Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Ada orang-orang yang lebih memikirkan orang lain daripada dirinya sendiri. Yang mementingkan kebahagiaan orang lain, sedang sedih bagi dirinya tak begitu berarti.
Yang merasa bersalah padahal tidak melakukan kesalahan apa-apa. Seolah kekecewaaan orang lain, sebab kesalahan yang ia perbuat.
Mereka itu orang-orang yang tulus. Tetapi akan sangat berbahaya jika bersama orang yang salah. Ketulusanannya tak selalu dibalas dengan tulus yang sama.
395 notes
·
View notes
Text
Ya Allah, dengan siapapun engkau takdirkan aku nanti. Ku mohon takdirkanlah dengan yang baik menurutmu, dengan takdir yang baik, cara yang baik dan dengan langkah yang baik-baik. Ridhoi kami mengarungi perjalanannya nanti.
327 notes
·
View notes
Text
beranjak tidak pernah mudah
tetapi bersama waktu, aku belajar untuk berdamai dengan takdir yang singgah
karena serupa daun
kitapun bisa gugur.
-26 Des 2020-
0 notes
Text
Kalau Memang Ia
Rasa khawatir itu bergandengan erat dengan harapan, tak kala doa-doa itu terucap dalam hati. Segala sesuatu membuat pikiranku ke mana-mana, ketidakpastian yang ingin segera kutemukan jawabannya. Hari menghitung hari, menunggumu datang beserta dengan niat dan tindakan yang sesuai.
Aku tak pernah sekhawatir ini dalam berdoa, sekaligus tak pernah seberharap ini. Biar tak ada keraguan dan penyesalan di kemudian hari, aku selalu berusaha untuk membuat pikiranku lebih jernih. Bahwa, semua kemungkinan itu mungkin untuk terjadi dan aku harus bersiap.
Kalau memang ia, mudahkanlah jalannya. Kalau ada hambatan, kuatkanlah dirinya. Kalau ada godaan, pandulah ia tetap pada niatnya. Doaku sederhana, semoga kamu tak tersesat ketika datang kepadaku. ©kurniawanguandi
2K notes
·
View notes
Text
"Sikap Seorang Mukmin"
Sikap seorang mukmin kepada sesama muslim lainnya adalah tanpa ada penjelasan apa pun, ia mengedepankan prasangka baik, sehingga ketika ia mendapati kesalahan yang terlihat secara dzahir pun, ia lebih memilih untuk tabayyun. Lalu memberikannya nasihat lembut jika telah jelas kekeliruannya, tanpa menjatuhkan pribadi orang yang ia nasihati.
Adapun para pencari kesalahan, baginya.. penjelasan sebanyak apapun, sama dengan ketiadaan penjelasan, karena sejak awal hatinya telah dipenuhi dengan buruk sangka. Apapun yang terlihat ditafsirkan secara 'liar'.
Semoga Allah Ta'ala menjadikan kita golongan yang pertama, bukan golongan yang kedua.
Hadaanallah waiyyakum ajma'in.
https://instagram.com/gsatria
164 notes
·
View notes
Text
Baru duaa postingan huhu, tapi silahkan kalau mau mampir 🙇. Feel free to contact me should you have anything to say to make this humble project a better use (or anything at all). Terima kasih!
2 notes
·
View notes
Text
Dapet di wa, tanpa saya tau siapa penulisnya.
●Bolu Pisang dan Es Krim ●
"Ma, kakak ranking satu, mana janji mama mau beliin es krim," rengek Dika putra sulungku. Sejak pulang sekolah ia selalu saja menagih janjiku. Mana kutahu bila si sulung yang baru kelas dua SD akan meraih ranking satu, pikirku saat berjanji paling dia hanya akan masuk sepuluh besar saja seperti biasa.
"Sabar ya, Nak, tunggu ibu gajian tanggal satu," janjiku, padahal aku pun tahu tanggal satu nanti upah menjadi buruh cuci separuhnya akan habis menyicil hutang pengobatan ketika almarhum suami sakit dulu.
