rumahtanpawajah
rumahtanpawajah
Rumah Tanpa Wajah
96 posts
kala kau berpulang, pada rumah yang berdiri kokoh untuk menampung tangismu hingga kemudian asbab yang kau tanyakan pasal wajahnya bahwa beriman pada senyap adalah satu-satunya cara untuk memahami apa dalang dibalik wajahnya
Don't wanna be here? Send us removal request.
rumahtanpawajah · 2 months ago
Text
Ini tentang menjadi baik. Yang aku sendiri tak mengerti bagaimana mengartikannya dengan benar. Karena sedikitpun aku tak pernah menuliskannya dengan benar. Bahkan dengan wajah yang tenang sekalipun. Ah, ya, Manusia memang begitu, bu. Terkadang aku membencinya sebagaimana aku membenci diriku sendiri sebagai perwujudan manusia itu sendiri. Terobsesi pada objek dunia yang belum tentu menjadi miliknya sepenuhnya. Oi, itu mengerikan sekali. Dan bila saja ia memperhatikan sekitar, mungkin gejolak dalam rlung hatinya itu bisa padam barang sedikit. Dan mungkin saja air mata yang selama ini ia tahan bisa mengalir pelan dengan sendirinya. Memeluk dirinya sendiri ternyata semelelahkan itu. Tidak ada perandaian. Ini semua murni tanpa tabir yang menutupi seada adanya. Wajahnya sudah lelah, tapi ia dituntut untuk menyanggupinya. Titik.
1 note · View note
rumahtanpawajah · 2 months ago
Text
Yang bisa kupikirkan saat ini hanyalah skenario terburuknya tanpa memperhatikan apa apa yang sudah menjadi baik untukku. Nyatanya pikiran pikiran buruk itu selalu menang. Bawa aku pada ketenangan, kali ini saja. Hingga mataku kembali terpejam dengan atau tanpa tabiat yang menakutkan. Rupanya membuka mata membuat ku sempoyongan. Lebih baik begini saja, ya. Tidak ada lagi dalih yang keluar dari mulut manismu itu. Dan aku semakin jatuh pada jurang yang sama. Untuk kedua kalinya. Tolol
0 notes
rumahtanpawajah · 3 months ago
Text
Tumblr media
Hanya satu yang kuizinkan untuk menyaksikannya dan itu aku sendiri. Pada kenyataannya kata "will" Itu aku sendiri tidak tau akan bagaimana menjadi kenyataan. Dibalik keinginannya untuk menyelesaikan tugasnya dengan cepat untuk meninggalkan semuanya dengan cepat, termasuk kehidupan itu sendiri, ada angan angan yang rapuh penuh tawa. Ya, dia hanya tertawa untuk menertawakan nasib itu sendiri. Tidak ada lagi keajaiban, tidak ada lagi yang kekal. Hanya aku, aku, dan celah yang curam itu. Karena itu ia memilih untuk menertawakan nya alih alih bergantung pada semak belukar itu.
1 note · View note
rumahtanpawajah · 3 months ago
Text
Suasana saat itu terlalu tenang untuk bisa disebut damai. Langkah kakiku dibawa menuju sebuah kafe sederhana yang bernuansa "komplek". Aku bahkan tidak begitu bisa mendeskripsikannya dengan sempurna. Yang kuingat hanyalah interior penuh kayu yang saat itu sempat kau bahas. Disitu ada pria berumur yang sudah duduk tenang.Nafasnya begitu teratur sembari menggerak gerakkan jarinya secara perlahan menyusuri lembaran menu yang terhampar diatas mejanya. Seakan ia sudah menungguku untuk berbincang panjang tentang anak gadisnya.Aku menarik kursi. Derak kursi kayu itu terdengar pelan. Sedikit memberi perhatian pada pelanggan sekitar. Juga pandangan pria tadi. Matanya teralih dari buku menu tadi sembari tersenyum teduh. Memulai perbincangan dengan penuh semangat. Aku tidak begitu ingat detilnya. Yang kutau dialog antara kita membuatku hangat. Seakan menerimaku untuk merasuk kedalam damai. Hingga raut wajahnya berubah sedikit khawatir ketika handphonenya berdering. Menampilkan sebuah nama yang dengan begitu dingin membuatnya terseok seok untuk mengembalikan senyumnya kembali. Tapi hanya sebentar, sebelum suara dari handphone tersebut mulai terdengar. Pelan. Penuh tekanan. Hanya begitu saja beliau memberi kekhawatiran singkat. Hingga suaranya memberi kabar bahagia. Membuatku dan pria tadi tersenyum sumringah. Dan interior kayu yang sempat kau bahas menjadi saksinya. Bahwa aku-
