Tumgik
rainhardvidi · 6 years
Text
Kuiditas (al-Mahiyyah)
Dua pertanyaan klasik dan berkenanaan dengan filsafat yang pernah dilacak dan kembali pada filsuf besar Plato berbunyi "what is it?" dan "is it?" yang diartikan "apakah sesuatu itu?" dan "adakah sesuatu itu?" pada satu sisi berkaitan dengan 'gambaran pikiran' yang diurai menjadi definisi agar kemudian dikembalikan ke realitas in concreto dengan "adanya" dan "esensinya" itu sendiri. Biasanya, pertanyaan pertama disamakan dengan kuiditas yang juga berasal dari kata "quid est?"
Barangkali ada orang yang memahami makna “hantu”, namun, pada saat yang bersamaan, orang itu ragu apakah hantu itu merupakan eksistensi di realitas ataukah tidak. Begitu pula Ibn Sina dalam Isyarat wa al-Tanbihat yang mengatakan, “barangkali anda memahami makna segitiga, namun anda ragu apakah segitiga itu disifati oleh eksistensi ataukah tidak,” turut memisahkan dua konsep yang berbeda itu.
Setelah Plato dan sebelum Ibn Sina, al-Farabi juga memisahkan dua konsep itu. Katanya, dalam Fushus al-Hikam, “Apapun (sesuatu) yang ada di hadapan kita memiliki kuiditas dan huwiyyah.[1] Namun, kuiditas sesuatu bukanlah eksistensinya, bukan pula sebagai bagian dari eksistensi. Jika diumpamakan; kuiditas manusia adalah eksistensinya, maka persepsi atas manusia sekaligus persepsi atas eksistensinya. Sebab itu pula, setiap persepsi atas kuiditas (manusia) akan sama dengan pengetahuan anda atas eksistensinya (wujuduhu). Dengan demikian, setiap persepsi sama dengan asersi.”[2]
Apapun yang berkaitan dengan "apakah itu?" (maa huwa?) dan "adakah ia?" (hal huwa?) menjelma menjadi suatu diskursus filsafat, khusunya filsafat Islam. Perkataan quid est menjadi al-mahiyyah yang sama saja dengan awal tulisan ini, yakni “apapun yang menjadi jawaban dari pertanyaan ‘apakah itu?’” Sedangakan pembahasan “adakah sesuatu tersebut?” menjadi permasalah ontologis atau onto-teologis.[3]
Permasalahan kuiditas/mahiyyah dan eksistensi dalam tradisi ini menjadi sangat krusial. Tiga disiplin ilmu—filsafat, teologi, dan mistisisme—menjadi subjek yang mengkaji terus-menerus selama sebelas abad dan juga turut mengembangkannya pula.[4]
-Kuiditas Bermakna Apa Saja?
Telah disinggung sedikit bahwa kuiditas pada satu sisi adalah bentuk pikiran (al-shurah al-dzihniyyah) yang mencerminkan sesuatu eksternal dalam pikiran. Keterkaitan kuiditas dengan hal-hal lainnya yang akan ditulis di sini adalah kuiditas yang, menurut para filsuf muslim, masuk dalam kategori “makna khusus” (al-mahiyyah bi’l ma’na al-khas). Jadi, terdapat tiga jenis kuiditas makna khusus di sini;
I. Gambaran mental atas realitas eksternal
-Pengertian atas kuiditas jenis ini bisa berupa apapun yang terdapat di pikiran dari sesuatu tersebut secara esensial tanpa sifat-sifatnya yang terdapat dalam ranah eksternal.[5] Terkadang bagian ini berkaitan dengan pengetahuan representatif (al-‘ilm al-husuli al-irtisamiy) dalam arti; kuiditas bersemayam dengan sejati di pikiran, ia tidak memiliki tempat di realitas in concreto. Kuiditas yang muncul di pikiran seseorang merupakan “efek” dari realitas-realitas eksternal yang, berdasarkan modusnya sendiri, terbatas.
Singkatnya, gambaran mental mengenai realitas eksternal adalah santiran terhadap batasan-batasan eksistensi. Implikasinya ialah jika tidak ada pikiran manusia, maka kuiditas dalam pengertian ini juga tidak ada, sebab ia selalu keberadaan bergantung pada pikiran.
II. Batasan eksistensi dan kekhususannya
-Adapun kuiditas yang menjadi batasan sesuatu seperti yang dikatakan oleh Shadra “eksistensi kontingen tidaklah berkaitan apapun kecuali dengan martabah kekurangan dan derajat yang menurun (nuzul), yang darinya merupakan sumber kuiditas, dan diabstraksi pula darinya makna-makna kemungkinan.[6] Kemudian, apa yang dimaksud dengan “khusus” adalah yang menjadikan sesuatu berbeda-beda satu sama lain.[7]
Selain itu, kuiditas, menurut sebagian filsuf, adalah batasan ketiadaan bagi eksistensi (al-had al-‘adamiy lil wujud) yang darinya konsep mengenai kuiditas diraih oleh pikiran. Sederhananya, batasan eksistensi eksternal adalah ketiadaan yang darinya pikiran mengabstraksi (intiza’) konsep-konsep kuiditatif.[8]
III. Makna dari ‘apapun yang dikatakan di jawaban apakah itu?’
-Sedangkan pengertian kuiditas yang terakhir ini adalah pengertian yang sering kali digunakan oleh para filsuf ketika mereka sedang membicarakan fundamentalitas eksistensi, yakni menempatkan “aspek sekunder” pada realitas yang fundamental atau asasi.
Dari tiga jenis pengertian itu setidaknya dapat kita lihat yang pertama, bahwa gambaran mental tidak selalu mengenai kuiditas sesuatu, sebab konsep-konsep yang mengada di pikiran (al-mafahim al-hadhirah ‘inda al-dzihn)  terbagi menjadi dua; yakni kuiditas dan inteligibilitas sekunder filsafat dan logika. Sebab ini pula hubungan kuiditas dan konsep-konsep adalah hubungan yang sebagai ‘umum wa khusus min wajhin.’
Namun demikian, jika kita melihat dari tiga pengertian itu maka sebenarnya apa yang dimaksud oleh para filsuf memiliki makna yang sama, yaitu jawaban yang mengandung hakikat sesuatu dan mengada di pikiran subjek. Misalnya, gambaran mental atas realitas bisa mengacu pada ‘batasan-batasannya’ yang membuat sesuatu berbeda satu sama lain berdasarkan tinjauan aspek-aspek kuiditatif. Sedangkan, jawaban dari pertanyaan “apakah itu” melihat esensi sesuatu dari batasannya.
Al-Hilli menjelaskan bahwa “kuiditas adalah kata (lafazh) yang diraih dari (pertanyaan) ‘apakah itu’, dan kata itu adalah yang dengannya dijawab pertanyaan apakah itu.” Kemudian ia melanjutkan, “jika anda bertanya apakah (esensi) manusia, sebenarnya anda sedang bertanya tentang hakikatnya dan kuiditasnya. Lalu jawabannya adalah hewan rasional, maka jawaban tersebut adalah kuiditas manusia, dan kuiditas ini yang sering kali digunakan dalam perkaran-perkara rasional (al-amr al-ma’qul).”[9]
Dengan tinjauan di atas kuiditas tidak memiliki tempat di eksternal dan—berdasarkan teori fundamentalitas eksistensi—kuiditas bukanlah sumber efek eksternal (mansya’ al-atsar al-kharijiyyah). Dari sini pula realitas eksternal merupakan realitas hakiki (haqiqah) dan memiliki esensi (dzat) yang lagi-lagi sebagai sumber efek eksternal yang spesifik.
Meski kuiditas tidak memiliki kenyataan eksternal ia bisa dipandang sebagai sesuatu yang memiliki relasi dengan realitas in concreto, misalnya, sebagai batasannya. Dari sini dapat dikatakan “kuiditas manusia,” “kuiditas batu,” dan kuiditas yang lain-lainnya, yakni kuditas sesuatu yang memiliki hakikat eksternal dan esensi yang mengada di eksternal.
Namun, bagi sesuatu yang tidak memiliki eksistensi maka ia tidak memiliki hakikat dan esensi (dzat) tapi tetap memiliki kuiditas. Misalnya, ‘anqa[10] memiliki kuiditas, tapi ia tidak memiliki hakikat dan esensi, maka dari hal itu dapat dikatakan kuiditas anqa, tapi tidak bisa dikatakan hakikat dan esensi ‘anqa. Sebab itu relasi kuiditas dan hakikat serta dzat adalah umum wa khusus mutlaq dimana kuiditas lebih luas dari hakikat dan dzat.[11]
-Kuiditas Adalah Esensinya Sendiri (al-Mahiyyah Min Haitsu Hiya Laisat illa hiya)
Kuiditas, dengan tinjauan langsung pada esensinya, tidak tercampur dengan sifat-sifat tambahan, seperti eksistensi, ketiadaan, kesatuan, ataupun keberagaman (katsrah) serta sifat-sifat lainnya. Dengan melihat kembali apa yang dikatakan oleh al-Hilli mengenai kuiditas, berarti kita sedang berbicara tentang hakikat[12] sebuah kuiditas, misalnya, kuiditas manusia.
Di awal tulisan inipun tinjauan atas inti kuiditas sedikit disinggung, yakni mempersepsi kuiditas sesuatu tidaklah sama dengan menegaskan keberadaannya. Begitupula sebaliknya, kuiditas tidak mengandung konsep ketiadaan sehingga predikasi eksistensi atas kuiditas tidaklah kontradiksi.[13] Dan predikasi non-eksistensi pada kuiditas juga merupakan hal yang sah, sebab kuiditas tidak mengandung eksistensi.
Satu hal yang membuat kontradiksi dalam konteks ini ialah asumsi eksistensi dan non-eksistensi yang terkandung dalam satu kuiditas. Singkatnya, apapun yang berasal dari luar kuiditas dan esensi-esensinya (dzatiyyat) dapat dinegasikan darinya.[14] Menurut Thabathaba’i, kuiditas memiliki makna, sedangkan eksistensi memiliki makna lainnya, pun non-eksistensi juga memiliki makna lain sehingga negasi sifat-sifat tersebut dari kuiditas bukanlah sesuatu yang tidak sahih.[15]
Meski demikian, kuiditas yang dapat dinegasikan eksistensi dan sifat-sifat lainnya itu akan melazimkan satu kemustahilan lainnya yaitu irtifa’ al-naqhidain atau terangkatnya dua hal yang kontradiksi. Terhadap hal ini Thabathaba’i memberi jawaban yang singkat, “ia tidaklah diambil dari kondisi realitas yang mengharuskan eksistensi atau ketiadaan.”[16]
Imam Fakh al-Razi mengatakan, “ketahuilah, bahwasannya semua hal hakikatnya adalah dirinya qua dirinya, dan hakikat tersebut berbeda dari seluruh sifat-sifatnya yang terdapat di dalamnya (lazimah) atau di luar dirinya (mufariqah). Maka ke-kuda-an dari segi esensinya sendiri adalah ke-kuda-an yang bukanlah apapun kecuali ke-kuda-an tersebut. Dan (oleh sebab itu) kuiditas kuda bukanlah ketunggalan, bukan pula pluralitas, bukanlah eksistensi, dan juga bukanlah non-eksistensi yang terkandung dalam konsep kuiditas kuda tersebut. Maka ke-kuda-an tersebut dikonsiderasi dari esensinya sendiri tidak lain ke-kuda-an.”[17]
Setelah penjelasan singkat di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa kuiditas berdasarkan esensinya sendiri bukanlah apapun yakni bukan eksistensi, bukan ketiadaan dan tidaklah mengandung sifat-sifat tambahan, seperti, ketunggalan, pluralitas, partikular, dan universal, kecuali esensi-esensi pembentuknya sendiri atau dzatiyyat.
-Konsiderasi Kuiditas (i’tibarat al-mahiyyah)
Salah satu pembahasan penting di bagian kuiditas adalah i’tibarat atau konsiderasi ataupun tinjauan pikiran atas kuiditas yang menjadi tiga macam. Ketiga kuiditas yang dikonsiderasi akan menjadi kuiditas bersyarat sesuatu (al-mahiyyah bisyarti al-sya’i), kuiditas bersyarat negatif (al-mahiyyah bisyarti laa), dan kuiditas tanpa syarat (al-mahiyyah al-laa bisyarti al-sya’i).
Adapun penjelasan masing-masing konsiderasi tersebut seperti berikut;
I. kuiditas bersyarat sesuatu (al-mahiyyah bisyarthi sya’i) adalah kuiditas yang ‘tercampur’ (makhluthah) dengan sifat-sifat dari luar esensinya. Misalnya, kuiditas manusia yang mana tersusun dari hewan dan berpikir dikonsiderasi sebagai eksisten yang benar-benar riil di eksternal dan hal tersebut lantaran tercampur dengan eksistensi eksternal (al-wujud al-khariji).
Meski demikian, kuiditas jenis ini juga bisa dikonsiderasi dengan non-eksistensi. Artinya, kuiditas jenis ini bisa mendapat predikat ketiadaan jika seseorang tidak menemuinya sebagai kuiditas yang bercampur dengan eksistensi., misalnya, kuiditas ‘anqa non-eksisten atau “hantu itu tidak ada.”
II. Kuiditas bersyarat negatif (al-mahiyyah bi syarthi laa) mirip seperti yang pertama.[18] Kemiripan yang dimaksud oleh penulis ialah, ia masih merupakan kuiditas yang “bersyarat” meski ditambah kata negatif (al-laa), dan itu untuk menunjukan suatu kondisi yang bersyarat negatif atau tanpa sifat-sifat dari luar esensinya. Sederhananya, kuiditas manusia, misalnya, dikonsiderasi dengan syarat tanpa sifat-sifat seperti eksistensi, ketiadaan, tunggal, dan lain sebagainya.
Adapun penjelasan dari Kamal Haidari mengenai konsiderasi jenis ini ialah, “Kuiditas konsiderasi kedua (bersyarat negatif) adalah konsiderasi atas kuiditas yang disyaratkan dan terikat dengan "ketiadaan apapun yang di luar esensinya.” Pikiran membatasi kuiditas tersebut sebagaimana dirinya (bima hiya hiya), dan konsiderasi ini diistilahkan dengan kuiditas abstrak (al-mahiyyah al-mujarradah) sebab dia bebas dari apapun yang di luar dari esensi.[19]
III. Jika kuiditas jenis pertama dan kedua masih memiliki syarat, maka kuiditas jenis ketiga tidak memiliki syarat, baik dengan syarat yang bercampur sesuatu atau dengan syarat yang bebas (mujarrad) dari sifat-sifat luar kuiditas. Kuiditas tak bersyarat (al-mahiyyah laa bisyarth) ini bisa dilihat sebagai kuiditas absolut yang mungkin terdapat sesuatu yang bersama dengannya atau tidak bersama dengannya.
Singkatnya, kuiditas tak bersyarat ini diandaikan seperti sesuatu yang belum kita syaratkan eksistensinya dengan campuran sifat-sifat tambahan dari luar esensinya ataupun disyaratkan tanpa sifat-sifat tersebut. Pada satu sisi, konsiderasi kuiditas jenis ini memungkinkan pula koresponden dengan kuiditas bersyarat negatif dan kuiditas bersyarat sesuatu.
Meski kuiditas terakhir ini tak bersyarat dari apapun ia tidak bisa menjadi ‘partikel ketiga’ jika kita asumsikan sebagai realitas eksternal. Misalnya, kuiditas manusia yang bereksisten tersebut dipasangkan dengan sifat keberpengetahuan, lalu kita juga bisa asumsikan eksisten kuiditas tersebut tidak berpengetahuan. Pada saat yang sama, kita bisa melepaskan semua gambaran tersebut menjadi; kuiditas manusia yang bereksisten tidak tidak berpengetahuan sekaligus berpengetahuan.
Berdasarkan eksistensi kuiditas yang terealisasi di realitas maka tidak mungkin ada “partikel ketiga” dari kuiditas tersebut yaitu “tidak tidak berpengetahuan dan berpengetahuan.” Seandainya kita tetap mengasumsikan eksistensi bagi “partikel ketiga” itu, maka akan meniscayakan ‘terangkatnya dua hal yang kontradiksi’ (‘irtifa’ al-naqidhain)[20] dimana realitas in concreto tidak menerima kondisi semacam itu.[21]
Kasus “partikel ketiga” ini memberi sebuah indikasi bahwa kuiditas eksternal (al-mahiyyah al-kharijiyyah) selalu bersyarat dengan sesuatu. Sedangkan kuiditas mental (al-mahiyyah al-dzihniyyah) mensyaratkan terlepasnya sifat berpengetahuan, dan syarat inilah yang menyebabkan ia disebut dengan bersyarat negatif atau syaratnya adalah “tanpa sifat apapun”.[22] Sedangkan kuiditas tak bersyarat sesuatu melampui keduanya yang pada dirinya bebas dari kedua kuiditas yang disebut sebelumnya.
-Dua Jenis Predikasi
Telah kita lihat bahwa kuiditas pada esensinya sendiri bukanlah apapun melainkan esensinya yang sendiri yang mana ia tidaklah tunggal, plural, universal, ataupun partikular. Meski demikian, berbagai sifat-sifat tersebut dapat bersanding pada kuiditas. Tapi, apa yang dimaksud oleh para filsuf tentang sifat yang bersanding ini bukanlah sandingan atau predikat yang diraih (ma’khudz) dari esensi kuiditas.
Adapun sesuatu yang diraih dari esensi kuiditas, menurut kalangan umum filsuf, ialah jenus dan differensia. Berdasarkan esensi penyusun tersebut, apa yang ingin dikaji oleh para filsuf ialah kuiditas komprehensif (al-mahiyyah al-tammah) atau spesies. Banyak contoh yang diberikan, misalnya, jawaban dari kuiditas manusia ialah hewan dan rasional sehingga sifat-sifat lainnya yang berasosiasi padanya bukanlah sifat internal dari esensi kuiditas manusia.
Berdasarkan hal tersebut, hewan yang dijadikan predikat pada manusia adalah predikasi esensi pada esensi (haml al-dzat ‘ala al-dzat) begitupula predikasi rasional pada manusia. Para filsuf, khususnya Shadrian, menyebut jenis predikasi ini sebagai predikasi primer (haml awwali dzati) yang mana sebuah predikat diambil dari status esensi kuiditas.
Terdapat kritik terhadap predikasi semacam itu, yakni kesia-siaan mempredikatkan satu hal pada satu hal yang sama pula dan ini semacam tautologi.. Namun, kritik itu dibantah secara sederhana, misalnya, predikasi esensi pada esensi berguna dalam usaha mendefinisikan sesuatu (ta’rif) yang secara khusus menjadi batasan komprehensif (al-hadd al-tamm).
Predikasi lainnya bisa dilihat dari perbedaan kuiditas dengan apapun yang datang dari luar dirinya seperti ketidaan dan eksistensi sehingga dapat dikatakan kuiditas manusia eksis atau kuiditas manusia sebelum alam diciptakaan tiada. Meski konsep eksistensi dan ketiadaan memiliki makna berbeda dari satu kuiditas maka tidak ada kesalahan dalam ketika eksistensi dipredikasi padanya.
Para filsuf memberikan nama predikasi jenis kedua ini sebagai predika teknis umum (haml syayi shina’i). Hal yang penting dari predikasi jenis ini ialah mencirikan perbedaan secara konseptual dan kesatuan di dalam ekstensi (mishdaq). Dengan predikasi teknis ini, kuiditas dapat dipredikasikan dengan sifat-sifat dari luar dirinya.
-Istilah Lain Bersyarat Negatif (bisyarthi laa)
Di bagian ini penulis mengacu pada perkataan populer para filsuf, yaitu, “al-jins bi syarthi laa huwa al-maddah bi’ainiha, wa al-shurah bisyarthi laa huwa al-fashl”.[23]
Apa yang ingin diungkap oleh para filsuf adalah konsiderasi pada sebuah ‘substratum’ yang, pada satu sisi, dapat digabungkan dengan sifat-sifat eksternal dari esensinya. Dan, pada sisi yang lain, memiliki komprehensifitas sehingga tidak mengandaikan dirinya berasosiasi dengan sesuatu yang lain. sekalinya ia diandaikan berasosiasi dengan yang lain, maka munculah sesuatu yang baru yang tidak menerima predikasi dari subtratum atau menjadi predikasi pada substratum.
Di lain sisi pula, terdapat pengandaian mengenai satu tubuh (jism) yang eksistensinya tersusun dari materi dan forma sehingga pikiran juga dapat melihat, misalnya, satu esensi spesies juga tersusun sebagaimana satu tubuh tadi. Bedanya, jika tubuh di realitas in concreto tersusun dari materi dan forma, maka esensi spesies di pikiran tersusun dari jenus dan differensia.
Di samping itu, penjelasan yang mudah tentang makna lain dari bersyarat negatif ialah untuk membedakan jenus-differensia dan materi-forma yang mana yang pertama bisa dipredikatkan pada yang lainnya, sedangkan yang terakhir disebut, lantaran ia bersyarat negatif, tidak bisa dijadikan predikat untuk selainnya.[24]lantaran hal inilah para filsuf meyakini, kuiditas jenus bersyarat negatif adalah materi, sedangkan materi tak bersyarat adalah jenus.
Pertama, kita tilik terlebih dahulu bagaimana materi yang disamakan sebagai jenus yang bersyarat negatif. Misalnya, kita lihat hewan qua hewan yang memiliki aspek kesamaan pada manusia, kambing, kuda, dan lainnya yang mana differensia (fashl) pada berbagai spesies (naw’) merupakan suatu tambahan dari luar esensi hewan yang dengan demikian esensi kuiditas hewan merupakan kuiditas komprehensif (al-mahiyyah al-tammah). Tepatnya, kuiditas hewan qua hewan berada dalam kemurniaan dan bebas dari asosiasi itu.
Kuiditas komprehensif itu dapat dipandang sebagai kuiditas yang pada dirinya sendiri bukanlah apapun melainkan dirinya yang berbeda dari esensi-esensi differensia sebagaimana al-mahiyyah min haitsu hiya laisat illa hiya. Pada aspek ini maka dapatlah disebut bahwa jenus sebagai materi bersyarat negatif, sedangkan differensianya merupakan forma (shurah) bersyarat negatif.
Di sini kita bisa lihat, misalnya, hewan yang dikonsiderasi dengan syarat tanpa apapun bersamanya, dan keberpikiran (al-nathiqiyyah) berasosiasi dengannya maka jadilah sebuah unit yang komposit (al-majmu’ al-murakkab) yang mana tidak bisa jenus hewan dipredikatkan padanya seperti materi (pada jism). Tepatnya, kuiditas jenus bersyarat negatif adalah sesuatu yang tidak ada ‘bagian lainnya’ dan ‘keseluruhan’ dapat dipredikatkan padanya dan tidak pula ia dipredikatan pada ‘bagian lainnya’ dan pada ‘keseluruhan’.
Kedua, jika kita lihat relasi materi dan forma maka relasinya adalah lokus (mahal) dan berlokus (hal). Artinya, materi adalah wadah bagi forma yang kemudian agar muncul sesuatu yang baru, yakni tubuh (jism). Meski demikian, relasi ini bukanlah relasi yang menghasilkan subjek-predikat dalam satu proposisi positif, misalnya, materi adalah subjek sedangkan forma adalah predikat.
Secara sederhana, bersyarat negatif bagi kuiditas ialah sesuatu yang menjadi lokus dan subjek (maudhu’) bagi yang berlokus dan tidak bisa dipredikatkan oleh yang lain dan juga tidak menjadi predikat atas yang lain. Materi mental di sini ialah jenus bersyarat negatif. Sedangkan materi mental yang tak bersyarat dibahas pada bagian ketiga di bawah.
Di bagian ini, materi tidak lain hanyalah lokus bagi forma yang mana forma tidak dapat dipredikatkan pada materi. Dan, pada tahap ini materi atau kuiditas bersyarat negatif hanyalah merupakan lokus dan subjek bagi apapun yang berasosiasi padanya dan ia menjadi sesuatu yang tersusun sekaligus tidak bisa dipredikatkan oleh yang lainnya.
Penjelasan lainnya bisa dilihat atas badan yang tersusun dari materi dan forma dimana keduanya merupakan dua hal yang di luar (dari badan tersebut). Masing-masing dari keduanya memiliki aspeknya sendiri dalam eksistensi; jika materi merupakan aspek penerima, maka forma merupakan aspek aktual, dan dengan demikian tidak mungkin forma dipredikatkan pada materi atau sebaliknya.[25]
Ketiga, jika kita mengkonsepsi kuiditas per se yang diperbandingkan dengan berbagai macam spesies, misalnya, kuiditas hewan, maka kita akan mendapati hewan yang terdapat pada manusia, kambing, kerbau, dan lainnya. Lalu, kuiditas hewan qua hewan di sini berupa kuiditas non-komprehensif (al-mahiyyah al-naqishah) yang secara mendasar belumlah menjadi apapun sampai sebuah differensia berasosiasi padanya sehingga muncul sesuatu yang baru yaitu spesies komprehensif (al-naw’ al-tamm).
Kuiditas hewan tersebut disebut sebagai kuiditas/materi tak bersyarat yang namanya jenus. Kuiditas hewan di sini layaknya kuiditas yang belum menentu yang mana dirinya memiliki kemungkinan untuk menerima berbagai batasan dan asosiasi untuk menjadi lebih spesifik dan menentu. Dan esensi dari differensia di sini ialah yang menjadikan spesies, dan—jika ditinjau dari jenus—sebagai pembagi jenus.[26]
Satu hal yang dapat kita lihat dari bagian kedua ini berupa kemungkinan asosiasi satu kuiditas dengan berbagai kuiditas spesifik yang mengasilkan predikasi satu kuiditas jenus pada berbagai macam spesies sejauh spesiesnya mengandung jenus tersebut. Pada saat yang sama, kita juga menjadikan jenus tak bersyarat ini sebagai subjek yang dipredikatkan oleh, misalnya, rasional.
Bagian ketiga ini pula yang menjadikan materi tak bersyarat dan forma tak bersyarat adalah jenus dan differensia yang satu hal bisa dipredikatkan pada yang lainnya, seperti manusia adalah hewan atau hewan rasional adalah manusia.
note;
Pada tulisan selanjutnya penulis akan membahas universal naturan atau al-kulli al-thabi'i dan segala macam perdebatan yang tertuju pada eksistensinya.
[1] Mengenai huwiyyah ini, Prof Izutsu mengartikannya sebagai “eksistensi.” Lihat The Concept and Reality of Existence.
[2] Abu Nashr al-Farabi, Fushus al-Hikam (Intisarat al-Bidari, Qum), hal 47.
[3] Penulis pernah mendapati beberapa pihak yang terkecoh mengenai kuiditas mantiqi dan kuiditas falsafi dan membedakan keduanya. Padahal kuiditas dari kedua disiplin ilmu tersebut sama saja, yakni usaha pembedahan substansi sesuatu (jauhar al-sya’i). Lihat Mehdi Ha’iri Yazdi, Hiram al-Wujud, (Dar al-Raudhah lil-Thaba’ah wa al-Nasyr al-tawzi’; Beirut, 1990 M), hal 210.
[4] William Chittick (ed), The Essential of Seyyed Hossein Nasr (World Wisdom, Bloomington; 2007), hal 119.
[5] Hasan Zadeh Amuli dalam Syarh wa Ta’liq ‘ala Kasyf al-Murad fi Syarh Tajrid al-‘Itiqad (Muassasah al-Nasyr al-Islami al-Tabi’ah Lijama’ah; Qum, 1433 HQ) hal 125.
[6] Al-Rabbani, Idhah al-Hikmah fi Syarh Bidayah al-Hikmah Jilid II, (), hal 11
[7] Dalam Tulisan yang lain saya telah jelaskan tentang perbedaan yang mengacu pada dua hal yang berbeda. Misalnya, perbedaan eksistensi mengacu pada perbedaan modus dan gradasinya. Sedangkan perbedaan kuiditatif mengacu pada batasan-batasan eksistensi meski batasan itu adalah ‘efek’ dari modus eksistensi (anhaa al-wujud).
[8] Lihat Fayyadhi dalam Musa’ilat al-Wujud ‘ala Dho’u al-Waqi’iyyah al-Shadra’iyyah (Beirut; Dar al-Ma’arif al-Hikmiyyah, 2015 M) hal 163.
[9] Al-Allamah al-Hilli, kasyf al-Murad fi Syarh Tajrid al-‘Itiqad (Muassasah al-Nasyr al-Islami; Qum, 1433 HQ), hal 125
[10] ‘Anqa adalah sejenis burung imajinal yang tidak memiliki realitas di eksternal.
[11] Lihat Muhammad Taqi al-Amuli, Durar al-Fawa’id (Mu’asssasah Dar al-Tafsir, Qum; 1374 HS), hal 293
[12] Hakikat di sini tidak bisa diartikan sebagai sesuatu yang terealisasi di ekstenal melainkan dzatiyaat atau bagian-bagian inti kuiditas.
[13] Kontradiksi dalam konteks ini adalah “ijtima’ al-naqidhain.”
[14] Lihat Kamal Haidari, Syarh Nihayah al-Hikmah  (Muassasah al-Imam al-Jawad Lilfikr wa al-Tsaqafah; Baghdad, 2015 M),  Hal 312.
[15] Muhammad Husain Thabathaba’i, Bidayah al-Hikmah
[16] Muhammad Husain Thabathaba’i, Bidayah al-Hikmah
[17] Dikutip dari Ghulam Husain Dinani, al-Qawaid al-Falsafiyyah al-‘Ammah, (Dar al-Hadi; Beirut, 2007 M), hal 345.
[18] Bagi para filsuf, kuiditas bersyarat negatif merupakan kuiditas yang pada dirinya bukanlah apapun melainkan dirinya sendiri (al-mahiyyah min haitsu hiya hiya laa maujudah wa laa ma’dumah wa laa ‘awaridh kharijah ‘an dzatiha wa dzatiyatiha).
[19] Kamal Haidari, Syarh Nihayah al-Hikmah, hal 338 & Mehdi Ha’iri Yazdi, Hiram al-Wujud, hal 217-218.
[20] Lihat catatan kaki no 16.
[21] Untuk melihat kasus ini, lihat Kamal Haidari, Syarh Nihayah al-Hikmah, hal 339.
[22] Al-Hilli menjelaskan seandainya kuiditas hewan dikonsepsi dengan terlepasnya ia dari apapun sebagaimana terdapat sesuatu yang menjadi kesatuan unit dengannya, maka sesuatu itu merupakan ‘tambahan’ bagi kuiditas. Lalu kuiditas tersebut tidaklah berkoresponden dengan apapun. Inilah yang dinamakan dengan kuiditas bersyarat negatif yang tidak eksis kecuali dalam pikiran belaka. Ia tidak bisa eksis sebagai realitas eksternal sebab seluruh eksisten di eksternal adalah individual (musyakhis). Lihat al-‘Allamah al-Hilli, Kasyf al-Murad fi Syarh Tajrid al-I’tiqad, hal 126. Barangkali ada satu hal yang memberatkan dalam kalimat al-Hilli mengenai kuiditas bersyarat negatif ini yang eksis hanya di pikiran. Keberatan itu bisa jadi dimulai dari anggapan ‘eksistensi mental’ yang secara mendasar juga eksistensi dan eksistensi yang dimaksud dapat membatalkan kuiditas bersyarat negatif ini sebagai konsiderasi yang bebas dari eksistensi dimana artinya ia sama dengan eksistensi mental. Namun, penulis meyakini kalau al-Hilli beranggapan bahwa kuiditas bersyarat negatif yang eksis di pikiran hanya dimaksudkan sebagai satu-satunya tempat di mana kuiditas abstrak ini dapat dikonsiderasi, sebab eksistensi immaterial pada satu sisi sama dengan eksistensi material yang tercampur dengan, misalnya, eksistensi individual dan aksiden-aksiden spesifik.
[23] Artinya; jenus bersyarat negatif merupakan materi berdasarkan esensinya, dan differensia bersyarat negatif adalah forma.
