Text
Selamat Menyepikan Perasaan
4 notes
·
View notes
Text
Kau benci hari lahir - kau mencintaiku
0 notes
Text
Perjalanan Mendaki dan Menurun
2 notes
·
View notes
Text
SUA(RA)
Aku cukup menikmati jumpa kita pagi ini, sayang. kau mendulang rindu dengan langkas dan tak pernah puas --- seperti biasanya.
Aku menggenggam tanganmu yang belum jua kusematkan cincin pada salah satu jemari yang kau punya, kau kata terserah yang mana saja, cincin kayu untuk ibu jari pun boleh, karena ibu adalah pintu surga, begitu pun metaforanya pada tubuh manusia; apa pun yang mengasosiasikan malaikat tanpa sayap itu, harus didahulukan! meski ia tak manis lagi.
....

Matamu nampak datar, dengan garis lengkung bulan, tak ada mahluk bumi yang memilikinya selain engkau, aku padamu! teriakku keras-keras; dalam hati. sengaja kulakukan agar semua ini samar, agar semua ini berjalan lambat karena aku ingin menjalani ini dengan mode slow-mo, pelan tapi terbaca akhirnya seperti apa, kita yang menentukan dan akan menuliskan “the end” dengan sama-sama tersenyum. lalu aku akan memelukmu tanpa izin dan tanpa kata-kata. Kau mungkin akan memukul wajahku dengan keras atau akan menghancurkan lemak perutku dengan tendangan silatmu, tapi aku bisa apa?
Aku mencintaimu...
Sua kita adalah suara yang terjalin dari benang tak kasat mata menjadi selimut yang menghangatkan tubuh kita, harus seperti itu! karena ini musim penghujan dan kau tak boleh sakit atau hanya sekadar meriang!
9:55 a.m January, 16 2021 Pic: Eleni Debo
4 notes
·
View notes
Text
Kita sejatinya dekat, hanya waktu yang menjadi sekat, lalu kesabaran adalah jalan setapaknya.
2 notes
·
View notes
Text
Di dalam Senyuman
Kau tak pernah menginginkan rumah, katamu rumah hanya fatamorgana ia dapat melindungi dari hujan atau matahari tapi ia tak mampu memberikan senyuman
kau bersikeras ingin hidup di dalam senyuman dan mulai mengumpulkanya dari akar-akar yang tumbuh, pada setiap pasang mata manusia
kau mengidamkan senyuman yang hijau dan rimbun jauh dari bising kota yang sembunyikan limbung
kau yakin senyuman akan menjaga dari langit yang marah, cinta yang merah,
atau ruangan yang kesi dari kata-kata
6 Januari 2021
08:17 a.m
0 notes
Text
Alexithymia

aku tak mendapati apa pun selain cerita -cerita yang kusembunyikan, lalu kuubah menjadi lukisan dengan coretan -coretan samar dan sesat aku kesulitan membaca tulisan yang termaktub pada tubuhmu
kelu
6 Januari 2021 07:33 a.m
0 notes
Text
Mengapa Kau Baru Tiba?
Kita tidak pernah menghendaki penyesalan menjadi buah dari keputusan kita, namun kita sama-sama tak memiliki pilihan, kan? Jika memang demikian aku memilih untuk terlahir tepat di sampingmu, dengan kelingkingmu yang mengait erat pada telunjukku.
Aku ingin sedikit bercerita tentang sebab dari kemaraunya mataku, mulanya ia adalah padang yang hijau yang jauh dari kekeringan dan pelangi senantiasa melengkung sempurna di setiap langitnya, tapi mungkin musim memiliki sifat sewenang yang berkepanjang.
Diawali dengan guntur yang mengacaukan tutur, lindu yang meluluhkan rindu, hingga bandang yang hanyutkan tenang. Semua itu melelahkan, sejak saat itu ia tak lagi berhasrat untuk menumbuhkan benih apa pun, tak ada harapan akan angan apa pun, kepada siapa pun.
Apa kau pernah berjalan dengan sengaja menutup matamu karena ingin mengandalkan hati pada sisa-sisa perjalanan?. Kau tak lagi seutuhnya percaya dengan apa yang kau lihat dibandingkan dengan apa yang kau rasakan.
“Mengapa kau baru tiba?” Bukanlah kalimat tanya sayang. alah remah yang tak ramah dari masa lalu. Dada yang penuh dengan gema suka-cita, ialah erat genggaman tangan yang tak sanggup membayangkan kau pergi.
