Text
#006

Sebenarnya, aku ini siapa? Shafeea Rino Adriana?
Kurasa, itu bukan namaku. Seharusnya, namaku adalah Rino Adrian, andaikan aku terlahir sebagai laki-laki, seperti yang diharapkan orangtuaku. Mereka terlalu berekspetasi kalau anak pertama mereka laki-laki. Bukankah sistem keluarga di Indonesia selalu menginginkan anak pertama laki-laki, agar bisa melindungi adik-adiknya kelak? Orangtuaku pun sama, dan berharap demikian. Bahkan sampai menyiapkan nama khusus laki-laki. Namun, begitu aku lahir ke dunia, sepertinya aku menghancurkan ekspetasi kedua orangtuaku. Nama yang sudah mereka persiapkan pun, mereka modifikasi. Adrian jadi Adriana, serta menambahkan nama Shafeea sebelum Rino, agar terkesan seperti nama anak perempuan. Walau begitu, mereka tetap memanggilku dengan Rino alih-alih Shafeea. Karena mereka merasa, nama itu masih bisa didengar seperti nama anak perempuan, dan itu memiliki makna yang bagus; perasa pada keadilan.
Karena itulah, sejak kecil, aku berusaha untuk menyenangkan hati kedua orangtuaku agar mereka tidak kecewa. Sampai masuk TK, aku sudah tidak pernah rewel lagi, seperti anak-anak sebayaku. Bahkan aku masih ingat, guru TK-ku memujiku di depan ibuku dan ibu-ibu lainnya kalau aku ini anak baik. Aku terlalu sering mengalah, kalau ada temanku yang ingin naik ayunan. Namun, orang dewasa, bahkan teman-temanku tidak tahu saja, kalau aku sebenarnya juga ingin naik ayunan. Aku mengalah bukan karena aku ingin mendapat pujian maupun menyenangkan hati teman-temanku, tetapi aku terlalu malas ribut. Dan tentu saja, aku tak ingin orangtuaku marah karena aku jadi anak nakal.
Sepertinya, sejak kecil, aku sudah pandai berakting dan memasang wajah yang bukan wajahku. Hingga kebiasaan itu, terus ada hingga usiaku sekarang.
Benar, aku selalu mendahulukan kepentingan orang lain dibanding diriku sendiri. Sejujurnya, bukan karena aku ini orang baik atau apa. Semata karena aku merasa, aku hanya produk gagal yang tak berhak mendapat kebahagiaanku sendiri. Aku harus menekan egoku, karena aku adalah sebuah alat.
Kalau boleh jujur, di lubuk hatiku yang paling dalam, aku ingin memusnahkan siapa saja yang bersikap menyebalkan. Pernah suatu ketika, saat aku SMA, tulisanku dituduh menjiplak milik orang lain. Bahkan nama penaku, Riana, dituduh menjiplak nama tokoh cerita si orang yang menuduhku. Aku ingat betul siapa nama orang yang menuduhku demikian. Dan rasanya, aku ingin membunuhnya, menusuk perutnya dengan tanganku sendiri, sehingga aku puas.
Namun tentu saja, aku tidak benar-benar melakukan itu. Kalau benar kulakukan, nanti aku akan dimusuhi satu dunia. Tak peduli bahwa orang itu duluan yang menyebarkan rumor aku plagiat, intinya yang salah itu yang memakai kekerasan. Ingat, aku hanya alat untuk menyenangkan orang lain, tidak boleh melakukan kesalahan. Lagipula, aku juga tak mau menodai tanganku dengan darahnya yang menjijikan itu.
Lalu, kutemukan cara balas dendam yang lebih epic.
Semua itu bermula di tahun 2019, sebulan setelah skandal itu, saat aku membaca sebuah novel tentang cyber bully dan hubungannya dengan kemajuan teknologi. Dalam novel itu, dikisahkan kalau kita memegang informasi seseorang di internet dan menyebarkan secara anonim, itu bisa membuat orang yang kita serang mendapat serangan mental, bahkan sampai mengakhiri hidupnya sendiri. Aku jadi tertarik, lalu memutuskan untuk masuk ilmu komputer sebagai jurusan kuliahku.