[24] Lihat Misbah Yazdi, al-Manhaj al-Jadidah fi al-Ta’lim al-Falsafiyyah, al-Juz al-Tsani, (huquq al-thaba’; Beirut, 1990 M)  hal 308.
[25] Lihat Muhammad Thahir Khaqani, al-Mutsul al-Nurriyyah fi al-Fan al-Hikmah, (Anwar al-Huda; 1415 H.Q) , hal 156.
[26] Bunyi teks asli; “kullu fashl fa innahu bi’l qiyas il al-naw’ huwa fashluhu muqawwim, wa bi’l qiyas ila jins dzalika al-naw muqassim.” Abu Ali Sina ma’a Syarh Nasiruddi al-Thusi wa Quthb al-Din al-Syirazi, juz I, Kitab al-Mantiq (Matbu’ah Dini; Qum, 1386), Hal 179.
1 note · View note
rainhardvidi · 6 years
Text
Paradoks Yang Tidak Paradoks; Membincang Kesatuan dan Keberagaman Eksistensi
 Bila membaca atau mendengar kata paradoks seringkali kita mengacu pada makna yang menunjukan pertentangan sebuah pernyataan semisal, A adalah putih sekaligus hitam atau A itu satu sekaligus banyak. Namun sebelum jauh, ada baiknya melihat makna paradoks yang disusun secara resmi oleh kamus resmi bahasa. Hal ini harus dilakukan agar pemahaman kita terhadap paradoks tidak melenceng jauh dari yang ingin penulis sampaikan.
Setidaknya ada banyak macam pengertiaan paradoks, dari masalah pertentangan pernyataan atau proposisi sampai dengan suatu sikap filosofis, seperti kalangan Nihilisme yang berlanjut hingga Post-Modernisme. Meski demikian, tulisan ini hanya akan mengadopsi satu pengertian dari kata paradoks, yaitu “satu situasi dimana dua pernyataan yang aneh (Bertentang i: eksklusif terhadap satu sama lain) keduanya tampak benar; dan keduanya harus diterima dalam tindakan.”[1]
Berdasarkan pengertian tersebut kiranya dipahami bahwa paradoks berarti juga bisa berupa satu kondisi yang bertentangan satu sama lain, tapi benar-benar terjadi dalam realitas. Adapun kata ‘eksistensi’ sendiri mengacu pada realitas eksternal in concreto berdasarkan pandangan filosofis realisme-eksistensial Mulla Shadra dan para penerusnya yang membuktikan realitas fundamental (maujud bi al-dzatih) adalah eksistensi setelah membedah satu benda menjadi dua konsep berbeda.[2]
Nah, setelah pembuktian atas realitas fundamental itu, para filsuf-realis Shadrian melanjutkan pencarian mereka bahwa realitas atau eksistensi mengandung semacam paradoks yang terjadi di realitas sekaligus tidak paradoks. Bagi penulis sendiri, paradoks, sebagaimana definisi di atas, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan situasi yang akan dibahas.
Universal; Gradasi (musyakkik) dan Seragam (mutawaathiy)[3]
Dalam bahasa arab, tasykik artinya ragu atau curiga yang kata dasarnya adalah syak sehingga terdapat satu istilah yang disematkan pada seseorang karena keragu-raguannya atas berbagai proposisi filosofis hingga mendapat julukan imam Musyakkikin atau bapak keraguan. Oleh sebab itu, pengertian tersebut bersifat linguistik atau lughawi.
Kemudian, pengertian lainnya mengenai tasykik adalah sifat atas konsep universal yang ekstensinya (mishdaq) beragam berdasarkan lebih-kurang atau dahulu-kemudian seperti warna merah yang kewujudannya di realitas in concreto berbeda-beda dari segi warna itu sendiri. Dari sini dapat dilihat bahwa pengertian tasykik secara umum adalah gradasi, yaitu mendapati fenomena yang berderajat.
Dengan berderajat seperti demikian, gradasi mengimplikasikan sebuah keberagaman atau pluralitas dari sesuatu yang secara dzati, yakni bukan aksidental, memiliki derajat-derajat yang berbeda.
Berlawanan dengan tasykik atau Musyakkik, konsep universal juga berupa seragam (mutawathi’i) dimana semua predikasi konsep atas ekstensinya tidak mengandaikan ‘lebih’ dan ‘kurang’ seperti, samanya sisi kemanusiaan (insaniyyah) yang terdapat pada Amir dan Ali.[4] Sederhananya, konsep seperti universal alami diaplikasikan pada ekstensinya dalam keseragaman pada ranah esensialitasnya (dzatiyyat).
Namun demikian, dua jenis universal di atas termasuk dalam kategori logis, sebab ia tidak mengacu pada sisi instrinsik ontologis. Sedangkan jika kita mengacu pada sisi intrisik ontologis, sudah barang tentu akan mendapatkan aspek-aspek yang tidak keluar dari kewujudan segala sesuatu. Selain itu tasykik yang baru saja dijelaskan termasuk tasykik ‘am (gradasi khusus).
Dua Jenis Aspek Pluralitas (haitsiyyah fi al-katsrah)
Telah disinggung sedikit bahwa tasykik adalah gradasi. Akan tetapi, gradasi yang ingin diungkap di sini adalah gradasi eksistensi yang kerap disebut sebagai gradasi khusus (tasykik khas). Gradasi jenis ini berbeda dari gradasi yang mengacu pada warna, panjang, kualitas atau hal-hal lainnya sebagai fenomena yang muncul dari kuiditas.
Adapun yang diinginkan oleh para filsuf Shadrian adalah gradasi yang secara langsung mengacu pada realitas eksistensi sebagai sturktur dasar realitas itu sendiri.
Kemudian untuk memasuki tahap perbincangan mengenai gradasi tersebut, Thabathaba’i, dalam Nihayah al-Hikmah[5], menjelaskan dengan singkat bahwa terdapat keragaman—atau fakta yang tidak dapat dihindari—yang dicontohhkan dengan kebergamanan benda-benda seperti, manusia, kuda, langit, bumi, dan matahari yang mana kebergaman ini menyifati eksistensi.
Di samping kebergaman itu, nyatanya terdapat kebergaman lainnya, yang mengacu secara langsung pada keberagaman eksistensial yang hakikatnya beragam berdasarkan esensi ontologisnya sendiri, seperti, niscaya, kontingen, potensi, aktual, sebab-akibat, dan lain sebagainya.
Nah, keberagaman yang disebut pertama adalah keberagaman kuiditatif, sebuah fenomena keberagaman yang ‘membutuhkan’ eksistensi untuk terealisasi. Sedangkan keberagaman kedua adalah keberagaman eksistensial yang, menurut Thabathaba’i, merupakan hakikat eksistensi itu sendiri yang tidak membutuhkan kuiditas.
Dalam studi eksistensialisme dari metafisika Islam mazhab Sadrian, apa yang ditekankan sebagai entitas yang berderajat adalah eksistensi, sebab realitas yang sesungguhnya adalah eksistensi. Sedangkan—seperti telah disinggung di atas—realisasi kuiditas bergantung pada eksistensi, dan inilah sebabnya mengapa dikatakan al-mahiyyah maujudah bi al-wujud.
Paradoks Yang Tidak Paradoks
Kiranya jelas bahwa keberagaman sangat nyata. Lebih-lebih, apa yang dapat kita lihat dari keberagaman eksistensi adalah keberagaman yang hanya bisa dicapai hanya dengan kejelian analisis mental. Sebab, seperti kita lihat dicontoh, sifat-sifat eksistensi yang disebut adalah apapun yang digambarkan oleh inteligibilitas sekunder filosofis (ma’qul tsani falsafi).
Gradasi semacam ini memainkan peran “kuat-lemah” (syiddah wa dha’f) yang terdapat di realitas in concreto, seperti, niscaya yang “lebih kuat” dari pada realitas-realitas kontingen yang kadarnya lemah (dha’f). Potensi “lebih lemah” dari pada aktaualitas. Meski demikian, apa yang tetap (tsubut) pada realitas-realitas itu adalah hakikatnya yang tidak keluar eksistensi.[6] Hal ini selayaknya “ayniyyat al-shifat wa al-dzat” dalam teori Ketuhanan.
Namun demikian, kita coba untuk melihat kembali, bagaimana konsep univokal eksistensi dapat diterapkan pada semua entitas tanpa terkecuali sehingga semua entitas—katakanlah—mengandung unsur eksistensi. Akan tetapi, pada realitas yang dapat dipredikasikan dengan hal yang sama, nyatanya memiliki berbagai perbedaan[7]. Dari sinilah kita mendapatkan ‘kesamaan’ dan ‘keberagaman’. Dan dapat dibayangkan kembali pada realitas yang sama itu, terdapat perbedaan-perbedaan esensial satu sama lain.
Keberagaman eksistensi merupakan modus eksistensi yang muncul dari eksistensi itu sendiri atau tidak terlepas dari eksistensi. Inilah yang disebut oleh para filsuf, maa bihi imtiyaas (yang denganya berbeda). Namun, pada saat bersamaan, terdapat pula maa bihi isytirak (yang dengannya sama). Sederhananya, eksistensi merupakan “yang dengannya perbedaan terealisasi sekaligus terealisasinya kesatuan” (al-wujud maa bihi imtiyaz ‘ain maa bihi isytirak).
Paradoks yang dimaksud penulis tentu saja dikonsiderasi dari kesatuan eksistensi serta juga keberagamannya. Apa yang membuat para filsuf Sadrian yakin bahwa eksistensi merupakan realitas yang tunggal dengan mengacu pada predikasi konsep eksistensi terhadap seluruh entitas yang bereksisten (maujud). Namun demikian, bagaimana pikiran mendapatakan konsep ketunggalan eksistensi sehingga menjadi konsep yang univok?
Dalam satu pasasi di Bidayah al-Hikmah, Thabathaba’i mengatakan;
من الدليل عليه أنا نقسم الوجود إلى أقسامه المختلفة كتقسيمه إلى وجود الواجب ووجود الممكن وتقسيم وجود الممكن إلى وجود الجوهر ووجود العرض ثم وجود الجوهر إلى أقسامه ووجود العرض إلى أقسامه ومن المعلوم أن التقسيم يتوقف في صحته على وحدة المقسم ووجوده في الأقسام
Singkatnya, dari pasasi tersebut Thabathaba’i memandang bahwa eksistensi dibagi menjadi niscaya dan kontigensi. Kemudian kontigensi dibagi lagi menjadi substansi dan aksiden yang mana kedua bagian dari kontigensi itu juga terbagi menjadi sub-bagian dari substansi dan aksiden. Jadi, semua bagian-bagian itu dapat dipredikasi oleh eksistensi dengan “tingkatan yang sama,” dan inilah yang dikaji dalam bagian isytirak ma’nawi, kesamaan makna dalam mental.
Kendati demikian, mencakupnya eksistensi atau eksistensi sebagai realitas yang “mengalir” tidaklah seperti universal yang diterapkan pada berbagai individunya (afrad) sebagaimana dikatakan oleh Mulla Sadra di dalam al-Masya’ir[8];
شمول حقيقة الوجود للأ شياء ا لموجودة  ليس كشمول معنى الكلي للجزئيات, و صدقه عليها –كما نبّهناك عليه—من انّ حقيقة الوجود ليست جنسًا و لا نوعًا ولا عرضًا إذ كليًا طبيعيّاً, بل شموله ضرب آخر من شمول
Kemudian, berdasarkan tesis fundamentalitas eksistensi, seluruh realitas—sejuah ia benar-benar bereksisten—adalah eksistensi itu sendiri, sehingga tidaklah mustahil realitas in concreto merupakan eksistensi yang tunggal meski memiliki perbedaan kuiditas dan derajat eksistensi yang berbeda.
Dalam gugatannya atas pemikir paripatetik yang meyakini eksistensi berbeda satu sama lain secara esensial (mutabayyinah bi tamami dzawatiha), Thabathaba’i memberikan satu argumentasi bahwa konsep ketunggalan eksistensi tidak mungkin diraih dari realitas yang berbeda-beda secara esensial. Sebab, jika demikian, konsep yang tunggal per se itu adalah konsep yang plural dan tidak mungkin dipredikasi secara isytirak pada seluruh realitas ekstra-mental absolut.
بيان الاستحالة أن المفهوم والمصداق واحد ذاتا وإنما الفارق كون الوجود ذهنيا أو خارجيا فلو انتزع الواحد بما هو واحد من الكثير بما هو كثير كان الواحد بما هو واحد كثيرا بما هو كثير وهو محال. وأيضا لو انتزع المفهوم الواحد بما هو واحد من المصاديق الكثيرة بما هي كثيرة فإم أن تعتبر في صدقه خصوصية هذا المصداق لم يصدق على ذلك المصداق وإن اعتبر فيه خصوصية ذاك لم يصدق على هذا وإن اعتبر فيه الخصوصيتان معا لم يصدق على شيء منهما وإن لم يعتبر شيء من الخصوصيتين بل انتزع من القدر المشترك بينهما لم يكن منتزعًا من الكثير بما هو كثير بل بما هو واحد كالكلي المنتزع من الجهة المشتركة بين الأفراد الصادق على الجميع هذا خلف.
Dari paparan pasasi tersebut, kiranya jelas mengapa predikasi eksistensi dapat dilakukan pada semua eksisten (maujud). Terlebih lagi—menurut penalaran filosofis semacam ini—realitas eksistensi adalah realitas yang tunggal sehingga predikasi eksistensi atas entitas-entitas yang bereksisten bukanlah predikasi yang aksidental.
Adapun argumentasi yang digunakan di dalam Nihayah al-Hikmah adalah sebagai berikut;
الحق أنها حقيقة واحدة في عين أنها كثيرة لأنا ننتزع من جميع مراتبها ومصاديقها مفهوم الوجود العام الواحد البديهي ومن الممتنع انتزاع مفهوم واحد من مصاديق كثيرة بما هي كثيرة غير راجعة إلى وحدة ما.
Lalu, bagaimana dengan fenomena perbedaan efek yang terealisasi dari modus eksistensi (anha’ al-wujud) yang sebenarnya menegaskan terdapat perbedaan eksistensi, terlebih lagi jika kita umpakan eksistensi berbeda satu sama lain, maka eksistensi sendiri memiliki individuasi pada esensinya (dzatuhu) sendiri?
Bukankah ini sebuah paradoks yang menggambarkan pada kita bahwa, realitas eksistensi tunggal sekaligus, apakah keberagamannya itu mengacu pada kuiditas yang membuat partikularisasi (takhashus) ataukah dari sifat eksistensi itu sendiri yang meniscayakan gradasi?
Ya, dari keberagaman itulah mengapa eksistensi masuk dalam konsep yang bergradatif (musyakkik) yang aplikasinya tidak bisa sama, sebab realitas in concreto terisi oleh berbagai entitas yang mengandung eksistensi qua potensi, eksistensi qua aktual, eksistensi qua agen (fa’il), eksistensi qua reseptif (qabil), dan berbagai eksistensi lainnya. Namun, dari seluruh entitas yang bereksisten tersebut adalah realitas eksistensi yang tunggal sebagaimana dijelaskan dalam argumentasi di atas.
Dari hal demikianlah mengapa eksistensi adalah ketunggalan dalam realisasi keberadaan sekaligus modus-modus yang menampakan perbedaan efek (atsar) yang mana efek-efek itu bukanlah tambahan aksidental melainkan seperti apa yang digambarkan oleh para ahli filosofico-theologico sebagai ‘ainiyyinat al-dzat wa al-shifat.’
Jadi eksistensi bisa dipandang sebagai yang dengannya kesatuan terealisasi sekaligus perbedaan yang gradatif, dan aspek gradasi yang meniscayakan perbedaan serta keberagaman realitas in concreto bukanlah ‘aksiden’ yang datang dari luar eksistensi melainkan sifat-sifat yang hakikatnya bersatu dengan realitas eksistensi.
وأما أن حقيقته مشككة فلما يظهر من الكمالات الحقيقية المختلفة التي هي صفات متفاضلة غير خارجة عن الحقيقة الواحدة كالشدة والضعف والتقدم والتأخر والقوة والفعل وغير ذلك فهي حقيقة واحدة متكثرة في ذاتها يرجع فيها كل ما به الامتياز إلى ما به الاشتراك وبالعكس وهذا هو التشكيك.
Berdasarkan paparan di atas, penulis ingin memperlihatkan bahwa, 1) konsep eksistensi yang tunggal dan aksioma di abstraksi dari realitas yang tunggal, meski 2) terdapat perbedaan dalam hakikat eksistensi tersebut yang 3) menegaskan terjadinya kesatuan sekaligus keberagaman yang mana keduanya kembali lagi pada eksistensi. Sebab konklusi tersebut memperlihatkan sejenis paradoks yang tidak paradoks lantaran memiliki argumentasi kefilsafatan khas filsuf realis Shadiran.
Dikotomi pembahasan
Satu hal penting yang harus digaris bawahi ialah sebuah dikotomi pembahasan tentang eksistensi yang menjadi aspek konseptual dan aspek realitas. Para filsuf Sadrian telah mewanti-wanti hal ini, sebab jika pengkaji filsafat eksistensi gagal memahami dikotomi pembahasan aspek-aspek tersebut, maka tidak akan terjadi kerancuan di seputar “keseragaman” dan “berderajat” dalam konsep dan acuan-acuannya.
Menurut Izutsu, karakteristik skolatisisme filsafat hikmah secara umum adalah para pemikirnya memisahkan dua tingkatan referensi, (1) tingkatan gagasan (mafhum) dan (2) tingkatan realitas eksternal, dan mencoba konsisten dan sadar agar tidak kehilangan pandangan atas dasar pembagian ini.[9] Kemudian, Izutsu melanjutkan bahwa, gagasan tentang eksistensi yang memiliki pengertian pra-konseptual atas makna mengenai kata itu, yakni kesadaran langsung dan paling mendasar mengenai apa yang dimaksud dengan kata tersebut.[10]
Di samping itu, kita juga tahu bahwa predikasi eksistensial pada berbagai macam kuiditas mengadung makna yang sama, adapun eksistensi di realitas in concreto tidaklah sama. Namun, jika kita memandang realitas in concreto tanpa embel-embel sifat eksistensi seperti prioritas-posterioritas, sebab-akibat, dan lain sebagainya, maka realisasi keberadaan dari secuil debu sampai martabat intelek akan sama sebagai realitas yang sama-sama eksisten.
       [1] http://arti-definisi-pengertian.info/arti-paradoks/
[2] Mengenai pandangan ini, penulis sering menuliskannya di rainhardvidi.tumblr.com
[3] Selain dibagi menjadi dzaty dan ‘aradhi’, universal juga dibagi menjadi gradatif dan seragam. Lihat  Misbah Yazdi, Philosophical Instructions, hal 258.
[4] Lihat Jamaludin Hasan bin Yusuf al-Hilliy, al-Jauhar al-Nadidh; Syarah Mantiq al-Tajrid (Intisarat Bidar; Qum, 1435 H) hal 27.
[5] Muhammad Husayn Thabathaba’i, Nihayah al-Hikmah; tashih wa ta’liq Abbas al-Za’iri al-Sabzawari, hal 33.
[6] Seperti dikatakan oleh Thabathaba’i, “cahaya yang lebih kuat itu kuat dalam kecahayaannya” yang mana kekuatan cahaya itu adalah esensi dari cahaya itu dan bukan tambahan dalam makna qiyam hululi
[7] Keberagaman dalam konteks ini diacu kembali pada keberagaman kuiditatif, sebagaimana di bahas dalam kitab-kitab filsafat yang kerap memperbandingkan kesatuan konsep eksistensi dengan perbedaan berbagai esensi kuiditas.
[8] Mulla Shadra, al-Masya’ir, (Birgham University; Utah, 2014) hal 9
[9] Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence, (Keio University; Tokyo) hal 68.
[10] Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence, hal 76.
1 note · View note
rainhardvidi · 6 years
Text
Individu dan Individualisme; Perspektif Filsafat
Apakah individu itu ? Samakah ia dengan individualisme? Apakah keduanya buruk di telinga masyarakat sebagaimana yang sering terjadi selama ini ?
Dalam kamus bahasa Indonesia, Individu memiliki arti; “orang-seorang”, “pribadi yang terpisah”. Artinya saya kira sangat jelas, masing-masing orang; seperti saya, dia, dan anda.
Filsafat ontologi juga melihat kalau individu adalah masing-masing entitas, setiap entitas, atau semua hal yang menjadi eksisten. Di filsafat Yunani individu adalah individitum yang berarti “tidak terbagi”. Hemat saya, ini juga bisa sesuai dengan yang dikatakan oleh Prof. Izutsu sebagai ‘bangunan ontologis tanpa celah’.
Individu dalam manusia adalah satu pribadi yang berbeda dari pribadi-pribadi lainnya. Setiap individu berbeda dengan individu lainnya jika kita meninjau dari sisi paling esensial; eksistensi dan pikirannya masing-masing.
Bukti bahwa eksistensi satu orang berbeda dengan orang lainnya dapat dicontohkan dengan ketiadaan nisbi yang mana—misalnya—dalam diri saya tidak ada diri anda, begitupula sebaliknya, dalam diri anda tidak ada diri saya. Bukti lainnya bahwa setiap orang unik itu dapat diperhatikan melalui persepsi satu orang atas satu objek tertentu tidak menyebabkan orang lain ikut mengetahui objek yang dipersepsi oleh orang pertama.
Setidaknya dua bukti di atas telah menegaskan bahwa setiap orang berbeda satu sama lain dan sesuai dengan definisi di awal; pribadi terpisah dan juga pribadi yang “tidak terpecah”, “bangunan ontologi tanpa celah.”
Saya kira hanya demikian sajalah pengertian dan definisi dari individu. Konsepsi atas individu, bagi saya, juga sangat terang benderang, yakni hanya merujuk pada satu orang manusia, sedangkan dalam seluruh realtias kata “individuasi” (tasyakhus) digunakan untuk menjelaskan “realisasi keberadaan.”
#
Sekarang bagaimana dengan Individualisme? Apa maksudnya?
Saya sering kali dengar kalau individualisme adalah pandangan yang ‘semau gw’ lalu bikin onar di ruang publik alias melanggar ketentuan-ketentuan publik. Selain itu, pengertian individualisme—sebagaimana tertera di Kamus—bisa berarti paham yang lebih mementingkan diri sendiri dari pada orang lain.
Saya rasa, pengertian pertama itu terlalu berlebihan. Namun demikian, ada satu titik yang kita tidak boleh lepaskan dari pengertian pertama, yaitu Kebebasan. Misalnya, kebebasan untuk membuat pelanggaran-pelanggaran di ruang publik. ‘Semau gw’ sudah barang tentu memiliki ‘kesadaran’ untuk berkehendak bebas, sebebas-bebasnya.
Adapun pengertian kedua lebih pada fitrawi atau kesadaran atas keselamatan diri sendiri, dalam kamus dikatakan paham yang lebih mementingkan diri sendiri. Nah, dari definisi kamus, saya dapat contohkan; saya rajin membaca untuk mengisi pikiran saya yang hasil bacaan tersebut adalah untuk diri saya sendiri bukan orang lain. Saya bekerja agar bisa makan. Saya beragama agar bisa selamat dunia akhirat.
Semuanya berpusat pada ‘diri’ saya sendiri, saya sebagai individu. Mudahnya, individualisme memulai pahamnya dari hal-hal yang sederhana itu.
Namun demikian, individualisme tidak datang ujug-ujug dari langit yang mana sebelumnya kita tidak memilikinya dan kita menunggu kedatangannya melainkan sesuatu yang secara mendasar “terbawa”, kemudian pengetahuan atasnya dapat dilakukan hanya dengan sedikit “menilik” ke dalam diri. Tilikan tersebut adalah persepsi, pikiran, atau penghayatan seseorang atas pengalaman hidup.
Rizal Malarangeng, misalnya, berpendapat kalau individualisme itu adalah paham yang mengacu dan berawal dari pandangan seseorang atas dunia melalui kacamata sendiri, bukan orang lain. Nah, saya pikir di sini—seperti disebut di atas—persepsi satu orang atas satu objek tertentu tidak menyebabkan orang lain juga ikut tahu, dan ini sebabnya saya katakan individu itu unik dan tunggal.
Sekarang kita tahu bahwa individualisme adalah paham yang berpusat pada diri dan melihat dunia melalui kacamata (perspektif) diri sendiri. Tapi dari semua itu, yang lebih penting adalah otonomi atas diri sendiri, kepemilikan diri sendiri.
Sang Diri tidak bisa ‘direngut’ oleh orang lain, misalnya, anda memaksakan pandangan (persepsi) anda pada orang lain. Sebagai contoh, mungkin bagi anda sah saja menjual organ tubuh anda, jika anda mau melakukannya tanpa paksaan orang lain. Tapi anda tidak bisa memaksa orang lain untuk menjual organ tubuhnya agar ia memiliki kondisi yang sama dengan anda.
Paham individualisme memang akrab dengan eksistensialisme yang salah satu dasarnya adalah menegaskan otonomi diri atau diri yang sebagai pusat. Dalam hal ini, Sartre menyatakan, “ Man is nothing else but what makes of himself.”
Saya kira jelas, bahwa individualisme seperti menjadi diri sendiri tolok ukur, atau, katakanlah, pusat sehingga apapun yang dilakukan individu harus kembali ke individu tersebut. Seperti contoh perbuatan ‘semau gw’ yang sembrono dan melanggar hak-hak publik. Pertama, perbuatan itu ingin memuaskan kehendak. Kedua, memuaskan kehendak bisa benar atau bisa salah. Contoh di atas adalah tindakan salah, sebab melanggar hak-hak publik.
#
Istilah individualisme sering kali clash dengan pandangan keagamaan. Tapi, jika ingin jujur, seseorang beragama disebabkan kecintaan dia atas dirinya sendiri agar tidak masuk neraka, mendapat rahmat Tuhan, dan lain sebagainya. Tentang ‘pemaksaan’ dalam agama pun dilarang. Jadi sedikitnya agama mendukung perkara pilihan bebas, tapi tidak dengan ‘kepemilikan diri’, sebab teks yang menyatakan segala sesuatu di langit dan di bumi adalah milik Tuhan.
1 note · View note
rainhardvidi · 6 years
Text
Agnostis; Kesadaran Atas Ketidaktahuan
Memikirkan sesuatu adalah membatasinya. Secara ilmiah pun berpikir berati mendefinisikan sesuatu yang mana pikiran fokus pada satu hal yang umum dan satu hal yang khusus dari sesuatu yang menjadi objeknya. Atau bisa pulanmeminjam istilah dari Descartes bahwa objek pikiran diharuskan ‘Clear’ dan ‘distinct’, yang berarti satu konsep harus jelas dan harus sangat partikular dari objek-objek lainnya.
Tapi, apakah sesuatu yang dipikirkan, atau telah menjadi sebuah konsep, itu sama dengan objek-objek eksternalnya? Satu tradisi pemikiran mengatakan, ya pada satu aspek, dan tidak pada aspek lainnya. Ya, dalam ‘bentuk-bentuk’ pengetahuan. Dan tidak dalam “realisasi keberadaan”.
Salah satu tokoh dari tradisi ini, yakni Sadra di dalam majmu’ah rasa’il, menyatakan; “tidak mungkin mempersepsi bentuk (eksternal) sesuatu kecuali dengan “kehadiran bentuk lainnya” yang menyamainya secara konseptual, namun berbeda tingkatan eksistensi.” Di sini berarti terdapat perbedaan yang jelas, sebuah perbedaan antara yang asasi dan yang tiruan.
Tradisi filsafat Islam dari Sadra hingga sekarang meyakini bahwa realitas asasi yang sama dengan “stuktur dasar” realitas tidak bisa menetap di mental/pikiran, sebab jika demikian, apa-apa yang terwujud di mental akan memiliki efek yang sama layaknya eksistensi eksternal, misalnya seperti api dimana ia membakar dan melepuhkan ketika mewujud di luar pikiran/eksternal, adapun ketika terkonsepsikan tidak membakar dan melepuhkan. Kira-kira seperti inilah gambaran perbedaan tajam antara yang asasi dan yang tidak asasi.
Kendati terdapat perbedaan esensial, para pemikir dari tradisi ini tidaklah menyerah untuk mencari relasi antara pikiran dan realitas eksternal. Kerap kali terdapat pernyataan yang berbunyi, inna al-mahiyyah washitah al-dzihn wal kharij (esensi adalah perantara pikiran dan dunia luar pikiran). Namun, mau bagaimana pun juga, esensi (kuiditas) tetaplah bukan realitas yang asasi melainkan implikasi-implikasi dari modus eksistensi yang, seperti Sabzawari katakan, realitasnya merupakan misteri yang terdalam (fi ghayatil khafa’).
Singkatnya, sesuatu yang terekam di pikiran ataupun menjadi konsep-konsep telah terbatas. Apapun ia, pada akhirnya kehilangan ‘efek’ eksternal. Satu hal yang didapat oleh pikiran adalah esensi/kuiditas yang sama “dalam bentuknya” dengan berbagai “bentuk” yang ada di eksternal.
Jadi dari tesis-tesis mendasar tersebut, mengkonsepsi sesuatu telah membatasinya atau bahkan secara alamiah memang mengimplikasikan keterbatasan bahkan hanya meniru saja. Bahkan, objek-objek yang terpikirkan memang berbagai objek yang memiliki ciri perbedaan esensial yang mana mereka berbeda satu sama lain.
#
Lalu bagaimana dengan sesuatu yang tak terbentuk, tapi ia eksis atau diandaikan eksis? Seperti Tuhan yang tidak memiliki esensi/kuiditas/bentuk/batasan. Sekarang mari kita bicara tentang Tuhan (?)
Namun pertanyaannya adalah bagaimana pikiran kita mengkonsepsi Tuhan ada atau eksis sebagaimana benda-benda di sekitar kita atau—meminjam istilah filsuf-teologis—sebab dari segala sesuatu? Seseorang juga bisa membayangkan peristiwa ini dengan menganalogikannya seorang perempuan yang bernama Lisa, dan Lisa adalah ibu dari semua manusia. Mungkinkah?
Kita kembali ke tesis awal, konsep-konsep kita mengandung esensi sesuatu yang sama dalam bentuk antara pikiran/pemikiran dengan realitas eksternal. Lalu—sekali lagi—bagaimana pengetahuan kita memiliki relasi dengan yang tak berbentuk, Tuhan?
Jika konsep-konsep pikiran saya memiliki bentuk yang sama dengan objek, maka saya memiliki jaminan ia benar-benar eksis/ada, bahkan hal ini merupakan teori kebenaran menurut metafisika tradisional.
Kita bisa berdiri dengan cara seperti ini; semenjak lahir, apapun yang saya alami adalah benda-benda di sekitar saya atau paling banter membaca berita atas temuan sains di luar angkasa. Tapi memikirkan Tuhan, mengkonsepkan Tuhan, atau apapun namanya, dari pengalaman yang seperti apa?
Barangkali menyatakan Tuhan eksis dilakukan dengan cara meminjam contoh-contoh ‘adanya’ benda-benda di sekitar kita dengan tambahan ‘adanya Tuhan sangat tidak terbatas’ dan sebab itu pula ada tambahan “maha” ketika menyematkan salah satu perbuatan Tuhan. Bahasa kasarnya, kita menciptakan Tuhan atau mengada-adakannya saja, meminjam sifat-sifat kemanusiaan kita hanya untuk disematkan padanya, dan kemudian ditambahkan hal-hal yang “lebih” padanya.
Pernyataan Tuhan tak terbatas pun bermasalah, terlebih lagi pikiran seseorang selalu membatasi objek-objeknya, maka dengan demikian tidak ada yang tahu Tuhan ada atau tidak. Membatasi Tuhan menjadi bentuk-bentuk spesifik juga tak kalah bermasalahnya, sebab sama saja Tuhan itu disamakan seperti benda-benda yang ada di dunia, yakni sesuatu yang dapat hancur, berubah, dan bisa ada atau bisa tidak ada.
