pagisudahdatang
pagisudahdatang
Pagi Sudah Datang
1K posts
Jalan saja, nanti juga bermuara | IG : pagi sudah datang
Don't wanna be here? Send us removal request.
pagisudahdatang · 2 years ago
Text
Cermin Kehidupan
Pernah kepikiran tidak? Kalau bagaimana kejadian-kejadian di dunia sekitar kita, adalah cerminan apa yang ada di dalam diri kita sendiri. Bagaimana orang lain merespon kita, barangkali ada cerminan kita di waktu yang lain merespon orang lain. Mungkin tidak di saat sekarang, tapi beberapa tahun yang lalu.
Saat kita melihat betapa buruknya hari-hari berlalu. Apa jangan-jangan itu adalah cerminan pikiran kita yang memang memandang buruk banyak hal, julid sana-sini, suka nyinyir di dalam hati, dan beragam bentuk emosi yang terpendam. Tercermin dari bagaimana dunia berjalan dalam hidup kita.
Keadaan yang naik turun, hilangnya orang-orang yang tadinya kita kenal, dan banyak hal yang silih berganti terjadi di usia ini. Adalah cerminan bagaimana kita berpikir dan sudut pandang kita. Sesuatu yang selama ini kita anggap paling benar - karena kita merasa paling paham sama diri sendiri. Nggak ada orang lain yang bisa memahami kita, karena mereka tidak menjalani hidup yang kita jalani.
Tanpa sadar, kita membangun benteng yang tinggi sampai-sampai kita tidak menyadari bahwa diri ini tercermin sedemikian rupa. Dari tutur bicara, dari pengambilan keputusan, dan respon masalah, dan banyak hal lain yang secara tidak langsung menunjukkan jati diri kita.
Kita mungkin merasa baik-baik saja. Tapi, kenyataan yang kita hadapi menekan kita dari banyak sisi. Kita membangun bentang semakin tinggi, sampai-sampai tak ada lagi nasihat yang bisa kita resapi, tak lagi kita mau mendengarkan orang lain tentang diri sendiri.
Merasa diri paling tersakiti dan menjadi korban. Tidak menyadari, bahwa akar masalah dan pelaku dari rentetan kejadian itu adalah diri sendiri. Diri yang tidak bisa bercermin dengan bijak pada kehidupan. kurniawangunadi
262 notes · View notes
pagisudahdatang · 2 years ago
Text
Cerpen : Aku dan Setakut Itu
Dulu aku pernah di fase setakut itu tentang pernikahan. Membayangkan memiliki hubungan jangka panjang dengan orang asing, bahkan membayangkan dia bisa melihat tubuhku tanpa sehelai benang saja membuatku bergidik. Karena selama ini, semalu itu rasanya kalau tersingkap barang sedikit.
Tapi hal yang paling menakutkanku sebenarnya adalah diriku sendiri yang tidak seyakin itu untuk membangun kepercayaan. Selain karena, rasanya begitu buntu harus mencari sosok pendamping di lingkunganku sekarang. Di kantor? Tidak ada yang menarik, sekalinya menarik ternyata sudah jadi pasangan orang lain. Selorohan salah satu temanku dulu jadi teringat, "Orang itu akan terlihat menarik dan terbukti kebaikan dan ketulusannya ketika sudah menikah sama orang lain."
Memang, apa yang dikhawatirkan sekarang kan soal finansial, kesetiaan, dan hal-hal serupa itu. Dan yang sudah menikah kemudian berhasil membuktikan itu, tampak menjadi pasangan yang beruntung. Mungkin itu kali ya jadi banyak pelakor. Soalnya mau yang udah "terbukti", bukan yang gambling kayak sekarang nyari yang begitu - sudah ketemu - masih bertanya-tanya benar atau tidak.
Hihhhh aku sih gak mau yaaa merebut pasangan orang lain! Aku memahami bahwa usiaku terus beranjak. Tahun ini masih 27 memang, tapi rasanya aku belum bisa berdamai dengan gemuruh kecurigaanku untuk membangun kepercayaan dengan seseorang seumur hidup. Atau mungkin sebenarnya karena aku belum bertemu saja, mungkin tergantung siapa orangnya. Bisa jadi.
Rasanya proses mengenal diri membuatku merasa harus mendapatkan pasangan yang layak. Dan aku tak mau menurunkan standar kelayakan itu. Kemarin aku cerita ke temanku, apakah aku terlalu tinggi memasang standar kelayakan? Menurutnya, itu wajar, kan mau menikah, wajar kalau aku menginginkan pasangan yang bisa memenuhi sebagian besar kelayakan yang aku inginkan.
Aku sampai berpikir lagi setiap kali pulang dari kantor. Membuka pintu kamar kos yang sunyi. Sendiri dalam ruang yang luasnya hanya 12 meter persegi. Apa aku sebenarnya sudah cukup matang untuk masuk ke fase itu? Apa hanya karena ketakutanku pada umur yang terus berlalu?
Aku bahkan tidak memiliki ketertarikan dengan siapapun sekarang, tidak dekat dengan siapapun juga. Apa aku perlu menjalani hidup dengan cara yang berbeda kali ya? Resign terus menggunakan seluruh tabungan untuk jalan-jalan keliling Indonesia? Atau mencoba peruntungan untuk mencari pekerjaan di luar negeri?
Tapi setelah dipikir-pikir, kenapa aku serisau itu ya seolah-olah aku tidak beriman. Padahal aku tahu betul hal ini jadi rahasia-Nya. Sama seperti kematian.
