Text

Hari ini, di bandara ini sudah tiga kali ku melihat anak-anak kecil menangis. Mereka menangis bukan karena rewel, tetapi ketulusan hati mengantarkan orang-orang yang mereka sayangi.
Adek kecil cantik bercelana merah jambu itu salah satunya. Awalnya ia sangat sumringah. Lari ke sana ke mari di tengah kerumunan orang lalu lalang. Namun seketika berubah ketika ayahnya bergegas masuk ke pintu keberabgkatan sementara ia tak diizinkan ikut. Hingga akhirnya adek kecil ini menangis tumpah ruah, pecah, hingga tersedu. Membiru hatinya, melepas keberangkatan ayah yang dikasihinya.
Ibunya yang sedang mengandung calon adiknya juga tak kuasa menitikan air mata, sembari menenangkan, seolah berkata "ayah akan kembali nak, kita akan segera berjumpa dan berkumpul bersama lagi". Sementara ayah, juga tak kuasa menahan haru. Seolah berat meninggalkan istrinya yang tengah hamil tua dan anaknya yang masih belia.
Mungkin memang betul, kata orang bahwa dinding-dinding rumah sakit lebih banyak mendengar rapalan doa tulus daripada rumah ibadah, dan bandara lebih banyak melihat pelukan & tangisan tulus dibandingkan acara pernikahan. Mereka yang pergi ingin segera kembali. Sedangkan mereka yang ditinggallan ingin bersua lagi. Sama denganku, aku mengharap kita akan bersua kembali dengan perasaan yang masih sama, saling merindu.
0 notes
Text
Terkadang bertanya-tanya. Ada beberapa orang yang sedang di tengah keramaian tapi merasa sepi. Rasanya, hal seperti itu merupakan sebuah kejanggalan dimana ketidakselarasan antara perasaan dengan realitas lingkungan yang ada. Apakah kasus seperti itu sama hal nya dengan kondisi dimana seseorang yang kaya tapi merasa miskin, seseorang yang pintar tapi merasa bodoh, atau seseroang yang punya segalanya tapi merasa kurang? Jadi apakah kasus² itu memiliki konteks yang serupa? Tumbli, apakah sudi menjawab?
0 notes
Text

Hari ini tidak sedikit dari beberapa kolega yang memosting artikel itu di medsos masing-masing. Sebagian besar dari mereka mengamini tesis yang disampaikan pada artikel. Khususnya para mahasiswa dan dosen muda atau mereka yg memiliki kedudukan lebih kecil dari struktur birokrasi akademis yang seakan menjadi kelompok paling tertindas dalam fenomena ini.
Sebenarnya tanpa ada artikel ini pun, kultur toxic sebagaimana yang disampaikan dalam artikel itu telah dirasakan, tetapi hanya saja tidak terpublikasikan seperti pada media mainstream seperti sekarang ini. Sama halnya berita joki scopus yang beberapa waktu lalu dihajar oleh Kompas.
Seperti karakter golongan tertindas pada umumnya, para kaum akar rumput itu hanya bisa berbisik-bisik dibalik meja kerja mereka sambil sesekali ngopi, udud, makan seblak sambil misuh-misuh sendiri ngrasani beliau-beliau yang dianggap para tuan dan ratu. Tiada kata lain untuk sendika dhawuh pada perintah yang telah disabdakan.
Jadi, setelah muncul kesadaran bahwa adanya hierarki antara kelompok intelektual terdindas dan penindas (pakai terminologi Freire, wkwk) apakah akan ada suatu transformasi sikap dan tindakan baru yang mendorong kultur ideal kampus yg bebas dari feodalisme? atau artikel itu hanya angin lalu kemudian kembali berpola lama, hanya nggerundel, berbisik-bisik sambil nangis batin? Heueheu
8/5/2023
4 notes
·
View notes
Text
Mideringat anglelangut, lelana jajah nagari, mubeng tepining samodra, sumengka mring graning wungkir, analasak wana wasa, tumurun ing jurang trebis.
Sayekti kalamun suwung, tangeh miriba kang warni, lan sira pepujaningwang, menawa dhasaring bumi, miwah luhuring akasa, tuwin jroning jalanidhi.
Iku ta sapa kang weruh, nanging kirane tyas mami, sanadyan ing tri bawana, anaa kang madha warni, maksi sumeh semunira, laras lurusing respati.
~Serat Manohara, pupuh kinanthi 1-3, 1853
0 notes
Text
Perjalanan dan pengalaman di masa lalunya lah yang membentuk dia di masa kini. Masa kini, membentuknya menjadi seseoraņg di masa depan
0 notes
Text
Ingin Pinjam Mesin Waktu Tony Stark