Berdasarkan tesis-tesis di atas, kita tidak tahu Tuhan ada atau tidak, sebab tidak ada alat yang dapat mendeteksi kalau ia ada. Sekalipun seseorang menemukannya, apa jaminannya jika itu benar dan sejauh mana pembuktiannya itu objektif?
Kembali ke Sadra; pengetahuan adalah kesamaan bentuk secara konseptual.... Dan itu berarti menegaskan pengetahuan seseorang adalah pengetahuan yang kerap berkelindan dengan bentuk-bentuk. Mari andaikan Tuhan merupakan realitas eksternal dan pengetahuan kita atau eksistensi mental kita sama-sama sederajat dengan realitas Tuhan, maka ada dua Tuhan, di pikiran dan di realitas. Adapun jika diasumsikan tidak sederajat akan terjerumus pula, dari mana dan dari segi apa seseorang dapat mempersepsi Tuhan yang notabene realitas eksternal tersebut?
Menurut salah satu tradisi, dikatakan pula, “tu’raf al-asyaa’ bi adhadiha” (berbagai sesuatu diketahui dengan perbandingan-perbandingannya). Jika menggunakan asumsi teis bahwasannya Tuhan tidak memiliki perbandingan berarti Tuhan tidak diketahui.
Lagipula sejauh ini bahasa yang selama telah terpakai pun selalu “mengacu” pada realitas-realitas yang ada, sebuah realitas yang masing-masing memiliki bentuk dan telah mengalamai proses agar nama-nama tersebut disepakati bersama.
#
Mungkinkah benar pembalikan Feurbach atas hadits “Tuhan menciptakan manusia dengan bentukNya” menjadi “manusia menciptakan Tuhan dengan bentuknya” yang mana arti bentuk yang kedua bisa berupa harapan-harapannya, keinginan-keinginnya, atau kepentingan-kepentingannya?
8 notes · View notes
rainhardvidi · 6 years
Text
Hak berkeyakinan Dan Filsafat
Sepertinya, 'keyakinan dalam agama' itu seperti 'properti' seseorang yang mana memiliki haknya tersendiri. Ia layaknya mobil, motor, dan rumah. Seseorang bebas untuk memiliki tiga benda tersebut sejauh tak merusak dan melanggar hak orang lain, begitupula dengan keyakinan, pilihan agama, dan pandangan hidup. Sebaliknya, menghilangkan paksa properti seseorang adalah pelanggaran atas hak orang lain.
Di samping itu, seseorang juga bebas dan berhak untuk tidak memiliki keyakinan seperti yang terdapat di dalam berbagai komunitas atau kelompok keagamaan/religiositas. Seseorang, sebagaimana dijamin dalam hak asasi universal, bebas pula melakukan konversi atau pindah ke agama lain (Religious Conversion), meski tidak jarang melayang berbagai umpatan dari komunitas keagamaan sebelumnya.
Namun demikian, hidup dalam ruang modern yang disesaki dengan berbagai kemajuan sains beserta tanggung-jawab ilmiah dari segi ontologis dan epistemologis sebagai aparatur yang menjaga basisnya, keyakinan agama bisa saja tertinggal secara keilmiahan. Oleh sebab itu, ia memiliki tuntutan. Tapi tuntutan seperti apa? Singkatnya, seperti yang Franz Magnis katakan, mempertanggung-jawabkan iman/keyakinan yang berarti memasuki sebuah dunia yang asing bagi agama, yaitu penalaran filosofis.
Sialnya penalaran filosofis tidak memberikan ruang bagi ‘iman buta’, melainkan harus ada penjelasan rasional yang selalu berkutat pada premis mayor, premis minor dan konklusi yang dilengkapi dengan “materi” atau “isi” dari premis-premis tersebut.
Lebih sialnya lagi ialah keyakinan agama yang telah menjadi berbagai premis-premis bisa digugat kebenarannya yang mana ia tidak benar secara logis. Nah, pada tahap ini keyakinan keberagamaan tidak kebal kritik. Boleh jadi keyakinan keagamaan diciptakan dengan asumsi-asumsi imajinatif jika penganutnya tidak memberanikan diri menyebrang dari subjektifitas menuju ruang bedah ilmiah-filosofis yang berkesimpulan objektif-universal.
Contoh dari asumsi-asumsi imajinatif adalah gempa yang akhir ini baru-baru terjadi dianggap sebagai adzab atau hukuman Tuhan atas negeri ini, dan juga meletusnya gunung agung yang juga disangka adzab. Padahal jika mau dan sanggup meneliti, gempa merupakan fenomena alam yang sekarang ini sains dapat memberikan eksplanasinya. Kemudian tugas filsafat juga menggugurkan asumsi-asumsi tersebut.
Meski demikian, pertarungan kefilsafatan dalam pertanggung jawaban keyakinan keagamaan bukanlah ranah “pemberedelan” hak dasariah seseorang untuk meyakini eksistensi objek-objek yang dianggap sakral.
Dengan dasar itu pula penalaran filosofis atas agama atau juga dapat dikatakan mencari titik logis agama bisa lepas dari tuduhan ‘pemurtadan’ (atau yang kerap diasumsikan sebagai pemaksaan untuk tidak menganut satu agama apapun) atau ‘liberalisasi agama’, yang jelas—sebagaimana dikatakan John Hick—seorang religius dan seorang ateis dapat sama-sama berpikir secara filosofis atas agama sebagai objeknya.
Hal penting lainnya ialah penalaran filosofis dapat digunakan sebagai jalan untuk keluar dari keyakinan keagamaan apapun sejauh tidak melanggar hak orang lain.
1 note · View note
rainhardvidi · 7 years
Text
Anies dan Alexis
Gubernur Anis telah menutup hotel Alexis meski masih terjadi perdebatan apakah izin hotel yang tidak diperpanjang ataukah Alexis hanya vakum selama tiga bulan.
Sebenarnya sudut pandang ini masih banyak diperdebatkan. Kemudian ditambah berita bahwa Pak Djarot, selagi masih menjadi Gubernur, tidak menghiraukan izin Griya pijat di Alexis. Suasana yang keruh ini lebih baik saya tinggalkan dahulu.
Akan tetapi, saya mencoba berangkat pada pendapat Gubernur Anis tentang para PSK yang, menurutnya sendiri, banyak perbuatan di Alexis yang asusila dan tindakan amoral, sebab di dalamnya terdapat praktik pekerja seks komersial.
Selain itu, saya juga membaca sebuah media yang mewartakan bukti-bukti apa saja yang telah didapatkan oleh Gubernur mengenai praktik ‘pekerja seks komersial’, namun Gubernur hanya menjawab, “berdasarkan laporan masyarakat”.
Tapi, simpel saja, menurut saya, pihak Pemprov bisa menggunakan intel untuk melakukan pengecekan secara langsung isi dari pada Alexis. Demikian, mungkin bisa (dianggap) benar bahwa Alexis adalah tempat untuk melakukan praktik asusila dan amoral, dan tentu saja itu dalam perspektif Gubernur Anis.
Tapi, sekarang, kita coba mengarah pada perkataan Gubernur tentang amoralitas dan asusila yang disematkan pada para pekerja seks di sana. Nah, dari penyematan itu kiranya bisa dipertanyakan ulang, mengapa perempuan pekerja seks komersial itu amoral dan asusila? Apakah penyematan tersebut benar-benar sah dan apa pula dasarnya?
Bagi Gubernur, tindakan amoral dan asusila itu benar-benar sah berlaku, sebab hal itu adalah tindakan yang dilakukan, tapi tidak sesuai ajaran agama, khususnya—berdasarkan basis keyakinan Sang Gubernur—Islam.
Melakukan seks di luar pernikahan adalah perbuatan yang haram tanpa pengecualian apa pun. Nah, ajaran agamalah yang menjadi ‘sebab’ dan juga sebagai ‘dasar’ perempuan PSK menjadi objek penyematan sebagai orang-orang yang amoral dan asusila.
Begitu pula para lelaki yang menggunakan ‘jasa’ mereka termasuk amoral dan asusila, sebab mereka melakukan perzinahan. Dan, harus diingat, “bahasa” zina adalah “bahasa agama”, bukan bahasa sains, apalagi bahasa dari dua belah pihak yang telah “sepakat” dengan “tawar-menawar” harga dalam jual-beli jasa sex.
Bahasa agama yang berprinsipkan “god’s command” (perintah Tuhan) sebetulnya tidak menjernihkan suasana, melainkan menyudutkan satu pihak lain tanpa ada respek sedikit pun pada pilihan-pilihan bebas individu. Parahnya, penyudutan pihak lain itu memiliki kemungkinkan dapat memunculkan tindak-tanduk represif dari penguasa serta pemahaman mayoritas yang sesuai dengan keyakinan sang Gubernur.
Dari hal di atas, satu hal lainnya yang ingin saya sasar adalah ‘kebebasan individu’. Dan kebebasan itu bersandar pada ‘kepemilikan diri’, yaitu bahwa diri satu orang adalah otoritas atas dirinya sendiri.
Selain itu, setiap individu memiliki ‘hak negatif’ atau “kebebasan negatif” yang berarti hak atas terbebas dari paksaan pihak lain, seperti Agama ataupun pandangan masyarakat secara umum.
Nah, dengan dua sandaran itu, sebenarnya para PSK berhak untuk menjajakan dirinya sendiri sejauh tidak ada paksaan atas dirinya. Selain itu, para PSK adalah individu yang juga sebagai otoritas atas dirinya sendiri dan bukan orang lain, apalagi bapak Gubernur.
Dan ini mengingatkan saya pada perkataan John Locke, “setiap orang mempunyai kepemilikan dalam kepribadiannya; terhadap hal ini, tak seorang pun yang punya hak selain dirinya sendiri.”
Kemudian, dengan dua sandaran atau tesis itu, apakah pekerjaan sebagai PSK itu melanggar peraturan?
Dengan mengulang tesis kepemilikan-diri dan hak negatif, PSK tidaklah melanggar aturan dengan tinjauan tidak memaksa orang lain atau mengganggu hak dan kepemilikan orang lain. Tapi, lagi-lagi, aturan dari agama adalah “kacamata” yang melihat PSK sebagai pekerjaan yang amoral, kemudian, dengan nyiyiran yang umum, para PSK itu ingin kaya harta dengan pekerjaan yang mudah.
Akhirnya—melampaui nyinyiran dan pernyataan mengenai amoral dan asusila—kita bisa lihat bahwa kacamata agama dapat menjadi dasar tindakan seorang Gubernur untuk memberangus ‘kebebasan’ dan ‘hak’ individu dalam melakukan pilihan-pilihannya. Sebab itu pula, patut ada pertanyaan, apakah agama menjamin kebebasan? Jika jawabannya positif, ya, lalu mengapa agama mengandung pembatasan?
Saya rasa, jika Gubernur hanya mengatakan bahwa PSK tidak bermoral itu tidak masalah, sebab “berkata” atau “mengatakan sesuatu” masuk ke dalam hak sang Gubernur. Tapi, jika melakukan pemberangusan atas tindakan bebas dan hak individu atas pilihan-pilihannya, maka kebebasan Gubernur adalah “kematian” bagi kebebasan selainnya yang berarti “tidak ada penghargaan” atas manusia lainnya.
Lalu, seandainya kita tarik masalah tersebut ke dalam regulasi yang turut mewacanakan filsafat etika, sungguh perdebatan itu akan lebih menarik lantaran memunculkan lagi isu klasik di sekitar “apakah sesuatu menjadi baik disebabkan Tuhan cinta sesuatu tersebut” ataukah “sesuatu itu baik per se”.
Namun demikian, jika seseorang mengganggap bahwa sesuatu menjadi baik disebabkan cinta Tuhan atas sesuatu tersebut, malah memperkeruh suasana teologis. Tak ayal pendapat tersebut dapat meniscayakan pengetahuan Tuhan yang tidak universal dan berubah-ubah, belum lagi ditambah pernyataan Dostoyevski, “jika Tuhan tidak ada, maka segala sesuatu boleh dilakukan.”
Tentu saja, dalam tulisan ini, Gubernur Anis hanya sebagai contoh spesifik dan bukan satu-satunya. Saya sepakat dengan pandagan J.S Mill dan kawan-kawan, bahwa eksistensi pemerintah seharusnya melindungi dan menjamin kebebasan warganya, bukan menodongkan aturan yang memenjarakan kebebasan warganya.
Pernah diPost di:
https://nalarpolitik.com/anies-dan-alexis/
0 notes
rainhardvidi · 7 years
Text
Agama yang Tersisih
. . Oleh: Maulida Nur Fadhila
Baru-baru ini, Pengadilan Negeri Kuningan berencana melakukan eksekusi terhadap lahan di Cigugur. Lahan ini tidak lain merupakan pusat kegiatan masyarakat adat Sunda Wiwitan. Eksekusi ini mengundang protes keras dari masyarakat adat Sunda Wiwitan dan Ormas Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia. Dari Cigugur ini, agama Sunda Wiwitan tersebar ke beberapa daerah di Jawa Barat dan Banten.
. Sunda Wiwitan sendiri berarti “Sunda Awal” atau merupakan agama asli Orang Sunda. Ajaran pokok Sunda Wiwitan melakukan pemujaan terhadap arwah leluhur dan kekuatan alam. Karena sifatnya sebagai yang “awal”, Sunda Wiwitan telah dikenal terlebih dahulu sebelum agama-agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah seperti Islam atau Hindu. Namun Sunda Wiwitan hanya dianggap sebagai aliran kepercayaan. Bukannya agama. . Sebenarnya bukan hanya Sunda Wiwitan yang dianaktirikan. Ada banyak sekali agama-agama lokal yang juga mengalami nasib yang sama. Misalnya saja Kejawen yang dianut masyarakat Jawa, Kaharingan yang dianut oleh orang-orang Suku Dayak hingga agama Samin yang muncul pada zaman kolonial. . Mengapa harus ada diskriminasi terhadap agama atau kepercayaan lokal? . Pertanyaan ini bisa dijawab jika kita kembali pada kebijakan rezim otoriter Soeharto. Pemerintah Orde Baru yang terkenal anti komunis membuat kolom agama pada KTP. Tujuannya agar penganut komunisme yang dikenal sebagai ateis mudah diindentifikasi karena tidak mengisi kolom agama pada KTP. Akibat panjang dari kebijakan ini adalah diresmikannya agama agama tertentu sedangkan ada beberapa agama yang tersisih seperti agama lokal. Meskipun yang tidak mengisi kolom agama bisa juga dimasukan dalam kategori penghayat kepercayaan. Namun tetap saja ada diskriminasi antara penganut agama resmi dan penghayat kepercayaan. . Saya berpendapat bahwa klasifikasi “Agama Resmi” dan “Penghayat Kepercayaan” sebaiknya dihapuskan saja. aliran kepercayaan atau agama apapun harus mendapatkan pengakuan dan jaminan tidak diperlakukan secara diskriminatif. Berikut alasan mengapa hal tersebut wajib dilakukan: . 1) Memeluk keyakinan apapun adalah hak asasi manusia. Tidak boleh ada otoritas lain selain diri seseorang yang menentukan agama yang harus dianutnya. Bahkan keyakinan untuk tidak meyakini Tuhan atau menganut agama tertentu juga harus dilindungi oleh negara. . 2) UUD 1945 dalam pembukaannya telah menjamin kemerdekaan memeluk keyakinan bagi rakyatnya. . 3) Agama-agama lokal suatu daerah sudah ada terlebih dahulu dan dianut oleh masyarakat tradisional suatu daerah sebelum agama yang datang dari belahan dunia lainnya/agama impor. . 4) Sudah saatnya membersihkan kebodohan akibat propaganda orde baru yang menyebarkan fobia anti komunis. Tidak semua komunis adalah ateis. Buktinya Tan Malaka, D.N Aidit dan Haji Misbach adalah penganut Islam yang soleh dan taat. .
*) Tulisan untuk pelatihan penulisan bersama Ignatius Haryanto
0 notes
rainhardvidi · 7 years
Text
Intelijibilitas; Konsep Universal Dalam Filsafat Islam
Oleh; Rainhard
Judul di artikel ini berasal dari bahasa inggris yang tertulis intelligibility yakni keadaan dapat dipahaminya sesuatu atau objek melalaui akal budi.[1] Di samping kata intelligibility, muncul pula kata “intelligibilia” yang padanannya sama dengan ‘ma’qulat’ yang diambil dari bahasa arab.[2] Ma’qulat sendiri bermakna sebagai ‘objek-objek yang terpikirkan’. Namun, dalam tradisi filsafat islam, apa yang disebut dengan ma’qulat adalah konsep-konsep yang bersifat universal, bukan partikular.
Misbah Yazdi, dalam Philosophical Instructions, memasukan ma’qulat sebagai konsep-konsep universal. Begitupula Murtadha Muthhahari, dalam Durus al-Falsafah al-Islamiyyah fi Syarh al-Manzumah, mendefinisikan ma’qulat sebagai konsep-konsep universal yang eksis pada pikiran. Hal demikian maklum adanya, sebab para filsuf sebelumnya membahas ma’qulat sebagai apapun yang terpikirkan dengan modusnya yang universal. Makna lainnya yaitu ma’qulat yang dapat dipandang sebagai hasil dari inteleksi (ta’aqqul), yaitu modus pikiran yang bekerja untuk memperoleh makna atau pengertian (ma’na), dan konsep (mafhum) universal yang berarti apa yang terpikirkan dapat dipredikasikan pada banyak ekstensi (mishdaq).
Pada sisi lainnya, konsep acapkali hampir selalu seimbang dengan kuiditas sesuatu atau ia bisa dikatakan; setiap konsep adalah kuiditas sesuatu atau, dengan cara lainnya, konsep adalah bentuk mental mengenai kuiditas sesuatu. Oleh sebab itu, artikel ini juga akan membahas keterkaitan konsep dan kuiditas sesuatu. Kemudian artikel ini juga akan menggunakan kata intelijibilitas sebagai kata ganti dari ma’qul (jamak; ma’qulat).
Sebelum masuk lebih jauh, ada satu hal yang harus ditekankan, yaitu intelijibilitas yang sedang dibahas di sini merupakan sebuah pengetahuan representatif konsepsional (al-‘ilm al-husuliy al-tashawuriy) yang selalu melibatkan subjek dan objek mental yang disebut sebagai konsep. Maka dari itu, pembagian konsep-konsep seperti ini adalah pembagian dalam tahap sekunder, bukan primer.
A. Dua Jenis intelijibilitas
Seperti telah disinggung di atas bahwa intelijibilitas adalah konsep-konsep universal yang predikasinya bisa berlaku terhadap banyak hal. Para filsuf mendedah tiga jenis ini berdasarkan konsiderasi pikiran atas realitas. Namun demikian, konsiderasi pikiran sendiri terhadap sesuatu yang terpikirkan itu berbeda satu sama lain, bahkan terkadang apa yang terpikirkan bukan bagian dari realitas atau tidak termasuk dari lingkup eksistensi absolut.
a. Intelijibilitas primer (ma’qul awwali)
Identifikasi pertama mengenai intelijibilitas jenis ini adalah pelekatan kata primer padanya. Seringkali pendapat mengenai intelijibilitas tersebut menggambarkan kuiditas sesuatu[3], seperti manusia, bunga, meja, dan lain sebagainya, sejauh gambaran mental itu adalah ‘identitas’ yang dipandang sebagai ‘batasan sesuatu’ (hadd al-sya’i). Adapun pengertian ‘primer’ yang melekat pada intelijibilitas karena cara pikiran meraihnya juga secara langsung—dalam arti subjek dapat mendapatkan konsep tertentu hanya dengan menggunakan indranya, misalnya, melihat sebuah gunung yang pada gilirannya forma atau bentuk gunung hadir di pikiran.
Di samping itu, ada hal lainnya mengapa ia disebut sebagai intelijibilitas primer karena ‘kualifikasi’ dan ‘keberlakuan’ berlaku pada realitas eksternal in concreto.[4] Maksud dari kualifikasi dan terjadinya dalam intelijibilitas primer ini adalah gambaran mental dari intelijibilitas tersebut juga nyata di realitas in concreto, seperti ‘kemanusiaan’ (insaniyyah) pada Amir.
b. Intelijibilitas Sekunder (ma’qul tsani)
Seperti yang primer, intelijibilitas sekunder adalah bentuk mental yang bersifat universal, yaitu bisa dipredikatkan pada banyak entitas. Meski demikian, perbedaan yang mencolok adalah ‘peraihannya’ (kaifiyyat al-hushul) serta ‘penyifatan’ dan ‘keberlakuan’ intelijibilitas. Para filsuf membagi intelijibilitas sekunder mnjadi dua jenis, sebab—seperti baru saja disinggung—‘penyifatan’ dan ‘keberlakuan’ intelijibilitas tersebut berbeda satu sama lain.
-Intelijibilitas Sekunder Logis/ISL (Ma’qul Tsani Mantiqi)
Perbedaan intelijibilitas ini dengan yang primer adalah ‘penyifatan’ dan ‘keberlakuan’ hanya terjadi dalam mental atau pikiran. intelijibilitas sekunder logis (ISL) memiliki segi ekstensi hanya dalam mental semata, sebab sifat-sifatnya berkaitan dengan atribut-atribut logika seperti universal, partikular, jenus, spesies, dan differensia. Para filsuf meyakini bahwa realitas in concreto adalah sesuatu yang individual (syakhsy) atau, jika diperbandingkan universal dengan ekstensinya dalam kajian logika, sebagai afrad, yang artinya sama dengan individu yang tunggal.
Terdapat penekanan yang serius di sini. ISL memiliki ranahnya sendiri, yakni segi kewujudannya tidak pada pada eksternal, sebab universal dan partikular adalah sifat bagi intelijibilitas primer, seperti Manusia adalah spesies. Nah, spesies yang dilekatkan pada “kuiditas manusia” merupakan ‘penyifatan’ dan ‘keberlakuan’ yang hanya berlaku pada mental semata.
Dengan demikian, seandainya ISL memiliki ‘kualifikasi’ dan ‘keberlakuan’ di eksternal—laiknya berbagai individu spesifik—maka, sebagaimana ditegaskan Thabathaba’i, ia sebagai sesuatu yang mustahil. Sebab, hal tersebut seperti ”terbaliknya hakikat” dan yang demikian tidak mungkin terjadi. Maka dari itu pula, konsep-konsep logis, hanya berlaku dan eksis pada mental. Begitupula dengan penyifatan atas berbagai subjek-subjeknya.
-Intelijibilitas Sekunder Filosofis/ISF (Ma’qul Tsani Falsafiy)
ISF pada gilirannya berada di tengah-tengah. Maksudnya, intelijibilitas jenis ini memiliki konsep yang “keberlakuan” dalam pikiran semata, tapi memiliki “kualifikasi” pada realitas in concreto. Adapun nama filosofisnya sendiri muncul karena intelijibilitas ini mengabstraksi sifat-sifat hakiki dari eksistensi eksternal, seperti; potensialitas-aktualitas, sebab-akibat, niscaya-kontingen. Perbedaan sifat-sifat hakiki eksistensi tersebut juga merupakan titik dasar berbagai pluralitas, seperti ditandaskan oleh Thabathaba’i dalam Nihayah al-Hikmah ketika membahas gradasi eksistensi eksternal.
Menurut Thabathaba’i, sifat-sifat hakiki identik dengan eksistensi in concreto yang dengan demikian eksistensi dan sifat-sifat hakikinya tidak mungkin memiliki kewujudan di mental seperti ISL. Pun tidak mungkin jika objek-objek ISF eksis di mental seperti intelijibilitas primer, sebab akan berimplikasi pada ‘terbaliknya hakikat’ atau inqilab. Dengan demikian, hukum bagi ISF adalah “keberlakuan” hanya pada mental, sedangkan “kualifikasinya” mengacu pada realitas in concreto.
B. Perbedaan intelijibilitas primer dan sekunder
Bagian ini adalah pengkajian bagaimana perbedaan-perbedaan berbagai masing intelijibilitas terjadi. Telah disinggung sedikit bahwa intelijibilitas primer merupakan konsep-konsep universal yang eksis di pikiran sebagai bentuk mental atas berbagai kuiditas. Hal lainnya pula mengenai intelijibilitas primer adalah konsep universal yang ketika berbagai ekstensinya eksis di eksternal maka ia memiliki efek, sedangkan ketika eksis di mental ia tidak memiliki efek eksternal melainkan efek mental.
Intelijibilitas primer, yang mana ia adalah gambaran kuiditas sesuatu, berbeda dari, misalnya, konsep spesies (nau). Sebab, spesies bisa menjadi sifat atas berbagai kuiditas, misalnya, selain manusia, sapi dan kambing juga merupakan spesies yang berbeda satu sama lain. Lebih dari itu, jika ditilik lebih dalam, konsep spesies per se tidaklah menggambarkan kuiditas sesuatu. Begitupula dengan universal per se dan partikular per se.
Kemudian perbedaan intelijibilitas filosofis dengan intelijibilitas primer juga sangat gamblang. Cara mudahnya adalah dengan membedah satu kuiditas menjadi unsur-unsur pembentuknya yaitu yang sama saja dengan “definisi”. Dalam setiap definisi, para filsuf selalu mengaitkan esensi dengan bagian-bagian esensi itu pula, misalnya, jenus dan differensianya atau, jika tidak ditemukan differensianya, kemungkinan dengan aksiden-aksiden khusus.
Dari cara definisi itu, ISL tidak didapatkan dalam sebuah esensi kuiditas. Implikasinya pula ISL tidak bisa menjadi definisi atas sebuah kuiditas, seperti manusia adalah akibat. Singkatnya, intelijibilitas primer menggambarkan kuiditas sesuatu, sedangkan ISF selalu mengacu pada sifat-sifat hakiki dari sesuatu atau eksistensi in concreto.
Boleh jadi, kuiditas sesuatu berbeda satu sama lain, akan tetapi memiliki sifat eksistensi yang sama. Misalnya kuiditas A dan B sama-sama sebagai akibat. Tapi, pada sisi lainnya dan waktu lainnya, bisa juga jika A menjadi sebab sesuatu, sedangkan B masih sebagai akibat dari sesuatu yang lainnya.
Ciri khas dari ISF adalah konsep yang berpasang-pasangan, seperti sebab-akibat, potensi-aktual, gerak-diam, tunggal-plural. Dari konsep yang berpasang-pasangan itu satu entitas bisa dikualifikasi sebagai ekstensi dari potensi sekaligus aktual. Hal yang menarik lainnya dari ISF adalah untuk mengetahuinya tidak memerlukan definisi (hadd tamm), tapi hanya deskripsi semata. Logikanya sangat sederhana, definisi selalu terkait dengan esensi-esensi (dzatiyyat) sesuatu, dan ISF bukanlah esensi (kuidita), jadi ISF tidak memiliki esensi untuk definisi konsep tersebut.
C. Intelijibilitas dan Kemunculannya Di pikiran
Setelah melihat karakteristik dari masing-masing intelijibilitas di atas sekarang kita akan mendedah bagaimana intelijibilitas tersebut muncul (dzuhur) di pikiran. Thabathaba'i melihat peristiwa ini dengan membedakan ‘pengetahuan’ dan ‘kemunculan’ pengetahuan itu sendiri. Dengan cara demikian, kemunculan intelijibilitas  di pikiran berbeda-beda begitupula cara predikasinya yang berbeda-beda pula.
Secara mendasar berbagai perbedaan intelijibilitas tersebut dapat dilalui dengan, pertama-tama, mengidentifikasi apa yang sebenarnya dirujuk oleh intelijibilitas tersebut. Jika intelijibilitas primer mengacu pada batasan sesuatu, maka intelijibilitas sekunder filosofis merujuk pada status hakiki realitas ontologis. kemudian intelijibilitas sekunder logis hanya merujuk pada tatanan mental semata. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka sekarang ini penentuan bagaimana cara pikiran mendapatkan kemunculan berbagai intelijibilitas tersebut.
Banyak sarjana muslim kontemporer, khususnya dalam bidang filsafat, mengatakan bahwa Thabathaba'i adalah seorang pencetus pertama yang  melakukan pengkajian mengenai pemilahan operasi pikiran dalam meraih berbagai intelijibilitas tersebut. Akan tetapi, bagaimana dengan Mulla Shadra yang secara serius turut memberikan kejelasan mengenai intelijibilitas primer dengan intelijibilitas sekunder?
Sebenarnya apa yang dilakukan Thabathaba'i adalah melakukan penekanan dengan mengidentifikasi intelijibilitas dari berbagai aspeknya, seperti telah diulang-ulang di atas. Kemudian, ia juga melihat struktur operasi pikiran dalam meraih dua intelijibilitas tersebut. Dan, yang terakhir, memudahkan para pengkaji filsafat agar lebih tepat dalam mengindentifikasi mana konsep kuiditatif, konsep filosofis, dan konsep logis.
Dengan alasan-alasan tersebut, Thabathaba'i memisahkan dua jenis konsep menjadi hakiki dan i’tibari. Secera sederhana, konsep hakiki dimengerti sebagai konsep yang riil, sedangkan konsep i’tibari sebagai konsep abstraktif. Pengertian tersebut merujuk pada ‘keberlakuan’ dan ‘kualifikasi’ masing-masing intelijibilitas tersebut ditambah dengan perbedaan pikiran dalam meraih masing-masing intelijibilitas tersebut.
Oleh karena perbedaan pikiran dalam meraih tersebut, kuiditas selalu eksis dengan eksistensi eksternal yang dengannya memiliki efek spesifik tersendiri, kemudian—jika diperbandingkan dengan realitas eksternal—ia juga memiliki eksistensi mental yang mana tidak memiliki efek spesifik eksternal melainkan efek-efek eksistensi mental. Pandangan ini yang disebut oleh Thabathaba'i sebagai konsep rill (mafhum haqiqi).
Di samping itu, kuiditas kerap dipandang sebagai jembatan pikiran dengan realitas eksternal in concreto yang dengan demikian setiap pengetahuan atas seseorang mengenai batasan sesuatu “keberlakuan” dalam pikiran juga pada realitas eksternal sehingga “kualifikasi” yang berlaku dapat dipandangan sebagai ‘kesesuaian’ kuiditas pikiran dengan berbagai individu (afrad) kuiditas tersebut.
Berbeda dengan ISF yang mana realitasnya adalah eksternalitas sehingga pikiran bukanlah sebuah ranah untuk menampung realitas tersebut. Dengan demikian, pikiran ‘menciptakan’ berbagai konsep-konsep yang menggambarkan sifat-khas eksistensi dimana aspek kewujudannya tidak eksis di pikiran karena—sebagaimana telah disinggung—akan mengimplikasikan ‘terbaliknya hakikat’.
Kata ‘menciptakan’ sendiri adalah kata ganti lain dari pengetahuan fi’li atau aktif yang merujuk pada tindakan-tindakan pikiran dengan memunculkan intelijibilitas sekunder filosofis dan logis. Sedangkan, intelijibilitas primer adalah pengetahuan yang bersifat infi’al atau subjek yang mengetahui hanya menerima gambaran-gambaran mengenai kuiditas sesuatu.
Dengan alasan tersebut, maka tidaklah heran mengapa konsep-konsep kefilsafatan atau ISF disebut sebagai konsep-konsep abstraktif atau buatan pikiran. Meski dikatakan demikian bukan berarti ISF tidak memiliki ekstensi yang mengada di realitas, ia adalah sifat-hakiki dari realitas ontologis. Dalam perolehannya pun seseorang harus memiliki kejelian dan kehatia-hatian ketika memperbandingkan satu eksistensi dengan eksistensi lainnya. Misalnya, memperoleh konsep sebab dari api yang mana ‘panas’ adalah akibatnya.
Nah, dari eksistensi api tersebut pikiran dapat merumuskan sebab dan akibat yang juga nyata dalam eksistensi api tersebut. Akan tetapi, harus diingat kembali, bahwa sebab-akibat tidak menggambarkan kuiditas api melainkan menjelaskan sifat hakiki realitas ontologis. Maka dari itu pula, kualifikasi konsep-konsep filosofis pada ekstensinya tidak seperti predikasi kuiditas pada individunya melainkan dengan mengacu secara langsung kondisi eksistensi eksternal, seperti eksistensi A adalah akibat dan juga potensi.
