Text
Semua orang di kehidupan kita ada masa dan misinya. Kalau misinya selesai, masanya juga akan usai.
274 notes
·
View notes
Text
Memenangkan Diri : Memaknai Nakama
Nakama dalam bahasa Jepang berarti rekan, teman seperjuangan, atau kelompok. Karena pertama mendengar istilah ini dari One Piece, Nakama bagiku bukan hanya sekadar artian di atas. Lebih dari itu.
Nakama adalah keluarga yang memiliki impian yang sama dan rela untuk melindungi satu sama lain. Hal ini erat kaitanya dengan rukun-rukun ukhuwah meliputi taaruf hingga itsar. Nakama harus memaknai kembali arti ukhuwah. Bukan sekadar hafal urutanya saja.
Nakama adalah manifestasi dari amal jamai. Meraka adalah oposisi kebatilan. Seperti bunyi dalam kredo :
"Kami adalah para petarung sejati... atas nama al-haq kami bertempur."
Di Enies Lobby, mereka menantang Pemerintah Dunia demi menyelamatkan Robin, saudaranya. Di Dressrosa, mereka menggulingkan Doflamingo demi rakyat. Mereka tak berperang demi nama besar, tapi demi membela kebenaran dan kebebasan.
Meskipun World Goverment memasukan Bajak Laut Topi Jerami dalam kelompok "Worst Generation", ini jangan dimaknai secara harfiah sebagai generasi terburuk. Nyatanya mereka adalah generasi baru yang berani menantang status quo, Yonkou generasi lama seperti Kaido dan Big Mom. Mereka adalah simbol kebangkitan generasi baru.
Skeptisme Worst Generation di One Piece ini mirip sekali dengan justifikasi Gen-Z hari ini. Maka, jangan terjebak dalam skeptisme itu, jangan hanyut dalam arus, kita harus optimis menghadapi perubahan zaman.
Nakama adalah pembelajar sejati. Seperti bunyi dalam kredo :
"Kami senantiasa menyiapkan diri untuk masa depan Islam... bebas dari kejumudan."
Luffy dan krunya terus berlatih, belajar, dan berevolusi. Seperti time skip dari arc Sabaody ke Marineford, Nakama Topi Jerami diperlihatkan realita bahwa mereka belum memiliki kematangan untuk bertarung di level yang tinggi. Mereka harus sadar dan segera memantaskan diri.
Dari arc Fishman Island hingga egghead, kita diperlihatkan bagaimana peningkatan kemampuan kru pasca time skip. Mereka bereksperimen, mencoba hal baru, dan tumbuh dari kegagalan. Mereka belajar dari "murabbi-murabbiyahnya" yang sesuai kecenderungan skill hingga akhirnya berguna bagi petualangan selanjutnya. Ini cocok dengan semangat progressive learning dalam dakwah dan pendidikan.
Nakama adalah kita. Yang terikat dalam ukhuwah Islamiyah, terpanggil atas ketidakadilan yang terpampang nyata, dan memilih bergerak, bukan sekadar mengecam, tapi mempersiapkan diri, menjadi sebenar-benarnya Muslim Negarawan, demi tegaknya keadilan dan tumbuhnya harapan semua umat manusia.
Selamat Berlayar, Nakama!

Surakarta, 26 Syawal 1446 H.
Aba Rohmad. Nakama One Piece Gear 5 Yang Juga Kader KAMMI.
19 notes
·
View notes
Text
Agar Kamu Tidak Bersedih
Ternyata di Qur'an tuh banyak banget kalimat-kalimat yang "aneh" dalam artian, "pasti ada maksudnya nih, ini mah bukan buatan manusia."
Jadi tadi aku notice potongan ayat, bagus banget.
"— karena itu Allah menimpakan kepadamu kesedihan demi kesedihan, agar kamu tidak bersedih hati (lagi) terhadap apa yang luput dari kamu dan terhadap apa yang menimpamu—"
Respons pertama saat baca kalimatnya adalah: Hah? 😧 Bentar.. nggak salah nih? Kesedihan demi kesedihan supaya nggak sedih? Hah? Gimana ceritanya? Memang istilah bahasa Arab yang dipakainya apa?
Ternyata untuk kesedihan demi kesedihan diksinya tuh "غَمًّا بِۢغَمٍّ" , sementara untuk bersedih hati pakai diksi "تَحْزَنُوْا". Berarti ada kesedihan yang berbeda kan?
Apa perbedaan antara: الحزن (al-huzn), الغمّ (al-ghamm), dan الهمّ (al-hamm)?
Huzn (الحزن) berkaitan dengan hal-hal yang telah berlalu (masa lalu).
Ghamm (الغمّ) berkaitan dengan hal-hal yang sedang terjadi (masa kini).
Hamm (الهمّ) berkaitan dengan hal-hal yang akan datang (masa depan).
Secara literal, "غَمّ" berarti menutupi, menyelubungi, atau menekan. Dalam konteks emosional, "ghamm" menggambarkan perasaan yang menutupi hati seseorang dengan beban berat.
Di ayat lain, "غَمّ" juga berarti awan/kabut yang meliputi. Cukup masuk akal, ketika di dalamnya kita jadi tidak dapat melihat ke depan maupun ke belakang. Di ayat lainnya lagi, bentuknya "غُمَّةً" artinya dirahasiakan. Masuk akal juga, karena ketika kita mengalaminya, kita nggak pengen dunia tau apa yang terjadi pada kita. Kita akan merahasiakannya serapat mungkin and act like everything is fine.
Aku menemukan bahwa "غَمّ" digunakan di 4 cerita di dalam Qur'an:
Nabi Musa setelah membunuh seseorang secara tidak sengaja dan menyadari dampak serius dari tindakannya yaitu menjadi buronan dan menghadapi risiko yang besar serta konsekuensi yang mungkin timbul.
Nabi Yunus setelah menyadari bahwa meninggalkan misi dakwah dan melarikan diri dari tanggung jawabnya telah menyebabkan dirinya berada dalam situasi yang sangat sulit, yaitu dalam perut ikan. Perasaannya mencekam dan tertekan akibat kesadaran atas kelalaian dan dampaknya terhadap tugas yang diberikan Allah.
Pasukan pemanah Uhud yang meninggalkan posisi mereka di medan perang Uhud menyadari bahwa ketidakdisiplinan mereka menyebabkan kekalahan yang fatal bagi seluruh pasukan dan mereka cemas terhadap hasil dari tindakan mereka.
Penghuni neraka yang merasakan cambuk dari besi dan berusaha keluar dari siksaan neraka.
Ada pola menarik dalam penggunaan ghamm di 4 cerita itu:
Semua terjadi karena kesalahan manusia itu sendiri (baik disengaja atau tidak). Jadi ghamm datang sebagai wake-up call dari Allah setelah tindakan yang membawa konsekuensi nyata. Kayak.. membangkitkan rasa fatal.