Kemudian aku belajar otodidak mengenai sistem hack, dengan memanfaatkan coding dan beberapa materi dari dosenku. Percobaan pertamaku, tentu saja informasi mengenai Nafila Alessandra Apriliani, orang yang menuduhku plagiat itu. Aku menyebarkan fakta kalau sebenarnya dia yang plagiat tulisanku, mulai dari tanggal aku membuat ceritanya, tanggal ia mencuri ceritaku, semuanya kulacak. Bahkan, aku bisa mendapat informasi yang sebenarnya tidak relevan denganku, tapi turut kusebarkan di akun anonimku.
Benar saja, semua menghujat Alessandra, hingga Alessandra menonaktifkan akun sosial medianya. Aku hanya tertawa puas dibalik layar. Misiku berhasil.
Jangan karena aku hanya sebuah alat, semua orang bisa mempermainkanku.
Akupun kembali menjalani kehidupan kuliahku, seolah tak terjadi apapun. Aku juga tak ingin tahu bagaimana nasib si Alessandra itu. Mau dia hidup, mau dia mati, aku tak peduli. Yang penting, dendamku terbalas.
Sejak saat itu, namaku di dunia hacker, Sashinori, mulai dikenal sebagai hacker pemula yang bisa membantu seseorang untuk membalaskan dendamnya. Banyak yang memakai jasaku, bahkan mereka berani membayar mahal.
Kan? Lagi-lagi, aku hanya diperlakukan sebagai alat. Dalam dunia maya, aku dijadikan sebagai alat untuk balas dendam. Aku tak keberatan, karena lagi-lagi, aku merasa hidupku berguna walau lahir tidak sesuai ekspektasi orangtuaku.
Hingga akhirnya, aku bertemu dengan dua orang itu. Valerio Xylon dan Xavier Dion Sjailendra.
Aku tahu, dua orang itu hanya memanfaatkan kecerdasanku untuk kepentingan mereka. Aku sangat tahu, kalau Valerio tidak benar-benar ingin mengajakku kencan dan Dion tidak benar-benar ingin menjadi temanku. Tapi, aku ini Shafeea Rino Adriana. Aku pandai berakting di hadapan mereka, seolah aku ini gadis polos yang dengan mudahnya dimanfaatkan oleh mereka. Aku mengikuti saja permainan mereka, yang diluar dugaanku, sangat seru! Kapan lagi aku bisa membobol rekening seseorang, melihat banyaknya jumlah uang suap dari suatu proyek pembangunan negara? Rupanya tak salah kalau aku mengikuti permainan mereka, dan mengambil resiko bersama mereka. Toh, jika nanti jejakku ketahuan aparat dan mereka menculikku seperti dalam novel Laut Bercerita, aku tak akan mengelak. Tentu saja, sebagai alat, aku tak akan menyebutkan keterlibatan Valerio Xylon dan Xavier Dion Sjailendra. Lagipula, kalau aku hilang, tak akan ada orang yang mencariku, bukan?
Orangtuaku? Ibuku, satu-satunya orang yang menyayangiku, sudah meninggal saat aku masih kelas 1 SMP. Dan sejak kematian ibuku, aku benar-benar tak bisa merasakan apapun. Senang, sedih, tak ada dalam kamusku. Kalau ada yang melihatku senang atau sedih, itu hanyalah akting semata, agar aku terlihat sama dengan manusia pada umumnya. Aku hanya bisa merasakan kecewa, dan hasrat balas dendam saat ada yang berperilaku kurang ajar padaku seperti Alessandra.
Oke, kembali ke topik.
Ayahku, yang sejak kematian ibuku, tak pernah memperhatikanku sama sekali. Jadi kalau aku hilang, seharusnya ia tak mencariku. Adikku? Ia pun sama. Terlalu tertutup padaku, sehingga akupun juga menutup diri dengannya.
