanjur dibayar dengan uang Parno. Pasti Parno akan ngomel-ngomel.
Kira-kira lima menit kemudian, pintu depan rumahku diketuk orang. Aku gelisah dan bingung. Pasti salah satu dari teman sekantorku yang datang menjemput, pikirku. Padahal sepeserpun aku belum punya uang. Mana mungkin akan nekat berangkat. Aku semakin bingung jadinya. Untuk menemui, malas. Sebaliknya, kalau tidak ditemui, tidak enak. Serba bingung jadinya.
Terdengar lagi ketukannya di pintu untuk ketiga kalinya. Lalu terdengar suara langkah kaki adikku yang tergesa-gesa ingin menemuinya. Aku pura-pura tidur. Tapi diam-diam aku memasang telinga, berusaha mendengarkan percakapan mereka. Namun sia-sia.
Tak lama kemudian adikku membangunkan aku yang pura-pura tidur.
“Mas, dicari temanmu,” katanya.
“Siapa?”
“Mana aku tahu.”
“Cewek apa cowok?” tanyaku kemudian.
“Cewek,” jawab adikku, terus pergi.
Aku bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah yang datang itu Tutik? Blaik! Apa yang harus kukatakan bila benar-benar dia? Haruskah berterus-terang bahwa aku tak jadi ikut ke Ngawi karena tak punya uang. Tapi seingatku Tutik belum tahu pasti alamat rumahku. Dengan malas sekali aku bangkit. Lalu mengintip dari celah kain kordin.
“Dik Ida,” desisku pelan. Ada perasaan lega setelah tahu yang datang bukan Tutik. Meski pelan, rupanya sempat didengar suara yang menyebut namanya tadi. Gadis itu menoleh dan menyebut namaku pula.
“Mas Budi.”
Sama sekali tak kunyana. Semula kukira kedatangannya untuk sekedar memohon agar aku tidak bersikap sekejam tadi. Tapi perkiraan ini meleset. Ia justru datang dengan sejumlah uang yang telah kupesan. Sekarang uang Rp 50.000 sudah ada di tanganku. Jumlah yang sama sekali melampaui batas kebutuhanku yang cuma sekedar ingin beli kado dan bayar ongkos pergi ke Ngawi. Saking gembiranya, Ida langsung kupeluk dan kucium. Ia terus pulang setelah menyarankan agar aku segera membawa uang itu ke kantor.
Aku mandi dengan teramat tergesa-gesa. Tiba-tiba aku teringat pada Tutik ketika kami jalan-jalan di Pasar Johar. Ia tertarik pada sebuah gaun yang harganya cuma Rp 25.000. Aku langsung ke sana. Gaun itu ternyata masih ada. Terus aku beli. Pasti Tutik senang menerima bingkisan ini. Sebelum dibungkus di dalamnya kuberi tulisan, “Dari sahabatmu yang diam-diam memperhatikanmu. Semoga kau mau menerima ini.”
Sedangkan kakaknya yang akan melangsungkan pernikahan, cuma kubelikan kado seharga Rp 3.000.
Sayangnya jam di tanganku sudah menunjuk pukul setengah tujuh kurang beberapa menit. Aku terlambat sampai di kantor. Lemaslah rasanya sekujur tubuh ini. Sudah telanjur beli kado, malah ketinggalan dengan teman-teman. Untung masih menyimpan alamat Munandar dan Tutik, kakak beradik satu rumah itu. Segera malam itu juga kado aku paketkan lewat titipan kilat.
Ketika aku sudah bertemu lagi dengan teman-teman di kantor, betapa terkejut, mereka ramai berbincang-bincang. Sama sekali tidak memperbincangkan aku yang tak jadi turut serta dengan mereka.
“Tutik itu pintar membuat kejutan,” kata Fredy, temanku di bagian iklan. Aku sama sekali tak mengerti maksudnya.
“Coba bayangkan. Kita belum pernah dengar ceritanya dia punya cowok, kan? Tak tahunya, bersamaan dengan pernikahan Munandar kemarin, dia punya acara sendiri, tunangan. Edan, nggak?” lanjut Fredy.
“Tunangan?” kataku setengah tak percaya. “Dengan siapa?”
“Tetangga satu desa,” sahut Rahmat Jabrik, temanku di bagian Fentura.
Tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Mata berkunang-kunang. Lalu tubuhku tersandar di meja dengan lemas. Teman-temanku bengong semua. Tak tahu apa yang terjadi pada diriku.
Semarang, 1991.
0 notes
muhammad-anwari-sn · 13 days ago
Text
Mengatasi Kendala Bahasa Buku
Tumblr media
Suara Merdeka
Edisi Senin 31 Maret 1997
Resensi buku
Mengatasi Kendala Bahasa Buku
SUDARYANTO DAN SULISTIYO, ‘Ragam Bahasa Jurnalistik dan Pengajaran Bahasa Indonesia’ Priseding Simposium Nasional PIBSI XVII, Penerbitan Citra Almamater, Semarang, 1997, i-xix + 497 halaman.
Penulis : Muhammad Anwari SN
Media massa cetak, khususnya surat kabar, sudah merupakan bagian hidup bagi manusia Indonesia terpelajar masa kini (waktu itu tahun 1997). Sebagai media pemberi informasi, bahasa merupakan sosok vitalnya. Maka muncul dan berkembanglah ragam bahasa jurnalistik.
Ragam ini sekarang telah mendapat perhatian dalam pembinaan dan pengembangan bahasa serta pengajarannya. Buktinya, lembaga yang berwenang telah mengadakan pertemuan-pertemuan yang membicarakan hal itu. Akan tetapi, agaknya perhatian itu belum mencukupi. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan prospek bahasa Indonesia pada abad 21.
Dalam hubungannya dengan fakta semacam itu, Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XVII pada tanggal 10-12 Juli 1997 mengadakan simposium nasional Ragam Bahasa Jurnalistik dan Pengajaran Bahasa Indonesia di IKIP PGRI Semarang.
