Tumgik
Text
Cara-Nya Menjaganya
Dia tidak terlihat sedang dekat dengan seseorangpun. Padahal begitu aneh ketika melihat sebayanya kebanyakan sudah mempunyai sosok yang bisa di unggah di media sosial, sambil sedikit diberi tautan yang menandakan bahwa seseorang itu adalah yang istimewa.
Teman-temannya, bahkan orang tuanya berulangkali menanyakan. Tetapi selalu saja jawabannya adalah sebuah senyuman. Sepertinya dia begitu nyaman. Tanpa beban.
Adalah sesuatu janggal ketika perempuan semanis dan semandiri dia masih saja terlihat sendiri. Kerabat dekatnya mulai khawatir dengannya, mulailah dia diminta untuk memajang foto wajah di sosial media, siapa tahu ada satu lelaki yang kepincut lewat fotonya. Tapi jawabannya masih saja begitu tenang, tanpa kekhawatiran. Lagi-lagi hanya muncul sebuah senyuman.
Mungkin saja kita hanya terlalu khawatir. Untuknya yang begitu istimewa, Tuhan sedang menyiapkan cerita lain. Mungkin begitu dekat, atau kelak akan didekatkan. Yang pasti lelaki itu sedang dipersiapkan agar menjadi yang pantas untuknya.
Karena dia begitu berharga, begitu cara Tuhan menjaga kehormatannya. Menghindarkan dia dari laki-laki yang tidak selevel dengannya, menjauhkan dia dari laki-laki yang tidak ada niat serius dengannya, dan melindungi dia dari laki-laki yang hanya membuat patah hati.
Slawi, 21 November 2017
0 notes
Text
Tuhan punya cara yang unik
Prinsipnya seperti ini. Ketika kita berdoa, memohon agar menjadi manusia yang kuat, tidak lantas semerta-semerta Ia jadikan kita seperti yang kita minta. Seringkali kita dihadapkan pada ujian-ujian yang begitu berat.
Seiring berjalannya ujian itu, secara tidak sadar kita menjadi tidak secengeng sebelumnya. Perlahan menjadi pribadi yang lebih kuat, dan pada akhirnya menjadi manusia yang kuat menghadapi ujian-ujian yang hebat. Begitu cara Tuhan mengabulkan doa kita.
Ketika kita berdoa agar diberi hati yang ikhlas, Ia akan menghadapkan kita pada sebuah kehilangan. Kehilangan sesuatu yang begitu berharga. Seiring menghadapi kehilangan itu, keikhlasan mulai tumbuh. Sampai pada akhirnya sepenuhnya kita memiliki hati yang ikhlas.
Mungkin hidup yang kamu jalani sekarang bertolak belakang dengan doa yang kau bisikan setiap waktu. Sejenak kau merasa doamu tidak kunjung dikabulkan.
Yang kamu tidak tahu, sebenarnya Tuhan sedang mengabulkan doamu. Dengan cara-Nya.
Slawi, 20 November 2017
0 notes
Text
Mungkin saja kita yang salah
Tugas kita adalah belajar, dan terus belajar. Ketika kemudian bertemu dengan ilmu yang belum pernah kita dengar, mungkin begitu berbeda dengan apa yang selama ini kita pelajari. Maka tidak perlu buru-buru untuk menilai bahwa ilmu itu salah, atau bahkan menganggap sesat.
Seringkali kata-kata yang kita tanamkan dalam benak kita adalah “Mungkin saja dia salah”, Yang menandakan adanya perasaan sudah paling benar. Jarang sekali ketika dihadapkan dengan ilmu yang berbeda dalam hati kita mengatakan “Mungkin saja saya yang salah”.
Dua premis itu begitu bertentangan dimana salah satu premis begitu memungkinkan kita untuk menerima dan mempelajari hal-hal baru. Sedangkan premis yang lainnya membuat kita tertutup jika dihadapkan hal-hal dan ilmu-ilmu baru yang selama ini belum pernah kita pelajari.
Ilmu itu begitu luas dan modal utama untuk bisa terus menggali ilmu adalah “merasa belum benar”. Agar pemahaman kita bisa terus berkembang secara dinamis, meningkat, dan terus bertambah. Maka diperlukan modal tersebut.
Jangan sampai kita begitu nyaman seperti katak yang direbus dalam air dingin, yang perlahan hangat, hingga menjadi panas-mendidih. Sampai tiba ajalnya katak itu tidak pernah menyadari bahwa selama ini ia berada di tempat yang salah.
