Rosalynism's Commission Archive (OPEN Commission on Twitter/X)
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
The Life is Yours
Commission for @ quiescentmoi on Twitter/X
Jevano pernah bermimpi buruk sebelumnya—memang, semua manusia tentunya pernah bermimpi buruk. Sebuah mimpi yang berasal dari kejadian nyata di masa lalu, ketika dia melihat sang terkasih jatuh tersungkur di atas aspal yang kasar, sementara sirine dari ambulans berdengung penuh pada indera pendengarannya. Suara orang-orang berkumandang ramai di sebelahnya, ada yang bertanya mengenai status antara dirinya dengan sang gadis, kemudian membantu menenangkan jantung Jevano yang rasanya telah jatuh dari tempat yang seharusnya.
Pemuda itu memang mengaku nyata adanya; dia lupa menjemput Anna, pacarnya, karena ingatannya pada saat itu tidak bisa dia ajak kompromi. Sehingga gadis ceroboh itu memutuskan untuk pulang sendiri karena telah kepalang sebal terlalu lama menunggu. Dan poin penting yang paling membuat Jevano semakin menyesali kecerobohannya barang sekali itu saja adalah satu: Anna sedang sakit.
Seperti ketika pagi ini dia bersiap menuju kampusnya untuk bertemu dengan dosen pembimbing, dia harus membuka mata dengan panik sementara keringat dingin mengucur dari tubuhnya. Napasnya terputus-putus, dan dengan helaan napas panjang dia mengusak poninya ke atas, “Kejadian itu tidak boleh terulang lagi.”
Atau kalau itu memang terjadi, mungkin Jevano benar-benar tidak akan bisa lagi memaafkan dirinya kali ini.
. . .
Pagi itu, matahari menyingsing terang di atas langit.
Jevano sudah bersiap dengan ransel yang tersampir di pundak, sementara tangannya telah menggenggam kunci motor besar yang selalu dia rawat seperti anak sendiri itu. Kemudian, dia menatap jam yang menempel pada paku di dinding sebelum mendengar suara notifikasi dari ponselnya.
—“Bby, aku sudah siap.” Pesan dari Anna, pacar cantik dan lugunya yang menggemaskan itu.
Ketika Jevano memikirkan Anna yang biasanya dengan Anna yang menjadi korban kecelakaan beberapa waktu lalu, pemuda itu mengeratkan genggamannya pada ponsel, lalu menatap garang pada udara yang tidak bersalah di sekitarnya. “Aku pasti tidak akan mengulanginya.” Dan seharusnya memang seperti itu.
Rasanya, kalau diingat-ingat lagi, sudah cukup lama waktu Jevano pertama kali bertemu dan mengenal Anna. Gadis itu, sejak pertama kali mereka berjumpa memang sudah ceroboh. Pertemuan pertama mereka dimulai dari Anna yang tidak sengaja menabrak tubuh Jevano, menghasilkan minuman yang dia bawa tumpah ke bajunya sendiri. Anna meminta maaf pada Jevano—terutama, pemuda itu adalah kakak tingkatnya dari fakultas yang berbeda. Jadi, takut-takut dia menunduk hormat, memikirkan bagaimana kakak tingkat di fakultasnya sendiri gila akan status senioritasnya.
Meski begitu, Jevano berbeda dengan mereka. Dia bahkan memberikan jaketnya sendiri untuk menutupi noda yang mengotori pakaian sang gadis agar tidak dipermalukan di depan umum. Dengan begitu, Anna masih tetap dapat menjalankan perkuliahannya sampai pulang. Jevano juga masih mengingat bagaimana gadis itu sekali lagi menunduk hormat untuk berterima kasih, kemudian meminta nomor ponsel miliknya yang bisa dihubungi agar dia dapat mengembalikan jaket itu pada pemiliknya.
Dengan cara itulah mereka berkomunikasi, tanpa sadar waktu mengalir deras bagaikan sungai yang terhubung pada air terjun, lalu terjalin oleh perasaan suka yang mutual dan berlanjut hingga menjadi sepasang kekasih—ah, kalau dipikirkan ulang rasanya membuat Jevano merasa sedikit malu.
