Don't wanna be here? Send us removal request.
Photo
Tumblr media
Rumah Impian Annisa
Nisa memandang wajah ibunya. Wanita itu memiliki paras yang sebenarnya ayu, namun kusam diterpa matahari setiap hari, seharian pula. Di dalam hati, berbagai sisi diri Nisa berkecamuk, seakan-akan bertengkar. Hasrat ingin berbicara, ataukah tetap diam dan membuat hatinya seakan menggantung dan semakin berimajinasi akan jawaban dari pertanyaan yang akan ia lontarkan. Akhirnya, keluguan dan rasa keingintahuan bocah berumur tujuh tahun itu mengalahkan semua dentuman membingungkan di hatinya. Nisa dengan mantap tapi polos melontarkan sebuah pertanyaan yang selama ini mengusik benaknya. Entah di sekolah, maupun di sini, di kamp penampungan korban penggusuran yang hanya bersifat sementara ini. Katanya penggusuran ini dilakukan demi ketentraman dan ketertiban Kota Jakarta, namun yang Nisa rasakan malah sebaliknya.
           “Kapan kita punya rumah lagi, Bu?” tanya Nisa. Ia menatap Ibundanya dengan penuh harap. Harapan akan jawaban yang sanggup membuat hatinya gembira. Nisa menunggu sambil membayangkan rumah impiannya. Rumah yang selalu ditempatinya di dalam mimpinya, setiap malam. Rumah yang mungil, namun nyaman, dan memiliki halaman yang cukup luas untuk bermain. Nisa yang gugup berkali-kali merapikan bergonya, yaitu semacam mukena kecil yang fungsinya sama seperti jilbab namun lebih sederhana. Nisa memang belum memutuskan untuk memakai jilbab dengan sungguh-sungguh, tapi sebisa mungkin ia memakai bergo sederhana saat di sekolah maupun pulang sekolah. Kecuali saat mengamen, Jakarta yang panas membuat ia merasa sangat ingin melepas penutup kepalanya itu.
           “Ini rumah kita, Nak,” jawab Ibu. Nisa nyaris terlonjak kaget, karena ia tentunya sama sekali tidak setuju. Rumah tidak berbentuk seperti ini! Ini bukan rumah!
           “Rumah tidak seperti ini, Bu,” bantah Nisa, namun tetap dengan nada yang sopan dan santun. Kemudian ia melanjutkan, “Ini bukan rumah. Rumah itu temboknya terbuat dari batu bata, bukan kain terpal seperti ini. Ya kan, Bu? Terus, rumah punya jendela yang kusennya terbuat dari kayu. Juga ada pintunya, terbuat dari kayu juga. Atapnya terbuat dari genting. Ada lantainya, bahannya namanya keramik. Yang keras-keras kayak batu tapi licin itu lho, Bu…” jelas Nisa. “Kapan kita punya rumah, Bu?” tambahnya kemudian.
           “Nanti ya, Nis,” jawab Ibu pendek. Jawaban pendeknya itu tentu saja tidak jelas maknanya. Apalagi bagi Nisa, gadis kecil yang baru berumur tujuh tahun. Nisa tak segan mengulang pertanyaannya.
           “Kapan, Bu?” Merupakan suatu kelaziman apabila anak seusia Nisa mengulang pertanyaan demi pertanyaan yang sama untuk menemukan jawaban yang dapat ia mengerti. Dan mungkin, yang dapat membuatnya senang.
           “Nanti, Nak. Jika kita sudah punya cukup uang untuk beli rumah. Makanya, Nisa nabung, ya. Jangan jajan melulu,” pinta Ibu pada Nisa, sekaligus mengutarakan alasan.
           Nisa mengangguk. Tapi kemudian, ia menambahkan. “Bu, kita pindahnya cepat-cepat ya. Soalnya kata Inah, beberapa minggu lagi, oom preman yang seram-seram itu mau ngusir kita dari sini. Arif bilang, mereka malah mau bawa senjata. Seram deh, Bu, Nisa ngebayanginnya,” kata Nisa, bercerita tentang apa yang pagi tadi didengarnya, di sekolah darurat.
Saat mendengar hal itu, Ibu tambah bingung dan cemas. Apa yang harus ia lakukan ketika preman itu datang tiba-tiba? Anaknya ada tiga. Sementara ia tidak punya alat komunikasi. Boro-boro telepon selular, telepon saja tidak ada di sana. Telepon umum pun jaraknya sangat jauh dari tempat penampungan sementara.
