sekarsakura
sekarsakura
I am writing my life here
15 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
sekarsakura · 1 year ago
Text
Do I deserve to be loved?
Lalu dalam kesedihannya, seseorang meyakinkan ia bahwa ada yang akan selalu menyayangi, mencintai, dan mengasihi. Tidak melihat apakah ia menjadi orang yang sukses atau gagal dalam kehidupan dunianya. Tidak melihat apakah seluruh manusia di dunia membencinya, selama ia masih berusaha berbuat baik, ia tidak akan ditinggalkan.
Kehadiran Tuhan diingatkan. Ia menjadi yakin untuk mendapatkan cinta Tuhannya. Kebencian keluarga kecilnya tidak lagi dihiraukan. Kalimat, "Aku benci kamu lahir" sudah tak lagi menjadi fokus kehidupannya. Tapi pertanyaannya tidak pernah berhenti terngiang. Justru semakin menjadi, tapi sekarang ia tujukan pada Tuhan. Apakah dengan amalnya yang sangat sedikit, dengan kesabaran yang tipis, rasa syukur yang sering hilang, dan ikhlasnya hati yang sering pudar, apakah pantas untuk dicintai?
God, Do I deserve to be loved?
0 notes
sekarsakura · 1 year ago
Text
Do I deserve to be loved?
Pertanyaan sederhana yang nyatanya terasa membingungkan dan memilukan untuk dijawab oleh beberapa orang. Terlebih untuk mereka yang punya masa lalu berbeda.
Do I deserve to be loved? Apakah aku pantas untuk dicintai?
Luangkan waktu sebentar, mari menelisik lebih jauh ke dalam kehidupan seseorang, yang membuat perasaan 'dicintai' jadi begitu sulit untuk dirasakan.
Sejak kecil, ia dilahirkan dengan paras yg cantik. Tapi orangtuanya tak punya waktu bertemu dan berbicara dengan dia karena sibuk bekerja. Alhasil yang sering ia dengar adalah kakanya yang selalu bilang, "aku gak suka kamu dilahirkan".
Saat ia mulai menginjak usia 2-3 tahun, ia mulai mengerti, mulai bisa berbicara. Tapi lagi-lagi lingkungan terdekatnya berkata, "aku benci kamu dilahirkan".
Saat usianya bertambah besar, dia menjadi anak yang cerdas, banyak prestasi, tidak berlaku aneh-aneh, tapi lagi-lagi sekelilingnya bilang, "aku ga suka kamu, benci kamu" . Mungkin sekarang bukan hanya kakanya, tapi tante, omnya juga ikutan berkata demikian.
Dia akhirnya merasa "apa yang salah dari aku?"
Hatinya yang tak paham hanya mengetahui bahwa kesalahan mungkin memang terletak pada dirinya. Ia kurang paham bahwa ada perasaan iri yang meliputi kaka, tante, atau om nya saat ia lahir, saat ia menjadi anak yang cerdas, dan saat ia berkarakter baik. Yang ia pahami hanya "aku memang pantas untuk dibenci"
Padahal, untuk alasan apa? Aku dan kamu juga pasti bertanya.
Tapi itulah yang dirasakan ia yang tumbuh dalam lingkungan berbeda. Dalam keseharian yang dipenuhi oleh kalimat, "aku benci kamu"
Sehingga sebanyak apapun capaian yang dia raih, rasanya masih tak pantas untuk dicintai. Ia masih merasa bahwa dirinya layak dibenci. Kesalahan sedikit saja membuat ia merasa, "saya memang pantas untuk dibenci"
Ketika ada yg tulus menyayanginya, maka tidak heran pertanyaan yang pertama diajukan adalah,
Do i deserve to be loved?
0 notes
sekarsakura · 1 year ago
Text
Kali ini, aku disadarkan lagi dan lagi. Life isn't perfect. Hidup di dunia itu jauh dari kata sempurna. Bertahun-tahun aku menyangkal ketidaksempurnaan yg aku miliki. Pikiranku dipenuhi angan-angan. Aku terlalu banyak berandai bahwasannya, aku akan punya keluarga yg sempurna, mimpi yang selalu terwujud, kehidupan yg damai, sahabat yg selalu ada, serta perjalanan yang sukses dan ku nikmati dengan senyuman setiap hari. Angan-angan ku menjelajah sempurna, tapi hidupku di sini tidak. Namun karena anganku, sudut pandangku akhirnya membawaku pada "jalan hidup yg harus sempurna". Aku memandang diriku sendiri harus sempurna. Aku harus selalu mendapatkan apa yg aku mau. Aku harus selalu bisa menjadi sosok seperti yg diingini banyak orang. Akhirnya, aku memandang orang lain pun harus sempurna. Mereka harus selalu ada, mereka harus selalu mengerti.