Mataku kini telah rela menjunjung lembayung, meski urung menanam pelangi.
Aku ingin menikmati ini pelan-pelan, karena sekarang kakiku berpijak diatas gelap terang gamang. Tak ada yang kuandalkan selain jalan setapak yang kau gurat pada telapak tanganmu yang melalui sentuhannya berhasil membuatku bicara.
02:40 a.m
Denpasar Selatan
Painting by : Jeanniegrisham.com
1 note
·
View note
Text
Puan

Ia adalah suara angin yang berdesir di sela pepohonan, menjadikan embara tak berasa, ia adalah tujuan. Adalah rahasia yang telah lama dituliskan, sedang waktu menjadi sekat bijak, mendidik dan menghardik kebodohan dan ketidakdewasaan.
Menemukannya adalah sebuah tindakan menelan Philaphobia dengan sengaja. Ia adalah ketakutan yang indah, mimpi buruk yang tak sanggup dikutuk ketika terjaga: mencintainya adalah memasrahkan hati yang telah patah untuk kemungkinan menjadi tiada. Namun demikian, kau tetap melakukannya.
Desember 28, 2020
10:29 AM
3 notes
·
View notes
Text
Potongan Cerita
Keterus-teranganmu dapat kubaca melalui getar suara; naik turun tak beratur, buah dari degub jantungmu yang tak berhasil kau samarkan. Lalu tatapanmu, ya tatapanmu seperti capung yang hinggap sebentar lalu terbang untuk menetap di titik yang sama. Kita berdua sedang menikmati perasaan asing yang menguar kemana-mana. Suara bising lalu lintas kota, pejalan kaki, klakson mobil dan gesekan snar pengamen tak membuat kita bergeming. Di dalam bus Trans Jakarta, bukumu yang kuraih karena terjatuh menjadi perantara situasi ajaib ini terjadi, kau layangkan ucap “terimakasih”, aku tak mendengarnya, karena membeku adalah kunci untuk mengulur waktu.

Aku ingin menyudahi ini semua, tapi tak mampu, hatiku berontak, otakku tak menginstruksikan apa-apa selain sikap badan yang menyerah, kau terlalu digdaya. Aku tahu akhir dari keadaan ini, kau pergi dan aku berlalu, lalu kita hanya akan menjadi orang asing yang sempat berputar di dalam gasing waktu yang sama.
“mas maaf, saya duluan ya ini bukunya”,
wanita itu mengembalikan buku yang terjatuh yang kuberikan padanya.
“lah ini kan bukunya mba? tadi aku lihat ia jatuh ketika mba sedang membacanya”. aku membalas linglung.
“ah tidak mas, sekarang ini bukan bukuku lagi,mas boleh mengambilnya, membuangnya atau mas boleh berikan ke orang lain di bus ini”.
wanita itu memberikan jawaban yang membuatku mengernyitkan dahi.
“eh i iya, yasudah kalo begitu oke mba”,
gagap pun tak terhindarkan keluar dari bibirku buah dari sikapnya yang membingungkan. Kubaca sekilas sampul depan buku itu, kosong saja, tak ada judul apa-apa, kubuka lembar pertama dan kubaca:
“hari ini kau akan menjatuhkan buku itu, dan saat itulah kau akan mengucapkan selamat tinggal pada catatan harian sebelum kau pulang menuju ketiadaan”
(24 Mei 2017)
Dua puluh empat Mei dua ribu tujuh belas, tepat hari ini, aku semakin bingung lalu membuatku menutup buku aneh itu, kulepas pandangan dari buku tersebut dan berpaling pada seorang wanita asing di depanku.
....
Ia telah menghilang, bus trans Jakarta masih dalam kecepatan normal, bagaimana mungkin wanita itu dapat menghilang begitu saja, apa ia melompat dari jendela? semakin panik, mataku berlarian ke arah segala kursi penumpang di dalam bus:
ia tetap tak kutemukan.
23 Desember 2020
10: 21 ante meridiem
0 notes
Text
Teka-Teki Bisik

“Aku ingin memberitahumu sesuatu yang tak pernah kau ketahui sebelumnya dan tak akan pernah kau lupakan setelah mengetahuinya”...
Suara itu kembali berbisik di tengkukku---
aku menikmatinya.
