primaavially
primaavially
AVIALLYPRIME
58 posts
Indonesian ll 23 ll PAAP FEB UNPAD '10
Don't wanna be here? Send us removal request.
primaavially · 7 years ago
Text
Words Bleed
Kuningan, 4 Maret 2018
Bukankah kamu memahami ? Batinku terguncang begitu hebat. Nalarku porak poranda.
Pundakku memikul beban berat. Dan kamulah tempatku bersandar.
Bukankah kamu memahami ? Biasaku mengalah pada amarah. Sekalipun amarahmu. Hingga biasaku tak menjadi biasa di pagi ini.
Kalut. Dada ini begitu sesak. Akal ini tak berjalan semestinya. Kita di tikam kata.
Lantas mengapa kamu berumpama terlalu jauh ? Tak pernah terbesit sekecil apapun dalam benak ini untuk pergi. Pun kamu mengerti bahwa aku hanya akan meninggalkanmu bila kamu "berbagi" dengan yang lain.
Aku sekarat. Bahkan aku membutuhkanmu lebih dari yang bisa kamu rasa.
Maaf atas kata yang menyayatmu. Tak ada kata lain yang bisa kusuguhkan selain kata "kembalilah"...
0 notes
primaavially · 7 years ago
Text
Berontak
Cirebon, 2 Maret 2018
Belum genap sebulan, ku gantungkan hidupku disana. Ruangan itu menjadi saksi bisu tentang peluh dan air mata yang terkuras. Juga sujud dari batin yang terguncang.
Tekanan dan suara cacian adalah makanan sehari-hari. Bahkan harus rela menikmati ketidaktenangan di tiap detik yang berdenting.
Nyatanya kata “kami” menyeruak atas dasar kesamaan rasa. Aku tidak sendiri.
Gemericik hujan di seperempat malam mengiringi langkah kami menuju singgasananya. Membuat kami tersadar, harga diri sedang diinjak sehabis-habisnya. Bagaimana bisa ada manusia yang tidak memanusiakan manusia ?
Biadab !
Lidahnya menghunus terlalu dalam. Apa yang telah kami upayakan tak berarti apa-apa baginya.
Sambutlah genderang perang. Kami tak rela ditindas manusia hina.
0 notes
primaavially · 8 years ago
Text
Gemuruh
Kuningan, 26 Maret 2017 | 02.27
Selepas tawa itu, ada tanya yang kamu layangkan kala kita saling menatap.
“Sayang, kalau ada ibu-ibu lagi melahirkan dan kemungkinan yang selamat cuma salah satu siapa yang kamu pilih ?”
“Dua-duanya.”
“Cuma salah satu yang bisa selamat.”
“Dua-duanya.”
“Pilihannya 1 yang selamat.”
“Dua-duanya.”
Tak henti dia menanyakan hal yang sama. Perlahan aku mulai bingung. Untuk yang kesekian kalinya jawabanku masih sama. Hingga semakin lama dia bertanya, aku mulai memberi jeda untuk berpikir. Ini kali pertama aku diberikan pertanyaan macam ini. Dia berusaha memperoleh jawaban dariku. Dia sangat ingin tau pilihanku. Sangat.
Ketika itu, tak ada yang kupikirkan selain rasa kasihan saat harus merelakan seorang anak yang belum tersentuh dosa, yang ingin merasakan hidup di dunia harus meregang nyawa.
“Anak.”, jawabku.
Dia tersenyum sembari berkata, “Enggak apa-apa.”
“Kenapa nanya begitu ?”, tanyaku heran.
“Enggak apa-apa.”, tandasnya.
“Kalau kamu bakal pilih siapa ?”, tanyaku lagi.
“Ibunya.”, jawab dia.
“Kenapa ?”, bisikku halus.
“Aku pilih ibunya. Kalau anak mungkin bisa diusahain. Bisa bikin lagi sama-sama. Jadi kamunya ke urus sama aku.”, jelasnya.
Sejenak aku tertawa kecil ketika mendengar kata “bikin lagi” yang terucap dari mulutnya. Aku sedikit terkelitik seraya berkata :
“Gak segampang itu sayang. Anak kan titipan harus di jaga. Tapi aku pengen dua-duanya selamat kalau masih bisa diusahain. Susah sih.”
