Jika ingin mencariku, carilah aku di tumpukan resah, hambar, sepi, bersama orang-orang miskin, pinggiran jalan, kaum tertindas, termarjinalkan dan di segala bentuk perjuangan yang dimelaratkan sistem!
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Malam ini hujan jatuh tanpa permisi, tanpa ucapan selamat datang. Tiba-tiba hinggap di kepala, tiba-tiba menyapa logika, membasuh realitas, menggenangi se-isi dada yang kemudian gemericiknya pancarkan tanya.

Malam ini bukan sekadar membakar puntung-puntung omong kosong. Rokok yang disesap dan segala kepentingan yang diserap.
Hanya aku, aku. Sekali lagi hanya otoritas diriku! Tembok dan kebrutalan zaman yang semakin memperkosa nalar, semakin menghimpit.
Malam ini asupan logis sebatas bualan retorika kosong. Tidak lagi membawa kepentingan komunal yang pernah kita sebut sebagai "Narasi Perjuangan".
Malam ini, ku titip pesan. Pada genangan, pada kenang, pada kelam yang kemudian padam dihantam rajam!
1 note
·
View note
Text
Aku menghentikan tulisanku sampai pada klimaks sesungguhnya. Di jam kecil, Rabu (20/7), nalar tetap memaksa jariku agar tak ada satupun rasa yang perlu dibungkam. Berteriak dari kedalaman rasa, bersembunyi di dalam rongga-rongga diksi, berkamuflase pada setiap prosa yang aku tulis. Hingga jariku tunduk pada nalar, di tunggangi rasa yang membabi-buta!
"Nona"
Berbahagialah di antara kebebasan Nona. Meski tak berkeyakinan cintaku tak fanatik, berisik, berkedok hedonistik. Tidakkah kau ingin bermanja di pelukanku? di antara panji hitam yang kita pakai, di antara chaosnya demonstrasi, di antara kobaran api melalap ban dan taring para tirani.
Nona, bergegaslah dari pangkuan jeratan ideologi. Dari hembusan ketidakberdaya'an, dari tikaman kalimat bualan, dari lelucon paslon yang kerap muncul sewaktu pemilihan.
Bersama kita kuliti patriarki. Utopis para tuan-tuan pendalil hegemoni fantasi. Demi monopoli birahi, simulakrum eksistensi, kehampa'an delusi, representasi tubuh-tubuh pseudo kognisi dan afeksi.
Di sepanjang jalan somnambulis menari-nari. Tunduk kepada mahasuci koorporasi, makro ekonomi, kelanggengan perkawinan doktrinasi. Sampah sisa nazi lahirkan hierarki yang di makan jadi tai.
Perihal perizinan rasialisme, perihal intimidasi si miskin dengan aksi sadisme. Otorisasi tak kenal gentar memoles daster putih serbet melingkar. Kediktaroran dogmatis, bahasa bedil langkah pragmatis, peragakan teatrikal bau amis
Sobekan flanel dalam botol miras. Berjejal serapah poster seruan solidaritas. Jelma'an hantu-hantu trend setter berdaki, pelegitimasi kuratorial otokrasi.
Nona, beralas aspal hitam, setangkai mawar merah kita ledakan di medan insureksi

7 notes
·
View notes
Text
Malam ini aku berencana pergi ke bibir pantai. Teruntuk menuntaskan eskapisku, mengeja dua ratusan malam ke depan perihal aku yang kembali dingin. Menghayati hidup yang konon "bukan sekedar hidup" (sepenggal narasi dari manusia yang pernah berkarir sebagai wartawan, penulis dan pengajar kelahiran Sungai Batang, 114 tahun silam).
Kan ku tenggelamkan namamu, meski yang terjadi nanti di sana di kedalaman kau masih juga memanggilku.
Rindu itu berisik. Jauh lebih berisik dari suara gaduh pengeboran minyak di laut, seberisik janji para elit Negeri Wakanda, seberisik orasi calon pemimpin Nusantara Utopis, seberisik para pembual, penjilat, pecundang, pemikir dan semua yang berlindung di bawah ketiak bahkan selangkangan penguasa.
Lagi pula percuma namamu ku buang ke laut. Kau akan merubah bentuk, menguap ke langit, kemudian turun, menerjang nan merangkulku sebagai hujan.
Sedang aku tidak bisa ke mana-mana, terperangkap di antara kamu yang jatuh, yang akan memeluk, menyapa, mereda, meresap.