Mungkin terdengar naif. Terdengar, "masa gitu aja ga paham?" Terdengar, "Itu kan emang konsep hidup di dunia. Dari dulu juga ga bakal ada yg sempurna di dunia ini"
I see buat semua pandangan seperti itu.. Karna tak semua orang harus berpandangan dan punya cara hidup yg sama. Tapi life isn't perfect benar-benar baru ku sadari akhir-akhir ini. Kepergian orang yg aku sayang justru memaksaku berada dalam pandangan bahwa "life is perfect". Aneh kan? Aku juga. Tapi nyatanya seperti itu. Kepergian seseorang membuat aku tidak percaya bahwa orang yg aku sayang pergi begitu cepat. Aku memupuk pengandaian bahwa suatu saat aku bisa menemuinya di dunia ini, atau sebenarnya ia hanya pergi untuk sementara waktu dan akan kembali lagi dalam waktu dekat. Aku membawa diriku sendiri untuk selalu bertanya, "kenapa harus aku yg ditinggalkan?" seakan memahami bahwa "aku tak pernah pantas ditinggalkan", "hidupku harus sempurna" dan ya.. Bom waktu akan meledak suatu saat. Tanpa ku sadari, aku hidup dalam kungkungan "kesempurnaan". Saat aku lelah, maka aku jadi orang yg merasa "tak pantas untuk lelah". Saat aku gagal, maka aku jadi orang yg merasa "tak pantas untuk gagal" dan aku merasa seperti itu untuk semua perasaan dan kehidupan yg ku anggap buruk lainnya. Aku seolah menjadi seseorang yg tak pantas menerimanya. Padahal dunia, tak pernah jadi surga. Tak pernah memihak untuk kita selalu berjaya dan bahagia. All good is only in paradise. Semua kebaikan hanya ada di surga. Jika dalam hidup ini sudah sempurna kebaikan dan kebahagiaannya, lantas mau cari apa aku untuk kehidupan setelah kematian?
0 notes
sekarsakura · 2 years ago
Text
Tak dipungkiri jalan juang kemarin begitu hebat menempa. Kami bersorak bahwa mundur tak pernah jadi pilihan. Tapi kiri dan kanan rasanya amat melelahkan. Bagaimana tidak? Pagi sampai sore kami disibukkan perkara kelas, praktikum, dan apa-apa yg membuat kepala kami sesak karna banyaknya asupan ilmu yg tak sepenuhnya kami pahami. Magrib hingga malam kami dijejerkan beragam tugas 'pemberdaya' yang tak jarang membuat kami bertanya, "Emang ini tugas aku ya? Emang aku yg harus ngerjain ini ya?" Belum lagi saat besok adalah deadline laporan praktikum, tugas-tugas kelas, dan tugas-tugas lain di luar akademik. Huft, menyedihkan, kapan kami sempat mengerjakannya? Maka tak jarang, tidur jam 2 pagi menjadi sebuah pilihan yang berkonsekuensi mengantuk di kelas di pagi dan siang hari. Atau, memilih mengerjakannya pada waktu-waktu kumpul subuh yang seharusnya lebih khidmat kami jalani.
Beratt sekali rasanya menapaki kewajiban-kewajiban itu. Kewajiban yang sebetulnya kami pilih sendiri dengan kesadaran penuh. Kewajiban yang seringkali mempertanyakan jumlah jam dalam sehari. "Kenapa sih sehari tidak 30 jam saja?" Ingin rasanya beristirahat lebih cukup. Ingin rasanya dapat melakukan hal lain yang mungkin terlihat lebih santai. Scroll sosmed berjam-jam, hangout sendirian seharian, atau sekadar tidur siang sejam dua jam penuh. Aah, 24 jam yang rasanya padat dan ku alami setahun penuh. Bagi mereka, mungkin ada yang sudah mengalami 2-3 tahun penuh.
Belum lagi saat perasaan kami lebih dominan di atasnya. Kewajiban di depan mata, namun perasaan yang lebih kami junjung. "Aku kan capek baru pulang kuliah, kenapa ga yang lain aja?", atau justru "Ah biarin aja mereka yg ngerjain, toh bukan tugas aku juga" dan sebagainya. Lalu menyelesaikan kewajiban-kewajibannya sembari diselimuti perasaan tak adil, tak dihargai. Dan benar perkataan pembina kami, lalu muncullah pertanyaan dari perasaan-perasaan itu, "Kayaknya ga ada dihargai-dihargainya deh aku disini, "Buat apa capek-capek disini?"
Dan tibalah akhir dari cerita penempaan kami di sana. Setahun yang terasa seperti rollercoaster. Perasaan campur aduk, kenangan yang masih basah, dan perjuangan yang rasanya begitu singkat dan sedikit. Hari ini, semua menjajaki dunianya masing-masing.