“lantas apakah yang tak pernah kuketahui sebelum ini dan tak akan pernah kulupakan setelah mengetahuinya?”, tanyaku memburu suara itu.
Namun suara itu tak lagi berbisik--seperti biasa, ia hanya memberikan potongan-potongan rahasia menyisakan teka-teki, selebihnya aku harus mencari sendiri arti dari bisikan yang ia hembus perlahan di belakang telingaku.
Sore itu tak ada kilau kuning tua yang biasa kusaksikan di bibir pantai Jerman, akhir - akhir ini awan berat sekali meninggalkan langit, mereka lelah berarakan, hanya berdiam dan berkumpul semakin banyak dan semakin hitam. Jika pun mereka mampu berbisik seperti suara misterius itu pastilah mereka akan berkata: “kami tak suka bermain teka-teki, yang kami suka adalah berkumpul dan ngerumpi!”. ya, pasti itulah yang akan mereka teriakkan padaku di atas sana, dengan lugas, padat dan terang-terangan tak seperti bisik-bisik kata yang hinggap tanpa diminta.
“Alasan” adalah kata yang sia-sia diciptakan dalam kamus Indonesia, itu dibuktikan dengan banyaknya korban cinta yang tak memerlukan alasan untuk menumbuhkan perasaan magis di dada mereka. Hal itulah yang terjadi padaku saat ini, siapa yang senang secara tiba-tiba kata-kata misterius menyisiri bulu-bulu halus di belakang telinga dan tengkukmu? aku sangat membenci saat bisik tiba-tiba muncul dengan rahasia-rahasia barunya, namun tepat setelah ia tak lagi berbisik aku memburunya dengan pertanyaan-pertanyaan cepat, tergesa dan percuma karena ia hanya akan membisikkanku rahasia-rahasia.
Sudah berbulan-bulan bisik tak datang, aku merindukannya. Padahal beberapa teka-teki berhasil kususun dengan sempurna menjadi puisi. Bisik yang kurindukan dengan segala ketiba-tibaannya, kemisteriusannya dan segala rahasia yang ia bawa kini semakin jauh kukenali. Apakah aku telah membuatnya kecewa? apakah gerutuku melukai hatinya? kumeringkuk di sudut kamarku dengan lampu yang redup, menghadap ke dinding, membelakangi ruang --- berharap bisik membelaiku dengan kata - kata.
December, 22 2020
Bali - Pemogan
12:08 a.m
0 notes
Text
Menjadi Manusia

Pada pertemuan itu aku mematung melihat manusia - manusia tenggelam di dalam keriuhan. “Aku sedang apa di sini” tanyaku pada diri sendiri, lalu diriku yang kutanyai menjawab: “membeku saja untuk sesaat”. Aku pun mengikuti instruksinya.
Baris-baris besi itu menatapku yang berpura-pura menjadi manequin. Si hitam dengan tulisan “Recaro”di badannya berkata pada teman besinya : “hei lihat itu ada manusia yang mencoba menjadi kita!”, ujarnya dengan sinis sambil melihatku, lalu si Silver dengan tulisan “Ultimate” di jidatnya menimpali: “kasihan dia hahaha, manusia yang bersusah payah menjelma menjadi patung, apa coba tujuannya? agar tidak dianggap dan diacuhkan? lantas jika memang benar, mengapa pula dia ingin tidak dianggap dan diacuhkan, huh dasar manusia aneh!”.
Apa pun yang mereka ghibahkan tentangku kutakpeduli karena saat ini aku adalah benda mati, setidaknya untuk beberapa waktu kedepan -- hingga riuh ini menjadi redam, hingga kebisingan ini menjadi tenang. Meski ternyata sangat susah untuk menjadi mati secara total, karena aku tetaplah manusia dari dalam, aku memiliki darah yang dipompa oleh jantungku, yang berdetak tak menentu malam itu pada acara komunitas mobil mewah masyuhur pabrikan Jerman.
Riuh semakin gaduh ketika acara itu sampai pada tahap yang kusebut sebagai “panggung gengsi”, yah aku menamainya sendiri dengan versiku. Kusebut panggung gengsi karena satu persatu manusia di acara itu saling memamerkan besi kebanggaan mereka yang ternyata lebih mereka manusiakan dari pada manusia itu sendiri, setidaknya ada saat di mana aku merasa bahagia berperan sebagai patung; tak perlu tersinggung jika dilecehkan, diabaikan atau dianggap onggokan tak penting jika patung itu berbentuk kotoran.