“Iyaa enggak apa-apa.”, timpalnya.
Dia memelukku lalu menutup matanya. Aku terdiam. Ku kira dia tertidur. Namun alunan nafasnya berbeda. Seperti menahan sesuatu. Ku coba menyibak wajahnya yang dia sembunyikan di balik perutku. Namun dia tak mau.
Tiba-tiba ku tersadar, dia sedang membicarakan tentang kita di masa depan. Hingga membuatku tahu, dalam diamnya dia menangis.
Aku bertanya mengapa dia terus-menerus mendekapku erat sambil menutup matanya. Tentang hal yang sedang ia pikirkan kala itu. Dia pun enggan menjawab lalu terus membenamkan wajahnya di tubuhku.
Sekali lagi ku sibakkan wajahnya. Masih terpejam, air mata pun menetes di pipinya. Ku coba menenangkan dia bahwa aku tak bermaksud seperti itu.
Air matanya terus mengalir. Dia menangis tanpa suara.
“Emang susah. Pada akhirnya nanti kamu yang bakal memutuskan semuanya. Kalau itu pilihan kamu, aku ikhlas. Aku titip aja anaknya ya ?”, jelasnya memegang kedua pipiku.
Jelas. Ini adalah sesuatu yang penting baginya. Caranya melihat seberapa pentingnya dia bagiku di masa depan.
“Bukan gitu maksudku.”, kataku.
“Asal kamu bisa urus anaknya aja. Nanti bisa nikah lagi kan.”
“Aku gak kepikiran nikah lagi.”
“Tapi anak itu butuh ibu.”
Pandanganku kosong. Berpikir keras bahwasannya bila memang hal itu akan terjadi, ini merupakan pilihan yang sulit.
“Gak usah dipikirin yah. Enggak apa-apa kok.”, dia tersenyum.
Aku tak menggubris kata-katanya. Sepersekian detik aku berada pada dimensi lain yang menyeretku ke masa lalu dan masa depan.
Masa lalu membawaku ke saat-saat dimana aku memperjuangkannya begitu hebat. Berusaha hingga hari ini untuk membuat mimpiku nyata. Menjadikannya yang terakhir di hidupku. Hingga saat renta nanti kita berdua masih bisa melihat tawa riang para manusia yang memanggil kita kakek dan nenek. Seonggok imajiku yang selalu menempatkan sosoknya dalam angan-angan itu.
Dalam waktu singkat aku terseret pada masa depan. Pilihan pertama itu membuatku harus menyaksikan masa depanku tanpa dirinya. Kejadian yang tak pernah sedikitpun kuinginkan untuk terjadi. Dan bagaimana bisa ku sanggup hidup seorang diri tanpa dia, sedangkan yang kuinginkan menghabiskan hidup bersamanya.
Aku tersentak sedemikian rupa. Batinku terecah. Membuatku tak sanggup menahan air mata yang sedari tadi ku bendung.
Kupeluk dirinya erat. Mencoba saling menenangkan diri.
“Mungkin pilihanmu benar.”, kataku.
“Memang sulit. Gak usah dipikirin. Kamu harus merenung dan ini butuh waktu.”, jawabnya seraya tersenyum.
“Kalau aku pilih anak, aku berjuang sendirian. Aku harus ikhlasin kamu sendirian. Aku tahu kapasitasku, dan gimana bisa aku mengikhlaskan kamu.”
“Kan bisa nikah lagi biar ada yang ngurus.”
“Aku gak pernah ngebayangin hidup sama orang lain selain kamu. Kalau aku pilih kamu, aku mungkin bakal kehilangan anak. Tapi aku sedih sama kamu, berusaha ikhlas sama kamu, berdoa sama kamu. Kita sama-sama ngelakuin hal itu.”
Dia meneteskan air mata. Begitupun denganku. Tak pernah terbesit akan hal ini dalam benakku. Karena hanya dia yang ku taruh dalam angan masa depanku. Selalu ada dia. Dan aku begitu terpukul ketika harus membayangkan dia tak ada di hidupku nanti.
“Udaah. Jangan terlalu dipikirin yah ? Nanti aja. Istri juga titipan.”, katanya berusaha membuatku tenang.