Begitupula dengan ISL yang mana pikiran seseorang tidak mendapatkannya dari realitas eksternal melainkan merumuskan atau mengabstraksi konsep-konsep universal, partikular, jenus, differensia, dan spesies secara langsung dalam mental. Hakikat eksistensinya juga bukan pada realitas eksternal in concreto melainkan hanya pada pikiran semata, sehingga “terjadi” dan “kualifikasi” ISL hanya berlaku di dalam pikiran.
Jadi, konsep riil dan konsep abstraktif bisa dipandang dengan cara perbedaan “keberlakuan” dan “kualifikasi” yang berbeda satu sama lain. Intelijibilitas primer berlaku dan memiliki kualifikasi di eksternal, seperti manusia yang memiliki individu-individunya. Kemudian, konsep-konsep filosofis ‘berlaku’ di pikiran yang disebut dengan konsep abstraktif, tapi memiliki kualifikasi di eksternal. ISL pun hanya ‘berlaku’ dan dapat dikualifikasi dalam  pikiran semata yang dengan itu pula disebut sebagai bagian dari konsep abstraktif.
------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] http://arti-definisi-pengertian.info/pengertian-arti-intelijibilitas diakses 10 Mei 2016
[2] Ibrahim Kalin, Mulla Sadra Realist Ontology of the Intelligibles and Theory of Knowledge, hal 82 .  Dalam the Muslim World, Vol 94. Januari 2004
[3]Mengenai kuiditas telah dituliskan dalam artikel lainnya seperti;
https://rainhardvidi.tumblr.com/post/163133989431/membincangfundamentalitas
[4] urudh dan ittisaf diterjemahkan sebagai ‘keberlakuan’ dan ‘kualifikasi’. Kedua istilah tersebut merujuk pada kewujudan masing-masing konsep intelijibilitas dan penyifatannya. Misalnya, konsep manusia memiliki individu-individunya yang secara nyata dapat dirujuk pada realitas eksternal. Dengan cara tersebut, konsep manusia dapat dilihat memiliki kewujudannya di eksternal yang mengimplikasikan keberlakuan dan penyifatan/ kualifikasi konsep tersebut berlaku di eksternal.
1 note · View note
rainhardvidi · 7 years
Text
Waktu, Gerak, dan Materi dalam Filsafat Ibn Sina dan Sains Modern
Oleh; Cipta Bakti Gama 
Telah disetujui Penulis untuk dipost di sini.
I. Pendahuluan
Banyak peneliti yang memandang bahwa awal sejarah sains modern ditandai dengan pergeseran pandangan dunia dari dominasi Aristotelianisme ke pandangan dunia mekanistik Galilean-Newtonian.[1] Sejauh mana pandangan dunia Aristotelian ditinggalkan oleh komunitas ilmuan dan  pada aspek apa pandangan dunia tersebut berbeda dari pandangan dunia mekanistik adalah hal yang belum disepakati oleh para pendukung sains modern sendiri. Terlepas dari itu, dalam perkembangannya, sains bukan saja meninggalkan pandangan dunia Aristoteles, melainkan melangkah lebih jauh dengan bercerai dari filsafat.[2] Jika Isaac Newton (1643-1727) yang namanya menjadi benchmark pandangan dunia sains modern sendiri masih memandang bahwa fisika adalah bagian dari filsafat alam[3], ternyata sebagian ilmuwan segenerasinya sudah ada yang memandang bahwa pembahasan fisika sudah tidak harus/tidak perlu dikaitkan dengan metafisika.[4] Seperti kata Leibniz (1646-1716), seorang filsuf-saintis ternama dari Jerman,  “Fisikawan bisa menjelaskan eksperimen-eksperimennya, . . ., tanpa harus mengajukan prinsip-prinsip yang dibahas oleh ilmu yang lain (baca: teologi dan metafisika)“[5]. Lebih ekstrim lagi, sebagian saintis masyhur kontemporer—seperti Stephen Hawking, mendeklarasikan bahwa filsafat telah mati dan sains sudah cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup manusia yang dulu digeluti para filsuf.[6] Sekalipun demikian, faktanya, masih banyak saintis, filsuf, dan saintis yang sekaligus filsuf tidak sepakat dengan pandangan ekstrim seperti itu.[7] Roger Trigg (1999), misalnya, seorang professor filsafat terkemuka, memandang bahwa sains modern tidak bisa lepas dari filsafat (metafisika) dilihat dari banyak hal, termasuk masalah validitas dirinya sendiri untuk dijadikan jalan memperoleh pengetahuan yang bisa dipercaya.[8]
Dalam tulisan ini saya akan menjelaskan secara ringkas konsep waktu dan hubungannya dengan gerak dan materi yang dibahas oleh Ibn Sina (980-1037) sebagai ikon filsafat Aristotelianisme di dunia Islam. Dengan pandangan Ibn Sina ini saya juga akan mencoba meberikan respon atas pembahasan dua konsep tersebut dalam pandangan sebagian saintis dan filsuf pendukung sains modern. Selain itu, posisi saya terhadap masalah tersebut menunjukan bahwa sains tidak harus lepas dari filsafat (metafisika) dan bahwa diceraikannya/ditinggalkannya metafisika Aristotelianisme dari sains modern tampaknya bukan karena ia tidak bisa menjadi landasan metafisik dari sains. Dengan kata lain, sebenarnya bisa saja metafisika Aristotelianisme tetap menjadi fondasi metafisik bagi sains modern.
II. Waktu dan Materi dalam Filsafat Ibn Sina
Dalam al-Syifa, Ibn Sina membahas masalah waktu (zaman/الزمان) dalam empat pasal. Pasal pertama menjelaskan perbedaan pendapat tentang eksistensi (wujud/الوجود) dan esensi (mahiyah/الماهية) zaman dan kritik Ibn Sina terhadap pendapat-pendapat tersebut. Pasal kedua berisi penjelasan tentang pendapat yang dipegang oleh Ibn Sina dalam masalah tersebut. Pasal ketiga menyoroti lebih jauh seputar hakikat sekarang (al-an/الآن). Dan pada pasal keempat Ibn Sina mencoba menjawab berbagai keraguan dalam persoalan zaman. Sebenarnya pasal-pasal tentang zaman ini merupakan bagian dari pembahasan yang lebih umum, yaitu masalah gerak (harokah/الحركة). Selain itu, Ibn Sina sendiri mendefinisikan zaman sebagai “ ukuran (miqdar/مقدار) gerak ketika dipisah oleh jarak (masafah/المسافة) menjadi yang dahulu (mutaqoddim/المتقدم) dan yang kemudian (mutaakhkhir/المتأخر)“[9] [Definisi 1]. Atas dasar itu saya memilih untuk membicarakan masalah gerak terlebih dahulu.
Tema gerak dalam al-Syifa diurai ke dalam tiga belas pasal, termasuk di dalamnya empat pasal tentang zaman dan lima pasal tentang tempat (makan/المكان). Ibn Sina menjelaskan makna gerak, perbedaan pendapat dalam masalah gerak, relasinya dengan kategori-kategori genus paling universal (maqulat/المقولات), juga relasinya dengan diam (sukun/السكون) dalam empat pasal pertama tema ini. Berikut saya akan fokus pada dua masalah saja: (1.) Apa definisi gerak? (2.) Pada maqulat mana saja gerak mewujud?
II.1. Definisi Gerak
Ibn Sina memulai pembicaraan tentang gerak dengan pernyataan bahwa seluruh yang ada (eksisten/maujudat/الموجودات)  bisa dibagi berdasarkan aktualitas (الفعل) dan potensialitas (القوة)-nya ke dalam dua kategori berikut: a.) Maujud aktual dari segala aspeknya; b.) Maujud aktual dari sebagian aspek dan potensial dari aspek lainnya. Kemudian ia berkata bahwa seluruh maujud potensial pasti bisa keluar dari kondisi potensialitas-nya menjadi maujud aktual, melalui dua kemungkinan cara: 1. Sekaligus; atau 2. bertahap. Lalu Ibn Sina menyitir definisi tidak sempurna (rosm/الرسم) gerak yang diajukan sebagian kalangan, yaitu “Keluarnya suatu maujud dari kondisi potensial menjadi aktual secara bertahap dalam suatu zaman“. Namun baginya definisi ini secara implisit mengandung sirkularitas (daur/الدور), jadi harus dicari definisi alternatif.[10] Dari sinilah kita bisa melihat definisi gerak yang diajukan Ibn Sina.
[Definisi 2]: “Gerak adalah  kesempurnaan pertama dari suatu potensi dari sisi potensi-nya untuk teraktual pada kesempurnaan pertama itu.“[11]
Untuk memahami definisi ini kita bisa berangkat dari paparan Ibn Sina sebagai berikut:
Sesuatu yang disebut bergerak, ketika sebelumnya dia dalam keadaan diam sebenarnya sudah menjadi sesuatu yang bergerak secara potensial dengan potensi mutlak. Bisa juga dikatakan bahwa ketika itu ia memiliki dua aspek potensi. Pertama, potensi untuk ada dalam suatu kondisi aktual. Kedua, potensi untuk menjalani proses menuju kondisi tersebut. Aktualisasi aspek pertama dan kedua bisa disebut juga sebagai kesempurnaan. Jadi dengan kata lain, ketika diam, sesuatu itu memiliki dua potensi untuk menjadi aktual dalam dua aspek kesempurnaan.[12]
Istilah Ibn Sina “kesempurnaan pertama“ dalam definisi 2 di atas bisa kita hubungkan dengan konsepsinya tentang “dua aspek kesempurnaan“. Sebagaimana tampak dalam petikan paparan Ibn Sina sebelumnya, bahwa sesuatu yang disebut bergerak bisa diurai kedalam fragmen-fragmen kondisi sebagai berikut: (1) diam à (2) menjadi aktual dalam kondisi tertentu (kesempurnaan). Hanya saja aktualisasi kondisi ini sebenarnya bukanlah kondisi bergerak itu sendiri. Yang disebut gerak sebenarnya adalah kondisi (atau kondisi-kondisi) yang teraktual dalam proses menuju teraktualnya kondisi (2). Jadi fragmennya bukan terdiri dari dua titik kondisi, melainkan tiga, yaitu: (1) diam à (2) aktualisasi kondisi yang merupakan proses à (3) aktualisasi kondisi tujuan. Kondisi (2) inilah yang Ibn Sina sebut dengan “kesempurnaan pertama“.
Untuk lebih memperjelas bahasan, saya ajukan satu contoh, yaitu: mobil X bergerak dari tempat P menuju tempat T yang harus melewati tempat Q, R, lalu S. Proses geraknya bisa diurai sebagai berikut: (1) diam di tempat P à (2) ada di tempat Q à (3) ada di tempat R à (4) ada di tempat S à (5) ada di tempat T. Yang disebut dengan “kesempurnaan pertama“ adalah aktualisasi mobil X menjadi ada di tempat Q, R, dan S. Dan inilah yang disebut dengan gerak. Sekalipun ada tiga tempat yang dilalui oleh mobil X untuk berada di tempat T, yang berarti ada tiga kali aktualisasi, tapi ketiga aktualisasi tersebut (yakni di tempat Q, R, dan S) masing-masing tetap disebut “kesempurnaan pertama“ karena istilah “pertama“ di situ bersifat relatif dalam fragmen rangkaian tiga poin saja. Jadi sebenarnya, jika kita mengikuti konsep Ibn Sina, fragmentasi kondisi-kondisinya cukup dilihat dari tiga poin: (1) potensial à (2) aktual pada kondisi menuju (kesempurnaan pertama) à (3) aktual pada kondisi tujuan (kesempurnaan kedua). Selain itu, seperti kata Ibn Sina dalam definisi 2, “. . . dari sisi potensinya untuk teraktual dalam kesempurnaan pertama itu“, sebenarnya ada sisi potensialitas yang lain yang dimiliki sesuatu sebelum teraktual dalam gerak yang ia sebut dengan “potensi mutlak“ dalam petikan paragraf sebelumnya. Aplikasinya pada kasus di atas jadi seperti berikut:
I.            (1) ada di tempat P (memiliki potensi mutlak untuk ada di tempat Q, R, S, T, dan tempat lainnya) à (2) ada di tempat Q (aktualisasi ini disebut kesempurnaan pertama dilihat dari rangkaian fragmen P-Q-R) à (3) ada di tempat R.
II.            (1) Ada di tempat Q à (2) ada di tempat R à (3) ada di tempat S. Di rangkaian fragmen Q-R-S ini yang menjadi kesempurnaan pertama adalah aktualisasi di tempat R. Demikian pula seterusnya.
Penjelasan di atas mengklarifikasi makna “kesempurnaan pertama“, “dua kesempurnaan“, “potensi mutlak“, dan “potensi dari sisi potensinya untuk teraktual dalam kesempurnaan pertama“, yang digunakan oleh Ibn Sina dalam mendefinisikan gerak dan menjelaskannya.
Ada satu hal penting lagi untuk memahami konsep gerak dalam pandangan Ibn Sina. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Ibn Sina memandang definisi gerak yang diajukan sebagian filsuf sebagai “Keluarnya suatu maujud dari kondisi potensial menjadi aktual secara bertahap dalam suatu zaman“ sebagai definisi yang mengandung daur. Namun tampaknya daur yang ia maksud terletak pada frase “dalam suatu zaman”. Ini karena Ibn Sina ternyata menerima konsepsi gerak sebagai “keluarnya maujud dari kondisi potensial menjadi aktual secara bertahap, bukan sekaligus“. Hal tersebut tampak dalam penjelasannya dalam topik “pada maqulat mana saja gerak mewujud?“ Inilah poin berikutnya yang hendak saya diskusikan.
II.2. Gerak dan Maqulat
Di awal pembahasan masalah ini, Ibn Sina menyebutkan beberapa pendapat tentang hubungan gerak dengan maqulat. Pertama, gerak adalah maqulat pasivitas (an yanfa’il/أن ينفعل). Kedua, gerak adalah kata universal yang partikular-partikularnya disatukan oleh kemiripan tertentu (bi l-isytirok al-baht/بالاشتراك البحت). Ketiga, gerak adalah kata universal yang ambigu (musyakkak/مشكّك) yang partikular-partikularnya tidak mewujud pada maqulat, melainkan pada partikular maqulat.[13] Sebenarnya pendapat ketiga dibagi lagi menjadi beberapa pendapat, namun yang penting untuk dicatat adalah bahwa Ibn Sina menolak semua pandangan tersebut dan menghabiskan satu pasal untuk mengkritiknya.[14] Ia baru mengulas pandangan yang ia pegang dalam pasal berikutnya.
[Postulat 1]: “Gerak mewujud pada empat maqulat: kualitas (al-kaif/الكيف), kuantitas (al-kam/الكم), ruang (al-ain/الأين), dan posisi (al-wadh‘/الوضع).“
Postulat 1 mewakili pandangan yang dipegang oleh Ibn Sina. Tapi sebelum melangkah lebih jauh, ada makna yang perlu diklarifikasi terlebih dahulu. Frase “gerak mewujud pada maqulat” sebenarnya memiliki beragam makna. Paling tidak, menurut Ibn Sina, ada empat makna[15]. (1)  Bahwa maqulat adalah subjek hakiki (maudhu’ haqiqi/الموضوع الحقيقي) dari gerak. (2) Bahwa maqulat adalah perantara mewujudnya gerak pada substansi (jauhar/الجوهر) yang menjadi subjek hakikinya. (3) Bahwa maqulat adalah genus dari gerak. (4) Bahwa substansi bergerak dari satu spesies (nau’/النوع) dari suatu maqulat[16] ke spesies lainya. Yang dimaksud oleh Ibn Sina dalam postulat 1 di atas adalah makna keempat.
Lalu bagaimana suatu substansi bergerak dari satu spesies ke spesies lain pada maqulat kualitas, kuantitas, ruang, dan posisi? Ibn Sina menjelaskan sebagai berikut.
Wujud gerak pada maqulat kaif itu jelas . . . Gerak juga mewujud pada maqulat kam dalam dua bentuk: pertama, dengan tambahan sehingga substansi menjadi tumbuh; kedua, dengan pengurangan sehingga substansi menjadi menyusut. Dalam dua bentuk tersebut bentuk (form/shuroh/الصورة) dari substansi tersebut masih tetap sama . . . Wujud gerak pada maqulat aina sangat jelas . . . Dan yang benar adalah bahwa pada gerak juga mewujud pada maqulat wadh’ . . ., ini tampak jelas dengan mengamati gerak planet.[17]
Dalam kutipan di atas, tampaknya Ibn Sina memandang wujud gerak pada maqulat kaif, kam, dan ain sebagai sesuatu yang jelas; dan wujud gerak pada maqulat wadh’ bisa diamati pada gerak planet-planet. Ia lebih memilih untuk mengisi pasal ini dengan bantahan terhadap pendapat yang mengatakan bahwa gerak juga mewujud pada enam maqulat lainnya, yaitu: jauhar, idhofah (relasi/الإضافة),  mata (kapan/المتى), jidah (kepemilikan/الجدة), an yaf’al (aksi/أن يفعل), dan an yanfa’il (pasivasi/أن ينفعل). Inti argumen bantahan Ibn Sina tersebut adalah bahwa wujud perubahan dari potensi ke aktual yang terjadi pada enam maqulat tersebut tidak bersifat bertahap (mutadarrijan) melainkan sekaligus (duf’atan). Padalah sejak awal sudah diklarifikasi bahwa gerak bersifat bertahap, tidak sekaligus. Seperti pada kasus gerak mobil X dari tempat P ke tempat T yang harus melalui tempat Q, R, dan S. Dalam kasus tersebut yang disebut gerak adalah aktualitas pada Q-R-S, dan bukan aktualitas pada tempat P dan T. Dan aktualitas pada Q-R-S sifatnya bertahap, yang oleh karena itu ia disebut gerak.
Dalam makalah ini saya tidak akan masuk ke bantahan-bantahan tersebut lebih jauh. Yang lebih penting dari itu dalam topik kita adalah memperjelas maksud gerak pada empat maqulat yang oleh Ibn Sina dianggap jelas itu. Karena Ibn Sina tidak membahasnya secara detil, maka saya akan meminjam penjelasan al-Thabathaba’i dalam Nihayat-u l-Hikmah[18] dan Taqi Mishbah Yazdi dalam Amuzesh-e Falsafeh[19].
Taqi Mishbah Yazdi mengatakan bahwa contoh yang paling jelas tentang gerak pada kualitas adalah gerak pada kualitas-kualitas mental seperti cinta dan benci.[20] Perubahan yang terjadi pada rasa cinta dan benci yang menguat-melemah kita sadari bersifat bertahap. Dari perspektif filsafat, perubahan bertahap seperti itulah yang disebut gerak. Ia juga kemudian menjelaskan gerak juga terjadi pada spesies kualitas selain mental, seperti kualitas inderawi (contoh: warna, kecepatan) dan kualitas bentuk (contoh: perubahan bentuk tali dari lurus menjadi melingkar).
Contoh gerak pada ruang adalah perpindahan raga dari satu ruang ke ruang lainnya (seperti pada kasus mobil X sebelumnya). Di sini, Taqi Mishbah Yazdi mengatakan bahwa gerak pada ruang bisa dibagi ke dalam dua kategori: intensional (dengan kehendak tertentu, berarti melibatkan jiwa) dan unintensional (tidak dengan kehendak jiwa tertentu).  Contoh untuk yang pertama adalah perpindahan raga manusia dan contoh untuk yang kedua adalah gerak benda mati (misalkan apel yang jatuh karena tertarik gaya gravitasi).
Kemudian, ia mengatakan bahwa dua kategori tersebut dan pembicaraan tentang gerak pada ruang bisa diterapkan juga pada gerak pada posisi. Ini karena menurutnya gerak pada posisi bisa direduksi pada gerak pada ruang.[21] Tapi menurut hemat saya, jika kita berbicara dalam konteks filsafat Peripatetik yang masih mengakui perbedaan antara ruang dan posisi, berarti harusnya kita juga tetap membedakan gerak pada kedua maqulat tersebut. Dalam hal ini kita bisa tetap melihat pembedaan tersebut pada penjelasan al-Thabathaba’i. Beliau berkata, “Wujud gerak pada posisi sangat jelas, contohnya adalah gerak lingkaran pada porosnya.”[22]
Yang terakhir adalah gerak pada kuantitas. Di sini ada catatan penting dari Taqi Mishbah Yazdi[23], yaitu bahwa kuantitas, sekalipun identik dengan angka, namun angka sebenarnya tidak punya wujud secara independen di dunia eksternal. Jadi membahas gerak pada kuantitas jangan dibayangkan sebagai gerak perubahan angka-angka, seperti 1, jadi 2, jadi 3, jadi 4, dan seterusnya. Gerak pada kuantitas sebenarnya adalah gerak pada kuantitas yang merupakan aksiden dari substansi tertentu.  Contohnya adalah gerak penambahan atau pengurangan volume balon yang ditiup.
II.3. Ibn Sina: Waktu, Gerak, Materi, Bentuk, dan Raga
Setelah memahami definisi gerak dan wujud gerak pada maqulat, berikutnya kita bisa masuk ke definisi waktu dalam filsafat Ibn Sina. Definisi waktu sudah disebutkan sebelumnya pada definisi 1, yaitu “ukuran (miqdar/مقدار) gerak ketika dipisah oleh jarak (masafah/المسافة) menjadi yang dahulu (mutaqoddim/المتقدم) dan yang kemudian (mutaakhkhir/المتأخر)“. Di sisi lain, Ibn Sina juga mengajukan postulat penting dalam masalah gerak.
[Postulat 2] : Gerak selalu terkait dengan enam hal : subjek yang bergerak (mutaharrik/المتحرك), sebab penggerak (muharrik/المحرّك), maqulat yang menjadi lokasi gerak (ma fih/ما فيه), asal gerak (ma minhu/ما منه), tujuan gerak (ma ilaihi/ما إليه), dan waktu (zaman/الزمان).[24]
Jika definisi 1, postulat 1, dan postulat 2 saya gabungkan, maka saya bisa sampai pada kesimpulan yang saya jadikan postulat 3.
[Postulat 3] : Waktu ada jika dan hanya jika gerak ada, di mana gerak hanya ada pada empat maqulat eksidental, bukan pada substansi.
Postulat 3 ini menurut hemat saya penting untuk digunakan dalam menilai sebagian teori sains modern tentang waktu yang berikutnya akan kita bahas. Namun sebelum beranjak ke pembahasan itu, saya ingin mengangkat satu postulat penting lain yang bisa disimpulkan dari penjelasan Ibn Sina sebagai berikut:
“Ketika sudah jelas validitas pandangan bahwa waktu tidak berdiri sendiri, … tidak memiliki esensi (dzat), dia bisa muncul dan lenyap, dan bahwa segala sesuatu yang berkarakter seperti itu berarti wujudnya terkait dengan materi (maddah) ; maka waktu pun bersifat material (maaddi), . . . (waktu) mewujud pada materi melalui perantaraan gerak.” [25]
Dalam kutipan tersebut, Ibn Sina secara jelas menyatakan bahwa waktu bersifat material, ada pada materi. Dan ini adalah postulat keempat yang menurut saya penting dalam pembahasan kita.
[Postulat 4] : Waktu hanya ada di dunia materi.
Apa yang dimaksud dengan materi? Istilah ini juga perlu diklarifikasi. Dalam al-Syifa, Ibn Sina menyatakan:
“Seluruh substansi (jauhar) bisa berupa raga (jism) atau bukan raga. Jika dia bukan raga, maka bisa berupa bagian dari raga atau bukan. Jika dia adalah bagian dari raga, maka bisa berupa bentuk (shuroh) dari raga tersebut atau berupa materi (maaddah)-nya . . .“[26]
Di bagian lain ia menyatakan:
“Juga, raga itu memiliki secara aktual memiliki bentuk. Di sisi lain, raga juga bisa dilihat sebagai suatu kesiapan (isti’dad), yaitu raga secara potensial. Sesuatu dari sisi ketika berupa potensialitas tidak sama dengan ketika dia berupa aktualitas. Demikian pula raga. Raga secara potensial bukanlah raga secara aktual . . . Maka, raga merupakan suatu substansi (jauhar) yang terkomposisi oleh suatu potensialitas dan aktualitas. Aktualitas tersebut adalah bentuk (shuroh). Dan potensialitasnya adalah materi (maaddah), yaitu hayula.“[27]
Dari kutipan di atas, cukup jelas bahwa Ibn Sina memandang materi sebagai suatu substansi yang berupa potensi untuk teraktual dalam bentuk tertentu. Ia juga memandang bahwa dengan komposisi antara materi dan bentuk lah raga terwujud. Ini akan saya jadikan postulat kelima, keenam, dan definisi ketiga.
[Postulat 5]: Raga, bentuk, dan materi adalah substansi.
[Definisi 3]: Materi adalah substansi yang berupa potensi untuk teraktual dalam bentuk tertentu.
[Postulat 6]: Raga terkomposisi oleh materi yang bersifat potensial dan bentuk yang bersifat aktual.
Dengan tiga definisi dan enam postulat dari filsafat Ibn Sina di atas, berikutnya saya akan mencoba mendiskusikan secara ringkas pandangan sebagian filsuf dan saintis modern tentang topik ini.
Namun sebelum itu saya ingin mengklarifikasi satu hal, yaitu: masalah hakikat waktu dan dunia materi memang dibicarakan oleh para saintis modern. Namun karena di era modern ini ada keragaman persepsi tentang posisi sains dan filsafat—sebagaimana telah disinggung di awal tulisan ini, maka wajar jika kita melihat semacam ada kesimpang-siuran apakah mereka membahas topik ini sebagai topik sains ataukah filsafat, fisika ataukah metafisika? Di era Ibn Sina, hal ini tidak menjadi persoalan karena fisika masih menjadi cabang dari filsafat. Sebagaimana telah disinggung di awal tulisan, Newton sendiri sebenarnya masih menamai buku fisikanya dengan filsafat alam (Philosophiae Naturalis Principia Mathematica)[28]. Hal ini menjadi persoalan ketika di era modern sebagian orang memandang filsafat sudah tidak diperlukan lagi dan tergantikan oleh sains. Persoalannya adalah ketika sains dan filsafat dipisahkan, kemudian suatu teori saintifik dipandang meruntuhkan suatu pandangan filosofis atau filsafat secara keseluruhan, namun di sisi lain sebenarnya dia sedang membuat klaim tentang hakikat sesuatu yang nota bene adalah klaim filosofis, maka kerancuan itu pun menjadi tampak jelas. Sebagian yang lain membedakan filsafat dari sains dari sisi pendekatan: filsafat bersfat rasional dan sains empiris. Sebagian yang lain lagi memandang bahwa filsafat dengan sains itu hanya beda topiknya saja: ontologi-epistemologi-aksiologi adalah milik filsafat, dan sains berarti tidak membahas persoalan itu. Dalam tulisan ini saya mengambil pandangan yang terakhir. Dengan begitu sebenarnya apapun sikap tokoh yang akan saya singgung di sini terhadap sains dan filsafat, maka saya akan tetap memposisikan klaim-klaim mereka tentang hakikat waktu dan materi sebagai klaim filosofis (ontologis/metafisik).
III. Filsafat Ibn Sina & Sains Modern: Hakikat Waktu di Dunia Materi
Dalam al-Syifa Ibn Sina sudah memetakan ragam pandangan tentang hakikat waktu. Di antaranya yang paling penting adalah sebagai berikut[29]:
Tidak ada waktu. Di era modern posisi ini dipegang oleh para penganut empirisme.
Waktu hanya ilusi/konstruk mental (wahmi). Immanuel Kant dan para pengikutnya mengambil posisi ini[30]. Fritjof Capra juga bisa dikategorikan sebagai penganut pandangan ini[31].
Waktu adalah suatu substansi yang berdiri sendiri. Newton sering disebut sebagai penganut pandangan ini.[32]
Waktu adalah relasi antara berbagai entitas. Pandangan ini dianut oleh Leibniz, Einstein, dan Mario Bunge[33].
Waktu adalah aksiden (properties). Leibniz, Einstein, dan Bunge juga bisa dikategorikan ke dalam penganut pandangan ini karena beberapa alasan yang nanti akan saya utarakan. Teori Ibn Sina juga, pada batas tertentu (nanti akan saya jelaskan perbedaannya), bisa dikategorikan ke dalam pendapat ke lima ini.
Pendapat ke 1, 2, dan 4 di dasarkan pada pandangan bahwa “waktu tidak mewujud pada pengalaman empirik, yang kita saksikan dalam pengalaman empirik hanyalah rentetan kejadian (successive events)“.[34] Dari sini, orang yang memandang realitas hanya ada pada pengalaman empirik (empirisme ontologis, contoh: Berkeley) jelas akan menafikan waktu sebagai wujud ril (pendapat 1). Di sisi lain, Kant yang memandang bahwa sekalipun waktu tidak didapati pada pengalaman empiris, namun menurutnya waktu merupakan salah satu konstruk akal murni (pure reason) yang tanpanya pengalaman empirik tidak bisa dipahami. Fritjof Capra yang memanang bahwa “fisika modern telah mengkonvirmasi ide-ide dasar mistik Timur, yaitu bahwa seluruh konsep yang kita gunakan untuk menggambarkan alam bersifat terbatas, bukan fitur dari realitas, dan merupakan ciptaan mental kita sendiri“[35], juga berkesimpulan bahwa waktu adalah konstruk mental dan tidak ril.[36] Berbeda dengan para penganut pandangan 1 dan 2,  Leibniz, Einstein, dan Bunge memandang bahwa sekalipun waktu tidak ada pada pengalaman empirik, namun waktu adalah fitur (property/aksiden) dari relasi-relasi antara substansi-substansi (thing/stuff) material yang nyata[37]. Jadi, menurut pendapat 4 (dan 5), waktu adalah ril, ada pada realitas, dan realitas berifat material.
Pandangan 3, yaitu bahwa waktu adalah suatu substansi yang berdiri sendiri, disebut oleh sebagian penulis dengan istilah “substantivalism“[38]. Newton, yang sering disebut sebagai penganut pandangan ini, memang dikenal memiliki teori gerak absolut pada ruang dan waktu yang absolut.[39] Hanya saja, sebenarnya ada kontroversi di kalangan peneliti tentang “apakah Newton dengan teorinya itu sedang membicarakan persoalan metafisika (ontologi), yaitu soal hakikat ruang, waktu, dan gerak, ataukah bukan?“[40] Ketika Newton mendefinisikan waktu absolut, ia berkata, “Absolute time, without reference to anything external, flows uniformly“[41] (waktu absolut, tanpa referensi kepada apapun yang bersifat eksternal, mengalir secara konstan).  Menurut analisa DiSaille (2006), Leibniz lah yang menyimpulkan bahwa pernyataan Newton tersebut menunjukan bahwa ia menganut substantivalisme.[42] Penalarannya secara sederhana sebagai berikut: jika Newton mengklaim bahwa waktu adalah absolut, maka implikasinya adalah ia harus memandang waktu sebagai suatu substansi.[43] DiSaille menolak penalaran ini. Menurutnya sebenarnya Newton sedang membicarakan masalah gerak simultan dengan interval konstan dan gerak tidak simultan. Dan gerak itu sendiri adalah gerak benda-benda fisik.[44] Sebagaimana dinyatakan oleh Earman (1989), “Waktu absolut adalah suatu teori, bukan ontologi waktu, melainkan strukturnya.“[45] Jika analisa ini benar, berarti Newton memang bukan penganut substantivalisme.
