I'm not a person who easy to get along, but I want to be able to make them all smile and laugh
Don't wanna be here? Send us removal request.
Quote
Jangan bicara sebelum kau bermain dengan mereka
Kuroko Tetsuya
0 notes
Quote
Mencoba tetap berdiri saat terabaikan itu rasanya sakit
Kuroko Tetsuya
0 notes
Quote
Bila kau jatuh cinta, maka tidak akan bisa dihentikan
Mizushima Tsubaki, My Boss My Hero
0 notes
Quote
Jangan sampai membuat kesalahan 5 menit, tapi penyesalannya seumur hidup
0 notes
Photo

made more patches !
PRAY FOR MY ENEMIES
$8.50
49K notes
·
View notes
Quote
Tapi kalau aku harus mengulang hidupku lagi, aku akan tetap pilih kamu
Ainun, "Habibie & Ainun"
0 notes
Quote
Kalau bukan aku siapa lagi Kalau tidak sekarang kapan lagi
Bu Ninik,Guru Biologi SMA 3 Madiun
0 notes
Photo

Quotes about different of boys and girls
0 notes
Quote
Bersiap-siap saja melalui jalan-jalan yang penuh dengan cerita
1 note
·
View note
Quote
Sebuah kata dan suatu perbuatan bisa sangat melukai seseorang
Lily, Code:Breaker
0 notes
Text
すべての運命 [Destiny of Everything]
Hujan deras mengguyur tiba-tiba. Arisa, Kentaro, Hitsu, Arihyoshi, Akihisa, dan Haruhiko yang baru pulang sekolah terpaksa mencari tempat untuk berteduh. Mereka berbelok dan memasuki suatu mall yang katanya paling sepi pengunjung diantara dua mall lainnya di kota kecil yang mereka tempati. Mereka memarkir empat motor mereka (Kentaro dengan Arisa, Arihyoshi dengan Akihisa, sedangkan Hitsu mengendarai motor Arihyoshi dan Haruhiko memarkir motornya sendiri). Setelah itu mereka keluar dari tempat parkir bawah tanah dan duduk di tangga jalan masuk di mall tersebut.
Kazuya Arisa yang satu-satunya perempuan terpaksa duduk diantara teman-temannya yang lain. Mau bagaimana lagi, dia memang lebih senang bergaul dengan teman-teman prianya. Apalagi dia minta pada Kentaro, temannya sejak SD, untuk mengantarnya pulang. Saionji Kentaro yang paling manja diantara yang lain duduk di anak tangga paling atas untuk menghindari percikan air hujan. Arato Haruhiko yang tidak serius sejak tadi menjahili Akihisa yang memang paling asyik dan paling sering dijahili. Karena, menurut teman-teman sekelasnya, sifat Abukara Akihisa tidak jantan, seperti perempuan. Sedangkan Hasegawa Hitsu dan Amori Arihyoshi yang konyol sedang mengobrol tentang game kesukaan mereka. Tapi, meski begitu, diantara yang lainnya, Hitsu paling suka olahraga dan Arihyoshi yang paling sering bergantung, menurut kemanapun teman-temannya.
“Hujannya deras. Padahal sudah sore,” kata Kentaro.
“Kita terlalu lama main di sekolah. Padahal tahu kalau sekarang sering hujan kalau sore,”sahut Akihisa. “Haru, apa yang kau lakukan dengan ponselku?!”
Haruhiko tertawa. “Rie baru saja mengirim pesan untukmu, tapi aku yang membalasnya duluan,” ucapnya.
“Sialan kau!” umpat Akihisa sambil merebut ponselnya.
“Mana Arisa?” tanya Haruhiko.
“Sedang mengangkat telepon,” sahut Hitsu sambil menunjuk Arisa yang berdiri di samping pintu masuk sambil menempelkan ponsel di telinganya. Bersamaan dengan itu, terlihat Arisa baru saja mengakhiri obrolannya di telepon.