Lalu aku sadar dia pun begitu terpukul ketika pilihanku mengisyaratkan bahwa aku tak benar-benar memperjuangkannya.
Sejujurnya ini memang pilihan yang sulit ketika harus memilih sesuatu yang berkaitan dengan nyawa. Tapi hal ini lebih dari sekedar itu.
Tak lama aku tiba di rumah saat tengah malam. Di dalam kamar aku terbaring. Merenungkan pertanyaan yang terlihat biasa saja namun mampu mengalihkan pikiranku.
Aku terdiam merenungi semuanya hingga malam semakin larut.
Istri dan anak adalah sebuah anugerah. Begitupun orangtua dan adik-adikku. Aku tak bisa memilih dari orangtua mana aku ingin dilahirkan. Adik dan anak seperti apa yang kuinginkan. Semua adalah anugerah-Nya yang tak bisa aku pilih. Tetapi istri, istri adalah anugerah yang ku pilih dari jutaan wanita diluar sana. Yang kupilih untuk kuberikan waktuku. Yang ku pilih untuk menemaniku hingga ajal nanti. Yang kupilih untuk kupertanggungjawabkan dunia dan akhirat. Yang nantinya akan ku pilih untuk terus hidup menemaniku hingga akhir. Apapun yang terjadi.
0 notes
primaavially · 8 years ago
Text
This Is (not) The End
Kuningan, 26 November 2016
"Jadi kamarnya mau kaya gimana ?", tanyaku setelah kita berdua bernostalgia memainkan game Metal Slug di kediamannya, sebuah game PS1 yang akhirnya berhasil kita tamatkan malam itu.
Mendiskusikan tata letak denah kamar dari sebuah rumah yang rencananya akan mulai di bangun dalam bentuk pondasi beberapa minggu lagi.
"Aku pengennya sih kamarnya kaya gini. Di sebelah kanan kamar mandinya. Sebelah kirinya ruangan gitu. Bisa buat ruang kerja aku sama kamu kan nantinya.", jawabnya rinci sembari menggambar di atas selembar kertas, menumpahkan imajinasinya agar bisa ku pahami.
Setengah jam berlalu saat kita berdua saling  bertukar pikiran. Membuat denah yang pas sesuai dengan apa yang diinginkan. Juga mencari beberapa model rumah yang sekiranya cocok dengan denah yang akan dibuat nanti. Hingga malam itu, jarum jam sudah bertengger di angka 11.
"Kamu dicariin orang rumah gak ?", tanyanya memastikan.
"Udah bilang kok. Nanti diobrolin lagi aja deh yah udah malem.", tandasku.
"Iya deh boleh. Udah malem juga gak enak.", timpalnya lagi.
Aku mengangguk. Lalu memasukkan laptop serta perlengkapan bermain lainnya ke dalam tas. Di sela-sela itu, ku amati dia mulai terlelap di kursi tamu yang kita duduki bersama, berbaring bersembunyi di balik punggungku.
"Hey...bangun. Sakit leher kalau tidurnya kaya gini.", ku belai rambutnya sembari berbisik.
"Hmm...iyaa...", jawabnya parau.
Dia mulai duduk dengan mata sayunya, juga rambut sebahu yang tergerai berantakan.
Kita tak pernah urung untuk merayakan perpisahan dengan sebuah pelukan. Hal yang tak pernah abstain kita berdua lakukan saat akan saling meninggalkan.
"Aku rindu.", bisikku lirih dalam dekapannya.
"Ini kan udah ketemu.", balasnya.
"Gak cukup.", kataku.
Lantas dia tersenyum diiringi tawa kecilnya. Bersama hembusan nafas yang terasa sedikit hangat di punggung.
"Ada sesuatu yang pengen aku tanyain.", kataku menghapus senyumnya malam itu.
Perlahan dekapan itu kita lepaskan. Berhadapan, lalu saling menatap.
"Kenapa ? Mau tanya apa ?", katanya.
Kuangkat hidung dengan jari telunjuk menyerupai hidung babi sambil tertawa mengejek. Entah kenapa rasanya tiba-tiba nyali ini menciut kala dia menatap serius.
"Apa sih ! Males ah kalau kaya gini !", ketusnya.
