nararyacetta
nararyacetta
Cetta, Nararya.
20 posts
A Myth
Don't wanna be here? Send us removal request.
nararyacetta · 3 years ago
Text
Dan Maret adalah Sebab-Akibat
Pertengahan November, 2020 “Sekarang buka e-mail kamu”
Percakapan itu merupakan awal dari segala kebingungan yang akan kulalui hingga bulan Desember nanti. Pasalnya, dengan kalimat sekaligus pemberitahuan tanda e-mail masuk itu, dia dengan semena-mena mengajakku memainkan sebuah permainan yang aturannya dirumuskan secara sepihak olehnya. Mulai saat itu aku membenarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang di tanah ini sekitar satu hingga dua abad yang lalu, bahwa selain penguasa, dokter — dan seluruh tenaga kesehatan — bisa bertindak semaunya pada manusia lain.
Novemberku benar-benar dipenuhi olehnya, beserta segala e-mail yang seenaknya masuk berisi perintah-perintah tak masuk akal. Baik, aku berikan satu contoh permainan tidak masuk akal yang diberikan olehnya: ia memberikan sebuah koordinat di google maps, lalu dalam sepetak peta yang ditunjuk oleh koordinat tersebut, aku diminta mencari satu nama lokasi, dari nama lokasi yang hanya diketahui oleh Tuhan, perempuan itu, dan dua kucingnya, kemudian akan dirangkai sedemikian rupa menjadi sebuah kalimat untuk membuka sebuah akun e-mail yang telah ia siapkan. Entah apa yang ia pikirkan, apakah ia pikir aku Nabi Sulaiman?
4 Desember, 2020 Sejak bangun tidur aku sudah sadar bahwa hari ini aku berulang tahun. Orang-orang di rumah memberikan ucapan dan doa-doa terbaik untukku, tak lupa doa cepat lulus juga disisipkan di antara doa-doa baik itu. Aku mengamini saja. Toh, doanya baik. Tak ketinggalan, perempuan Bandung bermata manis itu juga ikut mengucapkan dan mengirim doa-doa baik. Seperti biasa, aku mengamini dan mengucapkan terima kasih telah mendoakan.
Hari berjalan biasa saja. Tiba di kantor aku menyeduh kopi, membakar berbatang-batang rokok sambil memutar lagu-lagu kasmaran picisan dari berbagai grup band lokal atau interlokal — luar negeri maksudnya. Aktivitas di kantor berjalan biasa: berbincang, merapikan dokumen-dokumen, makan siang, merokok lagi, tertawa, melamun, hingga siang yang secara tiba-tiba telah berubah menjadi sore. Seperti yang telah kuceritakan di atas, aku hampir selalu pulang larut malam. Karena menurutku orang-orang di kantor ini sangat menyenangkan untuk diajak membicarakan apapun.
Maghrib hampir datang saat tukang paket memarkir motornya di halaman depan kantor. Sudah menjadi hal lumrah di kantor ini tukang paket datang dan pergi, yang tidak wajar adalah kali ini tukang paket yang kelihatannya sudah beberapa kali datang ke sini berteriak memanggil namaku
“Gak salah?” Batinku
Aku membaca nama penerima serta alamat yang tertera di muka paket, benar namaku dan benar alamatnya di sini. Aku membuka kotak yang tidak benar-benar kotak itu dengan sangat hati-hati, bersamaan dengan itu sebuah pesan masuk di ponsel ku, dari perempuan yang menganggap ku Nabi Sulaiman, begini pesannya:
“Selamat ulang tahun, ya! Buka paketnya pelan-pelan!”
Setelah menganggap ku sebagai Nabi Sulaiman, kali ini dia menganggap ku sebagai apa? Tim Gegana POLRI?
Aku membukanya dengan pelan. Ada berbagai macam barang di dalamnya, ternyata dia tidak benar-benar menganggap aku Tim Gegana. Isi dari kotak yang sebenarnya tidak benar-benar kotak itu adalah: amplop-amplop kecil berisi kertas-kertas bergambar barcode, beberapa makanan dan minuman ringan yang sudah disulap sedemikian rupa sehingga merek dagang asli dari makanan dan minuman tersebut berubah menjadi kata baru, tablet-tablet vitamin C, hand sanitizer, sebuah boneka yang berbau parfum sangat wangi, dan foto-foto paling manis dirinya yang dicetak begitu saja.
Hari yang aku pikir akan berjalan biasa saja ternyata tidak benar-benar biasa. Entah aku yang sedikit berlebihan atau memang aku yang berlebihan, namun isi paket itu berhasil membuat hari ku berubah lebih cerah. Tak hanya hari ku, suasana kantor pun tampak langsung riuh saat melihat hal-hal yang aku dapatkan sore itu,
“cieee…”
“dari siapa ni?”
“Aw aw aw aw”
Tipikal muda-mudi pada umumnya saat tau seorang lain dari mereka sedang kasmaran.
Tak lama setelah satu kantor mendadak mengucapkan ucapan selamat ulang tahun, aku beranjak pulang. Sepanjang perjalanan, aku hanya memilih lagu-lagu yang membuat dadaku makin terasa penuh untuk menemani selama perjalanan pulang. Deretan lagu-lagu itu berhasil menyihir Jalan Raya Bogor yang biasanya terasa sangat liar dan kacau menjadi penuh suka cita. Orang-orang terlihat tersenyum, wewangian yang dipakai para muda-mudi yang bergantian melaju sepanjang jalan tiba-tiba saja berbau sama, sama seperti wewangian yang ada di badan boneka dalam kotak yang aku buka di kantor tadi.
