seabeforerain
seabeforerain
Lucien Akhilendra
7 posts
Meski dunia terjerembab ke jurang kehancuran, roda peradilan terus bergulir—seakan hukum lebih kekal daripada harapan itu sendiri. [©KoYa_B_ on X]
Don't wanna be here? Send us removal request.
seabeforerain · 2 months ago
Text
Yang Terakhir Untukmu
Tumblr media
Untuk Aryasatya, yang pernah menjadi alasanku tersenyum,
Kamu tahu, aku pernah berpikir bahwa mungkin, jika aku cukup sabar … Jika aku cukup setia … Kamu akan menoleh. Tapi semakin lama aku menunggu, semakin jelas terlihat: kamu tidak pernah berdiri di titik yang sama denganku. Dan aku tak bisa selamanya menyapa seseorang yang tak lagi ingin tinggal.
Malam ini aku menulis dengan tangan yang gemetar dan hati yang perlahan merelakan. Aku tidak tahu bagaimana caranya mengucapkan selamat tinggal dengan benar, karena sejujurnya ... Aku tidak pernah benar-benar siap untuk pergi. Tapi mungkin inilah waktunya. Waktunya aku berhenti berjalan ke arah yang tak pernah kamu tuju.
Bukan salahmu, Arya. Cinta tidak bisa dipaksakan. Dan aku mencintaimu terlalu lama dalam diam, berharap senyummu akan menetap, berharap sapamu tetap hangat. Tapi, aku lelah. Lelah menjadi satu-satunya yang merasa, satu-satunya yang menggenggam erat pertemanan kita sambil menyembunyikan rasa yang menyiksa.
Maka izinkan aku menyerah—bukan karena aku benci, tapi justru karena aku terlalu mencintai. Cinta yang tulus tahu kapan harus pergi, bukan? Dan inilah aku, memilih untuk menyembuhkan diri dengan menjauh darimu.
Terima kasih, Arya.
Terima kasih telah hadir di hidupku, memberi warna, tawa, dan pelajaran tentang menerima tanpa harus memiliki. Aku doakan kamu bahagia, bahkan saat aku tidak lagi ada dalam hidupmu. Semoga ada seseorang yang bisa membuatmu tersenyum seperti dulu kau membuatku bahagia hanya dengan hadir.
Selamat tinggal, Arya. Semoga dunia selalu berpihak padamu.
Tertanda,
Lucien.
0 notes
seabeforerain · 2 months ago
Text
Luka yang Tak Bernama
Tumblr media
"Arya, maaf bila lancang… tapi sepertinya aku menaruh rasa padamu."
Kalimat itu meluncur dari bibir Lucien bukan tanpa beban. Ia tahu, setiap kata adalah risiko. Tapi ia juga tahu, menahan perasaan itu lebih menyakitkan daripada mengungkapkannya. Ia telah bergulat dengan hatinya sendiri terlalu lama—berusaha menepis gejolak yang tumbuh setiap kali Arya tersenyum padanya, setiap kali tangan mereka bersenggolan tanpa sengaja, atau saat tawa mereka berpadu seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Lucien bukan tipe yang mudah jatuh hati, terlebih pada sahabatnya sendiri. Tapi ada sesuatu dalam diri Arya yang perlahan merobohkan dinding-dinding kokoh yang selama ini ia bangun. Kehangatan yang tak dipaksa, perhatian yang tidak diminta, dan kehadiran yang konstan—semua itu membentuk ruang nyaman yang diam-diam berubah menjadi tempat yang ia rindukan. Ia mulai terbiasa dengan keberadaan Arya, terbiasa merasa lebih tenang saat bersamanya, terbiasa menyimpan harap diam-diam di antara tawa mereka.
Namun, sebagaimana bunga tak selalu tumbuh di tanah yang tepat, cinta pun tidak selalu bersambut.
Setelah Lucien menyampaikan perasaannya, waktu seolah berhenti. Arya terdiam, dan dalam diam itu, Lucien bisa mendengar gemuruh jantungnya sendiri. Ia mencuri pandang, berharap melihat secercah harapan di mata Arya. Tapi yang ia dapati hanyalah kebingungan… dan sesuatu yang menyerupai penolakan.
"Luci, kamu sepertinya salah sangka."
Kalimat itu menamparnya lebih keras dari yang ia perkirakan. Lucien tidak bisa menahan diri.
"Aku tidak mungkin salah soal perasaan ini. Aku hanya merasakan hal seperti ini kepadamu."