“Hujannya masih deras dan kelihatannya akan lama. Bagaimana kalau masuk saja?” usul Arihyoshi.
“Kemana?” tanya Arisa.
“Bagaimana kalau kita coba ke lantai empat, di foodcourtnya?” sela Akihisa. Tanpa ada jawaban, mereka berenam menuju eskalator.
“Kau bawa laptop?” tanya Haruhiko pada Arisa bersamaan dengan tibanya mereka di lantai empat. “Aku pinjam.”
“Aku bawa.”
Tidak sulit bagi mereka untuk mencari tempat kosong, karena semua meja di sana kosong. Beberapa counter di sana tutup dan terlihat beberapa karyawan yang tidak banyak di beberapa counter makanan yang buka. Di dekat eskalator, terdapat panggung yang tidak terlalu tinggi dengan background bergambar siluet berbentuk manusia.
“Di sini sangat sepi,” komentar Akihisa.
“Dan... agak gelap, tidak, remang-remang,” tambah Kentaro.
“Semoga disini ada koneksi internet,” sela Haruhiko.
Sementara Arisa, Hitsu, dan Arihyoshi masih memandang ke seluruh sudut pandang di lantai empat tersebut. Agak ke belakang ruangan, terlihat papan bertuliskan “BIOSKOP” dengan tanda panah menunjuk jalan menuju suatu koridor ke lantai teratas.
“Aku tidak pernah tahu jadwal film yang akan diputar di bioskopnya,” ujar Hitsu. Lalu bergabung bersama ketiga temannya yang sudah memilih tempat duduk bersamaan dengan Arihyoshi.
Namun, Arisa hanya melirik sekilas dimana meja yang ditempati teman-temannya. Kemudian, matanya kembali memandang papan bertuliskan “BIOSKOP” dan koridor yang ditunjuk gambar anak panah. Beberapa detik kemudian, ia ikut bergabung bersama kelima teman-temannnya.
“Aku haus,” keluh Kentaro.
“Di sini banyak yang jual minuman, kan?” sahut Arihyoshi.
“Tidak mau, ah, mahal,” balas Kentaro lirih. “Arisa, kita coba ke atas, yuk!”
“Memangnya ada?”
“Ada, kok.”
Arisa dan Kentaro pun meninggalkan tas dan jaket mereka, kemudian menuju lorong menuju lantai teratas, di tempat bioskop. Sampai di ujung lorong, di sebelah kanan mereka terdapat tangga menuju ke bawah, tetapi jalan itu ditutup dengan tiga papan tebal yang dirantai. Tinggi papan itu kira-kira sama dengan dada mereka berdua. Di sebelah jalan yang ditutup itu terdapat pula anak tangga yang menuju ke atas. Sedangkan di sebelah kiri terlihat pemandangan kota dari dua jendela besar yang berdempetan. Kentaro pun berjalan mendahului Arisa menuju ke atas.
“Tangga ini pasti tidak pernah dibersihkan,” keluh Arisa, jijik melihat banyak helai rambut di atas tangga beralaskan karpet berwarna merah tersebut. Kemudian ia melongok ke samping pegangan tangga tersebut, dan terlihat jalan tangga yang memutar, menurun. Lebih melewati papan berantai tadi, jalur terlihat lebih gelap. Dilihat dari putaran tangga, ada tiga lantai dibawahnya.
Menginjak anak tangga terakhir, Kentaro melihat di sebelah kanannya terdapat ruangan yang luas dan beberapa orang didalamnya. Karena mereka membawa berbagai alat musik seperti gitar, drum, seruling, dan sebagainya, Kentaro berpikir mungkin mereka sedang belajar musik. Ia langsung segera berbelok ke kiri karena orang-orang itu mulai memandanginya dan Arisa. Setelah melewati lorong pendek, di sebelah kirinya terdapat kamar mandi laki-laki serta perempuan, di depannya aula luas dengan loket karcis untuk bioskop di seberangnya, sementara di sebelah kanannya terdapat ruang kosong yang ditutup dengan terali.