Dalam pemikirannya yang jatuh ke ingatan masa lalu pada akibat dari mimpi yang mengusik tidurnya membuat Jevano tidak sadar, bahwa dirinya telah sampai di depan pagar rumah Anna. Untung saja, selama perjalanan tidak terjadi apa-apa, karena pastinya jika dia tidak fokus, mungkin dia tidak akan berada di rumah sang pacar dalam keadaan utuh. Diam-diam dia menghela napas. Melepas helm dan menyampirkan di kaca spion, turun dari motor, kemudian menekan bel, Jevano menunggu beberapa saat sebelum pintu rumah terbuka.
“Kak Jev!” Gadis itu setengah berlari, membuat Jevano setengah panik, “Anna, jangan lari-lari—”
“Hahahaha! Aku sudah menduga Kak Jev akan berkata seperti itu.” Bukannya menurut dan benar-benar memperlambat larinya sehingga dia jadi berjalan menghampiri Jevano, Anna justru tertawa puas karena dugaan yang sudah dia pikirkan sejak tadi benar-benar berbuah nyata. Jevano hanya bisa menggelengkan kepala pada tingkah Anna yang tidak bisa dia pahami.
Menyadari bahwa sepertinya rumah yang gadis itu tinggali sepi, Jevano menyadari sesuatu dan bertanya, “Anna, kamu sendirian saja di rumah?”
“Oh? Tidak, kok. Ada kakak di dalam, hari ini dia gak ada kelas.”
Barulah, setelah mengikuti arah pandang yang ditunjuk Anna ke pintu rumahnya yang sebenarnya masih terbuka, Jevano dapat melihat seorang pemuda mengintip di balik pintu. Bulu kuduk Jevano mendadak berdiri bersamaan dengan dirinya yang tertegun. Tanpa sadar dia menunduk hormat untuk memberikan salam. Sambil melirik ke atas, setelah melihat bahwa sang ‘calon-kakak-ipar’nya mengangguk dan menutup pintu rumah, Jevano menghela napas sambil mengelus dadanya.
Anna sekali lagi mengeluarkan tawa lembutnya, “Padahal kamu sudah sering bertemu kakak, tapi kamu masih ada rasa takut, ya.”
“Enak saja kalau berbicara, aku tidak takut.” Jevano menyentil dari sang gadis tanpa ada rasa sakit sama sekali. “Aku, ‘kan, harus bertanggung jawab untuk melindungimu karena kamu bersamaku.”
“Aku bukan anak kecil.” Anna menggerutu, sampai dia menggembungkan kedua pipinya yang dianggap gemas oleh Jevano.
Setelah keduanya bercanda sebentar, Jevano memakaikan Anna helm yang sudah dia sediakan sejak awal, berukuran lebih kecil dan sederhana dibanding miliknya yang besar dan bermodel rumit. Dia juga memastikan bahwa kancing helm itu telah rapat dan tidak akan mudah lepas, membuat Anna—untuk kedua kalinya—menggerutu, “Kak Jev, ayo cepetan berangkat. Setengah jam lagi kelas aku dimulai, loh.”
“Iya, iya, sabar. Aku harus mastiin kamu aman dulu.”
Gadis itu menghela napas. Dia mengerti bagaimana sifat Jevano berubah menjadi lebih protektif kepadanya. Semua itu karena kecelakaan di masa lalu. Bagaimana pun, ini juga salah sang pemuda—Anna tidak bersalah di sini, karena dirinya dalam keadaan sakit dan dia sudah menunggu pemuda itu terlalu lama. Meski begitu, dia juga tidak enak hati membuat pacar di depannya menjadi merasa begitu bersalah padanya, pada akhirnya membuat dia semakin terikat pada kehidupan Anna karena harus terus menjaganya.
Untung saja, Jevano tidak benar-benar bertingkah seperti orang tua yang sebentar lagi akan melepaskan anaknya untuk pergi merantau, jadi mereka akhirnya berangkat menembus jalanan ramai dengan motor besar Jevano. Anna sudah rapi duduk di belakang, mengaitkan kedua lengannya pada pinggang pemuda agar terhindar dari yang namanya jatuh.