Malam semakin larut, setelah para manusia itu kenyang dengan hidangan mewah di meja-meja luxury mereka, puas juga dengan besi-besi gengsi yang mereka manusiakan dengan sederet prestisnya. Acara pun berakhir dengan besi - besi Jerman yang masih memandangku nyinyir dan majikan mereka yang menutup hidung mereka ketika berlalu di depanku, karena aku sedang menjelma menjadi patung kotoran yang berbau anyir.
20 Desember 2020 Uluwatu - Pemogan Bali, Indonesia
1 note
·
View note
Text
"FreeDay"
Pada hari itu, bahu-bahu ditegakkan menuju langit, hingga mendung saja tak mampu menatap. Dada mereka busung membaja dibalut putih jubah; wewangian kasturi, serabut kayu pembasuh gigi, dan tak lupa hati yang lapang itu. Ya, hati yang dipenuhi suka cita, padahal pada hari itu pula sangkakala dipekakkan di telinga, hamparan semesta dilipat, dan yang paling masyhur : matahari terbit dari arah barat.
Jumat, bagi kami para lelaki adalah hari keramat, ialah orang tua bijak berjanggut yang kakinya tak lagi menyentuh tanah, adalah suasana sureal yang ketika senja malaikat mengepakkan sayap, penduduk bumi berebut mendahulukan harap.
Semua mengalir menuju pada satu muara di hari itu; momentum baik. Ibu - ibu muda berharap anak mereka dilahirkan, seorang ayah mendambakan nafkah melimpah tanpa sepeser pun subhat di dalam jerih payahnya, anak - anak lelaki mengejar menjadi yang terbaik di kelas dan keluarga berbilik bambu menyediakan singkong rebus menunggu tamu dengan senyuman paling syahdu.
Pada hari ini kami berharap dimatikan dalam kedamaian, tak meninggalkan apapun kecuali kesedihan orang-orang yang setengah mati melepaskan; "terlalu baik si fulan harus pergi secepat itu", gumam masyarakat, yang mereka sendiri tak sadar kematian adalah kembaran kita yang hanya butuh alarm untuk membuka matanya lalu menutup mata yang lain.
Ini jum'at kawan, berbahagialah.
Pemogan, Bali
18 Dec 2020

1 note
·
View note
Text

Cafe Latte
Cafe Latte, syarat baginya untuk menjaga mata agar senantiasa memiliki arwah, bukan untuk membuatnya siaga, namun untuk mengimbangi wanita yang kerap mencecap kopi hitam pekat tanpa gula di pojokan kedai kopi favoritnya.
Bukan masalah siapa yang menemukan siapa, atau siapa yang duluan berkuasa, wanita itu adalah pelanggan setia sudah sejak lama, bahkan banyak pelanggan yang mengira dia adalah pemilik dari kedai kopi itu, si lelaki hanyalah pendatang baru, tersesat dan terpaksa memesan kopi, karena tidak ada menu lainnya kala hujan memaksanya untuk lebih dahulu menepikan bahu.
Hampir dua bulan berlalu si lelaki menjelma menjadi pelanggan setia baru di Kedai Kopi Inspirasi, begitu nama dari kedai kopi yang selalu ramai itu. Dia hanya memesan satu jenis kopi yaitu Cafe Latte dengan susu murni yang dominan dan kopi yang sedikit, hal biasa bagi seseorang yang tidak terlalu menggemari kopi. Satu-satunya alasan dia mengunjungi kedai kopi itu adalah si wanita dengan kursi di pojok tidak jauh dari tempat barista meramu racikan kopinya. Sedang si wanita yang sudah dua bulan terakhir menjadi sasaran mata-mata si lelaki tanpa pernah sekalipun peduli bahkan tak pernah sadar telah menjadi perhatian.
Entah cecapan yang keberapakali, sudut cangkir kopi hitam kembali bertemu dengan gincu merah marun, dan selang beberapa detik tanpa mempedulikan si lelaki yang seperti patung dengan tatapan lekat kearahnya, wanita itu membasahi sedikit telunjuk jarinya dengan lidah; sudah hampir usai novel tebal yang berjudul “The Prince Who Loves River And Stone” dihabiskannya.