Karena merasa terlalu haus, Kentaro tidak terlalu memerdulikannya dan melewati jalan luas diantara ruang kosong tersebut dan loket karcis, dan Arisa hanya mengikutinya. Di depannya jalan buntu dan terdapat satu tangga entah menuju ke atas atau ke bawah karena mereka melihat dari belakang. Tidak ada yang berniat menghampirinya karena disana terlihat gelap. Selain itu, mereka juga sudah menemukan sebuah toko kecil di samping kanan, agak maju dari ruang kosong berterali tadi. Namun, di ruang seluas itu mereka tidak menemui seseorang pun.
“Terlalu sepi...” gumam Arisa.
“Benar. Tidak ada seorangpun. Disini ada kulkas penuh dengan minuman serta etalase penuh dengan makanan ringan. Tapi kenapa tidak ada orang sama sekali!” seru Kentaro kesal.
“Bagaimana, dong?”
“Menyebalkan!” umpat Kentaro. “Bagaimana kalau coba kita tunggu sebentar.”
“Baiklah.”
Sementara Kentaro duduk di kursi panjang yang ada di sana, Arisa memeriksa di depan loket. Disitu terdapat kertas yang dibentuk segitiga agar bisa berdiri bertuliskan “TIKET PUKUL 17.15”. Lalu Arisa mendongak melihat jam dinding di atas loket. Jam menunjukkan pukul 16.25. Lalu ia menghampiri Kentaro yang asyik dengan ponselnya.
“Di loket tertulis “TIKET PUKUL 17.15”. Mungkin sekarang sedang jam istirahat dan para karyawan baru akan kembali pukul 17.15,” terang Arisa.
“Lama, dong!” balas Kentaro. “Kita tidak mungkin menunggu sampai pukul 17.15.”
“Kentaro, Arisa!”
Mendengar suara yang dikenal, Kentaro dan Arisa spontan menoleh. Terlihat Hitsu sedang berjalan menghampiri mereka.
“Bagaimana? Kalian sudah menemukan minuman?”
“Minumannya sudah. Tapi tidak bisa beli karena tidak ada orang sama sekali,” jawab Arisa.
Kemudian Hitsu menghampiri toko kecil yang ditunjuk Kentaro. Sejenak setelah mengamati, ia berjalan ke sebuah pintu bertuliskan “STUDIO 2” di sebelah toko itu, yang sejak tadi tidak diperhatikan Arisa maupun Kentaro.
“Sedang ada jadwal film tidak?” tanya Hitsu sambil memegang gagang pintu.
Arisa dan Kentaro mengangkat bahu.
Hitsu menarik gagang tersebut, namun pintu sepertinya terkunci. Kemudian ia meninggalkan pintu tersebut, berkeliling ruangan, melewati loket, dan berhenti di depan tiga jendela besar yang berdempetan di sebelah kanan, lebih tepatnya tegak lurus, dari loket tadi. Ia mencoba menggeser-geser kaca jendela, dan jendela yang paling kiri yang terbuka. Dari situ, ia bisa melihat kota dari atas yang diguyur hujan.
Kentaro serta Arisa menyusul Hitsu. Terasa angin dingin disertai percikan air hujan menampar wajah mereka. Kentaro pun ikut melongokkan kepalanya seperti Hitsu.
“Wow, pemandangan yang bagus.”
“Aku ingin lihat,” karena jendela itu agak tinggi, Arisa yang paling pendek jadi merasa kesulitan. Agar bisa melihat ke luar jendela, ia harus bersusah payah berjinjit. Dan akhirnya ia berhasil melihat ke luar jendela. “Kau benar, guyuran hujannya begitu dingin.”
