sazzhqiya
sazzhqiya
Menta'arufi Diri, Menziarahi Kehidupan.
25 posts
Luangkan banyak waktu untuk belajar diri sendiri.
Don't wanna be here? Send us removal request.
sazzhqiya · 3 months ago
Text
Kadang, mencintai diri itu artinya mengecewakan orang lain.. Dan itu gak dosa.
Aku baru dari dokter.
Katanya.. autoimun.
Lucu ya, tubuhku kayak marah.
Padahal aku gak pernah bikin masalah sama siapa-siapa.
Selalu ngalah, selalu senyum, selalu bilang: “aku gak apa-apa.”
Tapi salah satu temanku bilang:
“Kamu terlalu sibuk jadi baik ke semua orang.. tapi lupa jadi jujur ke diri kamu sendiri.”
Dan, aku cuma ketawa getir.
“Emang salah ya jadi orang baik?”
Dia jawab pelan, “Masalahnya bukan soal baik atau jahat. Tapi soal jujur. Kadang kita sok kuat, sok baik, karena takut ditolak. Takut dibilang egois. Tapi topeng itu lama-lama nempel. Dan tubuh kita yang akhirnya teriak.”
Aku diem.
Karena bener juga sih. Aku emang terbiasa nyimpen semua sendiri.
Dari kecil.
Takut ngerepotin. Gak enakan.
Dan temanku bilang lagi, “Emosi yang gak kamu keluarin itu gak hilang. Dia ngendap... dan jadi racun. Kadang dia pindah: ke lambung, ke saraf, ke imun.”
Aku menimpalinya,
“Tapi aku gak pernah marah kok. Aku orangnya sabar, ikhlas.”
Dan dia jawab: “Sabar itu bukan artinya kamu matiin rasa marah. Tapi, tahu gimana cara ngolahnya dengan sadar.”
Aku akhirnya jujur,
“Aku iri. Lihat orang lain bisa nolak, bisa bilang ‘nggak’, bisa jaga jarak tanpa rasa bersalah. Kenapa aku selalu ngerasa wajib bikin semua orang senang?”
Dia menghela napasnya berat,
“Itu karena kamu dibesarkan dengan bayangan: ‘kalau aku gak nurut, aku gak layak disayang.’ Padahal cinta sejati itu gak muncul karena kamu sempurna. Tapi karena kamu autentik.”
Aku nelen ludah pelan, terus nanya, "Jadi sekarang aku harus belajar jadi egois?”
Dia natap aku, lembut banget.
“Bukan egois. Tapi belajar setia pada dirimu sendiri. Kadang, mencintai diri itu artinya mengecewakan orang lain. Dan itu gak dosa.”
Dan saat itu juga, aku ngerasa…
Mungkin untuk pertama kalinya dalam hidup, aku ngerasa boleh banget buat gak kuat.
Karena tubuhku udah lebih dulu ngasih sinyal:
“Hei, cukup ya. Gak usah jadi malaikat. Jadi manusia aja dulu.”
6 notes · View notes
sazzhqiya · 4 months ago
Text
Tuhan tidak Butuh Duta Bicara
“Jangan lihat aku, lihatlah Tuhan dalam diriku,”
katanya dulu,
dengan tenang, penuh keyakinan, seolah membawa cahaya yang tak bisa disangkal.
Dan aku percaya—sepenuhnya.
Karena siapa yang tega meragukan seseorang yang menyebut nama Tuhan dengan lembut, yang membicarakan kesadaran, dan cahaya jiwa?
Ia sering berbicara tentang kesadaran, tentang kehadiran murni dan cinta yang tak melekat. Tentang memberi tanpa ingin digenggam, tentang menjadi cermin ketulusan bagi sesama.
Dan aku—yang saat itu masih rapuh—menjadikannya cahaya penunjuk jalan.
Tapi pagi ini, aku duduk sendiri di atas batu besar di lereng bukit.
Langit masih murung. Kabut turun perlahan, dan angin yang lewat membawa aroma daun basah dan tanah yang jujur.