0 notes
Text
Di sela-sela kesibukan itu.
Secangkir kopi tiba-tiba menyapa menggandeng senyum sumringah perempuan. Di pelataran senja, di kedai kopi sederhana. Pria itu berkutat dengan laptop mininya, sesekali angin pantai mengobrak-akbrik gendang telinga, riuh bising kota mengacak logika.
Deruh mesin-mesin pengangkut manusia pun tak henti. Satu per satu kemudi kapal berenang ke seberang lautan luas hilang tiada jejak. Dua bola mata setia pandangi warna jingga yang sesekali sembunyi di balik pulau Manado Tua, tampak malu menyapa, takdir pun tereja.
Sontak, perempuan itu mendekat tawarkan korek. Sebab sebatang rokok yang terapit di jari tak kunjung membara. Lesung di pipi kiri membentuk Tornado, bibir merah bunga revolusi mekar, hidung bak Cartenz Pyramid menusuk langit, kelipan mata seirama dentuman Big Bang, semua menyatu tampil di kepala sewaktu pria itu menyeduh racikannya.
Rambut hitam terurai persis Chute de la Druise, wangi bunga Kamboja menyelinap masuk saling berdesakan sewaktu bau tubuhnya melintas. Tetiba semesta hening, lalu-lalang kehidupan jeda, di tangan kiri jarum jam enggan melangkah, hembusan angin menghilang tiada bergeming, sewaktu perempuan keluarkan kata dari kerongkongannya. Rimba sang pria melalang buana....
Sontak, Pria itu coba kendali. Senja pun cemburu. Di sore itu, sekali lagi kopi di seduh, rokok di sesap, namun bayang sang perempuan bertahta di ingatan. Puisi, kopi, senja terlukis di wajahnya. Sempurnakan hari itu, besok, lusa dan kemudian.
0 notes
Text
Bukan karena terlalu nyaman sampai berharap, hingga seolah terluka oleh harapan sendiri. Di sudut kemungkinan, tercipta sekat, membatasinya mengelilingi tabir keinginan.
Dan sejauh ini, kita hanya sebatas sesal yang saling menyalahkan. Keegoisan di balik runut seakan tak mampu menjawab segudang tanya tentang perihal pemergian yang tak bersebab. Bukankah, dulu kita juga hanya pandai merangkai janji, buat kesepakatan dari beribu perjalanan yang pernah kita sepakati?
Jujur saja, kali ini segudang rindu menyapa di malam yang barusan berganti hari. Seolah tumpukan episode telah siap tayang, membentangi layar-layar agar para penonton terkesan atas cerita sutradara yang tiada lain kita sendiri.
Memori membalutnya, memoles sekian indah dengan narasi-narasi kebohongan yang menyesakkan. Lalu, kita pun termenung dari sudut berbeda, kita pun meratapi kesia-siaan, kita pun mengingatnya meski kini telah terlarang, kita pun meneteskan air mata, sembari berucap agar kisah lalu bisa kembali di esok hari saat mata menyapa pagi.
Kala pesan di hapeku tertera namamu yang aku inisialkan seistimewa mungkin, taktala saat aku lama membalasnya, kau pun dengan tergesa bercampur kekhawatiran menelepon. Dan yah, suasana itu kini sekedar imajinasi.
Kita pun asing, dulunya saling tatap, berjanji agar menetap, namun tempo itu kau tetap berangkat. Bukan soal kau akan berlayar, namun perihal hati tak lagi sejalan dengan ego yang kita cipta sendiri. Saling menyalahkan guna membenarkan dan memuluskan tujuan sesungguhnya.
Empati, serta simpati atas dua hati terpatri memecah kesunyian dan kebuntuan saat aku mengingat yang telah tiada. Sabdaku teruntuk seorang, yang jemarinya dulu pernah ku pegang erat untuk tidak beranjak, namun pada akhirnya mengelak serta berujung sesak.

1 note
·
View note
Text
Sejak kamu pergi, rinduku berubah menjadi sajak-sajak patah. Aku ingin menjadi arwah tinta yang setia mengikuti arah gerak pena, menuliskanmu pada kertas kehidupan, serta pada waktu yang akrab kita menyapa senja.
Kaulah senja teduh yang ku rindukan. Di ruangmu sajakku bersembunyi dari kemegahan fana dunia. Hingga nampak warna aurora yang melahirkan kekaguman jiwa. Aku merindukanmu seperti takdir wangi bunga Kamboja yang terasing sunyi di jari-jari sang pujangga.

0 notes
Text
Sekali lagi aku menyeruput kopi dengan berisik, bunyi yang penguasa benci dan jengkel. Seperti bunyi lewat corong-corong berkabel kala menuntut, tangis lapar rakyat di pinggiran sudut kota, suara hentakan kaki orang-orang pedalaman yang lari saat mesin-mesin membongkar hutan, keresahan para petani kala garapannya diklaim penguasa, serta jeritan bayi saat kehabisan susu. Ah...keparat!