Anaknya yang pertama, Rizky – yang lebih sering dipanggil Abang, memiliki pekerjaan yang tidak menetap di satu tempat. Loper koran. Cukup bisa menunjukkan bahwa pekerjaannya berpindah-pindah. Anak keduanya, Kasih, jarang di rumah. Sementara Nisa main dan mengamen sana-sini. Sebenarnya anaknya ada empat. Namun, anak terakhirnya, Reihan, sudah meninggal dunia karena diagnosis dokter atas penyakitnya kurang tepat, sehingga Reihan keburu tidak tertolong.
Apa yang harus ia lakukan untuk menghubungi mereka saat preman-preman itu datang tiba-tiba? Karena hal itu pula yang terjadi saat rumah mereka digusur. Nisa, Kasih, dan Rizky sedang pergi, begitu juga dengan suaminya. Saat sampai di rumah, mereka semua sangat kaget dan Nisa, menangis tersedu-sedu. Itulah yang menyebabkan tidak banyak barang-barangnya yang dapat diselamatkan.
           Nisa sudah selesai mendirikan Sholat Dzuhur. Ia selalu menyempatkan untuk berdoa dan berterimakasih kepada Allah Subhana Wa Ta’ala seusai sholat. Nisa mengangkat kedua tangannya, layaknya semua muslim berdoa. Nisa memulai berdoa dan beristighfar, dan lalu bersyukur.
           “Astaghfirullah al’aziim, astaghfirullah al’aziim, astaghfirullah al’aziim… Yaa Allah, terima kasih karena Engkau telah menyempatkan diri untuk menolong Bang Rizky supaya insyaf. Terima kasih banyak. Nisa tahu, dulu Bang Rizky berantakan, berandalan, dan suka cari-cari masalah di sekolah lain. Nisa juga tahu, Bang Rizky sama sekali tidak pernah membuat orangtua Nisa bangga, dia nggak menghiraukan hukuman-hukuman yang diberikan gurunya, juga jarang sekali mendirikan sholat. Skorsing bertingkat, lari keliling sekolah dua puluh putar, dijemur di lapangan, apalagi mengepel kamar mandi, tidak membuat Bang Rizky jera. Tapi alhamdulillah, sekarang Bang Rizky sudah insyaf, terima kasih, Tuhan. Dia baik sama kami, terutama pada Nisa dan orangtua Nisa. Bang Rizky jadi rajin, sopan, dan santun sama semua orang. Dia nggak suka cari masalah lagi. Berkat Engkau, Yaa Allah. Terimakasih atas cobaan yang Engkau berikan, terima kasih karena membuat Bang Rizky dikeluarkan dari sekolahnya. Karena itu dia jadi jera dan jadi rajin sholat, seperti sekarang.
Kemudian Mbak Kasih, meskipun Nisa tahu, Mbak Kasih jarang menganggap Nisa ada. Dia terlalu cuek. Mungkin dia sibuk membantu Ibu berjualan, atau mungkin pacaran. Tapi Nisa ngerti kok, sebenarnya pasti seorang kakak seperti Mbak Kasih juga sama seperti Bang Rizky, sayang pada adiknya, yaitu Nisa. Cuma, dia nggak mau mengakui aja.
Dan Reihan kecil, tolong jaga Reihan, Yaa Allah. Nisa sangat sayang sama Reihan. Rasanya Nisa pengen marah banget sama dokter-dokter yang bilang Reihan cuma sakit demam biasa dan nggak membahayakan, padahal sakit demam berdarah yang menyebabkan Reihan tidak tertolong lagi. Tapi sebenarnya, pasti semua itu kehendak Allah, karena semua di dunia Allah yang mengatur. Kata Ibu, kita sebagai manusia cuma bisa berusaha, Allah yang menentukan. Kita harus berserah diri kepada Allah. Tolong jaga Reihan, Allah.
Juga Bapak yang meskipun di umurnya yang sekarang, empat puluh tujuh tahun, hanya mendapat kesempatan sebagai seorang supir taksi, Nisa sangat bersyukur. Nisa senang karena pekerjaan yang Engkau karuniakan adalah pekerjaan yang halal. Dulunya Bapak memang karyawan kantor swasta, tapi pastinya Engkau sedang menguji ketabahannya dengan mambuatnya tidak memiliki pekerjaan dan sekarang, menjadi supir taksi.
