Tumgik
ramlisemmawi-blog · 7 years
Text
SISTEM EKONOMI ISLAM Ramli Semmawi Sistem didefinisikan sebagai suatu organisasi yang di dalamnya berbagai unsur saling berhubungan satu sama lain. Unsur-unsur tersebut saling mempengaruhi, dan saling bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu (Nasution dkk, 2010: 11). Jadi sistem ekonomi Islam adalah suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam. Sumber dari keseluruhan nilai tersebut adalah Alquran, Sunnah, dan ijtihad. Nilai-nilai sistem ekonomi Islam merupakan bagian integral dari ajaran Islam yang komprehensif yang dinyatakan dalam firman Allah SWT: "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu" (QS. Al-Maidah: 3). Nilai dasar pertama sistem ekonomi Islam adalah Ilahiah. Nilai ini menjelaskan bahwa sifat dasar dari ekonomi Islam adalah Rabbani dan insani. Rabbani karena sarat dengan arahan nilai-nilai Ilahiah. Insani karena sistem ekonomi ini dilaksanakan dan ditujukan untuk kemakmuran manusia. Pakar lain, Muhammad Umer Chapra, menyebutnya ekonomi Tauhid. Dikatakan demikian karena aturan yang dipedomani oleh pelaku ekonomi adalah Wahyu Allah, dan semua faktor ekonomi termasuk manusia pada dasarnya adalah kepunyaan Allah SWT, dan kepadaNyalah tempat kembali segala urusan. Melalui aktivitas ekonomi, manusia dapat mengumpulkan harta sebanyak mungkin, tetapi tetap dalam koridor aturan agama. Keimanan dalam hal ini menjadi kontrol serta membatasi kehendak ekonomi tersebut. Nilai keimanan ini pula yang mengikat setiap perbuatan manusia dalam hal apapun termasuk aktivitas ekonominya. Maka semua aktivitas ekonomi tersebut memiliki nilai moral dan ibadah. Hal demikianlah yang membedakan paham naturalis yang menetapkan bahwa sumber daya sebagai faktor penting ekonomi atau paham monetaris menentukan modal finansial sebagai faktor penting ekonomi. Islam justru melihat bahwa sumber daya insani sebagai faktor penting ekonomi. Karena, manusia menjadi pusat sirkulasi manfaat ekonomi dari berbagai sumber daya yang ada. Ekonomi Islam pada prinsipnya adalah sistem yang mengutamakan keseimbangan dalam hal dunia dan akhirat. Maka dalam sistem kepemilikan Islam senantiasa dijelaskan bahwa dalam setiap harta yang dimiliki, maka ada hal orang lain di dalamnya. Distribusi Yanga adil adalah tujuan dari sistem ekonomi Islam. Distribusi ini berusaha menyeimbangkan kepentingan individu dan kepentingan umum/publik. Demikian halnya dalam sistem ekonomi Islam, negara diberi kewenangan turut campur dalam perekonomian.  Posisi negara dalam hal ini sebagai pembuat undang-undang, pengawas pasar. Hal ini penting karena menjadi pengontrol kegiatan ekonomi yang sehat, sehingga semua pihak terlindungi hak-hak ekonominya.