Terlepas dari klaim-klaim ontologis di atas, yang paling juga untuk dicatat adalah bahwa pada praktiknya, sains modern (fisika, baik mekanika klasik Newtonian ataupun fisika modern) selalu membahas waktu dalam konteks relasi benda-benda fisik, bukan waktu sebagai substansi yang berdiri sendiri, ataupun sebagai ilusi yang dikonstruksi mental manusia, apalagi menafikan waktu sama sekali. Bahkan bagi Bunge (2010), persoalan realitas dan objektifitas waktu dalam fisika sudah diselesaikan oleh Einstein (1915) dengan teori relativitas umumnya.[46] Menurut teori ini, ruang dan waktu yang digabungkan menjadi ruang-waktu (spacetime) ditentukan oleh distribusi raga (bodies) dan medan (fields), bukan oleh gravitasi (sebagaimana menurut fisika klasik); dengan persamaan utama “G = kT“. G menunjukan tensor geometri, dan T menunjukan tensor materi. Jika dimana-mana T = 0, yang berarti suatu alam yang kosong, maka tidak ada fisika (sains).[47]
Jika benar demikian, maka filsafat Ibn Sina (juga pendapat 4 dan 5) tentang waktu dan gerak yang dinyatakan dalam definisi 1, definisi 2, postulat 1, dan postulat 3 lebih sesuai dengan praktik sains dibandingkan dengan ontologi waktu yang ada pada pendapat 1, 2, dan 3. Penganut ontologi waktu 1 (menolak wujud waktu) hanya bisa menerima fisika dengan asumsi “seolah-olah ada waktu“, penganut ontologi waktu 2 (waktu adalah konstruk mental) dengan “seolah-olah waktu nyata“; dan penganut ontologi waktu 3 (waktu adalah substansi, itu pun jika benar ada penganutnya dari kalangan saintis) dengan “seolah-olah waktu bukan substansi“.
Terakhir, saya mengasumsikan bahwa filsuf/saintis modern penganut ontologi 4 dan 5 adalah sama. Dua pandangan tersebut bisa disatukan ke dalam pernyataan “waktu adalah aksiden dari relasi-relasi substansi material yang nyata“. Pernyataan ini sejalan dengan postulat 3 (Waktu ada jika dan hanya jika gerak ada, di mana gerak hanya ada pada empat maqulat eksidental, bukan pada substansi) dan postulat 4 (Waktu hanya ada di dunia materi) dari filsafat waktu Ibn Sina. Hanya saja ada tiga persoalan penting di sini. Pertama, Ibn Sina membicarakan lebih detil tentang “wujud waktu pada aksiden-aksiden yang disandang oleh substansi material“ tersebut, dengan membatasinya pada empat maqulat aksidental saja (kualitas, kuantitas, ruang, dan  posisi). Kedua, istilah materi pada sains modern memiliki definisi yang ambigu. Bahkan Steven Weinberg (1993), peraih nobel fisika tahun 1979, menilai materi sudah kehilangan peran sentralnya dalam fisika[48]. Namun Bunge, seorang professor fisika teoritis, logika, dan metafisika, yang saya sebut sebagai penganut ontologi 5 di atas, berbeda sikap dengan Weinberg. Ia mendefinisikan materi sebagai “substansi yang memiliki potensi untuk berubah“[49] Definisi ini mirip dengan definisi 3 Ibn Sina (materi adalah substansi yang berupa potensi untuk teraktual dalam bentuk tertentu). Namun kedua tokoh tersebut berbeda dari sisi bahwa bagi Bunge substansi fisikal (thing/stuff) adalah substansi material itu sendiri, sedangkan bagi Ibn Sina wujud fisik adalah komposisi antara materi dengan bentuk yang menghasilkan raga.Ketiga, sekalipun Ibn Sina dan ontologi 5 sama-sama memandang waktu sebagai aksiden, namun dalam postulat 3 Ibn Sina tidak memandang aksiden tersebut sebagai aksiden dari relasi antara substansi material, melainkan aksiden dari gerak pada empat maqulat aksidental yang disandang oleh suatu substansi.
IV.Kesimpulan
Filsafat waktu Ibn Sina sebagai salah satu genre filsafat Aristotelian—sebagaimana diwakili oleh tiga definisi dan enam postulat yang dijelaskan dalam tulisan ini, sebenarnya masih cocok dengan sains modern (dalam kasus ini: fisika). Namun tentunya ada sebab yang menjadikan sebagian saintis menilai fisika dalam kerangka pandangan dunia Aristotelian sudah ditinggalkan oleh fisika di era sains modern. Tulisan ini memang tidak membahas apa saja sebab-sebab tersebut, tapi melalui tulisan ini cukup jelas bagi saya bahwa tidak ada pertentangan antara keduanya, paling tidak sampai sejauh ini. Pernyataan yang tepat tampaknya bukanlah “fisika Aristotelian telah ditinggalkan oleh sains modern atau dipandang tidak valid“, melainkan “fisika Aristotelian telah menjadi metafisika di era modern, dan metafisika telah diceraikan dari fisika saintifik-modern oleh banyak saintis.“  Jika masalahnya adalah “cerai“, bukan “tidak harmonis“, maka sebenarnya masih ada peluang untuk “rujuk“ dan “berharmonisasi“. Tulisan ini menunjukan bahwa justru sebenarnya ontologi Ibn Sina lebih harmonis dengan sains modern daripada tiga ontologi (khususnya dua dari tiga tersebut) yang secara paradoks dianut oleh banyak saintis. Sebagian saintis berusaha tidak memisahkan atau menyatukan kembali (keduanya dalam arti yang beragam) metafisika dan fisika.[50] Untuk yang seperti ini, filsafat Ibn Sina sangat siap untuk dilibatkan.
[1] Lihat: Daniel Garber, Physics and Foundations, dalam Katharine Park & Lorraine Daston (ed.), The Cambridge History of Science, (New York: Cambridge University Press, 2006), vol. III, h. 21-69.
[2] Ibid.
[3] Magnum opus Newton sendiri berjudul Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1689). Buku ini diterjemahkan ke bahasa Inggris pada tahun 1729 oleh Andrew Motte dengan judul Mathematical Principles of Natural Philosophy and His System of the World. Buku terjemahan ini kemudian diedit dan diberikan appendix oleh Florian Cajori, diterbitkan oleh University of California Press pertama kali tahun 1934.
[4] Daniel Garber, Physics and Foundations, h. 21-69.
[5] Leibniz, Discourse on Metaphysics, dalam  Roger Ariew & Daniel Garber (terj., ed.), G. W. Leibniz: Philosophical Essays, (Indianapolis & Cambridge: Hackett Publishing Company, 1989), h. 43.
[6] Stephen Hawking & Leonard Mlowdinow, The Grand Design, (New York: Bantam Books, 2010), h. 10.
[7] Seperti yang akan ditunjukan dalam tulisan ini.
[8] Lihat: Roger Trigg, Rationality and Science, (Oxford & Cambridge: Blackwell, 1999), h. 4-5.
[9] Ibn Sina, al-Syifa, (Uni Emirat Arab, t. t.), vol. 4, h. 157.  Teks Arabnya sebagai berikut: “الزمان عدد الحركة إذا انفصلت إلى متقدم ومتأخر، لا بالزمان، بل بالمسافة.”
[10] Lihat: Ibid, h. 81-82.
[11] LIhat: Ibid, h. 83. Teks Arabnya sebagai berikut: “الحركة كمال أول لما هو بالقوة من جهة ما هو بالقوة.”
[12] Lihat: Ibid, h. 82.
[13] Lihat: Ibid, h. 93.
[14] Lihat: Ibid, h. 93-97.
[15] Lihat: Ibid, h. 98.
[16]Penting dicatat bahwa maqulat adalah genus paling universal dari maujudat di dunia eksternal. Jadi ia memiliki spesies-spesies yang juga merupakan partikular-partikularnya. Dan maqulat tidak memiliki genus yang lebih universal darinya, kecuali universalia yang tidak memiliki makna yang wujud di dunia eksternal. Dengan kata lain, dalam istilah filsafat Hikmah Muta’aliyah, universalia yang menjadi genus dari maqulat adalah bagian dari al-ma’qulat al-tsaniyah (secondary intelligibles/المعقولات الثانية), bukan al-ma’qulat al-ula (primary intelligibles/المعقولات الأولى). Lihat: Abduljabbar al-Rifa’i, Durus fi l-Falsafah al-Islamiyah: Syarh Taudhihi li Kitab Bidayah Hikmah, (Teheran: Muassasah al-Huda, 2000), h. 351-356.
[17]  Lihat: Ibn Sina, al-Syifa, vol. 4, h. 101-106.
[18]  Muhammad Husain al-Thabathaba’i, Nihayah al-Hikmah, (Qum: Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1424 H.Q.).
[19] Teks yang saya gunakan adalah yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Muhammad Legenhausen dan ‘Azim Sarvdalir dengan judul Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, (New York: IGCS, 1999).
[20]  Lihat: Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical Instructions, h. 469-470.
[21] Ibid, h. 469.
[22] Thabathaba’i, Nihayat Hikmah, h. 259.
[23] Lihat: Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical Instructions, h. 470-471.
[24] Ibn Sina, al-Syifa, vol.4, h. 87.
[25] Ibid, h. 159
[26] Ibn Sina, al-Syifa, vol. 1, h. 60.
[27] Ibid, h. 67.
[28] Isaac Newton, Mathematical Principles of Natural Philosophy and His System of the World, terj. Andrew Motte & Florian Cajori, (Berkeley-Los Angeles-London: Univerity of California Press, 1974).
[29] Ibn Sina, al-Syifa, v. 4, h. 148.
[30] Lihat: Mario Bunge, Chasing Reality: Strife over Realism, (Toronto: Toronto University Press, 2006), h. 245.
[31] Lihat: Fritjof Capra, The Tao of Physics: An Exploration of The Parallels between Modern Physics and Eastern Mysticism, (Boulder: Shambhala, 1975), h. 161-187.
[32] Lihat: Graham Nerlich, Space-Time Substantivalism, dalam Michael J. Loux & Dean W. Zimmerman (ed.), The Oxford Handbook of Metaphysics, (New York: Oxford University Press, 2005), h. 281-283.
[33] Lihat: Mario Bunge, Chasing Reality: Strife over Realism, h. 244.
[34] Lihat: Mario Bunge, Ibid.
[35] Fritjof Capra, The Tao of Physics, h. 161.
[36] Ibid., 163.
[37] Lihat: Mario Bunge, Chasing Reality, h. 244-247.
[38] Graham Nerlich, Space-Time Substantivalism, h. 282.
[39] Robert DiSalle, Understanding Space-Time: The Philosophical Development from Newton to Einstein, (New York: Cambridge University Press, 2006), h. 13.
[40] Ibid., h. 16-17.
[41] Ibid, h. 20.
[42] Ibid., h. 22.
[43] Ibid.
[44] Ibid.
[45] Ibid.
[46] Mario Bunge, Chasing Reality, h. 246.
[47] Ibid.
[48] Steven Weinberg, Dreams of A Final Theory: The Scientist’s Search for The Ultimate Laws of Nature, (New York: Vintage Books, 1993),  h. 3.
[49] Mario Bunge, Matter and Mind: A Philosophical Inquiry, (Dordrecht: Springer, 2010), h. 63-64; Evaluating Philosophies, (Dordrecht: Springer, 2012),  h. 133-134. Bunge berpendapat bahwa energi adalah potensi untuk berubah; dan suatu substansi (thing, stuff) disebut material (konkrit) jika dan hanya jika dia memiliki potensi untuk berubah (energi).
[50] Tokoh-tokoh yang disebut di tulisan ini: Einstein, Bunge, Newton, Leibniz, dan Capra bukan termasuk para penolak metafisika. Leibniz memang pendukung cerainya fisika dari metafisika dalam arti menjadikan masing-masing sebagai disiplin ilmu yang terpisah. Bunge termasuk pendukung integrasi metafisika dan fisika, bahkan integrasi/unifikasi ilmu-ilmu dalam arti bahwa bangunan pengetahuan itu perlu diatur baik dalam pyramid ataupun diagram Venn dengan tiga alternative relasi: logis, epistemologis, atau ontologis. Capra juga mencoba melihat relevansi fisika modern dengan metafisika Timur. Walau, seperti dikatakan oleh S. H. Nasr, karya-karya Capra masih belum menyentuh metafisika tradisional yang sebenarnya (traditional sciences) tentang alam. Di antara karya yang terbaik, menurut Nasr, tentang integrasi metafisika tradisional dengan fisika terdapat pada Wolfgang Smith. Lihat: Mario Bunge, Evaluating Philosophies, 167-171; Seyyed Hossein Nasr, Religion and The Order of Nature, (New York: Oxford University Press, 1996), h. 127; Wolfgang Smith, The Quantum Enigma: Finding The Hidden Key, (New York: Sophia Perennis, 2005).
2 notes · View notes
rainhardvidi · 7 years
Text
Ketidakadilan Gender & Seksualitas Adalah Hasil Karya Kita; *)Mengenal Konstruksi Gender & Seksualitas
Oleh; Maulidha Fadhila
Isu gender dan seksualitas bukanlah hal yang baru di Indonesia. Gerakan yang menyerukan kesetaraan gender gencar dilakukan oleh sejumlah aktivis.
Isu gender dan seksualitas memang sebaiknya dibicarakan dengan pemahaman yang baik. Mengapa butuh pemahaman soal gender dan seksualitas? Karena saya wanita yang melihat wanita masih dinomorduakan dan sering kali menjadi korban dari budaya patriarkis. Ini tidak lain akibat tidak memahami perkara gender dan seksualitas.
Perempuan tidak merasakan kesetaraan dan sangat sulit mengakses apa yang seharusnya menjadi hak-haknya. Misalnya di bidang pendidikan, seperti kasus di desa saya, perempuan dianggap tidak semestinya mendapatkan pendidikan yang tinggi, cukup bersekolah sampai SMP saja. Ini tidak lain karena anggapan dari masyarakatnya, yaitu perempuan mau setinggi apa pun sekolahnya, ujung-ujungnya tetap di dapur.
Di samping itu, kekerasan terhadap perempuan juga menjadi masalah yang serius. Stigma bahwa hal yang wajar jika perempuan tidak menuruti apa kata suami harus dipukul membuat perempuan rentan menjadi korban tindak kekerasan. Pelecehan terhadap wanita dalam skala kecil-kecilan dibenarkan.
Bahkan undang-undang yang mengatur pernikahan sangat berat sebelah dan merugikan perempuan. Belum lagi soal trafficking atau perdagangan perempuan. Permasalahan yang diakibatkan ketidakpahaman akan gender dan seksualitas membuat salah satu pihak (dalam hal ini perempuan) menjadi korban. 
Dalam budaya yang patriarkis misalnya, perempuan dijejali dengan doktrin-doktrin tentang “bagaimana semestinya” menjadi perempuan. Padahal itu tidak lain merupakan konstruksi sosial.
Apa yang Dimaksud dengan Konstruksi Sosial? 
Konstruksi sosial adalah makna, simbol, dan konotasi yang dilekatkan pada obyek atau peristiwa dan masyarakat memandang bahwa seperti itulah seharusnya obyek dan peristiwa terjadi. Konstruksi sosial umumnya diterima secara natural oleh masyarakat.
Konstruksi sosial sangat mempengaruhi masyarakat memandang suatu fenomena sosial dan bagaimana suatu fenomena menjadi tradisi serta dibangun menjadi institusi. Salah satu produk dari konstruksi sosial adalah gender dan seksualitas.
Gender dalam artian ini bukanlah jenis kelamin laki-laki atau perempuan, melainkan konstruksi sosial mengenai laki-laki dan perempuan. Misalnya laki-laki boleh bekerja di berbagai bidang yang sentral seperti memegang jabatan pimpinan eksekutif atau menjalankan suatu peranan penting dalam politik. Sedangkan perempuan hanya boleh menjadi pendukung dari lelaki, merawat anak-anak, dan memasak.
Seksualitas juga hasil bentukan dari pandangan masyarakat. Seksualitas didefinisikan sebagai perilaku seks individu dan kapasitasnya dalam mengolah hasrat seksual. Umumnya masyarakat di tanah air memandang homoseksual sebagai anomali atau penyakit karena yang lumrah di masyarakat adalah heteroseksual, yaitu pernikahan dengan lawan jenis.
Bagaimana masyarakat pada umumnya melakukan konstruksi terhadap gender dan seksualitas? 
Dari Segi Biologi dan Psikologi 
Saya pikir, sains juga turut andil dalam membentuk konstruksi terhadap gender dan seksualitas. Tubuh seseorang adalah obyek dari bidang studi Biologi. Biologi sebagai cabang dari sains seakan-akan sudah menjelaskan dan menanamkan doktrin dalam pikiran banyak orang bahwa laki-laki dan perempuan memang berbeda secara natural. 
Perempuan dalam pandangan Geddes and Thompson digambarkan sebagai makhluk yang cenderung menyimpan energi mereka atau disebut sebagai anabolic. Oleh karena itu, perempuan lemah, tidak berdaya, konservatif, dan tidak tertarik memegang peranan penting dalam hal politik dan sosial.
Sedangkan lelaki cenderung membakar energi mereka atau disebut dengan katabolis. Oleh karena itu, lelaki memiliki energik, kuat, cerdas dan layak diberikan posisi vital dalam bidang sosial politik.
Pandangan determis ini membuat perempuan kehilangan akses yang setara dengan lelaki. Perempuan menjadi manusia kelas dua yang memegang posisi tidak penting dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan laki-laki selalu mendapatkan posisi yang penting dalam bidang sosial dan politik. 
Sedangkan dari pandangan psikologi, perempuan dikatakan memiliki emosi yang labil setiap kali mereka mengalami menstruasi. Perempuan distigma memiliki emosi yang meluap atau emosional sehingga menomorduakan rasio.
Dalam kondisi yang lebih mengedepankan sikap emosional dan kurang rasional ini, lagi-lagi perempuan harus menerima untuk diletakan dalam posisi pendukung laki-laki. Bukan pemeran utama. Perempuan dilarang menjadi direktur atau pilot karena dikhawatirkan tidak akan mampu melakukan pekerjaan mereka sebaik laki-laki. Karena berada dalam ranah sains, determinisme dalam psikologi dan biologi ini kerap dibenarkan.
Dari Segi Sosial 
Entah disadari atau tidak, masyarakat patriarkis yang membuat perempuan termarginalkan adalah akibat ulah masyarakat kita sendiri. Ya, kekerasan terhadap perempuan, perdagangan perempuan, undang-undang dalam pernikahan yang merugikan perempuan adalah hasil didikan masyarakat kita kepada generasi setelahnya.
Ketika seorang ibu diminta untuk menceritakan anaknya, kebanyakan dia bercerita berdasarkan gender. Anak laki-lakinya pemberani sementara anak perempuannya pemalu.
Seorang ibu yang memberikan anak-anaknya mainan secara tidak langsung telah mengajarkan diskriminasi kepada anak laki-laki dan anak perempuannya. Anak laki-laki diberikan mainan yang sifatnya maskulin, seperti pistol mainan, mobil-mobilan, robot, dan sebagainya. Sedangkan anak-anak perempuan diberikan mainan yang sifatnya feminim seperti boneka, masak-masakan, mainan bongkar pasang (pakaian).
Tanpa disadari, pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan sudah dibentuk sejak dini sehingga perempuan menilai bahwa memasak, diam di rumah, dan mengurus anak sudah menjadi kodratnya. 
Ketika seorang ayah atau ibu mengisahkan suatu dongeng kepada anaknya, maka tokoh-tokoh dalam dongeng itu juga mencerminkan konstruksi sosial akan gender. Bahwa perempuan lekat dengan pekerjaan rumah tangga, sedangkan laki-laki identik dengan petualangan dan peperangan. Film pun setali tiga uang.
Ketika tumbuh dewasa, seorang anak perempuan dididik bagaimana menjadi perempuan yang baik dan seorang anak lelaki dididik menjadi laki-laki yang baik. “Yang baik” tentu saja adalah bentukan sosial atau konstruksi sosial yang patriarkis atau mungkin matriarkis.
Pada akhirnya, pengetahuan soal gender, seks, dan seksualitas dalam hal ini sangat dibutuhkan. Pengetahuan akan jenis kelamin/seks, gender, dan seksualitas harus disebarkan seluas-luasnya agar kita tak hanya menjadi penerima apa yang sudah diwariskan.
Namun, kita harus menjadi manusia yang sadar dengan hak kita dan bagaimana kita menciptakan dunia kita sendiri. Ya, harus diakui ketidakadilan gender dan seksualitas adalah hasil karya kita, hasil konstruksi sosial. 
0 notes
rainhardvidi · 7 years
Text
Usaha Menuju Koherensi Akal-Wahyu dalam Memahami Realitas: Catatan tentang Sejarah Filsafat Islam (al-Kindi–Ibn Sina—al-Ghazali—Ibn Rusyd)
Penulis : Cipta Bakti Gama, M,ud
Tulisan ini sudah disetujui oleh penulisnya untuk di post di sini. Diambil dr Blog Penulis, https://ciptabg.wordpress.com/2012/07/16/usaha-menuju-koherensi-akal-wahyu-dalam-memahami-realitas-catatan-tentang-sejarah-filsafat-islam-al-kindi-ibn-sina-al-ghazali-ibn-rusyd/
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
A.    Pengantar
Filsafat adalah suatu subjek pengetahuan yang unik karena tidak memiliki definisi yang disepakati oleh orang-orang yang menyebut diri mereka sendiri sebagai filsuf.[1] Jika dilihat dari akar katanya dalam bahasa Yunani kuno (Greek): “philein” dan “sophia”[2], filsafat berarti cinta pada kebijaksanaan/pengetahuan. Oleh karena itu sebagian penulis filsafat di dalam bahasa Arab menyebutnya “hikmah” (الحكمة)[3] yang memiliki arti sepadan dengan “sophia”. Namun sekedar makna etimologis tidak memberikan pemahaman definitif (Arab: had) tentang filsafat sebagai suatu disiplin ilmu. Dalam konteks inilah para ahli seolah kebingungan.
Persoalan menjadi semakin mengerenyutkan dahi ketika “filsafat” diberi sifat “Islam” menjadi: “filsafat Islam” (Islamic philosophy). Jangankan mencapai definisi yang disepakati, keabsahan istilah filsafat Islam sendiri masih diperdebatkan oleh para pakar. Ada yang menyebutnya filsafat Arab[4], filsafat muslim[5], selain filsafat Islam[6]. Tanpa bermaksud masuk ke perdebatan detil tentang keabsahan istilah filsafat Islam dan pendefinisiannya, dalam tulisan ini saya berpendapat bahwa filsafat Islam adalah suatu istilah yang sah dan paling tepat dalam menunjukan makna “suatu usaha untuk memahami realitas sejauh kemampuan akal (rasio/intelek) manusia yang hidup di tengah masyarakat yang Islami (the Islamic world).”[7] Makna seperti ini tampaknya yang dimaksud oleh Nasr dengan judul bukunya Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy.[8]
Sebagian pakar berpandangan bahwa pendekatan rasional (filosofis) dalam memahami realitas sudah ada di dalam Al-Quran.[9] Ini bisa dibuktikan dengan adanya ayat-ayat yang memerintahkan untuk berpikir dalam memahami realitas Tuhan, alam, manusia, hidup, pengetahuan, potensi manusia, kebebasan berkehendak, dan kematian. Sekalipun demikian, para penulis sejarah filsafat Islam sepakat bahwa filsafat sebagai sebuah tradisi ilmiah yang khusus tidak dimulai dari diturunkannya Al-Quran di jazirah Arab, melainkan dari proses interaksi dengan tradisi filsafat yang sudah ada di negeri Persia, Mesir, Syam, dan India.[10]Proses ini mendapatkan momentum yang mempercepat ekselerasinya sejak al-Makmun (berkuasa pada tahun 813-833) membangun Bait-u l-Hikmah. Tempat ini, waktu itu, dijadikan pusat penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan—termasuk filsafat, ke dalam bahasa Arab. Dari program inilah lahir filsuf muslim-Arab pertama: Abu Ya’qub Yusuf bin Ishaq Al-Kindi (801-873).[11]
Sejak saat itu hingga sekarang, filsafat masih terus hidup di dunia Islam. Sebagai suatu usaha untuk menggapai realitas secara rasional, agar tetap hidup, filsafat di dunia Islam dituntut untuk bisa berkoherensi dengan wahyu (agama) yang menjadi keyakinan dasar masyarakat. Jika dilihat dari pendekatannya, domain filsafat dan agama pada dasarnya memang berbeda: filsafat bersifat rasional sedangkan agama literal. Namun karena keduanya mengklaim sama-sama mencoba menjelaskan realitas/kebenaran dan membahas beberapa topik yang sama, maka tidak aneh jika ada interaksi natara keduanya di topik-topik tersebut. Sebagian filsuf meyakini adanya hubungan koheren (ittishol) antara filsafat dengan wahyu.[12] Sebagian mazhab filsafat Islam juga diklaim mampu mencapai koherensi antara filsafat dan intuisi (tasawwuf/’irfan).[13] Tapi ada juga filsuf di dunia Islam yang memilih tidak menerima kebenaran agama.[14]
Dalam tulisan ini saya akan membahas secara ringkas interaksi antara filsafat dengan agama dalam sejarah filsafat Islam melaui topik: “Apakah alam itu abadi atau dicipta dalam waktu?”. Tujuannya adalah untuk menganalisa contoh bentuk koheren antara filsafat dan agama, dalam konteks Islam, dalam menjelaskan suatu realitas. Objek kajian akan dibatasi pada pemikiran al-Kindi sebagai filsuf Islam-Arab pertama, Ibn Sina (980-1037) sebagai tokoh puncak filsafat Islam mazhab peripatetik, al-Ghazali (1058-1111) sebagai representasi kritik teolog atas filsafat, dan Ibn Rusyd (1147-1198) sebagai filsuf yang meyakini adanya hubungan koheren (ittishol) antara agama dan filsafat.
B.     Sekilas tentang Kedahuluan Alam (Qidam-u l-‘Alam) dalam Sejarah Filsafat Islam
B.1. Al-Kindi  
Al-Kindi memandang alam bersifat baru (hadits),[15] dengan argumen yang berdiri pada tiga konsep kunci: waktu (zaman), gerak (harokah), dan raga (jirm). Menurutnya, alam secara keseluruhan adalah entitas yang bergerak; gerak adalah perubahan        kondisi; perubahan kondisi terjadi pada raga; dan kuantitas perubahan kondisi adalah waktu. Ia kemudian mengatakan bahwa eksistensi (inniyah) raga, gerak, dan waktu adalah bersamaan; salah satu tidak mendahului yang lainnya. Ia juga menambahkan bahwa raga yang bergerak harus memiliki akhir. Oleh karena itu waktu pun harus memiliki akhir.[16] Ia juga menyatakan bahwa raga tidak mungkin bersifat azali.[17]
Di sisi lain, yang menarik adalah sikap al-Kindi yang menerima tiga konsep Tuhan: Tuhan adalah Sebab Pertama (mazhab Aristotelian), Tuhan beremanasi (mazhab Neoplatonisme), dan Tuhan adalah Pencipta alam (mazhab kreasionis). Ia mengatakan bahwa Tuhan adalah penggerak yang tak digerakan (unmoved mover). Ia juga menyatakan bahwa Tuhan memberikan “suatu aspek” dari diri-Nya kepada ciptaan-Nya. Di sini ia menggunakan istilah emanasi (faidh). Dalam On the True Agent al-Kindi menerima ide Neoplatonis bahwa perbuatan Tuhan atas alam terjadi melalui agen-agen sekunder. Perbuatan Tuhan adalah penciptaan, yang ia definisikan sebagai “mengadakan sesuatu dari ketiadaan”; dan Tuhan adalah Eksistensi Yang Sebenarnya (aniyyah haqqah); Ia juga adalah prinsip dari agen atau kesatuan (oneness). Ketika Tuhan menciptakan alam, Ia mengemanasikan kesatuan atau eksistensi menjadi sesuatu. Al-Kindi juga menyatakan bahwa Tuhan menjadikan mengeluarkan sesuatu dari potensialitas ke aktualitasnya. [18]
Yang penting untuk dicatat adalah bahwa al-Kindi termasuk filsuf yang peduli dengan koheransi antara filsafat dengan wahyu. Ini terlihat dari pandangannya bahwa filsafat dan agama sama-sama membahas realitas (hakikat segala sesuatu), dan oleh karena itu keduanya tidak bertentangan.[19] Ia juga berpandangan bahwa kadang memang tampak ada pertentangan antara filsafat dengan teks wahyu. Ini bisa diselesaikan dengan ta’wil terhadap teks wahyu karena bahasa Arab sebagai medium wahyu memang menerima pemaknaan secara hakiki dan majazi. Jadi men-ta’wil teks ke makna majazi agar koheren dengan filsafat adalah sikap yang bisa diterima dan merupakan solusi untuk membela koherensi.[20]
B.2. Ibn Sina:
Ibn Sina menerima konsep Tuhan sebagai Sebab Pertama dan bahwa Tuhan beremanasi. Ia juga menerima prinsip Neoplatonis bahwa “dari satu hanya bisa muncul satu” dan “akal tidak tidak bisa dipisahkan dari kreasi”.[21] Dari dua prinsip itu Ibn Sina mengembangkan teori emanasinya sendiri.
Di sisi lain, penerimaan Ibn Sina atas Tuhan sebagai Sebab Pertama menjadi salah satu dasar pendiriannya bahwa kedahuluan (taqoddum) Tuhan atas alam bukan kedahuluan dalam zaman. Konsep sebab-akibat mengatakan bahwa “setiap ada sebab, ada pula akibat”. Ini artinya sebab tidak dipisahkan dari akibat secara waktu. Ibn Sina juga menerima penjelasan al-Farobi bahwa satu entitas bisa dipandang lebih dahulu (taqoddama) dari yang lain dilihat dari lima sisi: 1. Waktu (zaman), 2. Posisi (martabah), 3. Kemuliaan (syarof), 4. Karakter (thob’), 5. Kausalitas (sababiyyah)[22]. Dalam konteks ini Allah memang lebih dahulu dari alam dari sisi kemuliaan, karakter, dzat, dan kausalitas, bukan zaman.
Dari dua posisi di atas cukup jelas bisa dipahami bahwa bagi Ibn Sina alam tidak bersifat baru, melainkan ada sebagai keniscayaan dari “aktifitas berpikir” Tuhan yang menjadi sebab dari keberadaan alam. Namun yang penting untuk dicatat adalah bahwa alam yang ada sejak dahulu (qodim) sebagai “akibat pertama” dari emanasi Tuhan bukanlah alam fisik, yang oleh Ibn Sina dikategorikan sebagai “alam bawah bulan” yang merupakan hasil emanasi dari “akal kesepuluh”. Konsep emanasi Ibn Sina menunjukan bahwa emanasi pertama menghasilkan “akal pertama”
B.3. Al-Ghazali
Kritik al-Ghazali terhadap filsafat peripatetik yang ia tulis dalam Tahafut-u l-Falasifah dalam topik kedahuluan alam (qidam-u l-‘alam) dapat diringkas sebagai berikut:[23]
Pertama, para filsuf berargumen bahwa munculnya entitas yang baru (hadits) dari entitas yang dahulu (qodim) adalah mustahil. Ini karena alam yang sifat dasarnya adalah wujud mumkin(wujud potensial) hanya bisa teraktualisasi jika ada murojjih (sesuatu selainnya yang mengaktualkannya). Jika tidak ada murojjih, alam hanya akan selalu dalam potensialitasnya. Kenyataannya alam sudah teraktualisasi, berarti murojjih-nya sudah ada. Dan jika alam yang teraktualkan memiliki sifat baru, bukan dahulu, berarti murojjih-nya juga baru, bukan dahulu. Persoalannya adalah mengapa murojjih tersebut baru tidak dahulu? Jika murojjih tersebut adalah kekuasaan Allah (qudroh), bukankah itu berarti Allah “baru” berkuasa menciptakan alam setelah “dahulunya” tidak  kuasa? Jika ya, maka mengapa Allah “baru” berkuasa, bukan sejak “dahulu”? Jika murojjih-nya adalah tujuan (ghorodh), maka berarti tujuan tersebut “baru” ada, setelah “dahulu”nya tidak ada. Pertanyaannya: mengapa dan bagaimana tujuan tersebut “baru” ada? Jika murojjih-nya adalah kehendak (irodah), maka kehendak tersebut “baru” ada setelah “dahulu”nya tidak ada. Pertanyaannya: mengapa dan bagaimana kehendak tersebut “baru” ada?