Tas itu aku tanggalkan di bawah meja. Mengurungkan niat untuk segera pulang di malam yang semakin larut.
Kembali ku terduduk di sampingnya. Menghela nafas, hingga mulai bertanya seraya terbata.
"Hmm...aku tau ada sesuatu yang kamu lakuin di belakang kan ?"
"Yang mana ? Aku ngelakuin apa ?"
"Gak usah aku jelasin. Mungkin kamu sendiri tau kan."
"Apaan sih ! Gak usah bertele-tele tinggal ngomong aja apa susahnya sih ?!"
"Kamu sama sekali gak ngerasa ngelakuin sesuatu di belakang aku ?"
"Iya ya udah tinggal bilang aja apaan sih masalahnya !"
Aku mulai merunut beberapa tanya yang puluhan hari ini bersarang di kepala. Tentang dia yang menutupi sosokku di belakang. Tentang dia, yang ku asumsikan menjaga hati orang lain.
"Aku gak ngejaga siapa-siapa."
"Kita udah saling tau. Aku diem bukan berarti gak perhatiin kamu. Segala gerak gerik kamu yang belakangan ini beda."
"Lha orang emang aku gak ngejaga siapa-siapa kok."
"Terus kenapa aku harus kamu tutup-tutupin ?"
"Ya emang gak ada apa-apa kenapa sih !"
Konflik mulai tersulut. Emosinya jelas bermetamorfosa amarah. Aku tau, tak ada orang yang senang didesak. Tapi kali ini, terpaksa harus.
Dia terus berkilah. Lagi, lagi, dan lagi. Seolah memang tak ada yang terjadi. Dan aku, berusaha dengan sangat meredam ego yang sedari tadi mulai menerobos batas sabar.
"Gak ada apa-apa ? Menurut kamu jawaban itu logis ?"
"Enggak."
"Terus kenapa ?"
"Ikutin aja firasat kamu !"
"Gini cara kamu ngeyakinin aku ? Kamu lebih milih ngehindarin masalah daripada ngadepinnya ?"
"Siapa yang ngehindar ! Aku gak ngehindar !"
"Aku gak perlu tau siapa orangnya. Tapi kenapa kamu ngelakuin hal kaya gini ?"
"Ya emang gak ada aku harus jawab apa ?"
Terus begitu. Dengan jawaban sama untuk yang sekian kalinya. Lalu kata "kenapa" menjadi air yang terus aku turunkan untuk menghujaninya. Sampai mungkin dia bicara. Sampai mungkin ada benar yang muncul ke permukaan.
"Iya !"
Aku masih terdiam menatap matanya. Membiarkan dia melanjutkan pembicaraan. Terlihat badannya gemetar, matanya tak lagi sanggup menatap tajam mataku.
"Aku ngejar dia karena ada hobi yang sama. Tapi gak lama. Itu dulu sekarang udah enggak.", jelasnya dengan terbata-bata.
"Iya aku tau sekarang udah enggak. Tapi apa kamu bakal ngomong kalo gak aku tanya kaya gini ? Apa bakal jadi rahasia kamu sendiri karena ngelakuinnya di belakang ? Dan selama itu kamu pura-pura kalau semua baik-baik aja ?", balasku.
"Kalau kamu mau pergi gak apa-apa."
Tak ada kata-kata yang keluar lagi dari mulutnya. Matanya sedikit sayu, menatapku sebab buruk yang terungkap. Tapi memang butuh nyali yang tak sedikit untuk mengakui sebuah kesalahan. Juga sedikit keras kepala untuk membuatnya bicara.
"Aku udah tau hal ini berpuluh hari yang lalu. Aku sendiri bikin seolah semuanya baik-baik aja, karena aku pengen ngomongin hal ini empat mata sama kamu. Ada ego yang harus aku turunin. Kamu sendiri pun gak mungkin kaya gini kalau gak ada sebabnya kan ?"
Bisu. Hanya itu yang dia lakukan. Kita berdua saling menatap selama beberapa menit. Tak ada satu patah kata pun yang terucap. Hingga akhirnya aku yang harus bicara.
"Apa aku ngelakuin kesalahan sampai kamu kaya gini ?"
"Enggak."
"Kamu tau alasannya sampai aku harus ninggalin kamu waktu itu ?"
