Text
Mimpi #9
Drama semester 4
Pada saat itu gue emang agak shock dan gak percaya kalo nama gue lolos. Entahlah ya. Tapi alhamdulillah-nya gue nggak sendiri karena teman kelas gue ada satu lagi yang lolos. Dan itu pun gue tau kalo gue lolos karena dikasih tau dia. Tiba-tiba nge-chat 'congrats' kirain apaan. Langsung nge-freeze, bengong, tapi juga sujud syukur hehehe.
Setelah menunggu beberapa bulan nggak ada info lagi, ternyata dimasukin ke grup. Setelah bingung-bingung akhirnya hubungin pihak kampus dan minta dikasih petunjuk gimana-gimana-nya. Ternyata hal yang membuat gue kesel banget saat itu, kampus ternyata cuma jadi jembatan perantara secara tertulis aja, jadi kayak ini kita punya nama-nama yang sudah lolos kita seleksi, selebihnya yang urus semuanya ya anak-anak itu sendiri. Kayak.. hadeeh. Mana harus banget berangkat offline ke Malaysia-nya.
Ternyata emang habis tau keterima ya dilepas sama kampus gitu aja tapi tetap harus berangkat, bingung kagak lu? Mana bayar sendiri kagak dibayarin kampus hadeh. Tapi, alhamdulillah-nya lagi yang lolos ke Univ yang sama waktu itu ada 4 orang, jadi kami ber-4 inilah yang saling kabar-kabar dan urus-urus bareng.
Drama banget, dari buat paspor mandiri, drama ban bocor hahaha, urus surat-suratnya mandiri juga, bolak-balik nemuin dosen, urus pembayaran yang rumitnya astaghfirullah sangat mem-bagongkan, mana masih jaman pandemi, susah cuy. Suruh bolak balik swab, entah hidung ini udah kebal disogok-sogok masa-masa itu.
Berada di fase down parah
Ada waktu kurang lebih ya sebulan-an buat urus-urus keberangkatan itu. Dan itu semester 4 kan masuknya. Nah serba bingung karena masih ikut kuliah disini pula. Tapi gue tetap mengikuti perkuliahan disini. Drama urus keberangkatan itu bener-bener bikin gue down banget, stress sampe break-out, sampe butuh healing banget, setiap hari nangis, kayak orang bingung, parah banget sih waktu itu. Dan disaat-saat gue down banget itu yang gue usahain banget adalah agar gue jangan sampe sakit aja.
Cuma kayak gara-gara urusan itu gue yang susah nangis ini saat itu bener-bener nangis tiap hari hahaha. Gue sampe ngerasa nggak bisa melewatinya. Gue gak bisa mendeskripsikan separah apa kondisi mental gue saat itu di sini karena gue bingung gimana menceritakannya. Pokoknya gitu lah, hampir gila hahaha. Karena emang fist experience kan, gue sama temen-temen sama-sama gak tau apa-apa wkwkwk.
Drama visa
Setelah satu per satu tahap dilewati, sampailah tahap-tahap akhir yaitu tentang visa. Sebelum urus visa, gue dan teman-teman kirim e-mail ke embassy (Kedubes Malay). Tapi kita ngirimnya beda-beda hari dan dikasih jadwal pun berbeda sama Kedubes-nya ini. Setelah kirim e-mail tunggu balasan e-mail-nya. Ada 2 cara, online dan offline. Kalau online bakal dapet visa online juga tapi pembayarannya harus pakai kartu kredit.
Satu hal yang mem-bagong-kan lagi, ketika gue masih ikut kelas perkuliahan di kampus. tiba-tiba ada notifikasi e-mail dari tuh Kedubes. Posisi jam 4 sore, gue masih mendengarkan dosen, sambil buka tuh e-mail sambil deg-deg-an dan gemeteran haha.
Ternyata dijadwalkan mendadak banget, suruh ke Kedubes jam 8 besok paginya. Padahal gue baru ngirim tuh e-mail kemarin tadi pagi banget. Perkiraan gue bakal dibales sama embassy se-pekan kemudian atau minimal banget 2 hari kemudian soalnya biasanya kan gitu. Tapi tiba-tiba seperti itu, jadinya DUAARR!!
Konsentrasi gue pecah banget, dosen ngomong pikiran gue udah kalang-kabut kemana-mana. Gimana caranya gue jam 4 sore di kampus terus perkuliahan baru selesai jam setengah 6 sore dan jam 8 pagi besok udah harus ke kantor Kedubes di Jakarta? Mana gue belum packing apapun, belum siapin apapun, bahkan dokumen dsb. Mana persyaratan ke Kedubes kudu punya surat keterangan negatif Covid-19 yang artinya gue harus test swab dulu.
*Bersambung dulu, muehe..
1 note
·
View note
Text
Mimpi #8
Menyesuaikan diri
Setelah masuk kuliah baik online maupun offline, tentu gue berusaha menyesuaikan diri dengan semua sistem yang dibentuk saat itu. Beradaptasi dengan matkul-matkulnya juga, kemudian lingkungannya. Alhamdulillah saat itu gue menemukan lingkungan yang baik, dosen-dosen yang baik, teman-teman yang baik.
Supportif (Semester awal)
Gue masuk ke kelas IPICOM, dan nggak semua temen kelas gue itu pindahan Ma'had Aly, banyak yang dari luar Ma'had Aly. Alhasil mereka jadi kesulitan beradaptasi dengan Bahasa Arab yang digunakan waktu semester 1. Jadi, entah waktu itu inisiatif siapa ya, sampai akhirnya kami membangun budaya belajar bareng. Karena banyak tugas berbahasa Arab-Inggris juga, jadi kalau nugas bareng-bareng walaupun itu tugas pribadi. Kami sering kumpul di beberapa tempat, janjian buat belajar bareng plus nugas.
Waktu itu gue juga ikutan beberapa kali. Kalau ada cowo-cowonya dan waktunya malem gue mikirnya panjang banget sampe sering gak ikut. Kalo waktunya siang dan banyak cewenya, atau yang ikut cewe semua mah gass aja. Nah, awal-awal itu gue janjian sama temen-temen yang kost'annya deket. Kami janjian setiap hari apa gitu belajar di Masjid pagi-pagi waktu duha itu. Sempat berjalan beberapa bulan sampai akhirnya ganti semester.
Pokoknya gue ngerasain semester 1 dan 2 tuh beratnya karena penyesuaian bahasa. Tapi teman-teman tetap supportif. Bahkan dulu sampai bikin akun Instagram khusus dakwah. Walaupun cuma sebentar doang tu aktifnya, setidaknya sudah berhasil mem-posting beberapa konten, wkwkw.
Semester 3, pemilihan konsentrasi
Kebersamaan lengkap sama teman-teman kelas yang masuk dari awal pun berkurang di semester 3. Semester 3 adalah pemilihan konsentrasi. Waktu itu ada 2 konsentrasi: komunikasi dan konseling.
Gue pribadi memilih komunikasi tanpa pikir panjang karena emang gue merasa cocok disitu. Kemudian dari kelas gue yang memilih konseling cuma 2 orang, maka mereka pindah ke reguler, tidak di IPICOM lagi. Sisanya ada yang pindah kampus, juga menikah lalu mengundurkan diri. Jadi, semakin sedikit-lah kami (IPICOM).
Gue sudah sangat enjoy berkuliah disini dan mulai mengabaikan impian-impian gue sebelumnya. Jadi fokus kuliah, fokus sama apa yang saat ini sedang gue jalani. Begitulah pemikiran gue sejak itu.
Student Exchange?
Semester 3 artinya persiapan untuk student exchange yang katanya program wajib. Maka saat itu gue mulai mempersiapkan saja buat test-test TOEFL dan sebagainya. Sampai akhirnya gue daftar exchange dan keterima di salah satu universitas di Malaysia. Entah kenapa gue bisa diterima, padahal gue cuma iseng-iseng (karena saat itu rencana gue mau exchange semester 5). Tapi teman-teman gue bilang "setidaknya coba dulu aja, daftar dulu aja walaupun nggak diterima ujung-ujungnya."