Gham muncul saat sadar akan akibatnya. Ghamm lebih dari sedih atau takut biasa, yang muncul karena "aku melakukan sesuatu, dan sekarang aku harus menanggungnya". Berarti ghamm hanya dapat terjadi pada orang yang taklif dan memahami konsekuensi atau hukum sebab-akibat.
Gham membuka jalan untuk reframing, taubat, dan perubahan (kecuali yang di neraka). Musa dan Yunus segera memohon ampun dan berdoa. Pasukan Uhud menerima koreksi dan pelajaran keras dari Allah. Bahkan penghuni neraka ingin keluar, tapi sudah terlambat.
Gham adalah kemurahan Allah sebelum hukuman akhir. Allah izinkan ghamm menimpa seseorang agar ia tidak terus terbuai, agar hatinya mencicipi "penyempitan" sebelum terlambat. Tapi jika tidak direspons dengan sadar dan taubat, barulah ia bisa berujung pada hukuman.
Jadi bayangin, ghamm itu kayak, "damn moment" yang rembetan konsekuensinya gede dan fatal.
"Gue udah ngelakuin ini, dan sekarang semuanya runtuh."
"Gue sadar banget salahnya, tapi gue juga belum tau harus gimana."
"Ini bukan sekadar sedih. Ini dada gue sempit, kalut, gelap, dan berat."
"Gue menyesal, tapi ga ada waktu untuk menyesal di tengah-tengah himpitan ini."
Dia beda dari Huzn (sedih karena masa lalu) yang lebih lembut, reflektif. Dan beda juga dari Hamm (cemas akan masa depan) yang lebih ngawang, belum terjadi. Tapi dia bisa jadi adalah gabungan dari Huzn dan Hamm 🤯
Terus gimana ceritanya ghamm dapat mencegah huzn?
Jawabannya satu kalimat: luka lama dilampaui oleh luka kini. Sejujurnya meringis sih pas ngetiknya, kayak.. tega banget 😅 tapi dipikir-pikir cukup masuk akal.
Allah menggantikan luka yang membeku dengan luka yang bergerak. Huzn membuat kita stuck, menyesal, menoleh ke belakang, dan menyalahkan diri, sementara Gham membuat kita sadar, bangkit, bergerak, bertahan, dan berserah. Allah lebih memilih menimpakan kesedihan yang "aktif" agar kita selamat dari kesedihan yang "membeku."
Menariknya, Menurut Lazarus & Folkman, coping dibagi dua:
Problem-focused coping: usaha menyelesaikan masalah.
Emotion-focused coping: usaha mengelola perasaan.
Kalau huzn mungkin fokusnya di emosi dan masih punya keluangan mental dan waktu untuk mendalami rasa sesal. Kalau ghamm benar-benar harus switch ke problem focused coping. Jadi, kesedihan baru (ghamm) yang mengharuskan seseorang bergerak, ternyata bisa mengaktifkan mekanisme coping yang sebelumnya tidak muncul saat larut dalam huzn.
Selain itu, dalam psikologi kognitif, ada konsep Cognitive Load Theory yang menyatakan bahwa otak manusia hanya mampu memproses sejumlah informasi atau emosi secara bersamaan. Dalam tekanan yang aktual dan mendesak (ghamm), otak akan secara otomatis mengalihkan sumber daya mentalnya ke situasi itu. Alhasil, grief (huzn) yang tadinya mendominasi bakal terdorong ke latar belakang karena otak sedang sibuk survive di "sekarang". Kayak.. untuk bersedih pun tidak sempat.
Tapi, karena Allah Maha Mengetahui cara jiwa bekerja lebih dari siapa pun, maka penempaan jiwa melalui penimpaan ghamm itu hakikatnya adalah penyelamatan. Allah mungkin nggak serta merta hapus luka dalam waktu cepat secara ajaib. Allah lebih pilih menempa kita, saking bangga dan percayanya Dia, bahwa kita bisa lebih kuat. Dan akan ada saatnya "ketenangan" Dia turunkan sebagai imbalan, di kondisi kita yang semakin pantas untuk menerima ketenangan itu.
— Giza, masih terus mencoba melakukan pendekatan lewat jalur apapun. Mungkin pendekatannya selama ini ada aja yang keliru, tapi bisa dianulir seiring bertambahnya iman dan ilmu.
589 notes
·
View notes
Text

Mengilhami Keikhlasan dan Mengamini setiap Takdir
“Allah akan iya, ketika engkau sudah ikhlas pada semua yang tidak” - Cak Nun
Ketika engkau tidak lagi menggenggam dengan cemas, melainkan melepaskan dengan ridha. Saat itulah, langit mendekat dan bumi menjadi teduh.
Cak Nun mengingatkan kita bahwa kadang “iya”-Nya Allah tak muncul saat kita sedang ngotot, tapi saat kita tunduk dan berkata: “Jika bukan ini yang terbaik, aku pun siap dituntun ke yang lebih hakiki.”
Dalam penolakan, dalam kehilangan, dalam kegagalan—di situlah Allah sedang mengasah ruh kita untuk mengenal makna cinta yang sejati: cinta tanpa syarat, pasrah yang tidak pasif, tapi penuh iman.
Barangkali yang sekarang tertutup bukanlah pintu, melainkan mata hati kita. Dan ikhlas itu bukan menyerah, melainkan mempercayakan kendali pada Dia yang lebih tahu arah. Sebab jalan Tuhan seringkali terlihat sunyi, tapi justru di sanalah damai abadi bersembunyi.
Ketika ikhlas sudah sepenuhnya hadir pada semua yang “tidak”, di situlah semesta mulai mengamini doamu yang diam-diam dipeluk langit. Satu per satu, "iya" akan datang—bukan karena kau memaksa, tapi karena ikhlasmu mengetuk pintu-pintu arasy-Nya.
Sebab Allah tak pernah menjauh, hanya menunggu kau benar-benar pulang. Dan dalam pulang itu, tak ada yang lebih suci dari hati yang mengilhami keikhlasan dan mengamini setiap takdir,
Maka sekali lagi, biarlah nasehat Cak Nun ini meneduhkan langkahmu: “Allah akan iya, ketika engkau sudah ikhlas pada semua yang tidak.” Dan itu cukup, lebih dari cukup, untuk terus berjalan.
-Kaderiyen || Yogyakarta, April 2025
497 notes
·
View notes
Text
Doa mempermudah penjemputan rizki 💝
"Ya Allah, tuntunlah aku menuju tempat-tempat penyimpanan rezeki yang telah Engkau tetapkan untukku. Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Berkuasa atas segala sesuatu."
(Aku berdoa pakai bahasa Indonesia, karena aku bukan penutur asli bahasa Arab, jadi aku gak berani menerjemahkan ke dalam bahasa Arab).