Aku dengan duniaku lantas mengingat kembali memori-memori kemarin di hari ini. Memori dimana kami ditempa begitu hebat.
Dan tau apa yang dirasa?..
Rasa heran justru yang pertama kali aku rasakan. "Kok bisa ya aku menyelesaikan semua kewajiban-kewajiban itu? Yaa meski jauh dari kata sempurna" Lalu pahamlah hari ini dengan tempaan-tempaan kemarin. Meski belum juga sempurna pemahamannya.
Perasaan tak adil dan tak dihargai itu benar-benar hanya perasaan belaka. Mungkin setan bermain di sana untuk menjadikan kami mundur dari jalan juangNya. Tapi kami sadar betul hari ini, Allah selalu melihatnya. Ia tak pernah tidur. Bahkan mencatat setiap hal-hal yg kami lakukan lalu dibalasnya satu per satu dengan penuh keajaiban.
Kewajiban orang lain yang diselesaikan, tak jarang menjadi pengantar kewajiban kami sendiri diselesaikan olehNya. Keinginan-keinginan yang tiba-tiba Allah kabulkan dengan mudahnya. Teman-teman yang rasanya 24/7 selalu siap hadir mendengarkan hal-hal remeh dari kami. Atau hal-hal kecil yang justru menjadikan hati penuh dengan rasa syukur kepadaNya. Rasanya, tak pernah kami merasa kekurangan di sana. Makanan yang selalu ada, jajanan yang bisa kami bagi bersama, dan tawa yang selalu teriring setiap hari karna tingkah-tingkah lucu seseorang.
Setahun nyatanya mengubah sudut pandang kami hari ini. Bahwa rasa lelah dalam kebaikan pasti akan selalu menemukan balasannya. Di dunia dan di akhirat.
Bahwa tak selalu harus menyelesaikan diri sendiri dahulu baru bergerak menyelesaikan kebutuhan orang lain. Bisa juga berbarengan.
Bahwa tawa orang-orang di sekeliling kami, itu lebih berharga dari perasaan kami yang merasa tak dihargai.
Bahwa 24 jam itu justru sangat lama karna kami bisa mengupayakan banyak hal.
Bahwa tidur yang sebentar itu, membawa kami melihat dunia lebih luas lagi.
Bahwa dada yang terasa sesak itu, membawa kami pada singkatnya perjuangan tapi manisnya balasan.
Dan bahwa ditempa mengajari kami. Bahwa saat kami hancur, kami tak akan pernah bersorak mundur. Ada Allah, yang Maha Kuat lagi menguatkan. Yang Maha Mendengar lagi mendengarkan. Yang Maha Baik lagi membalas perbuatan baik. Yang tak akan pernah membiarkan kami dalam kesusahan saat kami berupaya untuk berjuang di jalanNya.
- Kami, mewakili diriku hari ini dan hari lalu
16 September 2023
0 notes
sekarsakura · 2 years ago
Text
Di bawah atap rumah ibu aku pernah berjanji. Lantas, aku mengingkari.
Di bawah atap rumah ibu, aku pernah menangis. Lantas, aku tertawa lagi.
Di bawah atap rumah ibu, aku pernah kecewa. Lantas, aku berbahagia kembali.
Di bawah atap rumah ibu, aku pernah jadi pengecut. Lantas, aku menjadi berani.
Di bawah atap rumah ibu, aku pernah merasa takut. Lantas, menjadi tenteram kembali.
Dan di bawah atap rumah ibu, aku memohon pada Tuhan.. Dapatkah aku menjadi anak kecil lagi dan lagi?
Di bawah atap rumah ibu
Selasa, 04 Juli 2023
0 notes
sekarsakura · 2 years ago
Text
Perasaan tidak karuan. Takut, sedih, tidak percaya diri, khawatir, dan beberapa perasaan yang rasanya tidak bisa ku gambarkan. Dan lucunya, perasaan tidak karuan ini entah sebabnya apa. Mungkin karna melakukan kesalahan? Mungkin karna menolak ajakan kebaikan orang? Atau mungkin sekecil karna lupa membalas senyum seseorang? Tapi semakin digali untuk tau sebabnya, semakin terasa perasaan tidak karuan itu. Ya.. Bagaimana tidak? Yang awalnya hanya perasaan tidak karuan saja yang muncul kini ditambah dengan pikiran-pikiran negatif dan rasa bersalah yang diingat kembali. Arrgh menakutkan.