Akhirnya ya gue mencoba untuk mendaftar dan begitulah. Gak expect sama sekali padahal gue gak niat-niat amat. Pas interview pun gue 'ngang-ngong' alias gue gak tau mau ngomong apa, wkwkwk. Dan saat itulah drama ambis kembali dimulai.
*Bersambung...
0 notes
Text
Mimpi #7
Mengambil keputusan besar
Ya, karena saat itu gue udah nggak terlalu ambis lagi sama mimpi-mimpi gue sebelumnya, akhirnya gue mencoba untuk berpindah haluan ke plan yang lain. Sebenarnya Ma'had Aly itu punya program yang bekerjasama dengan kampus gue saat ini.
Kalau dari Ma'had Aly, bisa langsung masuk kuliah ke UMY jalur Ma'had ke jurusan KPI (program internasional, atau IPICOM) ketika posisi mustawa robi' disana. Jadi, mahasiswa Ma'had Aly punya privilege untuk ke UMY jalur Ma'had langsung. Dulu sebelum Covid-19 ada potongan beasiswa bagi mahasiswa Ma'had yang kuliah di UMY.
Tapi pas Covid-19, beasiswa tersebut dicabut karena kondisi-kondisi tertentu. Jadi angkatan 2020 ke atas sudah tidak lagi memiliki privilege itu. Mungkin hanya privilege dijamin keterima kali yah kalau sekarang.
Entahlah setiap angkatan ternyata memang berbeda-beda karena memang program jurusannya itu sendiri pun masih banyak revisi dari tahun ke tahun.
Setelah beberapa pertimbangan, gue pikir menarik juga kalau gue ambil program itu. Keburu dikejar-kejar omongan bokap yang nyuruh cepetan kuliah ambil yang sarjana. So, nggak ada salahnya gue nyoba daftar aja. Akhirnya gue memutuskan untuk mendaftar.
Sebenarnya gue masih kepikiran sama mimpi-mimpi gue yang sebelumnya, sampai-sampai gue mau daftar ke universitas namanya IOU (International Open University) karena masih sejalur sama mimpi gue saat itu. Dimana kampus itu kuliahnya internasional tapi online. Juga bisa ngambil jurusan yang relate sama Ma'had Aly. Sempat mengajukan ke ortu tapi kagak disetujuin. Walhasil fokus sama satu univ dulu aja.
Ini merupakan keputusan besar dalam hidup gue, karena ini untuk 4 tahun ke depan. Itu artinya 4 tahun ke depan gue harus menggeser mimpi-mimpi gue sebelumnya dan harus berpindah menyusun impian baru. Tentu dalam mengambil keputusan ini gue selalu ber-istikharah agar Allah selalu menuntun gue dan memberikan petunjuk terbaik-Nya.
Banting stir
Entah, mungkin memang ini yang terbaik buat gue untuk menahan dulu mimpi-mimpi gue saat itu dan berusaha berdamai, menerima, dan menjalani dengan sepenuh hati apa yang telah Allah jadikan buat gue. Gue akhirnya mulai masuk kuliah. Awal-awal online, kenalan sama teman-teman kampus lewat online, masa orientasi online.
Hingga akhirnya ada yang namanya sistem hybrid (online-offline), jadi ada yang masuk lewat daring ada yang tatap muka langsung ke kampus. Setelah ada info kuliah hybrid, gue memilih untuk ke kampus.
Semenjak kuliah ini, gue perlahan meninggalkan perkuliahan di Ma'had Aly karena waktunya selalu tabrakan sebab sudah ganti sistem (dulu nilai bisa di-konversi dan sekarang enggak). Jadi gue harus mengorbankan salah satunya. Akhirnya gue mengorbankan Ma'had Aly dan memutuskan untuk mengundurkan diri. Ya, mengundurkan diri sebagai thalibah ma'had pas di mustawa 4. Nggak sanggup mengejar matkulnya dan waktunya selalu tabrakan. Teman-teman gue yang juga dari Ma'had yang satu jurusan sama gue ini pun semuanya memutuskan hal yang sama. Kami bersama-sama mengundurkan diri.
Gue ngerasa banting stir setelah tau bahwa mayoritas matkul di IPICOM memakai full Bahasa Inggris, walaupun ada juga matkul-matkul yang full Arab. Gue yang udah lama nggak belajar dan terfokus selalu ke Bahasa Arab merasa agak culture shock dan harus ngulang belajar Bahasa Inggris dari awal.
So, rasanya kejar-kejaran. Tapi tetap harus diikuti dan berusaha enjoy dalam belajar, kan?
*Bersambung...
0 notes
Text
Mimpi #6
Beradaptasi dengan perkuliahan online
Mau nggak mau, suka nggak suka, inilah takdir. Takdir dimana gue lagi asik-asiknya kuliah di Ma'had Aly, tapi diputus secara offline dari kelas ketika Covid-19 melanda. So, kuliah tetap berjalan tapi online. Gue di rumah dengan sinyal seadanya. Waktu itu semua serba beradaptasi dan ada struggling yang semakin meningkat.
Bayangin aja bre, belajar Bahasa Arab yang materinya luar biasa itu dengan level setingkat adab dan balaghoh tapi secara online just from google meet and whatsapp? Are you kidding me, bre?
But, itulah yang terjadi. Itulah yang kita semua harus mulai adaptasi. Mendengarkan voice note para dosen, dikasih tugas ngerjainnya lewat Whatsapp, semua masih serba penyesuaian. And you know what? Libur yang dikira bakal cuma 2 pekan doang, akhirnya menjadi 2 tahun. Siapa sangka?
Posisi waktu itu di mustawa tsalist yang mana materinya udah mulai berat. Tapi alhamdulillah-nya dapat terlewati dengan lancar kuliah kurang lebih satu semester itu online. Alhamdulillah sampai lolos ke mustawa robi' (semester akhir di Ma'had Aly).
Ketika kenaikan mustawa robi' tersebut, gue dibuat galau lagi dan lagi karena habis ini mau lanjut kemana?
Mulai membuka hati mengikuti jalan-Nya saja
Rasanya waktu itu lagi nggak memungkinkan kondisinya untuk melanjutkan mimpi-mimpi gue sebelumnya. Gue sampai hilang semangat dan nggak selera buat belajar ataupun ambis lagi tentang mimpi-mimpi itu. Sebetulnya masih gue simpan sampai tahun berikutnya.
But, yakinkah mau nunggu gap-year lagi sampai tahun berikutnya? Are you sure?
Akhirnya bokap gue menyarankan untuk segera memutuskan cari kampus yang lulusnya bergelar sarjana. Pada saat itu, the biggest opportunity adalah kampus yang nempel sama Ma'had Aly.
Ya, kampus gue saat ini.
*Bersambung...
0 notes
Text
Mimpi #5
Cerita awal jadi thalibah Ma'had Aly
Yapp, pada akhirnya gue mulai menjalani kehidupan kampus life di Ma'had Aly. Hal yang belum gue mention disini, setelah berbagai drama pendaftaran kuliah dan cari tempat juga beberapa tahap istikharah, finally dapatlah anugerah untuk berkuliah di Ma'had Aly ini. Waktu itu, Jogja adalah tempat yang di-acc sama bokap. Oke dan kali ini gue manut, bismillah.
Gue berangkat test ke Jogja sendirian lagi. Ya, emang selalu sendirian kemana-mana, berjuang sendirian mulu wkwkwk. Tapi, gue gak pernah merasa sendiri juga sih, karena ada Allah. Asikk. Tapi emang bener kan. Gue tenang karena ya melibatkan Allah.