Lalu, dalam hening, keduanya melintasi jalanan pagi yang masih cukup lenggang.
. . .
Jikalau Anna ditantang untuk mengatakan orang seperti apa Jevano itu, maka Anna bahkan rela berteriak menggunakan pengeras suara, “Kak Jevano adalah orang yang paling baik yang pernah kutemui.”
Sejak awal pertemuan di antara mereka, Jevano memang sudah bersikap baik padanya. Dan waktu-waktu setelahnya semakin membuktikan bahwa Jevano benar-benar orang yang tidak mengatasnamakan sebuah keuntungan satu pihak. Pemuda itu sering kali membantunya dikala susah. Terkadang membantu membuat tugas dari jurusannya yang tidak ada sangkut pautnya dengan jurusan miliknya. Ilmu Komunikasi dengan Teknik Sipil adalah dua hal yang berbeda, namun Jevano tetap menaruh hatinya pada bantuan yang dia tawarkan untuk Anna.
Setiap perbuatannya begitu tulus dan tidak ada makna negatif di dalamnya.
Anna sekali lagi merantau pada ingatan masa lalunya yang masih mengambang bebas di benak. Jika harus disebutkan satu-satu, maka Jevano adalah orang yang perhatian, suka khawatir, dan tulus dalam mengerjakan setiap kegiatannya. Dia juga supel, mengerti bagaimana cara menenangkan orang yang panik atau bahkan sedang sedih, dan selalu memikirkan kata-kata yang keluar dari mulutnya agar tidak menyakiti hati lawan bicaranya—bahkan kepada teman-temannya di Teknik Sipil.
Kalau dipikir-pikir lagi, Jevano memanglah pemuda yang terkenal karena kebaikan dan ketulusannya. Bahkan Anna diceritakan oleh kakaknya yang satu fakultas dengannya, bahwa setiap kali ada upacara mahasiswa baru, Jevano menjadi target untuk diberikan ‘surat untuk kakak tingkat’.
Anna bukannya cemburu, yang ada dia sangat senang. Karena artinya, Jevano memang sosok yang pantas untuk disukai dan dicintai oleh semua orang. Dengan penuh bangga gadis itu membusungkan dada untuk menunjukkan pada dunia bahwa pacarnya benar-benar sosok yang luar biasa.
Meski begitu, walaupun Anna adalah gadis bungsu yang dimanjakan oleh kakaknya sendiri, gadis itu tidak benar-benar bisa menerima segala kebaikan yang ditawarkan oleh Jevano. Anna bukanlah anak yang pemilih pula. Dia hanya merasa bahwa Jevano akan kerepotan jika dia selalu membantunya. Gadis itu merasa bahwa dia tidak terlalu berhak untuk mendapatkan semua kebaikan itu.
Gadis itu terlalu tidak enak hati sampai-sampai dia merasa bahwa sebaiknya, Jevano mendapatkan pasangan yang lebih baik—yang tentu saja, ucapan itu ditepis dalam sedetik oleh Jevano ketika dia pertama kali mendengarnya.
“Kamu juga berhak dicintai, Anna. Katakanlah setiap kali kamu butuh bantuan. Aku pasti akan selalu berada di sisimu.”
Namun …
Anna memandang ponselnya terhitung sudah lama sekali. Terpampang kontak Jevano di layarnya, sementara tangannya sejak tadi tidak berhenti bergetar untuk mengetik sesuatu di halaman obrolan. Dalam penuh kebimbangan dirinya menolehkan kepala ke kiri dan kanan, kemudian menatap lagi pintu kelasnya yang sudah dia tutup barusan, ketika dia keluar karena dimintai tolong untuk print tugas oleh kedua anggota kelompoknya.
Hanya saja, printer milik kantin masih dalam perbaikan, jadi Anna tidak bisa mengandalkan itu untuk sementara waktu. Dan waktu pengumpulan masih ada satu jam lagi …
‘Aku beritahu Kak Jevano tidak, ya? Tapi, dia harusnya sibuk. Hari ini dia ada bimbingan dengan dosennya mengenai perkembangan skripsi miliknya, mana mungkin aku mengganggu untuk hal sepele ini?’ Di tengah kegundahan yang membuat kepalanya sakit, pada akhirnya Anna memutuskan untuk berjalan kaki menuju tempat percetakan terdekat di wilayah kampus.
