Tumgik
salmonmentai · 5 months
Text
Tuhan Bukan
Tumblr media
di luar dingin salju di mana-mana, natal di depan mata kepada hamparan putih yang membilas jiwaku, aku berkeluh kesah tuhan, padahal kau bukan sinterklas. tapi aku tidak berhenti meminta
di dalam hangat
dingin di mana-mana, dihantarkan kaca jendela
kepada teh lemonku yang hangatnya berpendar, aku berkeluh kesah
tuhan, padahal kau bukan ibuku
tapi aku tidak berhenti merengek
di manapun sesak
apa-apa di mana-mana, semua cuma sesenti di depan mata
kepada laut yang di dalamnya aku tenggelam, aku berkeluh kesah
tuhan, padahal kau bukan ayahku
tapi terus menerus aku menghindar
…. oh, kau di sini.
Tumblr media
aarhus, 10 desember 2023
dari seorang anak untuk tuhannya.
0 notes
salmonmentai · 6 months
Text
Trust Issue in a Nutshell
Tumblr media
Hai, selamat sore dari balik jendelaku. Sebagai anak muda trust issue dengan pemerintahan Indonesia yang serba necis dan pro-rakyat tai kucing, aku benar-benar melewatkan semua urusan pemilu. Selain lupa daftar dan enggan daftar juga, ada sebagian hatiku yang berbisik, “siapa pun pilihanku akan salah juga, nggak ada gunanya.” Setelah pemilu terakhir, aku turut merasa bersalah merasa “ups aku salah pilih, deh.”
Sekarang aku pikir, bukan pilihan presidennya yang penting, tapi proses memilihnya itu sendiri. Ini kan pemilu, bukan kuis who wants to be a millionaire untuk menebak mana pilihan yang benar.
Kita nggak sedang mencari siapa yang benar, tapi kita “cuma” mendemonstrasikan bahwa kita terlibat dalam pemilu. Cuma yang nggak cuma karena dalam demonstrasi ini kita terlibat sebagai objek dan menurutku luar biasa sekali kerendahan hati masyarakat untuk masih mau nyoblos setelah dikhianati oknum di mana-mana. Maka sebagai objek yang ujung-ujungnya dijadikan angka saja, alangkah nyamannya kalau pemilu ini kita perlakukan sebatas obrolan saja. Obrolan tentang keberpihakan, bukan keberpihakan itu sendiri karena siapa pun yang “terpilih”, kita nggak ikut “menang”. Hidup bergulir, obrolan berganti dari tentang keberpihakan di antara paslon menjadi keberpihakan tentang pro / kontra pemerintah. yah , toh, hidup itu cuma obrol-obrolan santai saja.
Dalam obrolan pilu dalam pemilu ini aku tanpa sengaja ketemu dengan bijakmemilih.id sebagai simplifikasi pemilu yang pas. Pemilu for dummy, lah. Urutan langkah menentukan pilihan menurut bijakmemilih adalah: pilih isu-partai-paslon. Aku yang apolitik ini tentu terbantu dengan urutan ini, karena dalam step pertamanya kita dibuat sadar bahwa masing-masing suara membawa kepentingan yang beda-beda! Misalnya, kalau ditanya prioritas isu, aku bisa saja jawab penggunaan SDA, sementara Dian Sastro jawab pemerataan pendidikan. Dengan punya kepentingan yang beda-beda, suara kita bisa saling melengkapi dengan lebih efisien. Bijakmemilih.id merangkumkan kondisi aktual dari isu-isu tersebut. Dalam pengelolaan SDA, mereka merangkumkan deforestasi nasional yang menurun selama periode pertama Jokowi. Di sisi lain, ternyata penggunaan lahan didominasi oleh perusahaan, yang berkaitan dengan adanya peraturan pemerintah yang mempermudah izin usaha di bidang eksplorasi lingkungan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan lapangan pekerjaan. GWS kata gua teh. 
Mereka melanjutkannya dengan mendaftar sikap berbagai partai sebagai bridging ke step kedua: partai politik. Menurutku menilik parpol menarik karena lebih komprehensif, sementara pasangan capres cawapres menurutku terlalu sarat politik figur yang menjebak dan hanyalah tetek bengek jualan saja. Yang setuju dengan peraturan perundangan SDA (Golkar dan PDIP) bisa saja ikut diuntungkan oleh kemudahan izin usaha tersebut. Yang belum ada kepastian (Gerindra dan PKB) bisa saja tidak menganggap isu ini penting. Yang tidak setuju dengan kemudahan izin usaha tersebut (Demokrat dan PKS) katanya karena melanggar konstitusi dan nggak partisipatif, namun bisa jadi ini cuma alat untuk menjatuhkan partai politik lain. 
Tumblr media
Disambungkan ke sinopsis ideologi partai, bijakmemilih menghighlight poin berikut. Kalau dihubungkan dengan poin sebelumnya tentang eksploitasi… eh, eksplorasi lingkungan, maka nyambunglah sikap mendukung pemudahan izin usaha dengan ideologi PDIP yang cenderung pro-regulasi pasar. Sementara nyambunglah ideologi pro-pasar bebas PKS dengan sikapnya yang kontra pemudahan izin usaha. Nyambunglah juga dengan ideologi setengah-setengah Gerindra tentang pasar. Ideologi ini juga jadi jembatan ke step ketiga: pasangan calon.
Tumblr media
PKS cenderung paling berbasis Islam dan konservatif dibanding dua partai lainnya, yang mana berkaitan dengan kontroversi Anies dalam politik identitas di Pilgub Jakarta 2017. Walau indeks Jakarta sebagai kota toleran meningkat, aku masih ingat debat cagub Anies-Ahok yang panas itu. Belum lagi bagaimana dominasi walikota PKS di kota-kota satelit di Jakarta. Juga bagaimana Gerindra yang setengah-setengah progresivitasnya mencalonkan Prabowo sebagai figur dibalik penculikan aktivis pro-demokrasi pada 1998. Juga bagaimana PDIP mencalonkan Ganjar yang mengeksekusi proyek pemerintah pusat (yang basis partainya PDIP juga) dalam pembukaan tambang abad ini di Wadas dan Rembang.
Tumblr media
Semua capres punya profil yang kontroversial. Tapi untungnya profil mereka bukan satu-satunya variabel penentu. Buatku, profil kontroversial itu bisa dihubungkan dengan profil partai dan isu prioritasku untuk memulai menentukan keberpihakan. Lebih penting untuk nggak berhenti di simplifikasi profil saja, tapi going back-and-forth dari dan ke perintilan informasi di media yang kadang bikin mengumpat. Walaupun apa pun yang terjadi, yang menang bukanlah kita. Yah, pemilu ini obrolan saja….
3 notes · View notes
salmonmentai · 7 months
Text
We Need Courage in Being Coward
There's a leaf that returns in the fall That no one can recall When winter comes around…
Tumblr media
Hai! Selamat pagi dari balik jendelaku. Di sekitarku daun-daun sudah pada rontok dan berserakan di jalan seperti ini. “Hai, Cowards!” sapaku pada daun-daun ini. Melihat mereka berserakan mengingatkanku pada sepenggal lirik lagu di atas.
Sebentar lagi pohon-pohon sudah selesai meranggas, musim terlalu dingin untuk menumbuhkan daun baru. Daun-daun musim gugur ini diam-diam hilang. Daun-daun yang pengecut, tidak punya keberanian untuk menghadapi udara dingin yang menusuk dan angin yang berhembus tidak ada hentinya. Payah! 
Kemudian aku melihat diriku di dalam daun ini, diriku yang gugur karena kejujuran itu sama tidak nyamannya dengan musim dingin. Kejujuran itu dingin. Aku tidak mau kedinginan dan gugur saja, sama seperti daun-daun ini. Aku dan daun-daun, sama-sama enggan untuk menghadapi dinginnya kejujuran. 
… Abandoned, denied Like a dead man out of mind No one trails the hearse
Karena enggan jujur, aku dan daun-daun, sama-sama diabaikan dan disangkal. Siapa yang mengabaikan kami? Diri kami sendiri. Siapa yang kami abaikan? Diri kami yang ‘culun’. Aku harap aku tetap keren dan tidak pernah sakit hati seperti nabi. Maka sisi diriku yang sensitif dan overwhelmed kusangkal dan kuabaikan. Semua berjalan mulus, sampai aku terpaksa overwhelmed dan tidak bisa menyangkalnya lagi. Semua baik-baik saja sampai kebohonganku terbongkar. Ini adalah gejala bahwa menyangkal diriku bukan langkah yang tepat. Karena semua penyangkalan niscaya akan terbongkar. 
Bagaimana cara untuk tidak menyangkal diri sendiri? Dengan mencoba berteman dengan sisi diri yang disangkal. Aku memang sensitif dan overwhelmed. sensitif dan overwhelmed yang awalnya diabaikan itu mesti dibiasakan untuk diakui. Pengakuan ini adalah perayaan bahwa aku sudah jujur. Selamat! 
Tapi setelah selesai menjadi pengecut di satu bidang: misalnya bidang kejujuran, maka aku akan jadi pengecut di bidang lain. Banyak sekali aktivitas yang jauh dari nyaman untuk dilakukan. Setelah jujur, aktivitas lain yang juga dingin adalah berteman dengan orang asing. Dalam hal ini, sisi culunku itu adalah hal yang asing untuk dijadikan teman. 
Kelak aku akan kembali untuk jadi pengecut yang takut jujur. Pengecut yang takut menemui sisi culunku itu. Tapi keberhasilanku kali ini akan menjadi bekal keberanianku untuk menghadapinya lagi. 
Jangan takut jadi pengecut!
(Shoot out untuk teman gundulku yang pengecut. We need courage in being a coward.)
Tumblr media
Pohon di persimpangan Rosenvangs Allé dan Rolfsgade, dari awal musim gugur sampai pertengahan musim gugur. Cantik!
0 notes
salmonmentai · 7 months
Text
Problem People
"No one is immune from becoming the new ‘other’..."
Tumblr media
Hai dari balik jendela kamarku! Sebuah tempat di dunia yang sama dengan orang-orang yang dikategorisasikan sebagai “problem people” (Gordon, 2007). Yang termasuk dalam kategori ini adalah orang-orang yang keberadaannya dianggap sebagai masalah alih-alih dianggap sebagai orang yang sedang dalam masalah. Seperti separuh dunia yang menganggap Palestina sebagai masalah, dan separuh dunia lagi yang menganggap Israel sebagai masalah. Perdebatan siapa yang harus dienyahkan ini tidak akan pernah selesai dan ada pihak yang diuntungkan dari konflik yang dirawat ini, sehingga sebaiknya seluruh dunia terus saja diadu domba.