Beberapa menit kemudian, Arisa menarik kepalanya dan mundur beberapa langkah dari jendela karena lelah terus berjinjit. Kemudian Kentaro diikuti Hitsu juga menarik kepala mereka dari jendela, dan Hitsu menggeser kembali kaca yang terbuka tadi. Lalu, mereka bertiga kembali mengitari ruangan yang sepi untuk mencari tanda-tanda ada orang selain dari beberapa orang yang belajar musik tadi. Karena penasaran, Arisa pun berhenti di ruang kosong yang ditutup dengan terali disana. Terlihat gelap di dalamnya.
“Kira-kira ini dulu bekas, ya?” tanya Kentaro tiba-tiba dari belakang Arisa.
“Restoran atau kafe mungkin. Lihat, di pojok sana ada meja dan di dinding atasnya seperti bekas pajangan,” jawab Arisa.
Arisa, Kentaro, maupun Hitsu terdiam memandang kegelapan di dalam sana.
Tiba-tiba Arisa merasa merinding. “Dengar!” serunya lirih.
Hitsu dan Kentaro menajamkan pendengaran dalam keheranan. Namun, beberapa detik kemudian terdengar Kentaro bersendawa.
“Sialan kau! Jangan bersendawa di telingaku!” ujar Hitsu sambil menjitak Kentaro Sementara Kentaro hanya tertawa.
“Ssst!!” bentak Arisa. Hitsu dan Kentaro kembali terdiam.
Beberapa detik kemudian, Kentaro dan Hitsu ikut merinding. Terdengar suara, seperti raungan, yang mengerikan. Suara itu mulanya terdengar samar. Untuk menajamkan pendengaran, ketiganya menunduk. Namun, makin lama makin terdengar jelas. Seketika, jantung ketiganya berdegup kencang. Dan spontan, ketiganya mendongakkan kepala.
Dalam kegelapan di depan mereka, terdengar suara lagi selain raungan, suara orang terseok-seok. Karena penasaran, Arisa, Kentaro, dan Hitsu menunggu. Beberapa detik kemudian, sesosok bayangan hitam mulai terlihat. Arisa, Kentaro, dan Hitsu bergidik ngeri dan mundur beberapa langkah. Lama kelamaan, bayangan hitam itu mulai terlihat bentuknya. Dia berjalan dengan kedua tangannya, tidak dengan kaki. Karena dari paha sampai ke bawah tidak terlihat kedua kakinya, bagian bawahnya hanya sampai paha dan terlihat bergerigi seperti bekas sobekan. Sosok itu semakin dekat dan dekat menuju ke terali. Kemudian mulutnya terbuka lebar dan ia menggeram keras. Spontan, ketiga anak itu tidak bisa lagi menahan ketakutan dan keringat dingin mereka bercucuran.
“AAAA...!” Ketiganya serentak menjerit dan berlari ke arah jalan kecil di sebelah kanan yang ujungnya adalah aula luas tempat beberapa orang bermain musik. Ketiganya tidak menghiraukan dan terus berlari menuruni tangga, bergabung dengan Arihyoshi, Akihisa, dan Haruhiko yang masih asyik dengan laptop Arisa. Akihisa yang pertama kali melihat mereka langsung terkejut melihat ketiga temannya berkeringat dingin.
“Kenapa kalian?” tanya Akihisa panik. Arihyoshi dan Haruhiko bebarengan menoleh melihat Arisa, Kentaro, serta Hitsu.
Arisa, Kentaro, maupun Hitsu masih belum ada yang menjawab. Nafas mereka masih memburu dan kaki mereka gemetar.
“Hei, ada apa?” tanya Arihyoshi. Ia dan Akihisa berdiri menghampiri ketiga temannya yang masih berdiri mencoba mengatur nafas dan menenangkan diri.
“Aki... Aki...” ucap Kentaro masih ngos-ngosan. “Sebaiknya kita buruan...”
“Buruan pergi dari sini...” Arisa memotong ucapan Kentaro karena tidak sabar.
“Memangnya ada apa?” tanya Haruhiko masih heran.