Perempuan ini benar-benar berhasil memengaruhi duniaku — yang seharusnya sesuka hatiku, hari ini dibuat sesukanya. Hebat. Sebagai seseorang yang mudah ragu pada apapun, aku benar-benar kebingungan atas segala hal yang telah ia lakukan. Pasalnya, bukan hal yang mudah, setidaknya menurutku, melakukan sesuatu untuk sesuatu yang masih tidak jelas sama sekali, dan apa yang telah ia lakukan benar-benar suatu usaha yang tidak semua orang akan lakukan pada orang lain, bahkan pada orang terdekat mereka sekalipun. Aku kehabisan akal untuk menebak-nebak, hingga akhirnya aku memasrahkan seluruh keraguan itu pada setiap lampu jalanan yang berbaris sepanjang Jalan Raya Bogor.
Sementara itu, Ryann Darling benar-benar tau cara membuatku makin terbawa suasana ini
You’re my reality
You’re my sunshine
You’re my best times
You’re my anomaly
Sisa Desember, 2020 Aku benar-benar membenci Desember selepas minggu pertama. Hal-hal yang tidak aku inginkan hampir terjadi. Aku benar-benar membenci sisa dari bulan ini. Aku sudah berusaha mati-matian mencari kontak Presiden Republik Indonesia ke banyak orang, namun hasilnya nihil. Meskipun banyak tertimpa hal buruk pada sisa bulan ini, namun satu hikmahku tangkap dengan cermat: wajar jika Presiden Republik Indonesia tidak pernah mendengar suara rakyat, wong telepon genggam yang saat ini dimiliki oleh hampir seluruh rakyat saja dia tidak punya. Jadi, harap maklumlah dengan kondisi ini. Atau kita mau patungan untuk menghadiahkan Bapak Presiden sebuah atau beberapa telepon genggam agar Beliau bisa bermain mobile legend dan mendengar suara rakyatnya? Tapi syaratnya, sebutkan 5 nama ikan dulu, ya!
Januari, 2021 Cucu paling manis dari Dyah Pitaloka Citaresmi ini tidak benar-benar pergi ternyata hehe. Aku jelas senang! Bohong jika aku bilang aku tidak senang dia mengurungkan niat perginya. Aku sudah terbiasa dengan hadirnya. Senyumnya lucu, matanya tetap manis, air wajahnya tetap sempurna, dan kucingnya tetap dua.
Namun, Januari berisi kesibukan-kesibukan gila yang benar-benar tak pernah aku bayangkan sama sekali sebelumnya. Aku harus pergi jauh ke daerah pelosok minim sinyal di akhir bulan ini. Jadi, sampai jumpa cucu paling manis Dyah Pitaloka, aku pergi sebentar.
Awal Februari, 2021 Tugas pergi ke lapangku sudah usai, 10 hari ternyata waktu yang lama. Aku tak pernah sadar hal itu. Secara bergantian, kini perempuan paling manis se-Bandung Raya itu yang sibuk dengan beragam tugas yang datang silih berganti. Baiklah, kini giliran aku yang harus mengerti, kan?
Pertengahan Februari, 2021 Kepalaku sudah hampir meledak saat semua sumpah serapah mengalir keluar begitu saja dari mulutku. Mulai kini, aku akan benar-benar memasukan Bandung ke dalam daftar kota yang akan paling aku hindari seumur hidupku setelah Purwokerto. Perempuan Sunda, perempuan Bandung memiliki perangai yang sama saja. Aku tidak jadi menghubungi Presiden Republik Indonesia, karena sudah pasti dia tak akan pernah bisa diharapkan.
Aku sangat yakin bahwa hidupku jelas tak akan stabil untuk beberapa saat. Persis seperti kerja atom, guna mencapai titik stabilnya, ia akan menambah atau melepas elektron. Ketika ada yang terlepas, tentu akan ada yang menempel, sialnya yang menempel hanya aktivitas-aktivitas kantor yang jauh lebih banyak dari biasanya. Sialan.
Maret, 2021 Melarikan seluruh perhatianku pada pekerjaan yang amat sangat menggila ternyata tidak benar-benar membuatku sembuh dengan cepat. Kegilaan nyaris bersarang di kepalaku, lagi. Namun, beruntung dunia maya menyelamatkan hidupku. Aku harus menjalani lagi takdir statis pada percakapan sosial media yang jelas-jelas memuakkan. Aku masih benar-benar membenci perempuan Bandung, dan kini aku mulai sepakat dengan yang dilakukan Gadjah Mada dulu.
Aku sudah katakan, kan, kalau aku nyaris gila?