Lagipula, pasti akan ada banyak sekali tempat yang menjadi pilihan dari tujuannya karena kebanyakan tugas kampus harus dicetak. Anna tidak perlu lagi berpikir susah— “Ya, aku akan berjalan kaki saja.”
Namun, yang namanya keberanian pasca-trauma tentu saja akan membutuhkan waktu yang lama untuk pulih. Begitu pula yang dialami Anna pada saat ini. Di bawah terik matahari siang itu, kini dia berada di depan gerbang kampus, takut-takut pada kondisi jalan raya yang ramai oleh hiruk-pikuk kendaraan melintas. Pada saat itu, dia teringat pada kejadian di masa lalu. Teringat pada kendaraan yang sedang dia naiki ditabrak oleh kendaraan lain dari belakang, membuatnya terpental sementara di atasnya hampir saja akan ada roda yang melangkah padanya— pada ingatan buruk yang tiba-tiba tertayang lagi dalam benaknya, jantung Anna berdegup begitu kencang. Banyak sekali suara bising yang memasuki indera pendengarannya, membuat tubuh gadis itu terpaku di tempat untuk beberapa saat sampai ada seseorang yang menegurnya, “Mbak, sedang apa diam di sini?”
“O—oh …” Anna mengerjapkan mata dan menggeleng untuk mengeluarkan rasa terkejutnya. Tangannya saling mendekap di depan dada ketika dia menjawab, “Aku ingin menyebrang ke tempat percetakan itu, tapi jalanan ramai sekali …”
Orang yang membantu itu memanglah juru parkir, yang sudah biasa mengatur lalu lintas. Bantuan inilah yang Anna cari-cari. Dengan senyum, juru parkir itu mengangguk mengerti sambil menaruh peluit di antara bibirnya dan melintangkan kedua tangannya sambil mengarahkan Anna untuk bersiap di sampingnya.
Untung saja, ada yang membantunya. Anna sangat berterima kasih pada sang juru parkir, kemudian ketika peluit sudah dibunyikan dan kendaraan perlahan-lahan berhenti untuk memberikan ruang baginya menyebrang, Anna menunduk sejenak agar dapat menyampaikan salam terima kasih.
Atau mungkin, seharusnya itulah yang dia lakukan.
Anna tidak tahu pukul berapa ketika dirinya tiba-tiba terbaring di atas aspal—untuk kedua kalinya. Dia tidak mengerti mengapa orang-orang tiba-tiba saja berbondong-bondong menghampirinya, dan sang juru parkir memasang wajah panik dan meminta bantuan seseorang untuk memanggil ambulans. Sementara suara bising di sekitarnya perlahan meredup bersamaan dengan pandangannya yang dalam sekejap memudar, Anna kemudian mengerti secara perlahan, bahwa takdir tidak membiarkannya sendiri.
‘Kali ini, apa lagi ya, salahku, sampai-sampai aku harus dibenci oleh takdir itu sendiri?’
—Hanya saja, tidak ada yang tahu jawaban atas pertanyaan Anna, dan gadis itu telah kehilangan energi untuk menjaga kesadarannya.
. . .
Ruangan itu putih dan kosong.
Rasanya Anna sudah pernah berada di sini, hanya saja dia lupa kapan.
Ketika kepala sang gadis dia gerakkan ke samping untuk memerhatikan sekitar, sementara tubuhnya berdiri tegap tanpa bergerak—dia tidak bisa menggerakkannya—dia baru menyadari bahwa ruangan ini sama persis seperti yang pernah dia tempati ketika dirinya mengalami kecelakaan sebelumnya.
‘Lagi-lagi aku berada di sini.’ Dan itu bukanlah sesuatu yang membuatnya terkejut seperti pertama kalinya.