Foto di atas merupakan para delegasi Indonesia yang sedang duduk dalam sidang DK PBB 1947. Mereka adalah Soemitro Joyohadikusumo, Soejatmoko, Charles Tambu, Sutan Syahrir, dan Agus Salim. Sedikit berserita bahwa beberapa waktu yang lalu, ku menonton video mereka yang sedang duduk dalam sidang DK PBB 1947 tersebut. Video itu telah mengalami editing melalui aplikasi kekinian sehingga menghasilkan musik dan efek video yg menarik.
Dalam video tersebut, terlihat betapa kerennya style para diplomat ulung ini. Mereka mengenakan setelah jas yg elegan. Soejatmoko juga nampak merapikan rambut sambil berbisik dengan Charles Tambu. Sutan Syahrir juga nampak berwibawa, dan Agus Salim yg selalu tampil dengan pembawaan tenang.
Sebagaimana diketahui bahwa Syahrir dan Soejatmoko merupakan tokoh² Partai Sosialis Indonesia (PSI). Anw, jika melihat video yg direkonstruksi melalui aplikasi kekinian itu, ku jadi teringat guyonan Ben Anderson yg memplesetkan PSI sebagai "Primadona Sok Idealis". Sementara Buyung Saleh, seorang intelektual yang dekat dengan PKI memberikan satire bahwa orang-orang PSI adalah "sosialis kanan atau sosialis salon".
Tentunya, ledekan dan satire Itu hanyalah bumbu dalam obrolan dinamika politik masa itu. Dan bagiku, yg lebih penting dari ledekan² tersebut adalah gagasan-gagasan para tokoh² PSI, terutama Syahrir dan Soejatmoko. Oleh karena itu, jika mesin waktunya Doraemon atau Tony Stark ada, akan ku pinjam menuju masa ketika Sjahrir dan Soejatmoko berada dalam sidang DK PBB 1947 itu. Mereka adalah salah sekian orang² yang ingin ku temui dan ku tanyai tentang hal-hal yang mereka tulis, heuheu.
2 notes
·
View notes
Text
Buku Itu Bersampul Hijau
Salah satu kebahagiaan seorang sejarawan, peneliti, dan penulis sejarah adalah menemukan sumber yang dicarinya, baik primer maupun sekunder. Apalagi kalau sumber tersebut langka. Tentu butuh perjuangan dan pengorbanan. Bisa dikatakan sebanding dengan rasa keberhasilan berjuang mendapatkan hati dee.
Beberapa waktu yang lalu, teman dari jogja menghubungi ku, minta tolong untuk dicarikan buku Bangsa Indonesia Menuliskan Sejarahnya Sendiri by Klooster di perpustakaan kampus. Buku tsb merupakan hasil disertasi Klooster ketika menempuh studi di Leiden pada 1985. Buku tsb mulanya berbahasa Belanda tetapi pada 1992 buku itu telah diterjemahkan ke dalam bahasai Indonesia oleh Sukardi. Konon, buku yg telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia itu kini hanya satu²nya di Indonesia, yaitu di perpustakaan kampusku. Sementara terjemahan bahasa Inggrisnya setauku juga sangat sulit ditemukan atau mungkin malah tidak ada.
Temanku menceritakan bahwa buku tersebut sangat penting untuk risetnya. Tanpa buku tersebut, mungkin risetnya akan gagal. Aku menyimak ceritanya dan tergerak, mencoba memburu buku tersebut ke perpustakaan kampus. Namun, hasilnya nihil. Bahkan, pustakawan yg ku mintai tolong untuk mencari buku tersebut gagal menemukannnya. Padahal dalam katalog digital, buku tersebut tersedia. Untuk menghiburku, sang pustakawan meminta no hp ku. Katanya, jika buku tsb ditemukan, ia akan segera menghubungiku. Seberes itu, ku pulang dan menceritalan kegagalan ku pada temanku yang berkepentingan dengan buku itu.
Saat kuceritakan padanya, terrnyata, aku bukan satu-satunya orang yang dimintai tolong untuk mencarikan buku tersebut. Sebelumnya, Ia juga meminta tolong pada dua koleganya. Namun, hasilnya juga nihil. Dia sempat suudzon mengenai keberadaan buku tersebut yang sengaja disembunyikan entah atas dasar apa. Kemarin, dengan rasa penasaran yg menderu dera, ia putuskan ke Solo untuk mencari buku tersebut. Aku pun menemaninya, kembali ke perpustakaan kampus.
Tidak disangka, insting mencarinya sangat kuat. Ia melakukan berbagai upaya untuk mencari buku tersebut. Hingga, ia memelas pada petugas untuk diizinkan masuk ke gudang buku. Sampul hijau terang mengalihkan pandangannya diantara tumpukan buku-buku yang berserakan. Dan itu! Buku yang dicarinya ketemu. Nampak betapa girangnya dia saat menemukan buku itu. Sungguh seperti menemukan harta karun! Walaupun ku sendiri juga belum pernah merasakan menemukan harta karun. Intinya dia sangat happy sampe jingkrak-jingkrak. Akhirnya buku itu berhasil dipinjam dengan karmas ku.
Beberapa hari kemudian aku yang mengembalikan buku itu ke perpustakaan kampus. Saat ku kembalikan para pustakawan setengah bersorak-sorai "oh ini to buku yang dicari itu. Aku udah tau ceritanya, mas. Ini lho maszeeh senenngya ga ketulungan waktu nemu buku ini" sautnya pada pustakawan di sebelahnya. Dalam hati ku berkata ternyata kisah pencarian buku itu menjadi buah bibir para pustakawan kampus. Singkat kata kemudian aku berpesan pada pustakawan itu "segera gandakan ya bu, itu buku langka byanget!" Dan dengan antusias ia menimpali "siiap mas!"
1 note
·
View note
Text