Tak ada suara siapa pun. Tak ada kutipan bijak, tak ada ceramah spiritual. Hanya dedaunan yang saling menyentuh, dan hatiku sendiri yang diam-diam pulih.
Aku mengingat wajahnya—guru, teman spiritual—yang dahulu kusebut jalan cahaya.
Kata-katanya masih terngiang:
"... Lihat Tuhan dalam diriku."
Tapi ternyata,
kesadaran bukan apa yang dikatakan seseorang saat dilihat orang lain. Kesadaran adalah kejujuran saat tak ada yang menonton.
Jika benar Tuhan ada dalam dirinya,
harusnya ia sadar saat melukai. Harusnya ia berhenti saat melihat hati yang tulus dijadikan permainan.
Bukankah Tuhan tak pernah berkhianat?
Tak pernah mengaburkan niat demi kepentingan pribadi?
Tak pernah menyebut cinta sambil menyisipkan luka?
Jadi, siapa yang hadir waktu itu? Tuhan, atau ego yang berselimut cahaya?
Kabut di sekitarku semakin menipis. Sinar matahari mulai menembus pelan-pelan dari balik awan. Dan aku sadar..
Yang menyakitiku bukan Tuhan.
Tapi manusia—yang memakai nama-Nya, tapi lupa untuk jujur seperti-Nya.
Tuhan tak perlu dibela. Tak perlu diiklankan. Ia hadir—diam-diam—dalam setiap langkah jujur,
dalam setiap mata yang menatap tanpa niat merusak,
dalam tangan petani yang bekerja tanpa keluhan,
dalam pelukan seorang ibu yang tak pernah membaca buku spiritual,
tapi mengenal Tuhan lewat kasih tanpa syarat.
Aku mulai belajar melihat Tuhan, bukan dari mereka yang bicara paling manis, tapi dari mereka yang hidup paling jujur.
Dalam senyum tukang sayur yang memberiku lebih saat aku kekurangan.
Dalam anak kecil yang memeluk tanpa alasan.
Dalam sahabat yang tidak mengutip ayat apa pun,
tapi hadir di sampingku waktu aku terjatuh—tanpa bertanya banyak.
Karena kini aku tahu,
Tuhan tak butuh duta bicara.
Ia hadir dalam siapapun.. yang bersih hatinya.
Dan kalau nanti ada lagi yang berkata,
"Jangan lihat aku, lihat Tuhan dalam diriku,"
aku akan tersenyum dalam hati, dan berkata:
"Aku akan melihat Tuhan dalam semuanya—termasuk dalam diriku sendiri.
Tapi tidak lagi lewat kamu."
Baca disini untuk Part 1: Cahaya Palsu
Baca disini untuk Part 2: Rumah yang Kubangun dari Reruntuhan
cerpen by @sazzhqiya
— Menta'arufi Diri, Menziarahi Kehidupan
1 note · View note
sazzhqiya · 4 months ago
Text
Rumah yang Kubangun dari Reruntuhan
Jika hatimu sedang dibongkar, mungkin Tuhan sedang menyiapkan ruangan baru di dalamnya.
Bukan untuk siapa-siapa. Tapi untuk dirimu sendiri. Agar kamu bisa tinggal di hatimu dengan tenang—tanpa takut dikhianati lagi.
Aku duduk di lantai kamar, bersandar ke dinding dingin. Tak ada musik, tak ada suara apa pun kecuali hujan yang mengetuk jendela perlahan.
Di depanku, sajadah terbentang. bukan karena baru selesai shalat, tapi karena itu satu-satunya tempat yang tak pernah menghakimiku. Tempat paling jujur untuk menangis, bahkan tanpa kata.
Di dekatku, lilin kecil menyala—bukan untuk penerangan, tapi untuk teman sunyi.
Hanya aku dan diriku sendiri.
Dan, entah bagaimana.. aku tahu: Tuhan juga hadir di sini. Bukan di tempat sujud semata, bukan di majelis-majelis yang gemerlap.