Jangan sampai pada waktunya kita kembali. Kita tidak pernah menyadari bahwa yang kita pelajari selama ini ternyata salah, yang kita lakukan ternyata salah. Terus saja belajar dengan kerendahan hati, sembari berdoa, mendekat pada-Nya agar selalu didekatkan dengan ilmu-ilmu yang benar.
Slawi, 13 November 2017
0 notes
Text
Obrolan di meja makan
Sore itu diumumkan keras-keras menggunakan pengeras suara masjid. Disebutkan nama-nama dan jumlah sumbangan awal untuk rencana renovasi masjid di komplek perumahan yang sudah 25 tahun masid ajeg dengan kondisi pada saat pertama dibangun.
Sebelumnya, bapak kurang setuju dengan adanya rencana pengumuman yang akan disiarkan keras-keras. Tapi panitia renovasi bersikeras ingin mengumumkannya dengan dalih sebagai motivasi orang-orang agar turut membantu tahap-tahap renovasi masjid komplek.
Memang ada benarnya juga karena kemudian setelah mendengar pengumuman yang menurut saya terlalu berlebihan, karena barangkali malah menjadi ajang pamer. Saya malah takjub ketika mendengar bahwa seseorang pengayuh becak yang setahu saya tidak pernah meninggalkan sholat 5 waktu berjamaah di masjid komplek menyumbang dengan nominal yang bikin saya terheran. Kok bisa?
Bapak dengan santai bercerita, “Lha wong tiap berangkat sholat subuh, Pak Giri itu selalu nyemplungi di kotak amal masjid, entah berapa jumlahnya tapi selalu rutin.”
Iya. Pak Giri adalah seorang pengayuh becak itu. Bukan dari kalangan pegawai negeri menengah yang sudah mulai bisa mencicil mobil baru dengan setoran 2 juta sebulan. Bukan pula pegawai negeri baru, yang sedang giat-giatnya senang dengan gadget barunya atau dua biji motor kreditnya. Bukan. Bahkan ketika melihat ke rumahnya, kendaraan satu-satunya adalah kendaraan roda tiga tanpa mesin, yang digunakkan untuk mencari nafkah sehari-hari. Anaknya masih ada yang sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi di kota Tegal. Istrinya adalah ibu rumah tangga.
Lanjut Bapak, “Pak Giri itu pada awal rencana renovasi masjid saja langsung maju sebagai donatur awal dengan menyumbang 2 juta rupiah. Lha kowe duit sak mono opo rak eman-eman nek ora nggo tuku hape anyar? Opo paling enthek nggo piknik toh?”
Aku hanya merenungi kata-kata bapak. Memang kita yang mungkin berpenghasilan berkali-kali lipat dari Pak Giri, tidak punya tanggungan seperti Pak Giri. Seringkali malah lebih eman-eman degnan uang. Sayang kalau uang itu bukan kita yang menghabiskan. Bahkan, seringkali sudah jelas-jelas yang menghabiskan uang kita ya kita sendiri, malah tetap ngeluh-ngeluh. Apalagi uang itu dihabiskan untuk hal yang tidak ada timbal balik yang nyata?
Toh, orang-orang seperti Pak Giri sudah begitu jarang. Sebagian kecil manusia yang begitu percaya dengan janji Tuhannya, bahwa harta yang diberikan di jalan-Nya, kelak akan dikembalikan dalam bentuk rezeki yang terbaik. Dan rezeki yang terbaik adalah bisa bertemu dengan-Nya di Jannah.
masih berpikir kalau punya uang lebihan, bakal eman-eman kalau gak untuk upgrade gadget atau piknik?
Slawi, 4 November 2017
0 notes
Text
Siapa yang tersesat?
Pada masa ini, seringkali kita melihat betapa banyaknya ormas islam dan aliran islam. Hal ini membuat islam terkotak-kotak. Wajah islam kian buruk tatkala orang mengenal Islam yang menurut mereka terlalu rumit.
Salah menyalahkan yang tidak sefaham seenaknya. Seolah sudah paling dekat dengan Tuhannya. Merasa cara beribadahnya paling benar. Mengkafirkan yang lain menjadi hal yang biasa. Seolah sudah dijamin masuk surga, betapa mudahnya orang mengkategorikan yang lainnya sebagai ahli neraka.
Dalam hati yang paling dalam sebagai muslim, tentu saja saya merasa miris. Tidak tahu kenapa, begitu sedih melihatnya ; ketika orang yang hendak menikah tidak jadi menikah lantaran perbedaan ormas kedua orang tuanya. Sesama saudara yang muslim menjadi saling benci karena perbedaan faham,
Bagi saya yang begitu cetek ilmu agamanya, seringkali saya hanya menggunakan hati nurani. Tentu siapapun bisa melihat, bahwa terpecah-pecah seperti ini  bukan sesuatu yang baik.