Problem people adalah orang-orang yang dikategorikan sebagai non-human being, di luar kategori manusia. Perlu kuasa untuk bisa meminggirkan orang seperti itu, kekuasaan untuk menetapkan standar bahwa hanya kami yang dianggap manusia dan sisanya adalah masalah. Palestina direpresi oleh negara adikuasa yang bersembunyi di balik sentimen dikotomis Islam dan non-Islam, narasi agama adalah narasi yang terbukti punya kemampuan untuk melanggengkan konflik, dalam kasus tersebut, sejak 1948. 70 tahun lebih dunia berdebat tentang “who are the problem people?” alih-alih “what is the problem of these people?” 
Dan Terjadi Lagi
Gordon questioned what it is like to live in a body labeled as a ‘problem’, dan sebagai orang Jawa yang sedang tinggal di Jylland, aku mulai mengerti. Satu hari bangun sebagai ras yang mendiskreditkan orang timur. Hari berikutnya aku bangun sebagai ras yang didiskreditkan orang barat. (Didiskreditkan secara sistemik tentunya. Lingkungan Denmark sendiri tidak diskriminatif). As Tlostanova (2018) argued, no one is immune from becoming the new ‘other’, a disorientating experience that can extend so far as to become excluded from humanity in general– dengan kata lain, opresi ini terreproduksi, dan kelak akan ada pihak baru yang tidak termasuk ke dalam "kita"-nya kemanusiaan oleh otoritas superior yang baru. Jadi, netral atas nama kemanusiaan pun juga dipertanyakan: jangan-jangan kemanusiaan yang dimaksud adalah kemanusiaan yang eksklusif milik golongan tertentu saja. Untuk jadi manusia pun ada membership-nya.
Negara pun bahkan abai untuk melawan superioritas sistemik di negerinya sendiri, sambil membiarkan otoritasnya menjajah warganya sendiri di Papua, misalnya. Atau membiarkan otoritasnya membangun ibukota baru di Kalimantan, sambil menghiasnya dengan nama desentralisasi. Tidak ada yang baru dari kejadian ini, same shit different places. And this same shit will regenerate into another kind of oppression.
Buaian Dualisme
Siapakah yang harus dimenangkan di antara Islam dan non-Islam? Bukan pertanyaan itu yang butuh jawaban, melainkan pertanyaan itu butuh dipertanyakan lebih lanjut, siapa otoritas superpower yang melempar pertanyaan tersebut dan mengambil untung dari pertanyaan itu? 
Jawabannya terlalu absolut dan tidak produktif, sehingga kuusulkan pertanyaan lain: Siapakah otoritas yang punya potensi untuk pointing finger pada kekuatan yang lebih besar, namun memilih untuk tidak memenuhi potensinya tersebut? Negara bergotong-royong untuk memberikan pertolongan pertama, namun tetap abai untuk berserikat, mengambil keberpihakan yang sama, dan ikut menanggung resiko untuk melawan superioritas sistemik di seluruh dunia. Atau kalau pun terlalu besar resiko yang harus dilakukan, setidaknya konflik ini bisa jadi momentum untuk otoritas Indonesia mengingat lagi, siapa, ya, pihak yang teropresi oleh sistem di negeri kita yang lucu ini?
Thanks for caring :) Let's pick a side proportionally!
1 note · View note
salmonmentai · 7 months
Text
Angin Ribut dan Ombak yang Bingung
Hai, selamat siang dari balik jendelaku. Minggu ini ditutup dengan cuaca yang sangat berangin di Aarhus. Nasehat populer di sekitar sini adalah, “tidak ada cuaca buruk, yang ada hanyalah pakaian yang tidak tepat.” Maka secara formal aku mengucapkan selamat tinggal kepada tampilan easy going andalanku: celana pendek dan menggantinya dengan empat lapis pakaian setiap keluar rumah. Cuaca mendung berangin dan terasa seperti minus dua derajat celcius ini memang bukan cuaca jelek, hanya cuaca yang kurang pas untuk piknik. 
Tumblr media
Trekking route dari stasiun Skagen ke ujung utara Jylland Peninsula.
Seolah belum puas dengan angin di sini, aku dan teman-teman naik kereta 3 jam ke utara untuk merasakan angin di tempat lain. Ketika menginjakkan kaki di stasiun paling utara itu, angin terasa begitu kencang. Stasiun tidak memiliki hall yang menyambut pendatang, langsung mengarahkan kami ke pertokoan dan rumah-rumah yang seragam bentuk dan warna kuningnya. Semuanya bangunan satu lantai yang terlihat sangat tertata. Dalam kondisi kaget karena tiba-tiba datang dan langsung dihadapkan ke perkotaan, aklimatisasi kami lakukan di supermarket sembari membeli perbekalan untuk piknik. Kami berencana piknik ke sebuah pantai bernama Grenen, titik paling utara di Pulau Jylland, sehingga untuk ke sana kami masih perlu berjalan kaki. 
Berjalan di bahu kanan jalanan yang datar, kami ditemani oleh padang rumput yang menghampar, yang membuat angin mengenai kami begitu saja tanpa melewati pohon sebagai penahannya. Kebetulan angin berhembus berlawanan dengan arah kami berjalan, sehingga rasanya seperti berjalan sambil didorong ke belakang. Walaupun aku tidak bersepeda dalam keseharianku, setidaknya aku dapat gambaran bagaimana orang-orang yang menggenjot sepedanya di jalan berbukit dan menanjak. Ada dua mercusuar di awal dan akhir perjalanan, namun tidak terlihat ada aktivitas manusia di sekitarnya, membuat padang rumput yang terus menerus tertiup angin ini semakin suram.
Banyak mobil yang terparkir sehingga kami tidak sendirian berjalan melawan angin yang berhembus secepat motor bebek ini. Semua orang berjalan condong ke depan dan melindungi wajahnya dengan tangan, kacamata, dan penutup kepala. Beberapa anjing peliharaan dibawa ke wisata badai pasir ini. Sebagai hewan berkaki empat, mereka punya pijakan yang lebih kuat dan kuda-kuda yang lebih pas untuk melawan angin. Beberapa melolong, kubayangkan matanya perih terkena pasir yang begitu kencangnya, namun mereka tidak bisa melindungi wajah mereka seperti manusia. Walau imut, namun membawa anjing ke tempat wisata seperti ini kurang berperikeanjingan.
Di bibir pantai, ombak terlihat tidak kompak seperti ombak pada umumnya. Mereka terlihat bingung, satu ke arah pantai, dan satu lagi berhembus mengikuti arah angin sehingga mendisrupsi nyiur ombaknya. Walaupun angin bergemuruh, ombak tidak bergulung-gulung seperti akan pasang. Sesampainya di titik paling utara yang dituju itu, kami menyaksikan ombak yang berlawanan satu sama lain di ujung pantai. Laut Baltic di kanan kami menghembuskan ombak ke Laut Utara di kiri. “Selat Kattegat yang kutonton di series Vikings ada di sebelah kananku!” begitu pekikku dalam hati. Fenomena alam ini sangat mengagumkan, betapa dua ombak bertabrakan di sebuah pantai, namun tabrakan itu dikombinasikan dengan badai hari itu membuatku tidak bisa lama-lama melamun di hadapannya. Alhasil aku memunggungi pertemuan Selat Kattegat-Skagerrak yang megah itu dan serta merta memulai piknik kami, menikmati  perbekalan kami yang memungkinkan untuk dimakan di tengah badai, seperti coklat batang, susu coklat, dan roti kayu manis.
Tumblr media
Anjing yang matanya kemasukan pasir.
Tumblr media
Angin yang bahkan bisa dipakai untuk bersandar
Tumblr media
Piknik memunggungi Kattegat dan Skagerrak sekaligus.
Ternyata, piknik di cuaca yang kurang pas ini bukan tidak mungkin, dan malahan membuat coklat yang manis, pahit, dan dingin semakin terasa enak– rasa coklat dan badai pasir yang sesekali saja untuk dicicipi kenikmatannya. Toh warga lokal pun masih ramai-ramai menikmati rekreasi pada cuaca begini, tentu semuanya menggunakan pakaian berlapis. Kalau kembali merenungkan nongkrong, yang direnggut dari cuaca ini hanyalah informalitas dalam pikniknya, menjadi suatu rekreasi yang mesti dipersiapkan dan dikondisikan sebelumnya.
Sehari-hari, cuaca ini memang lebih pas untuk menghabiskan waktu di dalam ruangan. Mungkin itu pula yang membuat toko mebel tersebar di penjuru kota, karena cuaca dingin memicu penduduknya untuk selalu punya kebutuhan untuk mengkreasikan interior mereka.
0 notes
salmonmentai · 8 months
Text
Nongkrong, Hangout, dan Hygge
Hai! selamat siang dari lantai 3 ARoS (Aarhus Art Museum), tempat aku dan Silvia hangout dan ngobrol seputar apa itu nongkrong? Kami berdua membandingkan nongkrong (istilah Indonesia) dengan hygge (istilah Denmark), mencoba mencari perbedaan di antara keduanya sebagai sesuatu yang sama-sama berarti hangout dalam bahasa inggris. Aku dari Indonesia, sementara Silvia dari Rumania dan beberapa tahun tinggal di Denmark, sehingga jalan untuk mencapai kesepahamannya lumayan menantang.
Tumblr media
Nongkrong dilakukan di mana saja walaupun nggak ada karpet piknik / bangku
Nongkrong atau Hangout?
Kami tidak kunjung mengerti apa bedanya nongkrong sama hang out biasa, tapi kami yakin ada bedanya. Ketemulah bahwa nangkring dan nongkrong adalah dua istilah yang mirip. Awalnya, aku coba menghighlight betapa nongkrong itu kumpul-kumpul yang organik dan spontan (uhuy) alias tidak direncanakan. Tapi bukankah itu juga yang sedang kami lakukan saat itu? mengunjungi pameran tanpa ekspektasi apa-apa, lalu berputar-putar di rainbow sky mindlessly, dan ngobrol tanpa ada struktur tertentu. Silvia cuma sekadar menyampaikan curiosity-nya dan dari situ pun obrolannya ngalor ngidul santai. Sekadar organik tidak membedakan nongkrong dengan hangout biasa. “Lalu apa lagi pembeda nongkrong dengan hangout biasa?” aku menanyakan pertanyaan yang diberikan Silvia padaku.
