Tumgik
personal-columns · 8 years
Text
The Rise of Lo-fi Hip Hop Music
youtube
These past few years, the music industry (or, in this case, should I call myself) saw the introduction and fast rise of some weird, obscure, music genre. To name a few, people’s ears have been spoiled by the likes of Vaporwave (music genre specifically influenced by 70s and 80s rarities of disco music combined with 90s, vintage computer and contemporary Asian aesthetics), Chillhop (a specified music genre which focuses on fusing old, often heard doo-wop music, with electronic beats, mainly having a summer-like sound, made famous by vloggers such as Casey Neistat), and now, this year’s hottest, Lo-fi Hip Hop.
To put it simply, Lo-fi Hip Hop is a so-called new genre, breed by some of the little known, oddly talented musicians worldwide. It focuses heavily on the use of samples of piano sounds, harp sounds, a line from another hip hop song or even from TV shows and cartoons, combined with old school hip hop beat and a little hint of ‘screeching’ sound of a vinyl record. The final product? Magical.
youtube
This type of music –read from some comments off the internet– is good when incorporated with the use of 'medication’.  This can result in the hyper-relaxation state. It’s not a secret that nowadays the demand for this kind of music is on the rise, especially if marijuana are legalized worldwide. People would spend their 4:20 up on the hill, streaming lo-fi hiphop via Youtube.  
Incorporated it with rain, sadness, and loneliness, it can result in a more therapeutic way of treating yourself with both love and feel the pain, without spending so much money. Some even say it as a “study music”, which puts you into more focus on getting things done.  
“In reality, it’s really soothing and relaxing, and you can definitely felt the nostalgic vibe.”
youtube
This type of music has been generating bigger audience in a couple of months, gaining much more recognition in the world-wide-web, especially the TV-like platform, Youtube. Some channels even stream their playlist live, 24/7, filled with day-long playlist and tons of tons of lo-fi hiphop music. If I should give you all recommendations, it has to be Chilledcow, STEEZYASFUCK. They are some of the best playlister that keeps spoiling our ears with sweet music. Musician-wise, Tomppabeats, Eery, Jinsang, are some of the biggest names (and personal favorite) in the industry that has dropped LPs.
youtube
You should try to dig into the cave of this kind of music as they offer a lot of potential in the near future.
youtube
Thank you and happy listening!
0 notes
personal-columns · 8 years
Text
Random Works
Tempted to do something really weird yesterday. Combining old (can also be called vintage by today’s standard) and some wording. That might sound not really that interesting, but it is in fact for me. Decided to spend few hours of my life mix match and mismatch these tidbits to a "decent" level. In the end, I'm thinking of transfer it to a tee or something. I really enjoy doing it, and here are some of the results:
Tumblr media Tumblr media
“Christmas 1970″ combined with The Jackson 5′s “Christmas Album” released in October 1970
Tumblr media Tumblr media
  “Summer! Summer! Summer!” combined with “Street Children in Boston during the 1970s” courtesy of vintag.es
0 notes
personal-columns · 8 years
Text
Photography Files #1 : Stroll Around Sunday
Decided to un-retire my favourite plastic camera, go out, shoot, and make a new segment for a fresh start of this new year. this one is called: Photography Files. 
Today’s theme is stroll around Sunday. Focusing on landscapes and random horizon that some-kind-of-interesting (for me, personally)
All pictures were taken with a cheap billabong 35mm camera. Still take great pictures nonetheless! Hope you enjoy it.
Tumblr media
Taken at Margonda Residence, Depok
Tumblr media
Taken at Crystal of Knowledge, Depok
Tumblr media
Taken at Kebun Raya Bogor, Bogor
Tumblr media
Taken at Stasiun Bogor, Bogor
Tumblr media
Taken at Laguna, North Jakarta
That was it for today’s Photography Files session. See you next Sunday!
0 notes
personal-columns · 8 years
Text
Oneplus 3 : Sebuah Ulasan sang “Flagship Killer” oleh seorang Amatir (Part 1 : Pencarian)
“Flagship Killer”
Sebuah slogan yang menarik dan menantang. Slogan yang sangat berani, seakan delusi, namun ternyata cukup akurat. 