Pada hakekatnya ketika agama diturunkan maka tujuannya adalah mendamaikan yang perang, mendinginkan hati yang panas, meredakan emosi yang meledak-ledak. Jika berkaca pada Rasulullah sallalahualaiwassalam tentu tidak pernah sekaliapun beliau yang notabene adalah manusia paling mulia di dunia menggunakan sebuah paksaan dalam dakwahnya.
Jika memang meniatkan agar orang lain mengikuti jalan seperti kita, cara beragama kita, sefaham dengan kita, maka, tampilkanlah wajah islam versimu dengan baik. Tampilkan dengan cara yang teduh, tanpa menyudutkan yang lainnya. Berikan manfaat kepada orang lain atas hadirnya engkau dengan pemikiran yang kau bawa.
Semarang, 6 April 2017
0 notes
Text
Belenggu
Di indah matamu, manusia terburuk adalah aku. Di setiap prasangka baikmu, tak ada hal baik dariku. Dari sifat lemah lembutmu, adalah sebuah ke-halal-an berkata kasar diwajahku. Di setiap sifat assyakur-mu, aku manusia paling kufur. Mohon ampunku, ya rabb... Aku hanya belum bisa menterjemahkan bahasamu. Aku hanya belum bisa menerapkan ajaranmu di setiap tindak-tandukku. Tapi jika harus satu langkah mundur dalam hal imanku untuk kemajuan duniaku, lagi-lagi aku belum siap. Mohon ampunku, ya Rabbi...
0 notes
Text
Tidak perlu merasa
Seringkali ketika melihat orang yang maksiat, kita merasa lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang yang bermaksiat. Seringkali ketika melihat orang salah, kita memilih memakinya dibandingkan melihatnya sebagai ladang amal kita untuk memperbaiki kesalahannya. Ketika belajar sunnah, kita merasa lebih mulia dibandingkan orang yang belum belajar sunnah. Padahal kita tahu. Lebih baik maksiat yang disesali daripada ibadah yang disombongkan. Toh pada perjalanan hidupnya setiap manusia punya prosesnya masing-masing. Bisa saja yang sekarang lebih maksiat dari kita, sekarang sedang menuju perbaikan diri yang kelak akan menjadi lebih taat dibanding ketaatan kita. Atau malah yang sekarang lebih saleh dari kita kelak akan menjadi yang lebih maksiat. Setiap orang mempunyai pemahaman masing-masing, punya sumber bacaan masing-masing, dan sedang belajar dengan caranya masing-masing. Kelak bisa saja yang kita ajari, akan menjadi sumber literasi tempat kita mencari referensi. Yang terpenting adalah terus belajar, tapi tidak perlu merasa pintar. Terus saja beribadah, tidak perlu merasa saleh. Terus saja berbuat baik, tidak perlu merasa baik. Semarang, 8 Maret 2017
0 notes
Text
Temanku yang paling kaya
Saya tidak tahu apakah cerita ini baik atau tidak. Walaupun mungkin terdengar paradok, tapi sebuah cerita selalu mempunyai sisi baik dan buruk. Biar saya ceritakan, semoga bisa diambil sisi baiknya.
Hampir setiap hari setelah bada’ isya selalu saja ada waktu untuk kami berkumpul duduk-duduk di sebuah warung angkringan. Kebetulan warung berada di depan masjid. Mulai dari obrolan basa-basi sampai seperti seminar ilmiah, selalu ada saja yang diobrolkan. Di tempat itu saya beberapa kali mendapat momen yang menurut saya berharga sebagai pelajaran hidup.
Namanya Anta, lelaki penjaga warung pulsa. Selesai menjaga warungnya Ia akan mampir di warung angkringan itu. Kopi tubruk dengan sedikit gula. Selalu sama pesannya. Tak lupa sebuah rokok kretek yang diselipkan ditelinganya, dia nyalakan dan dihisapnya kemudian. 
Dia punya banyak teman yang tidak saya kenal betul. Kadangkala datang temannya untuk menjual telepon gengggamnya. Dia beli kemudian. Seringkali temannya hanya hutang pulsa yang entah dibayar atau tidak kelak.
“Hey An, aku jaluk tulung, aku silehi duit.” temannya memohon. (Hey An, aku minta tolong pinjami aku uang)
“Piro?” tanyanya balik.