Nongkrong itu Informal
“Apakah nongkrong harus ada di tempat tertentu?” tanyanya. Ia menunjukkan ilustrasi lumbung vernakular yang ia temukan, terdapat area untuk bersosialisasi di bawah panggung. Kulanjutkan, karena nongkrong itu spontan, maka kita bisa nongkrong di mana saja. Kubilang umumnya aku nongkrong di toko kopi.
Tumblr media
Nangkring
“Nangkring,” batinku ketika tanpa sengaja aku meletakkan kacamataku di atas ponsel secara acak dan sembarangan. Mirip juga ya kedua kata itu, nangkring dan nongkrong. Selain di toko kopi, orang-orang pun umum ditemukan nongkrong di pinggir jalan sambil jongkok, pinggir trotoar, tangga darurat, atau belakang backdrop suatu acara– tempat-tempat yang tidak dibuat khusus untuk kita duduk dan menikmati keadaan. Nongkrong adalah hangout di tempat yang tidak semestinya. Nongkrong adalah hangout yang bukan pada tempatnya, dengan kata lain, hangout yang informal.
Saat Silvia membandingkan nongkrong tersebut dengan hygge, ia menemukan bahwa hygge berorientasi pada kenyamanan. Dalam hygge, kami perlu secara sadar berupaya agar kami merasa nyaman di situ, dengan makan dan minum bersama di ruangan yang hangat, atau piknik di rerumputan, misalnya. Sementara nongkrong, terkesan perlu dilakukan saat itu juga tanpa menunggu situasi untuk jadi nyaman. Di tangga darurat yang belum diaci pun, orang-orang tetap nongkrong, padahal tentu situasinya jauh dari rasa nyaman. Tapi apa, ya, yang bikin orang tetap nongkrong walaupun tidak pada tempat yang nyaman?
Tumblr media
Walaupun dilakukan di Indonesia, piknik begini lebih tepat disebut hygge alih-alih nongkrong.
Nongkrong dan Praktikalitas
Nongkrong yang impromptu artinya kegiatan hangout itu tidak dipisahkan dengan kegiatan utamanya. Artinya, nongkrong dibuat sebagai selingan kecil yang tidak megah, terselip di antara kegiatan sehari-hari. Sementara itu, hygge tidak terselip di antara kegiatan sehari-hari. Ia adalah kebersamaan yang disengajakan. Efektif dan efisien. Nongkrong adalah bagian dari praktikalitas dalam kehidupan sehari-hari. Ibu-ibu nongkrong sekaligus memasak di dapur yang sama, yang walau pengap dan sempit tapi tetap dilakukan.
Act of togetherness dalam nongkrong terkesan not making sense dan konyol, kalau dibandingkan hygge yang hangat dan nyaman. Tapi di cuaca berangin seperti ini, aku sungguh enggan untuk nongkrong di pinggir jalan dan memilih untuk hygge di dalam ruangan saja.
0 notes
salmonmentai · 8 months
Text
Bosan dan Perenang Handal
Tumblr media
Foto city center yang kuambil saat pertama kali kulihat di siang bolong. Saat itu, aku mengagumi bagaimana pembongkaran bangunan tidak dilakukan demi melancarkan kegiatan komersial. Saat itu, aku belum tahu bahwa aku bisa bosan dan muak melihatnya. "Yaampun, perempatan ini lagi. Huek!"
Hai! Selamat malam dari meja belajarku. Selasa lalu, hujan deras mengguyur Aarhus. Amin memperlihatkan rentetan video banjir di mana-mana, bagaimana air hujan menggenangi basement, dan bahkan menyebabkan sebuah pintu toko terhalang banjir hingga tidak bisa dibuka. Aku sendiri, karena hari itu harus ke city center dengan bus kota, menyaksikan bagaimana air membanjiri jalan dan hampir masuk ke dalam bus. Sambungan di antara bus berguncang kencang, lantai bus basah kuyup, aku kehilangan wadah jas hujanku di tengah hujan itu. Kata Anastasia, mungkin hujan seperti ini hanya terjadi setidaknya dua kali dalam setahun. Tapi di mata orang tropis, hujan yang katanya deras ini tentu adalah hujan pada umumnya yang bahkan bulir airnya berbunyi “pletok!” kalau kena kap mobil. Bulir yang besar dan turun dengan kencang.
Dari bus kulihat bulir-bulir air hujan yang hampir tidak kelihatan itu diam-diam bisa bikin banjir. Sungguh telaten, pikirku. Mungkin bulir pertama yang turun tidak pernah tahu bahwa setelah setengah hari ia akan jadi bagian dari banjir, tapi dia tetap turun betapa pun ini sudah kali ke-350juta dia sudah terdaur ke laut, menguap dan turun lagi tanpa alasan yang jelas, menguap dan turun lagi tanpa alasan yang jelas. Tidakkah dia bosan? Sementara aku yang keluar rumah, jalan, mondar-mandir naik bus, kemudian masuk rumah lagi saja, merasa bosan. Aku belanja, menyimpan makanan, lapar, masak, makan, cuci piring, lapar lagi, makan lagi, lalu merasa bosan. Buka laptop, buka catatan, ditutup lagi, dibuka lagi, ditutup lagi, lalu merasa bosan. Bosan terdengar sebagai keluhan yang manja, ya?
Tapi kukira, kemewahan juga untuk bisa merasakan bosan, karena di saat lainnya aku tidak sempat mengakui kebosanan itu dan terus bergerak di pusaran rutinitas yang tidak ada hentinya. Sehingga berhentinya rutinitas itu jadi kunanti-nantikan. Lalu ternyata hidup terus berjalan dan aku bosan lagi. Kalau semua rutinitas kuhentikan demi agar merasa tidak bosan, lama-lama aku tidak makan dengan alasan bosan. Kemudian aku akan merasa lapar terus dan jadi bosan. Yaampun, bosan ada di mana-mana!
“Is routine really boring, or is it on you that you get bored?” tanya bulir air hujan yang mampir ke jendela bisku. Oke, ternyata bukan salah bis kota, dapur, laptop, dan kamarku bahwa aku merasa bosan. Maaf, ya, sudah mengkambinghitamkan kalian.
-
Kenapa, ya, aku jadi bosan? Semuanya terasa bosan mungkin karena semuanya monoton. Pergi ke city center diselesaikan dengan naik bis dan semua selesai. Tidak ada kebaruan dalam rutinitas ke commuting itu sehingga aku menurunkan kewaspadaan kepada semua yang terjadi di jalan, dan tiba-tiba semuanya terjadi begitu saja. Aku berangkat dan sampai. Kupelototi jalanan, menuntut jawab apa yang bisa dia berikan untuk memberi rasa dalam hariku yang mendung. Hal-hal yang practical, survival, memang sepertinya tidak punya rasa. Tapi sehari-hari kutelan saja karena butuh, jalanan ini kutelan karena aku butuh sampai di tujuan.  Hambar. 
Tentu juga tidak ada purpose yang bisa di-install ke dalam perjalanan yang monoton ini. Tentu terus menerus naik bis kota tidak akan membuatku jadi perenang handal, misalnya. Tidak ada skill yang bisa diraih dari tiap hari naik bus ke city center. Tidak juga ada kebaruan yang bisa di-install ke dalam perjalanan yang berulang ini. Tentu tiap city center ini wujudnya sama. Ada retail burger yang sama di situ, stasiun di sebrangnya, swalayan asia di sisi lainnya… begitu terus setiap hari. Tidak bisa kuminta besok ada sapi di pinggir jalannya sehingga perjalanan city center jadi spektakuler. Toh kalau di city center tiap hari ada sapi, aku juga akan bosan. Begitu juga kalau city center dimuseumkan, toh kalau tiap hari itu aku ke museum, aku juga akan bosan dan tidak merasa spektakuler lagi. Lalu bagaimana aku bisa tidak bosan berangkat ke city center, ya?
“This might be similar to practicing drumming. You’re made to practice bass drum patterns only, day after day. Then you spend days on just the cymbals. Then just the tom tom…Monotonous and boring for sure, but once it all falls together you get a solid rhythm. In order to get there you have to stubbornly, rigorously, and very patiently tighten all the screws of each individual part. This takes time, of course, but sometimes taking time is actually a shortcut. This is the path I followed in swimming, and after a year and a half I was able to swim long distances far more gracefully and efficiently than ever before.” - Haruki Murakami ketika bicara tentang latihannya menjadi perenang yang handal.
Kalau memang aku tidak bisa berbuat apa pun pada jalanan yang sama itu, mungkin aku cuma bisa menjalaninya dengan telaten saja. Mungkin ada yang bisa diraih dari tiap hari naik bus ke city center, tapi aku tidak akan menyadarinya sekarang. Kalau aku sabar sedikit lagi, mungkin akan menemukan jalanan yang membosankan ini dalam ritme hari-hariku, minggu-mingguku, bulan-bulanku, dan tahun-tahunku. Naik bus kota tiap hari tidak akan menjadikanku perenang handal, tapi mungkin bisa menjadikanku perenung yang lebih baik.
2 notes · View notes
salmonmentai · 8 months
Text
Buzzwords dan Kekacauan
Hai! Selamat siang dari kamarku di Aarhus, pada sebuah minggu siang yang mendung. Konon musim panas sudah berlalu di sini dan sudah memasuki musim gugur, tapi aku belum melihat daun-daun berguguran. Yang kurasakan hanyalah cuaca 15 derajat celcius di siang hari, tidak terlihat dingin kalau dilihat angkanya, tapi anginnya membuatku mustahil untuk keluar rumah tanpa baju berlapis. Bahkan di dalam kamar pun aku hampir selalu menggunakan hoodie–hoodie dari jaman SMA yang diprotes ibuku karena sudah kumal namun ngotot kubawa kemari. Bu, hoodie buluk inilah yang membantuku keluar dari dalam selimut di pagi hari, kemudian berangkat sekolah yang jaraknya sekitar 50 menit dengan bus, setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat.
Tumblr media
Terlampir mirror selfie di sebuah musim panas 2023 di sekolah. Aku suka sekali dengan sekolah ini yang eksteriornya serba bata ekspos, dipadukan dengan sentuhan modern, kaca dengan frame metal tipis. Minimalis!