Bertepatan dengan perasaan tidak karuan, tepat di hari ini ada hari raya besar umat muslim, Idul Adha. Dan kini menginjak tahun 1444H. Hmm, lalu aku bertanya pada diriku sendiri, bagaimana ya perasaan orang zaman dulu? Di kala Nabi Ibrahim mesti mengorbankan Nabi Ismail karena perintah Allah? Apakah perasaan tidak karuan itu muncul? Atau Nabi Ibrahim merasa tenang-tenang saja? Ah tidak mungkin rasanya jika Nabi Ibrahim merasa sangat tenang. Sementara anak pertamanya dan satu-satunya kala itu harus dikorbankan. Meregang nyawa ditangannya sendiri. Apakah Nabi Ismail juga merasa tenang-tenang saja? Sepertinya tidak juga. Bagaimana mungkin ia yang masih sangat kecil, di saat masih 'senang-senangnya bermain' bagi orang-orang seusianya, ia memilih mengorbankan dirinya sebab petunjuk yang datang dari mimpi ayahnya?
Apakah iya, perasaan tidak karuan itu benar-benar tidak muncul bagi sosok Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail?
Tapi setelahnya, aku jadi mengingat lagi kisah Nabi Muhammad saat orang-orang kafir mengolok-oloknya karna wahyu belum turun.. Perasaan tidak karuan itu.. selalu muncul.!
Dan yang mengagumkannya, iman para Nabi kepada Allah jauh lebih besar dibanding perasaan tidak karuan itu. Sehingga mereka memilih untuk melanjutkan ketaatannya dan hati mereka jadi lebih tenang.
Lantas dari sana, aku jadi berpikir.. Apakah perasaan tidak karuan itu sebenarnya salah satu bentuk dari strategi syaithan? Syaithan membuat kita kalah dengan perasaan-perasaan itu lalu kita jadi tidak bersemangat, merasa putus asa, tidak berani, dan tidak berbuat yang terbaik di masa sekarang.
Dan obatnya.. Seperti yang dilakukan oleh para Nabi. Nabi Ibrahim yang menyerahkan seluruh yang dicintainya pada Allah. Nabi Ya'qub yang berkata, "Sungguh hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku" dan Nabi Muhammad yang berkata, "Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita"
Bukankah keyakinan kepada Allah yang mengobati seluruh perasaan tidak karuan itu? Bukannya keyakinan itu berarti keimanan? Keimanan yang bukan sebatas di lisan tapi juga tertanam kuat di hati seorang insan! Keimanan yang bukan hanya sekadar kata tapi juga menancap hebat dalam jiwa! Keimanan, yang tidak menjadikan seseorang merasa cukup lantas mencukupkan pula perbuatan baiknya! Tapi keimanan yang menjadikan perasaan tidak karuan itu berganti menjadi perasaan menyerah penuh cinta pada Yang Maha Kuasa, Yang Maha Bijaksana!
- Selamat IdulAdha 1444 H
Semoga perasaan tidak karuan kita berubah menjadi perasaan menyerah penuh cinta pada Yang Maha Kuasa🤍
0 notes
sekarsakura · 2 years ago
Text
Maaf yaa bagi siapapun yang sudah aku repotkan dengan keluhku. Maaf ya jika hari-harimu malah diperdengarkan dengan kalimat "aku capek" dari mulutku. Maaf jika aku malah menjadi beban, lagi dan lagi pada setiap waktu istirahatmu.
Maaf bila tulisanku kini sedikit sekali mengandung makna. Maaf juga banyak cerita penuh keluh pada jiwa-jiwa yang justru lebih berat beban di pundaknya. Maaf jika sepekan ini, hanya kata "aku capek" yang terdengar dari hari ke hari. Maaf jika memang aku menjadi manusia yang begitu merepotkan emosimu akhir-akhir ini. Maaf, padahal aku sadar kehidupanmu sama tak sempurnanya denganku. Bahkan mungkin lebih letih, lebih lelah, lebih banyak diujinya.
Maaf.. Kalo-kalo cerita keluhku membuat emosi negatifmu aktif kembali. Maaf jika pesimis ku menular pada semangatmu. Maaf jika semua kesedihan dan tangisanku di pekan ini selalu membuat risih suasana. Maaf untuk jiwa-jiwa yang benar-benar aku tambah bebannya dengan berbagai keluhanku..
Dan terimakasih banyak..
Terimakasih untuk kamu semua, seseorang yg masih setia menanggapi cerita remehku. Terimakasih sudah mencoba membuatku tersenyum padahal harimu begitu berat. Terimakasih karna tidak menghakimi kisah letihku meski terdengar amat sepele. Terimakasih, sudh menjadi sosok yang berusaha kuat untuk seseorang seperti aku.