April, 2021 Tak Sepadan (Chairil Anwar, Februari 1943)
Aku kira: Beginilah nanti jadinya Kau kawin, beranak dan berbahagia Sedang aku mengembara serupa Ahasveros Dikutuk-sumpahi Eros
Jadi baik juga kita padami Unggunan api ini Karena kau tidak ‘kan apa-apa Aku terpanggang tinggal rangka
Mei, 2021 Wabah ini benar-benar betah hinggap di Bumi Pertiwi, belum juga terlihat tanda-tanda ia akan pergi meninggalkan tanah yang serba sengsara ini. Segala sumpah serapah sudah dilontarkan melalui platform apapun. Terlebih lagi, bulan ini terdapat satu hajat tahunan maha megah yang biasa dirayakan oleh umat paling dominan di tanah ini; lebaran. Setelah lebaran tahun sebelumnya dipaksa untuk tetap diam di tempat masing-masing, kelihatannya untuk lebaran tahun ini orang-orang akan menolak diam. Siapa yang tak rindu rumah? Siapa yang tak rindu tanah asal? Siapa yang tak rindu bahasa ibu? Tak ada yang tak rindu, maka dari itu segala upaya tetap dilakukan oleh banyak orang untuk mengelabui para petugas untuk menunaikan ibadah sakral hablum minannas satu tahun sekali a la keluarga-keluarga di tanah ini. Keluargaku menjadi satu dari sekian banyak keluarga yang malas untuk menunaikan ibadah mudik. Sehingga lebaran direncanakan tetap di rumah, ya rumah.
Ketidak-taatan keluargaku menjalani ibadah sakral tahunan ini berbuah hal buruk bagiku. Pasalnya, perempuan yang secara habis-habisan kuhindari sejak akhir Februari lalu tiba-tiba saja datang. Memang aku yang mencari gara-gara awalnya, aku mengirimkan kembali boneka yang pada bulan Desember lalu ia kirimkan padaku. Aku mengirimkannya kembali bukan tanpa alasan, aku ingat betul apa yang ia katakan bahwa boneka itu merupakan boneka spesial dengan segala kisahnya. Aku rasa jika boneka itu spesial, tentu harus berada pada orang yang ia anggap spesial juga, bukan pada orang buangan sepertiku.
Semakin intens ia mengangguku, semakin ku ketahui alasan sebenarnya dari ungkapan bosan yang pernah ia ucapkan tempo waktu lalu. Ternyata itu semua karena ia baru saja diberi vaksin, efek samping dari vaksin ternyata cukup menyeramkan, dan sepertinya aku tau kenapa ia datang lagi, efek vaksin sudah hilang.
Juni, 2021 Juni ialah puisi-puisi yang berguguran dari langit. Sapardi yang harus bertanggung jawab atas ini semua. Tidak juga, deng, Jason Ranti juga ikut-ikutan ingin menjadikan sakral Juni, dengan perayaan puisi, dengan keinginannya ngopi dengan sangat sederhana bersama murid cantik Sapardi di UI. Juni ialah metafora, ia hanya hitungan waktu. Yang fana itu Juni, senyum manisnya abadi.
Saat Sapardi mengkultuskan Juni dalam karya-karya sastranya, Jason Ranti yang ikut-ikutan, dan barisan Nasionalis yang melabeli Juni sebagai bulan Bung Karno. Aku terpaksa membuat aliran sendiri, yang menganggap Juni ialah bulan kelahiran puisi tanpa bait dan kata. Penghujung Juni ialah puncaknya, saat Juni yang sakral hampir ditutup, puisi tanpa kata dan larik itu lahir dan hadir di bumi yang sangat fana dan rapuh ini. Aku benar-benar tak pernah memberinya sebait puisi, tentang dirinya atau tentang kisah ini, karena dirinya dan segala hal yang menyertai hidupnya ialah puisi hidup yang selalu saja bisa dinikmati oleh semua orang di sekitarnya, bukan hanya aku. Betapa banyak manusia yang bersyukur atas kehadirannya di bumi ini, jelas aku hanya satu bagian terkecil dari banyaknya manusia itu.
Dia adalah Idayu sekaligus Annelies, sedangkan aku bukan Pramoedya. Namun, tanpaku dan para pembaca karya Pram, Idayu dan Annelies tidak akan pernah hidup dan ada. Percayalah, cerita ini makin tak karuan.
Juli, 2021 — Turki “Sesuatu yang pasti di dunia ini hanyalah ketidakpastian, dan Tuhan menjaga ketidakpastian itu agar manusia terus belajar, berusaha, bekerja, dan berdoa.” Aku selalu mengingat sebaris kalimat yang ditulis oleh Donny Dhirgantoro dalam novel ciamiknya berjudul 5cm. Sejujurnya, aku selalu membenci ketidakpastian, aku adalah sosok yang benar-benar memastikan semua hal berjalan sesuai dengan keinginan. Saat bersama Cucu Paling Manis dari Dyah Pitaloka Citaresmi ini, aku banyak berlagak seakan-akan segala hal berjalan sesuai takdirnya. Padahal, di balik itu semua aku sedang merancang rencana-rencana yang terlampau banyak untuk memastikan semua hal berjalan sesuai keinginanku. Ya, dan salah satu keinginan terbesar saat bersamanya hanyalah satu, tak ingin ia pergi lagi, sama sekali.
Aku benar-benar ingin menghadapi segala ketidakpastian hingga sampai ke Turki dengan satu hal yang sangat pasti: bersama perempuan yang sejak awal tulisan ini dibuat terus saja memenuhi kepalaku yang sudah sesak dengan tugas kuliah, tugas kantor, dan skripsi.
Aku rasa perpisahan telah memperlakukan kita dengan cukup baik; mendewasakan masing-masing dari kita, melihat titik lemah dari masing-masing, dan merasakan kesakitan yang seharusnya bisa dihindari. Benar, kan?
***
Aku kirim cerita ini sekaligus untuk dua orang yang dengan ceroboh menyia-nyiakan manis dan lucunya perempuan tanah Pasundan, Gadjah Mada dan Hayam Wuruk.