Kegiatan yang dibuka Menpen H. Harmoko itu dimaksudkan untuk mempertemukan praktisi pendidikan (guru) yang merasa mempunyai tanggung jawab mengajarkan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan praktisi pers yang sering dituding sebagai perusak bahasa Indonesia.
Buku ini merupakan kumpulan makalah yang tersaji dalam simposium tersebut.
Subragam
Melihat sosok ragam jurnalistik lebih seksama, dapat diketahui setidak-tidaknya ada dua subragam di dalamnya, yaitu subragam berita jurnalistik dan subragam opini jurnalistik.
Subragam yang pertama menentukan identitas ragam jurnalistik. Subragam kedua justru dapat ditentukan sebagai subragam dari jurnalistik jurnalistik karena dia berada di wilayah ragam jurnalistik sejak awal kelahirannya.
Subragam berita jurnalistik ada dua macam, yaitu subragam tiru kata dan subragam rajut data. Sesuai dengan namanya, subragam tiru kata ditandai dengan banyak perkataan yang ditiru dari sumber berita.
Karena itu, sering muncul dalam subragam itu kata-kata seperti ‘katanya, ujarnya’ dan ‘tegas’. Adapun subragam rajut data, sesuai dengan namanya pula.
Data yang berasal dari sumber berita yang sering tidak hanya satu pihak itu ‘dirajut’ dulu menjadi suatu wacana yang kata-katanya telah menjadi milik penulisnya (wartawan). Subragam rajut data itu tampak pada reportase, laporan yang bersifat utuh, dan pada berita ringan yang bersifat ‘human interest’.
Subragam opini opini jurnalistik juga ada dua macam, yaitu subragam tajuk dan subragam pojok. Subragam tajuk berkaitan dengan sikap, pandangan, dan haluan surat kabar yang menerbitkannya. Subragam pojok berkaitan dengan keinginan ‘menyentil’ tindakan atau peristiwa yang bernilai berita yang telah dimuat sebelumnya.
Perusak
Dalam menjalankan tugas jurnalistik, ada 10 pedoman pemakaian bahasa Indonesia yang harus digunakan oleh pers, terutama media cetak. Jadi, sebenarnya seorang wartawan sangat peduli terhadap pengembangan bahasa Indonesia. Belum lagi ketentuan-ketentuan lain, termasuk Kode Etik Jurnalistik yang mengatur tatakrama wartawan Indonesia di dalam menjalankan tugas.
Wartawan tidak bisa seenaknya menggunakan bahasa Indonesia di dalam berkomunikasi dengan khalayak pembaca. Namun, dalam penggunaan bahasa komunikatif ini mungkin saja ada kendalanya.
Di antaranya benturan dengan bahasa baku Indonesia. Benturan ini, jika terjadi, Ketua PWI Pusat H. Sofjan Lubis minta dimaafkan saja, tidak perlu dipermasalahkan sejauh kaidah-kaidah yang ada tetap dihormati.
Misalnya di dalam penerbitannya, harian ‘Pos Kota’ banyak menggunakan bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa baku. Bagi ‘Pos Kota’, yang penting dapat berkomunikasi dengan khalayak pembacanya, yang pada umumnya berada di tingkat bawah. Maka terpaksa menggunakan bahasa sehari-hari yang mudah dipahami dan dimengerti.
Kata-kata ‘ketabrak, kecebur, ususnya terburai, mati kecekek’ adalah kata-kata yang “terpaksa” digunakan.
Dengan bahasa seperti inilah akhirnya ‘Pos Kota’ mampu meraih peredaran cukup besar di Jakarta. Setelah pembacanya dianggap sudah sering membaca ‘Pos Kota’, secara pelan-pelan pembenahan bahasa Indonesia yang baik dan benar mulai dilakukan. Sampai sekarang proses itu masih berjalan, sebab pengasuhnya juga menyadari banyak pembacanya sudah meningkat kecerdasannya.
Selain ‘Pos Kota’ ada majalah anak muda di Jakarta mendekati khalayak pembacanya dengan bahasa yang dirasakan mudah dipahami anak-anak muda. Sofjan Lubis memberikan contoh tulisan :
“Bintangnya Thomas Djorghi en Hesti Femi Nugraha, ‘ngejrengi’ edisi spesial ultah ke 5 Aneka. Makanya nggak heran suasana pemotretan mirip pesta ultah beneran. Ada balon warna-warni, terompet, pita-pita, juga cake cantik”.
Bagian lain tertulis :
“Bener yang dibilang Thomas. Sejak Aneka berdiri 9 Mei 1990 sampai sekarang Thomas nggak pernah nolak kalau kalau ada tawaran dijepret Aneka. Lain sama Hesti yang baru tujuh belas tahun. Doski yang finalis Top Guest ‘95 emang masih terbilang muda. Jadi ngerasain dijepret belum sebanyak Thomas”.
Setiap Hesti ngeluarin pujian buat cowok kelahiran 12 Juni 1969 ini, jawabannya selalu tersenyum. “Itu kan proses aja. Kalau kamu serius jadi model, bisa jadi beberapa tahun lagi malah ngalahin Thomas,” kilahnya merendah. Walau cap senior dan yunior ada di mereka, toh nggak ngurangin suasana heboh di studio….”
Membacakan tulisan seperti itu, memang kita prihatin. Majalah ini “terpaksa” melakukannya untuk berkomunikasi dengan pembacanya yang pada umumnya adalah anak-anak muda yang memang biasa menggunakan bahasa seperti ini. Tapi Sofyan Lubis merasa yakin, lama-lama majalah ini akan meninggalkan “perusakan” bahasa itu.
0 notes
muhammad-anwari-sn · 13 days ago
Text
Tumblr media
Masjid Raya Baiturrahman Semarang
Ini adalah Menara Masjid Raya Baiturrahman Semarang, Jl. Pandanaran 126 Semarang. Suasana ramai sekali tiap Minggu pagi karena ada acara Car Free Day.