Al-Ghazali menjawab argument tersebut dengan: “apa yang membuat mustahil proposisi: kehendak Allah bersifat dahulu tapi bisa mengaktualkan sesuatu kapanpun”? Mungkin ada yang berkata bahwa jika sesuatu sudah dikehendaki sejak “dahulu” dan “baru” teraktualisasi di waktu tertentu, maka persoalannya adalah berarti ada yang menghalanginya untuk tidak teraktualkan sejak “dahulu”. Al-Ghazali pun menjawab, “Apa argument logis atas pernyataan tersebut? Apa yang membuat pernyataan tersebut lebih baik dari pernyataan bahwa aktualisasi alam yang ‘baru’ adalah oleh murojjih kehendak Tuhan yang ‘dahulu’?” Jika ada yang berkata, “Apa yang membuat satu waktu lebih utama dari waktu yang lainnya sehingga Allah memilih menghendaki aktualisasi alam pada waktu tersebut,bukan sebelum atau sesudahnya?” Al-Ghazali menjawab, “Kehendak Allah bersifat mutlak, tidak dibatasi oleh apapun; Ia memilih satu waktu bukan yang lainnya tanpa disebabkan oleh apapun selain kehendak itu sendiri; dan apa makna kehendak mutlak jika dibatasi oleh sesuatu?”
Kedua, para filsuf menyatakan bahwa Allah lebih “dahulu” dari alam dari sisi dzat, seperti satu lebih “dahulu” dari dua; dan dari sisi kausalitas, seperti gerakan seseorang lebih “dahulu” dari gerakan bayangannya. Kemudian para filsuf juga berkata bahwa jika yang dimaksud “kedahuluan” adalah yang serti itu, maka niscaya berarti dari sisi waktu Allah dan alam adalah sama-sama “dahulu” atau sama-sama “baru”. Jika ada yang berkata bahwa Allah lebih dahulu dari alam dan zaman dari sisi zaman, maka jawabannya adalah bahwa hal tersebut meniscayakan adanya “zaman ketiadaan” sebelum alam dan zaman; zaman ketiadaan tersebut memiliki dua sisi: yang satu tidak terbatas bersama Tuhan dan sisi yang lain terbatas bersama alam dan zaman; dan ini berarti zaman bersifat tak terbatas dan “dahulu”; ini juga berarti zaman tidak bersifat “baru”.
Al-Ghazali menjawab bahwa pernyataannya bahwa Allah lebih “dahulu” dari alam dan zaman maknanya adalah Allah sudah ada ketika alam tidak ada, kemudian alam ada dan Allah masih tetap ada. Ia juga berkata bahwa makna dari pernyataan tersebut adalah bahwa ada dua kondisi: pertama, hanya ada dzat Allah; dan kedua, ada dzat Allah dan zat alam. “Tidak ada keniscayaan logis untuk mengandaikan adanya dzat ketiga, yaitu zaman,” tambahnya.
Ketiga, para filsuf menyatakan bahwa setiap yang baru pasti memiliki materi (maddah) yang sudah ada sebelumnya; ini berarti materi tidak bersifat baru, yang memiliki sifat baru adalah bentuk (shuroh), aksiden (a’rodh), dan kualitas (kaifiyah) yang melekat pada materi tersebut. Para filsuf juga menjelaskan bahwa setiap yang baru, sebelum ia menjadi baru ada tiga kemungkinan eksistensinya: wajib wujud, mumtani’ wujud, atau mumkin wujud. Kemungkinan yang pertama dan kedua tidak valid, berarti yang valid adalah mumkin wujud. Hanya sajamumkin wujud adalah sifat yang harus disandang oleh penyandangnya. Penyandangnya itu adalah materi.
Al-Ghazali menjawab bahwa mumkin, mumtani’, dan wajib bagi wujud adalah kategori-kategori rasional (qodhoya ‘aqliyah) yang tidak meniscayakan eksisten penyandangnya. Jika kategori tersebut harus memiliki penyandang, maka kategori mumtani’ wujud juga harus memiliki penyandang, dan ini mustahil.
B.4. Ibn Rusyd
Pada Ibn Rusyd kita bisa menemukan usaha serius untuk menemukan bentuk koheren antara filsafat dan agama. Ia menulis suatu risalah yang berjudul Fashl-u l-Maqol fi Taqrir-i Ma baina l-Syari’ah wa l-Hikmah min-a l-Ittishol[24] (Penjelasan tentang Hubungan Koheren antara Syari’ah dan Filsafat). Ia juga menulis kritik terhadap buku al-Ghazali dengan judul Tahafut-u l-Tahafut[25].
Tentang kehendak Allah dan kebaruan alam Ibn Rusyd memandang bahwa[26] alam bersifat dahulu.  Sebelum menjelaskan pendapatnya, Ibn Rusyd mengatakan bahwa Allah menjelaskan di dalam al-Quran dengan bentuk penjelasan yang mengesankan bahwa penciptaan alam terjadi dalam waktu. Misalnya ayat-ayat berikut: “dan waktu itu ‘arsy-Nya ada di atas air”[27]; “sesungguhnya Tuhanmu telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari”[28], “kemudian Dia bersemayam di atas langit yang masih berupa debu”[29]. Penjelasan seperti itu karena umumnya manusia hanya akan memahami sesuatu yang ada pada pengalaman keseharian mereka. Jadi sesuatu yang di luar pengalaman keseharian biasa pun harus dijelaskan melalui bentuk-bentuk yang mirip dalam pengalaman tersebut. Ayat itu sendiri sebenarnya menerimata’wil.[30]
Dalam Tahafut al-Tahafut, Ibn Rusyd mengkritik al-Ghazali dan mengukuhkan pendapat para filsuf bahwa alam bersufat dahulu dengan tiga argumen: pertama, berhubungan dengan gerak; kedua, berhubungan dengan zaman; dan ketiga, berhubungan dengan mumkin wujud.[31] Ibn Rusyd juga membahas persoalan ini dalam al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah.[32]
C.    Titik Temu Para Filsuf dan al-Ghazali tentang Kebaruan Alam Fisik
Dari penjelasan sebelumnya bisa kita pahami bahwa Ibn Sina, dan Ibn Rusyd sama-sama meyakini keabadian alam. Menurut mereka, dari Tuhan yang bersifat dahulu, mustahil muncul alam yang bersifat baru. Sebaliknya, al-Ghazali memandang bahwa kemunculan alam yang bersifat baru oleh kehendak Tuhan yang bersifat dahulu tidak mustahil, karena kehendak Tuhan bersifat mutlak; tidak dibatasi oleh apapun.
Yang menarik untuk dicatat adalah bahwa sebagian peneliti memandang bahwa sebenarnya dalam kasus ini ada kesalahpahaman antara para filsuf dan teolog seperti al-Ghazali.[33]Menurut pandangan ini, sebenarnya yang dimaksud dengan alam yang dahulu oleh para filsuf bukanlah alam fisik. Jika yang dimaksud alam adalah alam fisik, maka para filsuf pun berkeyakinan bahwa alam fisik bersifat baru. Ini bisa dilihat dari pandangan mereka bahwa dunia fisik yang tersusun oleh materi dan bentuk yang menghasilkan raga memiliki sifat bergerak. Bahkan al-Kindi dalam Fi l-Falsafah al-Ula mengatakan bahwa kajian tentang dunia fisik adalah kajian tentang objek yang bergerak, sebaliknya, kajian tentang dunia metafisik adalah kajian tentang objek yang tidak bergerak.[34] Di sisi lain para filsuf memandang bahwa sebenarnya zaman adalah ukuran dari gerak. Ini artinya, jika tidak ada gerak, tidak ada zaman. Karena gerak hanya ada di dunia fisik, maka zaman pun hanya ada di dunia fisik. Jadi waktu itu sendiri identik dengan dunia fisik.
Dari sini kita bisa menarik kesimpulan penting, yaitu bahwa sebenarnya para filsuf dan teolog sama-sama sepakat bahwa alam fisik bersifat baru.
D.    Penciptaan Alam Metafisik dan Keberadaan Materi Pertama
Bagaimana dengan penciptaan alam metafisik? Tampaknya di sinilah poin perdebatan antara para filsuf dan teolog.
Sebelum itu ada yang penting untu dicatat dahulu.[35] Umumnya para filsuf meyakini bahwa alam fisik tidak dicipta dari ketiadaan (creatio ex nihillo), melainkan dari materi pertama (hayula ula) yang bersifa mumkin wujud. Materi pertama yang mumkin wujud inilah yang mereka yakini bersifat dahulu. Jika kita lihat pandangan al-Ghazali tentang mumkin wujud, ia memandang bahwa mumkin wujud itu bisa dikategorikan ketiadaan (fi hukm-i l-‘adam). Ini berarti, bagi al-Ghozali, penciptaan dunia fisik dari potensi materi pertama sama saja dengan penciptaannya dari ketiadaan. Berarti salah satu persoalan mendasar tentang penciptaan dunia metafisik ini adalah: materi pertama ada ataukah tiada?
Sekali lagi, filsuf memandang materi pertama yang mumkin wujud harus dipandang ada. Seperti sudah disinggung sebelumnya, argumen mereka adalah bahwa wajib, mumtani’,danmumkin wujud adalah predikat yang harus disandang oleh subjek. Dalam konteks karena alam fisik adalah wajib wujud lighoirihi yang berarti sebelum teraktualkan dia harus berifat mumkin wujud, maka materi pertama adalah subjek dari sifat mumkin wujud bagi alam tersebut. Di sisi lain, ada diktum yang dipercayai oleh para filsuf, yaitu: “bahwa dari yang satu hanya bisa muncul satu”. Dari diktum ini para filsuf Islam memilih teori emanasi sebagai penjelasan terbaik tentang proses penciptaan alam oleh Tuhan. Ini artinya, kalaupun potensialitas materi pertama disamakan dengan ketiadaan, bagi para filsuf tetap aja ada alam-alam lain dalam rentetan proses emanasi dari Tuhan ke alam fisik. Dan alam-alam lain tersebut bersifat aktual (wajib wujud li ghoirihi).
Dari sini kita bisa melihat persoalan penciptaan dunia metafisik lebih jelas. Dengan melihat dasar-dasar argumentasi keduabelah pihak, jika kita asumsikan bahwa yang diperdebatkan oleh filsuf dan teolog tentang keabadian-kebaruan alam adalah alam metafisik, tetap saja bagi teolog alam metafisik berisifat baru, dan bagi filsuf ia bersifat dahulu.  Jadi pada poin ini, filsuf dan teolog belum bisa didamaikan.
E.     Catatan Akhir: Mencari Bentuk Koheren antara Filsafat dan Agama (Metode dan Model)
Di bagian awal makalah ini telah disebutkan bahwa pada dasarnya pendekatan filsafat dan agama adalah berbeda. Filsafat bercorak rasional. Sedangkan agama bercorak tekstual. Dari ulasan sebelumnya kita juga bisa lihat bahwa sebagian filsuf, seperti al-Kindi dan Ibn Rusyd, meyakini adanya koherensi antara agama dan filsafat. Mereka menawarkan jalan ta’wil atas teks agama ketika tampak ada pertentangan (inkoherensi) antara keduanya.[36]  Di sisi lain, kita juga bisa melihat bahwa sebenarnya al-Ghazali tidak menolak pendekatan rasional (filosofis) atas topik ketuhanan, yang ia persoalkan adalah produknya. Jika kita lihat sikap para teolog tentang ta’wil, sebenarnya hampir seluruh mazhab teologi menerima validitas ta’wilterhadap teks agama. Hanya satu mazhab, yaitu Hanbali-Salafi, yang menolaknya.[37]
Ini semua berarti, bahwa ada jalan yang disepakati oleh filsuf dan teolog untuk bisa mencapai koherensi antara agama dan filsafat: ta’wil dan kajian rasional yang valid. Filsuf dan teolog sepakat bahwa kajian rasional yang valid dan ta’wil yang valid akan menghasilkan koherensi. Sebaliknya, inkoherensi muncul karena hasil dari ta’wil, kajian rasional, atau keduanya yang tidak valid.
Bagi al-Kindi dan Ibn Rusyd, filsafat peripatetik-neoplatonis berkoherensi dengan agama.  Bagi al-Ghazali, berangkat dari penafsiran teks agama mazhab Asy’ari, filsafat peripatetik tidak koheren dengan agama.  Di sini kita bisa melihat bahwa perbedaan persepsi tentang validitas suatu produk filosofis dan tafsir atas teks agama melahirkan persepsi yang berbeda tentang koherensi agama dan filsafat. Ibn Rusyd mengulas dalam risalahnya Fashl-u l-Maqol, bahwa filsuflah (burhaniyyun) yang mampu melakukan ta’wil yang meyakinkan atas teks agama.[38]Sedangkan al-Ghazali dalam al–Tahafut mencoba menunjukan bahwa produk filsafat peripatetik tidak valid, perlu dikritik, dan tafsir teologi Asy’ariyah valid.
Sampai di sini kita bisa melihat ada dua model koherensi antara filsafat dan agama Islam. Model peripatetik pada Ibn Rusyd dan model al-Ghazali. Al-Ghazali memang tidak menyebut dirinya filsuf. Namun pendekatan yang ia gunakan dalam mengkritik filsafat sebenarnya bersifat filosofis, yang membuatnya layak disebut filsuf. Namun, khususnya al-Ghazali, ternyata akhirnya ia sendiri tidak puas dengan hasil yang ia capai waktu itu, dan lebih memilih pendekatan mistik (tasawwuf/’irfan) dalam memahami realitas.[39]
Filsafat Islam tidak berhenti di sini. Pasca Ibn Rusyd, muncul sintesa baru antara filsafat, agama, dan tasawwuf. Koherensi lebih luas dari modus-modus pengenalan manusia terhadap realitas pun dicapai. Sekalipun koherensi tetap tidak bisa lepas dari pilihan metode filsafat, tasawwuf, dan tafsir (ta’wil) dalam mencapai koherensi tersebut, seperti pada topik yang dikaji di makalah ini, namun hal ini lah yang menjadi ciri unik dari usaha memahami realitas di dunia Islam.
[1] G.H.R.Parkinson dan S.G.Shanker (ed.), Routledge History of Philosophy, (London: Routeldge, 2005), vol. I, h. viii.
[2] Brooke N. Moore dan Kenneth Bruder, Philosophy: the Power of Ideas, (New York: McGraw Hill, cet. VIII, 2011), h. 2.
[3] Contohnya adalah Ibn Rusyd. Lihat: Ibn Rusyd, Fashl-u l-Mawol fi Taqrir Ma baina l-Syari’ah wa l-Hikmah min-a l-Ittishol, (Beirut: Markaz Dirosat al-Wihdah al-‘Arobiyyah, 1997).
[4] Contoh: Hana Fakhuri dan Kholil al-Jurri, Tarikh al-Falsafah al-‘Arobiyyah, (Beirut: Dar-u l-Jil, 1993).
[5] Contoh: M. M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, (Pakistan: Pakistan Philosophical Congress, 1963).
[6] Contoh: Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York: Columbia University Press, 1983).
[7] Definisi ini sama dengan definisi al-Kindi tanpa tambahan “di tengah masyarakat Islami”. Lihat: al-Kindi, Rosa’il al-Kindi al-Falsafiyyah, (Kairo: Dar-u l-Fikr al-‘Arobi, cet. II, 1950), h. 97.
[8] Lihat: Sayyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy, (New York: SUNY Press, 2006), h. 1-9.
[9]  Lihat: M M Syarif, A History of Muslim Philosophy, vol. I, h. 136-155.
[10]  Lihat: Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, h. 1-36.
[11] Ibid., h. 66-67.
[12] Lihat: Ibn Rusyd, Fashl-u l-Maqol fi Taqrir Ma baina l-Syari’ah wa l-Hikmah min-a l-Ittishol.
[13] Seperti pada filsafat Mulla Sadra (w.1641). Lihat: Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Ciputat: Lantera Hati, 2006), h. 68-69.
[14] Seperti pada kasus Muhammad bin Zakariya al-Rozi (864-925).
[15] Lihat: Muhammad ‘Abdul Hadi dalam pengantarnya terhadap Rosa’il al-Kindi al-Falsafiyyah, h. 62-75.
[16] Al-Kindi, Rosa’il al-Kindi al-Falsafiyyah, h. 117.
[17] Ibid., h. 198.
[18] Lihat:Peter Adamson, al-Kindi and the Reception of Greek Philosophy, dalam the Cambridge Companion to Arabic Philosophy, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), h. 38.
[19] Lihat: Al-Kindi, Rosa’il al-Kindi al-Falsafiyyah, h. 104-105; Hana Fakhuri dan Kholil al-Jurri,Tarikh al-Falsafah al-‘Arobiyyah, vol. II, h. 70-72.
[20] Hana Fakhuri dan Kholil al-Jurri, Ibid.
[21] Ibid, h. 225.
[22] Ibid., h. 227.
[23] Lihat: Ibid., h. 260-262.
[24] Ibn Rusyd, Fashl-u l-Maqol fi Taqrir Ma baina l-Syari’ah wa l-Hikmah min-a l-Ittishol.
[25] Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, (Beirut: Markaz Dirosat al-Wihdah al-‘Arobiyyah, 1998).
[26] Lihat: Hana Fakhuri dan Kholil al-Jurri, Tarikh al-Falsafah al-‘Arobiyyah, vol. II, h. 453-458.
[27] Hud ayat 7.
[28] Al-A’rof ayat 53.
[29] Al-Sajdah ayat 11.
[30] Hana Fakhuri dan Kholil al-Jurri, Tarikh al-Falsafah al-‘Arobiyyah, vol. II, h. 454.
[31] Ibid., h. 455.
[32] Ibn Rusyd, Al-Kasyf ‘an Manahij Al-Adillah, (Beirut: Markaz Dirosat lil Wihdah al-‘Arobiyyah, 1998), h. 76-88.
[33] Lihat: Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam, h. 100-101.
[34] Al-Kindi, Rosa’il al-Kindi al-Falsafiyyah, h. 111.
[35] Lihat: Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam,h. 100-101.
[36] Ibn Rusyd, Fashl-u l-Maqol, h. 63.
[37] Rujukan utama mazhab ini dalam metode kajian rasional dan tafsir terhadap teks agama adalah karya Ibn Taimiyyah berjudul Muwafaqot Shohih al-Manqul li Shorih al-Ma’qul. Di dalamnya dijelaskan bahwa dalam memahami teks tentang ketuhannan tidak boleh menggunakan ta’wil, tahrif, tasybih, dan tabdil. Lihat: Ibn Taimiyyah, Muwafaqot Shohih-i l-Manqul li Shorih-i l-Ma’qul, (Beirut: Dar-u l-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985), vol. I, hlm. 31-36.
[38] Ibn Rusyd, Fashl-u l-Maqol, h. 73.
[39] Lihat: al-Ghazali, al-Munqizh min-a l-Dholal, dalam Majmu’ah Rosa’il Imam al-Ghozali, (Beirut: Dar-u l-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), h. 31-65.
0 notes
rainhardvidi · 7 years
Text
Membincang Fundamentalitas & Respektifalitas; Dari Abstraksi kembali Ke Realitas
Tulisan ini akan sedikit membincang makna yang dimaksud para filsuf Shadrian ketika mereka membahas struktur sejati realitas atau realitas yang asasi. Dalam berbagai studi wujudiyyah atau eksistensialisme, penolakan atas berbagai klaim sopistri merupakan tahap awal yang harus ditempuh, sebab jika tidak demikian, pembahasan atas struktur dan keasaian realitas tidak akan terealisasi.
Banyak bukti dari para filsuf muslim yang membeberkan bahwa, menolak realitas sama dengan mengakui realitas. Sebab, menolak realitas adalah pekerjaan sebuah realitas, yakni ‘diri’ atau ‘kedirian’. Dari realitas diri tersebut, seseorang, yakni yang memiliki diri itu sendiri, dapat merasakan atau secara langsung mengetahui berbagai efek-efek atau ciri spesifik (atsar kharijiyyah) kediriannya itu sendiri, seperti tindak-mengetahui, meski pengetahuannya itu adalah pengetahuan yang derajatnya sama dengan kesadaran atas dirinya sendiri.
Setelah itu, realitas diri yang sadar atas dirinya sendiri menyadari bahwa, selain dirinya terdapat realitas lainnya yang juga memiliki efek-efek spesifik, seperti realitas air yang membahasi dan realitas api yang membakar. Dari pada berbagai gelaja yang terjadi di berbagai macam realitas, maka dapat dipastikan bahwa realitas bukan hanya tentang kedirian seseorang. Kemudian, realitas tidak tetap, ia berubah dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Begitupula, bagi yang menyadari dirinya sebagai realitas, ia juga mengalami perubahan, dari tidak tahu menjadi tahu.
Abstraksi dan Pemilahan Objek Pikiran
Pengalaman kedirian yang berubah dari tidak tahu menjadi tahu tidak mengacu pada kesadaran diri, sebab pengetahuan atau kesadaran tentang diri yang riil tidak pernah luput sedikitpun. Oleh karenanya, tidak tahu dan tahu yang dimaksud di sini adalah pengalaman epistemik yang melibatkan 3 pihak, yaitu objek eksternal atau objek pengetahuan, subjek yang mengetahui, dan pengetahuan atau konsep.
Lalu, dari pengalaman mengetahui objek tersebut, pikiran akan memilah objeknya yang pada gilirannya mendapati berbagai perbedaan yang terealisasi antara satu benda dengan benda lainnya, misalnya, A dan B. Masing-masing benda tersebut memiliki karakteristik sendiri yang tidak akan bertemu satu sama lain. Dengan cara pemilahan tersebut, yang kemudian mendapatkan perbedaan dari dua benda tersebut, maka, secara sederhana, pikiran telah mencapai tahap pengetahuan.
Tahap demikian disebut sebagai pengetahuan karena, sesuai dengan kaidah logika klasik; “segala sesuatu diketahui melalui perbandingan-perbandingannya”. Boleh jadi, pikiran seseorang tidak bisa memberikan ‘definisi menyeluruh’ atau ‘deskripsi menyeluruh’ atas satu objek pikiran, tapi tetap saja ia mengetahui objek tersebut berbeda dari objek-objek lainnya, dan kasus ini masih terkait dengan benda A dan benda B. Selain itu, para filsuf muslim pun juga menawarkan pengertian sederhana bahwa pengetahuan adalah terekamnya gambaran sesuatu pada pikiran yang, dengan demikian, pengetahuan atas objek eksternal (al-ma’lum al-kharijiy) tercapai.
Setelah tahap tersebut, kini pikiran beroperasi lebih lanjut untuk mengidentifikasi objek pikirannya sehingga objek tersebut menjadi fragmen-fragmen atau sebuah data pikiran yang lebih esensial. Salah satu dasar, dan juga fragmen awal, yang diberikan oleh para filsuf Shadrian adalah terpilahnya objek pikiran menjadi konsep kuiditas dan konsep eksistensi yang masing-masing berbeda satu sama lainnya. Singkatnya, abstraksi atas objek A sama dengan menjadikan objek A sebagai sebuah konsep dan juga memisahkannya dari posisinya sebagai entitas yang eksis di luar pikiran.
Dengan abstraksi[1] tersebut, A dapat dipisahkan dari berbagai macam sifat-sifatnya yang—sesuai tradisi paripatetik—membuatnya berbeda-beda meski sama dalam substansialitasnya. Hasilnya ialah A sebagaimana A, yaitu A universal.[2] Akan tetapi, A universal ini diketahui bukan hanya diperbandingkan dengan objek B seperti di atas, melainkan pikiran lebih jauh beroperasi yang pada gilirannya meraih lagi data esensial yang membentuk A, misalnya; y dan x. Nah, x dan y tersebut merupakan esensi bagi A yang mana, umpamanya, x adalah Jenus dan y adalah Differensia yang dengan keduanya pula A didefinisikan.[3]
A yang universal ini adalah kuiditas, sebuah bahasa yang diserap dari “quid est?” yang berarti ‘apakah itu?’. Adapun dalam bahasa arab ia disebut dengan kata “mahiyyah”; sebuah kata buatan yang berasal dari pertanyaan “apakah itu?” yang sekarang menjelma menjadi “apapun yang disebut dari pertanyaan apakah sesuatu itu”. Sederhananya, kuiditas atau mahiyyah adalah pengertian atau konsep pikiran mengenai esensi sesuatu. Akan tetapi, pengertian kuiditas yang baru saja disebut adalah pengertian yang maknanya khusus (bi’l ma’na al-akhas). Sebaliknya, kuiditas dengan makna umum (bi’l ma’na al’aam) kerap dimengerti sebagai ‘yang dengannya sesuatu menjadi sesuatu itu sendiri (maa bihi sya’i huwa huwa)’, dan jenis kedua ini, menurut para filsuf Shadrian, identik dengan realitas eksistensi.
Penambahan dan Predikasi Eksistensi
Di atas sedikit disinggung bahwa abstraksi atas benda A mengimplikasikan konsep A yang menjadi universal dimaksudkan untuk memperjelas bahwa A dapat bebas dari segala sifat. Namun, nyatanya, terdapat satu tahap lainnya, di mana A juga dapat bebas dari sifat universal atau, dengan kata lain, ‘universal’ juga ‘tambahan’ bagi A. Walhasil, para filsuf telah melangkah lebih jauh mengenai operasi pikiran atas A tersebut sehingga A dapat dikonsiderasi sebagai kuiditas—sejauh ia ditinjau atas esensinya—bukan eksistensi, bukan ketiadaan, bukan universal, dan bukan partikular.[4] Singkatnya, terhadap kuiditas A—sejauh ia dipikirkan dan dikonsiderasi secara langsung atas esensinya—maka hanya unsur x dan y yang dapat diraih pikiran.
Meski demikian, para ahli logika menganggap bahwa, jenus dan differensia merupakan esensi yang merupakan bagian dari universal. Akan tetapi, universal tersebut berlaku jika diperbandingkan dengan beragamnya individu dari satu konsep universal tersebut. Terdapat alasan lainnya mengenai jenus dan differensia menjadi bagian dari sebuah kuiditas, yaitu sebagai esensi-esensi pembentuknya (dzatiyyaat).[5]
Setelah kuiditas dikonsiderasi sebagai sesuatu yang bebas dari eksistensi, ketiadaan, universal, serta partikular, sekarang adalah saatnya kita beralih pada pertanyaan lainnya, yaitu; mengapa tidak ditemui eksistensi dalam pembedahan mental atas sebuah kuiditas?
Terdapat banyak argumentasi mengapa eksistensi tidak terkandung dalam kuiditas. Menurut sebagian sejarahwan, al-Farabi merupakan peletak batu pertama dalam tradisi intelektual dunia islam mengenai dikotomi antara konsep eksistensi dan kuiditas yang pada gilirannya turut menetapkan atau membuktikan bahwa persepsi representasi seseorang selalu berkaitan dengan kuiditas. Dalam bukunya, Fushus al-Hikam, ia mengatakan;
Apapun (sesuatu) yang ada dihadapan kita memiliki kuiditas dan huwiyyah.[6] Namun, kuiditas sesuatu bukanlah eksistensinya, bukan pula sebagai bagian dari eksistensi. Jika diumpamakan; kuiditas manusia adalah eksistensinya, maka persepsi atas manusia sekaligus persepsi atas eksistensinya. Oleh karenanya, setiap persepsi atas kuiditas (manusia) akan sama dengan pengetahuan anda atas eksistensinya (wujuduhu). Dengan demikian, setiap persepsi sama dengan asersi.[7]
Selain al-Farabi, Ibn Sina juga memberikan pengertian tentang konsepsi kuiditas serta merta ‘keraguan’ seseorang mengenai apakah kuiditas tersebut eksis di luar pikiran ataukah tidak. Dalam Isyarat wa al-Tanbihat, ia mengatakan; “barangkali anda mengetahui makna dari segitiga, akan tetapi anda ragu apakah segitiga tersebut—dalam realitas eksternal—disifati oleh eksistensi ataukah tidak?” Setidaknya, dengan pernyataan Ibn Sina tersebut, implikasi yang berlanjut adalah kuiditas—pada esensinya—tidak mengandung eksistensi. Sebab, jika ia mengandung eksistensi, maka tidak ada keraguan seseorang atas eksistensi kuiditas tersebut.
Singkatnya, kuiditas yang dipikirkan tidaklah meyertakan asersi seseorang atas eksistensinya dan dengan demikian; eksistensi dan kuiditas adalah sesuatu yang berbeda satu dengan lainnya. Oleh karena itu, penyifatan (‘ardh) eksistensi pada kuiditas adalah sesuatu yang sahih. Begitupula tambahan (ziyadah) dan penyifatan ‘ketiadaan’ pada kuiditas termasuk hal yang sahih. Akan tetapi, pekerjaan penampahan dan penyifatan eksistensi dan ketiadaan pada sebuah kuiditas adalah pekerjaan mental dan konseptual seperti yang dikatakan oleh Sabzawari,”kuiditas dan eksistensi berbeda secara konseptual. Namun, tunggal dalam kewujudannya”.
Seandainya kuiditas dan eksistensi menyatu, maka tidak mungkin predikasi dan penyifatan ketiadaan pada kuiditas itu menjadi sahih. Sebab, dalam perspektif yang aksiomatis, negasi sesuatu dari dirinya sendiri (salb al-sya’i an nafsih) adalah sesuatu yang tidak mungkin. Hal ini menjadi maklum, seperti dituliskan di atas; terkadang keraguan seseorang muncul mengenai apakah sesuatu itu mendapat sifat eksistensi ataukah tidak di alam eksternal in concreto. oleh karena itu, jika eksistensi adalah bagian dari kuiditas, seharusnya tidak lagi keraguan mengenai kewujudan eksistensi tersebut. Pun, jika ketiadaan adalah bagian dari kuiditas, seharusnya sudah dipastikan bahwa kuiditas tersebut tidak muncul dalam realitas eksternal in concreto.
Murtadha Muthahhari, dalam komentarnya atas Syarh al-Manzumah, memberikan pembuktian dengan cara lain. Menurutnya, “jika eksistensi adalah bagian dari kuiditas, atau tunggal dengan kuiditas, maka setiap kuiditas adalah tunggal”[8], padahal kenyataannya setiap kuiditas spesifik (al-mahiyyah al-nau’iyyah) berbeda satu sama lain. Argumentasi ini berangkat dari pembuktian bahwa konsep eksistensi adalah konsep tunggal, yakni ia memiliki derajat yang sama (mutawathi’) dalam setiap predikasinya. Sederhananya, eksistensi yang dipredikasikan pada Tuhan sama derajatnya dengan predikasi eksistensi pada selainNya. Sebab, jika tidak, yaitu konsep eksistensi adalah konsep yang berbeda-beda, maka predikasi eksistensi pada selain Tuhan adalah predikasi ketiadaan. Dan, ketiadaan adalah lawan dari eksistensi.
Kembali ke Realitas In Concreto
Setelah selesai dengan permasalahan konseptual dan mencari perbedaan konsep kuiditas dengan konsep eksistensi, sekarang adalah saatnya kembali ke realitas in concreto. Apa yang disebut dengan kembali ke realitas adalah mencari stuktur fundamental dari sebuah realitas yang mana salah satu konsep tersebut memiliki acuan objektif yang fundamental sehingga pertanyaan yang tersisa adalah, kuiditas ataukah eksistensi yang menjadi realitas fundamental sesungguhnya?
Hal ini, seperti telah disebutkan, diawali dengan konsepsi pikiran atas realitas tunggal, misalnya benda A, kemudian menjadi dua konsep yang berbeda satu sama lain, yaitu kuiditas dan eksistensi.[9] Para filsuf Shadrian menekankan, bahwa realitas tunggal yang diabstraksi—yang kemudian menjadi dua konsep berbeda—haruslah sesuai dari salah satu konsep tersebut, artinya realitas tunggal harus menjadi ekstensi fundamental dari dua konsep yang berbeda tersebut. Sebab, seandainya realitas tunggal yang struktur fundamentalnya adalah dari dua hal riil yang terekam berdasarkan dua konsep berbeda tersebut, maka setiap realitas tunggal terdiri dari dua hal yang bertentangan, dan hal itu tidak mungkin karena meniscayakan kontradiksi. Mengenai hal itu, Thabathaba’i menyebutkan, tidak ada pendapat atas keasasian atau struktur ontologis yang terdiri dari eksistensi dan kuiditas secara bersamaan.