***
Maret 2022 Harusnya, aku tidak berhenti melanjutkan tulisan ini pada bulan Juli 2021. Terlampau banyak permasalahan dan persoalan yang datang silih berganti setelah bulan tersebut. Dan kita berdua telah benar-benar banyak melalui perubahan.
Saat aku menulis paragraf ini, yang ditunjukkan oleh tanggal yang dicetak tebal, aku tidak sedang berada di Turki, tidak juga bersama cucu paling manis dari Dyah Pitaloka Citaresmi. Tidak. Kini, aku berada dalam sebuah ruangan di salah satu bangunan di kota Bandung, ya, benar, Bandung adalah Kota yang merawat perempuan itu hingga bisa membuatnya menjadi sangat indah dan terlampau sempurna. Aku tidak melebih-lebihkannya, karena aku menemuinya lagi semalam, dan ya, aku benar-benar kehabisan kata untuk melukiskan betapa teduh tatap matanya, air wajah, dan sudah tentu senyumnya.
Bercakap dengannya selama kurang lebih sembilan puluh menit terasa benar-benar seperti sembilan puluh menit. Namun, selama sembilan puluh menit tersebut, aku tidak pernah ingin kehilangan satu momen kecil dari apa yang ia lakukan. Setiap gerak kecil dan lirikan matanya adalah alasan kenapa aku harus lebih lama duduk di sana, berhadapan dengannya. Dia benar-benar memiliki mata yang sangat indah. Aku berani bersumpah atas nama apapun. Mata paling indah, setidaknya se-Warung Surabi Cihampelas, malam tadi.
Aku tidak bisa melukiskan betapa menyenangkan bisa bertemu dengannya. Kehadirannya di bawah payung kayu reot malam tadi adalah obat dari segala pesakitan yang kualami hampir selama 1 bulan penuh. Baru kali ini aku menemukan obat yang tidak pahit dan tidak getir, hanya manis.
Waktu hampir menunjukkan pukul setengah 2 pagi saat secara tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponsel milikku,
“Kamu masih sayang aku nggak?”
Lalu, selanjutnya berangkai-rangkai kalimat kukirim untuk membalasnya, begitupun dia, begitupun aku, dan seterusnya, dan seterusnya hingga pagi hampir saja tiba, barulah kita memutuskan untuk menyudahi percakapan udara pagi buta tersebut.
Aku benar-benar ingin menutup kisah ini dengan sangat baik, seperti saat aku pertama kali mengenalnya, seperti saat aku pertama kali merasa menjadi Nabi Sulaiman, seperti saat aku pertama kali merasa menjadi bagian dari tim Gegana POLRI, seperti saat aku pernah menjadi satu orang sangat spesial baginya.
Begini akhirnya:
Dunia tercipta dari banyak sebab-akibat yang terhubung secara langsung ataupun tidak langsung. Kekacauan sebab-akibat yang sulit dimengerti membuat hidup benar-benar terasa seperti hidup. Dari banyak sebab-akibat yang telah aku lewati sepanjang hidupku, aku sangat berterima kasih atas pertunjukkan sebab-akibat yang kumainkan setidaknya setahun ke belakang.
Tuhan benar-benar tau, dan Dia benar-benar menunggu. Terima kasih.
0 notes
nararyacetta · 4 years ago
Text
Yang Fana Itu Mitos, Kucingmu Abadi (Bagian 2)
Awal September, 2020 Dunia beranjak menggila. Orang-orang telah jemu dikurung di dalam rumah tanpa kepastian apapun dari yang berhak mengatur kelangsungan negara. Orang-orang yang bergelut di dunia seni menangkap momen, mereka ciptakan puisi, lagu, apapun untuk menggambarkan suasana ini. Orang-orang melakukan beragam upaya untuk tetap berinteraksi dengan manusia lain. Beragam platform yang sebelumnya terdengar asing, kini ramai digunakan oleh kebanyakan manusia. Siapa pernah menyangka manusia akan secara intens bertatap wajah secara jarak jauh melalui berbagai platform yang bahkan terkadang sulit untuk dilafalkan.
Bagi beberapa orang, wabah ini merupakan aufklarung. Bagi sebagian yang lain, wabah ini sebuah kutukan. Bagiku, wabah ini entahlah. Aku sudah benar-benar hampir meneriaki setiap orang yang lewat di depan rumah. Rasanya, aku dan dunia benar-benar berada dalam satu sifat yang sama: menggila. Sebagai orang yang sangat menyukai interaksi secara langsung dengan banyak orang, aku merasa bahwa inilah akhir dari dunia. Aku berharap Tuhan harus sesegera mungkin menyetujui proposal kiamat yang telah lama diajukan oleh Isrofil sejak Nabi terakhir umat Islam hadir, agar segala penderitaan ini segera berakhir. Untuk sedikit membantu menyehatkan jiwa yang mulai sedikit tidak waras ini, aku mencoba beragam sosial media, dari yang paling populer hingga yang amat sangat tidak populer. Namun, tetap saja, isolasi ini benar-benar membuatku nyaris gila.
Penggalan kalimat dari Hannah Arendt lalu-lalang di lini masa sebuah sosial media, begini isinya: isolation and loneliness are not the same. I can be isolated — that is in a situation in which I cannot act, because there is nobody who will act with me — without being lonely; and I can be lonely — that is in a situation in which I as a person feel myself deserted by all human companionship — without being isolated. Hannah benar-benar harus mencoba rasanya terisolasi sekaligus merasa kesepian. Itu menyebalkan, Hannah. Benar-benar menyebalkan.