530 notes · View notes
pagisudahdatang · 2 years ago
Text
ISLAM 101: Muslim Culture and Character: Morals And Manners: Part 2
BUILDING GOOD CHARACTER
The topic of this book, “adab in practice,” is part of the larger concept of akhlaq, that is, morality. In fact,  from one perspective, adab in practice is fundamentally practical morality and ethics. Therefore, the essence of these concepts will be explained first, beginning with a short introduction to akhlaq, and only after this will adab in practice be returned to.
Akhlaq, the plural of khuluq in Arabic, means the character and temperament of a person. The temperament of a person brings either good or harmful things. In the broadest aspect morality means that there is a moral character, that is, morality becomes deeply ingrained in the soul and as a consequence right actions and behavior come naturally and easily from within; then, the person with such a character no longer has to struggle intellectually to know what ethical choices to make.
Human characteristics can generally be divided into those that society approves of and those that we disapprove of. Decency, humility, and kindness are traits that are seen in a positive light, while arrogance, deceit, and miserliness are generally perceived as negative human characteristics. To recognize these  characteristics and their attendant traits is  to  understand  what  is  meant  here  by the phrase “moral character.” Nawwas ibn Saman once asked the Prophet how to recognize the difference between goodness and sin. The Prophet answered, “Goodness is a good moral character. Sin is anything that pricks one’s conscience, and which one does not want others to know about.  Another narration from Jabir reports that the Messenger said, “The most beloved to me among you and the ones who will be closest to me on the Day of Judgment are the best in moral character. And they who are most loathsome to me and will be farthest from me on the Day of Judgment are those who gossip, those  with  unbridled  tongues, and those who condescend.” When they asked him, “O Messenger of God! Who are those who condescend?” he replied, “They are those who are arrogant.”
Ethics, which is the study or science of morals, can be divided into the theoretical and the practical. While theoretical morality is concerned with those concepts that constitute the principles and rules of morality, practical morality is concerned with the duties that constitute the basis of moral life. As reported by the Prophet, “God looks not at your outward appearances, nor at your wealth or belongings. God looks only at your hearts and your deeds.” For this reason, here we will be mainly concerned with the practical side of morality, and as mentioned above, the purpose of this book is to explore adab in practice. At this point, with a view to clarifying the meaning of human responsibility, let us take a closer look at the concept of duty, which is pivotal to developing a good character with adab.
THE NATURE AND TYPES OF DUTY
Duty is the moral responsibility of a person who has reached pu- berty when they have been asked to do something good or help- ful. Accordingly, Islamically there are two types of duty. One is the obligatory (fard) group of duties, that is, those the perfor- mance of which is binding and the abandonment of which is for- bidden. For example, performing daily prayers, fasting during the holy month of Ramadan, and offer prescribed purifying alms fall into this category. The other type of duty is that which, al- though not obligatory, is encouraged or desirable; it is these du- ties that religion presents as being inherent parts of a good moral character. To observe these duties on top of the obligatory ones shows greater spiritual maturity and is worthy of Divine reward; the observation of them pleases God. To neglect such duties would be a shortcoming. An example of this type of duty would be the giving of money or goods to those in need (sadaqa), over and above the prescribed purifying alms (zakat), and generally being kind and polite to everyone.
Duties can further be classified as those fulfilled in the cause of God, or for the benefit of the individual, family, or even society. From this perspective, duties can be divided into different sorts—divine, familial, and social duties. Let us more closely examine these categories.
Divinely-Ordained Duties
It is incumbent upon every person who has come of age and who is in possession of all their mental faculties that they recognize and worship God. For a human, there can be no greater blessing or honor than this servitude to God. One worships God by willingly and gratefully performing acts of worship, such as daily prayers, fasting, charity, and such other commitments that require both physical and financial abilities, like the pilgrimage to Mecca. In addition to these duties that pertain to the personal practice of Islam, safeguarding and defending one’s homeland is also a sacred duty.
Another very important divine duty is to struggle against one’s own evil-commanding soul. Those who cannot discipline their ego or self through moral education will not be able to help themselves, let alone society. Believers, both as individuals and members of society, need to exert themselves to strive in the way of God in all their actions at all moments of life. This is what Prophet Muhammad, peace and blessings be upon him, meant when he said, “We are returning from the lesser jihad (struggle) to the greater,” while he was
returning to Medina from the Campaign of Tabuk. Emphasizing that they were returning from “the lesser struggle to the greater,” the Prophet directed his Community to this “greater struggle” that is waged against one’s carnal self at all moments of life.
Being this comprehensive in nature, jihad includes every action, from the simplest act of speaking to remaining silent or performing supererogatory acts of worship, such as extra prayers, worship and fasting to attain the good pleasure of God. Likewise, to enlighten our hearts we can read the Qur’an, or to increase the light of our faith we can continually remember and reflect on the Divine Attributes of our Almighty Creator that are manifest all around us.
Individual Duties
Each person has some duties toward their own self as well. Some of these pertain to the body and some to the spirit. The following are the main duties that fall into this category:
Training the body: For everyone, it is crucial that the body is kept strong and clean. Prophet Muhammad, peace and blessings are upon him, said, “A strong and vigorous believer is better than a frail and weak one.”5
Caring for one’s health: Health is a great blessing; therefore, it is vital to avoid things that may damage one’s health and to seek treatment when one is ill.
Refraining from dangerous practices of abstinence or self- denial practiced in the name of spiritual discipline.
Guarding against things that wear down and age the body.