Aku sedang belajar di sebuah program bertajuk Sustainable Heritage Management, sebuah judul program yang merupakan gabungan dari tiga buzzword abad ini: sustainable, heritage, dan management. Terlihat utopis, tapi menghadirkan kata-kata abstrak ini ke dalam struktur perkuliahan yang straightforward adalah sebuah depiction of an era, bahwa setidaknya di tengah disrupsi teknologi informasi dan krisis iklim, kita punya jargon-jargon ini sebagai simbol optimisme. Walaupun ada di bawah departemen arkeologi sehingga kebanyakan heritage yang dibahas adalah situs bersejarah dan manajemen yang dibahas adalah institusi warisan budaya, tapi para pengajarnya melakukan upaya untuk membawa mahasiswanya keluar dari batasan konteks tersebut, sehingga studi-studi kasus yang dibuat hanya menjadi contoh saja. In a nutshell, studi ini adalah sebuah cermin, upaya untuk memahami zaman yang serba abu-abu dengan terjun ke dalam kekacauan itu sendiri.
Though I'm past one hundred thousand miles I'm feeling very still….
...Ground Control to Major Tom Your circuit's dead, there's something wrong Can you hear me, Major Tom? Can you hear me, Major Tom? Can you hear me, Major Tom? Can you hear me, Major Tom? Can you-
Terjun ke dalam kekacauan, aku merasa, studi ini berusaha men’diam’kanku di tengah semua yang bergolak bersahut-sahutan, yang mana sangat menyenangkan! Memberi jarak antara aku dan kekacauan (misalnya, tentang kisah penghancuran patung Buddha terbesar oleh Taliban), mencoba memberiku berbagai konteks agar aku menjadi social justice warrior yang bersikap assertif: tidak agresif, tidak juga submisif terhadap sebuah konflik. Mengajarkanku mencapai kebijaksanaan bersikap, atau setidaknya tidak latah terhadap banjir informasi yang menuntut reaksiku. Tidak perlu terbebani dengan pertanyaan besar seperti definisi heritage, karena pertanyaan tersebut bukan perlu jawaban objektif, melainkan penyikapan yang sesuai porsinya. Sekarang aku baru mau mencoba menyikapi pertanyaan tersebut dengan kewaspadaan sederhana, apa pun itu jawabannya, apakah jawaban itu adalah bentuk glorifikasi dari apa pun itu? Kalau iya, berarti pemaknaannya sedang out of proportion dan perlu diseimbangkan.
Kurang lebih seperti kata Major Tom, yang walaupun dia jauh sekali dari bumi, tapi dia merasa sangat… diam. Aku senang merasa sangat diam, walau tertinggal sekalipun. Walaupun Ground Control bilang, bahwa dia sedang dalam kekacauan, Major Tom bilang, baiklah, apa boleh buat.
Here am I floating 'round my tin can Far above the Moon Planet Earth is blue And there's nothing I can do
Begitulah.
1 note · View note
salmonmentai · 8 months
Text
Digusur Masa Lalu
“Gorm King made these monuments in memory of Thyra, wife his, Denmark’s adornment”
Tumblr media
Dua runic stones di depan gereja putih, yang kecil dibuat atas nama Gorm, yang besar dibuat atas nama Harald
(1/3) Jelling as a Text: What does It Tell?
The Birth Certificate
Begitulah nama Denmark pertama kali terekam secara tertulis pada sebuah batu. Batu ini merupakan satu dari dua runic stones yang ditemukan di Jelling, yang akhirnya terkenal sebagai birth certificate-nya Kerajaan Denmark. Jelling adalah sebuah kota kecil yang juga terkenal dengan College of Education-nya, sebuah contoh bagaimana sebuah situs bersejarah seluas 12,000 sqm terletak di tengah-tengah kota berpopulasi 3,000an orang, salah satu situs bersejarah yang masuk dalam World Heritage List oleh UNESCO.
Diukirnya nama Denmark pertama kali bersamaan dengan keperluan raja untuk mengenang istrinya, memunculkan interpretasi mengenai posisi pada perempuan pada tahun 950 di lingkungan sosial, yang disebut adornment, atau perhiasan. Penggunaan perspektif terhadap perempuan sebagai media dalam sebuah pernyataan yang sentral, sepertinya adalah upaya mengukuhkan kekuasaan yang aman, dengan cara objectifying women.
Mundur sedikit ke kesan pertama ke situs ini, terdapat penonjolan maskulinitas era Viking di pintu masuk: dinding tinggi, replika perisai, dan gambar prajurit Viking yang gagah di mana-mana. Nama museum untuk situs ini adalah Kongernes Jelling, the Home of the Viking Kings, yang juga menonjolkan dominasi laki-laki dalam narasi sejarah Viking. Apakah ketimpangan gender ini merupakan gambaran keadaan masa lalu atau merupakan keputusan konservatif dari museum untuk menjaga perspektif tersebut, dengan melekatkan perspektif ini pada sesuatu yang luhur, yaitu budaya zaman Viking?
Tumblr media
Replika dinding palisade yang tinggi di area masuk kawasan
Diukirnya nama Denmark pertama kali bersamaan dengan keperluan raja untuk mengenang istrinya, memunculkan interpretasi mengenai posisi pada perempuan pada tahun 950 di lingkungan sosial, yang disebut adornment, atau perhiasan. Penggunaan perspektif terhadap perempuan sebagai media dalam sebuah pernyataan yang sentral, sepertinya adalah upaya mengukuhkan kekuasaan yang aman, dengan cara objectifying women, objek yang 'bisa dikontrol dalam tatanan sosial'.
Batu lain yang diukir oleh anaknya, King Harald, berbunyi,
“King Harald ordered these kumbls made in memory of Gorm, his father, and in memory of Thyra, his mother; that Harald who won for himself all of Denmark
and Norway and made the Danes Christian”
Sebagai pernyataan atas kekuasaannya, Harald menyatakan bahwa ia adalah bagian dari royal family kerajaan Denmark. Selain itu, lewat batu ini, Harald menekankan bahwa ia adalah raja dengan kekuatan yang besar, bahwa ia berkuasa atas Norway dan sekaligus mengubah agama resmi di Denmark dari Pagan ke Kristen. Mengubah agama resmi ini menjadi penting untuk menjalin hubungan diplomatis antara Denmark dengan dominasi negara-negara Eropa, yang dimulai dari hubungan diplomatis antara Harald dengan Otto the Great dari Jerman sebagai Holy Roman Emperor. Hubungan diplomatis ini pun diperkuat dengan pernikahan putranya Harald, Forkbeard, dengan putrinya Otto, Swanhild. Batu ini merupakan wujud dari kooperasi Denmark terhadap kekuasaan Eropa, namun pemilihan kata dan penggunaan huruf pagan ini merupakan penekanan bahwa Denmark masih berdaulat, masih punya kekuasaan atas dirinya sendiri… (dan Norway).
Conversion to Christianity
Dua batu ini terletak di depan gereja paroki dari tahun 1500, yang di bawahnya ditemukan jejak bangunan kayu– kemungkinan gereja sebelumnya yang lebih kecil di tahun 980. Organisasi gereja berkembang di Denmark sejak Harald menyatakan kekristenannya, dimulai dari pembagian Denmark menjadi delapan keuskupan (bishoprics) yang membuat posisi gereja, baik bangunan maupun organisasinya, semakin sentral di tengah masyarakat. Terjadi ledakan pada jumlah pembangunan gereja di Denmark, bahkan masyarakat membayar pajak pada gereja dan biarawan berkeliling untuk menyebarkan agama. Pada tahun 1500an, terjadi reformasi selama 30 tahun, di mana biarawan-biarawan dipenjara dan biara ditutup, bahkan kekayaan gereja disita oleh raja. Setelahnya, Protestan masuk ke Denmark dan pembaptisan sebelum umur 19 tahun diwajibkan sebelum masyarakat bisa menikah atau menjadi godparents. Barulah di awal abad 20, pergerakan gereja paroki dimulai oleh para petani dan tukang kayu. Begitulah gereja yang tersebar di penjuru Denmark mengalami berbagai perubahan, namun gereja senantiasa memiliki posisi sentral dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. 
Tumblr media
Gereja paroki Jellings yang dindingnya terbuat dari batu. Pada sebuah lubang di dinding, aku mengintip untuk melihat bahwa ketebalan dindingnya mungkin saja sekitar 30 cm– tebal sekali, seperti gereja romanesk lainnya yang biasanya batanya dibiarkan terekspos.
Symbol of Greatness
Di bawah lantai gereja Jellings, ditemukan sebuah makam dengan sisa jasad seorang pria yang tidak teridentifikasi. Siapapun itu, sisa jasad itu diduga merupakan jasad yang dipindahkan dari gundukan makam (burial mound) tanpa jasad di dekat gereja. Gereja putih ini diapit oleh dua burial mound: satu dibangun oleh Gorm dengan fungsinya sebagai makam, walau ketika ditemukan makam di dalam gundukan ini kosong; satu lagi dibangun oleh Harald tanpa fungsi sebagai makam. Entah apa motifnya, namun gundukan yang dibangun oleh Harald diduga adalah monumen agama pagan, sebagai simbol keberdayaan Harald atas dirinya sendiri walaupun tunduk pada dominasi bangsa Eropa lainnya.
Tumblr media
Terdapat tangga untuk naik ke atas kedua burial mound tersebut, namun kebanyakan naik ke bukit utara yang dibangun oleh Gorm, di mana bendera Denmark biasa dikibarkan. Terlihat seorang pengunjung bertopi koboi melihat ke bawah beberapa saat sebelum turun dari gundukan tersebut. Mungkin ia sedang merasakan kebesaran royal family yang saat itu berkuasa. Bagaimana pun, Jelling adalah simbol kekuasaan Harald dan keluarganya.
Dari gundukan tersebut, terlihat dua buah pola yang membentuk perimeter, satu berbentuk elips, dan yang satu lagi berbentuk jajar genjang. Yang berbentuk elips adalah ship setting, jajaran batu untuk jadi tatakan kapal. Jejak ship setting pertama kali ditemukan di bawah gundukan selatan milik Harald pada 1941 dengan posisi meruncing saja, dan berkembang seiring ditemukannya jejak lain di sisi utara kawasan ini. 