Teman? Apa aku punya teman yang benar-benar dekat denganku? Kurasa tidak. Saat SMP, aku memang sering bermain dengan Karin. Lalu saat lulus, kami bersekolah di SMA yang berbeda, dan kami pun lost contact. Aku kembali berteman dengan Zara, itu pun tidak dekat. Sama seperti hubunganku dengan Karin, aku dan Zara pun lost contact saat lulus SMA. Aku benar-benar tak punya sirkel pertemanan seperti gadis remaja pada umumnya. Saat kuliah, aku mengenal Raditya Anggara Rahayu. Walau kami beda kampus, namun kami berteman baik. Aku ingat betul, saat aku bilang ia sohibku, dia menahan diri dari rasa senang karena kuanggap demikian. Selain itu, aku juga berteman dengan Valerie Xylia, Mahesa Surya Hafeezi, serta Akira Kusumawardhana Fujimine. Namun tetap, walau banyak nama, aku tak sampai yang terlalu akrab hingga membuat sirkel pertemanan dengan mereka. Aku terbiasa lost contact, jadi saat aku hilang, sudah pasti orang-orang itu tak akan mencariku.
Hingga saat itu tiba, saat aku benar-benar akan menghilang, aku akan tetap berakting sebagai Shafeea Rino Adriana yang mereka kenal. Entah, aku akan hilang karena diculik, atau aku akan hilang dengan tanganku sendiri. Kita lihat saja, kelanjutan kisahku seperti apa.
Namun, jika benar aku terlahir sebagai Rino Adrian, apa kehidupan dan sifatku akan berbeda? Atau tetap sama?
0 notes
Text
#005

Minggu pagi, walau masih mengantuk, aku memutuskan untuk membuka sosial mediaku, sebagaimana yang dilakukan anak muda zaman sekarang. Aku men-scroll timeline akun tuitterku, yang rata-rata isinya opini mengenai politik dan autobase.
Hampir saja aku menutupnya dan hendak membuka game, karena aku menemukan suatu utas yang unik.
𝙋𝙚𝙡𝙖𝙠𝙪 𝙆𝙚𝙠𝙚𝙧𝙖𝙨𝙖𝙣 𝙎𝙚𝙠𝙨𝙪𝙖𝙡 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙖𝙨𝙞𝙝 𝘽𝙪𝙧𝙤𝙣, 𝙖 𝙩𝙝𝙧𝙚𝙖𝙙
𝘏𝘢𝘭𝘰, 𝘮𝘢𝘢𝘧 𝘬𝘢𝘭𝘰 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯. 𝘈𝘬𝘶 𝘯𝘨𝘦𝘵𝘪𝘬 𝘪𝘯𝘪 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘨𝘦𝘮𝘦𝘵𝘦𝘳𝘢𝘯...
Aku tidak mudah percaya dengan spill identitas di akun sosial media seperti ini, jujur saja. Siapa tahu, hal ini ditujukan untuk merusak nama baik seseorang, kan?
Aku lantas segera bangkit, lalu membuka laptop diatas meja belajarku. Untuk sekian waktu, aku berselancar dalam coding dan sistem keamanan data, menyusup ke dalamnya setelah merekayasa data sistem keamanan tersebut.
"Hooo... Si Mbak pemilik thread emang caper aja, cowoknya bersih anjay!" gumamku sambil menelisik kembali data dan mencocokannya dengan isi utas tersebut. Aku juga mencocokan screenshoot percakapan yang terlampir di thread dengan enkripsi data yang berhasil kutemukan.
"Itulah pentingnya, buat gak percaya isi chat yang cuma sepotong itu," lagi-lagi aku berkomentar, sambil menyalin data percakapan yang asli.
"Lho?" saat berselancar untuk mencari bukti yang bisa membersihkan nama baik korban doxxing dan fitnah ini, aku menemukan sesuatu yang sangat lucu, hingga aku nyaris tertawa dibuatnya.
"Katanya dilecehin. Tapi kok... Merayu seseorang buat berhubungan badan sama dia? ORANG GILA!"
"HAH?! APA?!" lagi-lagi aku dibuat terkejut, dengan beberapa fakta yang kutemukan.
"Nggak, orang ini emang pernah dilecehin, oke. Tapi..." sedetik kemudian, aku dibuat geleng-geleng kepala.
