Text
First Love
Dear, my little ❤️
Mungkin ini masih sangat jauh dari waktunya tiba, tapi hari ini entah kenapa ibu ingin sekali segera bertemu kamu. Ibu ingin bilang kalau km cintanya ibu, kamu sayangnya ibu, kamu segalanya buat ibu.
Ibu kangen hehe. Ibu sering merasa kesepian akhir-akhir ini, ibu sering merasa sendiri, ibu ingin kamu cepet hadir ke dunianya ibu. Nanti kita sama-sama terus ya.
Ibu mungkin suka marah, ibu cerewet, tapi ibu baik kok. Kamu jangan pernah tinggalin ibu ya. Semoga kamu bisa sayang terus sama ibu. Ibu nggak tau lagi mesti sama siapa kalau kamu pergi dari ibu.
Ibu tungguin kamu ya di sini, pingin cerita banyak. Love you.
ps: nanti ibu ajak nonton konser dan ngopi!
1 note
·
View note
Text
It's been 6 years
I know. Maybe what I am say is cringe. And I'm not a good with grammar. But don't care because I just wanna share my feelings that I can't explain to you.
I remember when I saw you for the first time. We meet when you will to printing your final task in college. My heart was crazy for a moment. Oh God, he's really! Since the day, I asked to my friends that maybe they were know about you. And I got you! I know your name, social media, and mostly all about you. Damn, I really crush on you!
But at the moment, I do nothing. Just enough I know who you are, where you are. Cause I have a boyfriend and really just want to be a secret admirer. When we met accidentally in the campus hall, or anywhere, trust me, I feel the breeze. Then you said Hi to me, omg is this a dream? Seriously, I'm speechless. So shy! I think I'm the happiest girl at the time. Hahahahaha look at me. Cringe, right?
0 notes
Text
Would you be my November?
Memilih untuk mencintai daripada dicintai masih menjadi pilihan. Di saat yang sama semua sahabat perlahan menjauh, membangun hidup baru bersama pujaan hati. Apakah mungkin aku yang terlalu mempersulit diri sendiri? Sampai kapankah mengusahakan yang tak pasti?
1 note
·
View note
Text
Bagaimana mungkin aku bisa bilang tak senang hari ini, jika di penghujung hari kuterima puisi sedemikian indah?
Terima kasih kak Weslly Johannes.
⎼ 17 November 2021
1 note
·
View note
Text
Semesta Berjalan Semaunya
Hari ini semua tidak ada yang sesuai harapan. Manusia (atau mungkin aku, lebih tepatnya) terlalu sering berencana sampai lupa Tuhan penentunya.
Yang mana harusnya aku pergi bersua ke makam ayah, ternyata malah menggali luka. Kue tak datang tepat waktu, sekiranya hampir sama seperti rasaku dan rasamu yang tak pernah bertemu. Awan mendung tiba-tiba mengusir matahari, seolah ingin mengecoh pengendara motor bahwa cerah hanya halusinasi. Sama halnya dengan semua yang terjadi hari ini.
Sampai akhirnya aku tau tujuanku berakhir ke mana. Ke tempat di mana aku bisa meluangkan waktu bersama seorang sahabat. Tuhan tau bahwa waktunya tak lagi banyak untukku, maka dengannya kuhabiskan sisa hari ini.
Beberapa orang bertanya, "Bagaimana harimu, menyenangkan bukan?" Ku kira aku hanya akan menjawab biasa saja. Lalu apa bedanya aku sekarang dengan aku tiga atau empat tahun lalu? Tukang mengeluh lupa bersyukur. Maka kujawab, "Mungkin memang tidak berjalan sesuai rencana, tapi cukup banyak proses pendewasaan yang ku terima."
Perhatian, cinta, dan kasih sayang dari orang-orang terdekat itulah yang hampir saja ku lupa. Karena seringnya mempersulit diri, mungkin saja gajah di pelupuk mata menjadi tak terlihat, dan aku akan jauh menyesal setelahnya. Biarkan semesta berjalan semaunya, kurasa selebihnya hanya perlu bersyukur.