Hanya saja, yang berbeda dari saat sebelumnya adalah dia merasa bahwa kali ini waktu berjalan begitu lambat. Jika sebelumnya dia hanya perlu berdiri untuk waktu yang sebentar, kali ini dia bahkan sampai dapat melihat sekelilingnya dengan lebih jeli hingga waktunya untuk sadar kembali akan tiba.
‘Aku tidak pernah mengalami ini sebelumnya— apakah ini sesuatu yang dinamakan lucid dream seperti yang orang bicarakan di internet?’ Anna menimang-nimang apakah yang dia alami pada saat ini benar-benar seperti yang dikatakan orang-orang di media sosialnya. Seseorang yang dapat mengendalikan tubuhnya di alam mimpi yang lebih fana dibandingkan kehidupan di dunia. Namun, terdapat begitu banyak kebahagiaan yang bisa dikejar seseorang melalui dunia mimpi ini.
“Apa kamu gila?! Pertama kali, aku memaafkanmu karena aku berusaha berpikir bahwa kecelakaan tidak bisa terhindari. Itu salah kalian berdua—dan itu juga salahku karena tidak memperhatikannya. Tapi kali ini … bukankah kamu sudah berjanji padaku untuk menjaganya?”
Pandangan Anna melebar pada sebuah kejadian yang tertayang di depan matanya secara langsung. Itu adalah sebuah lorong putih yang dia kenali, sebuah lorong di rumah sakit yang sama seperti dia dirawat sebelumnya. Di sana ada Jevano yang duduk pada kursi panjang, mengusap wajahnya dengan telapak tangan, menampilkan ekspresi lelah sementara terdapat dua kantung hitam di bawah matanya. Sementara itu, Anna juga melihat kakaknya berdiri di depan sang kekasih, berkacak pinggang dengan ekspresi penuh kemarahan.
Anna takut—sangat. Apa yang mereka debatkan? Apa yang membuat mereka berdua ricuh?
“Jevano, kamu dengar aku, tidak!?”
“Aku dengar!”
Suara berat itu pada akhirnya turut membalas bentakan. Jantung Anna seolah merosot di tempat. Gadis itu tidak pernah mendengar keduanya berteriak di depan dirinya, jadi kejadian ini adalah yang pertama kalinya. Sungguh menyeramkan … tapi aku juga tidak tahu apa yang mereka permasalahkan. Anna benar-benar tidak mengerti.
‘Apa yang membuat mereka begitu marah tentangku …? Apakah sebegitu khawatirnya mereka pada kondisiku? Sampai kakakku bersikap setegas itu ..’
Anna selalu merasa bahwa dirinya tidak begitu pantas mendapatkan semua kebaikan yang diberikan tanpa memikirkan imbalan oleh Jevano dan kakaknya. Dia juga tidak pernah mengharapkan bahwa sikap memanjakan yang ditunjukkan keduanya adalah murni kasih sayang—tidak, Anna tidak meragukan perasaan kasih sayang mereka yang tulus. Hanya saja …
Diam-diam, Anna tersenyum tanpa bergerak sedikit pun dari posisi berdirinya yang semula, sementara dinding putih yang sedari tadi menemaninya perlahan memudar tanpa dia sadari. Hatinya seolah tenang pada sesuatu yang sejak awal membebaninya. Seperti semua rasa kegundahannya perlahan sirna dan dia bisa merasakan lagi yang namanya menjalani hidup dengan damai.
Pada saat itu tiba, tubuh satu-satunya yang berada di ruangan putih tanpa ada isi lainnya yang menemani kemudian memudar seiring berjalannya waktu.
. . .
Kedua mata indah yang sudah sejak lama dia nanti-nantikan untuk menatap dunia pada akhirnya terbuka perlahan, berusaha membiaskan diri pada cahaya kamar rumah sakit yang begitu menyilaukan.
Ketika Jevano menyadari bahwa Anna telah sadarkan diri, dia begitu bersemangat menyambut kepulangannya di dunia sampai-sampai lupa untuk memanggil sang dokter, kalau saja perawat yang selama ini rutin mendata kondisi tubuh sang kekasih tidak masuk ke ruangan kamarnya.