0 notes
muhammad-anwari-sn · 19 days ago
Text
Car Free Day Semarang
Tumblr media Tumblr media
Minggu pagi yang dingin, 20 Juli 2025, pulang dari salat subuh di Masjid Jami Syahidin, aku langsung pesan ojek ‘online' ke Taman Indonesia Kaya. Meski tubuhku sebenarnya kurang begitu sehat, boyok pinggang rasanya remuk, sudah tiga kali periksa ke Puskesmas belum ada perubahan, tapi kupaksakan pergi. Siapa tahu aku bisa melupakan sakitku setelah melihat keramaian di Simpang Lima. Udara dingin yang menyengat, serasa menusuk tulang. Aku nekat. Aku harus pergi. Rasanya sudah kangen banget pingin jalan-jalan di ‘car free day’.
Aku tahu jalan kaki saja terasa dingin seperti itu, apalagi naik motor. Timbul keinginan untuk memakai jaket. Tapi kemudian kuurungkan, karena khawatir akan merepotkan diriku sendiri ketika harus melepas jaket itu begitu sampai di tujuan, karena tidak mungkin aku akan memakainya terus.
Sampai di Taman Indonesia Kaya, ternyata tidak ada kegiatan apa-apa, selain yang kelihatan cuma orang-orang yang nongkrong istirahat. Aku sempatkan ke toilet mumpung belum kebelet banget. Keluar dari toilet kusempatkan duduk-duduk sebentar istirahat sambil menikmati pemandangan sekitar.
Terus memotret apa-apa yang kulihat menarik di sana : patung, papan nama taman dan lainnya. Kulanjutkan jalan kaki ke Simpang Lima melewati Jl. Pahlawan.
Sepanjang Jl. Pahlawan sudah ramai sekali, terutama antara air mancur dan Lapangan Pancasila. Kupotret papan nama Lapangan Pancasila Simpang Lima yang terbuat dari tembok. Kupotret juga Menara Masjid Baiturrahman, mobil Pemadam Kebakaran, dan pertunjukan musik.
Aku telah bisa melupakan rasa sakitku. Setelah puas, sebelum pulang, kusempatkan mampir ke Taman Indonesia Kaya, siapa tahu di sana sudah ada kegiatan senam pagi atau kegiatan lain yang menarik. Ternyata tidak ada sama sekali. Yang terlihat cuma orang lalu lalang jalan kaki.
Mau panggil ojek ‘online', akses masuk ke area taman belum dibuka. Jadi, mobil dan motor belum boleh masuk. Aku terpaksa harus jalan kaki lagi melewati Jl. Tri Lomba Juang. Di depan Unisbank baru aku bisa pesan ojek ‘online'. Sampai di rumah aku bobok karena sakit boyok dan pinggangku kambuh lagi
0 notes
muhammad-anwari-sn · 22 days ago
Text
Tumblr media
Keponakan waktu mendampingi aku kontrol dokter di RS Telogorejo
0 notes
muhammad-anwari-sn · 24 days ago
Text
Mensiasati Kasus Cekal Dunia Sastra
Tumblr media Tumblr media
Suara Merdeka edisi Minggu 8 November 1992
Mensiasati Kasus Cekal Dunia Sastra
Esei lepas Muhammad Anwari SN.
Sudah berkali-kali kita mendengar kasus cekal (cegah tangkal). Dalam dunia sastra kita mengenal Ki Panji Kusmin, cerpennya, “Langit Makin Mendung’, dituntut sampai ke Pengadilan. Kemudian Rendra, selesai baca sajak ditangkap polisi. F. Rahardi, yang barusan baca sajak di Semarang juga pernah kena cekal. Dan dalam dunia nyanyi dan musik kita kenal Iwan Fals, salah satu lagunya dilarang ditayangkan di televisi.
Akhir-akhir ini yang baru kena cekal lagunya Rita Sugiarto. Rita sudah terlibat banyak proyek rekaman. Di antaranya bersama Rhoma Irama. Selama itu lancar-lancar saja. Tak ada gangguan apa-apa. Maka sangat terkejut ketika lagunya, ‘Makan Darah’ dilarang tampil. Ini kejadian yang baru pertama kali dialaminya.
Bisa jadi Rita hanya punya motif berkarya. Terlebih, tema itu cuma cinta. Tema yang biasanya mudah menyentuh seniman wanita untuk bercengeng-cengeng. Pengarang dan penulis pemula pun banyak yang memulai menulis dengan tema cinta, karena tema ini mudah menyentuh.
Lagu yang kena cekal konon malah laris. Yang jelas lagu yang kena cekal, membuat orang ingin tahu. Sementara lagu itu dilarang : di rumah-rumah, di kendaraan dan di mana saja tetap saja mengalun. Begitu pun karya sastra yang kena cekal, membuat orang lain malah ingin membacanya. Jadinya yang seharusnya tidak boleh didengar, dibaca atau dilihat, masyarakat malah ramai-ramai menikmatinya.
Mudah-mudahan yang bersangkutan tidak hanya cuma bisa mengeluh, tapi mampu mengambil hikmahnya. Untuk menentukan siapa yang salah, tentu tidak mudah. Dan bukan sekali-kali tulisan ini untuk mencari siapa yang salah. Tindakan pemerintah tentu dengan maksud positif.
Perbedaan logika
Idrus, sastrawan Indonesia penulis buku ‘Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma’, mengungkapkan, cekal terjadi karena perbedaan logika antara pemerintah dan seniman, atau antara logika politik dan logika seni. Logika politik selalu memberat pada kepentingan keamanan, sedangkan logika seni tidak.
Misalnya pemerintah dan Rendra sepaham, di Indonesia kini kini ada kebebasan berbicara. Tapi bagi pemerintah, kebebasan itu sesuatu yang dapat membahayakan, karena itu harus selalu diawasi. Sedangkan bagi Rendra kebebasan tidak tidak pernah mendatangkan bahaya, karenanya pengawasan terhadapnya tidak perlu.