“Ada penampakan mengerikan di atas...” kali ini Hitsu yang menjawab. “Kedua kakinya putus...”
“Yang benar?!” Akihisa yang paling benci horor langsung menyela.
Arisa masih diam saja, belum ingin menjawab lagi. Namun ia menoleh (kebiasaannya suka memantau) dan pandangannya berhenti di paling belakang ruangan, tepatnya di belakang sebuah counter minuman. Disitu bukan tembok, melainkan kaca. Namun kaca tersebut berwarna hitam, jadi Arisa tidak bisa melihat apa yang ada di dalam sana, namun ia yakin yang di dalam sana bisa melihatnya. Arisa pun bertanya pada Akihisa.
“Apa yang ada di dalam sana?” tanya Arisa.
“Tadi aku melihat samar-samar, beberapa karyawan berseragam putih berseliweran di dalam sana,” jawab Akihisa.
Selang beberapa detik Arisa bergeming, memandang kaca itu. Lalu ia menoleh, memandangi teman-temannya satu per satu.
“Tapi beberapa detik aku tak melihat siapa-siapa disana.”
Spontan lima anak yang lainnya melihat dinding kaca yang dilihat Arisa tadi.
“Bukannya tadi disana itu ruang billiard?” tanya Hitsu.
Namun, perkataan Arisa benar, tidak ada lagi yang berseliweran disana. Dan langsung saja, keenam anak itu merinding.
“Ayo!” ajak Akihisa tidak tahan sambil mengambil tas yang tadi diletakkannya di kursi dan menuju eskalator.
Semua masih sejenak memandang dinding kaca tadi sebelum mengikuti Akihisa. Tapi tiba-tiba, kelima anak itu mendengar Akihisa menjerit.
“ASTAGA...!!” Akihisa langsung berbalik dan melihat teman-temannya menghampirinya dengan terheran-heran.
“Kenapa, Aki?” tanya Arihyoshi. Dan ia ikut melihat arah yang dilihat Akihisa tadi saat akan turun melewati eskalator.
DEG... Jantungnya berdegup kencang seketika. Empat anak lainnya yang baru menyusul, merasakan hal yang sama dengan Arihyoshi. Kaki mereka gemetar dan mata mereka melebar melihat kegelapan pekat di depan mereka. Eskalator di depan mereka memang bergerak menurun ke lantai bawah, tapi hanya kegelapan yang ada disana. Mereka berenam tidak bisa melihat apapun di depan maupun di bawah mereka.
“Mustahil...” gumam Kentaro.
“Jadi... kita turun tidak, nih?” tanya Haruhiko.
Semuanya diam.
Tiba-tiba, dari sisi kanan mereka (eskalator turun ada di sebelah kanan sedangkan eskalator naik di sebelah kiri, dan diantara kedua eskalator dipisahkan oleh panggung mini), tepat di jalan kecil diantara pagar besi dan kegelapan (sebelumnya adalah tempat untuk lesehan), terdengar suara orang terseok-seok. Arisa, Kentaro, dan Hitsu yang sudah pernah mengalami hal yang mengerikan beberapa menit lalu, mundur beberapa langkah ke belakang.
Semakin lama, suara itu makin dekat, dan Arisa, Kentaro, serta Hitsu juga semakin mundur ke belakang. Arisa yang paling belakang, tiba-tiba menabrak kursi di belakangnya. Spontan ia pun menoleh untuk melihat jalan di belakangnya, dan tanpa sengaja, matanya menangkap pemandangan mengerikan yang kedua kalinya ia lihat. Di dinding kaca di sisi belakang lantai empat, yang mulanya ia pikir itu kosong, sekarang banyak sosok putih yang meraung-raung dan seperti mencakar-cakar kaca itu. Jumlahnya tak terhitung, sepanjang dinding itu dipenuhi sosok putih tersebut.