“Anna, kamu akhirnya bangun … kamu tidak tahu seberapa lamanya aku menunggumu untuk sadar.” Jevano sudah tidak sabar untuk mengatakan kalimat itu setelah sang dokter pergi dengan meninggalkan pesan padanya, untuk tetap memberikan ruang bagi sang gadis memulihkan energinya, dan Jevano mengangguk mengerti pada instruksinya. Itulah mengapa, ketika dia berbicara, tangannya juga bergerak untuk memberikannya segelas air putih.
“Memangnya sudah berapa lama aku pingsan …?”
“Sudah dua minggu, Anna, dua minggu.” Jevano menegaskan durasi Anna tidak sadarkan diri dengan nada antusias.
Pemuda itu awalnya mungkin tidak menyadari, tapi entah bagaimana ketika dia memperhatikan sang gadis lebih lekat, dia merasa bahwa pandangan anak itu terasa kosong dan hampa. Dan dugaannya tiba-tiba saja mengatakan sebuah kebenaran saat Anna bertanya dengan suara yang sangat pelan, “Aku … berterima kasih karena kamu sudah membantuku menjawab. Tapi, bolehkah aku tahu siapa kamu dan mengapa kamu ada di sini …?”
Kalau seseorang ada yang bertanya, seperti apa perasaan Jevano saat ini, maka, bukan jawaban berupa kalimat yang akan kamu dapatkan, melainkan sebuah tubuh tak bernyawa namun dapat tetap berdiri tegap di depanmu. Seperti itu perasaan Jevano saat ini—jantungnya seolah mencelos, hilang di tengah perasaan syoknya yang menjadi tak berkesudahan. Kini seolah harapan hidupnya sirna ditelan udara yang perlahan mengikis tubuhnya untuk menjadi butiran debu.
Anna tidak mengenal dirinya adalah sebuah kesalahan hidup bagi Jevano yang telah mengikat diri pada kehidupan sang gadis. Kalau Anna memang dinyatakan amnesia, maka yang bisa Jevano lakukan adalah menyingkir dari hadapannya untuk menghindari kecelakaan yang sama lagi di kemudian hari.
Namun, baru saja Jevano akan memanggil dokter kembali dengan jiwa yang telah melayang ke dunia kahyangan, Anna tiba-tiba saja tergelak sampai memegangi perutnya yang kesakitan, sementara setetes air mata sudah menumpuk di sudut matanya, “Aku minta maaf, Kak Jev! Aku hanya bercanda.”
“...”
Jevano tidak bisa mengerti selera humor pacarnya itu.
Meski begitu, karena ternyata kondisi Anna tidak sampai membuat jantungnya mencelos, Jevano menghela napas sekeras mungkin dan duduk kembali pada kursi di sebelah ranjang. Dia kemudian menggenggam tangan kanan sang gadis sebelum menciumi punggung tangannya sekali.
“Yang penting saat ini kamu sudah sadar. Andaikan kamu sadar lebih lama lagi, mungkin aku tidak bisa lagi menahan diri untuk memberikan pelajaran lebih kepada dua orang itu.”
“...?” Anna memiringkan kepalanya dan bertanya, “Dua orang siapa, Kak Jev? Lalu, di mana kakakku? Kalau sudah selama itu, seharusnya kakak juga khawatir padaku.”
Gadis itu bisa mendengar sang pemuda mendengus kesal, seperti amarahnya sudah lama dia tampung di sana. “Kakakmu setiap malam akan berkunjung kalau dia tidak ada kelas dan pekerjaan sampingannya. Terkadang kami bergantian menjagamu juga, karena aku tidak bisa meninggalkan bimbinganku. Tapi, Anna, kenapa pada hari itu kamu tidak menghubungiku? Jika sebelumnya aku sangat salah karena mengabaikan panggilanmu, tapi kali ini kamu bahkan sama sekali tidak mengirimiku pesan. Ada apa?”
Pertanyaan yang dituturkannya lembut. Hanya saja, Anna terlalu takut untuk menjawab. Takut untuk menerima amarah yang akan dilancarkan oleh Jevano, meskipun dia sangat yakin bahwa pacarnya bukanlah orang yang seperti itu.