Kiat
Produktivitas seorang seniman banyak ditentukan oleh kepekaannya terhadap situasi lingkungan dan ketrampilan mengekspresikan. Keduanya harus seimbang. Orang yang tidak peka terhadap situasi lingkungan, biasanya kurang produktif. Karena situasi lingkungan yang sering memberi inspirasi untuk berkarya.
Kata Yudiono KS,SU, sebuah karya fiksi tak mudah dipisahkan dari realitas kehidupan. Sebab seorang seniman adalah seorang individu atau anggota masyarakat yang pasti terlibat dengan realitas kehidupan sekitarnya (Suara Merdeka, kolom Denting, 17 November 1991).
Tapi seniman produktif yang kelewat berani mengkritik, tanpa ditunjang kemahiran berekspresi akan kena risiko cekal.
Maka supaya selamat harus ditunjang dengan ketrampilan mengekspresikannya. Sebenarnya pun ada kiat jitu. Umpama tujuannya mengkritik, dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang dikritik tidak punya alasan ( termasuk secara hukum) untuk memarahi seniman pengkritiknya. Bahasa kerennya harus menggunakan pendekatan realitas etnografis, istilah yang membedakan dari realitas literer. Dengan realitas etnografis ini data-data yang faktual bisa diubah menjadi fiksi. Artinya, kejadian dan problematika sosialnya memang benar-benar ada, tapi dengan satu kecerdasan tertentu, ia bisa ditransfer menjadi fiksi. Nama-nama bisa diubah, lembaga-lembaga dan ikatan-ikatan sosial yang ada bisa diubah, tapi esensi masalahnya masih tetap ada (Triyanto Triwikromo, Realitas Etnografis, Suara Merdeka 15 Desember 1991).
Teknis
Teknis di atas biasanya digunakan dalam dunia sastra. Tapi tidak menutup kemungkinan untuk bisa digunakan di bidang kesenian lain, dunia nyanyi-menyanyi, misalnya.
Supaya selamat, berkarya jangan sekedar berekspresi (baik lewat tulisan, lagu maupun gerak tari) dan memenuhi kepuasan batin sendiri. Masih ada segi-segi lain yang perlu dipertimbangkan. Misalnya, kepuasan batin penonton, penikmat dan pembaca. Perlu pula mempertimbangkan kemungkinan menyinggung perasaan orang lain atau mengganggu keamanan umum. Kalau hal itu sampai terjadi, tidak menutup kemungkinan akan menjadi bumerang yang mencelakakan senimannya sendiri. Contohnya Boris Pasternak, dalam bukunya, ‘Dr Zivago’ menguraikan kebobrokan Uni Uni Soviet. Pemerintah Soviet merasa tersinggung dan dilukai. Akibatnya Boris diasingkan oleh penguasa.
Selain itu apa sebuah karya mengandung pornografi atau sadisme atau tidak. Sebab kalau hal itu terjadi, akan membawa kesulitan bagi senimannya sendiri.
Mudah-mudahan dengan kiat menghindar seperti itu kasus-kasus penghentian aktivitas kesenian secara paksa terhindari. Terlebih bila karya itu diplublisir untuk kalangan luas. Sekalipun HB Yasin pernah berkata, pengarang sesungguhnya orang yang baik. Pengarang dan seniman yang baik merupakan hati nurani masyarakat dan bangsanya.
0 notes
muhammad-anwari-sn · 28 days ago
Text
Gambang Semarang
0 notes
muhammad-anwari-sn · 28 days ago
Text
Bedah buku
Tumblr media Tumblr media
Bedah buku novel “Kolam Susu” karya Sulis Bambang telah berlangsung Sabtu 12 Juli 2025 kemarin di TBRS Semarang. Salah satu pembedah adalah Imaniar Yordan Christi dari Komite Sastra Dewan Kesenian Semarang.
0 notes
muhammad-anwari-sn · 30 days ago
Text
Cinta Segitiga di Satu Rumah
Suara Merdeka
Edisi Minggu, 24 Januari 1993
(Aku digoda setelah Jadi Milik Orang Lain)
Kasus Tom di Kota S
Penulis : Muhammad Anwari SN.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Sebenarnya aku malu cerita pada orang lain. Terlalu pribadi masalahnya. Disamping itu, khawatir istriku tahu. Ini menyangkut aibku sendiri. Tapi aku tak pernah mendapatkan jalan keluar. Sehingga bingung sendiri. Karena dihadapkan dua pilihan yang sama-sama beratnya. Seperti makan buah simalakama, aku harus pilih istriku atau dia. Dua-duanya sama-sama beratnya. Haruskah kupilih dua-duanya? Padahal tak mungkin. Semoga pembaca tak mengalami seperti aku. Cuma di lembaran inilah berani buka cerita. Berharap di antara pembaca dan Tim LKBH UWK bisa memberi jalan keluar dari kemelut ini.
Baiklah kuceritakan kisahku. Aku lahir tahun 1963. Anak kedua dari empat bersaudara. Sekarang bekerja di sebuah pabrik di Kota S. Di pabrik aku tak punya temen cewek cantik. Satu-satunya teman cewek yang lumayan cuma Yuni (nama samaran). Tapi ia cuma kuanggap sebagai teman biasa. Tak lebih. Selamanya belum pernah tertarik padanya. Tapi ia baik sekali. Sering meminjami uang padaku, di kala aku sedang tak punya.
Mulanya begini : Suatu hari aku mengantarkan Yuni ke rumah temannya. Mulanya aku diperkenalkan pada Eni (nama samaran). Lalu teman Eni satu kos, Lilis dan Siska (keduanya juga nama samaran). Lilis dan Eni kerja di farmasi. Sedang Siska di bioskop.
“Mau pilih yang mana?” tanya Yuni.