"....tapi beberapa saat setelah dia dilecehin, dia chat si mas yang di spill ini, lalu maksa berhubungan badan. WHAT THE HELL?! Mbak ini waras gak sih?! Setelah berhubungan badan, padahal dilakukan dengan konsen, ngaku kalo Mas-nya yang lecehin si Mbak. Stres. Sakit jiwa!"
Entah pada siapa, aku marah-marah sendiri. Habisnya, aku bener-bener tak habis pikir. "Kok bisa ada orang serendah ini?"
Aku kembali ke utas pelecehan tersebut, dan mendapati kalau si 'pelaku' sudah dihujat habis-habisan, akibat pembeberan fakta yang sepotong itu. "Ini gak bisa dibiarin... Spill balik, kayaknya enak, nih."
Aku lantas mengumpulkan semua data yang diperlukan. Lalu dengan akun cyber-ku, 𝙨𝙖𝙨𝙝𝙞𝙣𝙤𝙧𝙞, kubuka semua fakta mengenai utas kebohongan tersebut. Bahwa si 𝙠𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣 adalah 𝙥𝙚𝙡𝙖𝙠𝙪, begitupun sebaliknya.
Utas milikku pun ramai, bahkan sampai di-up ke berbagai autobase. Membayangkan wajah sang pemilik utas kini panik, aku tersenyum sendiri.
Bukankah namaku Rino, yang memiliki arti 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘬𝘦𝘢𝘥𝘪𝘭𝘢𝘯? Kalau aku membalik posisi korban dan pelaku demi menyelamatkan nama baik seseorang, aku tak salah, kan?
Namun jujur saja, aku melakukan ini bukan karena aku murni ingin membersihkan nama baik seseorang. Melainkan karena aku suka melihat wajah menderita seseorang akibat cyber bullying, terlebih karena ulahnya sendiri. Seperti ada kepuasan batin dalam diriku.
"Berani bertindak, harus berani bertanggung jawab, bukan? Makanya, jangan berani main sebar fitnah. Mamam tuh!!"
Kuputuskan untuk mematikan laptopku, lalu beranjak keluar kamar. Perutku sudah lapar, dan membuat keributan di dunia maya lumayan memakan energiku.
1 note
·
View note
Text
Nichiyoubi no Himitsu
(Rahasia Hari Minggu)
Shafeea Rino Adriana
Valerio Xylon
Original song: HoneyWork
0 notes
Text
#004

Karena aku marathon film horor semalam, aku baru benar-benar terbangun di jam 1 siang, setelah tidur selama lima jam. Mungkin, kalau aku adalah anak gadis dari keluarga yang masih menganut paham patriarki yang selalu menganggap anak perempuan adalah budak, aku akan dimarahi habis-habisan. Dibilang anak perempuan kok bangun jam segini lah, pemalas lah, dan berbagai kalimat diskriminatif lainnya jika dibandingkan dengan anak laki-laki.
Untunglah, keluargaku bukan tipe keluarga seperti itu. Ayahku terlalu cuek. Asal pekerjaan rumah tetap kukerjakan, jam berapapun itu, ayah tak akan protes. Adikku pun sama sepertiku. Sementara ibuku… beliau sudah berpulang saat aku masih SMP.
Aku pun berjalan gontai ke dapur, guna mengisi energiku dengan air mineral atau segelas susu. Namun, saat melewati ruang tengah, kudapati ayahku tengah menonton yutub di televisi.
“Tahun baru, bangunnya siang. Emang kamu nggak ada acara keluar, Rin?” sapa ayahku. Kan, aku tidak dimarahi karena tidak melakukan pekerjaan rumah di pagi hari.
“Nggak,” jawabku pendek.
“Semalam tidur jam berapa?”
“Jam 5, aku nonton tiga film horor.”
“Kok nggak keluar lihat kembang api? Kan malam tahun baru,” tanya ayah heran.
“Nggak. Ngapain,” jawabku cuek.
Yah, bagiku, malam tahun baru itu tak ada bedanya dengan malam-malam biasa. Hanya bedanya, saat aku bangun pagi, kalender bulan Desember sudah habis dan diganti dengan kalender baru, yang diawali dengan bulan Januari.