Secara prinsipil, realitas eksternal in concreto yang dimaksud oleh para filsuf ini adalah realitas yang 1) memiliki efek dan 2) hakikat eksternal. Penjelasan masing-masing atas pengertian tersebut seperti demikian;
1.      Memiliki efek: dalam kasus realitas api, misalnya, daya panas yang mengaktual dari api tersebut adalah efek atau kesempurnaan api dalam kewujudannya di eksternal. Namun, daya panasnya hilang ketika ‘api’ terekam atau terpikirkan dan muncul sebuah efek baru pada gambaran konseptual api di pikiran. Aspek ini juga kerap disebut sebagai ‘sumber efek’ (mansya’ al-atsar).
2.      Hakikat eksternal; pengertian ini seimbang dengan pengertian realitas per se (dzu al-haqiqah) yang dengannya; seluruh realitas adalah, misalnya, eksistensinya. Jika tidak, maka kuiditasnya.
Dari dua hal tersebut—memiliki efek dan hakikat eksternal—makna fundamentalitas atas struktur eksistensi didapatkan. Namun, secara mendasar, fundamentalitas yang dimaksud berasal dari kata ashaalah yang artinya sama dengan ‘otentik’ atau ‘asasi’. Meski demikian, perbedaan arti asasi, otentik, dan fundamental tidaklah menuntut sebuah perbedaan maksud yang ingin dicapai oleh para filsuf tersebut. Intinya, mereka mencari sumber efek atau hakikat yang mengisi realitas.
Di samping hal tersebut, para filsuf juga menegaskan ada aspek lainnya dari kewujudan sesuatu, yaitu aspek respektifal, yang juga sebagai lawan dari aspek asasi atau fundamental, diterjemahkan dari “i’tibar” dimana aspek ini adalah 1) aspek ketiadaan, 2) batasan sesuatu, 3) bayangan eksistensi (dzillu al-wujud/al-sya’i). Masing-masing pengertiannya adalah sebagai berikut;
1.      Aspek ketiadaan; aspek ini bersumber dari tinjauan pikiran atas ‘apa yang secara langsung terekam oleh pikiran’. Hal seperti ini yang disebutkan oleh Thabathaba’i dalam nihayah al-Hikmah, yaitu aspek yang dikonsepsi (muntaza’ah) dari eksistensi.
2.      Batasan eksistensi; pengertian ini mirip dengan pengertian pertama dimana pikiran melihat batasan-batasan (had) sesuatu yang sama saja dengan aspek ketiadaan. Para pengikut ajaran Shadra menegaskan bahwa ‘batasan sesuatu berbeda dengan sesuatu yang dibatasi”.[10] Mengenai hal ini Misbah Yazdi mencontohkan dengan kertas yang dipotong-potong menjadi bentuk-bentuk berbeda, misalnya, segitiga dan kotak. Menurutnya, dasar dari potongan itu adalah kertas, dan bentuk-bentuk yang berbeda akibat dari potongan itu adalah batasan kertas tersebut.[11] Dan, tentu saja, kertas per se dengan bentuk potongan tersebut berbeda satu sama lain. Jika ditelisik lebih lanjut, satu batasan ini tidak ditemukan pada batasan lainnya. Misalnya, seseorang tidak melihat kotak pada segitiga, dan begitupula sebaliknya yang implikasinya; kotak adalah ketiadaan segitiga dan segitiga adalah ketiadaan kotak.
3.      Bayangan eksistensi; bagian ini lebih menuntut pada persepsi pikiran atas batasan sesuatu tersebut yang akhirnya batasan tersebut sama seperti bayangan sesuatu yang terekam di pikiran. Ia merupakan sesuatu yang tidak nyata atau majazi yang pada gilirannya mendapatkan posisi sebagai ‘bukan realitas asasi atau fundamental’.
Secara mendasar, dan hampir bersamaan, apa yang ingin diungkapkan para filsuf mengenai aspek respektifal adalah sesuatu yang eksis secara aksidental atau mewujud dengan ‘mengikuti/ bergantung pada aspek fundamental’ (bi’l taaba) . Artinya, sesuatu yang eksis selalu diikuti oleh batasannya. Bagi Izutsu, makna i’tibari atau respektifal adalah “daya intrinsik” yang keluar dari realitas yang fundamental meski ia tidak terkena dampak sebagai realitas yang fundamental.
Pengertian lainnya dari respektifal adalah ‘tinjauan pikiran atas satu hal yang kemudian berbeda-beda’, misalnya, i’tibar seseorang atas satu kuiditas bisa menjadi tiga, yaitu ‘kuiditas tanpa syarat’, ‘kuiditas bersyarat negatif’, dan ‘kuiditas bersyarat sesuatu’.
Walhasil, dari bagian sub-bab ini, realitas yang fundamental adalah realitas yang tunggal dan juga sebagai ekstensi salah satu konsep dari dua konsep berbeda tersebut dimana jika salah satunya tertetapkan sebagai fundamental, maka yang lainnya mewujud sebagai aksidental.
   [1] Abstraksi dalam tradisi filsafat islam disebut sebagai tajrid yang arti dasarnya adalah menelanjangi. Namun, maksud yang ingin dikemukakan adalah membebaskan satu objek pikiran dari berbagai macam sifat-sifat khususnya seperti, tempat, posisi, waktu, dan berbagai macam aksiden-aksiden lainnya.
[2] Disebut sebagai universal karena konsep A bisa dipredikasikan pada entitas-entitas beragam sejauh entitas-entitas tersebut benar-benar mengandung substansialitas A.
[3] Terdapat anggapan bahwa x dan y, jika dipredikasikan pada A, maka sama saja tidak meraih sebuah pengetahuan yang baru, sebab x dan y tersebut adalah bagian esensial dari A tersebut. Akan tetapi, dengan jalan yang lain, yaitu perbedaan konsiderasi, misalnya, A adalah yang didefinisikan dan x1 serta y1 adalah yang mendefinsikannya sehinga dengan jalan ini kita tahu bahwa, A memiliki definisi, dan definisinya adalah x1 dan y1.
[4] Bahasa arabnya; “al-mahiyyah min haitsu hiya hiya laa maujudah wa laa ma’dumah wa laa kulliyyah wa laa juz’iyyah”.
[5] Satu hal lainnya, yang terkadang disebut “dzatiyaat” atau esensi-esensi kandungan sebagai “bagian-bagian definitif” (al-ajzaa’ al-haddiyyah) yang terdiri dari jenus dan differensia dalam sebuah kuiditas spesifik (al-Mahiyyah al-Nau’iyyah). Lihat; Haqani, al-Mutsul al-Nurriyyah fi al-Fan al-Hikmah, hal 158
[6] Toshihiko izutsu dalam bukunya, The concept of Reality of existence, memberikan pengertian mengenai huwiyyah (هوية) yang disamakan dengan eksistensi. Jadi, tulisan ini mengikuti jejak Izutsu dalam mengartikan Huwiyyah sebagai eksistensi.
[7] Abu Nashr al-Farabi, Fushus al-Hikam, hal 47.
[8] Syarah al-Manzumah, hal 31
[9] Kemunculan eksistensi dalam hal ini tidak bisa dipahami sebagai bagian dari kuiditas melainkan operasi pikiran yang menciptakan konsep-konsep yang berkaitan dengan esensi eksternal itu sendiri. Pada tulisan lainnya, kami akan mendedah pembahasan kemunculan konsep-konsep, seperti eksistensi, non-eksistensi, aktualitas, dan lain sebagainya.
[10] Dr. F Ramini dalam Falsafah Shadr al-Muta’alihin; al-Mabani wa al-Murtakazat, hal 139.
[11] Lihat Misbah Yazdi, Philosophical Instructions, hal 248.
1 note · View note
rainhardvidi · 7 years
Text
Tindak-mengetahui; Kesempurnaan Pertama dan Kesempurnaan Kedua
Pendahuluan
Secara keseluruhan, sistem filsafat Islam menolak pandangan Sopistri atau, yang dalam bahasa Arab ditulis dengan Safsatah. Golongan Sopistri adalah meraka yang menolak pengetahuan atas realitas eksternal atau sebuah dunia yang berhadap-hadapan dengan pikiran seseorang. Salah satu klaim yang acap kali digunakan oleh golongan sopis adalah tidak adanya hubungan antara pikiran dengan realitas eksternal yang pada akhirnya setiap pengetahuan adalah sebuah klaim subjektifitas atau bahkan pengetahuan bukanlah ‘gambaran atas realitas luar pikiran’.
Namun demikian, penolakan pengetahuan tidak bisa secara mutlak dilakukan oleh para Sopis sebab sesuatu yang sangat mustahil  menyangkal realitas eksistensi eksternal meski pengetahuan atas realitas-realitas tersebut adalah ketidakmungkinan. Kemudian, sebuah proposisi yang subjek dan predikatnya diraih secara langsung dari “kediriannya”, seperti pernyataan ‘aku ada’. Seandainya proposisi ‘aku ada’ yang tersusun dari ‘konsep aku’ dan ‘konsep ada’ tidak berhubungan dengan realitas, maka seharusnya sang pembuat pernyataan menyangkal hubungan pengetahuan atas konsep-konsep tersebut dengan dirinya hingga pada gilirannya tidak ada pengetahuan yang pasti dan, tentu saja, terhadap dirinya—yang mana termasuk realitas—masih memiliki jarak yang jauh.
Kemudian, bagi para filosof Islam sendiri, realitas eksternal mungkin diketahui oleh subjek yang mengetahui dalam arti, bahwasannya, apa yang tergambar dalam pikiran mencerminkan realitas eksternal. Oleh karenanya, salah satu contoh pernyataan “aku ada/eksis” sama dengan pernyataan yang menjelaskan keadaan realitas diri dan mengandung aspek ontologis.
Setelah penolakan atas gagasan sopistri dan kemungkinan mengetahui, para filosof Islam melihat aspek lainnya dari aspek pengetahuan tersebut, yakni tidak terelakannya sebuah realitas. Artinya, realitas, selain realitas kedirian, adalah sesuatu yang nyata, yang tidak bisa dihindari berbagai efeknya oleh subjek yang mengetahui. Maka dari kenyataan berbagai efek ontologis tersebut muncullah perdebatan di kalangan para filosof Islam dalam usaha untuk menentukan mana realitas yang fundamental setelah, misalnya, satu benda, diabstraksi menjadi kuiditas dan eksistensi.[1]
Bagian pendahuluan ini pula kami menyodorkan gagasan populer dalam kalangan filosof tentang ketidakmungkinan pengetahuan sebagai konsep yang tersusun secara konseptual dari berbagai unsur yang mana unsur-unsur tersebut membentuk sebuah definisi yang gunanya sebagai penjelas (mu’arrif).[2]
Bentuk argumennya seperti ini;  jika pengetahuan adalah sesuatu yang membutuhkan penjelas atau definisi maka hakikatnya ia tidak diketahui, akan tetapi segala sesuatu diketahui melalui pengetahuan, bahkan konsep-konsep penjelasan pun merupakan pengetahuan, maka pada hakikatnya pengetahuan sudah jelas dengan sendirinya. Jadi, premis antesenden yang menyatakan “pengetahuan butuh penjelas atau definsi” sudah gugur dengan sendirinya dan, sebagai implikasinya, konsekuennya juga gugur. Cara lainnya lagi adalah, jika segala sesuatu diketahui dengan pengetahuan, maka pengetahuan adalah sesuatu yang belum jelas sehingga membutuhkan penjelas. Dan, proposisi tersebut adalah proposisi yang tidak sahih. Maka kami simpulkan bahwa, pengetahuan adalah sesuatu yang jelas dengan sendirinya atau aksiomatis dan tidak butuh pada sesuatu lainnya agar ia menjadi jelas atau diketahui melalui perantara lainnnya (yahtaj ila tawassuth).
Kemudian isu sentral lainnya dalam studi pengetahuan dalam filsafat Islam adalah pembagian pengetahuan menjadi presensial dan representatif yang mana masing-masing pengetahuan itu adalah pembagian primer yang sering disebut oleh para filosof. Disebut sebagai primer (awwali) karena ia mirip dengan “sesuatu tanpa syarat (al-sya’i laa bisyart)” yang mirip dengan tidak ada batasan apapun pada sesuatu itu. Namun, setelah sesuatu tanpa syarat itu dibagi ia bisa menjadi lebih banyak lagi, seperti, pembagian “manusia mutlak” menjadi pria dan wanita. Kemudian Pria dan wanita dibagi lagi berdasarkan, misalnya, peran pentingnya dalam masyarakat.
Singkatnya, sesuatu yang dibagi mestilah sesuatu yang tunggal atau ketunggalan yang dibagi (al-wahdah al-maqsami) sehingga setiap bagiannya (qism) terdapat sesuatu yang dibagi tersebut.
Pengetahuan presensial
Pengetahuan secara umum dibagi menjadi dua divisi; pengetahuan presensial dan representatif. Presensial adalah pengartian dari huduri (حضوري), adapun representatif merupakan pengartian dari husuli (حصولى). Pembagian pengetahuan ini serta pengartian namanya kami acu dari buku philosophical instructions yang tertera sebagai berikut;
The first division of knowledge to be considered is that between (1) the knowledge which is known directly of the essence (dhāt)1 of the known object, in which the real and genuine existence of the object of knowledge is disclosed to the knowing subject or the percipient, and (2) the knowledge in which the external existence of its object is not observed and witnessed by the knower; rather he becomes aware of it by the mediation of something which represents it, which is termed its ‘form’ (ṣūrat) or ‘mental concept’ (mafhūm dhihnī). The first kind is called ‘presentational knowledge’ or ‘knowledge by presence’ (‘ilm ḥuḍūrī) and the second kind is called ‘acquired knowledge’ (‘ilm ḥuṣūlī), [that is, knowledge acquired by conceptual representation].[3]
Dua pembagian tersebut menjadi berlaku karena meninjau hubungan subjek, objeknya, dan efeknya. Jika pengetahuan ditinjau berdasarkan aspek eksistensial maka pengetahuan tersebut dianggap sebagai pengetahuan presensial. Sebaliknya, jika pengetahuan terhadap sesuatu di mediasi oleh sebuah konsep maka pengetahuan tersebut adalah pengetahuan representatif. Akan tetapi, konsep atau bentuk mental diketahui secara langsung oleh subjek atau, dengan kata lain, ia tidak memiliki mediasi yang lain untuk diketahui. Mengenai hal ini akan kami jelaskan pengertiannya.
Misbah Yazdi menambahkan bahwa pengetahuan presensial tersebut sebagai his very ego, is a perceiver,  thinker, who by internal witnessing (shuhūd) is aware of himself, not by means of sensation or experience nor by forms or mental concepts.[4] Hal ini laiknya “kesadaran” seseorang akan dirinya sendiri yang secara langsung diketahui oleh pemiliki kesadaran itu sendiri.
Seluruh filosof Muslim menerima pengetahuan jenis ini sebagai pengetahuan esensi atas esensi (‘ilm dzat bi al-dzat). Muhammad Husain Thabathaba’i, guru Misbah Yazdi, dalam Bidayah al-Hikmah, berpendapat bahwa, pengetahuan presensial adalah pengetahuan yang ditandai dengan sebutan “aku”. Dan, seperti telah kami singgung, bahwa pengetahuan presensial adalah pengetahuan yang berkaitan dengan eksistensi, jika ia benar-benar ditinjau dari aspek individualitas subjek atau personalitas subjek yang esensinya sama dengan eksistensi.[5]
Mengenai aspek eksistensil tersebut, maka dapat dililihat bagian-bagian aspeknya seperti tertera di bawah;
1.aspek individualitas atau personalitas (شخصي) yang berarti sama dengan “sesuatu” atau “kedirian” atau “khusus”. Para filosof beraliran hikmah muta’aliyyah memiliki gagasan tersendiri bahwa eksistensi identik dengan individualitas (التشخص يساوق الوجود). Mengenai keidentikan individualitas dan eksistensi, kami dapat menyimpulkan dari tinjauan atas banyaknya filosof yang menolak kewujudan “universal alami” di realitas eksternal yang dispesifikan oleh berbagai macam aksiden-aksiden spesifik, seperti, tempat, posisi, warna, dan kualitas. Akan tetapi, bagi penganut ajaran Shadra, realitas eksternal (al-wujud al-kharijiy) adalah ranah bagi realitas eksistensi yang masing-masing memiliki keunikan yang bisa dipandang dari aspek primer (haitsiyyah al-ula) dan aspek sekunder (haitsiyyah tsaniyyah), seperti yang tergambar dalam konsep sekunder kefilsafatan (ma’qul tsanawi falsafi). [6]Adapun contoh yang dapat dilihat dari individuasi ini seperti, realitas eksistensi A bukanlah realitas eksistensi B.
Dari contoh realitas A dan realitas B nyatanya ia sama, misalnya, sebagai dua individu dari konsep “meja”. Bagi para filsuf sebelum aliran hikmah muta’aliyyah hadir meyakini bahwa individuasi terealisasi karena aksiden-aksiden spesifik. Akan tetapi, bagi hikmah muta’aliyyah yang meyakini bahwa realitas fundamental adalah eksistensi maka yang menjadikan universal alami menjadi spesifik adalah eksistensi. Penolakan terhadap aksiden spesifik karena aksiden masuk pada salah satu divisi kuiditas yang tertolak sebagai realitas fundamental. Jadi, realitas A dan realitas B adalah eksistensi yang menampakan batasan tertentu yang mana batasan itu disebut sebagai kuiditas, dan tercermin dalam pikiran sebagai konsep.
Selain individuasi, ranah eksistensial atau ontologis dalam pengetahuan presensial adalah “kehadiran” seperti dikatakan oleh Thabathaba’i sendiri;
والتشخص شأن الوجود فعلمنا بذواتنا إنما هو بحضورها لنا بوجودها الخارجي الذي هو ملاك الشخصية وترتب الآثار وهذا قسم آخر من العلم ويسمى العلم الحضوري.
Salah satu komentator Bidayah al-Hikmah, Abdul Jabbar al-Rifa’i dalam Mabadi’ al-Falsafiyyah, menjelaskan makna hadir atau presensial dengan cara berikut; “jika diri anda sendiri adalah konsep, berarti ia bisa berkorespondensi (muthabaqah) pada diri anda dan selain diri anda... Oleh karena itu, pengetahuan seseorang atas dirinya merupakan pengetahuan presensial, yakni keidentikan realitas eksternal dengan kehadiran jiwa (individu).[7]
Dan berdasarkan pembuktian tersebut, maka pengetahuan presensial identik dengan individuasi eksistensi maka ia memiliki efek (atsar) ontologis.
2.Mustahil dipredikasikan;
Aspek ini, menurut kami, adalah kelanjutan dari individualitas eksistensi. Oleh karena setiap eksistensi unik maka satu eksistensi berbeda dengan eksistensi lainnya. Singkatnya, karena setiap realitas eksistensi memiliki individuasinya tersendiri maka tidak mungkin, misalnya, realitas B dipredikasikan pada realitas A, atau sebaliknya. Dalam bahasa keseharian, misalnya, perkataan “kamu bukan aku” sebenarnya menggambarkan situasi pengetahuan presensial ini.
Namun, situasi seperti demikian berubah, yaitu dengan melakukan sebuah abstraksi (تجريد) yang merupakan cara unik dari pikiran untuk ‘meraih’ berbagai kesamaan yang eksis di realitas agar kemudian setiap benda yang sama dalam batasannya (hadduhu) disatukan dalam konsep. Misalnya, A dan B adalah benda. Maka, ketika konsep benda dipredikasikan pada A dan B , predikasi tersebut sahih dengan syarat A dan B merupakan individu (afrad) dari konsep tersebut.
Salah satu qiyas al-khulf atau reductio ad absurdum untuk membuktikan kesadaran ini adalah, “jika bukan Aku yang menyadari diriku sendiri berarti orang lain yang menyadarinya. Akan tetapi, Aku sadar—benar-benar sadar—akan diriku sendiri. Maka, bukan bukan diriku atau Aku yang menyadari diriku yang juga berarti bukan orang lain (sebagaimana diasumsikan).”
Kami pikir telah jelas bahwa pengetahuan presensial atau kesadaran langsung atas diri adalah individuasi yang sama dengan eksistensi sehingga pengetahuan jenis ini tidak dijembatani oleh konsep, yaitu konsep kuiditatif atas esensi seseorang. Lalu, apa implikasinya jika pengetahuan presensial adalah pengetahuan konseptual yang mana sebagian konsep adalah kuiditas sesuatu?
Thabathaba’i menjawab pertanyaan itu dengan sebuah kaidah yang populer, yaitu ‘ketidakmungkinan berkumpulnya dua hal yang sama dari seluruh aspek’. Menurutnya, dalam kitab lainnnya, Nihayah al-Hikmah;
لو كان الحاضر لذواتنا عند علمنا بها هو ماهية ذواتنا دون وجودها والحال أن لوجودنا ماهية قائمة به كان لوجود واحد ماهيتان موجودتان به وهو اجتماع المثلين وهو محال.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa berkumpulnya dua hal yang sama dari seluruh aspeknya adalah sesuatu yang mustahil?
Terdapat satu argumentasi untuk menetapkan kemustahilan tersebut, yaitu; jika ditemui dua hal yang benar-benar sama dari seluruh aspek dan keduanya berkumpul dalam lokus yang tunggal maka keduanya tidak mungkin (dari keduanya) didapati perbedaan satu sama lainnya, oleh karena itu penamaan dua hal serupa tidak sahih.[8] Maksud dari argumen yang baru saja dikemukakan, menurut kami, adalah jika dua hal benar-benar sama pada seluruh aspeknya maka sesungguhnya ia adalah hal yang tunggal. Maka dari itu pula, dua hal yang sama dari segala aspek tidak eksis secara fundamental. Kemudian argumentasi lainnya yang menolak berkumpulnya dua hal yang sama adalah melazimkan satu eksistensi adalah dua eksistensi dengan eksistensi yang tunggal. Maka dari itu setiap eksisten eksis pada eksistensi yang tunggal. [9]
Dengan penjelasan kaidah tersebut, kiranya dapat dilihat bahwa kehadiran kuiditas esensi kedirian pada diri yang tunggal sama dengan berkumpulnya dua hal yang serupa dari segala aspek pada lokus yang tunggal. Dan, sebagai lawan dari kuiditas, eksistensi adalah subjek dari pengetahuan presensial, yaitu kehadiran diri atau eksistensi diri yang selalu diketahui dan tidak pernah luput dari kesadaran manusia, bahkan dalam kesehariannya.
Pengetahuan representatif
Berkebalikan dengan pengetahuan presensial yang berkaitan dengan realitas eksistensi kedirian maka pengetahuan representatif adalah pengetahuan yang selalu berkaitan dengan konsep-konsep. Secara umum, di kalangan para filosof Islam, pengetahuan dimengerti sebagai ‘kehadiran bentuk sesuatu pada mental’ yang mana pengertian itu sama dengan pengetahuan representatif. Bentuk sesuatu (shurah al-sya’i) sendiri merupakan kuiditas yang eksis (husul) dalam pikiran atau mental, dan hakikatnya sama dengan eksistensi mental.
Pengetahuan representatif dapat dikonsiderasi dari segi ontologis yang berujung pada penamaan eksistensi mental dikarenakan keberadaannya tidak memiliki efek seperti realitas eksternal[10]. Selain aspek ontologis, eksistensi mental juga sebagai ilmu atau pengetahuan kita atas kuiditas sesuatu. Mengenai hal ini, Thabathaba’i mengatakan;
الماهيات الموجودة في الخارج المترتبة عليها آثارها وجودا آخر لا يترتب عليها فيه آثارها الخارجية بعينها وإن ترتبت آثار أخر غير آثارها الخارجية وهذا النحو من الوجود هو الذي نسميه الوجود الذهني وهو علمنا بماهيات الأشياء
Berdasarkan pasasi yang kami kutip setidaknya terdapat beberapa hal yang harus dijelaskan 1) atsar, 2) kewujudan kuiditas pada mental, dan 3) pengetahuan atas kuiditas sesuatu.
Seperti telah kami sebutkan dalam catatan kaki mengenai fundamentalitas eksistnsi di atas bahwa atsar atau efek adalah kesempurnaan pertama (kamal awwal), sebagaimana Thabathaba’i katakan. Hal ini bisa dicontohkan pada komposisi kuiditas absolut (al-mahiyyah al-mutlaqah) manusia yang di dalam kuiditas tersebut tidak ditemui hal apapun kecuali ‘hewan’ dan ‘rasional’ di mana yang pertama adalah jenus sedangkan yang kedua adalah differensia (fashl) yang hakikatnya adalah pembagi jenus (muqassim al-jins).
Efek lainnya yang kami temui mengenai eksistensi mental—selain gambaran mental atau pengetahuan atas kategori—adalah kuiditas yang mewujud pada wujud lainnya, dan hal tersebut adalah kualitas jiwa (kaif nafsaniy). Kualitas jiwa ini, bagi Thabathaba’i, adalah pengetahuan yang masuk dalam sebuah kategori aksiden karena tinjauan atas eksistensinya adalah tidak mungkin ia mewujud tanpa lainnya.
Kedua, yaitu kewujudan kuiditas di mental adalah kewujudan kuditas dengan mengenakan pakaian eksistensi mental. Hal ini bisa dilihat dari api yang jika mewujud di eksternal maka ia membakar dan melepuhkan, sedangkan kewujudannya dalam pikiran atau mental tidak seperti kewujudannya pada eksternal, jadi kuiditas yang mengenakan pakaian eksistensi mental tidak membakar dan melepuhkan. Kemudian, dan ini aspek ketiga, kuiditas yang mewujud di pikiran adalah pengetahuan seseorang atas kuiditas eksternal yang mana kuiditas ini bebas dari kategori atau, katakanlah, sebagai pengetahuan seseorang atas berbagai kategori.  
Terdapat keterkaitan epsistemik pada aspek kedua dan ketiga berdasarkan tinjauan relasi pikiran dan realitas. Bagi Thabathaba’i, jika pengetahuan seseorang adalah citra atau bayaang-bayang (شبح) kuiditas eksternal, maka nilai kebenaran-epistemik juga bayang-bayang semata, bukan hakiki. Oleh karena itu, kuiditas yang eksis dalam pikiran secara hakiki adalah kuiditas itu sendiri (al-mahiyyah bi nafsiha al-maujudah fi al-dzihn) yang derajatnya sama dengan bentuk sesuatu realitas eksternal.
Singkatnya, apa yang kami suguhkan pada bagian ini adalah bahwa pengetahuan representatif adalah pengetahuan kuiditatif atau yang selalu mengacu pada batasan-batasan sesuatu. Ghulam Reza Fayyadhi berkomentar bahwa eksistensi mental adalah konsep itu sendiri yang menggambarkan secara esensial apapun yang ada di hadapannya, baik konsep itu adalah gambaran kuiditas sesuatu atau selainnya.[11] Begitupula dengan al-Za’iri turut menegaskan bahwa, eksistensi mental adalah konsep atas kuiditas bukan kehadiran kuiditas itu sendiri.[12]
Namun, dari itu semua, apa yang ingin kami tekankan adalah kenyataan bahwa tindak-mengetahui dapat diraih oleh manusia dan entitas-entitas selainnya sejauh ia memiliki fakultas mengetahui (al-quwwah al-‘alimiyyah).  Implikasi dari pembasan ini, seperti yang akan kami bahas nanti, adalah, kesempurnaan diri manusia dalam memperoleh pengetahuan.
Dua objek pengetahuan
Pengetahuan representatif yang telah kami sebutkan bahwa konsepnya merupakan gambaran bentuk sesuatu di eksternal yang pada akhirnya mengimplikasikan ada tiga entitas, yaitu subjek, objek, dan pengetahuan itu sendiri. Namun, perbedaan itu hanya terjadi dalam pembedahan konseptual yang kira-kira, jika ditinjau ulang, subjek dan pengetahuannya tidak terpisah, akan tetapi objeknya tetap berada di realitas eksternal atau luar pikiran. Akan tetapi, banyak para filosof berkeyakinan bahwa objek pengetahuan (ma’lum) ada dua jenis yang terlibat dalam tindak mengetahui seseorang.
Dua objek yang dibedakan di sini hanya berlaku pada pengetahuan representatif. Terhadap hal ini Thabathaba’i mengatakan[13];
أن المعلوم بالعلم الحصولي ينقسم إلى معلوم بالذات ومعلوم بالعرض والمعلوم بالذات هو الصورة الحاصلة بنفسها عند العالم والمعلوم بالعرض هو الأمر الخارجي الذي يحكيه الصورة العلمية ويسمى معلوما بالعرض والمجاز لاتحاد ما له مع المعلوم بالذات
Mengenai pemilahan dua objek tersebut Rabbani, dalam Idhah al-Hikmah, menjelaskan bahwa, pembedaan objek menjadi esensial[14] dan aksidental merupakan sesuatu yang jelas secara sempurna. Pasalnya, objek pengetahuan adalah bentuk pengetahuan yang eksis pada jiwa. Pada sisi lainya, eksisten eksternal adalah realitas yang terpisah dari jiwa dan tidak hadir pada jiwa yang mana hal ini sama dengan sebuah objek pengetahuan.[15]
Mulla Sadra dalam usahanya untuk mejustifikasi kesatuan subjek dan objek (ittihad al-‘aqil wa al-ma’qul) juga memberikan pandangan terkait pembedahan dua objek pengetahuan yang ia sebut sebagai ‘bentuk sesuatu’. Dalam al-asfar al-arba’ah[16] ia mengatakan;
ان صور الأشياء قسمين احداهما صورة مادية قوام وجودها بالمادة و الوضع والمكان و غيرها. و مثل تلك الصورة لا يمكن ان تكون بحسب هذا الوجود المادي معقولة بافعل بل ولا محسوسة ايضا كذالك الا بالعرض.
والاخرى مجردة عن المادة و الوضع والمكان تجريدا اما تاما فهي صورة معقولة بالفعل او ناقصا فهي متخيلة او محسوسة.
Abdul Rasul Ubudiyyat dalam al-Nizam Al-Falsafiy li Shadr Muta’alihin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan objek pengetahuan esensial adalah sesuatu yang diketahui tanpa perantara, sedangkan objek pengetahuan aksidental adalah objek yang diketahui dengan perantara. Dalam pengetahuan representatif yang dimaksud dengan perantara (wasithah) adalah objek pengetahuan esensial itu yang tidak mungkin diketahui (ma’luman) dengan perantara yang lain.[17] Implikasinya, jika objek pengetahuan esensial diketahui dengan perantara ialah, sebagaimana dikatakan Mulla Shadra sendiri; “persepsi seseorang atas bentuk mental/objek pengetahuan esensial adalah persepsi langsung pada hakikat bentuk tersebut, jika tidak demikian maka akan berjalan pada jalan yang tanpa akhir.”
Maksud dari argumentasi tersebut adalah, jika pengetahuan harus diketahui dengan sesuatu yang lain, maka belum tentu ‘sesuatu yang lain’ itu diketahui secara langsung atas hakikatnya, artinya ia membutuhkan yang lainnya pula agar sesuatu yang pertama diketahui. Dan, jika persepsi atau idrak ini berjalan tanpa akhir maka ini akan melazimkan infinitum ad regressum atau Tasalsul yang mana ia adalah sesuatu yang mustahil.