Pertengahan September, 2020 Tuhan belum juga menyetujui proposal kiamat. Kali ini aku benar-benar bersyukur tidak menjadi gila seutuhnya. Berselancar di dunia maya benar-benar menolongku agar tak mati gantung diri. Melalui dunia maya, aku bertemu beberapa orang — entah mereka benar-benar orang atau hanya mesin yang bisa diajak berbicara — ya, meskipun masih melalui perantara, hal itu cukup membantu. Ditambah lagi, ada sebuah kantor yang dengan murah hati menerima orang baru untuk membantu meringankan pekerjaan mereka di situasi seperti sekarang. Dengan jumawa, aku beranggapan setengah dari masalah hidupku mampu terselesaikan. Aku merasa kembali hidup, setidaknya untuk sekarang.
1 Oktober, 2020 Aktivitas rutin yang biasa terlihat dalam film kini benar-benar menjadi kenyataan: berangkat kerja, mengejar deadline, tiba di rumah cukup larut, beristirahat, bangun, berangkat, mengejar deadline, tiba di rumah, dan seterusnya, dan seterusnya. Alih-alih kelelahan dan memilih diam di rumah saja, aku malah keranjingan melakukan segala hal yang bisa dilakukan di kantor.
Wabah masih berlangsung di dunia yang tak kunjung kiamat, begitupun aku yang masih betah berselancar di sosial media, berkenalan dengan orang-orang baru, melakukan percakapan intens, berhenti, menghilang, memulai lagi percakapan dengan orang baru. Beberapa hal dalam kehidupan ini sepertinya ditakdirkan berjalan secara statis, termasuk orang-orang aneh yang datang dan menghilang seenaknya sendiri itu. Walau aku termasuk orang yang enggan percaya pada konsepsi takdir, tapi untuk urusan ini, aku benar-benar percaya bahwa percakapan di sosial media ditakdirkan untuk berjalan secara statis.
2 Oktober, 2020 Aku pikir dengan menenggelamkan diri dalam kesibukan akan membuat hidup berjalan lebih baik, nyatanya tidak. Seperti matahari yang memiliki tempat khusus tepat di atas garis khatulistiwa — titik zenit, yang dinamakan titik kulminasi, begitupun manusia. Kesibukan yang berlebihan membawaku pada titik stress lain yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Persoalan kepala yang hampir mendidih ini, mungkin, bisa diselesaikan jika dan hanya jika terdapat ruang untuk menumpahkan — atau berbagi cerita, dan aku sadar tak memiliki ruang tersebut. Maka sampailah aku pada titik kulminasi.
Semua aktivitas dan kesibukan berjalan sangat lancar. Tiada satu tugas terlewati atau mendapat hasil buruk. Semuanya berjalan sangat baik. Namun, bukan di situ masalahnya. Masalah terjadi saat aku benar-benar merasa sendirian, dengan perasaan yang demikian itu, beberapa aktivitas bisa tersendat bahkan tak jarang ritme kerja ikut berubah menjadi lebih lambat. Sejujurnya, aku membenci rasa kesepian.
3 Oktober, 2020 Kepalaku sudah sedikit mendingin saat secara tiba-tiba berkenalan dengan seseorang dari sosial media. Kami berkenalan dengan cara manusia pada umumnya berkenalan, bertukar informasi satu sama lain dan bercakap-cakap seperlunya, dan seterusnya, dan seterusnya. Selanjutnya, kepalaku dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan aneh seperti, "dengan cara apa dia menghilang nanti", atau "apakah dia manusia atau mesin", atau "berapa banyak gula yang diperlukan seorang Ibu untuk melahirkan anak semanis ini?"
Sisa-sisa Awal Oktober, 2020 Satu hal yang langsung menarik perhatianku adalah kenyataan bahwa dia seorang yang bergelut di bidang kesehatan. Ya, aku memiliki trauma mendalam dengan orang-orang, khususnya perempuan, yang bergelut di bidang tersebut.
“Bodo amat, lah. Interaksi begini bertahan berapa lama, sih?” Batinku berkata saat mengetahui dia berkuliah di salah satu kampus kesehatan ternama di Jawa Barat.
Sudahlah di bidang kesehatan, Sunda pula. Sudahlah membangkitkan trauma lawas, menentang mitos pula. Sejujurnya, Aku sudah begitu siap jika sekuel lanjutan dari Perang Bubat harus dijalankan. Setidaknya, aku memiliki alasan kuat untuk menyurati Presiden Republik Indonesia — yang ajaibnya selalu saja ber-etnis Jawa — untuk memisahkan Tanah Pasundan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan alasan yang sangat kuat: Jawa dan Sunda ialah dua entitas yang berbeda dan tak akan pernah bisa disatukan, bahkan sebuah utopia sekalipun tak akan pernah mampu membayangkan bagaimana jadinya jika peranakan dari kedua suku itu disatukan. Kamu ingin protes? Protes saja, aku tak peduli.
Sisa Bulan Oktober, 2020 Oktober adalah roda gerigi yang tidak pernah lelah berputar, meskipun kadang bunyi aus mesin terdengar nyaring, roda gerigi harus tetap berputar di dalam sebuah sistem maha-besar yang terus berjalan ke arah yang entah. Pekerjaan benar-benar menggila di sisa-sisa bulan ini. Nyaris segala macam hal yang ada di depan mata berubah menjadi pekerjaan. Bahkan jika aku secara tidak sengaja melihat monas, mengecat monas bisa menjadi salah satu pekerjaan yang tidak akan terlewatkan.