Gue berangkat naik bus lagi, ke Jogja, gue bener-bener nggak tau apa-apa. Sampai Jogja gue langsung turun dekat kampus dan cari hotel/penginapan (sama seperti yang gue lakukan di tempat-tempat sebelumnya ketika gue sendiri berangkat test).
Gue di Jogja sekitar 3 harian (entah 3 atau 5 gue nggak ingat persis berapa harinya). Namun, gue besoknya langsung test dan tu di Ma'had Aly. Bertemu dengan banyak teman-teman, banyak kenalan. Habis test, besoknya lagi langsung balik. Sebelumnya sempet nyari kost dulu online. Btw waktu itu ada sodara jauuh banget wkwk yang kuliah di UIN Jogja. Jadi, gue dibantuin pas cari tiket bus pulang.
After that, gue langsung balik ke Lampung dan nunggu pengumuman. Setelah itu beberapa pekan atau bulan (gue kurang ingat), gue buka pengumuman dan ke-terima. Gue persiapkanlah untuk berangkat merantau ke Jogja.
Pas berangkat kali itu dianterin sama orang tua, sekalian mau jenguk adek yang waktu itu sekolah di Solo. Ketika gue diantar kali ini, gue merasa bahwa memang gue diridhoi jika berkuliah disini (Jogja). Sembari nyari kost, dan akhirnya gue jalani hari-hari kuliah gue di Ma'had.
Lingkungan perkuliahan di Ma'had Aly itu positif banget, gue bersyukur banget alhamdulillah. Semua saling support, saling belajar dan ngajarin ke yang belum paham karena emang belajar Bahasa Arab itu struggling-nya lumayan luar biasa, cuy. Kebersamaannya selama disana juga terasa. Circle-nya tuh circle belajar banget. Gue ketemu banyak temen-temen yang baik-baik dan positif. Gue juga jadi cukup rajin belajar dan ambis waktu itu.
Semua berubah ketika Covid-19 menyerang.
Saat lagi menikmati hari-hari belajar di Ma'had Aly, datanglah kabar Covid-19 yang membuat semua kost kosong dari mahasiswa. Nggak ngerti lagi pokoknya horror banget keadaan waktu itu. Semua diliburkan, belajar jadi online. Gue pun balik kampung karena semua udah balik kampung dan gang-gang ditutup. Disitulah kisah pertama kali naik pesawat bagi gue. Gue naik taksi online ke bandara, dan naik pesawat sendirian. Sampailah gue ke rumah dan dikarantina. Sampe rumah langsung disemprotin disinfektan, semua barang-barang gue, dan gue bener-bener diisolasi. Wkwkwkkw.. Terus, belajar gue gimana? Kuliah gue gimana?
*Bersambung lagiee...
0 notes
Text
Mimpi #4
Mulai belajar ulang Bahasa Arab.
Selanjutnya, gue tetap meneruskan impian gue sebelumnya dengan menempuh jalur lain dan tetap berharap bisa meraih impian gue untuk kuliah ke luar negeri (khususnya timteng).
Gue belajar Bahasa Arab, lagi dan lagi, dari awal. Walaupun gue masuk langsung ke mustawa 2, yaitu nggak dari nol banget, tetapi gue tetap belajar seperti ngulang pelajaran di Pondok. It's okay, karena memang pas di Pondok, gue merasa belum maksimal belajarnya. Dari sinilah cara pandang gue mulai terbuka tentang Bahasa Arab. Bahwasanya belajar Bahasa Arab itu memang nggak ada batas waktu tertentu, dan memang untuk seumur hidup.
Ma'had Aly, adalah tempat gue belajar saat itu. Semester satu disana disebut mustawa awal, begitu pula seterusnya sampai semester empat saja. Kalau untuk orang yang belum pernah belajar Bahasa Arab, maka akan duduk di mustawa tamhidy (tingkatan awal banget yang belum pernah belajar Bahasa Arab).
Bertemu banyak orang yang sama-sama belajar, tetapi tujuan berbeda.
Gue bertemu banyak orang masuk sana untuk belajar Bahasa Arab dari daerah yang berbeda-beda, dengan tujuan yang berbeda-beda, usia yang berbeda-beda, dan impian yang berbeda-beda.
Ada yang tujuannya sama seperti gue, yaitu untuk melanjutkan ke kampus-kampus berbahasa Arab. Kemudian ada yang menjadikan sebagai batu loncatan untuk bisa kuliah di kampus lain langsung ke semester akhir, ada juga yang emang pengen belajar aja, ada juga yang belajar karena dia merasa bahwa dia adalah calon ibu yang akan mendidik anaknya maka harus bisa Bahasa Arab karena dengan itulah ia akan mendidik anaknya. Yang terakhir inilah yang membuat gue melting, boss.
Para mahasiswa/i pun berbeda-beda profesi. Dari yang lulus SMA, mahasiswa kampus lain yang 'nyambi', dosen, dokter, ibu rumah tangga, pengusaha, dan masih banyak lagi profesi lain yang membuat gue agak 'melongo' alias speechles dengan semangat mereka buat belajar Bahasa Arab sedikit demi sedikit. Kayak, keren banget, cuy. Dengan profesi setinggi tersebut (menurut gue) tapi tetap mau belajar Bahasa Arab. Please lah buat pemerintah normalisasikan belajar Bahasa Arab layaknya English, cukup dengan alasan karena Muslim, hehe. (lagi ngimpi).
By the way, di Ma'had Aly tersebut tidak ada ikhtilat atau campur baur antara lelaki dan perempuan. Ya, rasanya seperti di Ponpes hehe. Bedanya nggak nginap aja. Jadi, bisa nggak kenal lawan jenis kalau kuliah disana. Dosen-dosennya juga kalau untuk yang perempuan ya dosennya perempuan semua, begitu pula sebaliknya.
*Bersambung lagi ye..
0 notes
Text
Mimpi #3
Antara plan yang sedikit, atau memang bukanlah yang terbaik?
Sebelumnya, masalah impian ini gue sudah memiliki plan, baik itu plan A,B,C, dan D. Sayangnya, gue memang cuma merencanakan plan itu nggak banyak-banyak. Ya cuma sampai D. Yang ternyata Allah punya plan lain yang jauh dari apa yang pernah gue bayangkan sebelum-sebelumnya. Plan X, Y, atau Z mungkin ya. Gue tetap ikutin alurnya saja. Apapun yang menurut Allah terbaik, tentunya.
Setelah gue menghadapi kenyataan dimana gue nggak diterima di kampus-kampus impian gue, akhirnya gue berusaha belajar menerima sembari memperbaiki diri. Tau nggak sih, rasanya ditolak? Sakit, kan? Hahaha. Itulah yang gue rasakan. Gue galau, hampir putus asa, menangis jangan ditanya, rasanya fase down gue banget dah. Tapi gue memang sadar kalau belajar gue nggak se-sungguh-sungguh itu. Gue mulai memperbaiki diri dengan mulai belajar kembali. Gue mulai meluruskan hati gue buat fokus sama plan lain, yaitu menghafal al-Qur'an.
Tetap berjuang itu bukanlah jalan yang salah, bukan?
Gue tetep masih bermimpi untuk kuliah di kampus-kampus yang jadi pilihan gue sebelumnya. Gue pikir, mungkin bukan tahun ini kesempatan gue, tapi mungkin di tahun yang berbeda takdir tersebut dapat berpihak pada gue.
Saat itu, gue mulai galau. Tapi, gue tetap fokus untuk terus belajar. Terutama belajar Bahasa Arab. Disitulah Allah menunjukkan gue beberapa opsi tempat untuk belajar Bahasa Arab dengan kurikulum yang nggak jauh beda sama kampus-kampus yang gue impikan.
Ada beberapa kampus pilihan, yang mana setara D2 (masa belajar 2 tahun). Gue pikir, gue belajar dulu lah ya di kampus tersebut lalu tahun depan tetap mencoba lagi untuk memperjuangkan kampus impian gue sebelumnya.
*Bersambung...