Tapi dalam detak jantungku yang lirih. Dalam napas yang kutarik setiap detiknya.
Di luar, hujan turun pelan. Anginnya masuk melalui celah jendela yang kubiarkan terbuka sedikit, seolah ikut membaca isi kepalaku—penuh tanda tanya dan sisa-sisa luka.
Bukan hanya tentang kehilangan semata, tapi kehilangan arah saat cahaya yang kupikir dari Tuhan, ternyata hanya pantulan dari ego manusia.
Aku memeluk lutut sendiri, dan bertanya dalam diam:
“Tuhan, mengapa orang yang menyebut-Mu tega menyakitiku begitu rupa? dan aku tertipu oleh cahaya yang terlihat suci.”
lalu pelan-pelan, aku mulai mendengar jawaban yang tak datang dari luar—tapi dari dalam diriku yang sangat sunyi:
“Bukan Aku yang mengkhianatimu. Itu hanya manusia yang memakai nama-Ku.. tapi lupa untuk menjadi jujur seperti-Ku.”
Malam-malam selanjutnya, aku menyalakan lilin bukan untuk mengingat luka, tapi untuk mengingat bahwa di dalam kegelapan yang panjang, selalu ada cahaya yang tumbuh diam-diam—dari dalam dada.
Aku mulai memandang diriku bukan sebagai korban, tapi sebagai seseorang yang sedang dibimbing untuk mengenal Tuhan bukan dari kata orang, tapi dari pengalaman langsung akan kesejatian cinta-Nya.
Yang menjauh bukan Dia—tapi aku, saat terlalu percaya pada manusia yang bicara tentang-Nya, tapi lupa menyerupai kasih-Nya.
Aku mulai mengerti.. Ternyata Tuhan memang tak melulu hadir di tempat sujud, atau dalam kata-kata yang terdengar religius. Dia juga tinggal di dalam dada—dalam kesunyian yang tak dibuat-buat, dalam tangis yang tak dicari siapa-siapa.
Hari-hari berikutnya aku tak berusaha memaksa sembuh. Aku hanya membuka sedikit ruang dalam diriku, untuk cahaya yang pelan-pelan kembali menyelinap:
bukan dari luar,
tapi dari dalam.
Aku mulai melihat Tuhan bukan sebagai tempat mengadu semata, tapi sebagai kehadiran lembut yang memelukku lewat hal-hal kecil:
sinar matahari yang menyapa mengawali hari,
sejumput ketenangan saat pagi,
hangat teh yang kubuat sendiri,
senyum dari orang asing di jalan,
dan bahkan diamku sendiri yang tak lagi terasa sepi.
Tuhan tidak hanya dalam dzikir dan ayat-ayat. Dia juga hadir dalam dirimu saat kamu jujur, saat kamu menangis dan tidak pura-pura kuat, saat kamu memilih memaafkan bukan karena lemah, tapi karena tahu: kamu lebih butuh damai daripada dendam.
Dan sekarang, saat aku mulai merapikan hatiku kembali, aku tak membangunnya untuk menyambut siapa-siapa.
Aku membangunnya sebagai rumah ibadah kecil di dalam diriku sendiri—
tempat aku bisa kembali ketika dunia mengecewakan, dan tempat Tuhan bisa diam-diam menetap, tanpa perlu ditunjukkan pada siapa-siapa.
Jika seseorang datang lagi nanti,
aku tak akan bertanya siapa dia, dari mana, atau seberapa suci katanya.
Aku hanya akan mendengar apakah Tuhan dalam diriku merasa tenang bersamanya.
karena aku telah belajar,
yang paling jujur tidak selalu bicara paling manis.
yang paling ilahi justru hadir dalam ketulusan dalam diam.
———
Baca di sini untuk Part 1: Cahaya Palsu
cerpen by @sazzhqiya
— Menta'arufi Diri, Menziarahi Kehidupan
3 notes · View notes
sazzhqiya · 4 months ago
Text
Cahaya Palsu
Aku duduk di hadapannya dengan mata sembab. Ada banyak kata di tenggorokan, tapi tak satu pun keluar.