0 notes
ramlisemmawi-blog · 7 years
Text
WAKAF PRODUKTIF DALAM SISTEM EKONOMI ISLAM Oleh Ramli Semmawi Jika zakat merupakan kewajiban yang diperintahkan, maka wakaf merupakan kerelaan. Walaupun wakaf tidak disebutkan dasar hukumnya dalam Al-Qur'an sebagaimana zakat tetapi menjadi sistem ekonomi yang punya peran penting dalam pemberdayaan ekonomi umat. Walaupun demikian, harus pula diakui bahwa manajemen wakaf belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya sehingga potensi wakaf sebagai kekuatan ekonomi untuk mendukung pendidikan, riset, pelayanan kesehatan dan berbagai aspek kehidupan umat belum dapat dioptimalkan. Wakaf berasal dari kata Arab al-waqf yang berarti menahan atau menghentikan. Kata lain yang sering digunakan sinonim dengan wakaf adalah hubus (jamaknya al-ahbas), yang berarti sesuatu yang ditahan atau dihentikan, maksudnya ditahan pokoknya dan dimanfaatkan hasilnya di jalan Allah. Menurut Syamsul Anwar, benda wakaf itu dihentikan hak-hak bertindak hukum pemiliknya terhadapnya, sehingga wakaf tidak dapat dijual, tidak dapat dihibahkan, tidak dapat diwariskan dan segala tindakan hukum lainnya yang bersifat pemindahan hak milik. Kata wakaf dalam hukum Islam mempunya dua arti: arti kata kerja, ialah tindakan mewakafkan, dan arti kata benda, yaitu objek tindakan mewakafkan. Secara terminologi dalam hukum Islam—definisi yang paling banyak diikuti—wakaf didefinisikan sebagai “melembagakan suatu benda yang dapat diambil manfaatnya dengan menghentikan hak bertindak hukum pelaku wakaf atau lainnya terhadap benda tersebut dan menyalurkan kepentingan sosial dan kebaikan.” Ada pula yang mendefinisikan wakaf sebagai “Menahan suatu benda untuk tidak dipindahtangankan buat selama-lamanya dan mendonasikan manfaat (hasil)-nya kepada orang-orang miskin atau tujuan-tujuan kebajikan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia Pasal 215 ayat (1) wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.” UU No. 41 Tahun 2004 tentang Perwakafan, Pasal 1 angka 1, wakaf didefinisikan sebagai “perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.” “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. 3:92); “Hai orang-orang yang beriman, infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menginfakkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. 2: 267). Dalam ayat tersebut terdapat anjuran untuk melakukan infak secara umum terhadap sebagian dari apa yang dimiliki seseorang, dan termasuk ke dalam pengertian umum infak adalah wakaf. “Dari Ibn Umar r.a (dilaporkan) bahwa ‘Umar Ibn al-Khattab memperoleh sebidang tanah di Khaibar, lalu beliau datang kepada Nabi saw untuk minta instruksi beliau tentang tanah tersebut. Katanya: Wahai Rasulullah, saya memperoleh sebidang tanah di Khaibar yang selama ini belum saya peroleh harta yang lebih berharga bagi saya daripadanya. Apa instruksimu mengenai harta itu? Rasulullah saw bersabda: Jika engkau mau, engkau dapat menahan pokoknya (melembagakan bendanya) dan menyedekahkan manfaatnya.[Ibn Umar lebih lanjut] melaporkan: Maka Umar menyedekahkan tanah itu dengan ketentuan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan...[HR. Bukhari] Dari Abu Hurairah r.a. (dilaporkan bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila seseorang meninggal dunia, maka putuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah yang mengalir, ilmu yang dimanfaatkan atau anak salih yang mendoakannya [HR. Muslim]. Sedekah jariah yang dimaksudkan dalam hadis Abu Hurairah tidak lain yang dimaksud adalah wakaf. Wakaf merupakan institusi keagamaan yang paling tua dalam Islam, dan telah dikenal sejak zaman Nabi saw. ada pendapat bahwa wakaf paling awal dalam Islam adalah Telaga Rumah (Bi’r R-mah) di Madinah, yang dibeli oleh Usman Ibn Affan, 30 ribu dirham dari seorang Yahudi atas anjuran Nabi saw, kemudian diwakafkan untuk