Dika cemberut. Aku tahu dia kecewa. Tak banyak pinta anak ini sebenarnya, hanya sebuah es krim ketika ia ranking satu. Tapi bagiku itu barang mahal.
Ah seandainya saja Dika ranking dua atau tak usahlah ranking sekalian, ia pasti tak sekecewa ini.
Keterpurukan hidupku bermulai ketika suami yang tiap hari bekerja sebagai buruh bangunan kecelakaan dan lumpuh. Tiap Minggu harus bolak balik kontrol ke rumah sakit, walau pakai BPJS namun kerepotan ini tetap membutuhkan biaya hingga hutang pun menumpuk.
Ketika suami akhirnya pergi selamanya, hutang-piutang pun berdatangan meminta haknya untuk dilunasi.
Aku pasrah. Memohon kepada si pemberi hutang agar memberi kelonggaran dengan mencicil.
Bukan tak mau bekerja lebih giat lagi, namun selain Dika, aku memiliki Anita putri bungsuku yang masih berusia dua tahun. Tak semua orang mau menerima pekerja rumah tangga yang membawa balita.
Sejak itu aku melakukan kerja apapun, mulai dari buruh cuci, hingga upahan membuat kue. Kebetulan kata orang-orang bolu pisang buatanku enak.
(Mbak, bisa buatin bolu pisang?) Sebuah pesan masuk.
Aku bersorak. Alhamdulillah tak sia-sia mengisi pulsa data beberapa hari yang lalu dan mengaktifkan WA ku. Ada pesanan masuk.
(Bisa Mbak, mau berapa loyang?)
(2 loyang, ngambilnya habis Zuhur bisa?)
(Bisa Mbak.) Aku menyanggupi.
(Tapi bolu pisangnya jangan pakai gula ya, biar manisnya ngambil dari pisangnya saja. Anakku alergi gula.)
(Siap, Mbak. Otw dibuat.)
(Berapa harganya?)
(50.000 Mbak.)
(40.000 saja ya, kan gak pakai gula.)
Aku menelan ludah. Ya Tuhan, padahal dalam tiap loyangnya aku hanya mengambil untung 20.000.
(Ya sudah karena Mbak ngambil dua, aku kasih.)
(Oke, tapi aku gak bisa ngambil ke rumah ya, Mbak. Aku mau pergi liburan, jadi jam 1 aku tunggu di depan SMP yang ada di simpang itu.)
(Oke siap.)
Aku segera gerak cepat menyiapkan semua bahan dan mulai bekerja. Baru jam sembilan berarti masih banyak waktu luang. Kebetulan ada pisang Ambon yang belum terpakai jadi gak perlu beli ke pasar.
Alhamdulillah aku bisa mendapat untung dua puluh ribu dari penjualan dua loyang bolu pisang.
Sepuluh ribunya bisa buat beli es krim harga lima ribu untuk si sulung dan bungsu dan sisanya untuk tambahan belanja besok.
Setelah sholat Zuhur, jam 12.30 aku segera berangkat menuju tempat yang dijanjikan. Si sulung mengekor langkahku dengan riang karena terbayang es krim yang bakal didapat. Si bungsu sedang tidur siang jadi kugendong saja.
Tempat janjian kami cukup jauh sekitar setengah kilometer dari rumah. Walau tengah hari dan terik matahari tengah garang menyerang, aku tetap semangat, demi 20.000.
Jam satu kurang lima menit kami telah tiba di tempat janjian. Mungkin sebentar lagi yang memesan akan datang.
Sepuluh menit, dua puluh menit hingga tiga puluh menit berlalu namun tak kunjung ada tanda bila si pemesan akan datang.
Beberapa pesan telah kukirim sejak tadi namun hanya terkirim dan belum dibaca.
Aku menelpon berkali-kali pun tak kunjung diangkat. Sudah hampir satu jam menanti.