Jadi, Anna mengambil napas untuk beberapa saat sebelum membuangnya lagi, berusaha memantapkan hatinya. “Waktu itu, aku dimintai tolong oleh kedua teman kelompokku. Biasa, print tugas. Hanya saja, aku takut merepotkan Kak Jev, jadi aku berusaha untuk menyebrang sendirian …” Nadanya terdengar sedikit bergetar pada kalimat terakhirnya, “Aku dibantu juru parkir, tentu saja. Tapi, di tengah-tengah, aku tidak menyadari ada motor yang mengebut dan … begitulah, aku jadi seperti yang Kak Jevano lihat saat ini.”
“... Jadi memang benar kalau ini ulah dari dua orang itu …”
Jevano seperti menggumamkan sebuah kalimat yang sama terus-menerus, dan aura di sekitarnya seolah berubah pekat, terasa begitu berat bagi pernapasan Anna. Saat melihat bahwa pacarnya merasa sesak, Jevano buru-buru mengembalikan ekspresinya ke semula dan sekali lagi menawarkannya segelas air.
“Apapun itu, kini kamu sudah sadar. Ambillah waktumu semaksimal mungkin untuk memulihkan diri.”
“Tapi aku masih ada tugas yang belum dikumpulkan, Kak—”
“Kamu serius masih memikirkan kuliah ketika nyawamu sedang berada di ujung tanduk begini?”
“...”
Anna menunduk bersalah tanpa berani mengangkat kepalanya. Matanya memandang selang yang menempel pada punggung tangan kirinya dan kini dia jadi diam seribu bahasa. Jevano yang melihatnya hanya bisa menghela napas. Dia seolah dapat mengerti mengapa Anna bersikap seperti ini. Dia selalu dimanjakan oleh kakaknya—tak dapat dipungkiri, dia adalah anak bungsu yang manis. Tentu saja kakaknya akan memanjakannya dengan kasih sayang dan macam-macam, membuat gadis ini tumbuh pada perlindungan di tengah jalan yang sudah terarah. Membuatnya entah bagaimana menjadi terpaku pada sesuatu yang sudah ditentukan padanya, menjadikannya sosok yang bergerak mengikuti satu arah saja.
Sekali lagi, Jevano menghela napas sambil mengasak rambutnya sendiri. Pada saat itu, dia membungkukkan badannya, menyejajarkan kepalanya dengan kepala sang gadis, “Anna, tatap wajah aku.”
Anna menurut dan dia menoleh untuk menatap manik Jevano, terlihat begitu pekat, seolah-olah mata itu dapat menyelimuti tubuh sang gadis untuk membawanya pada sebuah ketenangan, terasa begitu hangat.
“Anna, kamu tahu kalau aku ini pacarmu, ‘kan?”
Gadis itu mengangguk pada pertanyaan Jevano.
“Maka, repoti saja aku kapanpun yang kamu mau, ya? Jangan takut merasa tidak enak hati, karena aku akan selalu ada di sampingmu kapanpun kamu membutuhkanku. Bukankah itu peran seorang pacar? Percaya padaku seperti aku mempercayaimu. Jangan ragu juga untuk meminta tolong padaku.”
Anna memainkan kedua ibu jarinya seolah-olah itu adalah permainan yang tidak bisa dia tinggalkan—semua demi mengusir rasa gugupnya. Dia tidak pernah diberikan kalimat yang begitu menenangkan sebelumnya, jadi dia tidak bisa membalas ucapan Jevano sesegera mungkin. Meski begitu, Jevano sendiri adalah orang yang pengertian, dia hanya mengelus kepala yang lebih muda dengan senyuman hangat yang biasanya dia tuturkan.
“Karena kamu juga berhak untuk menikmati hidupmu dengan leluasa. Kamu bebas memilih apapun yang kamu mau tanpa perlu takut dikomentari orang-orang. Yang tahu tentang dirimu itu hanya kamu sendiri.”
Maka, jika sesekali bersikap egois untuk memanjakan diri sendiri—itu tidak apa, apa, bukan?
0 notes