Ya, selain Yuni, di depanku telah berdiri tiga gadis lain. Yuni memperkenalkan aku pada mereka, supaya aku yang masih lajang kala itu, bisa lekas punya pacar. Seharusnya aku bisa memilih. Ternyata tidak. Aku seperti langsung dijodohkan pada Eni. Meski sebenarnya aku tak tertarik padanya. Tubuhnya gemuk dan jelek. Aku lebih tertarik pada Lilis. Gadis itu pun memperhatikan aku. Ketika aku berpamitan, Lilis memandang aku terus-menerus sampai di pintu pagar. Entah kenapa dia tersenyum manis padaku. Membuatku datang lagi di malam Minggu. Sudah tidak bersama Yuni lagi. Tapi sendirian.
Dari rumah aku sudah membayangkan yang indah-indah. Tentang pertemuanku dengan Lilis. Untuk itu aku berdandan serapi mungkin. Supaya kelihatan tampan. Sialnya sampai di sana tak bisa ketemu Lilis. Malah Eni yang menyambutku. Sebel. Mau terus pulang, tak enak. Soalnya sudah disuguhi macam-macam. Hari berikutnya aku datang lagi. Lilis pun ada di rumah. Semula aku gembira sekali. Tapi kemudian berubah jadi kekecewaan. Karena Lilis tak kunjung keluar. Hari-hari berikutnya pun begitu. Tiap aku ke sana, Eni yang selalu pertama kali menyambutku. Seolah tak memberiku kesempatan bertemu Lilis. Eni selalu pas di ruang tamu tiap kali aku datang.
“Lilis ada, mbak?”
“Di belakang,” jawab Eni.
Eni lalu menyusul ke belakang. Kukira akan memanggil Lilis. Ternyata tidak. Ia kembali cuma membawa makanan kecil dan minuman. Lalu mengajakku ngobrol. Begitu terus. Aku selalu gagal menemui Lilis. Kalau pun ketemu cuma sebentar. Ternyata Lilis tak berani menemuiku. Sebab Eni sudah mengaku-aku pacarku. Dan ia selalu menyambutku dengan istimewa sekali.
Suatu hari aku tak punya uang. Padahal ada kebutuhan mendesak. Kesana-kemari selalu gagal mencari pinjaman. Mau pinjam Eni, malu. Kalau tak pinjam padanya, terus pada siapa lagi? Bingung rasanya. Akhirnya kuutarakan padanya. Dia mau meminjamiku.
Setelah itu aku lama tak muncul. Karena belum bisa mengembalikan uangnya. Sampai ia menelepon ke pabrik tempatku kerja.
“Maaf, Mbak Eni, aku belum bisa mengembalikan uangmu,” jawabku di telepon, sebelum ia menagih.
“Saya tak nagih kok. Cuma tanya. Kenapa Mas Tom lama tak ke sini lagi?”
“Sibuk, mbak.”
“Disempatkan, dong. Soal pinjaman itu tak perlu dirisaukan. Saya tak akan nagih kok.”
Baru aku berani muncul lagi di kosnya. Meski dengan hati yang tak enak. Apalagi sudah disuruh melupakan pinjamanku. Aku sangat berhutang budi padanya. Dia terlalu baik. Kasihan bila aku tak bisa membalasnya. Terpaksa aku harus melupakan Lilis. Ganti memperhatikan Eni. Yang penting dia setia. Untuk apa harus mengejar yang lain bila tak setia, pikirku.
Mulanya kami bertemu di rumah saja. Ngobrol-ngobrol. Beberapa hari kemudian mengadakan pertemuan di luar. Eni mengajakku nonton bioskop. Aku tak punya uang. Aduh, aku nelongso sekali. Merasa tak bisa menyenangkan hatinya. Untung Eni sudah punya uang. Maka Eni yang bayari. Sebagai lelaki sebenarnya aku malu. Tapi apa boleh buat. Kami saling menyatakan cinta. Meski begitu aku tetap memanggil Mbak. Sejak semula memang sudah begitu. Malu rasanya kalau tiba-tiba harus memanggil dik. Biarpun jelas dia lebih muda dariku.
“Memanggil pacarnya kok mbak?” protesnya.
“Harusnya apa dong?”
“Ya dik. Biar kedengaran mesra begitu,” katanya menjelaskan.
Aku tertawa.
“Ada yang lebih mesra,” kataku kemudian.
“Apa?” tanyanya.
“Sayang.”
Dia mencubitku. Lalu merebahkan kepalanya di pundakku. Anehnya yang kubayangkan malah Lilis. Aku membayangkan yang melakukan. Aduh, damai dan indah sekali, seandainya hal itu benar-benar terjadi. Tapi tidak. Di sampingku bukan Lilis. Tapi gadis gemuk dan lucu. Aku menjadi malu bila orang-orang memandangiku. Ingin rasanya meninggalkan dia sendirian. Tapi Eni malah semakin lengket nempel di sampingku.
Pulangnya aku mampir ke toko. Eni membeli lampu. Untuk mengganti lampu kamarnya yang putus. Aku mengantarkannya sampai ke kos.
“Mas Tom, tolong nanti pasangkan lampu ini ke kamarku ya?” pintanya sewaktu kami masih dalam perjalanan.
Jarang aku mendapat kesempatan masuk ke dalam kamar cewek. Kini tanpa kuduga Eni malah menyuruhku masuk ke dalam kamarnya. Maka segalanya mulai kuatur.
Maghrib baru saja berlalu. Kamar Eni sudah gelap gulita. Aku membantu memasang lampu di kamarnya. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Aku mulai merayu-rayu Eni. Apalagi ibu kos berada di tempat lain. Aku sudah menduga, kalau cuma peluk dan cium tentu mudah kudapatkan dari Eni. Aku harus mendapatkan lebih dari itu. Ini kesempatan satu-satunya yang sudah di depan mata. Ternyata Eni malah mudah ditaklukkan. Kami melakukan hubungan seperti layaknya suami-istri.
Hari berikutnya aku mulai mengajak Eni ke rumahku. Mulai saat itulah Eni sering datang ke rumahku. Suatu hari saudara dan orang tuaku tengah pergi. Kami bermesraan di kamar. Melakukan hubungan intim lagi.