1 note · View note
rumahtanpawajah · 4 months ago
Text
Tapi ternyata manusia itu yang mendobrakku. Memaksaku untuk sadar dan bergerak. Bahkan sebait puisi tak lagi bisa menerawang parasnya. Hanya aku dan hembusan nafasku. Jauh di bawah temaram lampu taman dimana kita menari dalam untaian singkat berwarna biru. Tenggelam dalam tawamu dan mencatatnya dalam dalam di relung yang tak terjamah. Saat mata kita beradu, menawarkan beribu tanya tentang kita. Hingga semua utuh. Picisan yang selama ini kosong tak berpenghuni yang sempat kurelakan adanya. Tak ada lagi sekat yang menjadi mimbar di sela sela sore merekah. Rapuh "seperti rahim ibu" dan merengkuh tubuh yang sempat lusuh. "Ah, untungnya aku terpesona olehnya", ya.
1 note · View note
rumahtanpawajah · 4 months ago
Text
Aku masih belum cukup untuk merayumu sekuat tenaga. Aku masih belum cukup untuk mengejarmu sekuat tenaga. Maka dari itu aku bungkam. Sesuatu yang sangat kubenci dari diriku sendiri kini menjelma sepenuhnya didalam diriku
2 notes · View notes
rumahtanpawajah · 4 months ago
Text
Tombol kirim itu terasa berat untuk kutekan. Seluruh rangkaian kata sudah kuuntai sedemikian rupa hanya untuk merayakan hari raya dengan sederhana. Sesederhana mengucapkan kata maaf lahir batin. Tapi jariku terhenti ketika hendak mengirimkannya. Lagi lagi seperti tahun tahun sebelumnya. Aku masih sepengecut itu.
1 note · View note
rumahtanpawajah · 4 months ago
Text
Setidaknya tulisan ini kupersembahkan untuk melepas perasaan megah tadi pagi. Ketika semua sunyi memenuhi ruang kosong pikiranku. Bermandikan sinar matahari yang mulai menyingsing. Kubawakan kisahku, kicau burung gereja yang berduka nestapa mendengarkan, menawarkan trauma. Menari pelan diatas rumput yang basah oleh embun pagi. Kupikir tanganku sudah mulai terpikat. Tapi wajahku takkan pernah. Ini semua menjadi surat terakhir sebelum aku menutup 3 tahun aku menulis dengan sangat buruk. Berpikir bahwa aku sudah berubah, nyatanya masih jauh dari kata pahlawan. Tapi aku bersyukur bisa bertahan sejauh ini. Setidaknya seluruh omong kosong dan segala pikiran kosong yang memenuhi relung pikiranku sudah tertuangkan pagi itu. Bersama bait bait yang kulantunkan pelan. Hanya saja aku sendiri yang paham maknanya. Ya, ya. Sedikit tarian dan senandung pelan. Selamat kembali menjadi manusia, Tho.
1 note · View note
rumahtanpawajah · 5 months ago
Text
Dan bagaimana jika mata kita berpapasan saat itu. Saat wajahmu yang terakhir kuingat selalu itu mulai pudar oleh hal hal yang mengganggu pikiranku. Maka hari ini kita duduk saling pandang. Satu jam saja dengan yang wajah yang kian membusuk. Bahwasanya ceritamu yang selama ini merenggut hidupku pernah membuatku berbakti pada nestapa janjiku. Kita hampir mati. Hindia meneriakkannya dengan lantang. Namun suratmu kan kuceritakan bahwa aku pernah dicintai seada - adanya, sekurang - kurangnya.
1 note · View note
rumahtanpawajah · 5 months ago
Text
Maka, akan kutuliskan semua itu bahkan ketika tanganku bersimbah darah.