=======================================================
Beberapa bulan yang lalu saya dihadapkan pada kenyataan untuk melenyapkan telepon pintar yang saya gunakan selama kurang lebih 4 tahun, Nokia Lumia 820, yang merupakan ponsel usang dengan sistem operasi Windows Phone. Sebelum menggunakan ponsel tersebut, saya memiliki ponsel dengan sistem operasi iOS, yaitu iPhone 4. Dengan latar belakang tersebut, akan menjadi semakin mengesankan apabila saya berpindah dan mencoba berpetualang dengan menggunakan sistem operasi Android! (selain pula karena ponsel Amazon Fire dengan Amazon OS sangat sulit dicari di Indonesia)
Saya kemudian berselancar dan menyelami internet selama beberapa bulan sebelum membuat keputusan, mencari informasi tentang beragam ponsel dan tekonologi yang rilis sepanjang 4 tahun perjalanan yang menutup mata saya terhadap perkembangan dunia gadget secara nasional maupun internasional. Processor yang telah jauh berkembang....performa GPU...kepentingan RAM... berbagai macam istilah yang tidak terlalu asing di telinga saya terus dalami karena pada terdahulu, saya masih terlalu muda dan naif untuk membuat keputusan ‘besar’ ini. 
Setelah lama mencari, berbagai nama muncul di catatan saya seperti Samsung Galaxy S7 Edge, LG G5, Blackberry Priv, Nexus 6P... Namun diantaranya muncul sebuah nama yang menarik perhatian saya. Oneplus, sebuah merek yang terdengar antah-berantah, sangat asing ketimbang nama besar lain yang sudah jelas-jelas terpercaya. Namun, ponsel mereka, Oneplus 3, memiliki segala spek yang saya pertimbangkan untuk melakukan lompatan besar ke Android. 
Snapdragon 820, Adreno 530 GPU, RAM 6/64, Kamera 16Mp, Fingerprint. 
MSRP : $399 dan $500
Slogan mereka : “Flagship Killer” 
UGHHHH!
I’m sold.
Dengan modal nekat dan penuh percaya diri, saya tertantang untuk menemukan keberadaan ponsel pintar ini. Saya ingin melihatnya, mencobanya dan mendapatkannya, secara fisik, sehingga saya memutuskan untuk mencari di sebuah Mall pusat elektronik di bilangan Jakarta Selatan.
Berikut adalah beberapa percakapan singkat dengan para penjaga toko ponsel di Mall tersebut :
“Mas, ada oneplus?”
“Ha? apaan tuh mas? gapunya kita”
Jawaban tersebut adalah hal yang lumrah ditemukan di berbagai tempat.
“Mas, punya oneplus?”
“Oh, ada”
*Lalu datang, membawa Oppo F1s* “Ini mas”
“Lho, Oneplus mas, bukan Oppo”
“Ha?... Merek apaan tuh, ga jual”
Percakapan tersebut merupakan salah satu hal menarik dari perjalanan saya menemukan hp ini.
“Mba, jual oneplus ga?”
“Ga jual mas, mending Vivo aja, cakep, bisa selfie, RAM gede, lengkap deh murah lagi”
Hal di atas merupakan kegencaran marketing Vivo yang dapat ditemukan di beberapa toko.
Kemudian, saya menemukan sebuah toko dengan etalase berisi barang-barang yang dapat dikategorikan “unicorn” di dunia gadget Indonesia. (Barang-barang yang terkesan sulit dicari sehingga keberadaannya jarang ditemui, seperti mitos unicorn)  seperti Nexus 6p, Blackberry DTEK50, Blackberry Priv, dan diantaranya, saya temukan..... dengan box putih dan aksen merah....Oneplus 3! agak sulit dipercaya setelah perjuangan berjam-jam untuk mencarimu, akhirnya ku menemukanmu! 
Langsung saja saya menawarkan pertanyaan dan melontarkan berbagai macam obrolan. Mulai dari harga, tawar-menawar, spek, garansi, dan lain-lain. Ia mematok harga yang sangat tinggi, kisaran harga Samsung S7 dengan garansi yang terjamin. Agak sulit untuk mempercayai bahwa saya akan membeli ponsel pintar dengan jaminan yang sedikit abu-abu, mengingat ponsel ini tidak masuk secara resmi di Indonesia, karena halangan TKDN (yang menyebabkan pasar ponsel pintar Indonesia hanya berkutat pada Lenovo, Asus, Oppo, iPhone yang sudah lewat masanya atau bahkan Xiaomi), dengan harga yang sangat tinggi. Saya menolak secara halus, dan pergi. 