Sama sekali tak ada yang spesial.
Aku lantas melanjutkan perjalanan menuju dapur, dan mengambil sekotak susu cokelat. Aku pun kembali ke kamar sembari minum susu, lalu mengecek sosial media di ponselku. Hampir semua temanku, mengunggah keseruan malam tahun baru.
Termasuk senior yang kusuka. Bahkan menulis namaku.
“Emang tahun baru tuh segitunya, ya?” tanyaku pada boneka bebekku. “Padahal ya, sama aja. Tahun ini pun masih berjuang buat hidup.”
Namun, aku memutuskan untuk tidak mencari jawaban atas pertanyaan di kepalaku. Aku lantas membuka laptop, dan memutuskan untuk menghabiskan sisa hari ini dengan menonton drama Korea.
0 notes
Text
#003

Shafeea Rino Adriana baru saja masuk ke kamarnya, melempar asal tasnya sebelum membanting dirinya sendiri ke atas kasur. Ia menghela napas panjang, sambil menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih.
“Apa rencanaku bisa berhasil?” ia bermonolog, sembari pikirannya melayang ke kejadian beberapa saat yang lalu.
Saat itu, di kantin Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia. Rino bersama seniornya, Valerio, tengah makan siang hingga berbicara panjang lebar. Sampai tak terasa, waktu sudah menunjukan pukul 5 sore.
Mayoritas kios makanan di kantin sudah tutup, namun masih banyak mahasiswa yang berada disana. Entah untuk sekadar mengobrol, atau mengerjakan laporan bersama karena perpustakaan sudah tutup. Rino lantas pamit undur diri, lalu sengaja meninggalkan benda itu di atas meja.
Ponselnya. Benda yang sehari-hari ia pakai.
Tentu saja hal itu sangat berbahaya, dan beresiko tinggi. Namun, jika Valerio membawa pulang benda itu, apalagi sampai membuka kuncinya, maka rencananya bisa dibilang sukses besar.
Tring!
Sebuah notifikasi masuk ke tablet pc-nya yang masih berada di dalam tas. Buru-buru Rino mengambil benda itu, lalu tersenyum sendiri saat melihat notifikasinya.
Ponselnya, berhasil dibawa oleh Valerio. Dan pemuda itu tengah mencoba membuka sandi-nya.
Rino pun berakting seolah baru kehilangan ponselnya, dan meminta sang adik untuk meminjamkan ponselnya, untuk menelepon ke ponselnya sendiri.
Padahal, ia sengaja menghilangkan benda tersebut.
Telepon tersambung. Dan seperti yang ia duga, Valerio-lah yang menjawab panggilan tersebut.
"Halo?" sapa Valerio di sebrang
"Kak Valo?" Rino pura-pura memastikan, dengan nada panik yang ia buat se-natural mungkin.
"Aneh banget lo, ninggalin hp sendiri di kantin. Untung gue yang ambil!" omel Valerio. Rino pun tersenyum puas dibuatnya.
"Hehehe, beneran gak sadar, Kak, sumpah," ucap Rino, masih dengan akting-nya yaitu bersikap pura-pura polos.
"Jadi gimana? Lo mau ke rumah gue sekarang buat ambil, atau apa?" tanya Valerio.
"Umm... Udah malam. Papaku bentar lagi pulang. Besok aja di kantin, jam 10. Gimana?"
Valerio mengiyakan, lantas percakapan berakhir. Rino pun mengembalikan ponsel adiknya, lalu membuka laptopnya setelah kembali ke kamar.
“Nah, kau punya waktu satu malam. Silakan cari apa yang ingin kau cari, Valerio Xylon. I got you,hehehe.” Rino bermonolog, sambil menatap layar laptopnya. Memantau aktifitas apa saja yang dilakukan sang senior pada ponselnya.
Sebenarnya, apa yang sedang ia rencanakan?
0 notes
Text
#002

Malam itu adalah Sabtu malam. Mungkin bagi beberapa orang, malam itu bukanlah malam yang spesial. Itu hanyalah malam biasa, seperti yang sudah-sudah. Hanya karena esoknya adalah hari minggu, beberapa orang menganggapnya sebagai malam spesial.