1 note
·
View note
Text
Mulut bisa dibungkam, tapi siapa yang bisa menghentikan puisiku?
Jika ingin mencariku. Carilah aku di tumpukan resah, hambar, sepi bersama orang-orang miskin, pinggiran jalan, kaum tertindas, termarjinalkan, di segala bentuk perjuangan
Aku tak bersemayam di atas lantai marmer, gedung bertingkat, rumah mewah, di balik kesenangan mengorbankan kesedihan, di balik kepentingan memperalat kepura-puraan, di atas suka memperalat duka, melainkan di balik kebenaran untuk terus bersuara dan bertindak, memberontak dan melawan teruntuk kebengisan berbalut penjilatan
Begitulah kerakusan dan ego manusia. Selalu berkeinginan memiliki, menguasai, mengkangkangi, mengkandangi apa-apa yang dirasa indah. Semakin menggiur sesuatu, semakin besar resiko, untuk menjadi korban keegoisannya
3 notes
·
View notes
Text
Apa kabar Dorothy Day? apa kabar Chairil? apa kabar Wiji? apa kabar Ananta?
Angkuh, seolah-olah sulit direngkuhego, logika berkelit mengukur dalam pengakuan nurani. Segelintir manusia hobinya beralibi. Tampil bak 'Pencuri dan Anjing-anjing' yang impresionis.
Teruntuk yang sudah tiada. Yang masih ada hingga kini meski tumbuh di tanah oligarki. Yang tercantum secara resmi, yang dinyanyikan sembunyi-sembunyi, yang sengaja dihilangkan dari sejarah
Teruslah bersuara meski dari dalam kubur, sebagaimana narasi-narasi yang pernah menggonggong . Pukul 03:45 aku terbangun dari jaga, dari penjahat, dari penjaga istana garang. Dering hanphone tanpa henti mengetuk telinga yang sedang asyik bermimpi soal khatulistiwa yang dulunya permai bak surga, padahal surga telinga. Ternyata oh ternyata, nomor tak di ketahui seakan mencoba akrab. Persis penculik aktivis yang selalu ramah, dagang bakso pakai borgol dan senapan
Dalil agama, undang-undang, sampai Zoroaster muak! Cuan, tuan, Tuhan, apaan? Masihkah Tuan dan Puan penguasa manusia? Atau hanya sebatas belatung yang selalu siap melahap insan yang baru di timbun? Masikah Tuan dan Puan penguasa berharga diri? Atau hanya memperkaya diri, di balik esensi aturan para pejabat, saudagar, kolega, hingga kerabat?
Cuih! sejenak ku ludahi jalan serta wajah-wajah garang para pembangkang. Aku adalah antitesa dari segala yang pasti dan konstan. Negeriku sekedar Utopis, tak lebih dari tempat para Orang Kaya Baru, Pseudo-Intelektual yang kebelet ingin memamerkan milik dan otaknya yang hanya sebesar kacang
0 notes
Text
Aku sendirian. Tidak ada yang peduli aku ada atau tiada. Sebab keinginan meramu kesendirian ialah sebuah keputusan menjadi tuan di atas dirinya sendiri.
Aku telah bebas. Bebas dari segala opresi, dari belenggu waktu dan hantaman zaman. Telah aku berdiri di pijakkan kakiku sendiri, menumbangkan segala stigma yang selama ini membodohi, mengintervensi segenap keinginan. Hingga buatku muak, melebihi kemuakkan Hera.
Seorang yang memiliki antusiasme kepekaan untuk dapat mendalami nikmatnya kretek dan kopi, tidak ada alasan untuk ia tidak mencintai dirinya sendiri.
Adalah kopi dan alam, beberapa hal selain kretek, yang dapat mempersatukan satu orang dengan orang-orang lain. Terutama para pejalan. Itu adalah sebuah trigger diskusi pun keakraban, sebuah alasan untuk hidup bersama dan sederhana, menembus batas yang diciptakan harta, usia, pun tahta. Kali ini aku mencoba untuk menulis bukan pada cita rasa, efek/rangsangan, kadar senyawa, teknik penyajian kopi dan lain sebagainya.
Seorang pria yang rela mengawini kesunyiannya dengan suara alam di malam hari, tempo itu. Nada binatang malam simpulkan isi kepalaku, mengemasnya menjadi puisi. Tetiba suara rengekkan memecah hening, ialah aku taktala sewaktu tersadar dari fantasi yang menyetubuhi hingga subuh.
Rinjani pun memanggilku: kemarilah, telusuri aku. Sebab kesunyianmu tak seberapa denganku. Kemarilah, tidur di pangkuanku biar genap sunyi kita. Lirihku: aku menujumu (di Tahun 2023 mendatang) ...