0 notes
Text
Mimpi #2
Pengen jadi musisi.
Waktu SD gue punya impian pengen jadi musisi. Karena saat itu gue suka banget sama musik, dan kayanya bakat gue emang disana. Dari SD gue udah nyobain nge-band sama temen-temen gue. Kata ibu gue, karena nggak jelas namanya jadi band morat-marit (ben morat-marit a.k.a biar acak-acakan) hahaha. Ternyata bener dah tu, morat-marit beneran.
Gue ngefans banget lah pada saat itu sama T.R.I.A.D, dan band-band lainnya. Genre rock, pop, jazz, bahkan semua genre gua dengerin. Gue suka banget nyanyi, karena dari kecil emang suka nyanyi. Kata ibu gue, dulu pas masih kecil gue hafal banyak lagu anak-anak gitu. Setiap mau berangkat sekolah selalu dengerin radio yang isinya lagu anak-anak (pas masih TK), sampe SD berlalu gue makin suka lagu band gitu. Sesuka itu, gue sering nyanyi, kebetulan lingkungan mendukung. Semua suka musik. Orang tua gue juga suka, bahkan dulu sering karaokean tuh ayah dan ibu gue. Ayah gue pun belikan gue alat-alat musik, mulai dari piano, gitar, mic, sampe disediakan satu ruangan karaoke di rumah yang isinya berbagai kaset karaoke, sound-system, alat-alat musik, dan perlengkapan tempur lainnya.
Gue juga punya teman-teman yang satu minat, bahkan tetangga gue udah jadi bestie sekaligus guru gue buat main gitar dan nyanyi. Karena dia memang anak band yang udah lumayan serius dan sering tampil bahkan udah sempet produksi lagu rekaman. Di samping itu, gue juga suka bikin lagu sendiri, dengan nada yang diciptakan sendiri. Kalo gue seriusin itu, gue yakin banget kalau sekarang ini gue udah jadi musisi. Wkwkwk se-yakin itu, kalau kehidupan gue saat itu nggak berubah. Orangtua gue mendukung, lingkungan mendukung, bahkan dulu sempet punya usaha 'orgen' yang tiap malam minggu latihan di rumah dan suaranya sampe se-kampung denger kali ya. Wkwkwk. Jadi, nggak heran kalau impian gue pengen jadi musisi, kan? Dari latar belakang yang seperti itu.
Kenapa musnah?
Singkat cerita pas masuk SMP, gue memutuskan untuk berhijab. Entah gue nggak tau kenapa kaya tiba-tiba aja gitu pengen mantap dalam berhijab (dapet hidayah kali ya wkwk). Walaupun hijabnya belum syar'i, tapi gue yakin banget buat memutuskan berhijab seumur hidup dari situ. Sebelum gue tau kalau hijab itu wajib (saat itu gue nggak tau). Orang tua gue ya netral aja. Gue mau berhijab atau enggak ya silahkan. Tapi, setiap keputusan gue didukung, alhamdulillah.
ROHIS ternyata mengubah impian gue.
Sekitar kelas 8 gue diajak sama bestie gue saat itu yang mana dia anak Rohis (dia ketuanya btw). Ya gue sih mau-mau aja. Segala sesuatu yang menurut gue positif, gue selalu mau oke gass. Disitu gue ketemu sama kakak-kakak mahasiswa/i yang maa syaa Allah, adem banget dah dilihatnya. Kami belajar Islam dari organisasi ini, sedikit demi sedikit. Sampe akhirnya gue tau kalo hijab itu hukumnya wajib. Disitu gue makin mantap dong untuk berhijab. Gue belajar juga dari kakak-kakak itu gimana cara pakai hijab yang benar (syar'i). Sedikit demi sedikit gue belajar Islam, akhirnya impian gue berubah. Gue gak mau lagi jadi musisi. Gue pengen jadi penghafal al-Qur'an aja.
Karena ambisi bukan lagi tentang dunia, dan saat itu gue ngerasa banyak dosa. Se-simpel gue bermimpi setelah lulus SMP gue masuk pondok pesantren, lalu hafal 30 juz, bisa Bahasa Arab, dan kuliah di Madinah. Se-pendek itu pemikiran gue saat itu hahaa.
Kenapa Madinah? Karena biar deket sama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Udah mulai sangat religius, bukan?
Lalu bagaimana orang tua gue? Mereka pun mendukung apapun keputusan gue. Entah karena gue yang keras kepala atau mereka yang memang selalu support gue saat itu, ya hahaha.
Pesantren juga berperan mengubah keputusan gue.
Gue memutuskan lanjut SMA di Pondok Pesantren. Rasanya gue dapet angin segar, dari sanalah gue belajar Islam more and more. Gue seneng banget, gue belajar hijrah. Gue kenal orang-orang baru yang positif. Dari sinilah gue dapet informasi lain seputar pendidikan yang itu pun mengubah impian gue dan keputusan gue.
Ketika tau fakta bahwa di Madinah sulit bagi perempuan yang nggak ada mahrom, maka gue menjadikan Mesir (Al-Azhar) sebagai opsi lain. Kali ini, ketika gue menunjukkan ke orang tua gue tentang ini, mereka mulai khawatir rasanya, mulai tidak menunjukkan support-nya. Hehehe. Mereka memberatkan gue, tapi tetap mengizinkan gue untuk mencoba, sampai akhirnya gue ikut tes daftar ke Al-Azhar, berangkat sendiri ke Jakarta, naik bus sendiri, cari penginapan sendiri, sampai pulang sendiri.
Beberapa bulan sebelumnya, gue juga ikut tes di LIPIA, bareng temen-temen gue. Karena LIPIA juga salah satu opsi gue kalau nggak bisa ke luar negeri. Akhirnya, gue nggak keterima baik di LIPIA maupun Al-Azhar. Gue pun daftar ke Al-Ahghaff (Yaman), dan pas mau berangkat tes langsung ditolak sama ayah gue. Hehehe. Disinilah gue ngerasa bener-bener gak disupport lagi.
*Bersambung...
0 notes
Text
Mimpi? #1
Tentang mimpi (impian),
Gue pernah punya impian ini dan itu. Namun, pada kenyataannya nggak semua impian bisa mulus terwujud tanpa hambatan. Bahkan nggak jarang loh kalau impian itu yaudah cuma lewat doang.
Ketika impian itu nggak terwujud pada kenyataannya, lantas apakah salah untuk kita bermimpi? Nggak juga.
Punya impian itu harus banget. Karena kalau nggak punya, hidup jadi nggak ada seleranya. Mau ngelakuin ini dan itu bingung wong nggak punya tujuan.
Jadi harus gimana? Ya tetap bermimpi, ikhtiar semaksimalnya, kalau udah serahkan sama Yang Punya Segalanya. Simpel kan? Teorinya ya simpel tapi praktiknya? Awowkwowk.
Ada satu impian yang patah, sambung lagi dengan yang lain.
*bersambung..
0 notes
Text
Cerita Ramadhan Masa Kuliah ^,^
Alhamdulillah, di tahun 2024 ini gue masih diberi kesempatan sama Allah untuk bertemu bulan yang mulia ini. Bulan Ramadhan.
Sebelum Ramadhan, target gua adalah ujian sempro. Alhamdulillah dapat berjalan dengan lancar, tentunya atas pertolongan Allah. Setelah itu, masuklah ke bulan yang mulia ini, Ramadhan :)
Ramadhan awal di Jogja
Sedikit cerita, semenjak di Jogja, gue menjalani Ramadhan dengan berbeda pada setiap tahunnya. Gue mulai tinggal di Jogja tuh tahun 2019 sekitar Agustus-September. Masih di Ma'had Aly gitu lah ya. Baru juga 2 semester (waktu itu mustawa 2 dan 3) kemudian di 2020 Covid-19 melanda. Gue pulkam, dan menjalani Ramadhan di rumah. Setelah itu, mulai ke Jogja lagi pas Covid-19 udah mereda. Sekitar setahunan, pada 2020 akhir, yang mana gue udah pindah kuliah di UMY. Kalo gak salah sekitar September juga. Gue ke Jogja dan beradaptasi lagi sama lingkungan baru. Karena lingkungan kuliah gue saat ini berbeda dengan sebelumnya. Awal kuliah, dari masa orientasi, gue dan angkatan gue menjalani online. Saat itu dunia benar-benar beradaptasi sama dunia pendidikan yang serba online itu. Yaudah lah ya, kemudian gue menemui Ramadhan kembali pada tahun 2021.