Namun kata-katanya tidak mengubah apa pun. Wajah Arya tetap sama—penuh ketegangan dan keraguan. Dan akhirnya, penolakan itu jatuh juga.
"Maaf, Luci… aku nggak punya perasaan yang sama. Di mataku, kamu cuma teman baikku."
Ada sesuatu dalam diri Lucien yang runtuh pada saat itu juga. Ia sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan itu, tetapi ternyata tidak ada cara untuk benar-benar siap menerima kenyataan bahwa seseorang yang kau cintai tidak mencintaimu kembali. Ia ingin menangis, ingin berteriak, ingin lari dari semua kenyataan. Tapi ia hanya bisa memasang senyum, meski sangat jelas senyuman itu penuh luka.
"Tidak apa-apa… bukan salahmu. Aku juga anggap kamu temanku. Maaf, ya."
Kalimat itu lebih terasa seperti pengkhianatan terhadap dirinya sendiri. Ia meminta maaf seolah-olah mencintai Arya adalah kesalahan. Ia membungkam tangisnya sendiri agar Arya tidak merasa bersalah. Dan setelah pertemuan itu, ia pulang dengan tubuh yang masih berdiri, tapi hati yang telah remuk.
Selama seminggu, Lucien menghilang. Ia meminta waktu untuk sendiri. Tidak ada chat, tidak ada kabar, tidak ada suara dari dirinya selain bunyi langkah kaki pulang kerja yang berat dan isakan pelan di balik pintu rumah. Hari-harinya menjadi senyap. Ia bekerja dengan wajah datar, menenggelamkan diri dalam berkas dan sidang, lalu pulang hanya untuk meratapi kesepiannya sendiri.
Ia tidak membenci Arya. Tidak pernah. Justru itu yang menyakitkan. Karena bagaimana mungkin ia membenci seseorang yang menjadi sumber kehangatan di hidupnya, bahkan saat hatinya hangus terbakar olehnya?
Luka itu tidak sembuh dalam semalam. Bahkan setelah seminggu, dua minggu, sebulan berlalu—sakitnya masih terasa. Kadang ia merasa sudah membaik, lalu ingatan kecil tentang Arya menghantamnya kembali tanpa ampun. Lagu yang dulu mereka dengarkan bersama. Tempat kopi langganan. Chat lama yang tak sanggup ia hapus.
Namun di antara semua kesakitan itu, Lucien mulai belajar. Bahwa mencintai tidak selalu berarti memiliki. Bahwa perasaan yang tidak terbalas pun tetap sah adanya. Bahwa hatinya patah bukan karena ia lemah, tapi karena ia cukup berani untuk mencintai. Dan bahwa hidup tidak berhenti hanya karena hatinya retak.
Ia mulai bangkit. Pelan-pelan. Ia tersenyum lagi, meski hanya setengah hati. Ia keluar rumah, mencoba menjalani hari, bahkan jika masih terasa berat. Topeng ketegarannya tetap ia kenakan, tapi kali ini bukan untuk menyembunyikan luka, melainkan untuk melindungi dirinya sendiri, agar ia tetap bisa melangkah.
Ia tahu, suatu saat mungkin topeng itu akan retak juga. Tapi sampai hari itu tiba, ia akan tetap bertahan.
Karena tidak semua luka harus segera sembuh. Beberapa hanya perlu diterima, dipeluk, dan dijadikan bagian dari siapa diri kita yang sebenarnya.
0 notes
seabeforerain · 2 months ago
Text
Seribu Alasan untuk Tersenyum
Tumblr media
Jika semesta bertanya, kebahagiaan seperti apa yang Arya bawa ke dalam hidup Lucien, maka Lucien tak akan gamang menjawab. Ia akan duduk, menatap langit sore, dan mulai menuliskan satu per satu serpih kebahagiaan itu dengan tangan yang mungkin gemetar, bukan karena ragu, tetapi karena terlalu banyak yang ingin ia tuliskan. Seribu nomor takkan cukup. Seribu kata pun hanya akan jadi bayangan dari rasa yang tak terucap. Sebab bahagia yang Arya berikan padanya bukanlah dalam bentuk besar atau megah, melainkan dalam hal-hal kecil yang pelan-pelan menetap, yang menjelma jadi kehangatan abadi di sela keseharian.