Doa ini terilhami dari surat Hud ayat 6.

Dan ketika baca ayat ini, (atas izin Allah) aku jadi ingat sama game Pac-Man, zaman dulu.

Dan seketika, aku merasa bahwa alur hidup ini sama kayak game itu.
Tujuan dari game ini adalah mencapai pintu keluar (bahagia/surga).
Tapi, selama kita mencari pintu keluar, kita juga butuh makan (rezeki) biar nyawa kita tetap utuh.
Sayangnya, kadang kita salah ambil jalan, mutar-muter gak jelas, bahkan dikejar-kejar sama musuh yang mau makan kita. (masalah hidup)

Kita main game labirin di komputer aja masih suka nyasar-nyasar, apalagi jika posisinya kita yang berada langsung di dalam labirin itu! Kiri-kanan-depan-belakang, semua kelihatannya tembok. Gak tahu posisi kita ada di mana, apalagi posisi rezeki kita. Padahal hampir semua usaha udah pernah kita cobain....
Kadang kita kagum lihat orang lain yang dapat rezeki besar dari salah satu kamar, akhirnya kita pun berusaha keras menuju kamar yang sama. Tapi begitu sampai di sana, ternyata gak ada rezeki untuk kita, justru adanya malah musuh yang mau makan kita. Sampai di suatu titik rasanya pengen nyerah, karena udah capek mutar-muter gak jelas tapi gak ada hasil.
Maka, siapa lagi yang bisa bantu kita untuk mencari rezeki, bahkan mencari jalan keluar, selain Dia yang berada di dimensi yang lebih tinggi, yang mampu melihat keseluruhan isi labirin.
Menariknya, di surat Hud ayat 6, Allah bilang "dan Dia mengetahui posisi mereka dan tempat penyimpanan (rizki)nya."
See, Tuhan-lah yang paling tahu, sekarang posisi kita ada di mana, dan di mana rezeki kita disimpan-Nya. Di mana posisi musuh berada. 🙂
Mintalah agar kita dituntun menuju tempat penyimpanan rezeki kita. Jangan hanya minta ditunjukkan.
Karena, jika hanya "ditunjukkan", kita akan tetap bingung, "jalannya ke mana?"
Sementara jika "dituntun", sudah pasti termasuk dikasih tahu jalan terbaiknya.
Jalan yang lurus, itu bukan berarti jalan yang pasti dijamin mulus tanpa cela. Tapi lebih ke jalan yang bebas hambatan. Jalannya mungkin berliku, tapi kamu gak akan dibiarin muter-muter gak jelas tanpa arah. Rutenya mungkin lebih panjang dari teman-teman seusiamu, tapi kamu gak akan dibiarin kalah dimakan sama musuh-musuhmu.
Mungkin, ini juga kenapa kita diwajibkan membaca Al-Fatihah pada saat shalat. Karena di dalamnya, terdapat perhomonan agar ditunjukkan pada jalan yang lurus.

Tapi,
Satu hal yang perlu diingat adalah, (menurut salah satu hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam) seseorang tidak akan meninggal dunia sebelum sempurna rezekinya.
Artinya, ketika kita tergerak untuk menjemput rezeki-rezeki kita, pastikan sertakan dengan kesadaran bahwa, semakin kita memperoleh apa-apa yang memang menjadi hak kita, semakin dekat pula kita pada garis finish/kematian. Maka, upayakan agar kita tidak menjadikan rezeki itu sebagai kesedihan di hari akhir nanti.
Letakan dunia cukup di genggamanmu, jangan di hatimu.

50 notes
·
View notes
Text
"Abdul Qadir menjelaskan konsep qadha dan qadar. Ia menyatakan bahwa sesungguhnya semua peristiwa baik dan buruk terjadi karena takdir Allah. Namun demikian org beriman dituntut agar menolak takdir buruk dengan takdir baik."
"Untuk itu ia harus menghapus kekufuran dengan keimanan, mengganti bid’ah dengan sunnah, mengubah maksiat dengan ketaatan, menghilangkan penyakit dengan obat, menghapus kebodohan dengan pengetahuan, melawan penganiayaan dengan jihad, mengatasi kemiskinan dengan bekerja, dst"
(dari buku Model Kebangkitan Umat Islam)
So, jadi orang yang beriman, tingkatannya itu memang udah beda dari sekadar menjalankan syariat. Ia sudah seharusnya naik tahap menuju memperbaiki masyarakat, melawan kedzaliman, atau secara lebih umum membawa manfaat bagi sekitarnya.
153 notes
·
View notes
Text
Kita ingin melawan kedzaliman yang terjadi di sekitar, tapi seringkali kita justru lupa terhadap kedzaliman yang kita perbuat sendiri; waktu yang terbuang sia-sia, nyaman dalam kebodohan, tidak menjaga kesehatan, bahkan dalam soal rasa, adakah cinta selain kepada Allah dan RasulNya lebih besar bersemayam dalam hati?
Seringkali kita lantang untuk melawan kebatilan yang menganggu kehidupan, namun justru kebatilan dekat sekali dengan jiwa kita; menyekutukan Allah, menolak kebenaran yang sudah termaktub dalam Quran dan Hadits, mencela para ulama
Ini bukan berarti kita bersikap pasif dan pesimis, menunggu datangnya kesatria berkuda yang bisa melenyapkan kedzaliman dan kebatilan
Ini sikap yang perlu kita refleksikan terus menerus, agar semangat ishlah (perbaikan) dibawa oleh insan-insan yang sholih (baik) sehingga dapat menjadi mushlih (insan yang memperbaiki)
Ikhtiar yang nampak adalah bentuk sunnatullah yang perlu kita hadirkan, namun jangan lupakan kuasa Allah Yang Maha Berkehendak
Ramadhan akan selesai, semoga kita bisa menjadi insan yang siap masuk bulan Syawaal! Karena syawwal adalah naik kelas, naik tingkat, naik kualitas!
132 notes
·
View notes
Text
karena Allah
kalau menikah itu untuk cari bahagia, akan banyak sekali titik di mana kamu ingin berhenti menikah. karena hati manusia itu terbolak-balik, nasib manusia juga bisa berubah-ubah.
kalau menikah itu untuk cari ladang ibadah, tidak terbersit di benakmu untuk menyerah. karena baik kesenangan maupun kesedihan adalah ujian dan kamu menjadikannya jalan menuju kebahagiaan yang hakiki.
berangkatlah menikah karena Allah. niscaya lurus tujuanmu.
tumbuhkan dan rawatlah rasa cintamu kepada pasanganmu karena Allah. niscaya ketenteraman hadir di tengah keluargamu.
jagalah kesetiaanmu karena Allah. niscaya Allah menjaga hati, pandangan, pendengaran, lisan, perbuatan, dan kemaluanmu.
bertahanlah karena Allah. niscaya hubungan kalian menjadi semakin kuat.
semoga kalian selalu kuat, dikuatkan, dimampukan, diberi kekuatan. selamat saling menguatkan.