Dia mengangguk.
"Mungkin ini bukan tentang aku lagi yang kasih kamu kesempatan. Tapi mungkin kamu yang kasih aku kesempatan."
Aku pun mulai bercerita semuanya. Saat-saat pahit manis semenjak kita pertama bertemu hingga datangnya hari ini. Sebuah cerita kilas balik yang sebelumnya tak pernah kita bicarakan. Dan dia hanya bisa menyimak dengan alunan nafas melambat yang masih bisa kudengar malam itu.
"Aku yang bodoh. Emang aku yang terlalu bego.", tandasnya.
"Tapi kenapa ?"
"Aku gak tau."
"Gak ada akibat kalau gak ada sebab kan ?"
"Iya..."
"Terus kenapa ? Trauma kan ?"
Saat kata itu kulayangkan, dia mendongakkan kepala ke arah langit-langit rumah. Berusaha menahan air mata yang tak bisa lagi dia bendung.
Aku bercerita tentang masa lalunya. Tentang keluarganya yang sempat runtuh. Tentang sosok ayah yang meninggalkannya. Tentang calon imam sebelumku, yang sempat ia gantungkan masa depannya, yang akhirnya meninggalkannya juga. Tentang laki-laki yang memporak-porandakan dunianya.
"Apa semuanya kamu pukul rata ? Apa kamu anggap aku sama kaya mereka ? Iya ?"
Tangisnya menjadi-jadi. Memecah belah hening malam dengan isakannya. Perlahan tangannya menggapai tanganku. Namun ku acuhkan.
"Apa kamu dendam sama yang namanya laki-laki ? Apa dengan kaya gitu bikin kamu puas ?"
"......"
Dia hanya menggelengkan kepala. Sesekali mengusap tetes demi tetes air mata yang melulu jatuh di pipinya.
"Diri kamu yang sebenernya lebih baik dari itu. Gak perlu ngelakuin hal kaya gitu. Jadi gimana ?"
Dia mengangguk pertanda "iya".
"Apa ?"
"Aku... aku gak yakin sama diri aku sendiri. Aku kasih kamu kesempatan. Tapi gak sekarang. Nanti pas kita udah sampai harinya."
Jawabannya mendadak berbeda. Aku tersenyum, sedikit terkekeh mendengar ucapannya.
"Aku gak lagi ngomongin hari esok atau beberapa taun setelahnya. Aku ngomongin kita hari ini. Apa kita lanjut ? Atau udah aja sampai disini ?"
Dia berpikir, menimbang di dalam dunianya sendiri. Ini pilihan. Kalaupun menurutnya ini sebuah paksaan, maka memang begitu adanya. Paksaan untuk memilih.
"Jadi gimana ? Kalau kamu mau lanjut, mau berubah, aku juga mau."
Bibirnya menggumam gemetar, menahan suara yang terlihat ingin keluar dari mulutnya. Lantas, dia tertunduk lemas. Untuk kesekian kalinya dia menitikkan air mata. Namun kali ini, dia terlihat ingin melepaskan sesuatu.
"Aku...aku...", katanya terbata sembari berusaha menatap ke arahku beberapa kali.
"Aku...aku mau hidup sama kamu Bo.", lanjutnya lagi dengan berurai air mata.
Aku tersentak. Entah mengapa rasanya ada yang menghantam dadaku begitu kerasnya. Aku runtuh mendengar ucapannya.
Aku yang sedari tadi menatap ke arahnya menunggu dia berbicara, memaksa diri untuk membuang muka lalu tertunduk. Hingga kemudian aku pun tak kuasa menahan air mata yang menetes dari pelupuk mata atas pengakuannya itu.
"Mbing, beberapa taun lalu kita pernah punya cerita buat hidup bareng kan ? Dan sampai sekarang aku pun masih pengen hidup sama kamu."
Malam itu mengharu biru. Kudekap tubuhnya erat. Membiarkan diri menangis dalam dekapannya.
Tak pernah ku duga ada kata seperti itu yang terlontar dari mulutnya. Yang mampu buatku bungkam. Yang mampu buatku begitu gemetar. Karena bahwasannya, saat itu matanya sejalan dengan ucapannya.
"Maafin aku."
"Maafin aku juga."