Saya kemudian mencoba untuk memancing toko-toko lain, bertanya pada pedagang di sekitarnya mengenai keberadaan ponsel dengan merek Oneplus, tipe 3. Hasilnya, ada satu penjual yang tertarik. Ia berkata, akan dicarikan olehnya. Dalam pikiran saya, ia pasti akan ke toko tersebut, mengingat sejauh yang saya tau hanya merekalah pemasok ponsel dengan merek tersebut. 
“Saya ambilin dulu ya mas barangnya”
“Eh jangan dulu mas, saya cuman punya bujet sekian, kira-kira masuk ga?”
“Ya gapapa mas, yang penting liat dulu aja, urusan nanti mah gampang”
Dengan cepat, ia langsung pergi. Saya lihat dari kejauhan, ternyata praduga saya benar. Ia berlari ke arah toko sebelumnya.
Tak lama berselang, ia datang. Membawa kotak berwarna putih dengan aksen merah. Terdapat emboss angka 3 di depannya. Saya agak tidak mempercayainya, ah, namun terlalu berlebihan. Biasa aja kali!
“Berapaan”, tanya saya
“ya, 7 setengah deh mas”
“aduh mas, ga sampe segitu”, jawab saya langsung
Akhirnya, kami bersepakat dengan harga yang cukup jauh dari harga permulaan tersebut (setelah melalui negosiasi alot dengan menampilkan penjaga toko ponsel tersebut pergi kesana-kemari menjadi penengah harga)
Fiuh. Tarik napas dalam-dalam.
YIPIKAYE! Mission Accomplished!
Saya senang bukan kepalang. Sebuah ponsel yang saya idam-idamkan selama ini, telah menjadi milik saya. Telah berada di tangan saya. 
Bagian selanjutnya, Unboxing dan Ulasan lengkapnya, akan berlanjut!
0 notes
personal-columns · 8 years
Text
Amateur Design Series #2
Client: Kelab Nada
Kelab Nada is an upcoming project, founded by guys that have the same vision in music, specifically Indonesian music. Kelab Nada, which roughly translates to "Tone Club"  is a music club, or can also be called a think-tank group as it focuses on curating vintage, unheard-of Indonesian music that is starting to be forgotten by the youths. They are a not-for-profit organization and is privately funded by the duo.
They saw it as a big opportunity as the old music industries of Indonesia is starting to be on the rise, even some see it as a downfall. The "club" began as they were started to get bored of today's music that is polluting the nation, through TVs and other medias. 
They intended to populate the nation's Instagram feed by curating what they called "yesterday's good music" for the masses. Not only for Indonesian but for the global citizen overall. But, as of now, they are still cooking something in their "kitchen” as we speak.
They want their logo to incorporate the element of block notes, so I decided to go with a more well-developed anthropomorphic figure of it.
This is some of my rough mock-up for their logo, still under consideration and further development:
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes
personal-columns · 8 years
Text
La La Land: Sebuah Penyegaran atau Apresiasi Berlebihan?
Tumblr media
oleh D.K. Alit Wedhantara
Dari poster di atas, dapat terlihat bagaimana hebatnya La La Land. Disanjung dimana-mana, mendapat berbagai macam pujian setinggi langit, nominasi pada ajang-ajang perfilman bergengsi, mulai dari TIFF hingga Oscar. Bagaimana anda tidak dibuat penasaran?
Sedari awal perilisan film ini, saya selalu bertanya-tanya dalam benak saya, selain juga rasa penasaran yang menghantui. Mengapa film ini begitu hype di kalangan anak muda, digemari berbagai macam usia, dan meledak di pasaran Indonesia. Bagi saya, fenomena ini merupakan hal yang tidak lazim. La La Land merupakan film yang terbilang obscure dalam deretan film-film dengan penjualan yang top di Indonesia–sebut saja film top di Indonesia diantaranya merupakan film komedi murahan dalam negeri, dan animasi serta film bergenre superhero ataupun kemachoan yang lekat dengan film aksi dari rumah produksi besar luar negeri. Tak biasanya film drama musikal dengan bumbu komedi berbuah manis di pasaran Indonesia. Tak usah jauh jauh, contoh paling sederhana dan terdekatnya adalah kurangnya antusias penonton salah satu mahakarya sinema Indonesia yang direstorasi dan dikonversi dalam resolusi 4K, Tiga Dara (yang, anehnya, masuk dalam kategori yang kurang lebih sama seperti film La La Land!) Mereka keok di pasaran, hanya para manusia antusias yang senang menggali kisah klasik saja (seperti contohnya; saya) yang mungkin bahagia dengan adanya keperdulian ini. 