Pada saat itu, kira-kira gue semester 2-an lah. Di Ramadhan inilah viralnya kampus gue sama takjil drive-thru-nya. Awalnya, gue males kan ikutan karena rasanya crowded banget pada saat itu, sampai antriannya ke pemukiman warga, hehe. Gue kan males ya sama sesuatu yang antriannya lama gitu memakan banyak waktu. Ya gue menghabiskan awal Ramadhan itu dengan beli aja takjil atau masak. Se-simpel itu. Gue juga sholat tarawih sendirian di kost. Tapi, saat akhir Ramadhan gue mulai ikutan tuh antri takjil di kampus karena udah mulai sepi (sebagian mahasiswa udah pada pulkam), juga nyobain tarawih di masjid kampus. Gue juga rasanya gak lama-lama, sih Ramadhan di Jogja pada saat itu. Gue balik kampung aja setelah itu.
Ramadhan di luar negeri
Kemudian, gue menemukan Ramadhan lagi di tahun 2022. Gue gak expect bahwa Ramadhan gue tahun itu bakal berjalan dimana? Yup di luar negeri! Gue ke negara tetangga, Malaysia. Dengan segala drama yang gue alamin di semester itu, alhamdulillah Allah punya rencana yang gak gue duga. Gue ikut student exchange yang mana itu kewajiban prodi, alias tuntutan. Saat itu, Covid-19 udah mulai mereda. Dari yang awalnya lock-down, pandemi sampai endemi. Saat itu gue berangkat masih lock-down, dengan persyaratan ketat segala macamnya. Sehari setelah gue sampai Malaysia, mereka mengumumkan resmi endemi. Sekitar tiga hari setelah gue sampai kampus di Pahang, masuklah bulan Ramadhan. Gue awali perjalanan satu semester disana dengan Ramadhan. Selama Ramadhan disana, tentu gue dan temen-temen excited banget. Gue menjalani sahur dengan makanan instan, juga makanan yang disediakan di kantin kampus yang letaknya dekat dorm tempat gue tinggal, karena untuk survive disanaa waktu awal-awal memang agak membingungkan. Huehe..
Untuk buka puasa pun begitu. Gue dan temen-temen membeli makanan juga takjilan di kantin kampus. Beberapa kali gue dan temen-temen diajakin bukber keluar sama para dosen atau kating yang ada disana. Bahkan dikirimin makanan juga. Selain itu, kami juga rutin antri takjil di masjid kampus karena baru tau pas Ramadhan udah jalan beberapa hari. So, dari situ kami sering war takjil dengan antrian panjang, sampai antrian pendek ketika para mahasiswa udah pulkam. Sistemnya mirip antri makan di pondok pesantren, kami bawa wadah makan dan wadah minum sendiri-sendiri, kemudian dibagikan sama panitianya. Mana takjilnya enak-enak pula, walaupun beda negara hehe.
Biasanya setelah ambil takjil, gue dan temen-temen balik ke dorm untuk buka bareng dan salat Magrib. Lalu lanjut tarawih di masjid kampus. Biasanya kalau mau pulang tarawih ada snack-snack yang disediakan juga sama masjid. Duh, Ramadhan saat itu memori indah lah bagi gue. Mana masjid kampusnya juga nyaman, jadi suka banget. Akhir Ramadhan udah banyak student yang pulang kampung, jadi sepi. Waktu itu, di dorm tempat gue tinggal udah sepi bangeet tinggal sisa beberapa orang aja yang sampai idul fitri kami semua sholat di masjid kampus dan gak sampe 1 shaff, soalnya cuma beberapa butir manusia. Huehee.
Jadi panitia Ramadhan kampus.
And then, go to next Ramadhan, in 2023. Pengalaman tahun ini beda lagi dah. Gue daftar jadi panitia Ramadhan UMY (RUMY), dan gue keterima, alhamdulillah. Jadi, dari sebelum Ramadhan itu sudah menyiapkan dari berbagai rapat, pembagian tugas panitia, sampai menjalani Ramadhan itu sendiri.
Nah, tugas gue dan tim waktu itu adalah mengundang atau menghubungi dan mengonfirmasi para asatidz untuk mengisi kajian yang ada di kampus. Tugas bagi seluruh panitia yaitu membagi takjil gratis ke para mahasiswa. Takjilnya sudah disediakan dari Boga, kami hanya membagikannya saja. Ada yang di bagian drive-thru, juga di masjid (buat yang jalan kaki).
Kami tinggal di masjid kampus. Disediakan kamar di sana, yang terpisah dari ikhwan. Kalo nggak salah seinget gue, kami ada 60 orang yang mana akhowat 30, dan ikhwan 30. Berasa i'tikaf gitu dah. Sahur juga sudah disediakan dari Boga. Menurut gue, ini pengalaman yang keren bisa berpartisipasi di sini. Ketemu temen-temen yang anak maskam banget, beda-beda fakultas, sampe orang-orang yang gue gak nyangka ternyata se-daerah sama gue. Hehe.
Pengalaman saat itu di memori gue juga positif banget. Sisi ekstrovert gue keluar dah pas Ramadhan itu. Karena kan dari sahur ke sahur ketemu banyak orang mulu. Mungkin yang lebih kerasa itu capeknya, karena kuliah masih terus berjalan juga. Tapi capeknya itu senang rasanya. Minusnya, gue gak bisa kabur-kaburan, ntar dicariin. Mau kemanapun harus izin, ya karena punya tanggung jawab. Alhamdulillahnya, masih bisa izin-izin buat bukber kalo lagi senggang gitu.
Gue mudik mepet lebaran saat itu. Tapi kerennya, dianterin sama temen-temen panitia. Baru kali itu gue pulkam dianterin rame orang, biasanya mah dianterin ojol aja wkwk. Kali ini gue gak langsung pulkam ke Lampung, karena tiket bus udah habis saat itu. Gue memutuskan ke Purbalingga dulu, tempat si Ela biar bisa pulang bareng dengan bus dari sana yang masih tersedia.
Ramadhan keliling Masjid Jogja
Next, cerita Ramadhan 2024. Setiap Ramadhan emang punya cerita yang berbeda. Namanya juga ganti tahun pasti ganti cerita. Ramadhan tahun 2024 ini adalah dimana gue membalaskan rasa keinginan gue yang belum tercapai selama Ramadhan di Jogja, yaitu keliling masjid!
So, dari dulu temen-temen gue bilang kalo kita itu bisa menghemat pengeluaran makan selama Ramadhan, alias dapet makan gratis terus selama sebulan full. Tipsnya, dateng aja ke masjid-masjid. Awalnya, gue kira ya masjid-masjid tertentu aja, seperti masjid-masjid besar. Ternyata tidaak.
Dari awal Ramadhan, beberapa temen gue udah ngajakin buat hunting masjid. Dan gue iyakan tawaran menarik itu. Pas pertama puasa, gue sahur seperti biasa yang mana gue kalo sahur ya masak sendiri di kost, atau cukup makan buah or roti aja. Bahkan selama sahur di kost kemarin gue gak ada makan nasi. Nah, sorenya kalau buka puasa itulah saat hunting.