"Jadi kita clear ?", kataku sambil mengacungkan jari kelingking ke arahnya pertanda damai.
"Enggak !", balasnya dengan simpul senyumnya.
"Hahaha. Kita clear gak nih ?"
"Enggak !"
"Kenapa ?"
"Aku benci mau bilang kaya tadi lagi."
"Hahaha. Emang bilang apa ?"
"Itu...bilang yang tadi."
"Yang manaa ?"
"Itu...yang bilang aku pengen hidup sama kamu."
"Lha...itu bilang lagi kan. Hahaha."
"Ahh...udah ah resee !", bantal di ruang tamu di lemparnya tepat ke arah mukaku.
"Hahaha. Iya iya...jadi gimana kita clear gak ini ? Kalau belum aku gak akan pulang."
"Iyaaa kan udaaah."
"Nah gitu dong. Susah amat."
"Ahh...udah pulang pulaaaaang sana."
"Hahaha iya iya. Sini.", ku kecup keningnya kemudian bergegas pulang pada pukul 1 pagi.
"Iyaa udaah cepetan pulang udah malem gak enak."
0 notes
primaavially · 9 years ago
Text
Saatnya
Akan datang saatnya aku menahan diri untuk tidak menghubungimu, seingin apa pun aku.
Akan datang saatnya, aku memilih untuk berhenti, benar-benar berhenti, seingin apa pun aku meneruskan.
Akan datang saatnya, aku melepaskanmu, seingin apa pun aku mempertahankan.
Dan ketika saat itu tiba, hari itu akan jadi hari paling biasa, sebanyak apa pun bunga, sebanyak apa pun puja-puja.
704 notes · View notes
primaavially · 9 years ago
Text
Sesak
Bandung, 21 November 2016
Sementara jarum jam terus berdentang, sementara luna berbisik lirih pada jiwa yang tengah terecah.
Bayang-bayang imagi mengaburkan damai selepas pergantian hari. Merangkul gundah untuk jiwa yang tengah terhempas.
Sebab udara tak berdaya meredam api. Sedang hening tak mampu memecah riuh.
Penuh. Pun tak tersisa tuk sedikit tenang.
Ada jiwa yang tengah getir. Merangkak, meronta, lalu memekik dari jerat gerilya rasa yang buatnya sesak.
0 notes
primaavially · 9 years ago
Text
Alter
Cianjur, 16 November 2016
Mungkin inilah hari dimana rasa itu menyeruak ke permukaan. Yang telah puluhan hari kupendam supaya terkemas baik-baik saja di matamu. Aku tak begitu suka melayangkan tanda seru ketika seluruh darah di tubuh serasa mengalir begitu cepatnya melalui arteri hingga bermuara di ubun-ubun. Beruntunglah sadarku masih bisa mengambil alih.
Pagi ini aku sudah dibuat cukup muak kerana alat kerjaku tak bisa berjalan dengan semestinya. Membuatku semakin muak padamu di waktu yang bersamaan.
Gurauan beberapa manusia ini terasa biasa saja. Sungguh. Bahkan untuk tersenyum pun rasanya aku tak sudi. Hingga perlahan, waktu membawaku pada dimensi lain. Tak ada satu pun suara mereka yang kudengar. Hanya suara berdesis di telinga. Persis saat kamu sedang berada di ruang kosong.
Lantas apa lagi ? Tak perlu berkamuflase di depanku. Sadarkah kamu ada jejak yang tertinggal ? Atau mungkin memang kepalamu hanya bisa menoleh ke depan tanpa memperhatikan sekelilingmu ? Hingga tak sadar mengitari jalan yang itu-itu saja.
Perlahan degup itu bukan lagi degup yang kukenal. Kamu tertiup angkuh. Terlampau tinggi. Kiranya masih dapat berpijak di tempat yang sama. Bahkan mataku masih bisa menelusur di sela ranting kendati kamu berdiam di hutan belantara.
Haruskah kita enyah ?
0 notes
primaavially · 9 years ago
Text
Bad Guy
I've done some bad things. It feels like I've lived life as a bad guy. But some of the worst things you can do, they're technically not wrong. Like...how can you loved someone so much and just destroy them anyway ? Because you're so afraid of losing them. Because you're so afraid of winding up alone. Because you can't live up there on their level, so you drag them down to yours. And all of it, becomes a burden in your life.