0 notes
sekarsakura · 2 years ago
Text
Dua hari lalu, di malam hari, aku ngelewatin jalanan macet di salah satu persimpangan jalan Kabupaten Bandung. Di kemacetan itu, suara klakson yang bising ngga henti-hentinya bunyi ditambah arus kendaraan yang bener-bener udah nggak beraturan. Aku juga lihat beberapa laki-laki berusia 30 tahunan sampe rela turun ke jalan buat ngondisiin kendaraan. Pas lagi liat, tiba-tiba aku jadi ngerasain kalo kemacetan itu bukan cuma ada di jalanan tapi lagi tergambar jelas di kehidupanku akhir-akhir ini. 
Kendaraan padat yang ga bisa gerak dan gak beraturan, suara klakson dimana-mana, dan perasaan bingung yang capek, mundur buat cari jalan lain susah, maju pun gak bisa. Ditambah malam hari, rasanya kondisi tubuh udah nuntut buat rebahan dan emosi yang udah naik tapi dihadepin sama kemacetan. Pokoknya kerasa berantakan! 
Dan persis, akhir-akhir ini aku lagi ngerasa berantakan kayak macet parah di jalan. Pertanyaan-pertanyaan kayak, "Kok aku berantakan banget ya sekarang?" mungkin jadi sering terngiang.
"Apa yaa yang kurang?", tanyaku. Padahal sudah jelas banyak kurangnya. Dan menurutku, salah satu kurang paling kurang yang nyebabin seberantakan itu mungkin karna aku kurang deket sama Allah. Kurang patuh aturan-aturan Allah. 
Persis kayak macet dijalan, suara klakson dibunyiin terus tapi kurang taat sama aturan lalu lintas, apa iya  ga jadi macet? Keinginan-keinginan terus aku tuntut sama Allah tapi ngga taat sama aturanNya, apa iya ga jadi macet hidup aku?
Pun saat aku ngerasa, "Udah taat kok, tapi kok masih macet ya?", aku jadi berpikir ulang.. Jangan-jangan jalan yang tetep macet itu karna sebenernya aku ngga ikut membenahi dan merapikan. Misalnya, udah tau akar masalahnya karna ada kendaraan yang mogok di depan, tapi aku santai aja ngeliatin tanpa ngerapihin. Sama kayak kemacetan yang lagi aku rasain, mungkin banyak kebiasaan buruk yang bikin kehidupanku mogok, tapi aku santai aja tanpa berusaha ubah. 
Ah, dasar aku. Dan yang disesali dari banyaknya kemacetan itu adalah.. Udah tau ada orang yang berusaha nolong, eh diri sendiri malah diem aja! Plus yang lebih disesalinya lagi adalah.. Udah tau ramadhan datang, eh diri malah balik enak-enakan dan ga berusaha merapikan! Heii akuu, nunggu kesempatan yang kayak gimana lagi? Plis manfaatin ramadhan yang cuma sebulan ini!! 
01/Ramadhan/1444H
#ramadhanbercerita
0 notes
sekarsakura · 2 years ago
Text
Hari ini ku tengok lagi hatiku, tepat di dasarnya. Entah sudah berapa kali ku tengok. Tapi ia ternyata masih saja kotor seperti dulu. Ku kira, ia membaik. Nyatanya tidak juga. Ku kira ia terobati dengan rutinitas yang ku pikir bagus. Ternyata masih sama saja. Beberapa kali aku bilang pada mereka bahwa hatiku tidak baik. Ia menampung banyak kekhawatiran dan ketakutan. Dan lagi-lagi mereka selalu bilang bahwa itu karna rasa tawakal ku pada Zat yang Maha Kuasa yang kurang. Sesekali ku akui, benar itu karna tawakalku yang kurang. Namun rasa tak dipahami itu selalu hinggap. Mereka tak melihat luka itu. Aku juga tak menyangkal, namun ku harap cobalah lihat lebih dalam lagi. Maksudku, ketakutan itu selalu muncul dalam bentuk yang nyata. Ia tak lepas hanya karna aku berkata bahwa aku menerima. Ia juga hinggap bukan karna kesadaranku yang mengundang. Tapi mungkin karna ketidaksadaranku, pada masa lalu yang penuh ketakutan.
19 Februari 2023
0 notes
sekarsakura · 2 years ago
Text
Sedih rasanya klo mengingat hari ini. :"
Dimulai dari pagi yang tak kuasa menahan dingin dan kantuk. Tak lupa memang sudah sakit lambung sejak dini hari krn ulah sendiri meminum kopi terlalu banyak.
Alhasil, bukan hanya tidak kelas, tapi seakan tidak hidup di hari ini. Dan justru memilih tidur setengah hari penuh.
Di siang karna ada jadwal praktikum, akhirnya tetap mencoba memaksakan ikut praktikum karna belum ada bukti sakit dkk. Akhirnya berangkat berbekal sarapan sekaligus makan siang berupa bubur seperempat mangkuk.