1 note · View note
rumahtanpawajah · 5 months ago
Text
Tulisan tulisan yang masih menggerayangi pelataran hijau itu. Yang masih basah dibasuh hujan tadi malam. Yang masih sejuk dibilas angin subuh. Dan menuliskannya menjadi ibadah yang meng aminkan seluruh ke-egosentrisan rumput yang bergoyang
1 note · View note
rumahtanpawajah · 6 months ago
Text
Hari itu matahari tidak begitu terik. Tapi cukup untuk membuatku berkeringat sedikit. Tetap saja itu tak mengurungkan niatku untuk tetap memakai sweater pemberian seorang kawanku dua tahun lalu itu. Sweater hitam usang yang warnanya mulai pudar itu masih saja kupakai mana kala aku bepergian. Rasanya nyaman tanpa harus berganti ganti pakaian luar yang lain. Setidaknya warnanya masih cocok dengan warnamu.
Suara denting bel itu sedikit mengagetkan penjaga toko buku yang sedang kita hampiri. Menyambut hangat kedatangan kita berdua lengkap dengan kamera ditangannya. Ia meminta izin dengan sopan untuk mengabadikan foto kita berdua di toko buku itu. Kebetulan ada seekor anak kucing yang antusias ikut berfoto. Dan warnanya masih sama dengan warnamu.
Hingga dipertengahan jalan, kamu mengerang kesakitan. Pelan. Kamu tak pernah meninggikan suaramu agar aku khawatir denganmu dan aku selalu tahu itu. Dan itu juga yang membuatku semakin khawatir. Hanya saja, kamu tetap bersikeras untuk melanjutkan perjalanan itu. Ke taman paling dekat dengan posisi kita saat itu.
Kali ini warnanya berbeda. Beberapa warnanya hijau, warna kesukaanku. Beberapa diantaranya warna biru, warna yang dulu sempat kamu sukai sebelum berganti ke hijau toska. Mengayuh alat sepeda sepedaan. Antusias ketika melihat lampunya menyala setiap kali kita kayuh dengan kencang. Atau menatap bingung satu benda yang kita sendiri tidak paham konsepnya sama sekali. Itu lucu. Dan kita tertawa. Mencoba beberapa benda aneh lainnya.
Lalu, kita berhenti didepan corong besi yang saling terhubung di kedua ujungnya. Aku mencoba mengucapkan beberapa kata yang dibalas dengan tawamu yang meledak. Itu menggema di corong besi itu. Aku tertawa. Menyambut tawanya. Sebelum akhirnya besi itu menjelma menjadi ular besi yang panjang. Yang siap melahapmu dan mengantarkanmu pada kepulangan. Dan aku memelukmu erat. Tak peduli betapa ramainya stasiun kala itu. Lama. Karena kupikir itu pelukan terakhir yang akan kupertaruhkan di separuh hidupku.
"Mampir lah kalau sempat". Dan aku masih saja belum mencintai diriku sendiri. Titik.
1 note · View note
rumahtanpawajah · 7 months ago
Text
Menjadi manusia berarti menerima luka. Karena melukai dan terluka adalah bagian dari memanusiakan seseorang. Mengurai kata lara menjadi luka lama yang tak kunjung sembuh. Membiarkannya tumbuh subur tanpa tau itu menggerogoti nya perlahan dari dalam. Membuat nya ingkar di sepertiga malam yang sempat ditengadahkannya pada sang ilahi. Membuatnya berdarah, hampa tak beraturan. Dalam genggam yang kian meretak, tak berkesudahan mengucurkan peluh. Mengerang kesakitan, melantangkan kericuhan. Membuatnya kembali mengerami luka yang tumbuh akibat ulah ia sendiri. Ya, ya. Malaikat meng-amin kan. Dan aku menengadahkan tangan. Amin.
1 note · View note
rumahtanpawajah · 7 months ago
Text
Hidup tak pernah semudah itu. Serumit itu juga tidak. Segala sesuatunya selalu dekat, ucap guruku kala itu. Sekelumit untaian rasa ragu masih menyelip di pelipisku. Beberapa kali abai dengan sekitar membuatku mabuk perjalanan. Semua tak terkendali. Ruang genggamku retak yang bahkan tak pantas untuk disyukuri. Lantas untuk apa aku tertatih tatih berjalan menyusuri impian yang kubuat atas dasar nama resolusi menjadi lebih baik? Itu semua tercatat dalam barisan kata yang sempat kunikmati aromanya kala hujan bulan desember mulai rancak. Cukup membuatku teduh tatkala kursi besi yang dingin mulai hangat kembali. Obrolan sambat yang mengitari meja bundar itu. Tak ada makanan, hanya tatapanku yang semakin sedu dibuai malam. Suara kendaraan mulai jarang, membuatku yakin untuk pulang dengan melaju. Tak ada lagi nyinyiran itu. Hanya aku yang tertawa diatas kuda besi yang melesat maju menerabas angin malam. Pulang. Menyederhanakan maksud kehidupan, kasih.