“ahhh”, si wanita merenggangkan kedua tangan seolah membebaskan beban berat pada persendiannya, sepertinya novel terjemahan yang seharian dibacanya itu telah cukup membuatnya lelah. “mas aku pesan Cafe Latte ya?” si wanita kehabisan bahan bakar, dia butuh segelas kopi lagi. “Cafe Latte?”, barista mengernyitkan dahi, dia sangat ahli meramu kopi, tapi untuk sekelas pelanggan setianya itu, dia hampir tak percaya, mungkin ini kali pertama si wanita memesan kopi bercampur susu.
Lelaki dengan modus pecinta kopi yang tak lelah memandangi satu meja di pojokan. Sadar si wanita memesan Cafe Latte seperti dirinya, pikirannya melontarkan tanya: “apa yang dilakukannya?”, “bukannya dia selama ini selalu memesan kopi hitam murni, bahkan tanpa gula?” pertanyaan yang bercampur rasa penasaran, sekaligus menarik hatinya, bagaimana tidak, lelaki tersebut mendadak menjadi pelanggan kopi bukan karena kopi itu sendiri, melainkan si wanita yang sempat membius matanya tepat pertama kali dia berteduh dari hujan, lalu terpaksa memesan minuman, karena tak ada minuman lain selain kopi maka Cafe Latte adalah pilihan terakhir baginya. Siapa sangka, meski kopi adalah minuman yang selalu dia hindari, tapi dari kopi itulah dirinya selalu berupaya bagaimanapun caranya agar bisa bertemu kembali dengan si wanita, meski hanya sebagai penikmat setia dengan pandangan sembunyi-sembunyinya.
Secangkir Cafe Latte bermotif hati diantar ke meja pojok, si wanita tersenyum, “Cafe Latte kan mbak?” pertanyaan barista seolah meyakinkan kembali si wanita benar-benar tidak salah memesan kopi. “tepat sekali, terimakasih mas Pram”, Pramudia, nama si barista, seperti nama seorang penulis ternama di Indonesia. “kembali kasih”, jawabnya.
Novel tidak dilanjutkan, Cafe Latte yang dipesan pun tak disentuhnya, si wanita sibuk dengan tisu yang dijadikan lembaran seolah kertas. Kacamata, novel terjemahan dan dompet kulit bewarna coklat muda satu persatu dimasukkan ke dalam tasnya. Dia beranjak dari kursi, sore itu hujan memang tidak ada, satu hari seperti musim kemarau muncul di tengah kepungan hari-hari dengan mendung lalu milyaran rintik yang terjun. Si wanita berlalu, matanya yang terlihat sudah lelah bergulat dengan kata-kata mengirimkan pesan pada si lelaki yang sudah dua bulan terakhir menjadi pemerhatinya. Si wanita memandang sekilas lelaki yang tergagap di depannya, lelaki yang kecewa padanya karena terlalu dini meninggalkan kedai kopi, namun lelaki itu juga seperti tak percaya, pertama kalinya selama dia menjadi pelanggan mendadak kedai kopi Inspirasi, si wanita menatap mata bodohnya.
Selang beberapa menit terpaku, tatapan wanita itu seperti palu yang menggebuk habis kepala si lelaki, kemudian tak bisa berbuat apa-apa, membeku. Dia habiskan Cafe Latte miliknya, bersiap-siap pergi, pikirnya untuk apa lagi berlama-lama di kedai kopi tanpa tujuan utama yang dia ingini, si wanita sudah tak ada lagi. Lelaki itu berdiri, bergegas. “mas mas, ini ada pesan dari mbak April untuk mas” Pramudia menyeru pada lelaki itu, si lelaki menoleh padanya “apa? Pesan untuk saya?” seperti tak percaya. “iya itu di meja pojok”. Si lelaki seperti tersambar dan tersengat listrik yang menggelitik, menyebabkan dirinya tak tahu apa yang harus dibuat, aneh, gila, tak percaya, wanita yang amat menarik perhatiannya selama ini memberikan pesan untuknya. Lelaki itu urung pergi, dia segera ke meja pojok tempat si wanita biasa menikmati kopi, menemukan dua lembar tisu dibawah cangkir Cafe Latte yang masih utuh, hangat.