Masalah selanjutnya lagi adalah bagaimana relasi antara objek pengetahuan esensial dan objek pengetahuan aksidental? Jawaban hal ini secara mendasar bisa mengacu pada pembahasan eksistensi mental. Sebagaimana kami sebutkan bahwa, eksistensi mental adalah eksistensi yang efeknya berbeda dengan eksistensi eksternal akan tetapi keduanya masih memiliki kesamaan, yaitu kesamaan kuiditas. Dengan demikian hubungan eksistensi mental dan eksternal disatukan oleh kuiditas. Atau, dengan meminjam istilah Za’iri dan Fayyadhi, eksistensi mental adalah konsep (mafhum) kuiditas eksternal yang menggambarkan realitas eksternal sebagaimana adanya.
Dalam memandang hubungan realitas eksternal yang disamakan dengan objek pengetahuan aksidental dan objek pengetahuan esensial Mulla Shadra menegaskan[18];
العلم عبارة عن وجود شيء لشيء و حضوره عنده فما لا وجود له في نفسه كيف يكون موجودا لأمر آخر , ولهذا لا يمكن ادراك مثل هذه الصورة الٌا بحصول صورة آخر تماثلها في المفهوم و تخالفها في رتبة الوجود
Saat ini yang harus dikaji adalah, apa yang menjadi sumber kehadiran eksistensi objek pengetahuan esensial pada subjek? Biasanya asumsi yang muncul dan kemudian ditolak oleh para filosof Islam adalah 1) benda materi, 2) jiwa itu sendiri, dan 3) eksistensi immaterial. Dan masalah ini akan kami masukan dalam sub-bab di bawah.
Sumber Eksistensi Pengetahuan
Saat seseorang melihat sebuah batu, kemudian ia memiliki gambaran atas batu tersebut dari segi kualitasnya, posisinya, dan perbedaan-perbedaannya dengan eksisten lainnya, maka apa yang menyebabkan orang tersebut mengetahui?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut baiknya kami berikan beberapa pandangan;
1.Mehdi Ha’iri Yazdi;
“kita harus berhati-hati saat membedakan eksistensi rabith[19] dengan eksistensi aksiden. Dalam eksistensi relasional tidak ditemukan sebuah hakikat kecuali ‘kebergantungan’ (murni) pada subjek. Mereka yang mengatakan eksistensi relasional memiliki eksistensi sama dengan eksistensi relasional itu mewujud pada subjek yang berarti maknanya eksistensi tersebut tidak mewujud kecuali relasi murni dan kebergantungan pada yang lain. Pun, jika diasumsukian mewujud itu pun hanya merupakan bentuk yang metafora (shurah kadzibah) yang berarti hal itu sama dengan relasi dan kebergantungan pada sesuatu yang lainnya, karena secara asasi ‘relasi tersebut adalah eksistenya.”[20]
Berdasarkan pasasi yang kami kutip tersebut kiranya tampak dalam penafsiran Mehdi Ha’iri mengenai qiyam shuduri, yaitu kemunculan akibat dari sebabnya serta kebergantungan murni (al-idhafah al-mahdhah) eksistensi akibat dengan sebabnya tanpa keterpisahan sehingga tidak mungkin secara ontologis kedua eksistensi itu terpisah satu sama lain.[21] Contoh yang bisa diberikan adalah “tindakan memukul” dengan “si pemukul”. Ketika tindakan “memukul” mewujud ia adalah aspek akibat dari “si pemukul” tersebut. Kemudian, implikasi lainnya adalah tidak ada keterpisahan antara “si pemukul” dengan “tindakan memukulnya”. Mehdi Ha’iri mengklaim bahwa pendapatnya itu adalah penafsiran atas gagasan Mulla Shadra tentang kesatuan subjek yang mengetahui dengan objeknya. singkatnya, satu-satu pandangan yang dapat digunakan untuk menjustifikasi kesatuan intelek dengan objeknya adalah dengan qiyam shuduri atau mengganggap realitas pengetahuan sebagai akibat dari substansi jiwa.
Pemikiran Mehdi Ha’iri sama seperti pemikiran Sabzawari yang memandang bahwa tindak mengetahui adalah relasi iluminatif (al-idhafah al-isyraqiyyah) yakni memandang bahwa jiwa adalah pencipta bentuk pengetahuan (musyriq li-shuwar al-ma’qullah). Dengan pandangan yang unik ini, Sabzawari menolak gagasan bahwa pengetahuan adalah realitas yang eksis sebagai kualitas dan di bawah naungan kategori aksiden.
2.M.H Thabathaba’i
"مفيض الصور العقلية الكلية جوهر عقلي مفارق للمادة عنده جميع الصور العقلية الكلية وذلك لما تقدم أن هذه الصور العلمية مجردة من المادة مفاضة للنفس فلها مفيض ومفيضها أما هو النفس تفعلها وتقبلها معا وإما أمر خارج مادي أو مجرد
أما كون النفس هي المفيضة لها الفاعلة لها فمحال لاستلزامه كون الشيء الواحد فاعلا وقابلا معا وقد تقدم بطلانه وأما كون المفيض أمرا ماديا فيبطله أن المادي أضعف وجودا من المجرد فيمتنع أن يكون فاعلا لها والفاعل أقوى وجودا من الفعل على أن فعل العلل المادية مشروط بالوضع ولا وضع لمجرد"[22]
Dari pasasi tersebut dapat dilihat terdapat tiga aspek yang, menurut kami, sangat penting untuk dikaji; 1) agen-pemberi dan eksistensi-reseptif, 2) agen-material, dan 3) agen-immaterial. Mengenai aspek ke 1, bisa merujuk kembali ke pemikiran Mehdi Ha’iri, yaitu penafsiran realitas pengetahuan sebagai realitas akibat yang eksistensinya adalah “hubungan murni” atau “kebergantungan murni” dengan substansi jiwa. Dan hal yang demikian sama saja dengan meng-affirmasi bahwa realitas pengetahuan adalah akibat.
Thabathaba’i juga menolak jika jiwa adalah sebab atas realitas pengetahuan maka jiwa jugalah yang menjadi akibatnya. Dan, sebagaimana maklum, tidak mungkin dua hal yang bertentangan bersatu pada satu subjek. Berdasarkan hal ini, Thabathaba’i meyakini bahwa jiwa adalah lokus yang kosong dari realitas pengetahuan, yang, karena kekosongan tersebut, tidak mungkin tidak mungkin ia menjadi sebab.
Kemudian asumsi selanjutnya adalah disebabkan oleh eksistensi lain, yaitu benda materi. Namun, hal ini juga tertolak. Terlebih lagi Thabathaba’i memiliki teori tentang “gradasi eksistensi” dimana realitas immaterial tidak mungkin disebabkan oleh realitas material yang mana realitas material berada pada posisi terendah dari struktur realitas eksistensi yang gradatual.
Oleh karena dua asumsi tersebut tertolak maka harus ada sesuatu yang menjadi sumber dan juga sebab atau agen bagi pengetahuan manusia. Kalangan Paripatetik mengindikasikan bahwa agen tersebut adalah akal aktif (عقل فعال). Begitu pula Misbah Yazdi dalam komentarnya atas Nihayah al-Hikmah yang turut menafsirkan bahwa pemberi bentuk pengetahuan adalah akal aktif.[23] Thabathaba’i sendiri menggunakan kalimat ‘substansi intelektif immateril” yang pada esensi substansi immateril tersebut terdapat seluruh bentuk pengetahuan universal. Adapun pemberi pengetahuan partikular adalah substansi imajinal yang temasuk eksistensi substansif imajinal immateril.
Kesempurnaan jiwa dalam memperoleh Pengetahuan
Filsafat Islam, khususnya aliran Hikmah Muta’aliyyah, meyakini bahwa tindak-mengetahui atau memperoleh pengetahuan sama dengan sejenis eksistensi atau, katakanlah, mirip dengan tindakan-eksistensial karena, seperti telah kita lihat di bagian-bagian sebelumnya, bahwa pengetahuan adalah kehadiran bentuk sesuatu pada mental atau pengetahuan adalah kehadiran objek pengetahuan esensial pada jiwa. Di sisi lainnya, pengetahuan presensial adalah pengetahuan eksistensil yang hakikatnya adalah pengetahuan eksistensi diri atas diri itu sendiri sehingga asumsi bahwa “aku” luput dari kesadaran “aku” akan tertolak bahkan secara niscaya, sebab penolakan diri oleh diri meniscayakan eksistensi diri.
Bagian ini kami meminjam ungkapan al-Hilli dalam Kasyf al-Murad dalam komentarnya atas perkataan Nashiruddin al-Thusi yang berbunyi; “eksistensi adalah kebaikan. Sedangkan, ketiadaan adalah keburukan(شر).[24] Di awal kalimat penjelasan itu, al-Hilli mengungkapkan, bahwa setiap yang disebut dengan kebaikan (خير) adalah eksistensi, sedangkan apa yang disebut dengan ‘keburukan’ adalah ketiadaan. Kemudian ia memandang sebuah peristiwa pembunuhan bisa dipandang sebagai sesuatu yang sempurna. Alasannya adalah peristiwa pembunuhan tersebut dipandang dari segi eksistensi kehendak orang yang hendak membunuh. Dan, secara mendasar, kehendak adalah kesempurnaan bagi manusia. Singkatnya, tanpa eksistensi kehendak, maka tidak mungkin pembunuhan itu terjadi. Jadi, peristiwa kausalitas dapat terealisasi.
Begitupula dengan tindak memperoleh pengetahuan yang selalu berkaitan dengan fakultas atau lokus pengetahuan yang disebut dengan intelek yang mana ia merupakan pembeda manusia dari yang lainnya. Sedikitnya telah kami singgung bahwa, efek adalah kesempurnaan pertama, dan kesempurnaan pertama bagi manusia adalah “hewan yang berakal” yang dengan demikian manusia memiliki potensi untuk mengetahui.
Kesempurnaan pertama ini selalu mengasumsikan kesempurnaan kedua. Pertama kita coba melihat hal ini dari aspek kesempurnaan pertama, yaitu terjadinya pembedaan spesies manusia dengan hewan-hewan lainnya. Meski intelek atau rasional adalah pembeda manusia dengan hewan lainnya, daya intelek itu dapat diasumsikan sesuatu yang kosong dari berbagai pengetahuan sehingga, dengan meminjam cara al-Hilliy, ia akan menjadi tidak sempurna jika tidak aktualisasikan sebagai daya yang memeroleh pengetahuan.
Memang, keterkaitan daya intelektual atau rasionalitas manusia dengan perolehan pengetahuan seperti keterkaitan kesempurnaan pertama dan kesempurnaan kedua dimana yang kedua selalu bergantung pada yang pertama, artinya tanpa adanya daya rasionalitas maka tidak mungkin pengetahuan terjadi. Hal ini seperti efek-efek eksternal yang spesifik yang hanya akan muncul sesuai dengan batasan-batasan spesifiknya pula, seperti, api dengan efek-efek spesifiknya 9al-atsar al-kharijiyyah al-makhsushah).
Hemat kami, apa yang menjadi lokus pengetahuan haruslah sesuai dengan pencanangan konseptual sedari pendefinisian atas “konsep manusia” dimulai, yaitu “hewan rasional” yang sama dengan “memiliki potensi untuk mengetahui”. Menariknya, perolehan pengetahuan yang dilakukan oleh subjek adalah perolehan eksistensi. kemudian, jika eksistensi ditinjau sebagai kebaikan maka memperoleh ilmu adalah kebaikan.
Dengan mengacu pada teori Thabathaba’i tentang eksistensi substansi intelektif immateril, maka terdapat hubungan-eksistensial antara realitas intelek immaterial dengan jiwa seseorang. Oleh karena itu pula, ia berpendapat bahwa jiwa manusia menjadi sempurna ketika menyatu dengan pengetahuan sebagaimana Thabathaba’i katakan dalam Bidayah al-Hikmah[25];
أن كل معقول فهو مجرد كما أن كل عاقل فهو مجرد فليعلم أن هذه المفاهيم الظاهرة للقوة العاقلة التي تكتسب بحصولها لها الفعلية حيث كانت مجردة فهي أقوى وجودا من النفس العاقلة التي تستكمل بها وآثارها مترتبة عليها فهي في الحقيقة موجودات مجردة تظهر بوجوداتهاالخارجية للنفس العالمة فتتحد النفس بها ان كانت صوار جواهر و موضوعاتها المتصفة بها ان كانت اعراضا لكنا لاتصالنا من طريق ادوات الادراك بالمواد نتوهم انها نفس الصور القائمة بالمواد نزعناها من المواد من دون اثاره المترتبة عليها في نشأة المادة فصارت وجودات ذهنية للاشياء لا يترتب عليها اثار
 ---------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Kuiditas dalam bahasa arab biasa disebut sebagai Mahiyyah (ماهية). Ia adalah kata yang dibuat dari ‘jawaban dari pertanyaan apakah itu?’ (maa yuqal fijawabi maa huwa). Sedangkan, pengertian lainnya dari Mahiyyah adalah maa bihi sya’i huwa huwa/yang menjadikan sesuatu sebagaimana sesuatu tersebut. Para filosof menamakan kuiditas jenis pertama dengan kuiditas dengan makna khusus yang identik dengan batasan sesuatu (had al-Sya’i) dan kerap kali menyamakannya dengan konsep-konsep yang terkandung dalam sebuah spesies. Kuiditas lainnya adalah kuiditas dengan makna umum dan sama derajatnya dengan eksistensi atau realitas itu sendiri.
[2] Pandangan umum para filosof dan Teolog muslim memandang bahwa pengetahuan seperti konsepsi atas sesuatu yang aksiomatis dan sederhana (basith) yang tidak ada komposisi apapun dari kesederhanaan itu. Dan, karenanya, konsep pengetahuan tidak diraih dengan bagian-bagian esensialnya, dan hal ini mirip dengan jenus dan differensia dimana yang kedua adalah sebagai pembagi jenus dan yang menjadikan jenus sebagai spesies. Lihat;  Kamal Ismail L; Maratib al-Ma’rifah wa hiram al-wujud ‘inda Mulla Shadra; Dirasah muqaaranah, 179.
[3] Prof. Misbah Yazdi, Philosophical instructions hal 123. Birmingham University
[4]Prof. Misbah Yazdi, Philosophical instructions hal 124
[5] Agar bagian ini lebih utuh ada baiknya kami memperjelas ulang mengenai fundamentalitas eksistensi dan respektivalitas kuiditas. Pertama yang harus dilakukan adalah abstraksi pikiran atas satu benda. Kemudian, pikiran atau mental melakukan pembedahan konseptual yang menjadi konsep kuiditas dan konsep eksistensi, contohnya: konsep kuiditas manusia dan konsep eksistensi. Banyak Filosof yang meyakini bahwa konsep kuiditas bukanlah konsep eksistensi. Sebab, jika konsep kuiditas identik atau tunggal (‘ainiyyah) dengan konsep eksistensi maka negasi eksistensi dari kuiditas manusia tidak sahih, artinya; predikasi ketiadaan pada konsep kuiditas manusia tidak bisa dilakukan. Selain itu, jika konsep kuiditas tunggal dengan konsep eksistensi maka kuiditas tidak berbeda-beda karena konsep eksistensi hanya tunggal berdasarkan predikasi yang sama pada seluruh entitas sejauh predikasi ini tidak mengacu pada realitas eksternal. Kedua, abstraksi satu benda tunggal menjadi dua konsep yang berbeda satu sama lain mengharuskan bahwa salah satu dari keduanya adalah realitas sejati atau fundamental, sedangkan konsep lainnya adalah yang mewujud di realitas secara aksidental. Ketiga, jika kuiditas adalah realitas fundamental seharusnya di dalam pembedahan konsepnya harus ditemukan konsep eksistensi, misalnya, kuiditas per se adalah sesuatu yang bukan eksistensi, bukan ketiadaan, bukan universal, dan juga bukan partikular. Oleh karena pembedahan tersebut tidak mendapati konsep eksistensi maka realitas eksternal yang mana ia adalah realitas yang benar-benar eksisten dan tidak dapat diragukan adalah eksistensi, sedangkan kuiditas adalah realitas yang mewujud secara aksidental atau, dengan kata lain, sebagai batasan eksistensi. argumentasi lainnya adalah, jika kuiditas adalah fundamental, dan eksistensi adalah respektifal, maka seharusnya kuiditas yang mewujud di mental juga memiliki efek-efeknya sebagaimana di realitas eksternal, misalnya api, yang panas dan melepuhkan di realitas eksternal, akan tetapi, ketika ia mewujud di mental tidak membakar dan melepuhkan tentu saja hal antesendennya tertolak begitupula konsekuennya. Maka, eksistensilah yang menjadi realitas fundamental. Sifat api yang panas dan melepuhkan itu, menurut Thabathaba’i sendiri, adalah efek atau atsar.
[6] Aspek primer adalah konsep-konsep yang mengacu pada batasan atau kuiditas sesuatu. Sedangkan aspek sekunder mengacu pada sifat eksistensi seperti, potensialitas, aktualitas, kontigensi, dan niscaya. Muhammad Husain Thabathaba’i, Nihayah al-Hikmah hal 86. 1376
[7] Abdul Jabbar al-Rifa’i, Mabadi’ al-Falsafah al-Islamiyyah hal. Hal 275. Da>r al-Hadiy, Libanon 2001
[8] lihat Dr. Ibrahim Dinani Al-qawa’id al-falsafiyyah al-ammah fi al-falsafah al-islamiyyah hal 86. Dar al-hadi, 2007
[9] Bahasa arab aslinya; يستلزم وجود وجودين بوجود واحد . al-Qawa’id al-Falsafiyyah hal 86.
[10] Seperti telah kami uraikan pada salah satu bukti fundamentalitas eksistensi.
[11] Ghulam Ridha Fayyadhi dalam tashih dan ta’liq li ‘ala nihayah al-Hikmah, hal 145. Qum, 1478 H.
[12] Abbas Ali Zari’iy al-Savbzawari dalam Tashih wa Ta’liq ‘ala Nihayah al-Hikmah, hal 153 . Muassasah al-Nasr al-Islami, Qum Iran, 1413 H. Qamariyyah.
[13] Muhammad Husayn Thabathaba’i, Bidayah al-Hikmah hal 186. Muassasah al-Ma’arif al-Islamiyyah.
[14] Kami menerjemahkan ma’lum bi al-dzat dengan sebutan objek pengetahuan esensial. Sedangkan, ma’lum bi al-‘aradh kami terjemahkan menjadi objek pengetahuan esensial.
[15] Ali Rabbani Kalkabani, Idhah al-Hikmah fi Syarh Bidayah al-Hikmah, hal 188 . Dar al-Tayyar al-Jadid, 1998
[16] Dikutip dari Ibrahim Dinani, al-Qawa’id al-Falsafiyyah al-Ammah al-Islamiyyah, hal 314. Alasan mengapa benda materi tidak bisa dijadikan objek yang esensial dalam tindak mengetahui dijelaskan oleh Mulla Sadra dalam Risalah Ittihad al-Aqil bi al-Ma’qul dikarenakan benda-benda materi merupakan hal yang benar-benar sama dengan ketertutupan (ihtijab) dan ketidakhadiran yang maknanya sama dengan ketiadaan, yang sebenarnya eksistensi setiap benda materi adalah ketiadaan bagi lainnya, dan hadirnya setiap bagian dari berbagai eksistensi tersebut melazimkan ketiadaan bagi yang lainnya. Lihat  Mulla Sadra, Majmu’ah Rasa’il Falsafiyyah li Shadruddin Muhammad al-Shirazi hal 134. Dar Ihya Turats, Libanon. 1422 h.
[17] Abdul Rasul ubudiyat alNizam al-Falsafiy hal 278.
[18] Risalah ittihad al-‘aql bi al-ma’qul, hal 134 dalam Majmu’ah Rasa’il lishadruddin Syirazi.
[19] Al-wujud al-rabith الوجود الرابط kami terjemahkan sebagai eksistensi relasional. Istilah lainnya untuk menggambark kasus yang sama adalah “al-idhafah al-isyraqiyyah”. Misalnya, relasi tindakan dan bertindak adalah relasi eksistensial yang mana tidak ada keterpisahan antara keduanya. Lawan dari relasi ini adalah relasi kategoris, seperti kakak-adik, suami-istri, pemimpin-rakyat.
[20] Istathlaa’at al-‘Aql al-Nazari hal 155.
[21] Lihat Sayyid Ridha al-Shadr, Falsafah al-Ulya, hal 33. Dar al-Kitab libanaani, Beirut 1982.
[22] Bidayah al-Hikmah, hal 186
[23] Misbah Yazdi, Ta’liqah ‘ala Nihayah al-Hikmah hal 412. Qum, 1433 h.
[24] Jamaluddin Al-Hilli dalam Kasyf al-Murad fi Tajrid al-‘itiqad hal 12. Beirut, Libanon.
[25] Bidayah al-Hikmah, hal 186
0 notes
rainhardvidi · 7 years
Text
Eksistensi Bayangan (al-wujud al-Dzill) dalam Realisme isyraqiy
2b
Bagi Suhrawardi, eksistensi bayangan adalah ide sesuatu (مثال الشيء) yang dibedakan dengan ‘tiruan sesuatu’ (مثل الشيء). Ibrahim Dinani dengan berani menggambarkan perbedaan tersebut seperti ‘eksistensi mental’ versi Mulla Shadra dengan ‘eksistensi mental’ versi Dawani dimana yang pertama adalah eksistensi kuiditas per se, sedangkan yang kedua, untuk menghindari kontradiksi dan mengganggap pengetahuan merupakan kualitas jiwa, adalah citra sesuatu (شبح الشيء).
Namun demikian, pertama yang harus dibahas adalah, bagaimana Realis isyraqiy ini membuktikan eksistensi bayangan tersebut?.
Dalam kasf al-murad fi Syarh ‘ala tajrid al-i’tiqad, al-Hilli mengutip Ibn Sina yang menyatakan, eksistensi itu ada dua macam, eksternal dan mental, dan kedua-duanya adalah sama-sama ‘kesesuatuan (شيئية)’.
Kemudian muncul kritik bahwa eksistensi bayangan atau mental bukanlah eksistensi dan ia hanyalah kesesuatuan. Hal ini karena ‘sebagian konsep-konsep tidak memiliki kewujudan dalam eksternal’, seperti, universal per se. Singkatnya, kesesuatuan lebih umum dari eksistensi.
Terhadap hal itu ia memberikan respon yang memperlihatkan identisitas kesesuatuan dengan eksistensi, dimana jika, misalnya, benda A tidak eksis di luar pikiran maka ia bukan sesuatu. Begitupula dengan, jika benda A bukan ‘sesuatu’ di luar pikiran maka ia bukan eksistensi. Dan, argumentasi identisitas itu juga digunakan untuk menjustifikasi eksistensi mental yang berarti, jika ‘yang terpikirkan (ma’qulat)’ adalah sesuatu maka ia eksistensi yang hakikatnya sama dengan eksistensi di mental adalah sesuatu.
Dengan cara demikian, ida pikiran termasuk eksistensi yang identik/ekivalen dengan sesuatu dan dapat dikatakan eksistensi mental.
1 note · View note
rainhardvidi · 7 years
Text
Eksistensi Bayangan (al-wujud al-Dzill) dalam Realisme Isyraqiy.
2a
Banyak filsuf mengatakan bahwa apa yang tertera dalam pikiran (mental) atau yang—secara ontologis disadari—kehadirannya disebut sebagai eksistensi bayangan. Ia disebut eksistensi karena ‘efek’ dalam pikiran tidak terelakan karena menjadi bentuk mental (shurah dzihniyyah) yang juga sebagai informasi subjek atas realitas eksternal. Lalu, disebut bayangan karena, berdasarkan masing-masing pendapat; 1) sebagai pancaran dari realitas tetap intelektual yang kerap disamakan dengan ide-ide plato (al-mutsul al-aflatuniiyyah), 2) cerminan dari realitas yang memiliki struktur sejati realitas, dan, sebagai konsekuensinya, 3) hanya sebagian efek spesifik (al-atsar al-makhshusah) yang muncul di pikiran bukan keseluruhan meski terdapat pendapat lainnya bahwa efek yang tertera dalam pikiran tidak mengandung efek eksternal secara keseluruhan.
Secara mendasar, pembahasan eksistensi bayangan selalu mengacu pada salah satu bagian dari pembagian pengetahuan. Eksistensi bayangan masuk dalam kategori pengetahuan representatif karena, seperti dikatakan di atas, ia ditinjau sebagai bentuk mental. Pendapat lainnya lagi menyatakan bahwa eksistensi mental atau bayangan tersebut identik dengan “penampakan bayangan” (al-dzuhur al-Dzilli). Rasanya, penampakan bayangan juga dapat dikonsiderasi sebagai ‘cerminan dari realitas’ yang sama dengan bentuk mental yang berkorespondensi dengan realitas eksternal (al-shurah al-dzihniyyah al-muthabaqah ‘ala al-amr al-waqi’ au nafs al-‘amr).
1 note · View note
rainhardvidi · 7 years
Text
Argumen Realisme Isyraqiy;
#1
1. Jika manusia dan semua yg berorgan (hewan2 lain) tak eksis, matahari tetaplah bercahaya. Krn itu, 'terang' bukanlah sifat tambahan (sifah zaidah) pada matahari, akan tetapi esensinya scr substantif.
2. Jika 'terang' adalah sifat tambahan, misalnya, dr mata manusia, maka cahaya pada hakikatnya tidak terang. Padahal kenyataannya cahaya itu identik dgn terang, tampak, atau dzuhur.
1 note · View note
rainhardvidi · 7 years
Text
Perceraian Pikiran & Aksi ?
Dasarnya, tulisan ini merupakan refleksi saya sebagai orang yang pernah menempuh kuliah filsafat.
Mempelajari filsafat berarti mempelajari realitas. Meski, bagi Kant, orang yang membalikan pandangan tersebut dengan sebutan revolusi coppernican-nya, hal yang penting adalah menilik ulang kondisi manusia dengan berbagai syarat mengetahui atau syarat transendental.
Hemat saya, mempelajari realitas sama halnya dengan mencari struktur dasar realitas dan juga menilik kembali kondisi diri tentang syarat transendental sama pentingnya, sebab pengetahuan kita yang secara langsung, dan dilakukan dengan mudah, menunjukan bahwa diri manusia termasuk realitas. Selain dari pada hal tersebut, pengetahuan, dalam berbagai pandangan filsuf muslim, termasuk modus penampakan realitas yang, karena kemunculannya bukan di alam materi, memiliki sifat ontologis yang berbeda dari benda materi.
Pada awalnya, saya mengkaji filsafat dalam tradisi dunia Islam dengan tujuan menjawab pertanyaan eksistensil sehingga saya mendapat jawaban mengapa saya ada di dunia, kemudian—dan hal yang paling penting—dapat menikmati iman secara bertangung jawab (dengan pengetahuan yang mapan). Akan tetapi, tidak mudah rupanya dalam mencari jawaban itu, pasalnya selalu saja ada sanggahan yang menjadi antitesis dari sebuah gagasan dalam bentuk premis, kemudian sampai sekarang, sebab dari itu semua, saya juga belum mendapatkan sintesis yang sesungguhnya.
Pencarian atas struktur realitas, jawaban pertanyaan eksistensial, serta merta menilik kondisi diri untuk mencari syarat mengetahui selalu dimasukan dalam satu kelas dari pembagian ilmu, dan ini mereka namakan ilmu teoritik atau, dalam bahasa arabnya, al-hikmah al-nazariyyah. Banyak orang, termasuk saya sendiri, melihat bahwa pekerjaan intelektual semacam ini sangat nikmat, sebab tidak melibatkan tenaga-tenaga fisik, sementara keluhan yang populer, dan tersebar di kalangan umum, adalah berpikir lebih melelahkan dari pada kerja fisik.
Rupanya, jauh sebelum jaman sekarang, Avicenna dan para filsuf lainnya menulis di berbagai buku-buku filsafat, membagi pemikiran menjadi dua kelas, yang pertama adalah pemikiran intelektual-rasional atau filsafat teoritik, dan kedua adalah filsafat aksi atau al-hikmah al-‘amaliyyah.
Kelas kedua dari pembagian itu memperlihatkan ciri lainnya dari pikiran manusia yang, selain mempertanyakan hakikat sesuatu, turut mencoba menentukan mana yang seharusnya dilakukan oleh manusia, meski sebelumnya juga didahului dengan penetapan khusus mana yang baik, buruk, benar, dan salah dalam berbagai aksi.
Menariknya, pendalaman pada filsafat (hikmah), secara fundamental, tidak memberikan ruang untuk bercerainya pikiran teoritik dan pikiran untuk aksi yang dengan demikian pekerjaan pikiran merupakan pekerjaan yang menyeluruh, dalam arti melibatkan kerja-kerja intelektual serta tidak menegasikan kerja-kerja fisik. Barangkali kelebihan para filsuf adalah tidak lupa bahwa kehidupan di dunia selalu berkelit kelindan dengan pencarian hakikat struktur realitas dan berbagai tindakan yang harus dilakukan.
Salah satu hal buruk yang pernah terjadi adalah perceraian kerja intelektual dengan kerja fisik yang mana pekerjaan yang disebut kedua mendapatkan serendah-rendahnya tempat, seperti di Mesir Kuno ketika juru tulis kerajaan memiliki kelas mulia dari pada para pekerja pembangunan yang bermain dengan lumpur. Tentu hal saja hal demikian sangat tidak benar, sebab, seperti telah dikemukakan, filsafat telah membagi kerja pikiran menjadi dua kelas yang secara mendasar; perkerjaan pertama merupakan penumpu bagi pekerjaan kedua, seperti, misalnya, definisi baik-buruk dilakukan oleh kerja pikiran teoritik untuk kemudian ditentukan tindakan-tindakan mana saja yang masuk dalam kategori baik dan buruk.
Seperti yang sudah disebut, bahwa perceraian intelektual dan aksi tidak dibenarkan dalam pemikiran filsafat islam, maka ada baiknya para pembelajar filsafat tidak—sebagaimana Antonio Gramsci katakan—hanya menjadi intelektual tradisonal melainkan juga menjadi intelektual organik yang kemudian memainkan perannya dalam masyarakat.
Mengikuti perkataan Gramsci yang notabene teoritikus Marxis sebenarnya terlalu jauh, melampaui potensi diri saya. Saya pribadi lebih suka ungkapan ‘maharah’ yang artinya ‘keterampilan’. Saya memaksudkan keterampilan secara sederhana, yaitu apapun yang berkaitan dengan kerja fisik atau aksi-aksi yang dengannya kehendak—melalui pemilahan pikiran—menjadi nyata, dan, tentu saja, dapat disaksikan secara empirik.
Saya memiliki pandangan bahwa, dengan merujuk filsafat transedental Sadrian, pengetahuan—meski tidak semuanya—disyaratkan dengan interaksi fisikal yang melibatkan indra manusia serta fisiknya untuk mendapatkan kesiapan  ‘jiwa’ (li hushul isti’dad al-nafs) dalam meraih bentuk-bentuk pengetahuan, baik pengetahuan yang tidak dapat dipredikatkan pada banyak hal dan, sebaliknya, pengetahuan yang dapat menjadi predikat atas banyak hal. Dari contoh ini, setidaknya saya sadar bahwa, jika ingin mendapat pengetahuan harus melalui interaksi fisikal, dan kemudian jiwa bekerja untuk mendapat pengetahuan, maka mengapa seseorang harus berhenti pada pengetahuan teoritik saja dan tidak kembali pada kerja fisik?
Bagi orang yang sangat dalam ilmu filsafatnya, mungkin akan mengira refleksi saya ini sebagai pengetahuan yang rendah karena pikiran untuk praktis atau aksi hanya condong pada keterampilan tidak pada, sebagaimana pernyataan Avicenna, pembagiannya menjadi ekonomi dan politik. Tapi, sebagai pemula dalam jenis ilmu ini, saya berusaha tidak muluk-muluk berbicara terlalu melampaui potensi diri sendiri. Namun demikian, pikiran untuk aksi saya sederhanakan untuk memiliki keterampilan sederhana, seperti, mengerjakan seni lukis, sastra, musik, dan berbagai kesenian lainnya yang dengannya, sekaligus bertujuan, mengawal kebudayaan.
1 note · View note