menjadi sumber air bersih bagi kaum muslimin di Madinah. Penyerahan tanahnya oleh Umar Ibn al-Khattab, yang terletak di Khaibar, untuk kepentingan kaum muslimin dianggap sebagai suatu bentuk wakaf yang tua dan berasal dari zaman Nabi saw. Di Indonesia, wakaf telah dikenal umat Islam sejak lama dan digunakan untuk mendukung penyelenggaraan institusi Islam seperti mesjid, madrasah, kuburan Islam dan sebagainya. Akan tetapi potensi wakaf yang demikian besar belum optimal mendukung kesejahteraan umat karena tidak produktif termasuk sumber pendanaan pendidikan sebagaimana yang dipraktikkan dalam sejarah Islam awal. Contoh yang paling baru dipraktikkan di Mekkah, Arab Saudi adalah Zam zam Tower, King Abdul Aziz Waqf sebagai nazhir tanah wakaf dari Raja Arab Saudi di kompleks Masjidil Haram, menandatangani kontrak sewa jangka panjang 28 tahun dengan kontraktor bangunan Bin Ladin Group untuk membangun multipleks bertingkat di bawah proyek zam zam tower. Sumber Bacaan: Ahmad Rofiq. Fiqh Kontekstual: dari Normatif ke Pemaknaan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. Anwar Bashori. Mendorong Pengembangan Islamic Social Finance dalam Rangka Mewujudkan Masyarakat Sejahtera. Makalah dalam Festival Ekonomi Syariah di Makassar, Makassar: 25 Agustus 2017. Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. Mohammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press. 1988. Syamsul Anwar. Studi Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: RM-Books. 2007. Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Perwakafan.
0 notes
ramlisemmawi-blog · 7 years
Text
ZAKAT PROFESI
oleh
Ramli Semmawi
Pada masa Nabi, sumber pendapatan masyarakat masih relatif terbatas dan tradisional, seperti berdagang, beternak atau bertani. Sementara sekarang, demikian banyak macam pekerjaan yang menjadi sumber pendapatan yang menghasilkan cukup besar harta. Pekerjaan tersebut dalam banyak hal didasarkan pada adanya keterampilan khusus atau keahlian dari proses pendidikan, seperti profesi dokter, bidan, paramedis, ahli farmasi, akuntan, konsultan, pengacara, notaris, guru, dosen, dan banyak lagi profesi lainnya. Profesi ini kadang dilakukan secara mandiri dan kadang terikat pada pihak lain atau institusi tertentu. Untuk yang terikat, pendapatan mereka disebut gaji atau upah.
Dalam Al-Qur'an disebutkan beberapa macam jenis kekayaan yang dikenai Zakat, yaitu: 1) emas dan perak, 2) tanaman dan buah-buahan, 3) hasil usaha, seperti dagang, dan 4) hasil perut bumi seperti barang tambang. Yang selain itu disebut secara umum dalam kata 'mal' yang jamaknya adalah 'amwal,' yang berati harta kekayaan, termasuk di dalamnya binatang ternak. Syarat harta kekayaan yang dikenai zakat adalah: 1) milik sempurna, 2) produktif dan berkembang, 3) mencapai nisab, 4) kelebihan dari kebutuhan pokok, dan 5) telah berlalu waktu satu tahun hijriah (haul).
Pekerjaan profesi jelas mendatangkan penghasilan dan menjadi sumber pendapatan utama yang menopang kehidupan manusia di zaman modern. Oleh karena itu layak dikenakan dengan memenuhi ketentuan umum tentang zakat atas penghasilan dari melakukan pekerjaan terikat maupun bebas. Hal tersebut dapat didasarkan pada keumuman perintah membayar zakat atas hasil usaha dan keumuman kata amwal yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Saw. Di antara nas-nas umum tersebut adalah: "Wahai orang-orang beriman infakkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik....(QS. 2: 267); "Dan pada harta-harta mereka, (ada pula bahagian yang mereka tentukan menjadi) hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang menahan diri (tidak meminta)" (QS. az-Zariyat: 19). "Dan mereka (yang menentukan bahagian) pada harta-hartanya, menjadi hak yang termaklum--Bagi orang miskin yang meminta dan orang miskin yang menahan diri (tidak meminta)" (QS. al-Ma'arij: 24-25).