Ada hal yang mendorong saya ingin mengarsipkan potongan dari roncean kata Maya Sandita dalam "Bulan sabit dan Kekasih" , miliknya. Bagi saya narasi ini menarik. Entah mengapa ada frekuensi emosi yang meluap ketika saya membaca tulisannya itu. Hal ini bukan berarti saya pernah mengalaminya, dan semoga saja jangan sampai mengalami hal menyakitkan seperti tokoh "aku" dalam roncean kata nya itu, heueheu. Hanya saja, Maya Sandita sepertinya memang paham stereotip mengenai profesi penulis dalam kacamata materialis. Ini pun mengingatkan saya pada kelakar seorang anonim, "semakin rendah upah penulis semakin ia kreatif dan idealis". Mendengar kelakarnya, seketika kita semua saling tertawa dengan perasaan yang juga prihatin.
0 notes
Text

Saat saya masih SD atau mungkin TK, saya pernah didongengi Bapak tentang tiga pendaki yang tersesat di Gunung Slamet. Salah satu dari ketiga pendaki tersebut adalah teman Bapak, Gagah Pribadi. Mungkin pada saat Bapak masih cah nom, kisah itu membuat geger sekampung dan menjadi trending topik. Apalagi dengan penambahan narasi mistis, cerita tersebut semakin menarik untuk disimak dan digetok tularkan. Hari ini, saya menemukan sumber sezaman mengenai peristiwa itu. Koran Kompas edisi Januari 1985 memberitakan bahwa dua pendaki telah ditemukan dalam keadaan hidup dan mati. Pemberitaan ini sedikit berbeda dengan kisah yang selama ini berkembang di masyarakat. Sementara itu, Gagah Pribadi belum diketahui secara pasti keberadaannya ketika berita itu terbit, bahkan hingga saat ini. Entah bagaimana nasibnya, wallahualam. Al Fatihah.
5 januari 2021
0 notes
Text
Kawan, Mari Kita Ngopi
Kumandang adzan maghrib pada bulan Ramadhan menjadi penanda waktu berbuka puasa. Segelas air putih ku teguk yang diikuti dengan sajian takjil buatan Ibu. Di tengah kenikmatan menyantap takjil, hasrat menyeduh kopi muncul begitu saja. Rasanya memang sudah lama aku tidak minum kopi. Kopi memang salah satu minuman favoritku. Selain karena rasanya, kopi dan segala alur dinamikanya bertengger dalam arus sejarah bangsa. Hal tersebut menarik minatku. Kopi telah menjadi salah satu temanku dalam kesunyian maupun keramaian. Menyesap dan meminumnya terasa menenangkan. Petang ini aku rindu kau, pi (kopi). Dan aku ingin larut dalam rasa dan aroma khas mu.
Secangkir kopi yang ku buat telah siap. Ku nikmati setiap sesap dan aroma yang muncul darinya. Dalam buaian kenikmatan, tiba-tiba ku teringat teman-teman di kampus. Malam minggu ataupun ketika tidak ada kegiatan, aku sering mengajak beberapa teman ke warung kopi (warkop). Ya sekadar melepas penat, dan berolah rasa serta mencari inspirasi. Jika isi dompet terbilang cukup biasanya kami ngopi di kedai kopi nusantara (kopi dari berbagai daerah), tetapi jika isi dompet hanya berwarna abu-abu, cokelat atau ungu, menyeduh kopi hitam sachet di angkringan atau burjo pun tidak masalah.