2 notes · View notes
rumahtanpawajah · 7 months ago
Text
25 Desember 2024. Itu yang terpampang di layar hp ku. "2024, ya? Sebentar, sebentar. Itu elo?! ", ucapku di 6 tahun lalu. Air mukanya penuh keterkejutan. Ia tak percaya dengan apa yang kutunjukkan pagi itu. " Terus, otakmu itu kamu pake dimana? Katanya anak ummi, tapi untuk sekedar beranjak dari males malesan aja gabisa. Lo bukan gua. Titik. Keluar dari tahun ku". Ia pergi. Menyimpan segudang pertanyaan dalam benakku. Jawaban jawaban konyol itu kembali terulang. Pembelaan penuh omong kosong. Hanya menjadi alasan untuk tahun depan kembali tidak melakukan apa apa. Hingga,
"Mas, gamau jualan donat, lagi? ", ucap seorang anak kecil. Wajahnya bersih. Tangannya memegang ketapel bulu yang biasa paman oteng oteng jualan sampai sore menjelang. Ia hanya tersenyum. Begitu saja hingga membuat ku hangat. Siapa dia? Kenapa tiba tiba ia muncul? Peran berganti. Anak kecil itu kini asik bermain di lapangan yang tak begitu besar. Kecil, malah, untuk seukuran orang dewasa. Perlahan, scene kembali berganti. Wajahnya kali ini penuh debu. Bajunya compang camping. Seakan wajahnya bahkan tak lebih baik dari pakaiannya. Tapi itu raut muka yang bahagia. Sama sekali tanpa penyesalan. Ide ide keluar dari tangannya. Mempersilahkan seluruh peluang optimis masuk kedalam kantong celananya. Yang dikatakannya hanya beberapa kata. "Ingetin, ya, semester depan kalo gua ga maju di Physics Award, gua traktir ayam geprek", ucapnya penuh. Tak ada keraguan di sela sela frasanya. Seakan dunia dalam genggaman nya. Itu cukup gila, pikirku. Tidak. Diriku yang dulu pasti akan berkata begitu. Ia kemudian berbalik dan menggandeng anak kecil tadi. Berdialog sebentar sebelum pergi meninggalkan ku sendiri. Itu aku, 10 tahun yang lalu dan beberapa tahun belakangan. Tahun penuh tawa, optimisme. Menjawab panggilan dari benakku yang terus bergemuruh. Sebentar kemudian ada anak kecil, lagi. Kali ini ia bertubuh cungkring. Cukup kurus dan memiliki rambut yang ikal. Matanya piawai melihat gunting ditangannya. Membuat kerajinan yang tidak sesuai untuk umurnya yang menginjak kelas 3 SD saat itu. Namanya Fai. Nama itu terus menjadi pertanyaan ku. Siapa dia? Kenapa dia menjadi satu satunya nama untuk dokumen masa kecilku? 5 tahun penuh pengembaraan dan jawabannya ada di tanah yang kubenci sekaligus kucintai sepenuhnya. Jogja. Rumah ketiga setelah rumahku dan Surabaya.
Tapi itu cerita untuk nanti. Karena dua wanita ini menjadi pokok bahasan utamanya. Adikku yang selalu mengeluhkan orang sekitarnya. Tapi ia terus melangkah. Membiarkan yang lain untuk berjalan sebagaimana mestinya. Ia rapuh, tapi ia tau itu dan menggenggamnya seakan ingin menuntunnya walau tertatih sekalipun. Namanya Arwa. Bahkan kakinya sudah melalang buana hingga tanah Turki di usia nya yang muda. Aku tertawa, mengingat ia selalu bercerita tentang ketidakbisaannya atas segala sesuatu. Padahal pada akhirnya ia bisa. Juga, seorang yang menemaniku 3 tahun. Bukan, aku tak berharap 3 tahun itu kembali dilanjutkan. Aku hanya ingin mengatakan bahwa dua wanita ini menjadi alasanku mencari harapan untuk menjadi lebih baik. Walau mereka selalu berkata sinis "Kok ada, sih, yang mau sama mas Thohari". Walau pada akhirnya mereka menyadari betapa bodohnya mereka bahwasanya ucapan itu justru untuk mereka sendiri.