Kemudian, dari kebingungan tersebut saya mengajukan pertanyaan : Mengapa La La Land dapat mengambil hegemoni penonton?
Asumsi murahan pertama kali yang saya ajukan adalah mengenai Ryan Gosling + Emma Stone. Tak dapat dipungkiri memang kehadiran kedua ‘sejoli’ dalam film itu memperkuat ikatan maya yang terdapat dalam film. Tak dapat dipungkiri pula wajah ayu dan anggun yang dimiliki oleh mereka membius penonton, terutama para anak muda Indonesia. Dengan wajah yang mumpuni dan akting kelas wahid, siapa yang tak kenal mereka berdua? Drama kisah cintanya bersama Andrew Garfield dalam The Amazing Spider-Man dan kehidupan nyata, pula perannya dalam film Easy-A yang melambungkan namanya. Mungkin, 80% anak muda Indonesia lebih mengenal Emma Stone ketimbang Mieke Wijaya. Lawan mainnya, Ryan Gosling, sangat digandrungi para kaum hawa. Wajah tampan yang menyihir setiap film yang ia perankan. Asumsi saya, mungkin Ryan Gosling lebih tenar dan dikenal oleh para anak muda Indonesia kini ketimbang Usmar Ismail. (walau sepertinya perbandingan yang ini agak kurang seimbang!)
Setelah menonton film ini, ternyata asumsi saya terpatahkan. Tak hanya sekedar artis dan yang mereka perankan dalam film, namun lebih dari itu. Secara visual, patut saya acungi jempol perkembangan yang diberikan oleh sang sutradara, Damien Chezelle. Sutradara film “Whiplash” ini berhasil memberikan sebuah penggambaran yang apik. Sangat berkembang dan eksploratif ketimbang dalam “Whiplash”, yang cenderung monoton, membosankan. Ia melebur berbagai macam teknik sinematografi yang diaplikasikan dengan baik, close-up ketika sedang bernyanyi untuk menegaskan kehadiran dari tokoh, medium wide ketika adegan tarian dan berjalan bersamaan, merupakan beberapa diantaranya. Mungkin ia sedikit terinspirasi dari Wes Anderson disana-sini dengan mengadopsi berbagai macam palet warna dalam set film (yang bagi saya cukup menganggu karena terkesan plagiat murahan) but it all went well and just fine. 
Cerita cinta mungkin merupakan resep terbaik dari sebuah film apabila ingin meraih kesuksesan. Walaupun, dalam La La Land kisah cinta yang cenderung “tidak biasa” dan seketika pula pikiran saya mengacu pada kisah cinta Summer Finn dan Tom Hansen (ha! walau tidak 100% mirip). Bagi saya pribadi, saya memiliki pemikiran bahwa “Love is always a great marketing and selling point.” Berikan bumbu-bumbu cinta dalam film, tunggu, dan Voila! hasilnya akan terlihat secara cepat. Hanya saja, sebetulnya dalam La La Land kisah cinta mereka menjadi terkesan “terabaikan” atau “terpinggirkan”, kalah penting oleh impian masing-masing. Damien Chezelle mungkin tetap terkesan memaksakan pikirannya terhadap “kematian jazz” itu sendiri, yang cukup membuat kesal, namun sebetulnya apabila dipikirkan secara mendalam, itulah mungkin tema utama yang ingin diangkat oleh Chezelle dari sisinya ketika disandingkan dalam dunia “Whiplash”. 
Setidaknya, secara singkat, itulah beberapa kritik dan apresiasi yang ingin saya tumpahkan setelah menonton film ini. La La Land sejujurnya seperti Glee dan High School Musical yang digarap berkilo-kilometer lebih baik dan lebih mengesankan, namun belum bisa mengalahkan Sound of Music atau Wizard of Oz bagi saya pribadi. Dapat diakui bahwa La La Land memberikan penyegaran terhadap perfilman global yang didominasi oleh film animasi dan aksi. Harapan saya setelah menonton La La Land, semoga para pemuda Indonesia tidak lupa atas kehadiran Tiga Dara!
0 notes
personal-columns · 8 years
Text
Mediocre Handdrawn Works
(shitty) Handdrawn works for my upcoming animal-related direct-to-garment print collection.
A portion of the sales will go to chosen animal shelters and non-profit animal-welfare organizations across Indonesia.
Soon!