Beruntung — tidak, belum beruntung. Untungnya, perempuan yang tempo hari saya temui di sosial media masih betah mendengarkan keluh-kesah seorang pekerja amatir yang kaget akan ekosistem kerjanya di bulan Oktober. Dia berhasil memberikan respons dengan takaran yang sangat pas: tidak berlebihan, tidak juga acuh. Aku begitu yakin dia tak sepenuhnya memahami apa-apa yang kuceritakan padanya. Namun, respons menyenangkan yang dia berikan benar-benar sangat berarti.
Awal November, 2020 “Kok orang ini betah, ya? Kok ngga ilang juga? Wah kalah taruhan dong kalo gini ceritanya?”
Aku tidak pernah mengetahui kapan terakhir kali manusia kalah bertaruh dengan dirinya sendiri. Sejujurnya aku merasa sangat malu. Rasa malu itu makin menjadi-jadi saat namanya makin rajin memenuhi notifikasi ponselku.
Oiya, perempuan ini memiliki dua ekor kucing, satu berwarna putih bersih, satu lagi berwarna oranye. Aku menyukainya. Dua kucingnya.
Tumblr media
0 notes
nararyacetta · 4 years ago
Text
Yang Fana Itu Mitos, Kucingmu Abadi (Bagian 1)
Mitos dan sejarah, dua sejoli yang sejak lama tak pernah bisa dipisahkan. Saat mitos sedang menunjukkan betapa magis dirinya, sejarah selalu berhasil menjadi bagian penting untuk menguatkan posisi mitos. Begitupun sebaliknya. Sejauh perjalanan dunia, perkawinan dua hal tersebut selalu berhasil—tidak hanya menjadi si pendongeng—namun juga mampu mengubah pandangan manusia atas dunia; mengatur tindak-tanduk hidup serta lakon manusia di atas bumi. Levi-Strauss, seorang Antropolog ternama Perancis, dalam karyanya yang berjudul Myth and Meaning (1978) menjelaskan bahwa, mitos merupakan suatu warisan bentuk cerita tertentu dari tradisi lisan yang mengisahkan dewa-dewi, manusia, pertama, binatang, serta sebagainya yang memungkinkan kita mengintegrasikan seluruh masalah yang perlu diselesaikan di dalam suatu konstruksi sistematis. Seorang strukturalis murni seperti Levi-Strauss memang sangat sulit dipahami. Namun yang jelas adalah Levi-Strauss tidak menegasikan eksistensi sejarah dalam pembentukan mitos. Senada dengan apa yang disebutkan oleh Levi-Strauss mengenai mitos, Cicero (106 SM) menerjemahkan sejarah sebagai saksi zaman, guru kehidupan, dan pesan dari masa lampau.
Dunia sudah berjalan ribuan, bahkan jutaan tahun saat aku lahir, tumbuh, dan menjadi seperti sekarang. Sebagai manusia yang hidup pada masa akhir dunia, aku banyak mendengar pertautan antara sejarah dan mitos. Salah satu yang cukup populer adalah mitos orang Jawa dan orang Sunda yang tidak akan pernah bahagia jika memilih hidup bersamaa atau menikah. “Nanti rumah tangganya nggak harmonis,” “nanti pasti ada saja masalah datang,” kalimat-kalimat sadis itu bisa makin menjadi-jadi, terlebih jika pasangan lintas etnis yang diberi nasihat tidak mengambil pusing persoalan tersebut. “Nanti rumahmu ketiban meteor,” atau “nanti rumah tanggamu benar-benar hancur morat-marit seperti sebuah semangka yang dijatuhkan dari lantai dua puluh enam sebuah gedung,” ucapan-ucapan seperti itu kadang masih dianggap memenuhi kaidah wajar dalam rangka menasihati pasangan lintas etnis antara Sunda dan Jawa. Intinya adalah jangan.
Mitos pelarangan seperti itu tidak datang tiba-tiba begitu saja. Tidak ada yang bertapa di dalam sebuah hutan, di bawah pohon paling rindang untuk mendapat ilham berupa mitos itu. Tidak ada yang ketiban apel. Tidak, tidak begitu mitos tersebut tercipta. Seperti yang telah dijelaskan pada kalimat pembuka, mitos dan sejarah punya kisah panjang yang tak terpisahkan sama sekali, maka mitos pelarangan ini hadir bukan tanpa asal-usul. Mitos pelarangan itu bermula pada suatu kejadian yang terjadi pada abad ke-14, saat semua orang pada zaman itu tidak pernah membayangkan betapa dahsyatnya Covid-19 yang ternyata daerah kekuasannya jauh lebih luas dari wilayah kerajaan Majapahit, berkali-kali lipat!