Yang lebih menggemparkan bagi para arkeolog adalah penemuan jejak palisade pada 1974. Palisade adalah jejak dinding kayu yang rupanya membentuk pola jajar genjang, yang setelah dilakukan dendrokronologi (mengukur umur kayu untuk memprediksi waktu dibuatnya), sesuai dengan linimasa kekuasaan Harald pada tahun 950. Palisade ini sekaligus berfungsi sebagai parameter untuk mendefinisikan batasan situs, sekaligus membantu arkeolog untuk menduga kegunaan dari area ini. Pada perkembangan terkini, diduga kawasan ini adalah kawasan militer, karena selain keberadaan palisade, kawasan ini juga terdapat pada posisi yang strategis di Jutland dan terletak pada dataran tinggi, walau ada pula yang menentang dugaan tersebut karena sebuah kawasan militer tidak mungkin berbentuk jajar genjang, karena sudut runcing merupakan titik lemah untuk keamanan kawasan.
Tumblr media
Wujud situs bersejarah yang terletak di tengah-tengah kota, cukup nyentrik karena geometris. Yang jajar genjang adalah jajaran palisade dengan panjang sisi 360 m, yang elips adalah ship setting sepanjang 350 m, dua lingkaran besar itu adalah mount burials yang kosong, dan di antara mereka terdapat gereja putih, yang di depannya terletak dua runic stones.
(2/3) Jelling as an Arena: What Power Relationship Can be Traced?
World Heritage Site
Sebagai syarat untuk gelar World Heritage, situs bersejarah harus memiliki outstanding unique value, yang oleh UNESCO di-breakdown menjadi 11 kriteria. Jelling memenuhi kriteria ke-3 yang menyatakan bahwa Jelling adalah saksi unik dari sebuah peradaban, yaitu pertemuan budaya pagan nordic dan kristenisasi dalam wujud runic stone dan gereja paroki. Dengan disematkannya gelar World Heritage ini pada tahun 1994, budaya pagan nordic dan kristenisasinya tidak hanya menjadi milik Jelling saja, atau tidak hanya menjadi milik Denmark saja, melainkan milik kemanusiaan. Dalam konteks Denmark sebagai negara koloni, menjadikan situsnya sebagai milik bersama merupakan keputusan yang dermawan, namun dalam konteks negara lain yang pernah dijajah (misalnya Greenland), kemudian situsnya diklaim sebagai milik dunia merupakan keputusan yang semena-mena. Mengapa demikian, ya?
Bersama dengan Culture Agency dari UNESCO, Museum nasional merupakan dua badan yang berlaku sebagai stakeholder primer dalam manajemen kawasan ini, selain para pemilik kawasan yaitu Vejle Municipality (pemerintah kota), gereja paroki, dan para dewan khusus. Di luar badan-badan tersebut adalah stakeholder sekunder, yaitu peneliti, organisasi pariwisata, dan College of Education yang terletak tepat di sebelah selatan kawasan. Komunitas lokal tidak termasuk dua golongan tadi, namun kebutuhan mereka tetap terwadahi. Misalnya, keberadaan komunitas bersepeda membuat pengembangan jalur sepeda sebagai salah satu tujuan pembangunan area kota.
Archeology Treasure Hunt
Arkeolog sangat bersemangat untuk menelusuri berbagai misteri dari kawasan ini, misalnya kenapa burial mound tidak memiliki jasad di dalamnya, di manakah entrance kawasan pada palisadenya, dan apakah fungsi dari bangunan ini. Riset menjadi lapangan yang selalu berkembang bagi semua situs bersejarah, sebab interpretasi masa lalu selalu bergerak seiring berjalannya waktu.
Namun, penemuan arkeolog juga mengundang masalah, misalnya pada warna tanah yang berubah ketika palisade asli diekskavasi. Selain itu, pada pengeringan sebuah kolam di Jelling pada 1945 guna menemukan kayu palisade. Pengeringan tersebut menyebabkan air kolam harus direkayasa secara buatan demi menjaga permukaan airnya tetap berada pada level tertentu, agar ekosistem tetap terjaga. Walaupun ekosistem telah dipindahkan ke kolam kompensasi, namun tetap saja kolam yang lama itu tidak dapat ditinggalkan begitu saja karena masih dibutuhkan untuk kepentingan riset lebih lanjut. Muncullah diskusi mengenai preservasi dan ekskavasi kolam, yang manakah dari kedua hal itu yang lebih patut untuk dilakukan? Sebab preservasi memang lebih mahal, namun lebih patut. Disebut patut dalam konteks kolam sebagai natural heritage adalah dengan meninggalkan kondisi aslinya semaksimal mungkin.
(3/3) Jelling as a Performance: What does It Make You Feel?
The Locals
Sebagai pemilik situs, gereja paroki memiliki posisi sentral di Jelling. Di sekitar gereja, terdapat pemakaman warga, yang tahun-tahun kematiannya memang cukup baru. Agama merupakan penghubung masa lalu dengan masa kini, yang menjadikan kompleks Jelling ini dapat secara aktif menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Lalu bagaimana hubungan gereja paroki ini dengan wisatawan?
Seperti permasalahan pada situs bersejarah lainnya, terdapat kondisi bertentangan antara kesakralan area gereja dan wisatawan. Kemarin aku berkunjung di pagi hari, di mana sedang tidak ada aktivitas apa pun di gereja. Namun, kawasan gereja ini memang cenderung tertutup, sehingga masuk ke kawasan gereja ini rasanya seperti diperbolehkan masuk ke rumah orang.
Tumblr media Tumblr media
Kompleks pemakaman di sekitar gereja yang ramai oleh masyarakat (yang telah tiada)
Berbeda dengan gerejanya, Museum Kongernes Jelling terkesan mengundang pengunjung untuk masuk dari pintu masuk yang denahnya cukup straightforward: dari area foyer, sudah terlihat pameran, kafe, hall, dan situs bersejarahnya. Pengunjung bisa menentukan kemana mereka akan berkunjung. Pameran di dalam Museum Kongernes Jelling ini sangat interaktif dan menyajikan informasi secara komprehensif. Pameran sebagus ini dapat dinikmati secara gratis sejak 2006, sama seperti semua museum di Kota Vejle. Setelah mengalami pekan pameran Denmark yang menggratiskan seluruh museum di Denmark, aku memahami bahwa mau tidak mau, pergi ke museum adalah kebutuhan rekreatif yang tidak semua orang butuhkan, sehingga sangat mungkin bahwa wisatawan pergi ke Kongernes Jelling bukan karena rasa ingin tahu, namun karena gratis.
Tumblr media
Voluntary fund untuk pengembangan museum, dalam upaya menjadikan museum ini milik masyarakat, milik pengunjung, dan bahkan milik dunia.
World Heritage Status
Selain itu, tidak terlihat banyak warga lokal di sekitar situs bersejarah ini, walaupun situs ini terletak di tengah kota. Bahkan tidak ada mahasiswa berseliweran walaupun posisinya bersebelahan dengan kampus. Dua ruang yang saling mengabaikan ini menunjukkan bagaimana situs bersejarah ini menggusur (displacing) kehidupan yang sedang berlangsung. Segala upaya untuk mempertahankan viking sebagai identitas masa lalu malah berjarak dengan masa kini. Jelling sebagai situs bersejarah menjadi alat untuk menarasikan ideologi terpilih, yaitu nasionalisme, alih-alih memerdekakan masyarakat di sekitarnya.
Akhirnya, yang dirasakan pengunjung yang tidak punya kepentingan dengan identitas tersebut (misalnya, aku sendiri) adalah bahwa situs bersejarah ini mengeksklusifkan dirinya untuk kalangannya sendiri, jauh dari statusnya sebagai “situs kebudayaan milik kemanusiaan”.
Dwyer, O.T. and Alderman, D.H. (2008) ‘Memorial landscapes: analytic questions and metaphors, GeoJournal, volume 73(3), pp. 165-187
0 notes
salmonmentai · 9 months
Text
Gereja Bergengsi di Denmark,
Aarhus Domkirke
“Apa ekspektasimu sebelum datang kemari?” Waktu ditanya begitu, aku jawab saja aku tidak begitu tahu menahu tentang Aarhus sebelum ke sini, sehingga tidak punya ekspektasi tertentu. Kurenungkan lagi, mustahil orang hidup tanpa punya ekspektasi, hanya saja yang bisa diukur: - Seberapa spesifik ekspektasi itu? - Haruskah kenyataan di lapangan sesuai ekspektasi?
Rupanya, ekspetasiku datang ke Aarhus rupanya adalah menjaga semuanya tetap sama walaupun di tempat yang berbeda. Harus mencapai rasa aman dengan cara yang sama seperti di Malang, misalnya. Ekspektasi yang spesifik, tidak kontekstual, dan yang jelas: ngotot.
Dalam rangka menenangkan ekspektasi yang ngotot itu, mungkin salah satunya bisa dimulai dari niat untuk berkenalan dengan konteks— dalam hal ini Aarhus itu sendiri. Di suatu hari Minggu, aku dan geng Indonesia jalan-jalan tanpa tujuan keliling kota.
Tumblr media
Kami janjian di plaza depan Domkirke, masyarakat sedang berkerumun untuk menyaksikan Ratu Denmark, Margrethe II, keluar gereja. Kenapa Ratu Denmark jauh-jauh datang dari Copenhagen ke Aarhus untuk ibadah? 
Tumblr media Tumblr media
Sungguh pertanyaan yang kurang kerjaan untuk direnungkan, sebab apa salahnya seorang ratu berkunjung ke sebuah kota? Tapi, mungkin, karena ternyata Domkirke adalah landmark penting bagi Denmark: Ia adalah gereja tertinggi (96 meter) dan terpanjang di Denmark (93 meter). Untuk perbandingan, di foto ini gedung sekitarnya setinggi 4 lantai. Tapi untuk membayangkan panjang dari pintu masuk ke kapel yang hampir 100 meter, mungkin ada di dalam sini kesannya akan sangat sakral.
Tumblr media
Kenapa Gereja Serba Paling Ada di Aarhus?
Awalnya, Aarhus merupakan pemukiman pelabuhan sejak abad ke-8 dengan pengaruh keuskupan yang signifikan sehingga Domkirke dibangun di abad ke-8 sampai ke-14, bahkan sebelum Aarhus berstatus sebagai kota di abad ke-15. Saat ini, Domkirke sudah mengalami rekonstruksi sehingga yang kami lihat sudah berupa basilika roman yang didominasi oleh elemen gotik. Dinding batanya yang solid mengesankan gaya roman, sementara penekanan elemen vertikal ada di mana-mana: di ujung menaranya, di lengkungan-lengkungan pintunya yang meruncing, dan kaca-kaca patri besarnya.