Tumblr media Tumblr media
A much more adequate version of the above :
Tumblr media Tumblr media
0 notes
personal-columns · 8 years
Text
Amateur Design Series #1
Client: Saans’ Florist Saans Florist is a Jakarta-based florist duo which relies on the personal nature of a flower arrangement and minimalism.
The duo asked for a “catchy tagline” and minimalistic approach both to their logo and typography, particularly as they used it as some kind of "branding" to differ it from other florist and to signifies their own touch. They would then use it on several of their bouquet imprints, specifically round-shaped and box-shaped stickers.
This is some of the mock-up I made during several of meetings and enquiries:
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes
personal-columns · 8 years
Text
Perspektif Baru The Beatles Dalam “Eight Days A Week”
Tumblr media
oleh D.K. Alit Wedhantara
"Tak dapat dipungkiri bahwa The Beatles merupakan sebuah fenomena yang dapat terjadi sekali dalam seabad." ungkap Larry Kane, jurnalis radio WFUN yang menjadi pendamping selama The Beatles melakukan tur di Amerika Serikat. Kalimat tersebut memang tampaknya tidak salah melalui apa yang ditampilkan dalam film The Beatles : Eight Days A Week.
Film terbaru dari Ron Howard ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan karya-karya Ron Howard sebelumnya yang lebih mengedepankan drama atau aksi, seperti A Beautiful Mind dan Rush. Dalam proyeknya kali ini Ron Howard menghadirkan film dokumenter tentang The Beatles melalui perspektif baru yang sebelumnya jarang dijamah, bahkan terdapat pula beberapa informasi belum pernah dirilis kepada publik. Eight Days A Week menggabungkan antara found footage, karya fotografi, dan wawancara yang dilakukan baik mengenai The Beatles, dari sudut pandang sejarawan, musisi, bahkan selebriti, maupun dengan para personil band berjuluk fab four tersebut. 
Dari segi penceritaan, kemunculan The Beatles dibuka dengan kisah masa lalu The Beatles ketika bermain di Jerman pada periode 1960 hingga 1962 dan belum bertemu dengan Ringo Starr, yang akhirnya dipercaya untuk menjadi penabuh drum pada band legendaris tersebut. Kisah dimunculkan secara urut, yang kemudian berlanjut ke masa keemasan The Beatles, seperti bertemu manajer yang membantu karir The Beatles ke depannya, Brian Epstein, kemudian melakukan tur pertamanya di Amerika Serikat, bermain di beberapa stadion besar dengan ribuan penonton, hingga diakhiri dengan mulai hilangnya masa keemasan The Beatles yang bermula ketika para personilnya mulai merasa bahwa bukan musik lah yang membuat mereka terkenal, yang juga kemudian menandakan proses pendewasaan pada para personilnya.
Tak hanya rekaman dari penampilan The Beatles, film ini juga diperkaya dengan foto-foto The Beatles yang belum pernah ditampilkan ke publik sebelumnya. Foto tersebut kemudian dibuat menjadi lebih menarik dan hidup dengan menambahkan efek-efek di dalamnya, seperti efek asap yang dihasilkan ketika terdapat personil The Beatles yang merokok dalam foto tersebut, hingga suara-suara yang dapat memperjelas gambar, seperti suara-suara gaduh apabila terdapat foto The Beatles dengan latar belakang keramaian atau kerumunan massa. 
Perspektif baru yang dihadirkan oleh Ron Howard melalui wawancara yang dilakukan dengan berbagai tokoh juga membuat suasana film dokumenter berdurasi 128 menit ini menjadi lebih intim dan dekat. Whoopi Goldberg, Elvis Costello, hingga Sigourney Weaver menjadi narasumber dalam film ini, yang keseluruhannya menikmati pengaruh The Beatles secara langsung pada periode keemasan, terutama ketika invasi The Beatles ke Amerika. Tak hanya itu, kemunculan seorang sejarawan, Kitty Oliver, pula membantu menghadirkan segi pemikiran berbeda mengenai The Beatles. Salah satu argumen penting yang ia utarakan dalam film adalah mengenai pengaruh The Beatles meredakan ketegangan ketika masa segregasi kulit hitam dengan putih di Amerika Serikat, yang mengalami ekskalasi, namun uniknya kemudian reda melalui kehadiran band Inggris tersebut. Tentu cerita tersebut merupakan hal yang jarang dijamah bahkan diketahui oleh para pecinta The Beatles pula musik pada umumnya.