Strengthening
willpower:  A person needs to develop
healthy self-control. This involves learning what is good for the body and partaking of it, as well as finding out what is harmful and avoiding it.
Duties relating to the mind and intellect, such as pursuing learning and enlightenment, awakening higher emotions and positive feelings in the heart, and honing one’s talents and skills.
Family Duties
The family is the very foundation of a healthy society. Each member of the family must accept some responsibility for the others in the family. Some of the primary duties of a husband, for instance, are to behave kindly toward his wife, to meet her basic needs, and to be loyal to her. A narration of the Prophet says, “The best of you is he who is the best to his wife.” A wife who is happy with her spouse will support her husband’s decisions, as long as they do not conflict with religious directives and contribute to protecting the family honor and property. All these are pivotal to happiness in marital relations and to a happy family.
Parents in such an atmosphere commit themselves to nurture, educating and training their children to the best of their ability, setting them on the path to success in life. Fathers and mothers should treat their children equally, holding them in equal regard and affection. They should be gentle towards their offspring and raise them in such a way that they will not be inclined to rebel. Parents also have the duty to be models of virtue for their children.
Respect and obedience are, in turn, some of the basic duties of children towards parents who have brought them up according to the principles set out above and with love and compassion, feeding and caring for them. This is why children should not show displeasure or impatience with their parents. A son or daughter who ignores the wishes of their parents and does not heed them nor come to their assistance if they are in need is not a source of blessing for the parents. Such a person not only is not a useful member of society but will also stand before God as one who is guilty of shirking their duty.
Likewise, siblings have duties toward one another, such as showing affection and compassion for each other, as well as helping and respecting each other. There is a very strong bond between brothers and sisters and this should be maintained at all times. Brothers and sisters who cut their ties with one another over finances or property disagreements cannot be considered to be blessed or benevolent. Finally, if a household has hired help, this helper also must be treated as part of the family. They deserve kindness and gentle treatment and should never be overloaded with work that is too difficult for them to carry out.
Social Duties
Human beings have been created as social beings, and as such, they live in social groups and have formed civilizations. Socializing is one of our basic needs, and social life involves certain expectations between people. When these are disregarded, society breaks down and people can no longer coexist peacefully or work together. The main responsibilities in this category are the preservation of the following inalienable rights:
Protecting the life of every individual: Every person has the right to life. No one has the right to take another person’s life. According to Islam, one who wrongfully kills a person is as guilty as if they have murdered all of humanity; likewise, one who saves one person’s life is as blessed as if they have saved all of humanity.
Safeguarding the freedom of all people: God Almighty created every human being free and equal. At the same time, it is certain that this freedom has boundaries. We do not have the prerogative to do anything we want; if we had such freedom this would violate the freedoms of others.
The consideration of conscience: When a person has a well- functioning conscience, this allows them to differentiate between good and bad. The value of such a conscience can be better understood if one observes outward consequences. A person who engages in incorrect behavior cannot be said to have a functioning conscience. Islam assigns great importance to have a conscience that helps one to be concerned for the happiness and guidance of all humanity.
To this end, it encourages pity towards those who have a faulty conscience and tries to bring them in the right way. One can never try to control or rule another person’s conscience; this is the province of  God alone.  Each person will be rewarded or punished for what is in their conscience. However, this does not mean it is wrong to admonish or advise a person who has a bad conscience if the idea is to help the person.
Protecting freedom of mind: Any thought or opinion, right or wrong, must be approached in a scholarly manner. This is the only way for a truth to be discovered, and it is also the only way for society to prove the harmfulness of false ideas.
Protecting the honor and reputation of individuals: In Islam, everyone has the right to maintain their honor and dignity. Any attack against honor or dignity, we have been taught, will be gravely punished. It is, for this reason, that gossip, slander, ridicule, the cursing of others and saying negative things about others are absolutely forbidden in Islam.
The preservation of other people’s property: It is also forbidden to usurp the property or possessions of any other person. What is earned by a person belongs strictly to that person? This is essential for the development of a civilized society. It is reasonable and necessary that the individuals who make up society will have different degrees of wealth, according to their profession and training.  In a fair and equitable society, all should be grateful for and satisfied with their own portion.
8 notes · View notes
pagisudahdatang · 3 years ago
Text
Bukankah mentari tak pernah meminta imbalan kepada bumi karena sudah menyinarinya? Begitulah kebaikan yang kita lakukan kepada orang lain, sayang. Tak perlu mengharap mereka membalas kebaikan kita dengan hal yang sama atau lebih. Cukup kebaikan tulus kita nanti yang menjadi bukti di hadapan Allah bahwa kita hidup di dunia sejatinya hanya untuk melakukan apa-apa yang Allah cintai. Kalaupun kita ingin mengharap balasan, biarlah kebaikan kita barbalas pahala dari Allah dan berbuah kebaikan lainnya yang Allah berikan kepada kita. Cukup gantungkan harap kita kepada Allah, jangan kepada manusia. Cukup kepada Allah, sayang. Cukup hanya kepada Allah.