0 notes
Text
Saya sayang kamu. Kamu mau tau atau enggak ya terserah kamu. Yang jelas sekarang saya sayang kamu. Saya nulis begini buat jaga-jaga kalau suatu saat kamu iseng mampir ke sini baca-baca, biar kamu jadi tau kalau selama ini diam-diam saya sayang sama kamu.
2K notes
·
View notes
Text
Sugeng tindak, Bapak.
Kalau aku boleh kembali, rasanya aku pingin bertemu dengannya dalam kondisi bernyawa. Bukan dendam yang kurasa, tapi entah kenapa aku seolah mati rasa. Bodohnya aku yang biasa saja saat mendapat kabar yang berpotensi duka. Kadang ingin menangis, tapi sulit sekali. Lalu tiba-tiba saja tangis itu pecah, tapi aku tahan setengah mati. Seakan tak ingin terlihat bersedih. Benar-benar orang asing bagiku.
Hampir dua puluh tujuh tahun, seumur hidupkulah aku tak pernah mengenalnya. Samar-samar memori di kepala. Fotonya aku pun tak punya. Dan itu tak pernah jadi masalah. Aku terbiasa hidup tanpanya. Bahkan sangat cukup bahagia.
Pesan pertama ku terima di bangku SMA. Permohonan maaf karena tidak pernah berkunjung walau sebentar saja. Dan permintaan untuk melihat wajahku yang beranjak dewasa, tapi aku mengabaikannya. Kurasa aku belum menyadari sedikit penyesalan yang muncul darinya.
Kali kedua saat aku berada di kota perantauan, pesan kembali masuk di layar hp. Keinginannya untuk bertemu diutarakan lagi. Tapi aku terlalu sibuk duniawi dan enggan menemui. Hanya bisa berjanji kalau suatu saat akan datang menghampiri. Setaun kemudian pesan darinya datang lagi. Kali ini bantuan yang dia minta. Entah sesusah apa hidupnya, aku hanya bersyukur hidupku serba kecukupan. Sedikit kesal manusiawi bukan, ketika seharusnya siapa yang banting tulang justru datang di saat butuh uang. Walau setelah itu ada permintaan maaf yang rupanya benar-benar penuh penyesalan tetap saja aku tak merasa getaran apa-apa.
Kemudian tak lama ini datang lagi sebuah pesan. Namun bukan lagi darinya, melainkan dari kerabat yang tak kukenal. Permohonan maaf yang teramat dalam seolah butuh sekali ampunan. Firasatku tak karuan karena sempat ada kabar bahwa raganya tak lagi sehat. Penyakit yang pernah menyerang, kembali bersemayam di tubuhnya. Sungguh aku benar-benar mati rasa. Aku bahkan terlalu egois untuk tak membiarkannya merusah hari yang sudah kutunggu-tunggu. Semua terjadi cepat sekali. Sedikit pun aku tak takut dihantui penyesalan. Aku hanya berusaha menghubungi lewat telepon, berharap kepergiannya dipermudah tanpa meninggalkan luka. Itu pun ternyata waktu kurang bersahabat. Dia tak sempat mendengar suara anaknya, apalagi memeluknya.
Tiga puluh satu Mei, pukul sepuluh pagi. Aku merasakan kehilangan tiba-tiba yang cukup menyesakkan karena masih saja aku bersikeras menahan, seolah tak ingin kalah oleh hati kecilku. Air mataku jatuh berlinang mendengar kabar bahwa dia telah tiada. Sungguh aku tak ingin menangis tapi aku tak kuasa. Semakin ku tahan semakin sesak di dada. Rupanya ini rasanya kehilangan tanpa memiliki. Bagaimana pun ada darahnya mengalir di nadi. Saat itu aku merasa mejadi anak durhaka yang sama sekali tidak ada keinginan untuk menemui sebelum nafas terakhirnya.