Ia menatapku lama.. tak dengan iba, tapi dengan pemahaman yang tajam.
Lalu ia bicara, pelan—seolah ingin memastikan tiap katanya menyentuh hatiku, bukan hanya telingaku.
"Aku dengar kamu.. sepenuhnya."
Kalimat itu seperti membuka bendungan dalam diriku.
Aku ingin berkata, “Aku hancur.” Tapi sebelum sempat, ia melanjutkan.
“Kamu merasa hancur bukan cuma karena kehilangan seseorang. Tapi karena kehilangan kepercayaan—pada jalan yang kamu kira suci. Pada kata-kata yang kau kira sakral. Pada janji yang diucapkan dengan wajah penuh ketenangan.. tapi ternyata menyisakan luka lebih dalam dari yang pernah kamu bayangkan.”
Suara itu tenang, tapi setiap katanya seperti pisau yang lembut—membuka luka yang sudah lama menganga tapi tak pernah benar-benar aku akui.
Aku tak bisa membantah. Hanya diam, membiarkan air mata turun tanpa suara.
“Ini bukan cinta biasa, bukan sekadar hubungan. Ini tentang iman yang sempat kamu titipkan pada seseorang. Dan ketika dia menjatuhkannya, kamu bukan cuma patah.. kamu merasa dibohongi oleh cahaya palsu.”
Aku mengangkat kepala, pelan. Ingin berkata sesuatu. Ingin membela diri. Ingin menyalahkan.
Tapi ia menatapku sebelum aku sempat bicara, seolah berkata:
Tidak apa-apa. Aku tahu kamu marah. Aku tahu kamu kecewa.
“Dengar ini baik-baik, Tuhan tak pernah berkhianat. Manusia bisa bicara soal keikhlasan, bisa berdzikir dengan lantang, bisa berlagak seperti cahaya.. tapi bukan berarti jiwanya bersih. Yang kamu temui bukan jalan Tuhan yang salah—yang salah adalah manusia yang pura-pura berdiri di atasnya"
Aku terdiam. Ada kelegaan yang samar, tapi nyata. Untuk pertama kalinya, aku merasa rasa sakitku valid. Bukan lemah. Bukan lebay.
Rasa sakit itu ada.. karena luka itu bernilai.
“Allah tahu kamu datang dengan niat baik. Allah tahu kamu ingin tumbuh dalam cinta yang suci. Maka saat jalan itu mulai dipenuhi manipulasi, kepura-puraan, dan ego yang dibungkus spiritualitas, Dia menarikmu keluar. Meskipun rasanya pahit.”
Ia mencondongkan tubuhnya, lalu berkata dengan suara yang seperti pelukan,
“Ini luka yang besar. Tapi juga bukti, Allah sedang menyelamatkanmu. Dia tidak membiarkanmu terjebak lebih dalam. Karena Dia tahu, kamu layak untuk cinta yang bukan hanya ‘berbau ruhani’, tapi benar-benar murni, jujur, dan menyembuhkan.”
Aku menangis. Tapi kali ini, bukan karena hancur.
Aku menangis karena aku mulai percaya.. bahwa mungkin, ini bukan akhir. Ini penyelamatan.
“Hari ini kamu merasa kecil. Tapi esok kamu akan berdiri. Kamu akan pulih, bukan karena dilupakan.. tapi karena dimenangkan. Tuhan tidak sedang menghukummu. Dia sedang memurnikanmu.”
Hening menggantung sebentar. lalu ia menutup kata-katanya,
“Jangan pernah anggap ini akhir. Karena reruntuhan ini.. adalah tempat di mana cahaya yang asli akan turun.”
Aku mengangguk.
Masih dengan mata berkaca, tapi kali ini bukan karena tak sanggup..
Melainkan karena aku mulai kembali percaya.
Bukan pada manusia, bukan pada janji..
Tapi pada Dia—yang tak pernah berpura-pura jadi cahaya, karena Dia adalah Cahaya itu sendiri.