@terusberanjak
125 notes · View notes
pagisudahdatang · 3 years ago
Text
31 dan 27
Itu adalah angka usia saya dan istri di tahun 2021 ini. Rasanya kalau diingat-ingat, dan seringkali jadi bahan tertawaan kami setiap hari, dulu saya menikahi istri saya tepat sebulan setelah hari ulang tahunnya yang ke-22, lima tahun lalu pada tahun 2016. Muda sekali! Pantas saja kalau dulu labil sekali.  Apakah kami termakan kampanye menikah muda pada saat itu, kalau saya sendiri enggak, keputusan yang kubuat pada usia menjelang 26 tahun saat itu, sudah kupikirkan baik-baik, didukung dengan kesiapan yang sudah kucicil sejak beberapa tahun sebelumnya. Kalau istri, kayaknya dia terpesona dan terbujuk rayu sehingga mau menikah denganku saat itu. Hahahaa.. Kami pernah ngobrol beberapa bulan lalu, kalau bagi istri, fase Quarter Life Crisisnya bukan seperti teman-teman sebayanya. Dia baru mengalami krisis ketika di dalam pernikahan, mencari makna dirinya, perannya, tujuannya, dan lain-lain. Dan di kondisi tersebut, ternyata peranan memiliki pasangan yang terpaut usia agak jauh itu sangat membantu, ujarnya. Karena saat istri mengalami krisis, saya lebih stabil, lebih lempeng, lebih objektif dan logis. Dan lebih tenang menghadapi istri yang uring-uringan menjadi jati dirinya. Baru di usia 26 menjelang 27 ini, dia lebih bisa menerima semua kondisi, keadaan, lebih mengerti peran-peran yang mau diambil, tujuannya, dll. 
Kalau ada yang bilang bahwa menikah muda itu akan nge-skip fase krisis, enggak ternyata, dalam kasus kami. Menikah, di usia berapun, tidak akan menyelesaikan semua masalah hidup. Ia menyelesaikan beberapa masalah, tapi sekaligus menambah masalah. Apalagi, kalau kamu menikah dengan orang yang tidak tepat, yang tidak bisa diajak diskusi, diajak berpikir ke depan, pemalas, itu masalahnya akan makin banyak lagi.
Apakah dengan kondisi kami dulu, kami akan menyuruh-nyuruh orang lain untuk segera menikah, semuda kami dulu? TIDAK! Kalau kalian bisa memilih menikah dalam kondisi yang lebih stabil, khususnya secara kematangan emosi, itu akan lebih baik menurutku. Kami memiliki supporting system yang mungkin berbeda dengan teman-teman, bahkan ibunya istri menikah di usia yang mirip, jadi pengalaman itu diberikan ke istriku yang menikah di usia tsb.
Kalau semuda itu kalian ingin menikah, kata istriku,”Untuk teman-teman yang perempuan, carilah pasangan yang memiliki sikap lebih dewasa, karena kalian akan uring-uringan sama diri kalian sendiri. Apalagi, saat kamu melihat teman-teman sebayamu bisa bebas berkeliaran, tanpa memikirkan ngurus rumah dan anak, bisa sekolah lagi, keluar negeri, bekerja dengan penghasilan sendiri. Dan kamu tenggelam dalam urusan rumah tangga yang tak ada habisnya. Akan sangat merepotkan jika pasanganmu tidak cukup bijak dan dewasa menyikapi krisis yang kamu hadapi.”
Alih-alih mendukung dan mendorongmu untuk berkembang, malah mengekangmu semakin erat. 
Menikahlah saat kamu siap, berapapun usiamu itu bukan masalah. Carilah pasangan yang benar-benar bisa membuatmu semakin bertumbuh, yang bisa cukup bijaksana dalam menyikapi karaktermu, mimpi-mimpimu, dan semua hal yang nanti akan terjadi. Bangunlah supporting system yang kuat, kalau itu bukan keluarga terdekatmu, milikilah teman-teman yang banyak sekaligus baik. 
Betapa banyak di sekitar kami, rumah tangga yang berpisah, ataupun tetap berjalan meski sudah tak ada tujuan- demi anak- demi nama baik keluarga. Kita bisa belajar dari semua hal itu, untuk bersiap lebih hati-hati. Kita bisa belajar dari keluarga orang lain, jangan sampai mata dan batin kita tertutup oleh hasrat dan keinginan kita yang menggebu, tapi lupa untuk membawa  pelajaran-pelajaran penting yang bisa kita petik dari siapapun. ©kurniawangunadi
533 notes · View notes
pagisudahdatang · 3 years ago
Text
Jangan Siakan
Pesan untuk lelaki yang sudah menikah. Seseorang yang saat ini berada bersamamu adalah seseorang yang dulu kamu pilih dengan sadar. Bahkan, dengan perjuangan. Orang yang menemanimu saat ini adalah orang yang dulu begitu dicintai oleh orang tuanya, diberikan semua yang ia butuhkan, diberikan keleluasaan untuk bergerak mengaktualisasikan dirinya, menjadi dirinya sendiri dengan segala mimpi dan cita-citanya.
Jangan sampai karena dia menikah denganmu. Hidupnya yang dulu berwarna, kini menjadi kelabu. Mimpi-mimpinya yang dulu selalu diupayakan jalannya oleh orang tuanya, kau belenggu, diikatnya hingga tak ada lagi harapan yang tersisa untuk mimpinya menjadi kenyataan. Alih-alih kita membantunya mewujudkan, malah mematikan.
Jangan sampai karena menikah denganmu, ia kehilangan dirinya sendiri hanya karena dituntut untuk terus menjadi seperti apa yang kamu mau. Mendiktenya harus ini dan itu. Mengerdilkannya dengan membuatnya semakin tak berdaya dan tak berarti. 
Kamu memang tidak mengikatnya dengan tali, tapi keberaniannya telah mati, hatinya telah mengecil, mimpinya telah hilang, dan kepercayaan dirinya telah runtuh. Menikah denganmu, bukannya menjadi bahagia malah sebaliknya.