2 notes
·
View notes
Text
Semalam, sekira pukul 02:00 WITA, tulisanmu tentang sebuah kehilangan muncul di salah satu beranda platform sosial mediaku. Tentang kepergiannya yang tanpa berita dan jejak. Dialah sosok yang begitu bersikukuh kau perjuangkan, seseorang yang menurutmu jauh lebih hebat dari diriku. Bagaimana kabarmu kini?
Sebaris kalimat yang ingin aku tanyakan kepadamu sebagai perwujudan masih peduliku sejauh ini yang tak bisa ku ungkapkan secara langsung. Deretan diksi yang tiba-tiba menguap dari rongga dada untuk mencoba bisa memahamimu sekali lagi. Semoga saja, di tengah ketidakbaik-baik saja dirimu masih tetap kendali dan menghayatinya sebagai bagian untuk menelisik terkait persoalan-persoalan yang terjadi di antara kita di masa lampau. Hanya saja, kini aku telah lebih dewasa dalam memahaminya, untuk merawat luka, maupun menyikapinya sebatas kewajaran atas problematika pada sebuah hubungan.
Di sisi lain, mungkin di waktu itu kita masih terlalu egois untuk saling mengakui, bahwa kita kerap terjerumus di lubang ambigu yang membungkam nalar untuk menyelesaikannya. Aku masih seperti yang dulu, seperti yang kau kenal sejak awal saat mata kita saling bertatap di sebuah keadaan, serta nada suaraku, ritme nafasku, hingga bahkan denyut jantungku masih persis taktala sewaktu tubuhmu ku rangkul di sebuah kesempatan. Jika masih diizinkan aku berdiri di roda doaku kembali, izinkan kebekuan ini kau cairkan dengan hangat tubuh atau api cintamu, agar supaya rinduku terbayar tuntas.
0 notes
Text
Aku akan tetap setia dengan kesepian-kesepian yang semakin meresahkan, dengan untaian waktu yang semakin melelahkan dan bahkan dengan tikaman-tikaman peristiwa yang menyesakkan.
Darimu aku belajar, bahwasanya yang selalu mendekat belum tentu terikat, serta yang selama ini diperlakukan dengan baik ternyata tengah mempersiapkan luka dengan begitu apik.
Aku kini telah merdeka. Merdeka dari rentetan kejadian lampau yang terinisiasi hingga tak bisa terelakkan. Merdekaku manakala tak lagi mengingatmu sebagai seorang yang kerap mengecewakan, melainkan kepada kesadaran untuk membangkitkan aku yang dulu mati suri dari segala kemungkinan.
Sejauh ini aku kerap terperangkap pada pola pikir yang menyesatkan. Taktala kesesatan itu berangkat dari konsep logikaku yang dikawini secara sengaja dengan fantasi. Mengonaninya untuk mencipta sebuah instrumen biar kelak aku di akui. Lambat-laun ketika kesadaran itu bangkit mengikuti ritme, sewaktu aku terperangkap di situasi yang mengharuskanku agar bisa sesegera mungkin untuk menyikapi semua keadaan. Sekali lagi aku kini telah merdeka!
1 note
·
View note
Text
Aku adalah gerimis di malam ini. Jatuh perlahan bersama angin, lalu membawa titik rindu menuju kotamu. Perihal candu menurutmu, ku rasa kita perlu mengeja bersama dan membahasakannya, entah melalui puisi atau analogi-analogi lainnya.
Tetiba rinduku berkecamuk. Merontak di pesisir sewaktu desiran ombak menarik diri. Benar kau berkata tempo itu, taktala kita terjerumus dan haus...
Manado, di keheningan
0 notes
Text
Beberapa waktu lalu aku berada di kotamu. Melandai seiring sekon di tanganku. Memikirkanmu tempo itu bukanlah suatu keharusan, bukan pula kewajiban. Hanya saja aku harus mengakuinya, jika itu harus dan aku wajib berprasangka.
Kau tahu? Segelintir tanya, selaksa jawaban pun menghampiri. Mengecup ruang rasa yang silau. Aku tak menjauh, hanya saja perihal jarak selalu aku jaga.
Melewati setapak yang pernah kita jejaki, pemandangan yang biasa kita sapa, tatap serta pegang tak eratmu, hehehe, sial aku tak habis fikir jika itu yang terlintas. Pertanyaanku perihal senja yang tak nampak dari daerahmu, justru membawa kita pada percakapan yang kian menyentuh seisi kepala.
Sebidang ilusi menyapaku di malam Rabu 20 Oktober, purnama yang tak segan menyombongkan diri seakan memaksaku membingkai wajahmu di antara cahayanya. Maklum, semua tentangmu aku rasa terlarang.
2 notes
·
View notes