Termasuk Rino, biasanya gadis bernama lengkap Shafeea Rino Adriana itu termasuk dalam kubu yang menganggap Sabtu malam adalah malam yang biasa. Namun, tidak dengan Sabtu malam kali ini. Ia menganggap spesial, karena menghabiskan waktu dengan seniornya di kampus, Valerio Xylon.
Awalnya sang senior sibuk dengan tugas akhirnya, sementara Rino berkutat dengan tugasnya sendiri. Di sebuah kamar tidur sederhana, di kediaman sang senior.
Namun, semuanya berubah saat Rino menanyakan tugas, awalnya. Valerio mengajari, walau dengan cara mengajar yang sedikit nyelekit. Kemudian, usai mengerjakan tugas, keduanya pun terbawa arus.
Valerio mengajaknya menonton film, sebagai distraksi dari coding yang memenuhi kepala mereka. Ditemani dua kotak susu strawberry serta kentang goreng, seharusnya keduanya baik-baik saja.
Hingga kemudian, atmosfer di sekitar mereka menjadi panas, disebabkan oleh mereka sendiri. Keduanya saling bertaut, bersaing demi mendapatkan kenyamanan bersama. Pelan, namun cukup membara. Laptop yang masih memutar film, layar komputer yang masih menampilkan file tugas akhir, kipas angin, jam weker, serta poster Hoshino Ai yang terpampang di tembok bercat biru muda, menjadi saksi bagaimana keduanya saling berbagi, hingga menjadi satu.
Momen yang tidak bisa dilupakan Rino. Momen manis bersatunya ia dan sang senior, merupakan pengalaman pertama bagi si gadis. Ia tak merasa marah maupun kecewa. Justru sebaliknya, ia merasa senang, hingga momen itu terus menghantui pikirannya kala ia tiba di rumah.
Sentuhan lembut jemari yang menari pada dirinya, tautan yang seolah akan kehilangan satu sama lain saat terlepas, serta bagaimana sang senior perlahan menyatu dengan dirinya, membuatnya tersenyum sendiri saat mengingatnya.
Rino tahu, ia tak bisa menceritakan hal itu pada orang lain. Maka dari itu, ia memutuskn untuk membaginya dalam buku diary-nya.
Kenangan manis, yang mungkin tak akan terulang lagi.
1 note
·
View note
Text
#001

Teruntuk Shafeea Rino Adriana
Terima kasih sudah bertahan, hingga 2023 kini telah mencapai akhir. Kini telah genap 20 usiamu, kau sudah melewati masa belasan tahunmu.
Rino…
Sungguh belia usiamu, kala kau kehilangan figur seorang ibu. Figur yang sangat kau kagumi, dan kau jadikan panutan untukmu hidup. Figur yang telah mengandung, melahirkanmu ke dunia, hingga merawatmu sebelum akhira beliau pergi untuk selama-lamanya.
Sejak saat itu, kau seolah dipaksa untuk menjadi dewasa. Walau saat itu, usiamu baru saja menginjak awal belasan tahun.
Rino…
Kau itu kuat, namun jangan memaksakan diri. Kau juga manusia, yang memiliki batas untuk melakukan sesuatu. Tak semua beban bisa kau pikul seorang diri. Kau memang menjadi figur pengganti ibu di rumah, namun bukan berarti kau tak boleh mengeluh.
Jika kau lelah, beristirahatlah.
Tak perlu bersikap sok dewasa. Sesekali kau juga boleh bersifat kekanakan.
Rino…
Jaga kesehatanmu, makan teratur sebagaimana kau selalu mengingatkan adikmu. Tidur yang cukup, jangan biarkan kantung mata merusak wajahmu.
Tolong, hargai dirimu sesekali, kau itu manusia. Mari memanusiakan manusia.
Jika kau tak punya bahu untuk bersandar, Kau punya Tuhan untuk tempatmu berkeluh kesah. Kau tak sendirian, Tuhan selalu bersamamu. Oleh karena itu, beristirahatlah sejenak, jangan kau pendam sendirian.