Di pabrik aku menerima telepon dari Eni.
“Mas Tom, nanti sore mampir ke kosku ya?” pesannya di telepon.
“Ada apa sih? Kayaknya penting betul?”
“Nanti kamu tahu sendiri,” jawabnya.
“Oke, manis.”
Sampai di tempat kos, di meja sudah ada hidangan. Kukira sedang ada tamu. Ternyata tidak. Semua disiapkan khusus menyambut kedatanganku. Gila. Tak lama kemudian muncul lelaki gagah berwibawa.
“Nama saya Karno, ayah Eni,” kata lelaki tinggi besar itu, memperkenalkan diri.
Sejenak kami saling basa-basi. Kemudian Pak Karno (nama samaran) bercerita :
“Begini, nak Tom. Saya sudah mendengar semua tentang diri nak Tom dari anak saya, Eni. Pendeknya saya setuju mengenai hubungan kalian. Saya merestui. Malah pernikahan kalian harus segera dilaksanakan. Kalau bisa bulan ini,” kata Pak Karno.
Tentu saja aku terkejut. Kenapa semendadak ini?
“Kenapa harus secepat ini, pak? Saya belum siap,” kataku.
Dengan tersenyum dan tenang Pak Karno menjelaskan. “Saya tahu nak Tom belum siap. Tapi nak Tom belum tahu rupanya keadaan Eni sekarang. Kalau ditunda-tunda tidak baik. Kasihan anak saya. Sebab anak saya sekarang sudah hamil.”
Bagaikan disambar petir rasanya. Aku terkejut sekali. Pak Karno akhirnya memaksaku menikahi Eni. Aku tak berani mengelak. Apalagi segala keperluan akan ditanggung keluarga Pak Karno. Aku tinggal mengurus surat-surat kebutuhanku sendiri. Tidak dinyana akan begini akhirnya.
Pernikahan dilangsungkan di rumah orang tua Eni di Kota T. Malu rasanya. Aku tak membawa modal apapun. Tak bisa membelikan kebaya pengantin dan cincin emas untuk Eni. Sepertinya semua orang memandang sinis terhadapku. Membuatku tak kerasan di sana. Dua hari kemudian (yang seharusnya seminggu) aku memaksa kembali ke Kota S. Seminggu kami tinggal di rumah orang tuaku. Eni pun tidak kerasan tinggal di sana. Mengajak kembali ke tempat kosnya. Kini di rumah kos penghuninya tambah seorang, aku. Lilis dan Siska menempati kamar sendiri-sendiri. Aku dan istriku jadi satu di kamar sendiri pula. Ruang tamu jadi satu di depan.
Sebenarnya ibu kos keberatan kami tinggal di sini. Karena kami sudah berkeluarga. Rumah ini hanya untuk kos putri. Tak baik kalau dicampur dengan laki-laki. Tapi kami masih diberi kelonggaran satu tahun untuk tinggal di sini. Sekaligus memberi kesempatan cari kontrakan lain.
Godaan pun muncul. Berkali-kali aku nyaris tak bisa menahan diri. Bagaimana tidak? Tiap hari kumpul dengan orang yang sesungguhnya kucintai melebihi istriku. Lilis yang dulu tak berani muncul di depanku, entah apa setelah aku jadi milik Eni, malah berani menggoda. Tiap hari selalu memakai celana pendek. Hingga aku suka mencuri-curi pandang. Pernah juga memakai rok. Tapi bila nonton tivi, kakinya sering ikut nangkring di kursi, jegang, sehingga pahanya kelihatan.
Suatu hari istriku, Eni, kebetulan tengah pergi. Sedangkan Siska dinas di bioskop. Aku dan Lilis nonton tivi di ruang tamu. Kami bercanda-ria. Aku biasa berhumor. Membuat Lilis tertawa terpingkal-pingkal dan berkali-kali mencubitku. Iseng-iseng aku merangkul. Ternyata dia tak menolak. Aku semakin berani. Dia kucium. Juga mudah saja. Suasana berubah hening. Tangan-tangan kami saling bergerak memeluk dan mencengkeram. Tanpa menimbulkan suara. Edan. Kenapa tidak sejak dulu?
“Lis, kenapa tidak sejak dulu begini? Kenapa baru sekarang?” tanyaku.
“Iya ya. Bagaimana kalau sampai Mbak Eni tahu?”
Aku ngerti, seperti baru sadar dari rasa keterhanyutan.
“Kenapa Mas Tom dulu tidak memilih aku saja?” tanyanya kemudian.
“Habis kamu dulu sulit kutemui. Ngapain dulu terus-menerus di belakang, kalau aku mencarimu?”
“Aku kan nggak enak sama Mbak Eni. Soalnya dia telah menjadi pacarmu.”
“Siapa bilang? Aku sebenarnya dulu lebih tertarik padamu.”
“Kalau begitu Mbak Eni dulu bohong,” kata Lilis mengambil kesimpulan.
“Ya, kau telah dibohongi.”
“Tapi kalau Mas Tom lebih tertarik padaku, kenapa malah menikah dengan Mbak Eni?” tanyanya lagi.
“Untuk balas budi. Aku telah berhutang budi banyak padanya,” jawabku.
Sejak itu bila ada kesempatan, kami sering melakukan hal yang tidak sepantasnya. Kami pernah melakukan hubungan seperti yang kulakukan terhadap Eni. Bila istriku berlaku mesra terhadapku, kulihat Lilis nampak cemburu. Dia juga pernah mengungkapkan penyesalannya, kenapa dulu tak berani bersaing dengan Eni. Kini aku pun menyesal. Lilis dulu memang tak bisa seperti Eni yang mau memulai lebih dahulu. Seharusnya dulu aku yang merayu Lilis. Bukannya sekarang.