Yaa Allah, bantu Ibu untuk tabah menghadapi masalah-masalah yang mungkin mengganggu pikirannya selama ini. Insya Allah, Ibu kuat menghadapi semua ini.
Dan terakhir… Nisa. Terima kasih Yaa Allah, masih memberikan kesempatan bagi Nisa untuk bercerita, berdoa, dan berterima kasih kepada-Mu. Terima kasih banyak. Nisa sangat bersyukur bisa mendiami tenda pleton seperti ini. Walaupun sumpek dan membuat agak susah bernapas dengan banyak orang di dalamnya. Nisa bersyukur, karena tenda ini cukup hangat untuk ditiduri saat malam hari. Beberapa tetangga Nisa mendapat tenda yang hanya memiliki atap terpal. Hal itu mengakibatkan dingin yang menusuk tulang di malam hari sangat terasa saat tidur. Apalagi kalau hujan, semuanya bisa kalang kabut menyelamatkan diri supaya tidak kehujanan. Yaa Allah, janganlah Engkau memberikan hujan atau angin kencang ataupun matahari siang yang terlalu panas untuk kami, sesungguhnya Nisa yakin, para lansia dan balita susah menghadapinya. Dan janganlah Engkau berikan penyakit pada kami yang sedang kesulitan ini, Yaa Allah.
Sekolah darurat! Nisa senang tetap ada sekolah untuk Nisa, Inah, Arif, dan teman-teman kami yang lain! Walaupun suasananya terbuka, pelajaran jadi lebih menyenangkan. Alhamdulillah, Nisa masih punya sebuah buku yang agak lusuh dan pensil yang walaupun sudah tumpul, tetap berguna. Karena tanpa barang-barang itu, Nisa akan kesulitan dalam mengembangkan hobi Nisa. Nisa senang mencari tahu dan mencatat hal-hal baru yang Nisa temui. Sayangnya, buku-buku pelajaran Nisa sudah dihilangkan ketika rumah Nisa digusur. Senangnya, Bang Rizky rutin memembelikan majalah favorit Nisa.
Robbanaa atinaa fiddunyaa hasanah. Wafil aakhiroti hasanah. Waqinaa adzaabannaar… Allahumaghfirlii waliwalidayya warhamhumaa kamaa robbayaani shogiiroo… Terima kasih Yaa Allah… Kabulkanlah doaku,” Nisa mengusap kedua tangannya di mukanya. Ia bergumam “Aamiin…” dengan pelan. Nisa membuka mukenanya. Sesegera mungkin ia akan berangkat mengamen dengan teman-temannya. Nisa berlari keluar tenda, mencari Inah, Arif, dan teman-temannya yang lain.
           Cuaca mendung. Nisa menemukan sebuah ide yang cukup cemerlang. Tanpa mengulur waktu, Nisa segera mengutarakan niatnya. “Rif, gimana kalau kita ngojek payung di plaza?” tanya Nisa.
           “Ih, Nisa! Kenapa nggak ngomong dari tadi? Ambil payung yuk, di tenda!” ajak Arif sambil berjalan dengan agak cepat.
           “Yuk! Cepet! Keburu hujan nih!” Inah pun bergegas. Nisa mengikuti mereka dengan setengah berlari. Ia berusaha untuk secepat mungkin sampai di penampungan, dan meminjam payung pada Ibunya.
           Sesampainya di tenda, Nisa langsung menghampiri Ibunya. “Bu, Nisa pinjam payung, ya,” pinta Nisa. Ibunya mengangguk pelan.
           “Untuk apa?” tanya Ibunya kemudian.
           “Mau ngojek payung di plaza,” jawab Nisa cepat dan kemudian mencium tangan Ibunya. “Nisa pergi dulu ya, Bu!” kata Nisa.
           “Hati-hati, Nak!” kata Ibu.
           “Iya, Bu!” jawab Nisa sambil berlari menuju Inah dan Arif. Mereka berangkat sesegera mungkin ke mal. Hari ini hari Sabtu dan akan hujan, karena cuaca mendung. Pastinya mal sangat rame di sore hari begini. Dan banyak yang tidak bawa payung! Siang tadi sangat cerah!