———
cerpen by @sazzhqiya
— Menta'arufi Diri, Menziarahi Kehidupan
29 Apr 2025
3 notes · View notes
sazzhqiya · 4 months ago
Text
طمن قلبك فهذا خارج سيطرتك
tenangkan lah hatimu, ini diluar kendalimu—sebagai hamba..
4 notes · View notes
sazzhqiya · 4 months ago
Text
semoga Allaah senantiasa karuniakan keteduhan juga keteguhan hati dalam menyambut segala bentuk pembelajaran dalam proses menjalankan skenario-Nya
14 notes · View notes
sazzhqiya · 4 months ago
Text
kuatkan keyakinanmu kepada Yang Maha Kuasa, kenalilah dirimu
bebaskan dirimu sendiri dari ikatan belenggu
korbankan hasrat akan hasilnya
dan lakukan saja kewajibanmu
karna suatu jiwa, tidak akan jauh berbeda
dari Yang Maha Jiwa.
8 notes · View notes
sazzhqiya · 7 months ago
Text
aku merangkul takdir yang bahkan tidak kuketahui isinya apa.
lalu aku mendengar, yang paling mencintaiku lah yang menuliskan isinya.
wahai Allaah,
kabar demi kabar telah beradu berita. dan aku masih laksana bayi yang di depan-Mu tidak miliki apa-apa.
pada-Mu,
akan kupelankan lagi cara bicaraku, memastikan bahwa yang jatuh dari dahi yang kutempelkan ditanah adalah cinta, bukan malah ketidakterimaan.
aku berharap, cinta untuk-Mu ini, selama-lamanya tidak pernah miliki fana.
— AlifLaamMim
2 notes · View notes
sazzhqiya · 7 months ago
Text
Life is learning—
setiap jam adalah jam pelajaran,
setiap tempat adalah tempat belajar,
dan yang siapapun yang datang kepada kita pasti mau mengajarkan sesuatu.
1 note · View note
sazzhqiya · 7 months ago
Text
ada yang layak untuk diperbaiki, tapi kesempatan bukan untuk dipermainkan.
2 notes · View notes
sazzhqiya · 7 months ago
Text
Perbatasan Nol
Disadari ataupun tidak, semua masalah ternyata selalu berawal dari pikiran. namun, memiliki pikiran bukanlah masalahnya.
lantas, apakah masalahnya?
masalahnya adalah semua pikiran kita diilhami oleh kenangan yang menyakitkan—kenangan akan orang, tempat, atau hal.
Ada sebuah kutipan dari buku Tor Norretranders, The User Illusion, yang menyimpulkan inti perjalanan naik turun dalam kehidupan yang akan kita jalani adalah,
"Alam semesta itu berawal saat ketiadaan melihat dirinya dalam cermin."
Pendeknya, Perbatasan Nol adalah mengenai kembali ke keadaan nol, tempat terdapat ketiadaan tapi apa pun menjadi mungkin. Dalam keadaan nol tak ada pemikiran, kata, perbuatan, kenangan, program, keyakinan, atau lainnya. Semata-mata tak ada apa-apa.
maka ketika terlihat tak ada apa-apa, disitulah akan semakin jelas, bahwa hanya ada Sang Kasih Sayang yang Maha Merajai. Disitulah pula ketenangan, kedamaian, dan ketentraman selalu bisa dirasakan meliputi bagian-bagian dari diri kita. tak ada lagi beban-beban masalah yang sebelumnya terasa sangat berisik dan membebani itu.
Saat pikiran menjadi tenang dan manis
Aku mengumpulkan kenangan akan hal-hal di masa lalu,
Aku mengeluhkan kekurangan akan banyak hal yang kucari,
Dan dengan ratapan baru akan kesengsaraan yang dulu, waktuku yang berharga terbuang.
Lalu, dapatkah aku berduka untuk kedukaan yang telah lalu?