Perjalanan satu setengah jam aku tempuh untuk menghampirinya walau sekadar mengantarnya pulang. Sama sekali tidak pernah terlintas di angan, harus melihatnya dari kejauhan turun dari mobil ambulan dengan pemakaman yang telah disiapkan. Setelah sekian puluh tahun, bukan ini pertemuan yang kami harapkan. Dari lubuk hatiku pun bukan. Sama sekali. Tapi semua sudah terlambat dan aku hanya bisa mendoakan supaya tenang di sana dan mendapatkan surga.
Papa, Ayah, atau bagaimana aku harus memanggilmu? Kita belum sempat berkenalan, aku ingin bisa mengadu ketika aku jatuh dan berantakan. Maafkan anakmu yang tidak mau kalah oleh masa lalu. Saat ini ditulis, sejujurnya aku merasa rindu walau sedikit meragu. Penyesalan teramat sangat pelan mulai datang mengganggu. Sekarang aku hanya bisa membaca pesan-pesan yang pernah engkau kirim namun ku balas dengan sangat singkat. Maafkan anakmu. Aku tumbuh dewasa dengan cukup baik dan bisa dibanggakan! Jangan khawatir, doaku tidak akan pernah terputus walaupun masih sering kali rasa malas itu datang. Akan coba ku lawan supaya engkau bahagia di sana! Pulanglah dengan tenang, aku sama sekali tidak membencimu.
— "Wajah e mesem, ketok seneng. Koyok e eruh lek anak e teko kabeh."
0 notes
Quote
Semua akan pulang pada waktunya. Semoga tenang sampai di sana.
Selamat jalan, Kak
0 notes
Text
Cerita itu hadir lagi
Siapa yang akan menyangka, aku masih malu-malu saat bertemu denganmu.
Di pagelaran musik malam itu, kamu kembali menyapa dan rasanya masih sama. Hangat menyapu dingin kotaku.
Perbincangan tak lama di antara kita namun tentunya menambah satu lagi momen yang bisa ku rindu.
Aku tak kabur, seperti dulu kala. Aku sudah jauh lebih bisa mempersiapkan diri untuk membalas sapamu.
Haruskah ku bilang ini kebetulan? Atau mungkin bolehkah ku sebut ini takdir?
Dulu ada perasaan yang harus ku jaga, dan memang aku pun tak berharap apa apa. Lantas sekarang, apalagi yang menjadi pembatas di antara kita?
— 2018
0 notes
Text
Ruang tamu itu sekarang selalu kosong. Nggak ada lagi yang aku tunggu untuk duduk di sana sambil makan bareng. Atau sesekali curi-curi peluk untuk melepas kangen.
0 notes
Text
Surat untuk Bimo #1
Bandung, Juli 2018
Hai!
Apa kabar? Lama tak melihat langkah kaki dengan sepatu nike abu-abu menghampiriku. Sudah sebulan lebih kamu berangkat lagi ke ibukota, meninggalkan keluarga di rumah.
Dan membiarkan aku, ditemani nestapa.
Terbiasa berada dalam jarak yang cukup dekat memang membuat susah jauh walau barang seminggu. Begitulah aku. Kamu tahu.
Petang itu, rupanya Big Mac masih jadi favorit untuk bekal selama perjalanan. Aku bisa pastikan itu dari sosial mediamu, serta dari percakapanku dengan dia yang baru saja mengantarmu menuju stasiun. Sengaja aku mengajaknya untuk bertemu, membagikan luka yang sungguh belum sanggup aku bawa seorang diri sepenuhnya. Dia, adikmu, yang juga kurasa adikku juga. Sehingga dengan gampangnya aku menumpahkan air mata yang entah tidak pernah berhenti sejak siang itu. Siang itu, di mana aku kira sedang mimpi buruk. Namun nyatanya aku sedang bangun, tidak sedang tidur.