Kini aku semakin bingung. Mau meninggalkan Eni yang tengah hamil, kok kasihan. Tapi cintaku terhadapnya, lebih banyak karena kasihan. Jadi kalau memilih Eni, hatiku tersiksa. Padahal kami bertiga dalam satu rumah. Aku tak tega tiap hari melihat Lilis dibakar cemburu. Mau pindah rumah untuk melupakan Lilis, kok eman-eman, apalagi aku sudah telanjur bayar uang kontrakan untuk satu tahun. Apa kata Lilis nanti, bagaimana tangis Lilis nanti bila aku harus meninggalkannya? Padahal dia telah menyerahkan bulat-bulat keperawanannya kepadaku. Aku merasa berdosa dan bingung. Tolonglah pembaca, terutama Tim LKBH UWK. Terima kasih sebelumnya. (Sebagaimana diceritakan pelakunya sendiri).
0 notes
muhammad-anwari-sn · 1 month ago
Text
Tumblr media
50 posts!
Tidak terduga sudah 50 postingan di Tumblr.
0 notes
muhammad-anwari-sn · 1 month ago
Text
Anwari dan singa jantan
Tumblr media
Anwari sedang bercanda dengan singa jantan.
0 notes
muhammad-anwari-sn · 1 month ago
Text
Diary
Tumblr media
Pagi-pagi pulang dari masjid, aku asyik-asyiknya sibuk ngedit gambar pakai ponsel. Tiba-tiba ada gangguan, istriku yang baru pulang dari belanja di pasar teriak-teriak panggil-panggil, minta dibantu turunin dagangannya dari sepeda. Ponsel terpaksa harus segera kutinggalkan. Dengan langkah gontai tertatih-tatih aku terpaksa harus segera membantunya.
Akhirnya kuhentikan kegiatanku pagi itu, karena konsentrasiku terganggu.
Selesai bantu istri, aku terus masuk kamar, terus tidur. Omelan istriku sudah tidak kuperhatikan lagi. Aku sebenarnya masih ngantuk sejak pulang dari subuhan di masjid tadi, kutahan kantuk demi menyelesaikan pekerjaanku. Berhubung ada gangguan, terpaksa harus meneruskan tidurku, karena semalam kurang tidur.
Siangnya, masih kondisi kurang sehat (karena penyakit asam lambungku kambuh), aku tidak jadi bangun. Aku butuh
istirahat menenangkan pikiran. Baru sore nanti barang kali sudah mulai enak badan aku akan meneruskan pekerjaanku, mengedit gambar dan baca buku. Semua penting untuk segera kukerjakan.
Mulai pukul tiga sore, saat yang bagus untuk memulai pekerjaanku, karena suasana sudah tidak berisik lagi. Sudah tidak terdengar lagi suara blender istriku. Aku mencoba meneruskan pekerjaanku.
Tapi hari itu lain. Baru saja pegang ponsel, terdengar suara berisik lagi, tapi bukan blendernya tapi mulut istriku, mulai teriak-teriak lagi. Aku terpaksa menghentikan pekerjaanku, apalagi isi baterai ponselku tinggal sedikit, habis dipakai istriku. Aku minum obat lagi terus tidur lagi. Dari pada pusing ngurusi istri, lebih baik kutinggal tidur.
===============================
Malam, 1 Muharram 1447 H.
Tak disangka ternyata Cebong biang kerok dari pemakzulan. Sebelumnya aku kira Pedet. Ini semua aku dengar dari kesaksian Sengkuni, Pedet, Kardi, Agus, dan Sudarmono.
Minggu, 29 Juni 2025 :
Ada yang nyaris lupa kuceritakan, kawan.
Di pagi yang indah. Suasana mendung, dingin, tapi udaranya segar banget.
Aku jalan-jalan sendirian dari Kampung Madukoro jalan kaki. Sampai di Patung Warak di Mugas depan Unisbank aku sempatkan beristirahat sebentar memulihkan tenaga. Terus jalan menuju Taman Indonesia Kaya. Di sini sudah ramai pol kayak lautan manusia saja. Tanpa istirahat terus menuju bundaran air mancur Jl. Pahlawan. Sampai di Simpang Lima ‘lempoh’ pol.
Di sana aku tenguk-tenguk saja karena kacapekan sambil melihat keramaian orang lalu lalang. Cuma jeprat-jepret dan bikin video. Begitu ‘car free day’ selesai, akses motor dan mobil sudah dibuka, aku langsung pulang naik ojek ‘online’. Begitulah ceritanya kawan.
0 notes
muhammad-anwari-sn · 1 month ago
Text
Peringatan malam 1 Muharram 1447 H di Kampung Madukoro RT 04 RW 01 Krobokan, Semarang Barat
0 notes
muhammad-anwari-sn · 1 month ago
Text
Aneka Permasalah dalam Teater
Tumblr media
Suara Merdeka
Edisi Sabtu, 18 Juni 1994
Aneka Permasalahan dalam Teater
Oleh Muhammad Anwari SN
BERBICARA tentang teater, kita akan berhadapan kita akan berhadapan dengan masalah-masalah lama yang belum tertangani. Misalnya, manajemen yang kurang baik, kekurangan minat, kekurangan bibit teaterawan yang handal, dan sejumlah persoalan pelik yang lain.
Di dalam buku ‘Manajemen Pertunjukan’ tulisan Sal Murgiyanto disebutkan, ada tiga kelemahan teater kita. Pertama, kerapuhan sistem organisasi yang menyebabkan teater tidak dapat berkembang dan cepat bubar. Kedua, ketiadaan jaminan sosial dan upah yang memadai mendorong para seniman berpindah-pindah dari rombongan satu ke rombongan lain untuk mencari jaminan hidup yang lebih pantas.
Mereka tidak bisa total menyerahkan hidupnya untuk teater. Dunia itu tidak cukup menjanjikan uang. Maka banyak yang ‘nyambi’ jadi bintang film, sinetron, bahkan ada yang jadi buruh kasar. Ketiga, ketiadaan organisasi profesi yang melindungi seniman membuat beban kerja sering tidak sesuai dengan upah yang diterima; ketiadaan standar upah minimal.