Dan tiap kesengsaraan diceritakan kepada orang lain
Kisah sedih tentang rintihan yang dulu telah dirintihkan
Yang baru kubayar seolah-olah sebelumnya tak terbayar
—15 Januari 2025
6 notes · View notes
sazzhqiya · 7 months ago
Text
Dari Masa Lalu
Tatkala mentari kembali menapaki bumi dan pintu kehidupan dimulai lagi, sebuah amplop berwarna putih usang tiba di beranda rumahku. Tertulis di sana;
“Surat Dari Masa Lalu.”
Kubuka perlahan-lahan, lalu ku dapati sebuah barisan monolog panjang milik seseorang yang sangat berarti dalam hidupku.
Kepada hari ini, tatkala bumi semakin riuh dan segala hal tentang kehidupan semakin tampak rumit serupa benang kusut yang tiada berpenghujung. Akulah selembar surat usang dari masa lalu. Terangkai dengan banyak pelajaran dan berspasi oleh banyak penyesalan.
Ketika kau membaca tulisan ini, aku yakin kau sudah sedikit banyak berbenah. Meminimalisir kesalahan, mendewasa dengan bijak. Memetik banyak hikmah dari setiap perjalanan. Namun tetap saja ketakutanmu perihal masa depan akan selalu ada.
Kau pasti tahu bahwa masa depan adalah sebuah kepastian. Meskipun dirimu tetap sekeras karang, hanya sedikit perubahan, atau sama sekali masih serupa sediakala, masa depan tetap akan datang menghampirimu. Tentu pula, pada segala hal di depan sana yang belum pasti, maka akan selalu diikuti khawatir dalam diri.
Surat ini sebagai pengingat, pengikat kenang dan penyambung rindu. Memperbaharui banyak masa yang dipisah oleh waktu. Menyibak banyak kisah pilu tentangku yang akan menjadi pelajaran hidup selamanya untukmu—yang mendapatinya di beranda rumah.
Wahai, Engkau... Dzat yang menjadi lentara dalam pekat kala itu. Surya yang menghangatkan setiap langkah awal pagiku—hingga siang menjelang Kau tetap setia menemani dengan terang-Mu. Demikian pula tatkala senja tiba, Kau tetap meronakan akhir hariku, mengantar pulang jiwaku kala malam mulai datang bertandang.
Di malam hari Kau menjelma rembulan, menyinari gulitaku yang sunyi. Dengan hangat cahaya-Mu, Kau baluri sekujur tubuh ini, agar hilang lelah dan penatku sehari tadi. Demikian masa itu, dalam hari-hari dan malam-malamku selama mengenal-Mu
Dari dulu aku selalu bertanya-tanya,
Mengapa ketika aku menyepi bersama tumbuh-tumbuhan, hewan, dan langit selalu membuat hatiku begitu tenang dibanding aku berada di sekeliling manusia?
Dan kini, aku menemukan jawabannya.
Sesederhana karena tumbuh-tumbuhan, hewan, dan langit adalah makhluk-Mu yang tak pernah alpa sedetikpun melupakan-Mu, mereka senantiasa bertasbih memuji asma-Mu. Sedangkan, berada di sekeliling manusia tak kutemukan ketenangan karena hati manusia seringnya lupa mengingat-Mu. Maka atmosfer ketenangan itu sedikit sekali aku rasakan.
Perihal Dzikrullah, melupakan segala sesuatu yang membuat lupa kepada-Mu, dan mengingat segala sesuatu yang membuat ingat kepada-Mu.
Maka, Yaa Rabb,
aku berlindung kepada-Mu dari melupakan-Mu dan mengingat selain-Mu.
—draft tulisan 18 September 2022
4 notes · View notes
sazzhqiya · 7 months ago
Text
“Sujudlah, bisa jadi mungkin salah satu sujudmu itu mengudara. Dan do’amu bergema mengguncang Arasy-nya.”
Terkadang, aku merasa lelah dengan apa yang aku usahakan untuk masa depanku. Ketika aku bertahan dalam jalanku, aku tersandung. Dan ketika aku mencoba bangkit lalu berlari, aku mendapatkan lubang besar hingga akhirnya aku sempat berhenti berlari dan menunda keinginanku untuk menaiki puncak tangga.