Sampai detik ini aku masih ingat jelas semuanya. Masih tidak mau menerima mentah-mentah kalimat yang kamu kirim cukup panjang lewat pesan. Sekalipun berulang kali kamu meyakinkan semua kesalahanmu, berulang kali pula aku meyakini kamu tetap seperti yang dulu. Bagaimana mungkin aku percaya kamu akan berpaling jika hatimu saja terluka membayangkan aku menangis. Sadarkah kamu? Hari ketika kamu memutuskan untuk mengakui segalanya adalah hari Minggu. Hari yang sama di mana kamu turun dari bus untuk menghampiriku di sebuah taman baca. Hari di mana kamu malu-malu memintaku untuk jadi kekasihmu. Ah, indah ya masa SMA dulu. Tapi kenapa hari Minggu kali ini lain? Bukan kabar bahagia yang kamu bawa, melainkan kabar duka yang ku kira akan fana.
Sejak akhirnya aku mengalah mengikuti maumu untuk berpisah, semua semakin tak karuan. Aku semakin berantakan. Hari-hari selalu saja penuh tangisan. Kamu sangat tahu, bagaimana aku kepadamu. Bagaimana aku rela kisah yang kukira selamanya ternyata cuma sementara? Sejak itu aku selalu menatap kosong pada pagar rumah, tempatmu biasa menjemputku. Aku selalu termenung melihat teras dan ruang tamu yang lebih sering hening karena tak ada lagi yang berkunjung. Sepanjang jalan di kota kelahiran ini semua selalu tentangmu, tentang kita. Di setiap persimpangan ada saja memori di kepala. Tak ada habisnya. Tak akan pernah bisa lupa. Tujuh tahun itu waktu yang lama untuk sepasang kekasih menjalin cinta. Jangan salahkan aku jika terus saja mencoba mengubah keputusanmu.
Sebenarnya ketika menulis surat pertama ini, aku sudah kembali pula ke perantauan. Kota yang harusnya semakin dekat dengan keberadaanmu sekarang. Namun sayangnya aku sudah bukan siapa-siapa yang bisa mengunjungimu kapan saja. Jangankan menemui, menelepon atau berkirim pesan pun tak kamu ijinkan. “Hargailah dia yang sekarang bersamaku.”, begitu kamu bilang. Lucu hahaha. Apa kabar sewaktu aku di sampingmu dulu? Bolehkah dia sesuka hati menghubungimu?
Tadi siang ibu kembali menanyakan keadaanku di sini melalui pesan singkatnya. Kembali mengingatkan aku untuk menjaga ibadah dan terus berdoa. Aku bersyukur ibu masih sama kepadaku, walaupun kita sudah tidak saling sapa. Dulu susah sekali rasanya untuk memulai percakapan dengan ibu. Aku pikirkan semalaman sebelum berangkat ke rumahmu. Sekali lagi aku juga masih ingat betul kali pertama aku datang dan bagaimana ibumu menyambutku. Brownis buatan ibu yang manis membantu mencairkan suasana. Kami mulai bicara tipis-tipis tentang apa saja. Dan dari ruang belakang kamu sembunyi dengan sengaja lalu diam-diam tertawa. Beberapa kali kamu mengajakku ke rumah, sampai akhirnya berdua saja dengan ibu sambil menonton televisi pun aku sudah terbiasa. Suasana ramah di rumahmu itu adalah salah satu dari sekian banyak hal tentang kita yang membuatku susah lupa.
Kamu sedang apa di sana? Apa kesibukan masih menyita waktu makan malammu? Jangan tunda untuk Bebek Madura di depan kantor, atau barangkali Mie Luwes di seberang stasiun baru. Kasihani lambung yang sudah bosan berteman dengan obat-obat maag. Seharusnya itu tak lagi menjadi masalah, karena aku rasa di sana ada yang selalu mengingatkanmu soal itu.
Bandung sedang cukup dingin, aku banyak menghabiskan waktu di kamar saja seusai kuliah. Aku lebih tertarik meringkuk di bawah selimut sambil mendengarkan playlist lagu kesukaanmu sebagai pelipur lara daripada menerima ajakan teman-teman untuk bersua di Toko Kopi Djawa. Jika kiranya mulai bosan, aku berganti duduk bersandar pada tembok untuk sekedar membolak-balikkan album foto kita berdua. Entahlah, manusia suka sekali menyakiti dirinya. Tapi bagaimana lagi aku harus mengobati kerinduanku terhadapmu?
……................