Peninggalan gaya roman lain yang masih tersisa di sini adalah fresco-nya, alias mural di langit-langit gereja, yang juga yang terbesar di Denmark yang luasnya mencapai 220 sqm. Lagi-lagi karena belum pernah masuk, aku masih hanya bisa membayangkan, tapi kalau membayangkan ada lukisan yang 22 kali lipat lebih besar daripada langit-langit kamarku yang hanya sekitar 10 sqm ini, pasti itu lukisan yang merepotkan sekali untuk membuatnya.
Di gereja-gereja Skandinavia akan umum ditemukan kapal yang menggantung di langit-langit, atau disebut votive ship, sebagai simbol betapa pentingnya laut bagi Nordic. Kapal dalam tradisi Nordic adalah persembahan untuk memohon perlindungan dan pengingat orang-orang yang hilang di laut. Votive ship di dalam Domkirke, yang bernama Unity, juga merupakan yang terbesar di Denmark. Selain itu, organ di gereja ini pun yang terbesar di Denmark. Organ besar ini dibuat di tahun 1730 dan sudah direstorasi lima kali sampai hari ini. Sementara, altar sebagai bagian penting dari gereja, dalam proses restorasi di Danish National Museum di Copenhagen. Bagaimana pun gereja ini memang sudah berumur 600 tahun lebih, ya, sehingga berbagai elemennya direstorasi.
Dari Domkirke aku jadi membayangkan rasanya berbagi daratan dengan negara lain, karena organ, latticework (kerawang logam), pulpit (mimbar), dan bahkan votive ship yang terbesar itu dibuat oleh orang-orang asing. Pulpit dan votive ship dibuat oleh orang-orang Belanda, sementara organ dan latticework dibuat oleh orang-orang Jerman. Denmark, terutama Semenanjung Jutland, berbatasan langsung dengan Jerman di daratan, yang kemudian Jerman berbatasan langsung dengan Belanda. Semenanjung ini adalah yang menjadikan Denmark sebagai negara batas bawah negara Skandinavia, sementara batas timurnya adalah Finlandia yang berbatasan dengan Rusia. 
-
Aku jadi punya bayangan kenapa Sang Ratu menyempatkan ibadah di Domkirke walau jauh dari rumahnya di Copenhagen, yaitu Aarhus sendiri sebagai kota, memang punya latar belakang religi yang kuat. Lalu kalau kubandingkan dengan Copenhagen yang memang kota perdagangan sehingga lebih terkesan ‘terbuka’, Aarhus lebih terkesan ‘tertutup’ karena memang didominasi suasana spiritualnya.
Tumblr media
1 note · View note
salmonmentai · 9 months
Text
To-do List
Satu bulan aku mengantisipasi hari keberangkatanku ke Aarhus, dua hari penuh aku menempuh perjalanan, tapi kelegaan bahwa aku sudah sampai tujuan dengan selamat bahkan tidak bertahan dalam satu hari. Kelegaan itu dihentikan oleh to-do list baru hari itu, yaitu beli tisu di supermarket untuk hidungku yang meler hebat. Mumpung ke supermarket, aku bermaksud sekaligus belanja keperluan lainnya. Setelah berkeliling supermarket dan memenuhi keranjang belanjaku, pergilah aku ke kasir untuk membayarnya dengan kartu debitku yang berlogokan Visa. Ternyata, kartu debitku ditolak.
Kasir menyarankanku untuk membatalkan satu keranjangku yang penuh barang belanjaan. Pulanglah aku dengan tangan hampa tanpa tisu, sehingga aku bolak-balik ke toilet untuk membersihkan hidungku yang meler hebat itu. Muncullah to-do list selanjutnya, yaitu mengurus kartu debit yang ditolak ke customer service bank tersebut. Tentu segera kulakukan agar aku bisa segera membeli tisu.
Keesokan paginya, begitu bangun aku mendapat instruksi dari bank tersebut untuk restart akunku. Segeralah kulakukan to-do list tersebut. Ternyata, setelah di-restart, akunku malah terkunci sehingga aku tidak bisa mengakses rekeningku sama sekali.
Tentu saja aku panik, karena selain untuk beli tisu, uang itu juga untuk membayar sewa tempat tinggalku yang jumlahnya lumayan juga. Muncullah to-do-list lainnya, yaitu mengurus lagi permasalahanku ke customer service. Ternyata, keluhanku juga ditolak oleh customer service.
Muncullah serentetan to-do-list yang bisa kucoba, walau lebih mungkin gagal daripada berhasil untuk mengembalikan akses rekeningku. Kemungkinan bertemu kegagalan lagi dalam waktu dekat membuatku sangat overwhelmed. Tenggelamlah aku dalam lautan to-do-list, penolakan, dan rasa kesepian yang menyesakkan. Rasanya begitu sendirian. Semua itu bisa begitu menyiksa, hanya gara-gara aku tidak bisa membeli tisu. “Membeli tisu pun tidak bisa,” begitulah aku meratap di hari itu. 
To-undo List
“You’ll be fine.”
Di tengah ratapan hari itu, seorang anak bilang bahwa aku akan baik-baik saja dan hanya butuh istirahat. Muncullah to-do-list baru, yaitu untuk not doing anything. Dengan berat hati kulakukan lagi to-do-list yang counterproductive itu. Tidak melakukan apa pun, kan, tidak akan membuatku bisa beli tisu?
Tumblr media
Terlampir fotoku dan tisu yang kutunggu-tunggu.
Sudah berjalan begitu jauh namun menemukan bahwa ternyata jalannya buntu membuatku kalang kabut. Kecewa karena ingin segera menemukan tujuan perjalanan. Takut tidak akan menemukan tujuan perjalanan itu selamanya. Takut terus hidup tanpa bisa menemukan tujuan itu selamanya. Takut berpisah dengan tujuan itu selamanya. Setelah panik dan berusaha mendobrak jalan buntu itu (yang tentu saja mustahil), aku kembali ke kenyataan bahwa aku hanya bisa bengong. The act of doing nothing.
Saat bengong, aku bisa menatap kebuntuan itu. Agar tetap bengong, aku katakan dengan lantang bahwa aku sudah melakukan semua yang kubisa. Berkat tetap bengong, baru aku sadar bahwa kakiku sakit. Butuh waktu lama untukku menyadari bahwa aku sudah begitu tegangnya menjalani hari-hariku, sehingga krisis membuatku meledak begitu saja. Rupanya, yang lebih aku butuhkan adalah berhenti berjalan saja.
Menelan Jalan Buntu
Setelah bengong dengan nyaman, jalan itu akan tetap buntu, tapi aku akan punya energi untuk menelan jalan buntu itu. Kalau sekiranya rekeningku tidak bisa diakses lagi, uang sewaku hilang begitu saja, aku hanya bisa mengiyakannya. Seolah-olah perjalanan jauh ini sia-sia, tapi menemui jalan buntu memang salah satu bahasa yang digunakan oleh seluruh dunia untuk berkomunikasi.
Setelah jalan buntu ditelan, aku jadi mau kembali ke kenyataan bahwa ternyata semua jalan di dunia ini sama-sama buntu dan tidak ada yang menjamin akan mempertemukanku dengan tujuan itu. 
Beberapa opsi untuk transaksi internasional adalah bank dengan logo mastercard dan visa. Beberapa bank punya tarif IDR25,000 per transaksi, misalnya bank BCA yang customer service-nya sangat mapan. Ada juga bank yang tarifnya hanya IDR6,500, misalnya Jago virtual bank. Sebaiknya:
Gunakan kartu Jago reguler, bukan syariah, karena (sepertinya) punya keleluasaan dalam penggunaannya.
Tabungan disebar di lebih dari satu rekening, misalnya Wise virtual bank. 
Jangan lupa isi pulsa nomor Indonesia secara berkala karena berkaitan dengan berbagai akun dan rekening yang sudah dibuat dengan nomor tersebut, sehingga nomor itu tidak bisa dibiarkan mati begitu saja.
Jangan lakukan dan buat keputusan dalam kondisi auto-pilot, ketika baru bangun tidur, misalnya.
3 notes · View notes
salmonmentai · 9 months
Text
Rumah di dalam Koper
Duduk, menonton jalan dari dalam bus, dan tidak buka handphone adalah momen pause yang sederhana dari waktu yang terus berjalan. Waktu 20-60 menit itu sering sekali berkedip begitu saja dan aku harus melangkahkan kakiku lagi hingga telapakku nyeri. Namun bagaimana pun, ternyata waktu yang begitu sebentar itu memang porsi yang pas untuk menyentil kesadaranku yang sedang mengambang hingga aku ingin menyapa lagi halaman blog-ku yang usang dengan: Selamat pagi dari Aarhus!
Tumblr media
Membawa Rumah
Ada 121 jenis barang yang kutulis di daftar barang bawaan untuk berangkat kuliah ke Denmark. Membuat daftar panjang itu menghabiskan waktu seharian penuh (mungkin dua hari). Membuat daftar panjang itu begitu menyenangkan, karena membuatku merasa aman untuk pergi jauh tanpa harus berpisah dari ‘rumah’ku— kepunyaanku. Itu sampai aku menyiapkan dua koper ukuran medium di kamarku dan menyadari bahwa 121 barang adalah jumlah yang overwhelming.
Untuk menyeleksi mereka, setiap barang yang masuk dalam koperku aku tanyakan terlebih dulu:
Apakah kamu membantuku merasa familiar di tempat asing? Akhirnya benda-benda sentimentil kubawa serta, seperti boneka kecil, buku-buku bahasa Indonesia, serta batik dan baju belel Indonesia.
Apakah kamu ingin kubawa pulang ke Malang? Sebisa mungkin aku ingin membawa kembali apa yang kubawa ke Aarhus, Waktu aku pindah kost dari Bandung ke Jakarta hingga akhirnya kukembalikan barang-barang itu ke Malang, aku ingat betapa banyak barang yang jadi milikku yang harus diangkut kesana kemari. Akibatnya, barang seperti selimut berwujud karung goni yang sangat ingin kubawa dari Malang kutinggalkan, karena sepertinya kelak membawanya kembali ke Malang agak mustahil. Begitu juga dengan piring, mug kucing, alat makan, dan alat masak.
Apakah kamu berguna untukku bisa survive di hari pertama aku tiba, saat aku belum bisa melakukan apa pun? Membawa rice cooker kecil, sedikit beras, dan abon terbukti ampuh untuk proses adaptasi. Selama 4 hari, dua kali sehari, laukku hanya bervariasi dari sambal instan, abon, dan teri balado. Memang, dalam 4 hari itu kebetulan aku belum bisa melakukan apa-apa.