Secara keseluruhan kehadiran Eight Days A Week seakan merupakan sebuah angin segar dalam dunia perfilman kini, terutama setidaknya yang dimunculkan dalam bioskop-bioskop di Indonesia yang didominasi oleh film horor sederhana, drama Indonesia dengan latar tempat luar negeri, dan film aksi dengan cerita yang repetitif dan mudah ditebak. Walaupun terkesan sederhana, Eight Days A Week merupakan film dokumenter dengan pengaruh yang cukup besar kepada para penikmat film, pecinta The Beatles, maupun pecinta musik secara keseluruhan karena perspektif baru yang sebelumnya belum pernah dihadirkan, memberikan ide segar baru tentang The Beatles yang mungkin telah lama diam dan membusuk karena cerita yang sama saja yang dihasilkan oleh satu dan lainnya. Eight Days A Week memberikan pengalaman film dokumenter berbeda dengan sentuhan detil gambar yang seksama dan keindahan suara, sebuah kombinasi hasil restorasi sempurna.
0 notes
personal-columns · 8 years
Text
Zaman, Zaman : Perjalanan Spiritual Trees and Wild
Tumblr media
Oleh D.K. Alit Wedhantara
Zaman berubah. Begitu pula manusia. Ide-ide kreatif selalu berubah seiring berjalannya waktu. Berbicara tentang perubahan, saya kemudian teringat sebuah penampilan band lokal bernama Trees and Wild ketika muncul dengan formasi barunya. “Kenapa jadi gini nih band?” saut teman saya seketika melihat mereka beraksi diatas panggung, dengan gaya yang lain daripada terdahulu. Saya lihat sekitar. Banyak tercengang. Saya, disisi lain, kagum, atas sebuah langkah besar yang dilakukan oleh band lokal yang terbilang jarang dilakukan pada masa sekarang. Dari sebelumnya yang bernuansa akustik-folk, mereka berani berubah dan berkembang menjadi quintet dengan aroma post-rock yang eksperimental– yang tak hanya menjual “delay” dan “ngawang” saja –bercampur dengan ambient yang sangat melegakan. Hal tersebut memberikan sebuah pendekatan dan pembaharuan bagi pengertian “post-rock” yang selama ini lekat dengan Indonesia. Itu merupakan sebuah langkah yang berani pasca keputusan Iga Massardi untuk hengkang dari band ini. Beberapa waktu yang lalu, mereka merilis album berjudul “Zaman, zaman” yang membuat saya sangat bersemangat dan membuat saya kehabisan kata-kata, terharu, dan bingung, semuanya disaat yang bersamaan. 
“Zaman, zaman” meramu 7 lagu baru yang keseluruhan memiliki koneksi satu dengan yang lainnya. Sebuah simpul yang ‘tak terlihat’ menjadi sebuah ketertarikan tersendiri bagi saya untuk menyelami album ini. Kehadiran album ini di tahun 2016 cukup membius kerinduan “semu” terhadap band ini, yang terakhir merilis album “Rasuk” pada tahun 2009. Kemampuan untuk memilih dengan tepat dimunculkan oleh mereka pada album ini. Sampling suara-suara yang seakan merajut jalinan spiritualitas, memenuhi keseluruhan album yang juga membantu mempererat masing-masing lagu. Sejumlah lagu interval menjadi pembatas antara ‘tanah’ dan ‘langit’ yang dibangun oleh mereka. 
Sesuai dengan pemilihan judul album, “Zaman, zaman” menjadi “sajian” pembuka. Lagu ini seolah menciptakan kesan sebagai sebuah appetizer bagi pendengar sebelum tenggelam dalam mendalami album ini lebih jauh. Lagu berdurasi 7 menit 48 detik ini berkutat pada sebuah kebisingan yang cantik, terdengar disana-sini sedikit bernuansa etnik, dan terasa cocok apabila kaitannya sebagai lagu pembuka. Zaman, zaman seakan membawa kita ke sebuah infinite loop yang dikemas oleh berbagai layer-layer yang saling menutupi satu sama lain, dimana kita seakan melintasi berbagai masa. Lagu ini merupakan pernyataan tegas akan ekspektasi pendengar terhadap album ini, sebuah stepping stone Trees and Wild menuju sebuah era baru, sebuah “zaman” baru. Hal yang unik dari lagu ini (juga muncul pada lagu lainnya) adalah keputusan Trees and Wild untuk memberhentikan lagu tepat di titik akhirnya, memutuskan sebuah tali yang telah dibangun selama beberapa menit, dan kemudian bertopang pada sebuah kesunyian, kontras dengan kebisingan yang telah dibangun pada awal hingga hampir sampai penghujung lagu. Seakan mereka berkata “cukup sudah, harus diakhiri.” Kesunyian yang dibangun ini ternyata sebagai sebuah penghubung dengan lagu berikutnya, yaitu “Empati Tamako”, lagu andalan Trees and Wild yang cukup sering berkumandang ketika mereka tampil selama ini.