Kata infak dalam ayat pertama (QS. 2: 267) adalah mencakup zakat wajib dan sedekah tatawwu'(sukarela); orang yang berzakat mengambil sisi wajibnya zakat dan orang yang berinfak tatawwu' mengambil sisi Sunnahnya memberikan infak. Ibn Jabir at-Tabari menafsirkan infak dalam ayat ini sebagai zakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hasil usaha dalam ayat tersebut dikatakan oleh al-Jassas dalam tafsirnya 'ahkam Al-Qur'an,' "hasil usaha (kasb) itu ada dua macam: 1) keuntungan yang diperoleh melalui pertukaran barang, dan 2) hasil dari kegiatan memberikan jasa. Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam mengkualifikasi penghasilan dari profesi secara khusus dan penghasilan dari pekerjaan bebas dan terikat secara umum. Yusuf al-Qaradawi dan Wahbah az-Zuhaili memasukkannya ke dalam kategorial-mal al-mustafad--penghasilan.
Hasil Bahtsul Masail dalam Munas Alim ulama NU 2002 cenderung memasukkan zakat profesi dan zakat pendapatan dan jasa secara umum (zakah kasb al-mal wa al-mihan al-hurrah) sebagai zakat tijarah. Sementara, di lingkungan Muhammadiyah zakat profesi telah diterima dalam Putusan Tarjih ke-25 di Jakarta tahun 2000. Nisabnya setara 85 gram emas murni 24 karat dan kadar zakat 2,5%. Kedua organisasi terbesar telah mengambil sikap akan zakat profesi, Muhammadiyah dengan 85 gram emas, dan NU 20 dinar emas.
Zakat profesi dikeluarkan pada saat diterima tanpa dikenakan haul, dan dari hasil bersih setelah dipotong pengeluaran kebutuhan pokok minimal. Apabila sisa dari kebutuhan pokok minimal itu mencapai nisab, maka dikeluarkan zakatnya 2,5%. Apabila kelebihan kebutuhan pokok minimal itu tidak mencapai nisab, maka tidak dikenai zakat. Tetapi alangkah baiknya perhitungan zakatnya itu diakumulasikan dalam setahun dikurangi kebutuhan pokok satu tahun, sehingga dimungkinkan tercapai jumlah nisabnya.
Sumber Bacaan:
Al-Qur'an dan Terjemahannya
Ahmad Rofiq. Fiqh Kontekstual: dari Normatif ke Pemaknaan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Syamsul Anwar. Studi Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: RM Book. 2007.
0 notes
ramlisemmawi-blog · 7 years
Text
ZAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN Bagian II
Oleh Ramli Semmawi Dalam sistem ekonomi Islam, zakat merupakan salah satu instrumen dalam kegiatan ekonomi. Zakat merupakan sarana yang sangat erat kaitannya dengan pemilikan. Pemilikan adalah soal yang sangat penting dilihat dari sudut pandang Islam, sebab, selain ia merupakan nilai dasar dari sistem ekonomi Islam, ia juga menyangkut hubungan manusia dengan benda atau harta kekayaan yang dimilikinya, mengenai (1) cara memperolehnya, (2) fungsi hak milik itu, dan (3) cara memanfaatkannya. Mengenai cara memanfaatkan harta yang diberikan Allah SWT., ajaran Islam memberikan pedoman dan wadah yang jelas, di antaranya melalui zakat. Zakat dalam hal ini sebagai sarana distribusi pendapatan dan pemerataan rezeki. Dan karenanya, ia merupakan nilai instrumental dalam sistem ekonomi Islam. Zakat juga merupakan sumber pendapatan pertama kali dalam dunia Islam. Hal ini dipraktikkan pada tahun kedua hijriah oleh Rasulullah saw, dikelola dan dicontohkan operasionalnya oleh Nabi saat itu. Pada masa Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, zakat tetap menjadi sumber utama pendapat negara, perintah untuk menunaikan zakat ini lebih keras lagi dipraktikkan dengan perintah memerangi orang-orang yang enggan menunaikan zakat tersebut—walaupun hal tersebut ditentang oleh Umar bin Khattab. Hal tersebut dilakukan oleh Abu Bakar dengan alasan bahwa apabila tidak ditegakkan hukum zakat ini, maka akan terjadi preseden buruk terhadap pemahaman Islam, dan Beliau sendirilah yang mengontrol pengelolaan dan pelaksanaan serta mengangkat beberapa petugas (amil zakat). Sehingga