Si sulung telah lelah dan merengek sementara si bungsu telah bangun dan ikut meraung karena kepanasan.
Ting! Sebuah pesan masuk. Hatiku bersorak, dari si pemesan kue.
(Ya Allah Mbak, maaf ya aku lupa. Ini suami berubah pikiran, awalnya dia bilang berangkat habis Zuhur eh tahunya jam sepuluh udah mau buru-buru. Jadi gak sempat kasih kabar. Mbak, jual bolunya sama orang lain saja ya, aku udah otw ke kampung.)
Aku langsung terduduk lemas. Ya Allah, ya Allah, ya Allah. Apalagi ini? Aku tak meminta banyak ya Allah, hanya es krim saja.
Peluhku yang sudah sejak tadi mengucur, kini bercampur dengan air mata.
Siapa yang ingin membeli bolu pisang tanpa gula dengan rasa manis yang alakadarnya?
Ya Allah, berkali aku menyeka air mata yang terus membasahi wajah.
Sulungku berhenti merengek, ia langsung diam melihat air mataku. Lama ia menatapku iba. Kedua netranya mulai berkaca. Tak tega hati ini melihatnya. Ia hanya ingin es krim seharga 5000 ya Allah.
"Dika gak akan minta es krim lagi Bu, tapi ibu jangan nangis." Dika kecilku berkata dengan suara yang bergetar. Sepertinya ia pun menahan tangis.
"Kita pulang, Nak," ucapku. Dika mengangguk, si bungsu pun tangisnya mulai mereda. Sepertinya ia mengerti akan kegundahan hati ini.
Ya Allah, beginilah rasanya. Sakit ya Allah, sakit, sakit, sepele bagi mereka namun begitu berat bagiku. Bahan-bahan bolu itu adalah modal terakhir dan kini seolah sia-sia.
Ya Allah, berkali aku menyebut nama-Nya. Berat, sungguh berat, belum lama suamiku pergi dan kini rasanya aku lemah.
Tak banyak ya Allah hanya ingin es krim saja, itu saja, untuk menyenangkan buah hatiku dan kini bukan untung yang kudapat malah kerugian yang telah nyata di depan mata.
Aku baru saja memasuki halaman rumah kontrakan ketika Bu Tia tetanggaku kulihat telah menunggu.
"Eh, ibunya Dika, dicariin, untung cepat pulang."
"Ada apa Bu?" tanyaku. Semoga saja wanita baik ini akan memberikanku perkerjaan. Apa saja boleh, bahkan yang terkasar sekalipun akan kuterima. Tapi gak mungkin, di rumah besarnya sudah ada dua pembantu yang siap sedia. Aku kembali membuang anganku.
"Gini, ibu jangan tersinggung ya." Bu Tia menatapku.
Aku mengangguk, ingin kukatakan bila rasa tersinggung itu sudah lama lenyap dalam kamus hidupku.
"Papanya anak-anak kan baru pulang jemput kakek neneknya dari bandara. Ya dasar laki-laki tahunya kan cuma nyenengin anak tapi gak tahu yang baik. "
Aku mengangguk walau belum paham kemana arah pembicaraan.
"Masa dia ngebeliian anak-anak es krim sampai lima buah. Padahal anakku kan masih batuk pilek parah. Jadi, daripada buat rusuh, mau ya Bu nerima es krim ini, untuk Dika dan adiknya." Bu Tia menyerahkan plastik putih berisi es krim padaku.
Aku terdiam tak sanggup berkata-kata.
"Asikkk." Dika bersorak, aku masih bergeming.
"Lo, yang ibu bawa itu apa?" tanya Bu Tia melirik kantong hitam berisi dua kotak bolu pisangku.
"Bolu pisang Bu, tapi gak manis, kebetulan yang mesan batal. "
"Wah kebetulan, neneknya di rumah itu diabetes jadi gak bisa makan manis. Saya beli ya untuk cemilan."
"Benar Bu?" Aku bertanya tak percaya.