Masa Ramadhan ini adalah masa gue skripsian. Gue juga halaqoh tahfidz di salah satu rumah tahfizh. Jadi, kegiatan gue pasca sahur adalah muroja'ah, beres-beres, siap-siap, halaqoh, ke kampus sampe sore, pulang ke kost mandi sore, pergi ikut kajian ke berbagai masjid (tiap hari ganti-ganti masjid), sampai tarawih di masjid dan pulang malam sekitar jam 21-22 gitu dah. Capek, tapi seru dan senang. Gue di kost cuma istirahat aja dah. Dan dari kurang lebih sebulan sebelum Ramadhan ini gue sudah membangun habits mandi sebelum subuh rutin. Alhamdulillah gak ada yang bolong sampe gue pulkam.
Tiap hari gue menjalani aktivitas yang cenderung sama polanya, tapi beda-beda ceritanya. Gue tiap hari ketemu orang yang berbeda, sama temen yang berbeda alias gonta-ganti, ke masjid dan tempat-tempat berbeda, yang semua punya kesan berbeda. Tetapi, amazing-nya itu gue kagum banget sama masjid-masjid di Jogja, yang mana gue belum pernah menemukan vibes yang se-antusias ini untuk Ramadhan. Gue sampe heran banget 'kok bisa?'. Dari masjid besar di pusat kota sampai masjid kecil di desa-desa, semua antusias. Setiap sore menjelang Magrib selalu ada pengajian di setiap masjid, juga takjil gratis yang disediakan untuk siapapun yang datang. Gue beneran keliling tuh (pernah satu hari di sore hari gue keliling melihat banyak masjid, dan semuanya aktif! Gak ada satupun masjid yang gak mengadakan pengajian). Ini keren banget menurut gue.
Gue emang kurang lebih mau 5 tahun di Jogja, dan baru ini gue merasakan hal yang menyenangkan ini saat mengikuti pola Ramadhan di sini. Gue gak pernah beli makan, cuy! Gue pun merasakan menu-menu yang berbeda dari setiap masjid. Bahkan gue sama temen-temen punya list masjid-masjid yang mau kita kunjungi. Ada masjid besar di perkotaan, juga masjid kecil di pedesaan. Gue juga ikut berbagai kajian, tarawih di masjid yang mana dengan format tarawih 4-4-3, juga 2-2-2-2-3, dengan imam-imam yang Maa shaa Allah bacaannya. Rata-rata kalo masjid besar atau di perkotaan itu imamnya muda, dan masjid kecil atau di pedesaan itu imamnya bapak-bapak tua (dengan ceramah yang full bahasa Jawa, yang gue kagak ngerti) hehe. Gue sama temen-temen cenderung cari masjid yang adem biar nyaman salatnya, hehe.
Gue ngerasa semangat banget di awal Ramadhan ini, karena setiap gue keluar, pergi ke masjid-masjid, ada banyak pelajaran dan perenungan yang gue dapet, pun banyak orang yang gue temui. Beberapa temen gue jadi panitia Ramadhan di masjid-masjid itu. Gue senang juga ketika datang ke masjid, bukan hanya semangat, tetapi ada kecenderungan untuk selalu mengisi kotak infaq, yang mana gue gak bakal nemuin kalo mendekam di kost'an aja. Hehehe. Gue juga senang bisa tilawah lebih fokus ketika semangat gue meningkat karena di masjid banyak orang yang berlomba-lomba mengumpulkan pundi-pundi amal. Gue jatuh cinta banget pokoknya.
Sayangnya, gue pas dapet haid jadi gak bisa ikutan lagi. Singkat dari itu gue langsung pulkam. Kurang lebihnya gue menjalani 15 hari Ramadhan di Jogja tahun ini, dengan total 8 Masjid berbeda yang dikunjungi. Selebihnya gue pulkam ke Lampung. Kali ini, gue pulkam dianterin sama kedua temen gue, Rina dan Nadia. Dibawain barang-barang gue sama mereka, bahkan dibawain bekal sama Rina, huhuu luvvv bangett.
Sedihnya, semangat gue menurun pas udah balik ke Rumah. Ya karena gak ketemu banyak orang yang antusias lagi. Rasanya langsung kaya beda vibes gitu, beda dunia, wkwkw. Tapi setidaknya, gue bisa berusaha memaksimalkan birrul-walidain dan family-time bersama keluarga. Gue juga sempet ketemu sama temen-temen lama, bukber kecil-kecilan, dan yaah semua dibawa happy aja.
Cerita ini adalah cerita gue secara garis besar aja, adapun ha-hal detilnya gak bisa gue spill semua karena gak muat, cuy!
Alhamdulillah 'ala kulli haal :)
1 note
·
View note
Text
Teman?
Sosok ‘teman’ yang benar tulus, atau sekedar formalitas bahkan hanya ingin memanfaatkan saja itu memang terasa. Dari hadirnya, auranya, dan sebagainya.
Jikalau memang dia tulus, tak peduli apapun yang terjadi padamu ia akan tetap membantumu, membuatmu tersenyum, tak ingin merepotkanmu. Hadirnya akan terasa ringan untukmu bahkan segelintir masalahmu dapat dilalui jika bersamanya.
Namun, jika tidak, maka hadirnya akan terasa berat bagimu. Membuatmu merasa bersalah, ragu, membawa aura yang negatif, bahkan menjadi toxic.
Ya, terkadang kita memang tak bisa menghindar dari orang-orang yang hadirnya memang menjadi ujian. Semua adalah guru. Teman yang baik akan mengajari kebaikan, dan sebaliknya teman yang buruk akan mengajarimu kesabaran bahkan kedewasaan.
Aku? Aku belum se-PD itu bisa menjadi teman terbaik bagi setiap teman yang hadir dalam kehidupanku, namun aku berusaha. Allah yang menilai segala upaya, juga segala ketulusan dalam hati.
Dimanfaatkan? Sepertinya tidak. Menjadi bermanfaat justru adalah kemuliaan. Semua biar Allah yang membalas. Terkadang memang kita mendapatkan banyak kepahitan dalam pertemanan, namun tak apa. Itulah cara untuk mendewasakan hati, dan berlatih dalam keikhlasan.
Yogyakarta, 7 Maret 2024
1 note
·
View note
Text
Mengingat Kebaikan?
Sangat tidak nyaman di hati, bila diri mengingat kebaikan yang telah dilakukan kepada orang lain. Ingin sekali meminta bahwa agar ingatan tersebut dihapuskan. Supaya lupa setelah berbuat kebaikan. Biarlah Allah yang menilai. Dia Dzat yang mustahil lupa.
Demi kebersihan hati yang harus dijaga. Semoga Allah buat lupa kebaikan yang dilakukan dan semoga yang diingat adalah dosa, agar serius dalam bertaubat.
Kebaikan diri sendiri itu amat baik untuk dilupakan. Sementara itu, kebaikan orang lain amat baik untuk diingat.
Lakukanlah kebaikan karena memang ingin melakukannya. Bukan karena mengharap apapun. Lillah, lillah akan berbuah manis. Toh, yang menuntun dalam kebaikan juga karena rahmat-Nya, kan? Sebagai hamba, tugasnya menjalaninya, menjalani amanah kehidupan.
“Ya Allah, buatlah kami lupa atas kebaikan yang penah kami lakukan, namun buatlah catatannya seperti tabungan yang akan kami panen suatu hari nanti dengan penuh kebahagiaan” ~aamiin
#sebuahrenungan
1 note
·
View note
Text
Maaf ya Allah, aku terlalu lalai.
Ada banyak hal yang aku lewati, banyak pula yang lupa ku syukuri. Ada banyak pula distraksi yang membuat aku lalai dari apa yang seharusnya kulewati.
0 notes
Text
Cerita tentang Aku dan Pena
Cie cie.. dari judulnya agak-agak dipaksa estetik gitu ya.
Aslinya, ini cerita gue di akhir tahun 2019 yang berhubungan tentang 'kepenulisan', alias sedikit perjalanan gue lah ya, tentang dunia tulis menulis.