“Sakjuta wae, minggu ngarep tak balekke, aku bar kalah togel, pasang akeh og.” (satu juta saja, minggu depan aku kembalikan, aku habis kalah judi togel, pasang banyak)
Selang sebentar dia mengambil sesuatu dari tas pinggangnya. Uang itu kemudia diberikan begitu saja. Tanpa banyak pertanyaan, tanpa banyak khawatir atau curiga dia meminjami temannya itu.
Aku sempat berpikir apa pekerjaan sambilannya dia juga reintenir? Mana mungkin Dia begitu mudahnya meminjamkan pada temannya sebegitunya. Ditambah lagi dia adalah orang yang begitu sederhana. Pekerjaannya pun sebagai penjaga warung pulsa yang seringkali kudengar beberapa kali telat dalam membayar kontrak warung pulsanya.
Suatu hari, kami mengobrol sampai pukul 2 malam, kemudian datang temannya. Bau mulutnya seperti bau comberan. Dia baru pulang mabuk-mabukan. Dari gayanya dan kendaraannya, saya bilang dia adalah orang kaya. Mungkin baru dari diskotik atau semacamnya. Kendaraannya-pun bagus. Beda dengan Anta yang hanya naik motor yamaha alfa tahun 93.
Singkat cerita, beberapa bulan kemudian dia di usir oleh pemilik kontrakannya. Seperti drama di film memang. Lebih drama lagi. Dia katanya pulang ke kampunya atau entah kemana tanpa memberikan nomer telepon yang bisa dihubungi.
Banyak teman-temannya, termasuk aku sering menanyakan apakah dia mampir kesini, atau pernah terlihat disini setelah pergi? jawabannya selalu saja, “rak tau mas.wis sui ” (enggak pernah mas, sudah lama)
Pernah saya kebetulan saya pulang kampung dan saya sempatkan untuk mampir di warung itu. Sekedar memesan jahe, atau kopi susu. Membuat percakapan ringan dengan pemilik warungnya. Namanya Kang War.
Obrolannya kemudian membahas tentang Anta. Dia ternyata lebih banyak tahu tentang Anta daripada saya. Dia cerita, kalo Anta berasal dari daerah Yogyakarta. Orang tuanya entah dimana. Di Slawi dia hanya tinggal bersama neneknya. Pada tahun 2005 neneknya meninggal. Dia hidup sebatang kara, kemudian buka usaha warung pulsa kecil-kecilan.
Datang kemudian teman Anta yang dahulu kala pernah menghutang pulsa. Mencari-cari hendak ingin membayar hutangnya. Tapi dia pergi sama sekali tidak menagihi hutang-hutangnya terlebih dahulu. Entah, katanya Anta begitu aneh. Dia selalu saja ada jika temannya ingin meminjam uang. Dan dia tidak pernah menagihinya. Ada yang kemudian membayar, seringkali lupa dengan hutangnya seperti hilang ingatan.
Anta pernah bercerita bahwa Dia tidak bisa ikut judi togel atau yang macam lainnya. Uangnya tidak akan cukup. Dia tidak mabuk-mabukan seperti teman-tamannya. Dia juga bilang kalau mabuk-mabukan seperti temannya, uangnya tidak cukup. Dia hidup begitu sederhana. 
Tapi anehnya untuk meminjami uang pada temannya yang kehabisan uang karena kalah berjudi, dia selalu ada. Untuk meminjami uang temannya yang baru kehabisan uang karena pergi ke diskotik dan mabuk-mabukan, selalu saja dia ada.
Entah. Aku pikir temannya yang bergaya itu lebih kaya dari dia. Nyatanya tidak.
Semarang, 1 Februari 2017
0 notes
Text
Obrolan tentang perempuan dengan perempuan
Tumblr media
Suatu hari. Sebuah obrolan dengan ibuku.
“Mah, perempuan cantik itu yang seperti apa?” tanyaku.
“Perempuan cantik itu adalah perempuan yang mudah bersyukur. Dia akan menghargai usaha halalmu, secuil apapun. Baginya, berproses denganmu tidak pernah tidak menyenangkan.” ibuku menjawabnya.
“Jangankan mengeluh, syukurnya dia saja rasanya tidak pernah habis. Dengan dia, yang abu-abu menjadi nampak warnanya. Suatu yang buram menjadi begitu jelas. Usahamu selalu tahu kemana arah tujuannya.” lanjutnya lagi.
“memang tujuannya kemana mah?” tanyaku yang kedua.
“Tujuannya semata-mata mencari ridho-Nya. Dia membuatmu melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu alasannya selalu karena Tuhanmu.” tutupnya.
Sedikit aku ceritakan ibuku yang kadang aku panggil bunda, kadang ummi, tapi lebih sering kupanggil mamah. Dia adalah manusia yang selalu mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari bahwa hendaknya melakukan , atau tidak melakukan sesuatu semata-mata karena Allah Subhanahuwata'ala.