Di lab, praktikum seadanya. Bahkan di sisa waktu terakhir sudah tidak ada tenaga lagi untuk menyimak, padahal asprak sendiri bilang, "Modul ini baru banget dilaksanain di sini. Cukup kompleks lagi"
Pulang ke asrama, tak satu pun disapa dan langsung mendekam di dalam kamar. Niatnya hanya tidur sebentar karna merasa 'selelah' itu. Tapi nyatanya, ketiduran sampai terbangun karna teman sekamar teriak, "Karr awas takut ada kecoa"
Terbangun lah aku dan aku pikir ini sudah subuh. Dilanjut dengan perasaan tidak tenang dikarenakan rasa menyesal karna tidak ikut pengarahan kulap yg harusnya diikuti jam 8 malam tadi. Sejenak menghela napas lalu dilanjut melihat jam. Ternyata baru pukul 21.54. Tapi seketika terperanjat dan langsung bilang ke teman kamar, "Aku ada wawancara jam 21.30 tadiii harusnya. Aduh gimana yaa"
Karna pewawancara adalah tetangga kamarku di asrama, akhirnya aku pergi ke kamarnya dan berusaha menjelaskan. Walaupun sepertinya kakanya sudah paham. Karna sedari magrib, ia juga yg katanya memanggil-manggilku menyuruh makan. Dan jelas saja aku tidak menyaut karna bak beruang yang sedang dihinggapi musim dingin. Hibernasi.
Siang telah usai dan malam ini aku memilih melanjutkan aktivitas menulis untuk menjelaskan keadaanku hari ini. Cukup pelik rasanya ditambah dengan perasaan menyesal yang menggunung. Tapi lagi-lagi, apa boleh buat dengan masa lalu? Hanya tinggal sisa malam ini untuk coba aku perjuangkan. Walaupun dengan perasaan useless dan ngerasa sudah tidak hidup di hari ini.
Dan dari semua rangkaian cerita di hari ini, aku bersyukur karna masih terselip hikmah di dalamnya. Hikmah ini ku temukan saat praktikum bersama Chlamydomonas di siang tadi.
Di praktikum tadi, kita membahas bahwa setiap enzim itu ada peran dan fungsinya masing-masing, termasuk di Chlamydomonas. Salah satu enzim nya berfungsi untuk mengkonversi NaHCO3 menjadi CO2. Lalu tiba-tiba aku berpikir,
Manusia itu memiliki banyak enzim, lipase dan amilase contoh yang mungkin seringkali kita dengar di bangku sekolah. Fungsinya? Tentu saja memiliki fungsi dan perannya masing-masing. Lalu aku merenungi sel-sel dan organ lain.. Yap, selalu ada fungsinya! Akhirnya ku simpulkan,
"Manusia yang tersusun dari banyak sel yang memiliki fungsi dan perannya masing-masing, masa iya tidak dilahirkan menjadi makhluk yang memiliki fungsi juga? Padahal setiap penyusun tubuhnya adalah sesuatu yang punya peran. Padahal jika mengikuti rumus penjumlahan, maka seharusnya ditemui bahwa banyaknya sel yang berguna akan melahirkan sosok yang berguna pula. Tapi seperti enzim tadi, adakalanya menjadi inaktivasi (tidak aktif). Tapi ini bukan menjadi alasan untuk tidak melanjutkan kehidupan kembali. Karna tidak aktif bukan berarti tidak berguna. Kita berguna namun mode berguna nya sedang tidak aktif saja. Maka mari, aktifkan kembali di sisa malam ini. Di sisa usia ini."
Makhluk Berguna
16 Februari 2023
(Tata bahasa belum direvisi)
0 notes
sekarsakura · 2 years ago
Text
Hidup di kampung orang ternyata tak se-menjengkelkan itu. Banyak sekali pengalaman dan rasa yang bisa dicicipi. Awalnya memang sempat merasa homesick. Merasa bahwa kampung orang lain tak akan pernah menjadi tempat yang nyaman. Sehingga kepala dan hatiku selalu dipenuhi prinsip bahwa rumahku bukan disini. Jangankan untuk menjadi tempat pulang, menjadi rumah singgah saja perasaanku begitu tertekan.
Tapi, itu dulu. Iya, dulu.
Dan kini, aku temukan sebuah rumah yang hangat di kampung orang. Bukan karena bergelimang harta dan tahta. Bukan pula karna mencari posisi atau jabatan tinggi. Aku disini hanya manusia biasa. Tidak berjubah raja. Tidak bersinggasana. Aku duduk seperti masyarakat tidur di bale kayunya. Sejuk dan damai. Sesekali di penuhi tawa dan tanya. Sesekali dilantunkan puisi dan sayup-sayup kisah kecil para warga. Sesekali hening, sesekali beranjak. Namun, kunikmati. Persis seperti rumahku. Tak jarang pula ada pertengkaran di dalamnya. Tapi itu tak membuat pergi. Juga tak bermakna putus. Kita masih satu ikatan seperti saat kita lahir disini.