Pada akhirnya, bagasiku over capacity dan aku harus membayar kelebihannya. Itu juga karena aku malah memasukkan koper kabinku ke bagasi alih-alih membawanya ke kabin. Kalau kurenungkan sekarang pun aku masih sulit menentukan barang apa yang tidak perlu kubawa kemari karena tiga pertanyaan di atas sudah menjadikan semua bawaanku bermakna. Kalau ada kebakaran, setidaknya aku punya gambaran bahwa ada tiga koper yang ingin kuselamatkan (sebuah analogi yang kurang bermanfaat, ya.)
Rumah yang Tidak Bisa Dibawa
Kata-kata ‘sampai jumpa’ buatku mulai terasa getir untuk diucapkan di dua minggu sebelum berangkat kuliah. Mau tidak mau tidak semua ‘rumah’ bisa muat di koper kita: misalnya teman, pacar, sahabat, saudara, dan orang tua. Tidak bisa tanpa sengaja bertemu, membuatku patah hati. Tidak bisa hanya perlu hadir dan diam saja tanpa perlu banyak kata-kata, membuatku patah hati. Tidak bisa memahami, mengerti, dan mendengar cerita mereka, membuatku patah hati. Berkeping-kepinglah perasaanku setiap melangkah keluar masuk pintu rumah di Malang kemarin. 
Rumah lain yang tidak bisa dibawa adalah Kota Malang itu sendiri. Kota yang paling aku kenali. Celotehan orang-orangnya kukenali, tempo yang kukenali, dan sengatan matahari yang kukenali. Tempatku lahir. Tempatku tumbuh. Aku tidak bisa membawa masyarakat Malang berikut jalur-jalur jalan kakinya, apalagi membawa matahari tropisnya di dalam koperku, mau tidak mau.
Bagaimanapun, aku yakin bahwa jauh dari ‘rumah’ memang pas untukku di fase ini. Dan aku sedang membiasakan menjalani jalan yang tersedia di depanku, sekali pun jalan itu demikian asing.
5 notes · View notes
salmonmentai · 1 year
Text
Pertarungan Air dan Api yang Tidak Pernah Menyerah
Di depan pintu kamar dengan karikatur-karikatur itu, aku terdiam di depan sebuah karikatur berjudul “Laku Brontosaurus…” bukan brontosaurusnya yang membuatku terdiam, melainkan laku-nya.
Tumblr media
Nama anak yang sedang sibuk di depan papan kapur itu adalah Laku. Berani-beraninya. Rasanya, keinginanku untuk punya anak jadi hilang sama sekali karena aku keduluan mengakuisisi kata luhur itu. Atau aku jadi menyesal kenapa dulu aku tidak dilahirkan dengan nama itu. Yah, bercanda. Tapi Laku tetaplah jadi nama anak impianku walaupun bukan yang pertama. Bukan masalah.
Bersama Laku kecil, aku di depan papan tulis kapur itu berjam-jam. Ketika bermain, aku sadar aku sering berpikir, “apakah aku melakukannya demi orang tua anak ini?” Aku mempertanyakan diriku sendiri— aku memang sering mempertanyakan diriku kalau aku sedang melakukan aktivitas rekreasi. Aku kira hanya untuk hal-hal yang kurang produktif seperti karaoke, atau makan bareng, berlibur, dan lainnya. Ternyata, bahkan ketika aku trekking pun aku merasa bersalah. Aku dan rasa bersalah sepertinya terlalu familiar. Aku seperti kecanduan kata maaf.
Tapi di matanya si Laku kecil, aku melihat dunia yang besar. Kita tidak sekadar menggambar pertarungan api dan air, tapi kita membuat api dan air yang tidak pernah menyerah. Aku ingat ketika aku memenuhi papan dengan gambar banjir, rasanya seperti waktu di seluruh dunia ini milikku. 
Menurutku, tidak semua orang pernah memiliki seluruh waktu di dunia.
Itu artinya, aku termasuk orang beruntung. Bukan satu-satunya, tapi tetap aku bangga aku termasuk orang-orang beruntung itu. Sayangnya, rasa memiliki seluruh waktu di dunia itu sering sekali susah kubagikan, kuekspresikan, bahwa aku sangat bahagia sekali memiliki seluruh waktu di dunia. Maksudnya, aku merasa sulit menemui orang yang peduli akan kesenanganku itu. Makanya, saat itu aku senang sekaligus merasa kesepian karena merasa tidak ada yang peduli.
Tapi di depan dunia besar di mata Laku kecil, aku jadi malu. Kenapa aku kesepian akan sesuatu yang ada di luarku dan mengabaikan apa yang benar-benar terjadi di depan mataku? Aku malu berlaku tidak adil pada kebenaran yang ada di depan mataku.
7 notes · View notes
salmonmentai · 1 year
Text
Lebaran dan Sepasang Maaf
Tumblr media
I (turns out) prefer this color of eid: not my usual overcasted white, it’s dark spotted here and there— but it feels home :)
Lebaran untuk Menghormati Fungsi Ego
Hingga hari terakhir puasa aku membayangkan hari raya dengan ngilu, dan benar saja hari raya kumulai bersama ego. Rasa takut adalah pertanda egoku itu dalam bahaya. Ego adalah yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial— sebelum dapat hidup bersama, kita sendiri harus punya arti.
Ternyata, ego hanya punya maksud untuk melindungi hati kita yang memang tidak boleh menderita.
Maksudnya baik, tapi sering aku malah melindungi perisai itu, padahal ia memang fungsinya untuk jadi rusak di sana sini. Ego memang sebaiknya babak belur karena itu fungsinya. Babak belur bukan berarti kita tidak menyayanginya, namun kita menaruh hormat di sana. Ego sangat penting buat hidup kita. Sebagai pelindung.
Sepasang Pemberi dan Peminta Maaf
Betapa susahnya aku bilang “aku memaafkanmu” pada orang yang betul-betul sudah berbuat salah padaku. Dengan kata lain, pengalaman fungsi hari raya idul fitri yang sesungguhnya. Fungsi hari raya yang biasanya lebih menitikberatkan pada menyambung silaturahmi, tahun ini menitikberatkan pada memaafkan orang. Memaafkan orang yang kita benci. Artinya, aku tidak lagi punya hak untuk menghantam wajahnya betapa pun ia memperlakukan kita dengan semena-mena di masa lalu. Melewatkan hak yang sangat berharga itu rasanya begitu berat. 
Bilang “aku minta maaf” lebih mudah karena penitikberatan pada aksi. Walau benar bahwa tidak semua orang mampu untuk minta maaf, tapi memang tidak semua kata maaf yang terlontar adalah serangkaian kata maaf yang tulus dan menyeluruh. “Yang penting aku sudah minta maaf, selebihnya urusanmu mau memaafkan atau tidak,” adalah jargo yang dulu kujadikan kartu di mana-mana— yang ternyata sungguh biadab dan egois. Konsekuensi dari berbuat salah memang adalah mengakui kesalahan itu dan merasa malu, tapi tidak berhenti di situ. Kita harus mau menunggu dengan sabar dan peduli untuk pihak yang bersangkutan memaafkan kita.
Kenapa peduli menjadi penting? Karena dengan laku peduli itu, bisa membantu kita untuk memaafkan diri sendiri. Kali lain kita menemui diri kita mengecewakan diri sendiri, kita akan minta maaf dan kita juga akan menunggu diri kita untuk memaafkan kita. Dengan peduli akan Si Pemberi Maaf itu, maka kata “aku memaafkanmu” akan bersinar begitu hangatnya untuk hati kita.
1 note · View note
salmonmentai · 1 year
Text
Tumblr media
zoey deschannel
1 note · View note
salmonmentai · 1 year
Text
Hujan, yang Berisiknya Kurindukan
My token for today :) Saya selalu benci hujan. Mereka, air-air yang turun dengan cepat itu, terlalu berisik hingga membuat semua yang ada di kepala saya mentah kembali atau hilang. Hujan membuat saya berharap tiba-tiba bumi serempak diguncang gempa dahsyat hingga menelan semua bangunan ke dalam tanah, menyisakan tanah humus yang bisa menyerap bunyi hujan. Atau seluruh permukaan bumi tertutup jasad manusia, yang juga tidak berisik terkena air hujan. Tidak seperti genting itu… Aspal itu…
Tumblr media
Saya tidak membenci hujan sendirian, sebab cahaya juga membencinya. Pendar cahaya pecah jika terkena hujan, dibiaskan kemana-mana oleh butir-butir airnya, membuat orang-orang di jalan raya jadi pusing terpapar cahaya, dan membuat orang-orang yang makan sendirian di restoran jadi terpapar pendaran cahaya bulat-bulat yang kesannya romantis dan taylor-made untuk sepasang sejoli. Betapa mengesalkannya.
Begitulah secuplik dari banyaknya teman yang membenci hujan bersama-sama, sesungguhnya kebencian ini adalah suatu ekspresi putus asa atas ketidakberdayaan kami. Betapa kami tidak mampu berbuat apa-apa ketika dikhianati ramalan cuaca yang mengatakan bahwa malam ini akan cerah, namun ternyata malah hujan deras. Kami tidak bisa melempar air hujan yang sudah jatuh kembali ke langit, bahkan crane tua di pembangunan universitas itu, yang juga membenci hujan karena ia jadi kesepian ditinggalkan oleh para pekerja konstruksi, pernah mencobanya namun gagal sebab langit demikian tingginya.
Demikian juga ibu, yang membenci hujan sebab ia jadi tidak bisa tahu apakah saya baik-baik saja atau sedang mengerang kesakitan. Hujan demikian membuatnya gelisah, sebab tanpa ada suara senandung riang saya, ia jadi tidak punya bukti bahwa saya sehat-sehat saja. Maka ketika hujan turun, sontak asam lambung ibu naik karena stress dan serta merta ia tidak bisa berkonsentrasi pada apa yang ada di depannya. Ia jadi tidak bisa menyelesaikan cukuran rambut bapak, sebab pikirannya melayang pada imajinasi akan kondisi saya. Itu yang membuat bapak juga membenci hujan, sebab kini potongan rambutnya tidak sama di sisi kanan dan kirinya.
Dari membenci hujan pulalah ibu membenci rasa kasihnya kepada saya, sebab sekiranya pada awalnya ibu saya tidak mengasihi saya, maka ia akan tidak peduli akan kondisi saya. Ia jadi menganggap rasa kasih lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya, sebab memberatkan hatinya saja. Maka ia secara perlahan membunuh rasa kasihnya pada siapa saja. Terakhir saya melihatnya memukul-mukul tanaman hias, menggulingkan pot-potnya hingga tumpuk menumpuk, hingga yang disebut tanaman hias itu tak lagi berbentuk. Hiasan dihancurkan.