Manajemen
Untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan itu, bukan bantuan dana yang semata-mata dibutuhkan. Bantuan dana sering diterima cuma oleh kelompok teater berprestasi. Kalau belum berprestasi sudah diberi bantuan dana, percuma saja. Sebab, dana yang diterima belum tentu mampu untuk memperbaiki kekurangan.
Salah satu persoalan dalam teater adalah manajemen. Sayangnya, manajemen kesenian masih sering ditertawakan, justru oleh seniman. Menurut N. Riantiarno, bos Teater Koma, untuk mengelola kesenian, manajemen merupakan hal yang tak bisa ditinggalkan. Hanya dengan manajemen yang baik, sebuah grup akan sukses mengantar karyanya kepada masyarakat (Suara Merdeka, 20 Juli 1993).
Hal yang erat kaitannya dengan manajemen adalah administrasi, yaitu proses manajemen yang secara sempit sering diartikan sebagai pekerjaan kantor atau tata usaha. Secara luas, administrasi berarti sebuah usaha kerja sama untuk mencapai tujuan yang ditetapkan sebelumnya.
Dalam kerja teater, prosedur administrasi dibuat untuk mendukung keberhasilan produksi. Karenanya, prosedur administrasi tidak boleh berdiri sendiri; apalagi menyimpang dari tujuan atau menghambat proses proses produksi. Masalah pokok dalam administrasi teater adalah pengendalian keuangan, pemasaran, publikasi, dan rumah tangga.
Bahan pemberitaan untuk publikasi haruslah sedemikian rupa, sehingga pihak media dapat menggunakan dengan mudah. Ini berarti artikel harus dikirimkan jauh hari agar editor dapat menyunting dan merevisi. Persiapan bahan pemberitaan itu juga harus tampil rapi. Semakin baik mempersiapkan bahan berita, kian besar kemungkinan untuk dimuat.
Rendra mengatakan, kelemahan teater kita karena para seniman teater menganggap dirinya serba miskin atau selalu mengeluh kekurangan fasilitas.
Seniman-seniman yang semula tampak berbakat, setelah pulang belajar teater di luar negeri justru tidak berdaya, tidak mampu menciptakan apa-apa. Mereka selalu mengeluh kekurangan fasilitas untuk melahirkan ide-ide mereka. Mereka menganggap situasinya tidak mengizinkan untuk mencurahkan ide-ide dan tanpa bantuan pemerintah tidak mungkin menciptakan teater seperti di Broadway.
Lalu membuat teater hiburan. Nanti setelah situasi mengizinkan, sedikit demi sedikit, baru akan menciptakan yang serius.
Sikap tidak berdaya di tengah kemiskinan seperti itu, menurut Rendra, menyebabkan teaterawan membelas-kasihani diri sendiri dan merengek pada situasi serta mengemis pada pemerintah, yang juga menyebabkan mereka menghibur diri dengan mengkompromikan kualitas.
Kemiskinan dalam teater modern Indonesia, kata Rendra pula, memang sudah menyeluruh. Miskin penonton, kritikus, penulis, miskin gedung pertunjukan, kesempatan, keuntungan materiil, peralatan teknis, dan sebetulnya juga miskin akan teaterawan yang baik (Media Indonesia, 27 Juni 1993).
Fasilitas
Penyadaran akan kemiskinan tersebut, menurut Rendra, seharusnya bisa mendorong teaterawan untuk lebih memperhatikan fasilitas yang tidak tergantung pada kekayaan : fasilitas-fasilitas yang secara alamiah sudah dimiliki dalam dirinya seperti tubuh, anggota badan, perasaan, dan imajinasi.
Senada dengan Rendra, yang menyinggung tentang daya kreativitas di tengah himpitan kemiskinan, adalah Putu Wijaya. Ia menilai, selain keunggulan akal budi, ternyata yang amat penting adalah sikap terbuka. “Pendeknya, sikap yang sanggup berakrobatik dengan keadaan, sehingga suasa yang kaku bisa dilemaskan,” katanya.
Sedangkan Teguh Karya pernah mengatakan, teater sudah sampai pada ketelantaran. Teater tidak dekat dengan masyarakat. Tapi Teguh menyadari, teater tidak dapat membuat orang menjadi berbudaya. Apa lagi selagi orang itu tidak menjadikan teater sebagai bagian dari budaya hidupnya.
Menurut Teguh, tidak semua orang berkewajiban menghargai teater. Sebab, di negara lain seperti Inggris yang populer justru sepakbola, padahal di sana ada Syakespeare.
Persaingan media televisi dan film semakin keras. Kesenian serius seperti teater kian terpojok. Harus dicari upaya untuk membangun komunitas teater.
Menurut Ahmadun Yosi Herfanda, masalah ini tentu tidak hanya mencakup bagaimana cara mengumpulkan penonton setia teater sebanyak-banyaknya. Tapi juga mencakup bagaimana meningkatkan apresiasi dan sikap kultural mereka. Apakah harus menyerah pada kecenderungan selera penonton atau membangun selera baru di kalangan mereka.
Hal ini tentu tidak akan begitu jadi masalah manakala terjadi suatu “kesempatan bahasa” atau semacam ”kompromi” antara grup teater dengan publiknya. Misalnya, teater bersedia agak mengalah menuruti selera publik.
Dalam keadaan terjadi “kesesuaian bahasa” (secara tematis dan estetis) itulah suatu grup teater akan muncul jadi teater favorit yang disukai publik, menjadi besar. Teater berhasil membangun komunitas yang luas, terus tampil sesuai dengan harapan mereka (Republik, 21 Juli 1993).
0 notes
muhammad-anwari-sn · 2 months ago
Text
Tahta
Tumblr media Tumblr media
Ketika aku di singgasana.
Ciptaan ChatGPT.
0 notes
muhammad-anwari-sn · 2 months ago
Text
Gadis simpanan
Tumblr media
Sinta Salatin dan Anwari
0 notes