Arya hadir seperti pagi yang tenang—tidak mengejutkan, tapi mampu menghidupkan. Lewat canda ringan dan kehadiran yang tak pernah menuntut, Arya mengajarkan Lucien untuk memperhatikan kembali hidup yang selama ini hanya ia lewati, bukan ia jalani. Bahwa tidak apa-apa jika hari tak selalu cerah, bahwa tidak perlu menjadi sempurna agar pantas untuk dicintai, bahkan oleh diri sendiri. Lucien, yang dulu gemar menuntut dirinya untuk kuat setiap saat, perlahan belajar menerima bahwa menjadi rapuh pun adalah bagian dari menjadi manusia.
Lewat Arya, Lucien mulai menghargai senyuman sederhana yang hadir tanpa alasan, tawa yang muncul di sela kecanggungan, dan diam yang terasa nyaman. Ia tak lagi merasa sendirian, bahkan di tengah keramaian yang tak pernah ia pahami. Arya tidak menjanjikan solusi, tidak pula memaksakan kehadiran, tapi selalu ada. Dan dari “selalu ada” itulah, Lucien menemukan semacam kedamaian yang belum pernah ia temukan sebelumnya.
Ada sesuatu dalam cara Arya memandang dunia yang membuat Lucien ingin belajar melihatnya juga—lebih lembut, lebih lapang, lebih jujur. Ia mulai menyadari bahwa kehadiran Arya seperti cermin yang tidak hanya memantulkan, tapi juga mengingatkan: bahwa dirinya layak untuk diberi ruang. Bahkan ketika semuanya terasa berat, Lucien tahu ada satu tempat yang bisa ia tuju tanpa harus menjelaskan semuanya: ke dalam percakapan kecil dengan Arya, ke dalam keberadaan seseorang yang diam-diam menenangkannya tanpa banyak usaha.
Bukan cinta, belum. Tapi ada sesuatu yang tumbuh. Sesuatu yang tenang, hangat, dan tak ingin pergi. Dan mungkin, dalam keheningan itu, kebahagiaan sejati memang tak selalu meledak seperti kembang api—kadang, ia hanya seukuran nama yang perlahan jadi bagian dari hidupmu.
0 notes
seabeforerain · 2 months ago
Text
Ruang yang Kini Tak Lagi Sepi
Tumblr media
Pertemuan tak disengaja di sebuah kafe hujan itu, rupanya menjadi awal dari sesuatu yang perlahan tapi pasti mengubah ritme hidup Lucien. Hari-harinya, yang dulu dipenuhi kesunyian profesional dan rutinitas yang nyaris steril dari sentuhan emosi, kini perlahan diramaikan oleh satu nama yang kian lekat dalam pikirannya: Arya.
Mulanya, semua terasa ringan—sebatas obrolan singkat selepas kerja, candaan di sela-sela tekanan, dan diskusi-diskusi absurd yang tak pernah dibahasnya dengan siapa pun sebelumnya. Tapi lambat laun, kebersamaan mereka menjelma jadi sesuatu yang ia tunggu-tunggu, bahkan tanpa sadar. Lucien, yang biasanya menikmati kesendirian, kini mulai menanti notifikasi yang memunculkan nama Arya di layar ponselnya—sebuah kebiasaan baru yang hadir tanpa permisi, namun tak pernah ia keluhkan.
Ketika waktu memungkinkan, mereka bertemu. Duduk berdua di bangku taman yang sunyi, menyusuri jalanan kota saat malam menjelang, atau sekadar berbagi keluh dan tawa di atas meja kafe yang sederhana. Dan saat jarak tak bisa mempertemukan raga mereka, ruang percakapan virtual mereka tak pernah benar-benar sepi. Ada saja yang dibahas, entah tentang film yang sedang viral, politik yang memuakkan, atau perasaan-perasaan kecil yang tak penting tapi tak ingin disimpan sendiri.
Lucien mulai terbiasa. Terbiasa dengan kehadiran Arya di sela-sela kesibukannya. Terbiasa dengan bagaimana suara Arya di ujung telepon mampu menenangkan gemuruh yang tak bisa ia redam sendiri. Bahkan kebiasaan kecilnya ikut berubah—ia mulai memesan kopi tanpa gula karena Arya pernah bilang pahitnya lebih jujur, mulai mendengarkan lagu-lagu yang sebelumnya tak pernah masuk dalam daftar putarnya, bahkan mulai menyimpan foto-foto kecil yang dikirim Arya sebagai wallpaper layar kuncinya.