Ia ingin berteriak, tapi lidahnya kelu dan bibirnya gemetar. Tangan Arisa menggapai-gapai entah kemana, sementara kepalanya masih terpaku menatap bagian belakang. Lalu ia menoleh dan berhasil menepuk bahu Kentaro dan Hitsu. Keduanya sedikit terkejut dan menoleh memandang Arisa yang pucat. Mereka merasakan hal yang sama seperti ketika Arisa juga baru melihat pemandangan di kaca tersebut. Dan ketiganya sama-sama tak mampu untuk berteriak dan memberitahu yang lainnya.
Suara terseok-seok dari sisi sebelah kanan eskalator (menuju ke bawah) semakin keras terdengar. Arisa, Kentaro, dan Hitsu kembali pada pemandangan disana. Terlihat Arihyoshi, Akihisa, dan Haruhiko masih berdiri tertegun beberapa langkah di dekat kegelapan dan eskalator. Keringat dingin semakin deras mengucur hingga suara yang sejak tadi membuat mereka penasaran mulai terpecahkan.
Baik Arisa, Kentaro, Hitsu, Arihyoshi, Akihisa, maupun Haruhiko sama-sama melebarkan mata. Seorang karyawati berseragam kemeja putih lengan panjang dan celana hitam panjang berjalan terseok-seok sambil memegangi terali besi yang dipasang seperti pagar keluar dari kegelapan. Tangan kirinya berpegangan sementara tangan kanannya putus, dan darah segar menetes tanpa henti. Pakaian maupun celananya sobek-sobek. Kaki kirinya terkoyak seperti habis digerogoti binatang, sedangkan kaki kanannya sobek di pergelangan kaki dan nyaris putus. Sementara wajahnya terlihat penuh sayatan. Tak diragukan lagi, keenamnya pun menjerit.
Arisa dan Akihisa yang tak tahan melihat banyak darah langsung berbalik dan berlari menjauhi kegelapan menuju bagian belakang ruangan, disusul empat anak lainnya. Akihisa yang baru tahu pemandangan mengerikan di dinding kaca belakang (Arihyoshi dan Haruhiko juga baru tahu) tanpa pikir panjang langsung berbelok menuju ruang bioskop di lantai teratas sambil berteriak. Arisa, Kentaro, dan Hitsu sebenarnya segan untuk naik ke atas sana setelah teringat penampakan pertama yang mereka lihat, namun tak ada pilihan lain, dalam ketakutan, mereka lebih memilih bersama.
Sesampainya di anak tangga terakhir, Hitsu teringat ruang musik di sebelah kanan. Ia menoleh, namun tidak ada siapa-siapa disana. Sebersit bayangan muncul di pikiran Hitsu, bagaimana kalau ternyata orang-orang yang sebelumnya ada disana semuanya adalah hantu? Tangannya langsung gemetar dan berlari mengikuti Akihisa dan yang lain menuju ke loket karcis. Karena terlalu lelah, mereka berenam berhenti di tengah-tengah ruangan, diantara loket dan ruang kosong berterali (dimana Arisa, Kentaro, dan Hitsu melihat penampakan pertama).
Mereka berenam membungkuk sambil mengatur nafas. Jantung Arisa berdebar kencang dan tak berani menoleh ke ruang kosong berterali disana. Pandangan Kentaro lurus ke bawah dan melihat tetesan keringatnya. Tangan Haruhiko yang membawa laptop Arisa pertama kalinya gemetar. Akihisa nyaris pingsan. Hitsu merasakan angin dingin dari jendela kaca besar yang pernah dibukanya. Dan Arihyoshi yang sadar pertama kali diantara lima anak lainnya, mereka kembali berdiri di antara kegelapan.
Enam anak itu berdiri membentuk lingkaran membelakangi kegelapan. Mereka memandangi satu sama lain. Sama-sama gemetar, sama-sama berkeringat dingin, sama-sama berdebar kencang.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Akihisa gemetar.