"Iya, berapa harganya?"
"Berapa saja, Bu. Terserah, asal jadi uang."
"Ya sudah." Bu Tia menyerahkan dua lembar uang merah ke dalam genggamanku.
"Ya Allah Bu ini kebanyakan ," ucapku.
"Sudah, gak apa. Ambil saja, kalau mesan yang kayak gini emang mahal kok Bu." Bu Tia langsung mengambil kantong berisi bolu pisang dan bergegas pergi.
Aku masih diam dengan air mata yang mulai menetes lagi. Baru saja mengeluh akan pahitnya hidup dan kini semua telah terbayar lunas.
***
Bu Tia meletakkan bolu pisang yang baru ia beli di atas meja makan.
Ia duduk dan memandang dua kotak bolu pisang itu dengan tatapan berkaca.
Sungguh zolim sebagai tetangga, bahkan ada seorang janda yang kesusahan pun ia tak tahu. Sementara baru saja ia membeli tas branded seharga jutaan dan tak jauh dari rumahnya ada seorang anak yatim merengek pada ibunya hanya demi sebuah es krim.
Untung saja Fahri putranya bercerita, bila tidak pastilah kezoliman ini akan terus berlangsung.
"Ma, tadi yang juara 1 Dika, tetangga kita yang di ujung itu." lapor putra sulungnya.
"Bagus dong, les dimana dia?"
"Gak les kok, Ma. Orang dia miskin kok."
"Hey, gak boleh menghina orang lain." Bu Tia melotot pada putranya.
"Gak menghina kok. Kenyataan emang dia miskin. Kasihan deh Ma, masa kan ibunya janji mau beliin dia es krim kalau ranking satu eh pas dia ranking malah ibunya bilang tunggu ada uang. Kasihan banget Dika ya , Ma. Mana kalau di sekolah dia suka mandang jajanan temannya kayak ngeiler gitu tapi pas dikasih dia nolak. Malu mungkin ya, Ma." Fahri bercerita panjang lebar.
Bu Tia terdiam.
Ya Allah mengapa ia tak tahu? Selama ini, ia aktiv ikut kegiatan sosial, mengunjungi panti asuhan ini dan itu. Namun ia abai akan keadaan di sekitar.
"Ma, bolunya gak ada rasa, kurang enak," ucap Fachri membuyarkan lamunannya.
"Sengaja, makannya bukan gitu. Tapi kamu oles mentega dan taburi meses atau kamu oles selai buah."
"Ohhh, gitu ya. Tumben mama pesan bolu tawar."
"Lagi pengen aja."
Bu Tia menghela napas panjang. Tak akan terulang lagi, jangan sampai ada tangis anak yatim yang kelaparan di sekitarnya.
Anak yatim itu bukan tanggung jawab ibunya saja tapi keluarga dan orang sekitar.
***
Sepele bagi kita namun berarti bagi mereka.
Ada kala sisa nasi kemarin sore yang tak tersentuh di atas meja makan kita adalah mimpi dari anak-anak yang telah berhari-hari terpaksa hanya berteman dengan ubi rebus saja.
Jangan heran menatap binar seseorang yang begitu terharu ketika gaun pesta yang menurut kita sudah ketinggalan jaman itu kita berikan pada mereka.
Uang lima puluh ribu yang sangat mudah lenyap ketika dibawa ke mini market bertukar dengan kinderj*y dan beraneka jajanan yang habis dalam sekejap itu adalah setara dengan hasil kerja keras seorang buruh dari subuh hingga menjelang Magrib.
Bersedekah itu gak perlu banyak, sedikit saja dari yang kita punya. Memberi itu jangan menunggu kaya, saat kekurangan lah justru diri harus lebih bermurah hati.
Beruntunglah bila di sekitar begitu banyak ladang sedekah dimana kita dapat menukar rupiah menjadi pahala. Kaya itu bukan pada jumlah harta tapi bagaimana kita membelanjakannya. Akherat itu ada dan sudah kah kita menyiapkan hunian di sana?