Semarang, 31 Januari 2017
0 notes
Text
Bagaimana cara meng-kafirkan orang?
Saya seringkali bingung bagaimana bisa orang dengan mudahnya meng-kafirkan orang lain dengan semena-mena. Membuat tulisan yang offensive, atau meneriaki orang yang tidak seiman dengan sebutan kafir.
Saya sendiri terkadang ingin tahu bagaimana cara melakukannya. Siapa tetangga saya, teman saya, atau orang yang ketemu di jalan yang dapat dikategorikan kafir. Sedangkan saya sendiri belum begitu yakin apakah Iman saya sudah benar.
Kita tentu tahu bahwa separuh dari iman adalah syukur, dan separuhnya lagi adalah sabar. Sedangkan untuk keduanya saya merasa belum memenuhi salah satunya-pun. Bahkan cenderung lebih menentang keduanya.
Bagaimana caranya saya bisa disebut orang yang bersyukur, kalau makan saja masih memilih-milih. Kurang enak sedikit, sedikit terlalu asin, sedikit terlalu manis langsung dengan mudahnya mengatakan makanan ini tidak enak. Bahkan langsung tidak mau makan. Sedangkan Muhammad SAW, adalah manusia yang tidak pernah mencela makanan.
Masalah sabar; saya sering mengucapkannya, tapi seringkali juga itu hanya ungkapan kosong. Pada kenyataannya, sekedar menunggu orang yang sedang mengambil uang di mesin ATM-yang menurut saya lama, mungkin raut muka saya langsung berubah. Tidak nampak senyum sedikitpun, sambil nggrundel di hati. Atau langsung berkata kata-kata keluhan.
Dari dua contoh ketidakbersyukuran, dan ketidaksabaran itu hanya sebagian kecil saja. Sehari-harinya ada banyak sekali hal-hal lainnya lagi yang tentu saja bakal begitu panjang jika harus saya tuliskan satu-persatu.
Lalu jika bersyukur saja tidak, sabar juga tidak, bagaimana saya bisa disebut orang beriman. Jangan-jangan malah saya yang lebih kafir daripada orang-orang yang sering direriaki kafir. Jangan-jangan orang yang meneriaki kafir lebih kafir dari yang diteriaki kafir.
Wallahualam.
Semarang, 28 Januari 2017
0 notes
Text
Meredakan Ego
Sebelumnya saya ingin meluruskan, bahwa yang saya tulis bukan dimaksudkan untuk memberi nasihat untuk orang lain. Tulisan saya seringkali dimaksudkan untuk diri saya sendiri. Untuk menasihati diri saya sendiri. Sering juga sebagai pengingat diri.
Sepenuhnya saya bercerita tentang hal-hal yang saya pelajari. Baik perihal kehidupan, seketika saat melihat kejadian, dari berbicara dengan orang lain, atau dari hal-hal yang tiba-tiba saja terlintas. Pelajaran itu tentu saja untuk diri saya sendiri. Beberapa memang sudah saya terapkan, tapi masih banyak sekali yang belum bisa saya terapkan, banyak sekali. Maka dari itu, saya menulis perihal sebagai pengingat apa-apa yang sudah saya pelajari namun belum saya terapkan di kehidupan nyata. Entah mungkin seringkali karena lupa, atau lalai terbawa Ego.
Beberapa waktu yang lalu saya bercakap-cakap dengan teman lama yang kini telah menikah. Dari masa-masanya yang begitu menyukai pesta, setiap malam selalu di luar rumah untuk hura-hura, sampai kini dia telah bertransformasi menjadi pribadi yang lebih tumanina, jauh dari pesta-pesta yang sia-sia. Dia menjadi pribadi yang lebih dekat dengan agama.
Dari percakapan dengannya saya menggaris bawahi tentang Ego. Emosi yang bersifat lebih mementingkan diri sendiri. Tentang ego-nya dahulu yang ketika masa-masa sebelum menikah. Ketika itu begitu meledak-ledaknya, sampai-sampai bermaksiat kepada Tuhannya seolah tak dihiraukan, menjadi hal yang begitu lumrah. Hidup hanya untuk bersenang-senang setiap hari, yang penting diri ini bahagia malam ini, entah esok paginya seperti apa tak mau tahu.