443 notes
·
View notes
Text
"Jangan cepat menghakimi orang lain. Kita sering kali menilai orang lain berdasarkan tindakannya, dan menilai diri kita sendiri berdasarkan niat kita."
Kutipan itu aku temukan dari Stephen Covey dan cukup ngena belakangan ini, soalnya menyoroti salah satu bias terbesar dalam cara kita menilai diri sendiri dan orang lain. Bias ini disebut "bias aktor-pengamat". Aku kadang melihat fenomena ini sebagai sisi gelap atau kemunafikan kita sebagai manusia.
Entah itu dari niat ataupun tindakan, menurutku keduanya sama-sama cara yang sah untuk mengevaluasi perilaku manusia. Tapi masalahnya, kita dengan mudah memilih niat ketika mempertimbangkan diri kita sendiri—"Aku nggak bermaksud gitu kok"—tapi menilai orang lain dari perilaku mereka—"Kok dia gitu sih?"
Fakta unik manusia adalah kita nggak bisa berpandangan objektif tentang diri kita sendiri. Atau mungkin kita sadar tapi rasanya sulit untuk menghindari itu. Soalnya kita nggak bisa mendapati diri kita terlalu salah, sehingga kita bikin banyak excuse buat menoleransinya.
Ada disonansi kognitif di sini. Ketika tindakan kita nggak selaras dengan citra diri atau value kita, kita merasionalisasi itu dengan berfokus pada niat kita untuk mengurangi rasa nggak nyaman. Pada diri kita sendiri, kita menyadari kemungkinan adanya lebih dari satu tujuan di balik tindakan kita. Kita ada di sudut pandang orang pertama bersama dialog internal kita.
Tapi kita kehilangan reasoning untuk orang lain karena kita melihatnya dari sudut pandang orang ketiga atau kedua. Alhasil, kita menilai orang lain berdasarkan tindakannya sampai kita mengetahui atau mendengar maksud atau alasan sebenarnya di balik tindakan tersebut.
Idealnya, kita mesti pertimbangin keduanya dengan seimbang, konsisten, dan adil. Niat itu penting karena alasan kita melakukan sesuatu menunjukkan motif kita. Di sisi lain, perilaku juga sama pentingnya karena apa yang kita lakukan memengaruhi diri kita sendiri dan orang lain.
Tapi walaupun niat penting, niat nggak bisa menebus semua perilaku. Artinya maksud yang baik nggak otomatis bikin suatu perilaku bisa diterima, terutama kalo tindakan itu merugikan orang lain. Terkait hal ini aku jadi inget twitnya Abigail Limuria tentang niat baik yang nggak dieksekusi dengan baik.


Mengenai tindakan kita sendiri, jangan sampai kita menggunakan niat kita sebagai dalih untuk tindakan yang nggak produktif. Akui saja kalau kita kadang salah dan perlu belajar dari itu.
Orang tuh nggak serta merta jadi orang baik dengan berpikir baik, tapi justru dengan berperilaku lebih baik. Tapi kita juga mesti bersikap baik ke orang-orang yang belum paham soal ini dan hargai bahwa hal-hal kaya gini emang ga selalu mudah.
Kata Pastor Raguel Lewi, pengenalan melunturkan penghakiman.
Itu sebabnya penghakiman seringkali datang dari orang yang kurang mengenal dan memahami. Entah kurang bisa atau kurang mau berusaha. Istilahnya mah lack of understanding, lack of comprehension of a concept, situation, context, or idea.
At the end, aku ingin me-recall motto yang diajarkan di sekolahku dulu. Bunyinya, "satu niat, satu langkah, dan satu tujuan" yang sebenarnya itu adalah serangkaian yang disebut "shaleh". Lurus dan konsisten dari hulu ke hilir.
— Giza, hari-hari terus nemu aja ketidaksempurnaan sebagai manusia. Ini baru sebagai manusia, belum sebagai muslim, pasti lebih banyak lagi.
Rujukan tambahan:
Memperbarui Pengenalan
Memahami Allah Sebagaimana Dia Memperkenalkan Diri
97 notes
·
View notes
Text
∆ Improvement
Pernah ada di fase "gini-gini aja" nggak? Suatu masa, temenku pernah takut aku ilfeel ke dia karena dia merasa gitu-gitu aja. Dia juga nanya kayak gini:


In fact, dia tuh nggak "gitu-gitu aja" alias, aku dari point of view orang kedua dan ketiga, ngeliat jelas banget perubahan dia sejauh apa. Tapi perasaan "gitu-gitu aja" tuh jelas normal kalau kita ada di posisi yang melakukan perjalanan, ditambah kalau ngebandinginnya ke orang lain.
Akhirnya kukasih rumusanku selama ini tentang ∆ improvement yang aku yakini, tentang sejauh apa perkembangan kita dengan memperhatikan 4 faktor utama.
∆ Improvement = Σ (Inherent Quality × Effort × Direction × Feedback)
Artinya, seberapa jauh perubahanmu dibandingkan dirimu yang dulu, bergantung kepada 4 hal utama ini. Tentu ada faktor lainnya, tapi 4 hal ini udah cukup representatif. Kujelasin satu-satu ya.
Pertama inherent quality, atau sumber daya awal yang kita punya. Ini tuh yang melekat di diri seseorang sejak awal, kayak bakat alami, minat, potensi, kemampuan kognitif, gaya belajar, dan learning capacity atau kapasitas adaptif. Memang sih, bukan hal yang sepenuhnya bisa dipilih, tapi tetep bisa dikembangin kalau dapet rangsangan atau latihan yang tepat. Misalnya, ada orang yang dari kecil udah kelihatan suka nulis atau gampang ngerti hal-hal teknis, atau terbiasa mengenali pola dan connecting the dots. Tapi kalau nggak dilatih terus, ya bisa-bisa kemampuannya berhenti di situ aja. Jadi tetep butuh usaha biar bisa jadi sesuatu yang maksimal.
Kedua, effort atau usaha sadar. Faktor ini paling bisa dikendalikan langsung sama diri sendiri. Mulai dari seberapa banyak waktu yang kita invest dalam prosesnya, hal-hal apa aja yang kita korbanin, dan seberapa besar kemauan (willingness) buat terus jalan, bahkan pas lagi nggak mood. Konsistensi dan kontinuitas penting banget di sini, nggak cukup cuma semangat di awal, tapi perlu dibiasakan terus-menerus. Disiplin juga jadi kunci, karena kadang kita harus tetap jalan meskipun lagi nggak ada yang nyuruh atau nggak ada hasil instan. Cara yang dipakai pun ngaruh, karena usaha yang asal-asalan beda hasilnya sama yang strategis. Dan niat, motif, serta tujuan bakal jadi fondasi. Kalau niatnya kuat, biasanya badan juga lebih nurut buat bergerak.