Kejadian bermula saat Mahapatih Gadjah Mada dari Imperium Majapahit kehabisan akal untuk menaklukan tanah Sunda yang berada di sisi barat pulau Jawa. Hayam Wuruk sebagai Maharaja tidak kehabisan akal, ia memilih jalur diplomasi untuk menaklukan tanah Sunda dengan menyunting putri dari Raja Sunda Galuh, Prabu Linggabuana, yang bernama Dyah Pitaloka Citaresmi. Dalam waktu cepat, Kerajaan Sunda Galuh memberikan respons baik dan datang ke pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit yang terletak di Trowulan (sekarang Mojokerto), Jawa Timur. Arogansi dan kecerobohan Gadjah Mada dalam jalur diplomasi memporak-porandakan agenda sakral perkawinan Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka. Bukannya berkah yang dipersembahkan, kejadian itu malah menumpahkan darah dari para pasukan Kerajaan Sunda dan berbuntut amat panjang. Amat sangat panjang, bahkan hingga kini di abad ke-21. Kurang ajar benar memang kau, Gadjah Mada!
Sejarah perang Bubat—sebutan untuk kejadian pertempuran di atas, karena berlokasi di Bubat, dekat Trowulan, Mojokerto—beserta mitos yang tak pernah absen mendampinginya benar-benar telah kawin dan beranak-pinak. Berkat mitos itu, banyak orang Jawa dan Sunda yang hidup jauh setelah zaman itu enggan saling berpasangan, bahkan cenderung menghindari dengan beragam alasan. Satu alasan kuat yang sebenarnya melatarbelakangi orang Jawa dan Sunda enggan berpasangan adalah takut jika harus berakhir kacau seperti kisah Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka.
Aku sebagai peranakan suku Jawa tulen yang berasal dari Jawa Timur dan dengan semena-mena dicap sebagai keturunan orang Majapahit, sama sekali tak pernah ingin ikut campur pada mitos kosong tak berujung dan memuakkan itu. Toh, mungkin kakek dari kakek buyutku dulu hanya seorang tukang pikul batu yang tinggal melarat dan tak diperhatikan sama sekali oleh Hayam Wuruk. Jadi, persetan dengan mitos itu. Saya juga tak mengenal siapa Hayam Wuruk, apalagi Gadjah Mada.
***
Tiga atau empat puluh tahun dari hari ini, anak-anak manusia yang beruntung dan mampu membeli buku-buku berisi pengetahuan umum akan membaca sebuah catatan panjang mengenai perang bersejarah di tanah Jawa itu. Selain perang yang membawa petaka bagi para pasangan lintas suku Jawa-Sunda, akan tercatat juga pada buku-buku itu wabah yang berlangsung di seluruh dunia. Wabah yang cukup menyebalkan bagi sebagian besar orang yang kemudian diberi nama Covid-19. Wabah ini benar-benar berhasil melumpuhkan segala aktivitas luar ruangan atau jika dirasa terlalu berlebihan, boleh diganti dengan istilah terseok, pincang atau, keseleo, mungkin?
Aku tidak akan bercerita lebih jauh tentang wabah ini. Toh, sepanjang apapun aku menceritakan wabah ini, tidak membuat satupun karyaku dirangkum dalam buku-buku yang akan dibaca anak-anak manusia pada empat puluh atau dua ratus tahun yang akan datang. Aku juga tak seperti Hayam Wuruk atau Gadjah Mada yang bisa semena-mena melakukan apa saja lalu tercatat begitu saja pada catatan-catatan sejarah yang diamini oleh banyak orang. Aku akan menceritakan kisah lain yang terjadi pada saat wabah bersejarah ini berlangsung. Pada cerita ini, aku ingin menjadi Hayam Wuruk sekaligus Gadjah Mada, namun tidak gegabah dan ceroboh. Lewat cerita ini, aku ingin menuding-nuding hidung Gadjah Mada yang terlalu banyak bertindak sesuka jidatnya sendiri. Pada tulisan ini, nantinya akan banyak kalimat aneh yang jelas-jelas tidak masuk akal, akan banyak perbandingan yang secara terang-terangan tidak sebanding, akan banyak frasa berlebihan, akan banyak hal aneh, akan banyak gula, akan banyak hal lain. Hal itu bukan masalah besar, toh sekali lagi saya menekankan, bahwa ini adalah sejarahku sendiri. Bukankah setiap pemenang berhak menuliskan sejarahnya sendiri? Setidaknya begitu yang banyak orang katakan, ya, dan aku memang seorang pemenang, yang setidaknya menang melawan sesosok imajiner bernama Gadjah Mada beserta kroni. Lihat dan pelajari cara melakukannya, Gadjah Mada si Tuan Arogan.
0 notes
nararyacetta · 6 years ago
Text
Pesta, Cinta dan Masa
Tulisan-tulisan di dinding putih itu masih melekat erat di dinding juga di kepala, bukan kali pertama aku mengunjungi tempat itu, namun selalu saja tulisan-tulisan itu menarik perhatianku secara penuh.
Memang, aku tak pernah benar-benar merasakan ketegangan pada masa-masa itu. Masa-masa di mana gelora dan hasrat aktivisme melonjak hingga ke ubun-ubun para pelakunya.
Namun, sah-sah saja rasanya bagiku untuk menyamakannya dengan masa-masa sekarang ini, meskipun, ya memang atmosfirnya jelas terasa beda.
Tumblr media
Aku memang bukan mahasiswa dari kampus top itu, aku juga tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan seorangpun perempuan dari kampus kondang itu.
Namun, tulisan yang menempel di dinding putih itu membangkitkan gairah lama tentang perlawanan-perlawanan kecil atas sebuah moralitas tua dalam sebuah lingkup kampus tak begitu terkenal di Jawa Timur.
Boleh jadi, aku menerjemahkan pesta sebagai duduk berlama-lama di tempat lengang atau sepi, menikmati tiap putaran waktu melalui gerak abstrak di sekitar.