Dari aku, Yang tengah lelah bertarung dengan kejamnya dunia.
Shafeea Rino Adriana
0 notes
Text
Nama: Shafeea Rino Adriana Panggilan: Rino Tanggal Lahir: 11 Juli 2003 Tinggi: 150cm Berat: 45kg Golongan Darah: B MBTI: INTJ Pekerjaan: Mahasiswi Ilmu Komputer, Universitas Indonesia (tahun kedua)
Rino, begitulah gadis itu biasa disapa. Sebelum ia lahir, kedua orangtuanya telah menyiapkan nama itu, karena berharap anak pertama mereka laki-laki. Namun sayang, bayi mungil itu lahir tak sesuai ekspetasi. Kedua orangtuanya tetap memberi nama itu, karena memiliki arti yang bagus: perasaan pada keadilan.
Ia tumbuh menjadi gadis yang periang, membawa kebahagiaan bagi kedua orangtuanya. Kebahagiaan keluarga itu pun bertambah, saat lahir seorang adik.
Namun…
Kebahagiaan itu tak bertahan lama. Setidaknya, sebelum ia sempat beranjak dewasa.
Ia masih duduk di kelas 1 SMP, saat kabar kurang menyenangkan datang di keluarganya. Sang ibu dilaporkan tewas dalam kecelakaan kereta, yang mana ia selalu mendengar bahwa kereta merupakan alat transportasi yang paling aman.
Sejak kabar itu, Rino seolah dipaksa dewasa oleh keadaan.
Tentu saja ia sangat sedih kehilangan sosok panutannya dalam keluarga. Namun ia tak boleh merasa sedih terlalu lama. Ia tak boleh terlihat lemah di depan sang adik yang masih sangat kecil. Ia harus memberi contoh yang baik, sehingga selalu menjalani hari seolah tak terjadi apa-apa.
Sejak saat itu pula, tak ada yang tahu wajah Rino seperti apa. Jika ada yang bilang "Rino bawel!" hal itu tidak salah. Namun jika ada yang mengatakan "Rino pendiam!" itu juga tidak salah. Ia selalu bisa beradaptasi dengan lawan bicaranya, bahkan keluarganya sekalipun. Sang adik mungkin menganggap Rino mampu bersikap dewasa, namun tidak di mata teman-temannya. Ada sebagian yang setuju, namun ada juga yang bilang bahwa Rino sangat kekanakan.
Tak pernah ada yang tahu Rino gadis yang seperti apa. Bahkan ia sendiri pun tak tahu.
Masalah lain yang timbul pasca kematian ibunya: suasana rumah yang dingin, seolah tempat itu bukan rumah. Walau memiliki banyak topeng, namun ia tak bisa memainkan peran pengganti ibunya. Ia mungkin bisa memasak, merawat adiknya, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga di sela-sela kesibukan sekolahnya. Namun ia tak bisa menjadi jembatan untuk menyatukan kembali keluarganya. Sang adik yang begitu tertutup padanya, yang bicara padanya hanya seputar urusan keuangan rumah tangga. Tak ada percakapan basa-basi dan saling menanyakan kabar dalam keluarganya. Ia juga menutup diri pada adiknya—mengikuti sifat sang adik. Serta jarang berbicara pada sang ayah, yang meniru dari sikap sang kepala keluarga.
Sifat orang yang satu-satunya tak bisa ia tiru, adalah sifat ibunya.
☆ Memilih jurusan ilmu komputer, karena hobinya mengotak-atik komputer maupun laptop sejak masa sekolah ☆ Benci kereta. Namun ia tak pernah terang-terangan menunjukan hal itu, sebab hanya kereta satu-satunya alat transportasinya ke kampus ☆ Selalu bersikap sebagaimana lawan bicaranya bersikap padanya. Kalau lawan bicaranya bersikap memyebalkan, ia akan bersikap demikian. Namun jika lawan bicaranya bersikap sopan, ia pun turut bersikap demikian ☆ Sangat menyukai fashion ☆ Sensor pedasnya sudah rusak, alias tahan makan makanan pedas
0 notes