pemungutan dan penyaluran zakat berjalan dengan baik. Zakat hingga saat ini masih merupakan instrumen ekonomi Islam yang masih dilaksanakan walaupun tidak setegas apa yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar as-Shiddiq. Konteks Indonesia saat ini, zakat masih ditunaikan sebagai ketaatan agama semata, belum berimplikasi kepada zakat sebagai instrumen ekonomi Islam sepenuhnya. Padahal potensi zakat mal dengan jumlah penduduk muslim Indonesia demikian besar. Indonesia memang bukanlah negara Islam, tetapi falsafah negara Indonesia dengan pasal-pasal Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia memberi kemungkinan bagi penyelenggara negara untuk membantu pelaksanaan pemungutan zakat dan pendayagunaannya. Menurut Hazairin, makna “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” yang tercantum dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 antara lain adalah bahwa “Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syariat (norma hukum agama) itu memerlukan perantaraan kekuasaan negara. Sebab, syariat yang berasal dari agama yang dianut oleh warga negara Republik Indonesia itu adalah kebutuhan hidup pemeluknya. Lebih lanjut, Hazairin menjelaskan bahwa syariat Islam yang merupakan kebutuhan hidup para pemeluknya, dan merupakan norma abadi yang berasal dari Allah SWT., dapat dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, syariat yang mengandung hukum dunia, misalnya, hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum muamalah/ ekonomi—salah satunya adalah zakat, dan hukum pidana. Hukum-hukum ini memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya agar dapat berjalan dengan sempurna. Kedua, norma abadi yang memuat syariat yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti shalat dan puasa. Dan ketiga, syariat yang mengandung tuntunan hidup kerohanian (iman) dan kesusilaan (akhlak) yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya. Demikian penting zakat dalam Islam sehingga menjadi kewajiban bagi setiap umat Islam untuk melaksanakannya. Tujuannya, pertama mengangkat derajat fakir-miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup serta penderitaan; kedua, membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh para gharimin, ibnussabil dan mustahiq lainnya; ketiga, membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan umat manusia pada umumnya; keempat, menghilangkan sifat kikir dan atau loba pemilik harta; kelima, membersihkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin; keenam, menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin dalam suatu masyarakat; ketujuh, mengembangkan rasa tanggungjawab sosial pada diri seseorang, terutama pada mereka yang mempunyai harta; kedelapan, mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain yang ada padanya. Potensi besar zakat saat ini telah diberi perhatian oleh negara dengan diundangkannya UU No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dan dibentuknya Badan zakat Nasional yang merupakan lembaga non struktural bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri. Dan selanjutnya dibuat Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan zakat. Pada tanggal 31 Mei 2017 (tempo.co) merilis berita “Baznas sebut Potensi Zakat Rp 271 Triliun. Data pusat kajian strategis Baznas menunjukkan serapan zakat di Indonesia masih rendah. Pada 2016, tercatat zakat masuk Rp 5 triliun. Jumlah ini hanya persen dari potensi zakat di Indonesia sebesar 271 triliun. Sumber Bacaan: Ahmad Rafiq, Fiqih Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. Dompet Dhuafa. Optimalisasi Potensi Zakat Indonesia. 07 Februari 2016. Hazairin. Demokrasi Pancasila. 1983. Mohammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press. 1988. Republika. 17 Januari 2016. Tempo. 31 Mei 2017.