Boleh jadi, aku menyangka cinta ialah pemegangan teguh atas prinsip juga pilihan-pilihan berisiko tinggi, toh, keduanya sama-sama mengundang hormon dalam kepala.
Krisis demi krisis yang telah terlewati, bertransformasi menjadi sebuah karya seni serupa milik Gaudy, yang terbentuk dari mozaik-mozaik berbagai bentuk.
Setelah masa-masa itu surut dan mencapai senjanya, aku tak ingin mendikte generasi setelahku tentang pemaknaannya atas cinta dan pesta, persis seperti yang tertulis di dinding putih itu, bersifat umum.
Semua boleh menafsirkan semaunya, yang jelas, setiap hal yang memiliki massa mempunyai masa.
1 note · View note
nararyacetta · 8 years ago
Quote
Semogaku dan semogamu, Semoga mereka tak bertarung di atas sana, bergandengan, memilih jalan sepi yang jarang dilalui. Menari, dalam indahnya lantunan doa menuju singgasana Illahi
0 notes
nararyacetta · 8 years ago
Text
Kisah Suci Dini Hari
Panggilan Tuhan, berkumandang
Beradu nyaring kencang
Dengan jerit lapar anak Pak Ujang
Puji-pujian menyayat telinga orang beriman
Jerit rintih kelaparan masih tak terhiraukan
La ila haillallah
Muadzin dan Anak Pak Ujang berujar bersamaan
0 notes
nararyacetta · 8 years ago
Text
Teruntuk Perempuan Samudera
Kamu ialah samudera Betapapun tidak pernah akan terduga
Aku menjamin satu hal, kapalku pasti karam Pasti tenggelam Pasti tercekat
Dan sekarang, Asa-ku dan asa-mu, kita kini jadi satu Desir hangat darah pada Arterimu Ialah senandung paling merdu Sayu pandangmu Ialah purnama paling teduh
0 notes
nararyacetta · 8 years ago
Text
Bunga
Dan beginilah akhirnya: 
Aku pulang dengan berjuta bunga, Kau pergi sama sekali tak bersisa
Hari berikutnya, menari kau di Taman Kota dengan beratus bunga Kamboja; girang rayakan matinya sebuah rasa
0 notes
nararyacetta · 8 years ago
Text
Kematian Teh Hangat
Cahaya mati Abu kremasi Berupa ilusi Turun hujani Kepala anak-anak bumi
Setitik abu jatuhi gelas Tempat teh hangat bersemayam Imbasnya Percakapan kita ikut mati Terkremasi Abunya berupa imajinasi Hal yang tak mampu diungkap Hanya percikan api Tercekat sampai leher Lalu padam
Dan mati
0 notes
nararyacetta · 8 years ago
Text
Antar
Antar aku Hingga sirna Jadi satu Oleh semesta
Kau susul nanti Saat jemu oleh bumi
1 note · View note
nararyacetta · 8 years ago
Text
Bak mantra-mantra semesta
Merasuk merusak setengah jiwa Rontok runtuh riuh seketika Mataku terpaku terpukau oleh matanya
Waktu beranjak berjarak Tinggal tanggal manis Untuk dikenang dalam karam
Malang, 6 Oktober 2017
0 notes
nararyacetta · 8 years ago
Text
Ada sebuah pesan yang ingin disampaikan malam, melalui ribuan kerling gemintang; tentang rasa-rasa gempita yang kau tanam sendiri hingga jadi asa.
0 notes
nararyacetta · 8 years ago
Quote
Aku berharap aku hilang; moksa bersama kabut yang meleleh Terurai dalam embun pada bunga pinggir Ranu Kumbolo
0 notes
nararyacetta · 8 years ago
Text
Pada Ranu Pani
Aku berucap terima kasih pada semesta; menarik nafas dalam dan ucapkan selamat tinggal
Untuk tiap cinta yang tak terucap, semoga aku terhempas
Pada Ranu Pani kuucap salam terakhir sebelum kucium tiang tertinggi langit
Semoga Semeru kembalikan aku
0 notes
nararyacetta · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Mari hilang ingatan, dalam secangkir teh dan pelukan beku kota Malang
0 notes
nararyacetta · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Waktu selalu menjadi perbincangan menarik kala malam bernyanyi. Nyatanya, waktu selalu mampu membuat anak-anak manusia terjebak dalam sebuah ruang dalam pikirannya, hanya waktu yang mampu melontar dan mempercepat geraknya.
Waktu lebih sering melontarkan manusia pada masa-masa yang telah jauh ia lewati. Tepat seperti gudang di foto ini; ia reot tergerogoti waktu, hampir hancur tergilas laju waktu yang terlampau kencang. Namun, kala kita menyaksikan lebih dalam, kita akan terlontar pada masa jaya area pergudangan berikut.
Suasana riuh redam pasti menyergap tiba-tiba, ramai oleh para kuli kopra atau kuli apapun yang beraroma sama, hingga sinar matari yang tanpa segan membakar apapun di bawahnya.
Begitulah ajaibnya waktu, dan itulah hal terbesar yang Tuhan berikan pada manusia; waktu.
0 notes
nararyacetta · 8 years ago
Text
Dermaga
Anggaplah aku dermaga, Kau tentu saja gelombang yang terus mencoba menepi, menumpahkan buih keluh kesah. Kemudian aku kau tinggalkan, tepat saat rembulan memangilmu untuk surut ke lautan
0 notes