Hanya hitungan bulan ketika itu ingat sekali kami bercakap-cakap tentang orang yang sengaja menaruh sandal japit di masjid. Ketika itu kami tidak terlalu peduli. Kemudian berbekal ilmu agama yang dipelajari ketika madrasah sewaktu SD dulu, kami membahasnya ngalor-ngidul. Tema obrolannya menjadi tentang amalan jariyah. Sejak saat itu kami sering sekali berdebat tentang ajaran-ajaran agama, dengan pengetahuan yang cetek tentunya. Tapi itu terjadi terus menerus, konsisten. Sampai suatu hari terbesit dihatinya keinginan untuk menikah.
Tentu banyak hal yang perlu dipelajari sebelum menikah. Ada banyak Sekali teori ; dari teori finansial, teori berumah tangga, teori parenting. Dari semuanya ketika kelak kau menikah, teori-teori itu bukan hanya dipikirkan dan diputuskan oleh satu kepala saja. Ada dua kepala yang kelak berpikir dan memutuskan melalui diskusi tentunya. Menyatukan dua kepala dengan sifat, dan kebiasaan yang berbeda. Sebelum menyatukan dua kepala yang mempunyai persepsi dan paradigma masing-masing, kita perlu yang namanya meredakan ego.
Ada dua cara untuk meredakan ego, yang pertama; kita merealisasikan ego kita, keinginan individu kita sepuas-puasnya, sampai puncaknya, hingga kita bosan. Atau yang kedua; belajar sedikit-sedikit untuk menekan ego kita melalui pembelajaran tentang menahan. Dengan cara tidak menuruti ego kita sedikit demi sedikit sampai kita dapat membedakan apa yang penting untuk kita, dan apa yang tidak penting. Kemudian pembelajaran lanjutannya adalah tentang mendahulukan kepentingan orang lain, sebelum kita.
Tentang cara yang pertama untuk meredakan ego-mungkin akan lebih banyak diaminin anak-anak muda seperti kita dengan dalih ; mumpung masih muda, puas-puasin aja dulu, nanti kalau sudah tua kemudian menikah gak bisa kita seperti ini. Ya, memang, pemikiran seperti itu tidak bisa disalahkan. Ketika kita menuruti ego kita, sampai batas puncaknya, kelak kita akan menemukan kejenuhan. Kejenuhan itu akan membawa kita kepada keinginan untuk berhenti menuruti ego. Kita akan mulai mengerti hakikat sebagai manusia, bahwa bersenang-senang untuk diri kita sendiri tidak akan membuat kita menemukan kebahagiaan hakiki. 
Tapi bagaimana jika ternyata sampai pada usia yang dianggap tua nanti, kita belum menemukan kejenuhan itu?
Tentu kita kembalikan lagi kepada yang Maha segalanya. Empu-nya hati kita. Dia yang bisa dalam sekejap membolak-balikkan hati kita. Entah, mungkin saja, belum mendapatkan hidayah. Jadi kita tidak bisa menyalahkan orang-orang dewasa yang belum berhenti dari sifat mementingkan diri sendirinya. 
Cara yang kedua, sebenarnya ketika kita melalui cara yang pertama, selanjutnya kita juga akan menuju cara yang kedua. Ini lebih ke step by step. Hanya saja ketika kita memilih cara yang kedua berarti kita melompati cara yang pertama. Ketika timbul keinginan untuk meredakan ego kita kelak, lebih baik tidak menunda-nunda menunggu ‘kejenuhan’ datang. Tapi langsung seketika itu belajar untuk menahan. Dengan agama yang kita pelajari tentu kita dapat mengerti bahwa agama mengajarkan kesederhanaan, mengajarkan kita untuk tawadu’. Maka teruslah belajar, merasa rendah dihadapan-Nya, mendekatlah terus kepada-Nya. Lakukan ibadah yang diperintahnya dan jauhi apa-apa yang dilarangnya, kelak kita akan menemukan ego kita yang reda dengan sendirinya.
Lebih baik cara yang pertama atau kedua? Tentu masing-masing manusia mempunyai cara untuk meraih hidayah. Ada yang semerta-merta mendapatkannya tanpa berusaha mencari. Ada yang harus bersusah payah mencarinya. 
Daripada menghujat, daripada memaki tiada arti. Lebih baik kita senantiasa mendoakan orang-orang yang belum mendapatkan hidayah agar disegerakan. Atau, jika kita belum menemukan kejenuhan tetapi di hati kita terbesit keinginan untuk meredakan ego, maka berdoalah untuk diri kita juga agar selalu dicukupkan.
Semoga kita selalu dicukupkan secara lahir dan batin kita. Selalu dimudahkan dalam mensyukuri nikmatnya, diberikan kemampuan untuk mendahulukan kepentingan orang lain. 