0 notes
ramlisemmawi-blog · 7 years
Text
ZAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Oleh Ramli Semmawi “Karun berkata, ‘sesungguhnya aku hanya diberikan harta itu karena ilmu yang ada padaku’....” (al-Qashash: 78) Ada anggapan bahwa harta benda seseorang terkumpul karena kepintaran mereka. Merekalah yang berhak atas hartanya dan bebas menggunakannya sesuai dengan kepentingannya. Sedikit pun tidak ada hak orang lain atas harta tersebut. Bila ia memberikan sedikit hartanya kepada orang miskin, hal itu didorong oleh kebaikan mereka semata. Menurut pandangan kelompok ini, bahwa masyarakat mempunyai kebebasan penuh untuk berusaha dan mendapatkan harta. Seiring dengan itu, masyarakat tidak bertanggungjawab terhadap nasib setiap orang yang lalai lagi malas. Ada pula kelompok yang berkeyakinan bahwa upaya menghapus kemiskinan dan mengentaskan kaum fakir tidak akan berhasil tanpa menghilangkan aghniya’ (orang-orang kaya) dan menyita harta mereka. Mereka menyarankan dipersatukannya berbagai kelompok masyarakat untuk melawan golongan kaya. Kelompok ini ingin menghapuskan hak milik pribadi yang dianggap sebagai sumber kezaliman dan malapetaka bagi masyarakat. Islam menolak kedua paham tersebut, menurut Islam, menyumbangkan sebagian harta adalah kebajikan yang akan segera diganjar oleh Allah SWT: “Maka aku katakan kepada mereka: ´Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12). Nabi saw bersabda: “Alangkah nikmatnya harta yang baik bagi orang yang saleh.” (HR. Ahmad dan at-Thabrani). Islam melihat bahwa kemiskinan sebagai bahaya yang menakutkan. Bahaya ini mengancam individu maupun masyarakat, akidah maupun iman, serta akhlak maupun moral. Ia juga membahayakan pemikiran, budaya, keluarga dan umat. “Kemiskinan dapat mengakibatkan kekafiran.” Bahkan Rasulullah saw pun berlindung kepada Allah dari kejahatan kemiskinan dan kekafiran. Sabda beliau: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran dan kemiskinan.” (HR. Abu Dawud). Islam memaklumatkan perang melawan kemiskinan demi keselamatan akidah, moral, dan akhlak umat manusia. Langkah ini diambil untuk melindungi keluarga dan masyarakat serta menjamin keharmonisan dan persaudaraan di antara anggotanya. Islam menghendaki setiap individu hidup di tengah masyarakat secara layak sebagai manusia. Sekurang-kurangnya, ia dapat memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang dan pangan, memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahliannya, atau membina rumah tangga dengan bekal yang cukup. Islam melihat bahwa bagi setiap orang harus tersedia tingkat kehidupan yang sesuai dengan kondisinya. Dengan demikian, ia mampu melaksanakan berbagai kewajiban yang dibebankan Allah dan berbagai tugas lainnya. Ia tidak akan menjadi gelandangan yang tidak memiliki apa-apa. Dalam masyarakat Islam, seseorang tidak boleh dibiarkan—walaupun ia ahlu dzimmah (non-muslim yang hidup dalam masyarakat Islam)—kelaparan, tanpa pakaian, hidup menggelandang, tidak memiliki tempat tinggal, atau kehilangan kesempatan membina keluarga. Faktor apa saja yang dapat menunjang kehidupan seperti ini dalam masyarakat Islam? Islam memberikan solusi mengentaskan kemiskinan melalui berbagai sarana, yaitu bekerja, Jaminan sanak famili yang berkelapangan, zakat, jaminan baitul mal dengan segala sumbernya, berbagai kewajiban di luar zakat, sedekah sukarela dan kemurahan hati individu dan wakaf sukarela. Tulisan ini akan menyorot potensi zakat sebagai solusi pengentasan kemiskinan. Islam menyuruh semua orang yang mampu bekerja dan berusaha untuk mencari rezeki dan menutupi kebutuhan diri dan keluarganya. Hal itu dilakukan dengan niat fi sabilillah. Zakat pertama-tama diberikan kepada orang-orang miskin dan kaum papa. Pada beberapa kesempatan Rasulullah saw menyebutkan bahwa mereka yang berhak menerima zakat hanyalah orang-orang miskin karena tujuan utamanya adalah menghapuskan kemiskinan. Ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, Rasulullah memerintahkannya untuk mengambil sebagian harta orang-orang kaya di negeri itu lalu memberikannya kepada kaum fakir di kalangan mereka juga. Zakat bukan merupakan sumber yang sepele dan kecil. Zakat dikeluarkan sepersepuluh atau seperduapuluh dari berbagai hasil pertanian, seperti biji-bijian, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Hal ini berdasarkan pendapat ulama yang diperkuat berdasarkan firman Allah SWT, “...dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu...” (al-Baqarah: 267) dan berdasarkan hadis Nabi saw, “Kalau diairi dengan air hujan, zakatnya sepersepuluh dan kalau diairi dengan menggunakan alat, zakatnya seperduapuluh.” (HR. Bukhari dan Muslim). Pada zaman sekarang, hasil pertanian dapat dianalogikan dengan gedung-gedung bertingkat, perusahaan, dan sebagainya, yang merupakan lahan-lahan sumber penghasilan dan mendatangkan pemasukan yang besar bagi sementara orang. Menurut jumhur ulama, qiyas (analogi) adalah salah satu dasar syariat yang diturunkan Allah dengan benar dan adil. Jangan membedakan dua hal yang serupa dan jangan pula menyamakan dua hal yang berbeda. Zakat juga dikeluarkan seperempat puluh dari uang dan kekayaan perdagangan. Diwajibkan bagi setiap muslim mengeluarkan dua setengah persen harta kekayaannya bila sudah sampai satu nisab, bebas utang, dan melebihi kebutuhan pokok. Kira-kira seukuran itu pula zakat kekayaan hewani yang bisa diperah dan menghasilkan keturunan seperti unta, sapi dan kambing bila telah sampai satu nisab. Ketentuan ini tetap berlaku walaupun sepanjang tahun ternak itu sepanjang tahun. Sementara itu, Imam Malik mewajibkan zakat hewan ternak walaupun pemiliknya mengikat hewan itu sepanjang tahun. Sementara sahabat dan ta’biin mewajibkan zakat kuda. Ini menurut mazhab Abu Hanifah. Adapun barang temuan—yang merupakan peninggalan masyarakat dahulu—zakatnya dikeluarkan seperlima. Para pakar dari kalangan fuqaha pun sepakat menetapkan zakat atas barang tambang. Namun demikian, mereka masih berselisih pendapat, apakah zakatnya diberikan kepada mereka yang berhak ataukah digunakan untuk kepentingan negara. Selain zakat di atas yang berhubungan dengan harta dan kekayaan. Di samping itu, ada zakat yang dibebankan kepada individu per kepala, bukan kepada harta, yaitu zakat fitrah. Zakat ini disyariatkan Islam bertepatan dengan penyempurnaan bulan ramadhan dan menyongsong lebaran Idul Fitri. Ibnu Abbas mengatakan, “Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang-orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan omongan kotor. Zakat fitrah juga merupakan makanan bagi orang-orang miskin.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan al-Hakim). Demikian pentingnya zakat sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan sehingga dalam tata hukum Indonesia juga dibuat regulasi berupa undang-undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Regulasi ini dibuat untuk mengatur pengelolaan zakat baik dari segi perencanaan, pelaksanaan maupun pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Walaupun demikian masih dibutuhkan regulasi tentang status hukum zakat dalam hukum nasional Indonesia. Tidak hanya menjadi kewajiban secara agama tetapi perlu ditingkatkan derajatnya menjadi hukum nasional Indonesia dengan sanksi hukum bagi yang tidak melaksanakannya. Sumber Bacaan: Abu Dawud. Sunan Abu Dawud Bukhari. Shahih Bukhari Kementerian Agama RI. Al-Qur'an dan Terjemahnya Republik Indonesia. Undang-undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Yusuf Qardhawi. Musykilah Al-Faqr wakaifa ‘Aalajaha al-Islam. Diterjemahkan Syafril Halim. “Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan.” Jakarta, Gema Insani Press. 1995.