Dari kampung baruku, ku temukan cinta dan kehangatan. Ku raup berbagai hikmah dan pelajaran. Padahal jika diingat, dua tahun ke belakang adalah tahun perjuangan. Kala itu, seolah tak kutemukan hati pada tubuhku ini. Seakan aku mayat yang berusaha hidup hanya karena melihat mayat lain bergerak. Untuk apa aku disini? Tapi hidup seolah memberi jawaban teka-teki.
Untuk apa aku disini? Semakin ku gali namun semakin memaksa diri untuk menyerah pada tanya sendiri.
Untuk apa aku disini? Namun ternyata, jawabannya lahir hari ini. Di tempat ini.
Untuk apa aku disini? Kini bisa ku jawab tanya itu di dalam hatiku dengan lantang dan pasti.
Kampung Baruku
Selasa, 24 Januari 2023
1 note · View note
sekarsakura · 2 years ago
Text
Biarkan aku bercerita tentang sesiku di malam ini. Di detik-detik terakhir aku menikmati 'momen liburan'.
Malam ini, takdirku bertemu dengan seorang bapak bersepeda jarak jauh di Braga. Mendengar ceritanya dalam bersepeda mengelilingi Indonesia, aku merasa malu. Bukan hanya karna label pemuda jompo yang aku semati pada diri sendiri, tapi juga karna misi yang ia bawa saat bersepeda. Ia rela menempuh jauhnya jarak untuk mengedukasi siswa siswi di sekolah terkait urgensi sebuah museum.
Lebih jauhnya, ia tempuh perjalanan itu agar kedua putrinya bisa bersekolah tinggi. Aarghh rasa sedih sebenarnya menyelimuti hatiku saat mencari lebih dalam tentang ia di akun sosial medianya. Benar-benar pejuang tangguh. Ku terka dalam hatiku, "Pasti seorang ayah akan selalu berjuang untuk putrinya ya?" Lalu emosiku kian terusik. Ku ingat ayahku dan aku yakin ia juga seorang pejuang tangguh. Persis seperti yang diceritakan ibu. Aku juga semakin haru saat berandai, tepat di detik ini jikalau ayahku ada, ia pasti memperjuangkan pendidikanku juga. Lebih tepatnya memperjuangkan kehidupanku, bukan?
Lalu kalimat bapak bersepeda itu menghentikan lamunanku saat mataku masih tertuju di akun yang sama. Pengandaian itu tak layak menjadikanku semakin larut dalam sedih. Betapapun dalamnya perasaan kehilangan menerpa hati yang kian tak berbentuk ini, aku tetaplah aku. Kehidupan dan kematianku tak dapat diwakilkan oleh siapapun..
Tak dapat diwakilkan
Minggu, 15 Januari 2023
0 notes
sekarsakura · 2 years ago
Text
Dulu dan kini, pertanyaanku masih sama. Kenapa senja datang hanya sekilas? Bisakah ia datang lebih lama? Dapatkah ia kunikmati lebih banyak lagi? Pertanyaaanku masih jelas sama. Masih merengek layaknya anak kecil yang meminta jawabannya segera.
Bagiku, senja adalah kuasa Tuhan yang benar-benar membuatku lupa banyaknya masalah kehidupan. "Senja yang sangat indah, kenapa hanya sebentar?" Aku termenung, padahal dari dulu aku pun tahu, dari senja aku banyak belajar kehidupan.
Senja seperti manusia.
Mungkin manusia mengeluh karna pagi terasa dingin atau siang yang terlalu panas. Tapi di hari yang sama selalu ada senja. Waktu dimana warna langit sangat indah. Walaupun hanya sebentar tapi benar-benar memukau sebagian orang yang menikmatinya. Dan meskipun di sisi lain, ada juga yang berlalu tanpa sedikitpun menengoknya.
Begitupun manusia. Selalu punya sisi senjanya. Tak semua orang jahat itu selalu berbuat jahat. Adakalanya berbuat baik. Apalagi orang baik, pasti punya sisi baiknya. Sisi senjanya. Walaupun sebagian orang tak menengoknya. Tapi yakinlah, ada orang yang merasakannya. Merasakan sisi senja kita. Dan seperti aku, ia berharap sisi senjamu berlangsung lama. Tak sebentar dan tak hilang karna waktu.
Sekilas senja
Selasa, 10 Januari 2023
0 notes
sekarsakura · 2 years ago
Text
Malam ini, izinkan aku bercerita tentang sebuah makna hidup.