Ketiga, kurikulum atau arah. Yep, kamu nggak salah baca. Dalam hidup ini, kita perlu punya kurikulum pengembangan buat diri sendiri. Isinya kayak silabus, tapi mencakup struktur tujuan, tahapan, dan relevansi pembelajaran. Ga harus ribet-ribet kayak di dunia pendidikan, cuma bikin kita punya kerangka. Apa aja emang isinya?
Bangunan atau diri seperti apa yang kita harapkan? Outcome atau natijahnya apa? (Idealitas)
Kemudian merujuk ke hari ini, "legal moves" atau tahap-tahap yang memungkinkan untuk dilakukan apa aja? (Bangun peta realitas)
Kemudian, apa "best move" atau jalan paling efektif dan efisien untuk mencapainya? (Efektivitas dan efisiensi)
Apa hal-hal yang relevan? Dan apa hal-hal yang perlu dihindari untuk mencegah blunder atau kontraproduktif? (Buset udah kayak main catur aja istilah-istilahnya)
Teori atau value apa aja yang bisa diperkuat untuk menuju ke idealitas itu?
Kalau salah arah, improvement bisa meleset, meski effort tinggi. Ibarat naik kendaraan, effort itu bensinnya, tapi kurikulum ini GPS-nya. Kalau nggak ada arah yang jelas, kita bisa capek di jalan yang salah. Oiya, kurikulum bisa disusun sendiri atau dibantu mentor. Sebenarnya nggak mesti ditulis atau yang gimana-gimana, kadang di kepala atau berupa komunikasi verbal dengan mentor juga cukup. Semakin relevan dan terstruktur arah yang kita buat, semakin bermakna usaha kita buat mencapai si ∆ improvement itu.
Terakhir mentor atau feedback. Kayaknya, tiap nonton film, pasti tokoh utamanya tuh punya sosok "wise man" atau orang bijak yang jadi mentor. Bahkan di teorinya Jung tentang arketipe, kita bisa menjadi mentor untuk diri sendiri. Tapi sebelum jauh ke sana, kayaknya emang harus ada deh, orang yang memegang job sebagai mentor kehidupan orang lain.
Emang apa sih yang mentor lakukan? Sebenernya sesuatu yang so f*cking obvious sih: FEEDBACK.
Mentor tuh perannya mirip arsitek dalam proses pengembangan diri. Misal kita request pengen jadi diri yang A, nah mentor ini bantu koreksi, sebenarnya diri yang A itu cocok nggak jadi outcome dari kita yang segini? Kalo cocok, nanti dibuatin blueprint/peta pengembangan dirinya. Lagi-lagi ini tuh bukan berupa tulisan atau gambar, melainkan gambaran mental yang abstrak di kepala mentor yang akan ditransfer ke mentee.
Selain itu, mentor bantu ngelihat hal-hal yang sering kita lewatkan sendiri, entah kelemahan yang nggak kita sadari, atau potensi yang belum kepake maksimal. Feedback dari mentor bisa datang lewat obrolan, evaluasi, atau bahkan cuma dari cara mereka ngasih contoh. Sesimpel meng-counter argumen ngaco aja udah termasuk feedback.
Dan nggak selalu harus guru resmi, bisa juga temen, ortu, senior, atau orang yang udah lebih dulu buka jalan di hal yang sedang kita jalani. Kehadiran mentor bikin proses belajar jadi lebih terarah, nggak jalan sendiri-sendiri. Dan kalau beruntung, mereka juga bisa jadi pengoreksi error dan bantu ngingetin arah saat kita mulai goyah atau kehilangan motivasi. Tapi buat punya hubungan mentor-mentee yang sehat, kuncinya adalah trust. Mentee percaya akan kapasitas dan motif si mentor. Dan mentor percaya kalau mentee bisa berkembang. Sehingga nantinya, si mentee nggak akan malu membuka diri dan segala blundernya ke mentor buat ditunjukkin salah. Serta mentor pun nggak akan gampang frustrasi kalau sewaktu-waktu progress menteenya lambat.
Terus gimana kalau nggak punya mentor? Ya siap-siap aja harus punya tangki effort yang gede untuk trial and error sepertiku. Actually, I'm not mentorless at all, cuma dalam hal belajar framework secara sadar, emang beneran belajar mandiri, otodidak. Dampaknya, bakal jadi kurang bijaksana dalam prosesnya atau bakal kurang dihormati di perjalanan karena kebanyakan gegabah dalam decision making. Boros effort.
Tapi kan kita nggak ngejar bijaksana atau kehormatan dari orang lain. Kita ngejar belajarnya, kita fokus ke pertumbuhan diri di hadapan Allah, jadi chill aja kalau orang nggak respect. Toh salah dan error dalam pembelajaran mah bisa ditaubati.
Tapi ternyata, nggak semua orang bisa jadi mentor. Nggak semua orang bisa spot celah improvement dengan tepat dan akurat sehingga feedback-nya jadi sia-sia (gak relevan dengan potensi mentee yang lagi digarap). Belum lagi, kamu juga harus pertimbangin,
Orang gila mana yang mau membacaku dengan akurat, mau susah-susah mendalami hidupku cuma biar tau potensi terdalamku dan blunder-blunder kehidupanku?
Orang mana yang punya framework sehingga aku nggak cuma diajak "berteduh di bawah naungan pohon frameworknya", melainkan diajarin juga bikin tempat berteduh itu sendiri.
Orang mana yang bisa kupercaya bahwa dia nggak punya motif apapun kepadaku selain melihatku bertumbuh kembang? Dia ga minta bayaran atau balas jasa.
Sebenarnya orang kayak gitu ada, sebagaimana Al-Qur'an juga ngejelasin bahwa idealnya para penyampai pesan tuh ga punya motif/mengambil manfaat untuk dirinya dari orang lain.



Tapi kalau sejauh ini belum punya mentor, wayahna berusahanya jadi lebih banyak. Tapi Maha Adilnya Allah adalah, kalkulator pahala itu ternyata bukan berbasis ∆ improvement, melainkan Σ effort. Jadi nggak ada usaha yang sia-sia. Tentu ada juga range dampak yang bisa jadi passive income atau pahala jariyah, tapi kan seberapa berdampak perubahan kita terhadap orang lain mah di luar kendali kita.
Sebagai penutup, akan selalu ada potensi bahwa mentee bisa menyusul atau melebihi mentornya seiring waktu. Jadi mentor pun nggak boleh sombong. Dalam hal ini, seperti kata Kawaki dalam series Boruto:
"Kau tidak dalam posisi untuk bisa sombong membicarakan takdir hidup orang lain."