Ya, aslinya gue memang suka menulis. Apapun itu. Dari puisi sampai diary. Hehe, cuma lebih jago nulis diary sih kayaknya. Kalau menulis tentang penelitian or skripsi kayaknya gue mau mundur dulu pelan-pelan deh. Hehehe..
Sebenarnya, setiap orang kan punya minat yang berbeda. Orang yang sama-sama suka membaca belum tentu membaca buku yang sama. Begitulah orang yang suka menulis. Ada yang suka menulis cerita fiksi, ada juga yang suka menulis kisah nyata, seperti gue ini.
Di balik foto ini, ada peristiwa berkesan. Makanya kenapa gue unggah cerita ini di sini. Foto ini merupakan salah satunya foto yang gue punya bersama Ustadzah Leha.
Sekitar akhir bulan Desember 2019, Ustadzah Leha menawari gue tiket acara seminar ini. Berhubung dia saat itu menjadi panitia, maka dia menawari gue tiket acara ini yang lumayan mahal (kayaknya gue nggak bakal beli saat itu).
Kenapa Ustadzah Leha menawari gue tiket?
Ada cerita sebelumnya, sewaktu gue pengabdian di Al-Muhsin. Kami pernah satu kamar (di kamar ustadzah). Beliau adalah kakak kelas gue 3 tahun di Al- Muhsin. Seingat gue, kami pernah sharing-sharing seputar kepenulisan, karena kami memiliki minat yang sama di sana. Gue memang suka membaca juga menulis (entah nulis apa pokoknya nulis aja), begitu pun Ustadzah Leha. Sebetulnya, ada satu lagi, yakni Ustadzah Mimi (Mia). Namun tidak ada di foto ini. Begitulah sekilas cerita kedekatan gue dengan Ustadzah Leha saat itu.
Posisi ketika momen ini terjadi, gue sudah berada di Jogja. Gue sudah berkuliah 1 semester di Ma'had. Tepatnya akhir semester 1. Saat Ustadzah Leha menawari gue tiket seminar ini, gue meminta waktu dulu untuk menerimanya. Karena acaranya di Bandung, jadi gue meminta izin dulu kepada orang tua. Akhirnya orang tua gue membolehkan. Alhamdulillah. Gue langsung pesan tiket kereta untuk ke Bandung.
Di sisi lain, teman gue saat itu (Ela) mengabari bahwa ingin berlibur di Jogja. Ia ingin pergi menginap di kost gue. Akhirnya gue 'iyakan' saja. Namun gue bilang kalau gue harus ke Bandung sekitar 2 hari.
(Sebenernya ini galau banget gaes, karena si Ela main tapi gue tinggal pergi, wkwkwk)
Sebelum hari itu tiba, Ela sampailah di Jogja. Dia istirahat di kost gue. Baru deh, keesokan harinya gue yang pergi. (Maaf ya, Ela)
Gue pergi sendiri naik kereta ke Bandung. Sampai Bandung, gue dijemput sama Budhe yang saat itu tinggal di sana, karena budhe kerja di Bandung. Gue pun menginap di kostnya semalam.
Setelah itu, baru deh esok harinya gue pergi ke gedung tempat seminar ini (Graha Pos). Sampai sana, gue bertemu Ustadzah Leha dengan temannya. Kami sempat berfoto bersama.
Gue sangat menikmati acara seminar tersebut. Para penulis dan calon-calon penulis se-Indonesia kumpul di satu gedung. Senang sekali, walaupun gue belum jadi apa-apa. Baru mau mengumpulkan niat, baru membentuk cita-cita menjadi penulis, hehehe.
Para pengisinya merupakan penulis-penulis hebat Nasional, seperti Tendi Murti, Asma Nadia, dan lainnya. Di sana juga ada stand-stand bazar buku dan sebagainya.
Sepanjang seminar, gue mencatat ilmu yang saat itu disampaikan para pembicara. Yang paling gue ingat, ialah kata-kata yang disampaikan Bunda Asma, "Tiada karya tulis yang sempurna, karena karya tulis yang sempurna hanyalah Al-Qur'an". Betul sekali, bahwa wajar seorang penulis melakukan kesalahan, atau bahkan banyak kekurangan dalam karyanya karena kita manusia.
Kemudian perkataan bahwa "Para penulis adalah mujahid-mujahid pena". Hal itu sangat memotivasi gue. Apalagi ketika disuruh membayangkan bahwa nama-nama kita ada di rak-rak buku best seller.
By the way, gue memang sudah suka banget dengan karya-karya sosok Bunda Asma Nadia. Dari SMP, gue membaca buku-bukunya, hingga mendengar kisah suksesnya menjadi seorang penulis. Bahkan karya-karya beliau banyak yang di-film-kan. Sebenarnya di momen ini, gue sempat berfoto dengan beliau, namun foto itu entah dimana. Hehe.
Setelah acara selesai, gue dan Ustadzah Leha berfoto. Juga bersama temannya yang gue udah nggak ingat lagi siapa namanya.

Setelah itu kami ke luar pergi makan bakso, lalu jalan-jalan di alun-alun Bandung, kemudian pulang. Ustadzah Leha dijemput temannya dan ingin menginap di sana. Sementara gue langsung pesan tiket kembali ke Jogja diantar oleh Budhe. Lucu sekali, ya. Ustadzah Leha datang dari Lampung, gue dari Jogja, lalu kami bertemu di Bandung setelah sekian lamanya tak bertemu.
Sesampai kembali di kost, gue menemukan Ela habis makan Mie. Yaa Allah.. kasiannya teman gue itu. Hehe.
2 notes
·
View notes
Text
Kisah Abstrak Bertiga
Libur telah tiba,
Iya, aku yang liburan.
Siang itu, rasanya senang sekali. Kami bertiga (Aku, Mar'ah dan Riska) telah janjian untuk liburan ke rumah Riska. Jarak tempat tinggal aku dan Mar'ah hanya sekitar 20 menitan menggunakan kendaraan. Namun, kalau ke rumah Riska, itu sangat jauh. Sekitar 4 sampai 5 jam naik bus.
Saat itu, aku dan Mar'ah sudah bersiap-siap. Sebelumnya, aku menunggu Mar'ah selesai kuliah karena aku libur sedangkan dia tidak. Kami telah merencanakan hal ini tentunya sejak lama. Tiba di hari Jum'at, dimana weekend tiba sehingga aku bisa mengajak Mar'ah, maka kami langsung eksekusi untuk itu. Kami tentu ingin menginap tempat Riska. Rumah Riska dekat dengan pantai, jadi kami bisa liburan ke pantai.
Kami berdua naik bus pagi-pagi. Sempat ketemu dengan nenek-nenek yang abstrak, abisnya neneknya gak bisa bahasa Indo. Please banget. Neneknya kayak ngomong gitu tapi kami berdua sama sekali gak ada yang paham. Soalnya neneknya ngomong bahasa Lampung dialek O, ga paham sama sekali kami. 'Ngang-ngong', itulah kami saat itu.
Kami enjoy naik bus, tertidur, bangun lagi, hingga sampailah di Kota Agung. Setelah lamanya perjalanan, kami menunggu Riska di pasar Kota Agung. Dia muncul membawa motor maticnya saat itu. Akhirnya, kami bonceng tiga. Riska depan, Mar'ah tengah, dan Aku belakang. Aku jadi teringat ketika main tempat Cindy. Bonceng tinga seperti itu juga sambil histeris astaghfirullah (kalau nemu fotonya, nanti ceritanya ku tulis juga)
Setelah sampai di rumah Riska, kami diajak makan tentunya. Maa syaa Allah, memang enak sekali main ke tempat Riska. Kami dihidangkan seafood. Ada kepiting besar, ikan, dan segala macamnya. Tak lupa, buah durian selalu menjadi favorit ketika main ke sana. Hehehe.