           Sesampainya di mal, benar saja, hujan turun dengan lebat. Nisa dan kawan-kawannya berdiri di depan lobby Metro, Pondok Indah Mall. Di sana ramai sekali, dan Nisa sangat berharap banyak yang mau menyewa payungnya. Setiap ada tamu department store yang menjual merek-merek mewah – bagi orang-orang di lingkungan Nisa – itu keluar dari mall, Nisa tanpa henti membujuk mereka untuk menyewa payungnya untuk berjalan menuju mobil. Membuahkan hasil, meski sedikit, Nisa tetap mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhana Wa Ta’ala. Dari kecil, Nisa memang sudah disekolahkan di sebuah madrasah, otomatis hal-hal seperti itu sudah diajarkan kepada Nisa sejak kecil. Di rumah juga selalu diajarkan bahwa Allah harus selalu kita ingat, tanpa henti. Setiap hari, jam, menit, bahkan detik. Nisa terus menawarkan payungnya untuk disewa pengunjung mal. Dan akan terus seperti itu, sampai hujannya berhenti mengguyur kawasan Pondok Indah. Kalau perlu, sampai malam menyelimuti Jakarta.
           Selama seminggu ini, Nisa berjuang dengan sangat bersemangat dan jauh lebih giat. Ia jadi lebih rajin daripada sebelumnya. Setelah pelajaran di sekolah usai, Nisa mengajak teman-temannya mengamen di sepanjang trotoar jalan-jalan protokol di Jakarta yang ramai dipadati kendaraan. Tapi, mereka juga harus tetap berhati-hati terhadap preman-preman yang kadang-kadang suka meminta uang pada mereka. Bahasa kasarnya, malak. Kata Bang Rizky – yang mantan preman sekolah, malak hanyalah bahasa keren dari mengemis. Sebenarnya artinya sama saja!
Nisa juga menyewakan payung di mal saat turun hujan. Lumayan, uang saku – untuk membeli rumah – nya bisa bertambah, walaupun sedikit. Tapi, sedikit demi sedikit kan jadi bukit! Itu filosofi yang diberikan oleh ayahnya dalam menabung. Nisa menginformasikan cara-cara supaya bisa cepat membeli rumah dan meninggalkan tempat penampungan kepada teman-temannya. Kerja keras, kemudian uangnya ditabung. Mereka bekerja seharian penuh tanpa jajan, walaupun es mambo dan permen-permen di warung sangat menggiurkan. Mereka hanya sesekali pulang ke penampungan dalam sehari untuk meminta air putih atau sebotol air mineral sebagai bekal. Mereka sangat bersemangat, mengingat adanya sebuah rumah impian yang terlukis indah di benak mereka sedang menunggu untuk dijadikan tempat tinggal.
           Sementara Ibu, sudah gembira sedikit mendengar anak bungsunya tidak lagi menuntut rumah sebenarnya. Ia sedang membuat adonan kue untuk dijual, di dapur umum. Awalnya Ibu tenang-tenang saja, sampai akhirnya���
           “I…bu…” panggil Nisa dengan nada manja. Aduh, ada apa lagi ini? Kemarin ini anak meminta rumah, apakah sekarang ia meminta mobil?, tanya Ibu dalam hati. Ibu bingung, antara menengok dan menanggapi anaknya yang berbicara, atau malah tidak menghiraukannya dan kembali bekerja dengan hati menggantung akan apa yang akan ditanyakan Nisa, si anak bungsu. Akhirnya, Ibu memilih untuk menanggapi. Daripada nantinya Nisa terus mengganggu pekerjaannya.
           “Iya, Nak?” tanya Ibu kepada anaknya, Nisa, dengan lembut dan penuh kasih sayang.
           “Bu… Nisa sudah kerja dengan jauh lebih giat dari biasanya. Nisa juga nggak minta majalah dari Bang Rizky lagi. Nisa bilang, uangnya buat tabungan Bang Rizky aja. Nisa nggak jajan. Makanya akhir-akhir ini Nisa sering minta air dari dapur umum. Terus, hmmm…” Nisa berhenti sejenak. Ia agak kesulitan untuk mengucapkan kata-kata lagi. Sementara segenggam hasil dari pekerjaannya. Nisa segera memberikan barang yang ada di tangan kanannya kepada Ibu. Langsung, dari tangan ke tangan.
           Ibu menatap apa yang ada di genggamannya. Berlembar-lembar uang kertas seribuan yang sudah lusuh dan kusam, akibat terlalu dilipat-lipat, dan kepingan-kepingan uang receh. “Apa ini, Nis?” tanya Ibu pada Nisa yang selama ini menatapnya dengan penuh keriangan dan kegembiraan.