Semarang, 25 Januari 2017
0 notes
Text
Perihal Menahan
Dari ujung kaki sampai ujung kepala. Mulai sarapan pagi, makan siang, makan malam, sampai sarapan pagi lagi. Diantara itu semua apakah ada sesuatu yang bukan kita inginkan.
Potongan rambut, pakaian yang melekat di tubuh kita hari ini adakah yang bukan kita inginkan? Dari merek-nya, modelnya, ukurannya, pastilah sudah disesuaikan dengan yang kita inginkan bukan?
Makanan, minuman, cemilan yang kita telan hari ini apakah ada yang tidak sesusai dengan keinginan kita?
Setiap hari kita hidup selalu saja sesuai apa yang kita mau. Jika kita tidak mau maka misalnya saja, pakaian, pasti tidak akan kita pakai bukan?
Dari makanan dan minuman yang kita telan. Jika itu tidak sesuai yang kita inginkan, pastilah kita tidak memakannya. Menyisihkan di pinggiran piring, atau langsung membuangnya.
Hakikatnya manusia selalu ingin hidup sesuai apa yang mereka inginkan, bahkan tentang hal-hal yang detail. Jika tidak mau lantas merengut, menuntut. Kemudian besenandika tentang nasibnya hari ini, padahal perkaranya kecil semisal jepit rambut, atau pena macet.
Coba sesekali hilangkan ergosentris kita. Sejenak kita lihat orang disekitar kita yang dari pakaian yang dikenakan saja mereka tidak bisa memilih apa yang mereka inginkan. Adanya ya seperti itu. Jangankan untuk memilih pakaian dengan merek tertentu. Mendapati pakaian yang dikenakan tidak robek saja begitu susah. Mau menutup aurat, dan berhijab yang syar’i, baju lengan panjang saja tidak punya.
Dari makananpun tidak jauh berbeda. Jangankan ingin makanan yang minimal ada ala restonya, makanan yang bisa difoto. Hari ini tidak makan makanan basi saja begitu susah. Mau memilih menu yang berbeda dari sarapan, makan, siang, dan malam agar kebutuhan perut sekaligus lidahnya terpenuhi seperti kita, hari ini bisa makan satu bungkus untuk satu keluarga saja begitu mimpi rasanya.
Mereka tidak bisa memilih. Mereka menerima saja apa yang diberi oleh-Nya. Berdoa untuk makan enak saja rasanya malu, terlalu khayal, apalagi berdoa punya pakaian mahal. Setiap hari rasanya ingin waktu lebih dari 24 jam. Kerja hari ini untuk memenuhi hutang kemarin yang itu saja baru bisa dibayar setengahnya. Lelah dua hari yang lalu belum terbayar tuntas, sudah harus bekerja yang tak tentu mendapatkan hasil atau tidak hari ini. Andaikan saja sehari lebih dari 24 jam mungkin akan ada waktu sedikit untuk tidur.
Mereka tidak perlu menahan, karena memang sudah seperti itu. Mereka tidak perlu bersabar, karena ego saja tidak punya. Tapi jika kita dalam keadaan seperti itu pastinya kita harus menahan sebegitu hebatnya, bahkan sampai menangis sejadi-jadinya karena merasa tidak mampu lagi menahan. Kita harus lebih banyak bersabar, menggali lagi puing-puing kesabaran kita yang sudah lama terpendam oleh karena ego kita yang begitu menjulang. Bahkan ketika mencari kesabaran itu saja kita sudah tidak sabar.
Sedangkan Tuhan begitu mudahnya berkata : Jadikanlah sholat dan sabar sebagai penolongmu.
Semarang, 19 Januari 2017
0 notes
Text
Memilih-milih Dosa
Pada akhirnya dosa merupakan hal yang terlalu abstrak untuk digambarkan. Setiap orang mempunyai deskripsi sendiri-sendiri tentangnya. Setiap orang punya persepsi masing-masing mengenai hal yang tergolong dosa atau tidak.
Ada orang yang menganggap mencuri itu dosa, tapi tidak dengan bedua-dua'an dengan yang bukan mahram-nya.
Ada orang yang menganggap sebuah kebohongan adalah dosa besar, tapi menganggap mabuk-mabukan adalah sebuah kebutuhan.
Ada orang yang merasa sangat berdosa karena tidak mengembalikan uang seratus perak kelebihan kembalian, tapi menganggap perzinaan bukan suatu yang dosa.
Ada orang yang menghalalkan menginjak-injak hak orang banyak, menganggap korupsi hal yang lumrah, tapi semangat untuk berhaji setiap mempunyai rezeki begitu menggebu-gebu, begitupun semangat bersedekahnya.