Beberapa bulan kemarin salah seorang teman bertanya, "Apa prinsip atau nilai hidup yang sedari dulu kamu pegang?" Dengan polosnya ku bilang, "Mengutamakan orang lain dibandingkan diri sendiri. Ibuku memintaku melakukan itu sedari kecil. Rasanya aku sangat bersemangat melakukan nilai-nilai itu dulu. Tapi semakin kesini semakin berkurang. Rasanya aku semakin egois dan sangat sangat mementingkan diri sendiri."
Lalu ia bertanya alasan dibalik perubahan itu. Aku dengan sederhana menjawab, "Entahlah, semakin besar, ku lihat orang-orang berperilaku egois. Mereka mementingkan diri sendiri padahal paham di sampingnya banyak orang-orang membutuhkan bantuan ia. Jadi aku berpikir, kenapa aku harus mementingkan orang lain? Bahkan mementingkan orang egois?"
Dan di hari-hari kemudian, aku ingin menampar diriku sendiri karna baru menyadari hal yang lebih buruk dari itu. I lost myself. Aku kehilangan diriku sendiri. Semakin hari semakin egois.
Padahal, apa salahnya jika mengutamakan orang lain? Terlebih mampu? Apa salahnya jadi orang yang senantiasa membantu orang lain, terlebih sanggup?
Memang, jadi baik saja tak cukup. Tapi, apakah menjadi buruk juga sesuatu yang menyejukkan? Memang, menolong orang lain melelahkan. Tapi, apakah menjadi se-egois itu juga membuat nyaman?
Tidak, ternyata prinsipku masih saja sama. Aku selalu tidak menyukai orang-orang egois menurut standar ku. Bagaimanapun ia dan siapapun ia. Termasuk pada saat itu, aku tidak suka pada diriku sendiri. Aku sangat tidak suka diriku yang egois. Percaya atau tidak, beberapa kebaikan justru terasa hilang karna keegoisan. Beberapa kebaikan juga hilang karna kebencian, kebencian kepada diri sendiri. Jadilah ia berpadu dan menghilangkan kebaikan diri yang pada hakikatnya juga sudah setipis helaian rambut. Bahkan lebih tipis lagi.
Lalu, kepala dan hatiku ku paksa merenung dengan satu arah yang sama. Kebaikan. Lantas mereka beradu argumen sejenak lalu diskusi dilanjutkan hingga sampai pada kesimpulan,
"Jangan sekali-kali kamu ubah manismu hanya karna kebaikan yang terasa pahit. Ia terasa pahit karna kamu merasa meneguk nya seorang diri. Jika kamu meneguk nya bersama orang lain, maka ia akan terasa lebih manis. Dan ingatlah, yang kita bicarakan ini soal kebaikan. Mau meneguk seorang diri ataupun bersama, tetap akan berakhir manis meski rasanya amat pahit di awal."
Kebaikan
Sabtu, 07 Januari 2023
0 notes
sekarsakura · 2 years ago
Text
Harapnya kutulis pada hati yang payah
Yang menangis kala lelah, yang menjerit kala terpanah
Sesekali aku geram, menatap ia dengan gusar
Mengapa dirinya begitu yakin? Padahal yang diharapkan sudah mengaku kalah?
Tapi seolah tertutup sudah kesempatan tawar menawar
Tekad dan ambisinya tetap saja tak bisa ku tangkis
Pikirku, "Pandai juga ia membuat aku merasa takjub"
Seakan di kehidupan ini hanya ada ia, seonggok jiwa yang istimewa
Lantas yang lain?
"Kenapa begitu penting memikirkan yang lain?" Ucapnya
Aku kian heran menatapnya
Padahal dunia sedang menjerit memakiku
Membanting tulangku yang remuk dan mencabik hatiku yang sebentar lagi hancur
"Tak putus asakah engkau?
Ku tulis harapmu pada sebuah hati yang payah
Pada tingginya kerendahan diri
Pada kisah yang tak bosan dihinggapi gagal"
Aku semakin berang dalam jiwaku
Dan untuk kesekian kali, sikapnya justru membuat hatiku menganga dengan cinta
Memaksa air mataku keluar menuju muaranya
Ia mengalirkan secercah harapan sembari tangan menengadah, khusyuk sekali
Padahal telingaku mendengar
Hanya saja ku tipu dengan pura-pura terlelap, khas andalanku
"Untuk apa kau lakukan setulus itu?" Tegasku dalam pikiran
Jawabnya, "Ya Allah, semoga keberhasilan selalu menyertai anakku di dunia dan akhirat"
Dan aku semakin merasa rendah dengan hatiku yang payah
Tapi kali ini aku menyerah pada lirihmu, "Aku akan coba lagi, Bu.."
Hati yang Payah
Senin, 2 Januari 2022
1 note · View note