Dahulu mereka sangat dikenal bahkan digandrungi para remaja karena kualitas lagu yang dihasilkan, skill bermusik yang berbeda dibanding musisi sekelasnya, selain juga satu hal yang tak dapat dipungkiri, yaitu wajah memikat yang dimiliki oleh para personil. Kini mereka merubah total wajahnya, melalui aura yang dikeluarkan oleh mereka di panggung. Nuansa hitam, gelap selalu memenuhi panggung Trees and Wild kini. Formasi tata panggung juga direkayasa sedemikian rupa untuk menghasilkan kesan yang maksimal. Mungkin kata “eksperimen” merupakan gagasan utama yang ingin diangkat oleh Trees and Wild dalam menunjukkan wajah barunya ini. “Gila. Ajaib”, itulah kira-kira gambaran ketika saya pertama kali mendengarkan lagu kedua, “Empati Tamako”. I’m hooked on this album. Officially. Itulah tanda ‘klik’ bagi saya pribadi yang kemudian semakin terhubung dan tertarik dengan album ini. Lagu ini seolah sebuah perjalanan. Lagu sempurna yang merepresentasikan Trees and Wild yang baru. Pendengar dibawa masuk ke sebuah lorong, penuh kegelapan dan masa kelam, kemudian secara perlahan ditarik keluar menuju terang–sebuah sensasi yang khusus hanya dapat saya rasakan ketika mendengar lagu ini. Dalam sisi Trees and Wild sendiri, saya merasa lagu ini memiliki keterkaitan yang amat personal dan emosional dengan kondisi mereka. Lagu ini terasa mewakili perasaan mereka secara utuh. Dengan Empati Tamako, Trees and Wild menyampaikan bahwa mereka mengarah dan memberikan sebuah harapan baru, i’ve got a great feeling for the future of this band. Track ini memiliki sebuah tenaga nyaring yang memenuhi keseluruhan lagu, tentunya dalam masing-masing bagian tersendiri dari awal hingga akhir. Liriknya menyihir kita untuk ikut terbawa dalam alunan lagu lebih dalam, seakan sebuah mantra kuno religius “..terang yang kau dambakan; hilanglah semua yang kau tanya..” yang disyairkan secara berulang-ulang. Sebuah track yang sangat magis. 
Kebisingan maksimal yang dibangun pada “Empati Tamako” menemukan ritme halusnya di lagu selanjutnya, “Srangan”. Penyambung lidah antara kebisingan dan kesunyian yang diramu pada album ini merupakan sebuah kesempurnaan dalam bermusik. Kehalusan dari lagu ini sangat memikat, melupakan kenyataan bahwa sepertinya lagu ini berfungsi sebagai sebuah perpindahan. Vibe dari Varúð milik band Islandia, Sigur Ros, menyelimuti lagu ini. 2 menit terasa pas untuk menurunkan kembali hasrat yang menggebu lagu sebelumnya, melalui alunan vokalis perempuannya, yaitu Charita Utamy. Keindahan suaranya yang mengisi lagu ini patut diapresiasi. Dia berperan penting layaknya sebuah formula khusus untuk meramu keelokan yang tak hanya terdapa pada “Srangan”, namun juga pada seluruh lagu yang terdapat dalam album ini.
Sederhananya, “Zaman, zaman” seperti mempertanyakan state of mind yang sedang saya rasakan. Kesadaran saya seperti dipermainkan melalui kebisingan dan kesunyian yang dirangkum secara cantik nan apik. Lagu-lagu baru mereka sangat menghipnotis dan berpatron pada bunyi-bunyian yang disalurkan secara maksimal, sehingga menghasilkan output yang sangat total dalam menghadirkan pengalaman total “Trees and Wild”, mengajak kita untuk ikut tenggelam, bernyanyi, menari, seakan sebuah perjalanan spiritual ‘spesial’ yang sangat berkesan, mengembalikan rasa kehadiran dalam peradaban.
1 note · View note
personal-columns · 8 years
Audio
Sleep: A music by wedhantara.