Aku harap semakin banyak orang yang punya kesadaran untuk "hidup bermentor", serta para mentor di dunia ini senantiasa menjaga kesucian motif dan prosesnya. Mudah-mudahan para mentee kehidupan juga dihindarkan dari perasaan "gini-gini aja" yang timbul dari membandingkan ke proses orang lain. Dan yang belum punya mentor, moga-moga dipertemukan dengan mentor yang genuine dan tepat.
— Giza, merumuskan perjalanan hidup
66 notes
·
View notes
Text
Learn, Unlearn, Relearn
Waktu itu baca kutipan dari instagramnya (at)esslythe, katanya:
"Yang namanya pertumbuhan itu nggak peduli dengan perasaan. Fokusnya emang supaya kita bertumbuh."
Nah dari kutipan itu aku kembangin jadi begini:
“Yang namanya pertumbuhan itu nggak peduli sama perasaan. Buktinya, untuk menghasilkan buah yang manis, pohon nggak perlu menuntut air hujan dulu supaya manis rasanya. Fokusnya memang supaya kita bertumbuh. Dan bukan untuk menjadi diri sendiri melainkan menjadi yang seharusnya: pribadi yang Dia inginkan.”
Terus doa yang diulang belakangan ini akhirnya bukan semoga orang lain sadar melainkan semoga aku yang sadar, barangkali ada bagian-bagian yang aku melakukan kekeliruan di dalamnya.
Ternyata emang lebih menenangkan fokus pada pertumbuhan diri daripada mempertanyakan pertumbuhan orang lain. Karena hidup kan sebenarnya perlombaan dengan diri kita yang hari sebelumnya. Setiap harinya kita akan meninjau sudah sejauh mana ∆ improvement yang kita hasilkan. Sudah seefisien apa sumber daya dan waktu teralokasikan. ∆ improvement-nya sudah sepadan belum dengan apa yang udah dikeluarkan? Kalau belum, evaluasinya apa? Intervensi apa yang sekiranya efektif (berpengaruh)?
Tentu selama masih diberi nafas, akan selalu ada input yang diproses sehingga menghasilkan output tertentu. Selain pada hal yang diinput, output juga akan bergantung pada sistem operasi internal dalam diri kita. Makanya untuk menghasilkan buah yang manis, yang terpenting bukan air hujannya manis apa enggak, tapi proses fotosintesisnya udah bener belum? Mataharinya terhalangi nggak? Klorofilnya memadai nggak? Gimana pengolahan input air, CO2, dan zat haranya?
Dalam hidup, "proses fotosintesis" ini akan analog dengan "cara memandang, cara berpikir, cara bersikap". Kita ingat, dalam reaksi terang, energi cahaya digunakan untuk memecah molekul air menjadi oksigen, proton, dan elektron.
Meanwhile, cara kita memandang bisa saja justru "membelakangi" atau menutupi arah cahaya datang, sehingga input-input yang masuk lewat pendengaran dan penglihatan tidak dapat dipecah/dipilah berdasarkan relevansi/prioritas. Kalau dari cara memandangnya udah nggak bener, pengolahannya juga bakalan nggak terorganisir, dan pengambilan sikapnya bakal kontraproduktif.
Makanya yang bikin buah manis itu adalah proses fotosintesisnya serta proses pengangkutan glukosa oleh jaringan floem. Analog dengan hidup kita bahwa yang bikin hidup kita manis itu bukan dari kita mendengar dan melihat hal yang menyenangkan, melainkan dari kita memproses sesuatu dan mengambil sikap berdasarkan informasi yang diolah tersebut.
Kemudian hal itu jadi alasanku selalu bilang ke orang yang seneng sama tulisanku, "yang indah bukan tulisanku, tapi cara kamu membaca". Soalnya ya, bagus atau enggaknya tulisan mah relatif, tergantung kondisi dan relevansi yang baca. Tapi kan kalau orang udah punya cara pandang yang bagus, apapun tanda-tanda kekuasaan Allah di hadapannya akan dia proses dengan cara yang indah dan menghasilkan output yang indah juga.
Terus gimana soal perasaan? Aku setuju bahwa tumbuh dewasa adalah membiasakan diri berhadapan dengan rasa sakit di waktu yang tepat dan menghindar pula di waktu yang tepat. Dan tiap-tiap orang bisa tersakiti di tempat-tempat yang berbeda dalam hatinya. Pertumbuhan memang nggak peduli perasaan. Tapi dalam prosesnya kita diuntungkan karena memperoleh kebijaksanaan dalam meregulasi perasaan. Kita jadi bisa nggak over reacting terhadap sesuatu, tapi juga nggak sampai nirempati. Soalnya maa khalaqta haadza bathilaa, kan? Nggak ada yang Allah ciptakan sia-sia, termasuk emosi.
Jadi sebenarnya kita disuruh mikir, bagaimana berperasaan pun dapat menjadi ladang kita bertumbuh menjadi pribadi yang Allah mau. Dan kita masih manusia. Selogis-logisnya orang juga Allah pasti kasih jatah di ujian emosional (emosi itu banyak macemnya yak: marah, suka, kecewa, takut, iri, cinta, benci, dll.). Seperasa-perasanya orang juga pasti Allah uji di ranah pemikiran/hal yang butuh logika.
Kita makhluk yang dinamis. Sebagai makhluk pembelajar, kita akan senantiasa mengalami pertukaran value. Nilai-nilai kehidupan yang relevan di satu masa, mungkin tak lagi berlaku di masa selanjutnya. Jadi dalam proses learn, unlearn, dan relearn ini semoga kita selalu punya kesiapan untuk ditunjukkan Allah saat kita salah (unlearn), bagaimanapun jalannya. Bahkan jika itu harus melalui kejadian yang kita nggak suka, atau melalui orang yang kita nggak dekat dengannya. Serta semoga kita diberikan kekuatan untuk memperbarui nilai-nilai yang kita anut menurut kacamata Ilahi (relearn).
Mudah-mudahan kita senantiasa diberkahi kerendahan dan kemurnian hati dalam proses learn, unlearn, dan relearn.
— Giza, tadinya tulisan ini direncanakan cuma bakal 3 paragraf kenapa jadi manjang gini yak wkwk
88 notes
·
View notes
Text
Learn, Unlearn, Relearn
Waktu itu baca kutipan dari instagramnya (at)esslythe, katanya:
"Yang namanya pertumbuhan itu nggak peduli dengan perasaan. Fokusnya emang supaya kita bertumbuh."