Kami bercerita bersama, main, dan segala macam aktivitas per-bestie-an itu kami lakukan hingga tidur. Tak lupa juga kami selalu video call bersama teman lain yang tak ikut (buat manas-manasin dong).
Oh iya, ketika pagi tiba, itulah yang dinanti. Kami jalan di pagi hari ba'da Subuh, menyusuri jalan-jalan Kota Agung, sampai taman kota, sampai ke pantai. Seperti biasa, tak lupa kami berfoto ria.
By the way, foto di atas ini di taman pantai. Ada banyak foto tentunya, namanya juga ciwi-ciwi. Setelah menikmati sunrise di pantai, kami kembali ke rumah Riska, lalu sarapan. Hehe, enak amat jadi tamu.
Setelah itu, kami merencanakan main lagi. Kami main ke salah satu tempat wisata, yang mana untuk ke sana, kami bertiga naik mobil angkot. Aku tak ingat angkotnya warna apa. Hehe
Setelah sampai, kami main lagi, jajan, dan foto-foto. Tempatnya seperti bukit gitu, naik-naik. Sampai akhirnya kami 'capek', lalu kelaparan. Kami ke luar, lalu jalan beli makan. Setelah lama kemudian, kami kembali lagi ke tempat Riska.
Singkat cerita sampai esok paginya. Waktunya pulang pun tiba. Aku dan Mar'ah pamit sama orangtuanya Riska. Alangkah baik hatinya, kami dibawakan buah durian. Asli, rasanya tuh, wkwkwk..
Senang dong, pulang bawa oleh-oleh. Kami juga dicarikan bus untuk pulang. Akhirnya naik bus. Alhamdulillah, sesampai di dalam bus kai mulai cari tempat duduk. Namun di sinilah hal pahit terjadi.
Mar'ah kehilangan hp-nya. Ya, ada maling di dalam bus. Maling itu langsung kabur tanpa kami sadari ia telah membawa hp Mar'ah. Hp yang berisi foto-foto kami tadi.
Akhirnya, setelah kami sadari, kami pun turun dari bus. Tidak ada orang yang mau menolong kami. Semua orang cuek, diam, dan tak peduli. Aku dan Mar'ah berlari mengejar si maling dan akhirnya kehilangan jejak. Tas ku putus, kami berdua masih membawa durian.
Asli, kocak banget kalo diingat wehhh!!
Tapi, mau gimana lagi. Hp Mar'ah sudah dinonaktifkan sama si Maling. Mau minta bantuan polisi pun sudah tak mungkin. Yasudah. Takdir.
Mar'ah nangis, aku bingung. Tas ku putus, dan kami masih membawa durian. Setelah agak reda, dan agak tenang, kami mau tidak mau harus melanjutkan perjalanan pulang. Akhirnya kami cegat bus lagi.
Sampai akhirnya kami tiba di tempatku. Cerita kepada orang tuaku, ya sudah. Lucu tapi sedih. Mar'ah takut, apalagi kalo ortunya tau kalau hp-nya hilang. Pulang sudah senang dapat durian, ehh hp malah hilang. 🥹😭
Bagaimanapun, aku sepanjang jalan hingga sepanjang hari hanya bisa mendoakan semoga Allah ganti hp Mar'ah dengan yang lebih baik, dengan rezeki yang lebih banyak.
Alhamdulillah, sekarang sudah oke-oke saja. Toh, cerita ini ialah cerita masa lalu yang telah jadi kenangan. Hehe.
Mungkin hikmah yang bisa diambil, kita memang tidak tau apa yang akan terjadi ke depannya. Di tempat umum, fokuslah, jangan lalai, apalagi memberikan kesempatan bagi orang jahat.
Alhamdulillah, Allah masih menyelamatkan kami sampai rumah saat itu. Mungkin harus lebih waspada lagi ke depannya.
2 notes
·
View notes
Text
Riuh, Itu Setiap Hari
Seperti biasa, iya begitu kataku.
Malam ini, aku kembali riuh. Lisanku diam, tetapi pikiranku begitu bergemuruh. Hal itu sudah biasa menjadi sahabatku sehari-hari. Manusia memang mahluk berakal. Yang Allah anugerahkan akal pikiran, sehingga otaknya tak berhenti bekerja selagi nafas masih dihirupnya.
Sholat, kemudian dzikir (terutama membaca kalam-Nya) dapat menjadi alternatif menenangkan pikiran yang kacau.
Namun terkadang, aku hanya butuh seseorang untuk dapat meluruskan pikiranku yang kacau ini dengan perkataan-perkataannya yang dapat membuatku kembali fokus.
Bukan hal negatif yang ku pikirkan. Alhamdulillah, pikiran negatif dapat hilang seketika atas izin Allah ketika aku melakukan hal seperti yang ku bilang tadi. Sholat, dan berdzikir, yang paling utama yakni berhusnudzhon kepada Allah.
Namun, banyak pikiran positif yang bergemuruh. Mungkin bisa dibilang bahwa ini tentang impian. Aku punya banyak mimpi-mimpi yang selalu riuh di bayanganku. Perihal cita-cita, ekspetasi terhadap diri sendiri yang belum terwujud, hingga hal-hal positif yang belum mampu ku lakukan. Itulah keributan dalam kepalaku.
Kenapa ya, waktu semakin terasa cepat? Ruang gerak semakin terasa sempit? Padahal ada banyak hal yang harusnya aku lakukan. Dan kenapa raga ini belum juga mampu menjangkaunya.
Aku yakin, mungkin aku dapat menjangkau dengan perlahan. Tahan, dan sabar saja dengan prosesnya. Membentuk diri sendiri menjadi pribadi yang lebih baik bukan hanya sebulan dua bulan. Butuh waktu bertahun-tahun hingga kini pun aku masih berproses.
Aku punya banyak ide, yang selalu ribut di kepala. Terkadang, ketika aku bertemu orang yang bisa merespon ideku dengan baik, aku senang dan lebih bersemangat. Aku merasa diterima. Aku merasa bahwa aku butuh orang-orang yang bisa menerima ide-ide ku.
Namun, semakin kesini ternyata diterima saja tak cukup. Banyak orang yang mungkin senang mendengar pikiranku yang terkadang aku mengkomunikasikannya. Mereka hanya merespon positif, namun tidak memberikan solusi. Di sisi lain, aku merasa bahwa aku butuh orang-orang yang punya pikiran sama denganku, lalu kita berjalan bersama mewujudkan ide-ide gila itu. Mungkin saja, orang-orang yang aku temui dalam penyaluran ide ini masih merupakan orang-orang yang salah.
Terkadang, aku sedih. Ya, sebenarnya ini tentang impian. Riuhnya impian di kepalaku. Aku butuh sekali bertemu dengan orang-orang yang memiliki impian yang sama denganku, lalu kita berjalan bersama. Saling mendukung, saling menyemangati, saling bergandengan tangan. Dengan jiwa penuh optimisme dan pengharapan murni pada Sang Pemilik Bumi.
Menghadapi rintangan bersama. Jatuh bangun bersama. Saling menerima, tertawa bergembira, bahkan menangis dan saling mengusap air mata.
Ya Allah, siapapun dia, siapapun mereka. Pertemukanlah Hamba. Karena memang, berjalan sendirian sangat berat. Terlalu lelah jika sendiri hanya terkurung dalam pikiran. Ibarat tinta tanpa kertas, dapat ku salurkan dimana tulisan-tulisan itu? Ibarat sebuah kayu yang bermimpi menjadi kursi, butuh kapak, paku, palu, bahkan cat untuk mewujudkan impiannya menjadi sebuah kursi.
Tulisan ini, bukan hanya tentang belahan jiwa. Namun, tentang para sahabat dengan satu impian, yang hingga kini belum ku temukan juga.
Selagi belum ku temukan siapa dirinya dan siapa mereka, ketahuilah, bahwa si 'riuh' yang menjadi teman dalam langkah-langkah ini.
1 note
·
View note