Dalam rangka menerima kepergian rasa kasih ibu, bapak melihat tanda-tanda keimanan ibu berkurang. Sebab ibu tidak percaya bahwa tuhan menjaga saya, padahal menurut bapak, sekiranya saya sedang celaka pun, itu juga bentuk kasih sayang tuhan kepada saya. Tapi ketika membicarakan kasih sayang tuhan itu, saya melihat matanya berkaca-kaca, mungkin masih berjuang menerima ibu, dengan kata lain, berkaca-kaca menerima ketidakberdayaannya akan hujan.
Dasar keparat.
Saya berlari dari kacau dan balau, berharap impulsivitas ini mempertemukan saya dengan energi baik yang akan memberi saya pencerahan. Namun alih-alih pencerahan, saya malah terguyur hujan yang langsung turun dengan deras tanpa ada pembukaan berupa gerimis, sehingga memakai jas hujan pun baju saya sudah dalam keadaan basah. Merasa diperdaya dunia, saya kesal, berlari untuk berteduh, namun terpeleset dan tersungkur ke lumpur. Saya tidak buru-buru bangkit dan merasakan semuanya. Rasa terkejut setelah jatuh. Lumpur yang lengket di telapak tangan saya. Baju yang memendarkan rasa dingin karena diguyur hujan. 
Seolah belum cukup, terdengar gelepar ikan di tanah. Mereka ikan-ikan mujaer yang baru dipancing tapi keburu ditinggal oleh pemancingnya untuk berteduh karena hujan. Mereka  beramai-ramai mengabaikan ketidakberdayaan saya melawan hujan, memang jatuhnya saya tidak lebih penting daripada nyawa mereka yang tidak panjang lagi itu. Saya tahu itu, sayang. Saya benamkan muka saya di becekan itu, sekalian saja. Di situlah saya temukan jalan yang bisa saya tempuh untuk menyudahi semua kekonyolan ini. Dengan tekad bulat saya bangkit dan menatap langit.
“Saya mau tawar menawar…,” kata saya pelan sambil gemetar kedinginan. Hujan yang semula begitu rapat dan deras, bergeming sebentar. Walau hanya beberapa detik, saya lihat ia mereda sedikit, kemudian merapat lagi. Bertambahlah kepercayaan diri saya, “saya ada penawaran!” Kali ini saya berteriak. Barangkali ia tidak dengar.
***
Sebelumnya saya tidak pernah menyadari suara “Brrrsh,” hujan adalah suara “Tes… Tes… Tes…” yang cepat, teratur, dan konsisten. Sudah sebulan ini musim hujan, dan tiap hujan datang saya menyambutnya keluar dengan payung saya. Saya mendengarkan hujan selama yang saya bisa. Sebagai gantinya, hujan merembeskan sebagian dirinya ke kedua mata saya. Ia juga merembeskan dirinya ke mata cahaya, ke mata crane tua, ke mata para pekerja konstruksi, ke mata ibu saya, mata bapak saya, dan mata siapa saja secara acak. Tidak pernah saya sangka saya akan dapat membedakan aroma tanah menjelang hujan yang wanginya menggelitik bawah tengkorak saya.
Saya menyayangi hujan. 
4 notes · View notes
salmonmentai · 1 year
Text
Mentors: How to Help and Be Helped
“In a time of ugly meaninglessness, willing to be taught will bind the empty space and filling it with love.”
Tumblr media
About the Book
Aku sedang enggan menonton atau mendengarkan. Aku sedang muak dengan topik mengenai candu— ya, aku tahu bahwa aku bisa berubah. Tapi aku lelah merasa malu pada diriku sendiri, juga lelah harus memperbaiki ini itu sendiri. Kemudian aku menemukan buku ini dan membacanya setengah hati.
Di awal buku, Russel tiba-tiba menjelaskan kecanduannya secara serampangan. Membuatku merajuk akan ekspektasi yang tidak dipenuhi buku ini (aku, ‘kan, tidak mau lagi dengar kata kecanduan!) Aku sungguh tidak peduli dengan deritanya hingga di bab ke enam dari 13 bab. Setengah jalan aku baru bersimpati padanya dan kusadari buku itu sedang mengenalkan proses berkembang secara diam-diam. Mentors tidak menekankan pedagogi, namun menekankan peran sosial itu krusial untuk mengembangkan diri kita. Dalam kasus ini, mengenai hubungan peran guru dan murid.
Russel adalah seorang komika, pertunjukan yang kurang kugemari karena aku menganut mahzab komedi spontan. Tidak kusangka, ternyata format buku jadi media yang cocok untuk mengonsumsi pertunjukan stand-up comedynya. Uraian panjang yang aku tidak pedulikan di awal itu terkait relasinya dengan mentornya jadi kunikmati juga berkat banyak build-up komedinya.
About Mentors
Waktu kita kecil, kita tidak peduli dengan sosok mentor, melainkan idola kita. Tokoh kartun. Artis. Orang-orang terkenal. Proyeksi dari konsep kita terkait kesempurnaan. Cherry on top dari kesempurnaan idola ini adalah kita tidak saling kenal. Ada jarak aman di antara kita. Kita memajang idola kita dalam etalase, khawatir ia akan rusak atau kotor, sekaligus menjaga jarak di antara kita. Namun, idola selalu punya kontradiksinya, dan kita tidak punya posisi untuk mengenali kontradiksi itu. Keburukan mereka bertabrakan dengan sosok sempurna yang ada dalam khayalan kita begitu saja.
Mentors are Everywhere
Russel menceritakan banyak mentor miliknya, karena ia tidak punya satu mentor untuk mengatasi semua kecanduannya. Seniornya di komunitas pecandu, psikoterapis, praktisi akupuntur, produser TV, praktisi brazilian jiu jitsu…. Mentor tidak harus berupa sesosok guru yang berceramah. Ia tidak harus lihai berbicara dan berkomunikasi. Russel punya mentor yang lebih banyak diam daripada berbicara, dan itu tidak mengurangi kedahsyatan pengaruh sang mentor ke dalam pribadinya. Tidak juga semua guru atau senior kita adalah mentor kita. Russel ingin kita menyadari siapa saja teman atau guru dalam hidup kita yang rupanya sekaligus punya peran sebagai mentor. 
Mentor’s Flaws
Mentor adalah sosok yang sangat personal, namun bukan berarti kita dan mentor tersebut begitu dekat tanpa batasan. Sangat mungkin kita hanya menjadikan beliau mentor di lingkup tertentu dan menutup lingkup lainnya dari relasi kita. Batasan tersebut penting, karena batasan itu juga membantu kita untuk menerima kekurangan mentor kita. Kita menjadikan mentor sebagai inspirasi tanpa menepis mereka punya kekurangan, tapi sekarang kita tidak berfokus pada kekurangan itu. Dari menerima kekurangan tersebut kita sekaligus dapat mengukuhkan figur mereka, misalnya mentor yang kebapakan, mentor yang keibuan. Kita jadi makin faham bahwa figur bapak dan ibu tidak perlu tidak sempurna, namun perlu sesuai dengan kebutuhan personal kita yang berbeda-beda. Mentor itu dekat, ada cacatnya, dan mau repot. Mentor berkenan repot-repot menoleh dan mengurusi ke-absurd-an masalah kita, padahal ia sudah selangkah lebih maju menuju kondisi ideal. Begitulah kebesaran hati seorang mentor untuk mau mengajar, yang memancing muridnya untuk membersarkan hatinya juga untuk mau belajar.
Namun bisa saja kita bertemu mentor dan menolaknya. Sangat mungkin kita tidak siap untuk belajar, di saat itu. Tapi tidak perlu khawatir melewatkan sesuatu, karena artinya, kehadiran mentor hebat yang kamu lewatkan itu sudah cukup menjadi trigger bagi subconscious-mu untuk bisa membuka diri.
Spiritual Mentors
Dalam menyelami kecanduannya, Russel menemukan betapa proses rehabilitasnya berkaitan erat dengan Tuhan. Menerima dan melepaskan adalah aktivitas spiritual yang diawali dari mengakui dan mendaftar kemelekatan kita akan material. Kisah mentor Russel yang menjadi favoritku adalah the Hugging Saint, Amma, yang berkenan untuk memeluk jutaan orang di dunia tanpa pilih kasih. Ia keibuan, dan ibu menyelesaikan pekerjaannya sampai tuntas. Ia membuktikan sentuhan sederhana dapat membalikkan dunia. “Semua orang butuh cinta,” kata Amma.
Kenapa mentor-mentor Russel dapat mengubah kebiasaan Russel sebagai pecandu? Apakah karena mentor-mentor itu sedemikian superpowernya? Ternyata, di samping mentor-mentor Russel adalah orang-orang kuat, hubungan guru-murid yang dimiliki Russel dan guru-gurunya lah yang telah mendemonstrasikan dahsyatnya cinta, spiritualitas, dan hal-hal non-material lainnya. Russel telah menukar ulang distraction dengan connection. Ia menenangkan kita, bahwa kecenderungan non-material kita bukanlah sesuatu yang naif, melainkan instingtif.
Becoming a Mentor
Tentu menjadi mentor membuat kita merasa berguna. Tapi menjadi mentor— berlaku sebagai mentor, adalah visitasi ulang ke luka-luka lama kita, melihat diri kita yang telah lalu. Walau begitu, perlu diwaspadai bahwa tidak perlu jadi pribadi yang sempurna untuk jadi mentor. Mentor hanya perlu kepribadian yang kuat yang bisa punya sikap akan kondisi pendengarnya, hanya menerima dan tidak menghakimi. Untuk bisa hanya menerima, itu sudah cukup bombastis namun lebih realistis daripada keperluan untuk jadi sempurna. Russel sendiri mengalami keajaiban di mana setelah menjadi murid dan kemudian menjadi mentor, ia bisa menanggalkan keinginannya atas saran mentor-mentornya. Ia sendiri terkejut dengan pribadinya yang bisa seterbuka itu menerima orang lain dalam pengambilan keputusannya.
Kemudian is simpulkanlah bahwa mengakui keberadaan mentor-mentornya itu melengkapi syarat-syarat pengembangan dirinya: ada metode untuk berkembang, ada yang menguasai metode tersebut, ada keinginan, dan ada kebesaran hati untuk mengalah.
2 notes · View notes