Jadi apa kabar kamu di sana?
0 notes
Text
youtube
Okay, enough
P.S. I hope you're happy
.....
I blame myself
For when I was someone else
I might not get over this
0 notes
Text
tulisanku berantakan pergilah bila kau datang hanya untuk mengacaukan Simpang Dago, sehabis hujan 21.20
0 notes
Text
Tak Lagi Sama
Banyak sekali pertemuan manis yang tak terlalu singkat dan cukup berkesan. Namun suasana hati sudah tak ingin lagi membaginya, karena dia pun yang tak lagi berbagi cerita denganku seperti dulu.
Ada beberapa malam dingin dengan tawa yang hangat. Perjalanan singkat ke ibukota berdua, di dalam gerbong bersebelahan dan kursi bus yang memisahkan kami saat pulang. Sepiring nasi goreng dan satu buah kelapa muda di Saparua sebelum mengantar kepulangannya. Sedikit keributan di depan kasir hanya untuk memutuskan kopi apa yang ingin dipesan. Berkenalan dengan akang vape langganannya. Mendengarkannya memetik gitar di sudut kamar, lalu berkeliling di sekitar. Melihatku makan dengan lahap hingga larut dan menjemputku seusai kerja keesokan harinya.
Semua terasa baru terjadi kemarin, saat kami masih seperti kawan lama yang tak ada jarak. Sekarang aku bahkan tak punya nyali untuk menunjukkan emosi.
0 notes
Text
Persimpangan
Belum tuntas aku menulis semua, dia sudah menghilang begitu saja. Jika nanti cerita indah itu mampu aku sambung, aku akan beri tanda. Sekarang biarkan aku berbagi gelisah.
Di persimpangan jalan kala malam beberapa waktu lalu, ada yang seakan merasukimu. Kemarahan yang penuh tiba-tiba dan janji yang kau ingkari. Malam itu, air mataku tumpah lagi sejak terakhir ketika mendengar kabar akad jauh di sana. Dan kenapa harus dia yang membuatku kelopak mataku penuh sampai dini hari? Potongan cerita malang ini berubah sepuluh hari kemudian, menjadi sebuah potongan kisah semanis kue ulang tahun yang kau beri.
0 notes
Text
Cerita ku belum utuh. Masih banyak hal manis di waktu-waktu kami berdua yang belum aku bagi.
Emosi sempat reda malam itu, tergantikan oleh potongan cerita yang lebih manis lagi.
Semuanya belum selesai. Pun demikian ceritanya dengan yang lalu.
-----
Sungguh, aku lelah. Kalau pergi, pergilah. Kau tau arti dari sebuah luka, bukan?
0 notes
Text
Di Lokasi Senin Itu
saat ini aku tulis, hatiku setengah ingin lari karena ingin menghindar dari patah hati....
Selamat sore untuk dia yang lagi-lagi sudah duduk manis menunggu aku datang. Aku terlalu sibuk memilih pakaian. Maaf ya, begitulah perempuan.
Sepuluh menit menjelang adzan magrib berkumandang, dia bangkit dari kursinya. Pergi entah kemana. Tak lama kemudian telepon genggamku bergetar, menandakan waktu solat telah datang. Dia menyuguhkan segelas lemon tea yang ternyata sengaja dipesan untukku, lengkap dengan sebotol air putih yang dikeluarkan dari ransel hitamnya.
“Minumlah, udah aku siapin.”
Hari itu aku ingat sebagai pertama kalinya kami berboncengan. Ya ampun, aku ini sudah seperempat abad tapi masih seperti abg.
Malam itu sangat larut, entah aku ingin menemani dia sampai temannya datang menjemput. Kembali dengan percakapan sederhana tentang arti keluarga, dengan itu kami menghabiskan waktu.
Sesaat aku akan pulang, di depan motor dia memakaikan helm ke kepalaku... sungguh berantakan sekali tulisan ini aku berada di ambang kemalasan dan kerinduan u/ menuangkan semuanya bagaimana tidak, dia yang tiba-tiba pergi sedangkan aku di sini masih emosi
0 notes