Tisu itu bertuliskan pesan yang cukup panjang, pelan-pelan si lelaki menikmati kata-perkata dari pesan tisu untuknya:
“dear Theo, setelah kamu baca tulisan ini, itu berarti kamu sudah sedikit menunjukkan kemajuan, dan aku sangat bahagia menyadari hal itu. Hampir setahun dari masa sulitmu pasca kecelakaan, aku selalu menunggumu di kedai kopi ini, tempat di mana kamu dulu sering membuatku tertawa, mengajarkanku bagaimana caranya menikmati kopi murni tanpa gula dan di kedai kopi ini pula, kamu mengutarakan cinta serta melingkari jari manisku dengan ucapan “will you marry me?”
Maaf jika kamu merasa bingung atau masih belum siap mengembalikan seluruh memorimu yang hilang, aku pun berharap kamu tidak tergesa-gesa menelan kenyataan ini semua yang terasa amat sulit untuk dicerna dan diterima.
Setelah membaca surat ini aku ingin kamu habiskan Cafe Latte itu, aku rasa kopi campur susu murni cukup membantu dalam mengembalikan memorimu pelan-pelan. Setelah ini segeralah pulang, kamu harus habiskan obat terapimu, dan fokuslah pada dirimu dahulu jangan ragukan aku, esok jam 10.00 pagi aku akan kembali berada di meja ini, memesan satu kopi Gayo murni tanpa gula, dan aku akan sangat senang jika kamu mau datang, mungkin kali ini adalah giliranku mengajarkanmu betapa nikmatnya segelas kopi murni dibanding kopi yang terkontaminasi gula atau susu. Aku tunggu.
Your pieces of memories
Aprilliana
Si lelaki menerawang ke langit-langit kedai, tak ada lukisan atau ukiran apapun di atas sana namun pandangan kosongnya seakan tercengang pada mahakarya termasyhur di dunia, secangkir Cafe Latte disambar, dua helai tisu tercekik dalam genggaman yang gemetar.
1 note
·
View note
Text
Hilang

Sering aku mencela Tuhan atas keegoisanNya, mengirimkan kau hanya sebatas bayang, lalu menghilang di tengah keramaian, banyak pertanyaan kuajukan demi menanyakan keadilan, atau sekadar mencari sesuatu hal yang tidak terang. “mengapa?” , “bagaimana bisa?”
Suatu hari yang sibuk dan ramai, menjadi beberapa detik hambar, tiada angin, bahkan terik mentari seolah tertutupi; wajahmu dengan sorotan mata tak sengaja, menatap mataku yang terengah-engah memohon untuk tidak kau lepaskan dari pandangan. Walau mungkin kau tak ada niat menatapku, atau hanya saraf matamu yang keliru, tolong, sekali ini saja, berikan aku waktu setidaknya untuk benar-benar mengingat garis wajahmu, mata besar dengan binarnya itu, serta lengkungan bibir merah jambu; kau benar-benar telah membiusku.
Lalu hatiku tercekat, seraya menyalak tak karuan “cepat kejar!” serunya, dia bersikeras menyuruhku untuk mendekatimu, walau di sisi lain kakiku tetiba kaku, hal yang amat kusayangkan dari anggota tubuhku adalah otot motorik yang lemah, mereka tak kuasa menerima kau muncul secara serta-merta. Seolah mengibarkan bendera putih lalu serentak menyerah; aku kalah.
Punggung-punggung manusia, barisan betis yang menyala-nyala, pekikan Toyota dan Honda bersahutan tak ada yang mau mengalah. Di tengah-tengahnya ada aku yang tak berdaya. Sedang kau? Pelan-pelan dengan sedikit memaksa pandanganmu memudar, langkahmu bertolak menuju arah yang berlawanan, diiringi kibasan rambut lurusmu yang seakan memiliki lengan lalu berseru: “goodbye”. Kau hilang.
Hal-hal terakhir yang aku kenang adalah kekejaman yang nyata, mengapa harus diciptakan peristiwa yang ternyata tidak selamanya kita rasa, tidak semestinya kita punya. Kata mereka tidak ada sesuatu yang sia-sia, lantas untuk apa pergolakan pandang itu tercipta? Tidak ada yang tak sengaja dicipta, lantas rahasia apa di balik pertemuan yang singkat itu ada?
Waktu tetap berlalu tak peduli dengan apa yang aku alami, entah kau memihak pada waktu yang tak memiliki rasa cemburu atau kau memiliki rasa yang sama denganku; ingin sekali bersamamu.
Kemudian hari-hari berlalu, bersamaku yang berharap kembali bertemu.
0 notes