Tanpa disadari, Lucien mendamba. Bukan dalam bentuk cinta yang gegas dan membakar, tapi dalam rindu yang tenang dan menetap. Ketika Arya tak hadir, hari-hari Lucien terasa ganjil—ada ruang dalam dirinya yang tiba-tiba terasa kosong, seakan waktu tak berdetak serupa tanpa suara Arya mengisinya. Ia mulai menyadari betapa sering senyum mengambang di wajahnya, terutama saat bersamanya. Lucien yang dulu dikenal kaku dan terlalu serius, kini menjadi seseorang yang mudah tersenyum hanya karena pesan singkat bertuliskan, "Udah makan, belum?"
Dan begitulah, kehadiran Arya tak hanya memenuhi waktunya—ia mengisi celah-celah di dalam Lucien yang tak pernah ia sadari tengah kosong. Pelan-pelan, dunia Lucien menjadi lebih hangat. Lebih hidup. Dan yang paling mengejutkan, lebih diinginkan untuk dijalani.
0 notes
seabeforerain · 2 months ago
Text
Yang Tak Direncanakan, tapi Dikenang
Tumblr media
Sebelum rasa itu sempat tumbuh, sebelum segala bentuk getar hati dan bisik rindu menyusup di antara jeda, kisah mereka bermula dengan cara yang paling sederhana: sebuah hujan yang turun perlahan, satu dompet yang hilang, dan dua orang asing yang dipertemukan oleh kebetulan yang tak bisa dijelaskan oleh logika semata.
Hari itu, langit menggantung kelabu seperti pikirannya. Lucien, jaksa muda yang dikenal dingin dan kaku dalam tiap langkah dan tutur katanya, hanya ingin mencari jeda. Setelah hari panjang di ruang sidang, yang dipenuhi suara bantahan dan bukti, ia tak mendamba apa pun selain kopi hangat dan sejenak kesendirian. Ia melangkah ke kafe kecil di dekat kantornya, tempat di mana ia biasa menyembunyikan kelelahan di balik cangkir porselen dan aroma robusta.
Namun rencananya yang tenang diganggu oleh kenyataan kecil: dompetnya tiada. Entah jatuh, entah tertinggal. Yang jelas, ia berdiri di depan kasir dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan kepanikan. Dan di baliknya, berdiri seseorang yang menyaksikan kegugupan itu dengan mata penuh pengertian.
“Biar saya saja,” kata pria itu sambil tersenyum ringan.
Lucien sempat menolak, tentu. Terlalu tak enak membiarkan orang asing menraktirnya begitu saja. Tapi pria itu dengan santainya menambahkan, “Kalau kau sungguh tak enak hati, bayarlah dengan menjadi pendengar yang baik malam ini.”
Lucien bukan tipe yang mudah menerima kebaikan, apalagi dari seseorang yang tak dikenalnya. Tapi ada sesuatu dalam cara pria itu berkata-kata—santai, jujur, dan tanpa pamrih—yang membuatnya goyah. Lagipula, mungkin ia memang sedang butuh mendengarkan suara lain selain suara dari pikirannya sendiri.
Mereka pun duduk. Dua cangkir kopi jadi saksi percakapan pertama mereka. Nama pria itu: Aryasatya Wiranegara. Seorang polisi, katanya, yang lelah oleh sistem, oleh manusia, oleh dunia yang tak pernah benar-benar berhenti menuntut. Awalnya Arya hanya bicara sedikit, tentang pekerjaannya yang membuatnya sulit tidur. Tapi tak lama, kata-kata mereka saling menemukan irama, mengalir bebas tanpa beban, seolah mereka bukan dua orang asing yang baru saja bertemu—melainkan dua jiwa yang diam-diam sudah lama saling memahami tanpa perlu tahu sebabnya.
Lucien merasa... nyaman. Sebuah perasaan yang jarang ia izinkan muncul di hadapan orang lain.
Saat hari mulai gelap dan kopi telah lama habis, mereka berdiri dan bertukar kontak, seadanya. Tak ada janji untuk bertemu lagi, tak ada harapan yang ditanamkan secara gamblang. Tapi sejak saat itu, nama “Aryasatya” mulai sering muncul di notifikasi ponsel Lucien—menyapanya setiap pagi dengan candaan ringan, mengajaknya berdiskusi hal remeh-temeh, atau sekadar mengirim foto anjing lucu yang ditemuinya di jalan.
Lucien, yang biasanya membalas pesan dengan singkat dan penuh pertimbangan, mulai merespons lebih cepat. Kadang ia tertawa kecil membaca pesan Arya, meski tak pernah mengakui itu secara langsung. Beberapa kali mereka kembali bertemu, tanpa rencana besar. Makan malam sepulang kerja, menonton film yang direkomendasikan Arya, atau berjalan tanpa arah di akhir pekan hanya untuk melupakan dunia sejenak.