Orang yang saat ini berada bersamamu, adalah orang yang dulu begitu diperjuangkan oleh kedua orang tuanya. Dibesarkan dari kecil hingga dewasa, saat kamu datang mengambilnya. Mungkin juga saat kamu berhasil memenangkannya, ada orang lain yang saat itu juga begitu mencintainya, memperjuangkannya, dan memperlakukannya dengan begitu terhormat. 
Tapi kamu tidak, merusaknya, menginjak-injak harga dirinya. Hingga ia tak lagi memiliki energi untuk menghadapi hari demi hari yang begitu kelam. Kamu telah menyia-nyiakannya. 
Jangan sampai, kita menjadi demikian.
880 notes · View notes
pagisudahdatang · 3 years ago
Text
karena aku sangat mudah untukmu
karena aku sangat mudah untukmu.
kamu tidak perlu lelah-lelah berjuang, sebab aku tidak mungkin sampai hati membiarkan orang yang ingin memperjuangkanku berjuang sendirian.
kamu tidak perlu repot-repot membuat dirimu diterima, sebab aku selalu bersedia mengambil tanggung jawab untuk lebih dari menerima–yaitu memaafkan, melupakan, bahkan melepaskan.
kamu tidak perlu pusing-pusing memikirkanku, sebab aku sungguh selesai dengan diriku sendiri. sebab masa depanku adalah rangkaian rencana yang bisa diganti. sebab ambisiku selalu (hanya) sekeras tangan yang menggenggam pasir, secukupnya mencukupkanku.
kamu tidak perlu khawatir tentang apapun, sebab aku bisa mengikutimu ke mana pun. aku bisa diajak berjalan, berlari, merangkak. aku bisa bertahan pada segala musim dan cuaca, bisa berteman dengan segala rasa dan nuansa.
karena aku sangat mudah untukmu, semoga kamu merasakannya: bahwa yang mudah didapatkan, belum tentu tak berharga.
semoga aku sangat berarti untukmu.
5K notes · View notes
pagisudahdatang · 3 years ago
Text
Pelajaran Hari Ini
Memang ya, komitmen itu hal yang sulit. Bahkan, saat kita mau “menegakkan” komitmen, ada rasa kasihan. Tapi saya jadi ingat kata guruku bahwa komitmen itu dibangun bukan di atas rasa kasihan, tapi rasa percaya dan kesalingan. kurniawangunadi
513 notes · View notes
pagisudahdatang · 3 years ago
Text
Lama juga ga nulis disini :)
Setiap ada yang mendekat mengapa selalu engkau patahkan harapanku dengan kalimat "minder karena kamu pinter, dan berpendidikan tinggi"
Lalu, berulang kali ku jelaskan tetap saja dirimu merendahkan diri. Lalu, aku berpasrah lelah dengan asumsimu sendiri.
Wahai engkau yang nanti membersamai, dan kelak menemani. Ingin ku sampaikan meski berulang kali, bahwa perempuan berpendidikan itu bukan untuk menyaingi dirimu atau kelak menjadi pembangkangan seperti asumsi yang sudah-sudah, tapi perempuan berpendidikan semata-mata untuk dirinya sendiri, untuk menuntun akhlak dan sikap adab sebagai seorang makmum kepada imamnya.
Bukankah belajar itu sepanjang hayat ? dan seni paling unik adalah seni mempelajari manusia? Keduanya adalah ilmu yang harus terus dipelajari sepanjang waktu.
Bagaimana jika kita menjadi partner of life, menjadi team work yang baik dalam mendesain masa depan ? Seperti kisah romantis, Rasulullah bersama dengan Khadijah... MasyaAllah.
Kalaupun kita tak mampu, kita masih ada Allah azza Wajalla sebagai pencari jalan keluarnya.
Gimana ? Setuju ?
Yuk saling membersamai :)
0 notes
pagisudahdatang · 5 years ago
Text
Aku bisa apa saat jatuh cinta pada manusia
Aku bisa apa saat ingin mendekat padanya
Dan
Aku bisa apa saat ingin ia tahu aku menyimpan rasa
Ternyata,
Aku hanya bisa berdoa
Melangitkan rapalan semoga
Agar diriku tak terlalu berharap padanya
Agar diriku sadar jika hanya boleh berharap kepadaNya
Yang Maha Membolak balik hati manusia. Allah Taa'ala
Jepara, Juni 2020
(c) Pagi Sudah Datang
2 notes · View notes
pagisudahdatang · 5 years ago
Text
Renungan Pribadi Soal Takwa
Disclaimer: ini bukan tulisan edukasi tentang konsep takwa. Ini sepenuhnya refleksi pribadi saya. Tidak disarankan untuk menjadikannya referensi. Mohon diproses dengan pikiran sendiri, tidak ditelan bulat-bulat. Jika tergelitik, silakan lakukan penelitian dan perenungan sendiri.
* * *
Pasti kita udah sering denger terminologi “takwa”.
Kalau ditanya apa itu takwa, kebanyakan orang akan menjawab: “Menaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya.”
Saya ngga pernah puas dengan definisi itu. Maaf ya, izinkan saya jujur secara brutal, definisi itu normatif dan ngga inspiring. Ngga menggugah selera untuk bersemangat mendapatkannya. (Pahami bahwa saya bukan bilang takwa itu ngga menarik, tapi pemaknaan/penafsiran kita atas konsep takwa yang belum memuaskan).