0 notes
ramlisemmawi-blog · 7 years
Photo
Tumblr media
0 notes
ramlisemmawi-blog · 7 years
Text
JIHAD MELAWAN KEMISKINAN
oleh
Ramli Semmawi
 Tujuan disyariatkannya Islam adalah kemerdekaan dalam berkeyakinan, dan falah (kesejahteraan) dalam kehidupan. Di Indonesia, Hal ini terjabarkan dalam sila Pancasila, kebebasan berkeyakinan pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Falah terjabarkan dalam sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia adalah satu negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia adalah Indonesia. Umat Islam di Indonesia mencapai 80% lebih dari 200 jutaan lebih penduduk Indonesia. Merujuk data Badan Pusat Statistika (BPS), jumlah masyarakat miskin berdasarkan provinsi secara keseluruhan sebanyak 27,77 juta (Maret 2017).[1] Gambaran kemiskinan ini didasarkan pada kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.[2] Kemiskinan dan kesenjangan adalah masalah mendasar yang dihadapi setiap negara bangsa, yang didominasi negara-negara berkembang. Kemiskinan dan kesenjangan juga telah lama menjadi dasar kajian para pengambil kebijakan dan akademisi dan dampak negatifnya terhadap kehidupan bermasyarakat. Aristoteles mengatakan bahwa, poverty is the parent of crime. Kemiskinan menjadi muara munculnya masalah-masalah lainya seperti konflik sosial, rendahnya kualitas hidup seperti tingkat kesehatan dan pendidikan. Bahkan kesenjangan ini melahirkan radikalisme dan terorisme. Kemiskinan merupakan dampak dari tiadanya akses pada sumber-sumber ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan, yang mengakibatkan susahnya mengakses sumber kehidupan. Muhammad Yunus (2007: 274) menjelaskan bahwa kemiskinan tercipta karena kita membangun kerangka teoretis berdasarkan asumsi-asumsi yang merendahkan kapasitas manusia, dengan merancang konsep-konsep yang terlampau sempit, seperti konsep bisnis, kelayakan kredit, kewirausahaan, lapangan kerja atau mengembangkan lembaga-lembaga yang belum matang—seperti lembaga-lembaga keuangan yang tidak mengikutsertakan kaum miskin. Kemiskinan disebabkan oleh kegagalan pada tataran konseptual, bukan kurangnya kapabilitas di pihak rakyat. Mengamini pendapat Yunus di atas, bahwa konsep lembaga keuangan hari ini belum memberi ruang kepada orang-orang miskin untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengakses lembaga keuangan di negeri ini. Hal ini terjadi karena adanya syarat yang tidak bisa dipenuhi oleh orang-orang miskin, salah satunya adalah Jaminan. Islam sendiri dalam (QS Al-Baqarah: 177) menjelaskan bahwa: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” Berdasarkan ayat tersebut, Islam menegaskan bahwa salah satu ciri orang taqwa itu adalah kesediaan menolong orang-orang miskin (yang memerlukan pertolongan) dengan menunaikan zakat. Zakat merupakan salah satu solusi Islam dalam memerangi kemiskinan. Solusi yang lain adalah wakaf. Zakat dalam Islam ada dua macam yakni zakat fitrah (diri) dan zakat mal (harta). Dalam konteks Indonesia, regulasi zakat masih belum memberikan solusi maksimal terhadap pengentasan kemiskinan. Hal ini disebabkan karena belum diolahnya secara maksimal zakat sebagai sumber ekonomi yang mampu mengentaskan kemiskinan.
[1] Berita Resmi Statistik No. 66/07/Th. XX, 17 Juli 2017. hlm. 2
[2] Berita ... hlm. 6
0 notes