Bukan cinta. Belum. Tapi ada sesuatu yang tumbuh—pelan, tenang, dan hangat. Sesuatu yang belum punya nama, tapi cukup kuat untuk membuat ruang chat Lucien tak lagi sepi. Cukup berarti untuk membuatnya menanti satu notifikasi kecil di sela-sela kesibukannya.
Dan begitulah, dari pertemuan yang tak disengaja itu, benih sebuah pertemanan pun mulai tumbuh. Perlahan. Tapi pasti.
0 notes
seabeforerain · 2 months ago
Text
Tentang Lucien
Tumblr media
Nama: Lucien Akhilendra Faceclaim: Neuvillette (Genshin Impact) Profesi: Jaksa Penuntut Umum Tempat & Tanggal Lahir: Lyon, 14 Juni 1998 Usia: 26 tahun Tinggi Badan: 195 cm Berat Badan: 77 kg Warna Rambut: Putih dengan semburat highlight biru Warna Mata: Ungu lembut
Tumblr media
Fakta Unik Mengenai Lucien
Lucien memiliki ketertarikan mendalam pada hujan. Ada ketenangan yang hanya ia temukan saat langit menangis. Ketika kesempatan itu datang, ia tak segan membiarkan dirinya larut, berdiri di bawah hujan tanpa pelindung, seolah sedang membersihkan luka yang tak terlihat.
Ia cukup fasih berbahasa Prancis, hasil dari pembelajaran semasa sekolah yang kemudian ia tekuni lewat les tambahan di usia awal dewasa.
Makanan manis, pasta hangat, dan teh—tiga hal sederhana yang mampu mengembalikan semangatnya setelah hari yang melelahkan. Ia gemar mengunjungi kafe hanya untuk menyicipi kudapan manis atau secangkir teh yang menenangkan.
Pecinta hewan sejak lama. Ia pernah memelihara seekor kucing, tetapi sejak tinggal sendiri, ia belum memiliki keberanian untuk mengadopsi kembali karena khawatir tak mampu memberikan waktu yang cukup.
Rumah bagi Lucien adalah tempat kembali yang suci. Ia jarang keluar tanpa janji—diam dan keheningan dalam ruang pribadinya adalah sumber tenaga yang tak tergantikan.
Lucien menyimpan tumpukan surat yang tak pernah dikirimkan—berisi pemikiran, perasaan, dan hal-hal yang tak sempat ia ucapkan secara langsung kepada orang-orang penting dalam hidupnya. Baginya, menulis adalah bentuk kejujuran yang tak meminta jawaban.
Anak sulung yang tumbuh dalam keluarga dengan orang tua yang workaholic, Lucien sejak dini telah terbiasa untuk mandiri. Tak ada banyak waktu untuk bermain, karena dunia yang ia kenal adalah dunia yang dipenuhi dengan tanggung jawab. Keberadaannya di rumah selalu terasa seperti bayang-bayang yang tak pernah menggangu, tetapi selalu ada dalam kesendirian yang hening.
0 notes
seabeforerain · 2 months ago
Text
Order of All Things
Tumblr media
"Dan saat hujan terakhir merunduk ke bumi, akankah air mata yang diam di pelupuk ini turut mereda, atau justru menjadi gerimis yang tak kunjung reda?"
Penafian: Lucien Akhilendra menjadikan Neuvillette sebagai rupa yang mewakilinya. Segala bentuk tulisan yang tertera sepenuhnya ditujukan untuk kepentingan peran semata. Bila penulis perlu berbicara di luar karakter, maka kata 'RAIN' akan digunakan sebagai penanda suara dari balik tirai cerita.
Tumblr media
Dengan setiap lembar yang bergulir, kisah baru kehidupan perlahan tersingkap dalam sunyi ...
i. Informasi Karakter
ii. Yang Tak Direncanakan, tapi Dikenang
iii. Ruang yang Kini Tak Lagi Sepi
iv. Seribu Alasan untuk Tersenyum
Tumblr media
v. Luka yang Tak Bernama
vi. Yang Terakhir Untukmu
Bila tergerak keinginan untuk merajut alur bersama Lucien, penulis membuka ruang kolaborasi dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Jangan ragu untuk mengirimkan pesan pribadi bila ada tanya atau keinginan yang ingin disampaikan.
0 notes