Iya, menurut saya, kalau sesuatu itu penting menurut sunnatullah (atau hukum alam, versi bahasa universalnya), maka secara alamiah pasti kita akan tertarik ke arah sana. Maka, saya curiga, jangan-jangan ada definisi yang lebih dalam, lebih menggugah, lebih membuka kesadaran daripada yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Misalnya, siapa sih orang waras, berakal yang dalam hidupnya ngga pernah bertanya “Kenapa aku ada?”, “Untuk apa aku ada?”, “Apa yang penciptaku inginkan dengan menciptakan aku ke alam ini?”. Saya percaya ini pertanyaan yang universal, yang kalaupun ngga diajarkan di sekolah, secara alamiah kita akan mempertanyakan ini, cepat atau lambat.
Pertanyaan-pertanyaan itu penting. Mereka akan mendorong kita mencari Tuhan, memahami diri kita, mencari petunjuk dari Sang Pencipta–yang semua jawabannya sudah dipersiapkan oleh Allah untuk kita temukan. Karena itu, Allah sudah tanamkan stimulusnya berupa rasa penasaran yang instingtif. Kita tertarik untuk mengenali pencipta kita secara alamiah.
Nah, takwa itu disebutkan di berbagai ayat Al-Quran, menjadi tujuan dari berbagai perintah–yang salah satunya puasa di bulan Ramadhan, maka pastinya penting. Kalau penting, pastinya insting alamiah kita akan bereaksi secara positif (tergugah, terinspirasi) jika kita memahaminya dengan cara yang seharusnya.
Temuan Saya Akan Makna Takwa
Singkat cerita, saya menemukan definisi takwa yang memuaskan bagi hati saya. Saya menemukannya dalam tafsir Al-Quran “The Message of the Quran” karya Muhammad Asad. Definisinya:
Kesadaran akan kemahahadiran-Nya dan keinginan seseorang untuk membentuk eksistensinya berdasarkan kesadaran ini.
Atau sederhananya, takwa adalah “kesadaran akan hadirnya Allah”.
Buat saya, definisi ini lebih memuaskan daripada yang selama ini saya terima. Coba kita tempatkan kedua definisi takwa dalam konteks perintah puasa Ramadhan.
Dalam definisi takwa pertama, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dalam definisi takwa kedua, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan agar kita selalu sadar akan kehadiran Allah.
Kita tempatkan juga kedua definisi takwa itu dalam konteks ayat permulaan Al-Baqarah.
Dalam definisi pertama, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.
Dalam definisi kedua, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang sadar akan kehadiran Allah. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.
Gimana?
Apa lebih bisa dipahami? Apa lebih membuka kesadaran? Apa lebih menggugah? Kalau buat saya, iya banget.
Contoh Implementasi Pemaknaan Takwa
Ketika berpuasa, kita bisa aja minum atau ngemil di siang hari, selama ngga ada manusia yang liat. Tapi yang menahan diri kita apa? Kesadaran akan hadirnya Allah, yang mungkin ngga begitu kita ingat kalau kita ngga puasa.
Ketika berbuka, kita seneng banget tuh, kita berdoa sebelum berbuka, “Ya Allah, terimalah puasaku dan segala amal ibadahku hari ini”. Lagi-lagi, kita distimulasi untuk menghadirkan kesadaran bahwa apa yang kita lakukan ini disaksikan oleh Allah.
Dari situ, sebenarnya kita bisa lihat bahwa menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (khususnya shaum Ramadhan) adalah jalan menuju kesadaran akan kehadiran Allah.
Dengan syarat, ketaatan dalam perintah dan larangan-Nya dilakukan dengan benar ya: kalau shalat khusyu’, kalau puasa ikhlas (mindful, aware, niat dari dalam hati), kalau sedekah bukan untuk ngebuang recehan.
Nah, kesadaran akan kehadiran Allah juga akan memperkuat kemampuan seseorang untuk menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (”Oke, mau menghadap Allah nih, masa’ aku shalat pake baju bekas bobo?”). Jadi, saya pikir ini seperti continuous feedback loop.
Tips Mengasah Kesadaran Akan Kehadiran Allah
Oke, meskipun ini perenungan pribadi, karena ini dipublikasikan maka saya tetap harus bertanggung jawab menutupnya dengan baik.
“Mengasah kesadaran akan kehadiran Allah” adalah closing yang berat, tapi paling engga saya bisa bagikan beberapa usaha saya untuk melatihnya.
Pertama, bangun mental model hubungan antara kita dan Allah yang lebih personal. Alih-alih berpikir bahwa kita cuma satu makhluk yang ngga signifikan dan mungkin ngga Allah pedulikan karena Dia “sibuk” dengan alam semesta dan manusia lain yang istimewa, ingat bahwa Allah juga Maha Dekat, Maha Tahu, Maha Mendengar, Maha Menyayangi, Maha Memperhatikan sehingga kamu bisa berkomunikasi secara personal dengan Allah.
Dia tidak seperti manusia yang kalau banyak kerjaan pusing dan skip, Dia menunggu kamu untuk datang kepada-Nya. Berkomunikasi, berterima kasih, meminta maaf, berharap, menangis.
Ingat juga bahwa Dia available setiap waktu, ngga cuma di waktu shalat–misalnya. Lagi kerja, lagi ngasuh anak, lagi beberes rumah; lagi senang, lagi marah, lagi sedih; kamu bisa berkomunikasi dengan Allah tentang hal seremeh apapun.