Saat itu, aku menangis. Aku menyalahkan keadaan dan dikuasai oleh rasa kecewa yang mendalam. Hingga akhirnya, aku temukan damai dalam do’a, aku temukan keyakinan dalam do’a, aku temukan jalan juga jawaban dalam do’a-do’aku.
Taadzur hidup yang dibawa oleh masa, ia membuatku menangis dan meraung. Lalu tatkala tak kudapati secercah cahaya pertolongan, hidupku hampa. Begitu nelangsa. Aku menciut tak berani menampakkan diri ke permukaan, menyeret langkah seakan enggan mencicipi lagi ujian yang dicipta oleh Sang Kuasa.
Dalam tadabbur makna hidup yang sebenarnya, aku menghisap sari-sari kehidupan. Ia pahit, sungguh pahit. Namun..
apalah arti air mata dibandingkan tenggelam sujud kepada-Nya?
Kita, bukan diciptakan sebagai pengecut yang menyurutkan langkah hanya karena pilu, kan?
Tuhan memiliki rencana-Nya yang indah tanpa kita tahu, celoteh kita pada Tuhan, menjadi saksi rindu pada Yang Esa.
Maka inilah aku, Tuhan..
Hamba yang lemah tanpa Kau kuatkan, hamba yang buta tanpa Kau perlihatkan, hamba yang lumpuh tanpa Kau perjalankan, hamba yang mati tanpa Kau beri penghidupan, dan hamba yang berlumur dosa tanpa Kau ampunkan.
Tuhan..
Dengan penuh kesungguhan aku memohon, berikan kebahagiaan sejati kepada kedua orangtuaku, berikan keselamatan dunia akhirat kepada orang-orang yang aku sayangi dan orang-orang yang menyayangiku karena-Mu. Berikan ampunan-Mu kepada siapa saja yang berdosa dan memohon ampunan pada-Mu. Berikanlah permintaan orang-orang yang meminta dan cukupkanlah hati mereka yang selalu merasa kekurangan. Berikanlah kebaikan kepada orang-orang yang pernah aku dzalimi, berikanlah ampunan kepada mereka yang pernah mendzalimiku, dan dengan kekuasaan-Mu, ampunilah dosa-dosaku, Ya Tuhanku..
Tuhan, Sang Pemberi Bahagia dan duka..
Sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu dan anak hamba perempuan-Mu. Ubun-ubunku berada di tangan-Mu, hukum-Mu berlaku pada diriku. Ketetapan-Mu adil atas diriku. Aku memohon pada-Mu dengan segala nama yang menjadi milikmu, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seorang makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib yang ada disisi-Mu, agar Engkau selalu jadikan Al-Qur’an sejati ini sebagai penyejuk hatiku, cahaya bagi dadaku, dan pelipur kesedihanku, serta pelenyap bagi kegelisahanku..
—draft tulisan 16 Oktober 2021
5 notes · View notes
sazzhqiya · 7 months ago
Text
Terimakasih pada diri,
tlah terus kembangkan layar tuk arungi luasnya dan dalamnya samudera hati.
menyelam jauh ke dalam diri sendiri, untuk memahami dan menghaluskan budi.
pun mengabdikan diri sebagai saluran Ilahi—meradiasikan cahaya cinta kasih-Nya, untuk menyelesaikan swadarma jiwa.
menuju pelabuhan akhir, cinta Yang Murni, Cinta Sang Maha.
Bandung, page 20/365.
4 notes · View notes
sazzhqiya · 8 months ago
Text
Re-Parenting Diri
"Hi kids, this is your Mom. Aku mendidikmu, dengan cara mendidik diriku dari sekarang."
Ternyata, tanpa banyak disadari, bahwa setiap anak Ingin Menjadi Satu-satunya, Bukan Menjadi Nomor Satu.
Ketika di bangku sekolah, kita tentunya mengenal istilah 'seragam'. Lebih tepatnya mengacu pada baju yang diseragamkan.