1K notes
·
View notes
Text
Semakin banyak waktu yang kita berikan untuk Qur'an, semakin Allah akan menjaga hati, pikiran dan waktu kita dari kesia-siaan.
©Quraners
340 notes
·
View notes
Text
Me in the future will be telling my kids how I survived quarantine without ONCE making the coffee everyone on the internet was crazy for.
0 notes
Text
Sometimes aku mikirin kamu,
tbh kamu pasti enggak pernah mikirin aku :)
To: saldo ATM 😂
0 notes
Text
Biar Jadi Rahasia
Kita terus berjalan di atas jalur masing-masing, tanpa sedikit pun melihat adanya kemungkinan untuk bertemu pada satu persimpangan. Apalagi, memutuskan untuk berjalan berdampingan. Pikiranku tak pernah sejauh itu.
Apakah itu pernah ada di pikiranmu, aku juga tak pernah benar-benar tahu. Tidak juga ingin menanyakannya. Biar hal itu jadi rahasia.
Kadang-kadang, rasa penasaran jauh lebih indah dari jawaban atas rasa penasaran itu sendiri.
…
dari buku Cinta Adalah Perlawanan Sinopsis: nurunala.blog/cap
290 notes
·
View notes
Text
Doa-doa di Ujung Langit
Sejak awal tahun, atau bahkan lebih lama lagi, apakah kamu punya doa-doa yg terus kamu rapal setiap hari? Yup, setiap hari! Seperti kaset rusak, doa-doa itu selalu berisi pinta yg sama setiap harinya. Itu-itu lagi! Bosan dan malu tersebab terus meminta memang pernah datang, tapi keduanya kalah dgn kebutuhan jiwa utk terus meminta kepada-Nya. Alhamdulillah, Rabb kita tak seperti manusia, yg akan geram jika terus mendengar kalimat yg sama, dari orang yg sama, di sepanjang waktu yg berbeda-beda.
Setiap ada kesempatan baik, kita selalu mengulang doa yg sama: saat berpuasa, saat bersujud di rakaat terakhir, saat hujan turun, saat sepertiga malam, saat safar, dst. Seraya berdoa, tak lupa kita pun menggenapkannya dgn upaya, bukan utk mendikte hasil akhir, namun agar sekecil apapun upaya dapat menjadi sesuatu yg bernilai di hadapan-Nya.
Bukan tak lelah, berkali-kali kita gagal hingga rasanya ingin berhenti saja, termasuk berhenti merapal doa-doa yg sama: menghentikan kaset rusak berputar dari putarannya. Tapi, ada sesuatu yg selalu menggagalkan pemberhentian itu, yaitu sikap percaya bahwa jawaban doa selalu iya: iya boleh, iya nanti, atau iya tapi yg lebih baik. Maka, kita pun berdoa lagi, doa yg sama.
Bukan mudah, berkali-kali kita pun kehilangan kata-kata. Kalimat-kalimat yg sebelumnya tersusun seolah hilang begitu saja. Satu-satunya yg keluar dari lisan hanyalah, “Ya Allah …” kemudian hening, berganti tangis-tangis tanpa suara yg tak jarang lama redanya. Namun kita yakin, dikatakan atau tidak dikatakan, doa tetaplah menjadi doa.

Kita tidak tahu, barangkali kesempatan utk terus berdoa adalah jawaban dari doa itu sendiri. Jika doa-doa itu belum bertemu dgn jawabannya, tak mengapa. Jika Dia memberikan yg sebaliknya, tak mengapa. Sebab, boleh jadi tidak atau belum dikabulkannya doa adalah ladang dimana pahala sabar dapat kita raup sebanyak-banyaknya.
Jadi, bagaimana jika kita berdoa sekali lagi, lagi dan lagi? Bukankah Dia suka jika kita terus meminta?
___
Picture: Pinterest
1K notes
·
View notes