Kedua, pahami bacaan dan doa-doa dalam ibadah. Iya, misalnya bacaan shalat, coba dipahami. Caranya jangan cuma baca artinya secara keseluruhan, tapi pelajari kata per kata.
“Rabbi”–wahai Tuhanku, “ighfirli”–ampuni dosaku, “warhamni”–sayangi aku, “wajburni”–cukupilah aku, “warfa’ni”–tinggikan derajatku, “warzuqni”–berilah aku rezeki, “wahdini”–berilah aku petunjuk, “wa’afini”–sehatkan aku, “wa’fu’anni”–maafkanlah aku.
Bisa pelajari juga akar katanya, misal “ighfirli” dari kata “ghafara”, yang artinya “mengampuni”, asal maknanya “menutup”. Wah ini bisa didalami lebih jauh lagi, silakan cari sendiri ya.
Sedikit belajar Bahasa Arab, biar setiap kita mengucapkan doa dalam shalat, hati kita tahu betul kita sedang berkomunikasi apa dengan Allah.  Biar setiap beristighfar, bertasbih, bertahmid, hati kita benar-benar mean it.
Ketiga, sering-sering mikirin what this life is all about. Bayangin setelah membaca ini kamu terkena serangan jantung lalu meninggal, kamu ngerasa siap apa engga? Kalau engga, kenapa? Karena ngga ada amal yang bisa dibanggakan? Kalau gitu itu PR kamu, segera bikin amal yang bisa kamu banggakan saat dihisab nanti.
Atau karena banyak dosa? PR kamu adalah taubat + mengubur dosa-dosa dengan amal baik yang banyak.
Kalau ingat bahwa kita belum siap dihitung amal dan dosanya di hadapan Allah, kita jadi bisa melihat apakah karir, bisnis, investasi yang kita upayakan itu adalah sarana mempersiapkan diri atau menjadi distraksi dari apa yang benar-benar penting.
Coba bikin daftar yang harus kamu siapkan agar jika suatu hari kamu terbaring di rumah sakit, sadar ga lama lagi kamu akan mati, hati kamu ngerasa tenang dan siap menghadap Allah, seperti yang dideskripsikan di Al-Fajr:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”
Misalnya, jika profil kamu adalah seorang ayah dan suami:
1. Sedekah rutin untuk anak yatim (misalnya ini amal andalan kamu) 2. Istri dan anak yang siap ditinggalkan secara mental dan bertekad untuk menyusul saya di surga (melanjutkan berbagai amal sholeh sepeninggal kamu) 3. Rumah untuk anak dan istri biar mereka punya tempat bernaung 4. Passive income untuk menafkahi keluarga meski saya ngga ada, biar mereka ngga susah dan menyusahkan orang lain (3 dan 4 sekilas materialistis, tapi tujuannya bernilai amal sholeh)
Itu daftar simplistik dan contoh aja.
Poinnya adalah sering-sering melatih diri kita mengingat apa yang paling esensial dalam hidup (yaitu siap ketika sudah saatnya kita menghadap Allah) dan mengkalibrasi terus menerus kesibukan kita supaya selalu dalam kerangka membuat Allah ridha sama kita.
So, mari kita membangun, mengasah, dan menjaga kesadaran kita akan ke-Maha-Hadiran Allah.
Wallahu’alam.
2K notes · View notes
pagisudahdatang · 5 years ago
Text
Bergeraklah, tak hanya berdoa.
Doa adalah senjata, berikhtiar adalah tentang bagaimana kita menggunakan senjata itu. Agar senjata itu tidak hanya disimpan tatkala kita akan berangkat berperang, mengikhtiarkan apa-apa yang ingin kita miliki dalam kehidupan kita. 
Agar kita segera tahu, jawaban apa yang kita dapatkan dari doa-doa itu. Agar kita tidak lama-lama mendoakan sesuatu yang memang tidak ditakdirkan untuk kita. Agar kita bisa segera beranjak, menuju doa-doa yang baru, mengikhtiarkan yang lain. Agar kita tak berlama-lama hidup dalam asumsi, dalam menduga-duga, dalam ketidakpastian yang kita buat sendiri.
Nanti, selepas bertahun kita melewati jawaban-jawaban itu. Kalau memang tidak ditakdirkan untuk kita. Kita akan mendapati bahwa takdir itu adalah yang terbaik, apalagi setelah kita pernah memperjuangkannya. Kita akan memiliki himpunan hikmah yang lengkap, kita akan mememiliki pengalaman berharga dari semua doa dan ikhtiar yang pernah kita lakukan. Meski, tak pernah menjadi takdir kita.
Hingga kini kita menjalani takdir yang lain. Mungkin, sesuatu yang tak pernah ada dalam bayangan kita sebelumnya, sesuatu yang sama sekali tak pernah ada dalam rencana-rencana kita sebelumnya. Tapi, satu hal yang kita tahu, bahwa kita menjalani takdir ini dengan lapang dada.
Karena kita pernah berjuang sekeras itu, berdoa sekhawatir itu. Dan kini kita paham, bahwa apa-apa yang terbaik tidak pernah ada dalam pengetahuan kita sama sekali. 