Nah dari kutipan itu aku kembangin jadi begini:
“Yang namanya pertumbuhan itu nggak peduli sama perasaan. Buktinya, untuk menghasilkan buah yang manis, pohon nggak perlu menuntut air hujan dulu supaya manis rasanya. Fokusnya memang supaya kita bertumbuh. Dan bukan untuk menjadi diri sendiri melainkan menjadi yang seharusnya: pribadi yang Dia inginkan.”
Terus doa yang diulang belakangan ini akhirnya bukan semoga orang lain sadar melainkan semoga aku yang sadar, barangkali ada bagian-bagian yang aku melakukan kekeliruan di dalamnya.
Ternyata emang lebih menenangkan fokus pada pertumbuhan diri daripada mempertanyakan pertumbuhan orang lain. Karena hidup kan sebenarnya perlombaan dengan diri kita yang hari sebelumnya. Setiap harinya kita akan meninjau sudah sejauh mana ∆ improvement yang kita hasilkan. Sudah seefisien apa sumber daya dan waktu teralokasikan. ∆ improvement-nya sudah sepadan belum dengan apa yang udah dikeluarkan? Kalau belum, evaluasinya apa? Intervensi apa yang sekiranya efektif (berpengaruh)?
Tentu selama masih diberi nafas, akan selalu ada input yang diproses sehingga menghasilkan output tertentu. Selain pada hal yang diinput, output juga akan bergantung pada sistem operasi internal dalam diri kita. Makanya untuk menghasilkan buah yang manis, yang terpenting bukan air hujannya manis apa enggak, tapi proses fotosintesisnya udah bener belum? Mataharinya terhalangi nggak? Klorofilnya memadai nggak? Gimana pengolahan input air, CO2, dan zat haranya?
Dalam hidup, "proses fotosintesis" ini akan analog dengan "cara memandang, cara berpikir, cara bersikap". Kita ingat, dalam reaksi terang, energi cahaya digunakan untuk memecah molekul air menjadi oksigen, proton, dan elektron.
Meanwhile, cara kita memandang bisa saja justru "membelakangi" atau menutupi arah cahaya datang, sehingga input-input yang masuk lewat pendengaran dan penglihatan tidak dapat dipecah/dipilah berdasarkan relevansi/prioritas. Kalau dari cara memandangnya udah nggak bener, pengolahannya juga bakalan nggak terorganisir, dan pengambilan sikapnya bakal kontraproduktif.
Makanya yang bikin buah manis itu adalah proses fotosintesisnya serta proses pengangkutan glukosa oleh jaringan floem. Analog dengan hidup kita bahwa yang bikin hidup kita manis itu bukan dari kita mendengar dan melihat hal yang menyenangkan, melainkan dari kita memproses sesuatu dan mengambil sikap berdasarkan informasi yang diolah tersebut.
Kemudian hal itu jadi alasanku selalu bilang ke orang yang seneng sama tulisanku, "yang indah bukan tulisanku, tapi cara kamu membaca". Soalnya ya, bagus atau enggaknya tulisan mah relatif, tergantung kondisi dan relevansi yang baca. Tapi kan kalau orang udah punya cara pandang yang bagus, apapun tanda-tanda kekuasaan Allah di hadapannya akan dia proses dengan cara yang indah dan menghasilkan output yang indah juga.
Terus gimana soal perasaan? Aku setuju bahwa tumbuh dewasa adalah membiasakan diri berhadapan dengan rasa sakit di waktu yang tepat dan menghindar pula di waktu yang tepat. Dan tiap-tiap orang bisa tersakiti di tempat-tempat yang berbeda dalam hatinya. Pertumbuhan memang nggak peduli perasaan. Tapi dalam prosesnya kita diuntungkan karena memperoleh kebijaksanaan dalam meregulasi perasaan. Kita jadi bisa nggak over reacting terhadap sesuatu, tapi juga nggak sampai nirempati. Soalnya maa khalaqta haadza bathilaa, kan? Nggak ada yang Allah ciptakan sia-sia, termasuk emosi.
Jadi sebenarnya kita disuruh mikir, bagaimana berperasaan pun dapat menjadi ladang kita bertumbuh menjadi pribadi yang Allah mau. Dan kita masih manusia. Selogis-logisnya orang juga Allah pasti kasih jatah di ujian emosional (emosi itu banyak macemnya yak: marah, suka, kecewa, takut, iri, cinta, benci, dll.). Seperasa-perasanya orang juga pasti Allah uji di ranah pemikiran/hal yang butuh logika.
Kita makhluk yang dinamis. Sebagai makhluk pembelajar, kita akan senantiasa mengalami pertukaran value. Nilai-nilai kehidupan yang relevan di satu masa, mungkin tak lagi berlaku di masa selanjutnya. Jadi dalam proses learn, unlearn, dan relearn ini semoga kita selalu punya kesiapan untuk ditunjukkan Allah saat kita salah (unlearn), bagaimanapun jalannya. Bahkan jika itu harus melalui kejadian yang kita nggak suka, atau melalui orang yang kita nggak dekat dengannya. Serta semoga kita diberikan kekuatan untuk memperbarui nilai-nilai yang kita anut menurut kacamata Ilahi (relearn).
Mudah-mudahan kita senantiasa diberkahi kerendahan dan kemurnian hati dalam proses learn, unlearn, dan relearn.
— Giza, tadinya tulisan ini direncanakan cuma bakal 3 paragraf kenapa jadi manjang gini yak wkwk
88 notes
·
View notes
Text
Kepada mereka yang selalu mengeluhkan tentang beratnya mengikhlaskan, selalu saya katakan bahwa : "Bersabarlah... ini hanya soal waktu."
Tidak pernah ada yang mengatakan bahwa mengikhlaskan adalah pekerjaan mudah. Sama halnya dengan niat pada suatu amal, di awal mungkin kita mengerjakan bukan untuk-Nya, maka seiring kita terus berusaha mengerjakannya, konsistensi dalam menjaga ritmenya, baru kita temukan makna dan kemana niat dari amalan ini seharusnya tertuju.
Ada 3 kata kunci penting dalam meraih keikhlasan yang demikian itu: berusaha, konsistensi dan pemaknaan.
Berusaha artinya kamu sadar bahwa apa yang kamu jalani hari ini mungkin belum sebagaimana fitrahnya. Pada kesadaran itu kamu terus berusaha, meskipun dengan segala ketidaksempurnaan-nya. Satu-satunya keyakinan yang kamu yakini adalah bahwa sesuatu yang baik memang harus terus diusahakan, dan kadang menuntut pengorbanan.
Konsistensi adalah gerbang pertamamu setelah memilih berusaha. Di tengah keterbatasan dan keraguan yang menghantui, imanmu diuji. Hatimu mulai diliputi keraguan, kesedihan, hingga menyulut keputusasaan. Akan tetapi, kamu memilih bersabar dan tetap teguh untuk konsisten berjuang meskipun sering kali dengan sekaan air mata.