Sleep by wedhantara is licensed under a Creative Commons License.
0 notes
personal-columns · 9 years
Text
Night Thoughts: Regulasi Anti Kekerasan Seksual!
Tumblr media
Selamat Malam. 
Sebelum berakhirnya malam ini,
Hari ini merupakan hari yang sangat penting. Sangat spesial, dapat dibilang seperti itu. Momen besar yang hanya dapat dirayakan setahun sekali, pada tanggal 8 Maret, yang pada tahun ini jatuh di hari Selasa. 
Hari Perempuan Internasional. Salah satu hari yang perayaannya terbilang jarang dilakukan bahkan diketahui oleh khalayak ramai, tertutup oleh pemberitaan tentang politisi busuk, atau informasi-informasi tidak penting lainnya yang heboh digembar-gemborkan oleh media-media arus utama tak berkualitas di Indonesia. 
Bersamaan dengan perayaan Hari Perempuan Internasional, saya sebagai salah satu mahasiswa mata kuliah Paradigma Feminis, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, yang diampu oleh mbak Ikhaputri Widiantini S.S, M.Si., meminta agar tersedianya sebuah Regulasi Anti Kekerasan Seksual, terutama di lingkungan kampus. 
Mengapa Regulasi Anti Kekerasan Seksual diperlukan? Apa Alasannya? 
1. Karena tidak ada payung hukum perlindungan baik kepada korban sebagai pihak yang dirugikan dan pelaku kekerasan seksual sebagai pihak yang merugikan, terutama di daerah kampus. Kebanyakan kasus menguap begitu saja, menunggu waktu yang akan terus berjalan sembari melupakan kasus-kasus kekerasan seksual yang pernah terjadi, dan melulu membisu karena tak ada regulasi dan perlindungan yang jelas.
2. Karena pelaku masih dapat terus berkeliaran kapanpun, dimanapun, dan tanpa merasa bersalah. Absennya regulasi anti kekerasan seksual membuat “mereka” serasa bebas tanpa bayang-bayang beban dan dosa. Dengan senang hati melihat hasil dari perlakuan mereka menghilang entah kemana. Hal seperti ini tidak dapat terus dibiarkan. 
3. Karena “pembiaran” bukanlah alasan dan legowo juga bukan merupakan jawaban, terutama dalam hal ini kasus-kasus kekerasan seksual, yang secara lantang dapat menimbulkan bayang-bayang kelam terhadap korban. Nihilnya hal ini, sekaligus minusnya pendampingan terhadap korban, membuat para korban terus-menerus bungkam, sementara masih banyak korban-korban potensial lain yang dapat diserang oleh pelaku yang masih terus berkeliaran dengan bebas. 
Ketiga hal diatas hanyalah sebagian dari banyaknya alasan-alasan lain yang pula ditulis oleh mahasiswa-mahasiswi lain dari kelas Paradigma Feminis 4301, dalam tuntutan memerangi kejahatan seksual di kampus. Pelaku dapat terus-menerus menebar ancaman, sementara korban hanya duduk terdiam tanpa mampu melawan. Dominasi harus dipatahkan, dan ini merupakan salah satu permulaan dari gerakan advokasi dan perlawanan yang diharapkan dapat muncul di masa depan. 
Sekian, dan terima kasih atas perhatian yang anda berikan.
oleh D.K. Alit Wedhantara
0 notes
personal-columns · 10 years
Audio
Bersama: Official Jingle for SBM ITB’s Focal Point 2015
Drum arrangement by yours truly!
0 notes
personal-columns · 10 years
Text
Hello, Stranger!
Hi there! Welcome to the archive cave, you belong here!
If you didn’t know already, this is a special vault of all the past and recent works of the owner, a guy named Alit Wedhantara. As of now (2015), he currently enrolled as a cultural studies/literature student in one of the most prestigious college located in Depok, West Java. 
This guy is long haired and a not really that fatty (by the US of A standard) He's a wild thinker, free-minded, and chill. 
He's interested in both today's and yesterday's topic, contemporary culture, vintage stuff and/or a pile of junk, but mainly he's into anything related to art. He enjoyed listening to music, watching movies, reading philosophical books and modern magazines and he explored anything without boundaries. He collects vintage treasures and weird things such as vinyl records and boxes of tic-tacs from around the world.
Last but not least, he is a fuzzy and gentle creature.
Enjoy your stop, please come back again and don't be afraid of anything!
Greetings,
His majesty's friendly butler
0 notes