           “Ini…Semua hasil kerja Nisa selama seminggu. Nisa tambah ngojek-ngojek payung sedikit dan tetap mengamen. Alhamdulillah, bisa terkumpul segini,” jelas Nisa.
           Ibu masih sedikit bingung. “Untuk apa?” tanya Ibu lagi.
           “Untuk kita beli rumah baru! Jangan lupa, Bu, rumahnya kecil aja. Halamannya agak besar sedikit ya, supaya bisa main. Terus…” ucapan Nisa terpotong karena Ibu kemudian berbicara.
           “Belum cukup, Nak…” kata Ibu, menyela deskripsi rumah impian anaknya, menghapus semua harapan Nisa yang telah terpatri selama ini.
Sungguh berat untuk mengatakannya kepada Nisa. Nisa kaget. Ingin rasanya ia menangis di langit, supaya tidak ada yang mendengar, tentunya selain Allah. Mata Nisa mulai berkaca-kaca. Ia tak sanggup menahan tangisnya. Ternyata usaha dan kerja kerasnya selama seminggu ini sangat sia-sia dan tidak berarti jika dibandingkan dengan harga sebuah rumah. Kapan ia bisa punya rumah lagi? Kapan ia bisa membaca buku-buku pelajaran lagi? Kapan ia bisa belajar dengan tenang tanpa harus tertimpa panas matahari? Kapan? Setelah preman-preman bayaran itu ke sini dan mengusir mereka menuju perumahan dari tripleks di kolong jembatan?
Nisa sedih. Nisa ingin berteriak kepada seluruh dunia, terutama pada aparat yang menggusur rumahnya dan orang yang memerintahkan orang-orang yang seolah tidak punya perasaan itu. Nisa ingin merayakan Idul Adha di rumah. Di dalam sebuah rumah. Sementara besok sudah tanggal sepuluh Dzulhijjah. Seluruh masyarakat muslim di dunia akan bahagia. Termasuk bagi fakir dan miskin, yang akan menerima daging sapi dan daging kambing gratisan. Di luar Indonesia malah ada daging Unta. Tapi Nisa tak yakin, apakah ia akan mendapatkan jatah daging. Belum tentu para pembagi hasil kurban itu singgah di tempat penampungan Nisa. Di kawasan rumah Nisa yang dulu saja tidak pernah sekalipun.
           Nisa sudah terlalu sedih untuk dapat mengatakan sesuatu dari mulutnya. Tangisnya pecah dan tak terkendalikan lagi. Walaupun Ibu memeluknya, Nisa memang merasa lebih tenang, tapi di benak Nisa tetap terlukis rumah impiannya itu. Akhirnya hati Nisa yang berbicara, seolah bercerita dan mengadu pada Allah, “Yaa Allah, bantu Nisa dalam menghadapi cobaan-Mu. Bantu kami menyelesaikan masalah kami. Bantu kami menghindar dari mereka yang dibayar untuk mengusir kami. Bantu mereka untuk memikirkan kami dan menyuruh kami pergi dari tempat ini dengan lebih sopan dan tidak sekasar yang dikatakan oleh Inah dan Arif. Bismillahirrohmannirrahim, semoga Allah mengabulkan permohonanku,” Nisa mengusap kedua tangannya ke wajahnya, ia menghapus air matanya.
“Sudah, Nis…” kata Ibu sambil membelai rambut Nisa. “Sekarang kamu sholat ya, Nak, supaya tenang. Ya? Sholat ya, Nak…” Ibu menasihati Nisa.
“Iya, Bu,” ujar Nisa menurut sambil mengangguk. Ia berjalan menuju tenda dan bergegas mengambil mukena, sarung, dan sajadahnya.
Sekarang Nisa sudah bertekad. Ia akan berusaha sebaik mungkin membantu Ibunya mencari uang demi rumah di benaknya yang selama ini sudah menantinya, rumah yang mungil namun indah. Bukan rumah dari tripleks di bawah jembatan tol, bukan “rumah” dari kain terpal dan besi-besi, bukan rumah dari kardus-kardus bekas… Nisa akan memulai kerja kerasnya. Ia juga akan selalu berdoa dan memohon kepada Allah untuk membantunya dan keluarganya. Nisa akan terus berjuang demi rumah impiannya. Nisa akan lebih giat, rajin, dan sungguh-sungguh dalam bekerja dan belajar. Dimulai dari lebaran ini…
Jakarta, 27 Juli 2004
Reza Mukti
0 notes