Pemaknaan adalah buah dari usaha dan konsistensi yang selalu kamu jaga. Hadirnya menjadi jawaban atas segala jerih, pengorbanan, tangisan ataupun luka yang kamu alami selama itu. Pada fase ini kamu akan memahami, bahwa mengikhlaskan adalah soal waktu.
Ya, kamu hanya butuh untuk sedikit lebih bersabar.
221 notes
·
View notes
Text
Kamu lebih bisa powerful justru ketika tidak semua hal kamu share di media sosial.
When you build in silence, people don't know what to attack. Oversharing bisa terlalu membuka dirimu sehingga banyak celah lemahmu dipelajari dengan baik oleh mereka yang tak suka padamu.
Maka lagi-lagi saatnya mengingatkan diri saya dan kita tentang nasihat Imam Asy Syafi'i...
"Terlalu membuka diri bisa membuatmu berkawan dengan circle buruk. Menutup diri total bisa mencipta permusuhan. Maka, jadilah orang yang tahu kapan membuka diri, kapan punya privasi." (Hilyatul Auliya)
805 notes
·
View notes
Text

They still using this shit-ass talking point even if it has been refuted a million times?
9K notes
·
View notes
Text
Hello, I am Nora Maliha from the devastated Gaza Strip. I am 24 years old, studying special education, and was about to graduate. I come from a academically accomplished and ambitious family. My father works in the occupied territories, and my mother is a homemaker. I have two sisters (Dina and Farah) and three brothers (Ahmed, Mohammed and Amr)
Dina:-
A teacher, graduated with honors from university after achieving a 98.9% GPA in high school in 2014. A determined and ambitious girl who faced life's challenges alone despite our difficult financial circumstances, managing to make a difference in society as a woman
Ahmed:-
A third-year college student majoring in software engineering, my elder brother trying to shoulder responsibilities in the absence of our father. Life seems bigger than him as a young man unable to secure his daily
Farah:-
The cheerful girl who graduated high school with a 90% GPA, started her educational journey at university in her first year. Farah, who never gave up, spoke to us about her ambitions and visions for the future.
Mohammed:-
The beautiful child, thirteen years old, excelling in his studies. Unlike the rest of the family, Mohammed suffered from a severe respiratory crisis and chronic inflammation of the airways. His companion was the respiratory device he couldn't live without. What broke Mohammed's heart was leaving his device behind when we were forced to flee to southern Gaza.
Amr:-
Eleven years old and very bright in his studies, Amr is mischievous, aiming to become a mechanical engineer.
Our Story:
Since childhood, we've lived in a rented house, and our father worked tirelessly abroad to afford us a home of our own, but we never achieved that dream. We led a quiet and stable life, dreaming of studying hard to build our future.
All these dreams shattered on October 7th. We lost contact with our father in the occupied territories and haven't heard from him since. Until now, we receive unverified news. We endured the early days of war in northern Gaza, refusing to evacuate to the south, hoping for its end. We couldn't sleep at night due to intense bombing and heavy artillery until November 15th when the occupation forces stormed our home, forcing us to flee on foot to the south. My mother, siblings, and I passed through the occupation forces' checkpoint, forcibly searched and terrorized by gunfire. I can't describe how much we cried that day. We headed to the Red Crescent headquarters in Khan Yunis, where we stayed for about a month and a half without any assistance. We received news of the occupation army entering and destroying our home completely. Here begins Mohammed's story as he started feeling extreme fatigue due to the air pollution from the smell of gunpowder and rockets. The Red Crescent had to resuscitate him using medical devices insufficient for all the patients. One dark night, the Israeli army bombed the Red Crescent without any prior warning, prompting my mother, siblings, and me to flee to Rafah. We set up a tent on the beach in the freezing cold, unable to afford food, water, or Mohammed's medication. Rafah is no longer safe; the Israeli army threatens to invade, and we have no shelter or place to escape to. We feel deep sadness and extreme despair for our devastated lives, for our father far away, whom we haven't been able to contact for five months, alone without a provider, worried about Mohammed's inability to tolerate the smell of gunpowder. His health condition is critical, and action needs to be taken immediately to save his life. He and his family seek help and assistance for evacuation to Egypt. However, we cannot cover all these expenses, and those in charge shouldn't leave us to suffer the psychological and physical trauma that has accompanied us and worsened during the genocide in Gaza.
All we wish is for you to help us cross the Rafah crossing to Egypt to start anew.
Information and cost for crossing to Egypt via its only agent, "Yahala Company":Information and cost for crossing to Egypt via its only agent, "Yahala Company":
$5000 per adult (we are five adults), totaling $25,000.
$2500 per person under 18 (2 children), totaling $5000.
Renting an apartment in Egypt costs $166 monthly ($2000 for a full year).
Total amount: $32,000.

28 notes
·
View notes
Text
Maka, Aku Ridho
Dalam kajiannya, Hubabah ummu zain Al-Junaid mengatakan bahwa “salah satu kebiasaan perempuan-perempuan di tarim ketika mendidik anaknya ialah mengajarkan ;
رَضِتُ بِااللهِ رَبَا وَبِالْاِسْلاَمِ دِيْنَا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَا وَرَسُوْلاَ
pada kalimat pertama yang harus ia ajarkan untuk diucapkan anaknya”
رَضِتُ بِااللهِ رَبَا وَبِالْاِسْلاَمِ دِيْنَا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَا وَرَسُوْلاَ
“Aku ridho Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasulku”.
Aku terdiam, kepalaku mendongak menatap wajahnya dengan menelaah segala hal yang beliau ucapkan dengan harapan tidak ada yang tertinggal satu kalimat pun dari beliau.
Tauhid ..
iya, Poin dari semua hal yang beliau sampaikan ialah memperkuat pondasi tauhid .
Karna memang benar, semakin aku mempelajari kehidupan ini, semakin dibenturkannya dengan segala hal yang membentuk keridhoan.
Allah beri penundaan doa, aku belajar ridho atas kehendak-Nya dalam mengabulkan doaku .
Allah beri aku rasa kehilangan, duka, luka dan kecewa, aku belajar ridho bahwa memang sedari awal semua itu hanya sesuatu hal yang dititipkan-Nya kepadaku.
Pun hari itu aku putuskan ..
Yaa Rabbku, alih-alih mengomentari, kini aku sedang berusaha meminta dan menerima. Sekalipun hal2 yg datang diluar pinta. Izinkan aku menilainya sebagai perlindungan dari hal-hal yang menyakitkan.
Karna untuk seluruh yang hilang telah aku ikhlaskan, seluruh yang rumit telah aku relakan . Segala yang telah membebani telah aku lepaskan. Segala yang pergi tak kan ku tahan .
Lalu, takdir mana yang harus aku perdebatkan ? Jika sesungguhnya segala ketentuan hanya milik-Mu .
248 notes
·
View notes