“Kita seolah-olah... tidak bisa kemena-mana,” jawab Arihyoshi.
“Kita ada di dalam kegelapan,” tambah Haruhiko.
“Aku tidak menyangka ini bisa terjadi,” lanjut Kentaro.
Arisa dan Hitsu hanya diam memandang jendela kaca yang terbuka.
“Apa kalian pikir kita bisa lewat sana?” sela Haruhiko.
Arisa menoleh. “Entahlah Haru, aku sendiri tidak terlalu yakin. Ruang di antara jendela itu dan kita adalah kegelapan. Dan itu membuatku tidak bisa berpikir jernih.”
“Tapi aneh,” sahut Hitsu. “Diantara kita memang kegelapan, tapi di luar jendela itu terlihat langit... yang hitam putih...”
Sejenak enam anak itu terdiam.
“Jarak yang bisa kita lihat disekeliling kita tidak sampai satu meter,” ucap Akihisa memecah kesunyian, ia merinding sambil tetap memandang sekililingnya.
Tiba-tiba, enam anak itu merasakan sesuatu. Kegelapan sedikit demi sedikit menghilang, loket karcis mulai terlihat, begitu juga dengan ruang berterali. Namun, keduanya berwarna hitam putih. Begitu juga lantai dan langit-langitnya. Dan kegelapan masih ada di ruang sebelah kiri dari loket (tempat dimana Arisa dan Kentaro menemukan toko kecil serta Hitsu yang juga menemukan pintu bertuliskan “STUDIO 2”).
“Apa ini?” gumam Arihyoshi, suaranya menggema.
Namun, mereka kembali terdiam karena mendengar suara asing lagi. Suara itu seperti merambat di dinding, lantai, maupun langit-langit. Tidak ada yang mau bergerak, sebelum semua itu terlihat.
“Mengerikan,” meski Arisa hanya berbisik, tapi suaranya terdengar jelas.
Beberapa detik kemudian, sesuatu yang merambat itu mulai terlihat. Sesuatu itu ditumbuhi daun di beberapa bagiannya.
“Apa itu akar tanaman?” Arisa kembali berbisik. “Raksasa...”
Tapi tetap saja belum ada yang mau bergerak. Semua kaki mereka terlalu lemas untuk berlari.
“Kemana kita akan berlari?” tanya Akihisa juga berbisik.
Karena semua terlalu gemetar dan terlambat untuk berlari, mereka tidak menyadari gerakan akar tanaman raksasa itu semakin cepat di sekeliling mereka. Dan tidak ada yang sadar bahwa akar itu telah melilit kaki Haruhiko.
“Uwaaa...!!” Haruhiko berteriak dan menjatuhkan laptop Arisa yang dibawanya ketika lilitan di kakinya mengangkatnya hingga kakinya menyentuh langit-langit, sementara posisi kepalanya di bawah.
“Haru...!!” teriak lima anak lainnya.
Akihisa yang tepat dibawah Haruhiko bergerak secara refleks mengambil laptop Arisa di dekat kakinya dan mencoba melemparnya ke arah akar tanaman yang melilit Haruhiko dengan harapan bisa membantu melepaskannya. Ia melemparnya sekuat tenaga. Namun akar raksasa itu menghindar dengan gesit hingga membentur langit-langit hingga membuatnya hancur. Runtuhan langit-langit yang bisa dibilang cukup parah jatuh tepat di atas Akihisa dan Arihyoshi yng disebelahnya. Arisa yang disebelah Akihisa berhasil ditarik oleh Hitsu yang disebelahnya.
“Aki!! Ari...”
BUMM...
Suara teriakan Arisa tenggelam dalam suara runtuhan. Terlihat langit-langit atasnya berlubang. Dan langit disana berwarna hitam putih.
“Tidak...!! Aki!! Arihyoshi!!” raung Arisa.