Ummi, Abah, maaf ya belum bisa menjadi yang terbaik di 2024 ini. Aku sudah mengusahakan yang terbaik. Aku tau ketika aku tidak ingin menunjukkan nilai ku yang bobrok itu pasti jawabannya selalu sama. "Gapapa nilainya jelek. Abah dulu juga gitu, kok. Tapi besok besok jangan lagi, ya". Begitu terus. Ummi hanya mendengus pelan lalu berkata kepadaku. " Jadi mau pulang kapan? ". Ia tak pernah marah barang sekecil apapun. Jika saja aku boleh menangis, dan meminta maaf, " Ummi, Abah, maaf ya kuliah jauh di jogja. Gabisa pulang ke rumah setiap saat. Maaf ya kadang masih suka malu malu kasih liat nilai. Maaf ya masih belum bisa memberikan hasil yang memuaskan. Maaf belum bisa menjadi anak abah ummi yang terbaik walau pada akhirnya kalian hanya tertawa sembari meyakinkan ku untuk menjadi 'biasa' saja cukup. Terimakasih sudah melahirkan ku ke dunia ini. Terimakasih sudah membesarkan ku hingga aku cukup kuat untuk melangkahkan kaki di dunia ini. Terimakasih sudah mau percaya bahwa aku bisa. ".
-Yogyakarta, 25 Desember 2024
1 note · View note
rumahtanpawajah · 8 months ago
Text
Wajahnya benar benar sudah tak dapat dikenali bahkan sejengkal pun. Seperti yang Himmel katakan tentang patung yang selama ini ia buat hanya untuk dikenang oleh Frieren. Itu suci. Setidaknya hingga kakinya melangkah kembali menuju altar yang pernah disebutnya dalam nubuat pagi itu. Jalan setapak yang terlalu cepat 10 tahun untuk melangkahinya lagi. Tongkatnya menjadi saksi tentang perasaan nya yang tak terungkap sedari ia hidup.
Telinganya tersumbat oleh kabut. Matanya dibutakan oleh suara yang memekakkan. Yang menjadikannya buta. Yang menjadikannya tuli. Yang mencari cari pengembaraan. "Suatu saat kau akan tau maknanya". Bukan, sayang. Himmel tidak hidup di antara kita. Ia abadi dalam jejak langkahnya. Tersapu oleh sumpah yang pernah digaungkan dalam gua kala. Sementara menampung tawa yang penuh pendewasaan. "Karena kelak kau akan tersakiti".
Itu perkataan seorang penyanyi, jujur. Bahkan abah sekalipun tak pernah mengungkapkan nya. Ia terluka. Diantara baretan tas Kakek yang menjadi peninggalan satu satunya, juga beberapa pasang peralatan servis radio yang lusuh. Kupikir apakah Himmel seorang tukang reparasi radio yang bahkan bayarannya tak setimpal dengan usahanya? Itu membuatku terhenti. Tanganku meraih buku gelatik di meja kerja abah. Teronggok begitu saja. Anehnya rayap tak berani sekalipun menyentuh barang antik berikut. Ini nyata, tak ada sihir yang selalu Flamme lakukan untuk melindungi murid kesayangannya. Halamannya penuh dengan tulisan yang tintanya sudah mulai memudar dimakan waktu. Seluruh isinya terdengar bersih tanpa penuh pengkhianatan. Tentang abah, ummi, dan keluarga kecilnya. Seluruh penyokong juga hal yang membuat mereka resah. Tercampur aduk dalam sebuah cerita itu. Dalam buku gelatik itu. Dalam kamar sore itu.
Dan untung nya aku hidup tanpa penyesalan. Hingga-
1 note · View note
rumahtanpawajah · 8 months ago
Text
Embun itu tak lagi dapat meraihku sekarang. Aku hanya bisa menggambarkan nya semu.
1 note · View note