0 notes
primaavially · 9 years ago
Quote
Bila kamu rasa sesuatu tidak berjalan baik, coba tanya ibumu, izin atau tidak beliau sesungguhnya pada yang sedang kamu buat.
(via kotak-nasi)
314 notes · View notes
primaavially · 9 years ago
Quote
You can lead a person to the truth, but you can't make them see the light
Charlie Scaturro
0 notes
primaavially · 9 years ago
Quote
I'm watching
You leave a footprint
0 notes
primaavially · 9 years ago
Quote
Dan tak ku taruh semua hingga mata enggan terpejam
Diiris tiga perempat malam hingga meringis
0 notes
primaavially · 9 years ago
Quote
Langkahku terhenti dalam amarah
Jangan berhenti
0 notes
primaavially · 9 years ago
Text
Rindu Sebelum Tiada
Bandung, 15 Agustus 2016
Ku percepat laju. Mendesak percik demi percik hujan yang berusaha menahanku. Tanpa tahu bahwa aku takkan urung olehnya.
Sepersekian detik dalam laju itu, ada rindu yang kubendung. Meski tahu temu kan hadir, meski tahu pergi kan menjemputmu.
Ku genggam erat tanganmu, bawamu berlari mengejar kereta. Hingga pintu tiket menjadi ambang pertemuan kali ini.
Mata ini tak henti memandangimu yang terengah sambil berjalan. Hingga kau hilang di balik peron.
Andai saja kau tahu, selalu ada rindu yang tertinggal. Bahkan kau tak perlu pergi tuk membuatku rindu.
0 notes
primaavially · 9 years ago
Text
Kepada wanita
Dia yang mengalihkan duniamu belum tentu memperjuangkanmu, namun dia yang memperjuangkanmu akan mengalihkan dan mewarnai duniamu seiring berjalannnya waktu
2K notes · View notes
primaavially · 9 years ago
Text
Sunyi
Kemanakah dirimu ? Aku sedang diremukkan dunia. Batinku hancur di recah asa.
Kemanakah dirimu ? Aku sedang terpatahkan. Jiwaku lebur di recah sepi.
Kemanakah dirimu ? Aku sedang kehilangan. Bahkan hadirmu tak terasa ada.
Dimanakah dirimu ? Tak ada suara dalam keramaian. Aku sunyi disini. Jangan biarkan aku mencarimu.
Kemarilah. Kau tak perlu berucap. Aku hanya ingin kau rangkul.
Aku sendiri disini.
0 notes
primaavially · 9 years ago
Text
Tertahan
Kuningan, 8 Agustus 2016
Selalu terbayang tentang apa yang terjadi di antara kita. Aku selalu merasa layaknya bajingan yang sedang mempermainkanmu. Mencarimu ketika butuh, melenyapkanmu saat tak butuh. Terlebih, seperti katamu tempo hari, bahwa kamu bukanlah siapa-siapa bagiku.
Kamu selalu menghindar ketika ku perlakukan seperti siapa-siapa. Padahal kau memperlakukanku seperti siapa-siapa.
Lantas apa yang sebenarnya kamu cari ?
Kupegang erat kata-katamu, kamu yang tak ingin terikat. Tapi kamu berisyarat lain. Seolah bertentangan dengan katamu.
Bukankah dengan begini kita merasa terlalu terbatasi ?
Tidakkah menyakitkan ketika berdiri berdampingan namun merasa terasing ?
Terkadang penerimaan berdampingan dengan pengakuan. Paling tidak pengakuan satu sama lain.
Ini bukan hanya tentangku, tapi juga kamu. Aku peduli denganmu. Dan aku tak kuasa melawan hatiku sendiri.
Niatku kan kutawarkan pasti itu padamu malam tadi. Meski akhirnya kamu tertidur dengan lelahnya, bersama wajah terjelekmu saat tidur malam itu, saat ku antar kamu pulang setelah perjalanan panjangmu.
Percayalah, kesemuan hanya membuat kita merasa tak teryakinkan. Aku butuh kita untuk bicara.
Tak inginkah kau mengakhiri teka-teki ini ?
0 notes