“Hitsu!!” dalam sekejap Arisa, Kentaro, dan Hitsu langsung menoleh ke arah Haruhiko yang masih bergelantungan. Di pangkal akar raksasa yang melilit Haruhiko mulai terlihat sebuah bunga raksasa keluar dari kegelapan disana.
“Haru...!!” kali ini Kentaro berteriak.
Kemudian bunga raksasa berwarna ungu itu kembali masuk ke dalam kegelapan dan menarik Haruhiko bersamanya.
“Haru!!” Hitsu berteriak dan berlari ke arah Haruhiko. Namun ia terlambat dan berhenti tepat di depan kegelapan bersamaan ketika Haruhiko hilang ditelan kegelapan bersama teriakan terakhirnya. Kemudian yang didengar Hitsu adalah derap kaki Arisa dan Kentaro.
“Kenapa ini harus terjadi,” ucap Kentaro.
“...gi...”
“Apa?” tanya Kentaro yang samar mendengar suara Hitsu.
“Pergi... Lari...!!”
“Kemana?!” tanpa menjawab pertanyaan Arisa, Hitsu berlari mendahului Arisa dan Kentaro. Lalu keduanya ikut menyusul. Perasaan Arisa dan Kentaro langsung sangat tidak enak ketika melihat Hitsu yang di depan mereka berlari di dekat ruang kosong berterali.
“Hitsu!”
“Tunggu!”
Bersamaan dengan seruan Arisa dan Kentaro, sesosok berbentuk tangan berwarna hitam seperti bayangan keluar diantara sela-sela terali dan berhasil mencengkeram lengan kiri Hitsu. Hitsu mengibaskan tangan kanannya dengan spontan menghalau tangan yang mencengkeramnya, namun tangannya tembus. Kemudian semakin banyak tangan bayangan yang keluar, mencengkeram seluruh tubuh Hitsu, dan menghentikan gerakan Hitsu. Di sela-sela raungannya, Arisa dan Kentaro melihat jari-jari tangannya mengisyaratkan agar mereka berdua segera pergi.
Arisa tercekat. Kemudian ia menoleh ke arah reruntuhan yang mengubur Akihisa dan Arihyoshi, lalu ke arah kegelapan dimana hilangnya Haruhiko. Setelah itu Kentaro menarik tangan kanannya dan mengajaknya berlari meninggalkan tempat itu. Mereka berdua berlari ke lorong ke arah lantai dibawahnya. Ruang musik yang ada di ujung lorong itu dipenuhi sosok-sosok makhluk halus yang meraung-raung. Sambil berteriak, mereka berdua terus berlari dan berbelok ke kanan, lalu menuruni tangga.
Di tengah jalan mereka berhenti. Mengatur nafas mereka yang ngos-ngosan.
“Hhh... Hhh... Kemana kita?” tanya Kentaro.
Arisa masih diam. Lalu ia memandang ke arah bawah, dimana tangga menurun itu berujung. Namun, di bawah sana yang terlihat hanya kegelapan.
“Ayo!” ucap Kentaro, tahu maksud Arisa. “Kita singkirkan papan-papan dan rantai itu. Pasti mudah karena itu bukan terbuat dari besi.”
“Tapi, hanya kegelapan di bawah sana,” sanggah Arisa.
“Daripada kita harus kembali ke foodcourt dimana kita bertemu zombie karyawati tadi?!”
Arisa terdiam. Dalam hati ia membenarkan ucapan Kentaro. Kemudian ia mengangguk, dan ikut berlari bersama Kentaro. Kentaro menendang dan menyingkirkan tiga papan dan rantai yang menghubungkannya karena mengganggu. Kemudian mereka terus berlari menuruni tangga menembus kegelapan.
Namun keduanya tidak pernah menemukan akhir tangga itu dalam kegelapan.
# # #
1 note
·
View note
Quote
Mereka tenggelam dalam kebahagiaan selama hidup dalam kedamaian
Hitomi, Code;Breaker
0 notes
Quote
Where you step, there you create the future
overheard
1 note
·
View note