Hingga guru pun memperlakukan para siswanya dengan seragam, dalam arti mereka harus mencapai hasil yang sama dengan adanya konsep KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).
Yang tidak menyukai bidang olahraga, disuruh menyukai olahraga. Yang tidak menyukai matematika, disuruh menyukai matematika. Begitupun sebaliknya, secara tidak langsung dituntut untuk menyukai apa yang bukan siswanya sukai. Ini menunjukan bahwa dunia pendidikan ternyata tidak mau tau apa keunikan masing-masing peserta didik.
Belum cukup sampai disana, adapula konsep ranking, yang mana konsep ranking ini membanding-bandingkan individu dengan individu yang lain. Setiap anak dituntut untuk bisa berlomba-lomba menjadi nomor satu, sampai akhirnya ia tidak menjadi satu-satunya.
Sang anak tidak menjadi dirinya sendiri yang hanya satu yaitu ia dengan segala keunikan yang ia miliki.
Akibatnya, potensinya terpendam karena dituntut mengejar apa yang bukan dirinya.
Maka dari itu, mari kita putuskan pemikiran bahwa anak harus selalu menjadi nomor satu. Mari kita ubah pola asuh yang seperti itu, kita re-parenting diri kita karna setiap individu itu unik, setiap individu itu jenius, ia dikatakan tidak jenius karna masalahnya hanya satu, 'salah tempat'.
Setiap anak datang ke semesta bukan untuk rencana orang tuanya, anak adalah anugerah, tamu agung yang datang ke semesta untuk menjadi dirinya sendiri.
Untuk rencana Tuhan, bukan rencana kita.
4 notes · View notes
sazzhqiya · 8 months ago
Text
"adakah yang lebih menyakitkan? dari memiliki setumpuk pertanyaan untuk seseorang yang telah lama kau simpan karna tak bisa bertemu dengannya, namun jawaban yang kau dapatkan adalah kabar mengenai kematiannya."
"masih sesakit itu ya rasanya?"
"entahlah sesak dalam dada itu ternyata masih terasa nyerinya. namun bagaimanapun, sejak saat itu aku tahu satu hal. bahwa ia mendidik ku bukan untuk menjadi guru bagi dunia, tapi guru bagi diriku sendiri."
"kalau boleh kukatakan, ada satu pesan nya untukmu yang ia titipkan kepadaku."
"apa itu?"
"dalam petualangan untuk membereskan hal-hal yang belum selesai ini, di perjalanan kembali menuju dirimu lagi, tolong bertahan lebih lama, ya."
— Tasikmalaya, 2023-2024
1 note · View note
sazzhqiya · 9 months ago
Text
maka dari pada itu pula, orang yang sudah merasakan besarnya kasih sayang Tuhan padanya, ada perasaan yang ingin selalu berbagi.
entah itu makanan, pakaian, harta, ilmu dan lainnya. bahkan jika tidak ada yang bisa dibagikan maka ia memberi senyuman, do'a, sikap yang baik, pikiran yang baik.
apapun yang ia punya dari Tuhan, ingin dibagikan ke semua ciptaan-Nya.
jangan sampai ada yang merasa tidak disayang Tuhan.
— 12 Des 2024, 15.45
Jangan Tanam Apapun, Selain Cinta
"Kau tahu, ketika kita mengucapkan Bismillahirrahmaanirrahiim, ada makna tersirat yang seharusnya kita sadari."
"Apa?"
"Maknanya, kita sedang mendeklarasikan atas nama Allah, bahwa kita ada di sini atas rencana-Nya, dan untuk tujuan-Nya."
"Oh i see, aku jadi ingat perkataan Rumi: With life only a breath away, don't plant anything but love (?)"
"Benar, karna sejatinya kita tidak menyadari bahwa kita adalah kepanjangan 'tangan' Tuhan untuk menyampaikan welas asih-Nya. Cinta kasih-Nya."
14 Jan 2024, 06.03
11 notes · View notes