Ada orang yang menganggap mempelajari Al-quran tidak begitu dianjurkan, tapi dengan tetangga sebegitu baiknya.
Ada orang yang begitu gencar mengkafirkan orang yang tidak seagama dengannya, tapi mengamalkan agamanya sendiri saja tidak pernah.
Manusia itu ada-ada saja.
Slawi, 16 Januari 2016
0 notes
Text
Peran (Nasihat Untuk Anggoro)
Kalau nanti tiba waktunya Tuhan memampukanmu untuk menjalani peran yang kau dambakan. Maka selalu ingat bahwa peran itu adalah titipan. Kelak saat tiba waktumu kembali, akan ditanyakan pula tentang hal-hal yang telah kau perbuat dengan titipan-Nya.
Apakah kau lebih banyak menuntut keistimewaan hak, atau kau sepenuh hati melaksanakan tanggung jawab atas peranmu?
Selalu ingatlah kepada orang-orang dengan peran kecil yang selalu dipandang dengan mata sebelah saja oleh orang lain. Jangan kau ikut-ikut menutup sebelah matamu. Bukankah doa mereka juga yang membuat impianmu diijabahi oleh-Nya?
Jadilah sebab bagi kebahagiaan orang lain, maka kebahagiaanmu menjadi urusan Tuhan.
Slawi, 16 Januari 2016
0 notes
Quote
Ketika pencarianmu tak kunjung menemukan. Mungkin perlu mengubahnya pada penerimaan. Yang perlu dicari adalah keikhlasan.
sebuahpercakapan
0 notes
Text
Peran
Sebelum kita dilahirkan, kita sebenarnya sudah diberi peran oleh Tuhan. Peran untuk menjadi hamba-Nya. Untuk senantiasa beribadah mengikuti perintahnya. Seiring berjalannya waktu, maka peran yang kita miliki semakin bertambah. Dari mulai peran menjadi pelajar, mahasiswa, berkarir menjadi karyawan, pimpinan perusahaan, dokter, pengacara, wakil rakyat, san sebagainya. Sering kita meminta untuk dimampukan oleh Tuhan mendapatkan peran yang besar, peran yang bergengsi. Rasanya tidak ingin kita hanya sekedar memiliki peran kecil. Yaitu peran yang sering dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Dari setiap usaha kita mendapatkan peran tersebut, dari setiap runduk doa malam kita selalu saja yang keluar dari bisikan mulut kita adalah menjadi orang besar, orang sukses. Harapan kita ketika mempunyai sebuah peran besar adalah mendapat keistimewan hak-hak yang tidak bisa dirasakan pada peran kecil. Hak-hak yang lebih tinggi, lebih banyak dihormati orang, lebih banyak pujian, dan ketenaran. Seringkali kita lupa bahwa dibalik peran yang kita dapat, selalu diiringi tanggung jawab. Semakin besar peran yang kita dapat, semakin besar pula tanggung jawabnya. Hendaknya kita selalu ber-muhasabah dengan peran yang kita dapat. Apakah lebih banyak kita menikmati hak atau lebih banyak melaksanakan tanggung jawab? Jika yang terjadi adalah kita lebih banyak menikmati hak. Maka sebaiknya kita mengingat saat-saat peran itu belum kita dapat. Ketika kita masih diberi peran yang kecil. Peran yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Ketika kita merunduk, bersujud, merendahkan diri kita dihadapan-Nya untuk memohon sebuah peran yang sekarang ini kita dapat. Suatu saat ketika timbul rasa sombong di dada kita, selalu ingat bahwa peran ini hanya pemberian Tuhan. Sebuah titipan yang wajib kita manfaatkan sebagai ladang ibadah. Sebuah titipan untuk digunakan sebaik-baiknya agar memberi manfaat pada banyak orang, bukan hanya diri kita. Bukan untuk berbangga diri, tapi untuk dapat merendahkan hati kita agar selalu meninggikan orang-orang dengan peran kecil yang selalu direndahkan orang lain. Selamat menjalankan peran baru. Semarang, 12 Januari 2017
0 notes
Text
Ada
Dalam menggapai impian. Ada orang yang berjuang dari bawah, ada orang yang berjuang dari tengah, ada juga yang sudah di atas lalu terjungkal ke bawah. Tidak perlu iri, atau membuat iri. 
Kita diharap tidak gegabah, dan selalu belajar seperti ini :
Jika jatuh, kecewa, atau patah hati maka tidak perlu larut berhari-hari. Jika bahagia, tidak perlu menunjukkan syukur dengan cara yang membuat iri hati.
Semarang, 30 Oktober 2016
0 notes