©kurniawangunadi | 27 Mei 2020 | 03.50
862 notes · View notes
pagisudahdatang · 5 years ago
Text
Jangan Berhenti Melangkah
Kita pernah duduk bersama-sama di dalam bumi yang sama. Meski kita duduk sendiri-sendiri dikursinya masing-masing. Kita pernah berpapasan di jalan ketika menikmati sore hari. Meski kita tidak ingat lagi kapan itu terjadi. Sebab kita tidak saling kenal. Kita bergerak seperti daun-daun yang jatuh. Tidak mampu menggerakkan dirinya sendiri. Pasrah dihempaskan angin kemanapun membawanya pergi. Kita menggantungkan pada takdir, percaya bahwa kita akan jatuh di tempat yang sama. Meski kemungkinannya sangat kecil, kita percaya itu mudah bagi Tuhan. Ku kira perjalanan kita sangat panjang. Kita belum bertemu, masih sibuk menyelesaikan urusan kita sendiri-sendiri. Sibuk menata banyak hal, menyelesaikan masa lalu, menghidupkan hari ini, dan merencanakan masa depan. Perjalanan kita masih jauh. Setiap langkah kaki kita akan mendekatkan kita. Jangan berhenti.
Bandung, 19 Juni 2014 | ©kurniawangunadi
Jangan Berhenti Melangkah versi Suaracerita bisa didengar di X
2K notes · View notes
pagisudahdatang · 5 years ago
Text
Pekerjaan Mencintai
Masing-masing kita mungkin memiliki satu nama yang tersimpan rapi di dalam kepala, yang saban hari kita langitkan doa untuknya.
Masing-masing kita mungkin pernah jatuh cinta sendirian. Memeluk rasa dalam senyum paling rela. Mencintai dari jarak yang tak terlampaui.
Masing-masing kita mungkin pernah memilih untuk tidak bergerak, tetap di tempat seraya menikmati tiap rasa yang menggebu seorang diri. Tidak berusaha pergi, pun tidak juga memaksa agar diingini. Kita hanya membiarkan perasaan itu mengalir apa adanya. Tidak menuntut agar diberikan balasan atau apresiasi lainnya.
Bukan tidak ingin pergi tapi lebih kepada menyadari. Bahwa berbalas atau tidak, diketahui atau tidak, disambut baik atau tidak, itu tetap cinta.
Bukan tidak ingin beranjak dari rasa yang tak bertepi, tapi lebih kepada menyetujui. Bahwa seiring berjalannya waktu, rasa yang tidak disambut itu akan hilang dengan sendirinya.
Jika benar suatu hari pun ia akan hilang tanpa diminta, lalu untuk apa buru-buru menghilangkannya?
Bukankah memaksa lupa justru akan semakin melekat indah?
Mungkin masing-masing kita pernah melalui jatuh cinta sendiri. Perasaan tulus yang kita miliki itu dianggap tidak memiliki arti.
Mungkin masing-masing kita pernah tetap berdiri di tempat seraya menikmati tiap dentuman keras di dalam dada. Menikmati tiap debar yang dibalut oleh perih pengorbanan.
Mungkin seperti itu pula yang dinamakan pekerjaan mencintai. Kita memberi banyak padanya. Perhatian, penerimaan, telinga untuk mendengarkan, bahu yang dibutuhkan untuk sandaran. Kita memberi tanpa pamrih.
Bahkan meski tidak diakui, meski tidak diingini, meski rasanya bukan untuk kita tapi tetap saja kita mencintainya.
Kita tidak menyangkal perihal rasa yang ada dan juga tidak buru-buru untuk melupa.
Sebab kita paham, pekerjaan mencintai bukanlah tentang apa yang kita peroleh. Namun apa yang kita beri.
Lalu hanya karena kau tidak menyambut baik perasaanku, kemudian membuatku harus menjauhimu?
Tidak! Kehadiranku bukan untuk melawan takdir. Kehadiranku memang untuk mencintaimu.
Sampai kapan? Sampai perasaan ini luruh bersama waktu.
Kau tidak perlu lari karena aku tidak akan mengganggu.
Aku tetap di sini, di tempatku berdiri. Tidak berjalan maju namun tidak pula mundur walau selangkah.
Kenapa? Karena maju berarti memaksa, sedangkan mundur berarti kalah. Aku tidak ingin kalah, pun tidak sedang mengalah. Aku di tengah-tengah.
Kau butuh? Silakan datang, aku dengan rela membantumu.
Kau acuh? Tidak apa-apa, itu hakmu.
Pun hakku ketika memilih untuk tetap mencintaimu.
09:11 p.m || 16 Juni 2020
65 notes · View notes
pagisudahdatang · 5 years ago
Text
Kamu yang menyukai atau mencintai manusia secara berlebihan itu menjadikan candu, Allah tidak suka pada mereka yang candu, maka Allah berikan luka pada akhirnya. Akan ada, seseorang yang semakin ia dewasa, semakin banyak ia harus mengikhlaskan. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Sampai ia paham perihal rasa itu tidak boleh berlebihan
@jndmmsyhd
2K notes · View notes
pagisudahdatang · 5 years ago
Photo
Tumblr media
Sudah berapa hari menikmati situasi ini ? Segala cara dilakuka untuk merayakan sepi Tenang, moment ini atas ijinNya, Nikmati saja Selagi Pemilik Semesta memberi jeda Tenang, kita lah yang terpilih diberikan kesempatan memiliki ruang sendiri Dari banyaknya miliaran manusia, Dari terlewatnya ribuan masa ================================================== *Jangan bosan ya 🙂
0 notes
pagisudahdatang · 5 years ago
Photo
Tumblr media
#puisi #sajak #catatan #poet #poem #poetry #poetryinstagram #tulisan #indonesia #pagisudahdatang #puisiindonesia #INWA https://www.instagram.com/p/BpvF-45AGjo/?igshid=vnp9irg934h5
0 notes