Sembari menyesap kopi, kami ngobrol atau diskusi mengenai apapun. Cerita-cerita lucu, cinta, research, buku, film, ataupun negara dan politik menjadi topik-topik yang sering kami perbincangkan. Negara dan politik? Ah, kadang aku merasa resah jika berdiskusi tentang topik yang satu ini. Terlebih jika topik yang dibahas tengah memanas dan berada di puncak ketegangan, rasanya semakin berat saja. Seorang teman kadang berkelakar "wess.. ora usah mikir negara, mumet boss" dan seketika kami tertawa lepas. Kadang kelakaran tersebut menjadi epilog dalam obral obrol kami.
Kini, ketika jauh dari teman-teman rasa rindu seperti meronta. Ada masa ketika kita bebas berdiskusi mengenai topik apapun, berdialektika, menjadi manusia yang bebas dan mengamati permasalahan dari berbagai kacamata. Apakah kalian juga merasakan hal yang sama?
Dalam lamunan romansa pertemanan di Solo pada secangkir kopi, ku juga teringat dengan salah satu kawan yang berencana untuk menginisiasi acara diskusi rutin semi formal. Sayangnya, rencana tersebut belum terealisasikan hingga kini. Kemalasan kami untuk mengurus dan memulai acara memang menjadi salah satu faktornya. Di samping itu, si Coro (Pandemi Covid-19) yang merajalela menjadi kendala besar.
Dari ingatan yang lalu lalang itu, aku tergugah ingin merealisasikan rencana yang mengudara dalam wacana. Mungkin kita dapat memulainya via daring, memanfaatkan teknologi digital seperti kebanyakan orang. Dalam situasi pandemi seperti ini dengan anjuran #dirumahaja, aku pikir perlu untuk kembali bercengkrama dan berdiskusi dengan para sahabat. Berbagi rasa dan bertukar pikiran sambil mengecek kembali kewarasan sebagai "manusia". Hola bung dan nona, apa yang sedang kalian rasakan dan pikirkan? Barangkali akupun dapat memperoleh pandangan dan inspirasi menarik dari kalian seperti dulu. Semoga saja dapat terealisasikan dan menjadi obat penawar rindu.
Terlarut dalam bayangan masa lalu, kopi yang ku minum ternyata telah menyisakan ampas dalam gelas. Ku tengok jam dinding juga sudah menunjukkan waktu pemenuhan kebutuhan rohani. Segera ku ambil air wudhu. Rencana untuk memulai persuaan daring dengan para sahabat, akan ku pikirkan kembali selepas diriku berdialog dengan Tuhanku.
*ditulis saat berbuka puasa, bulan Ramadhan 1441 H/2020 M. Aku posting supaya tidak lapuk di draft. Sama seperti perasaan yang seharusnya diluapkan secara jujur, baik pada diri sendiri maupun orang lain diwaktu yang tepat.
0 notes
Text

Jangan lupa mengucap "merdeka" atas diri sendiri. Merdeka sejak dalam hati dan pikiran. Panjang umur kemerdekaan!✊
0 notes
Text
sibuk berbuat hingga lupa melihat. Sibuk melihat hingga lupa berbuat.
0 notes
Text

Berbeda-beda warna dan rasa dalam isi cangkir, tetapi tetap satu pilihan dalam isi piring. Panjang umur "Kentang Goreng" 😀
~Solo, 28/6
0 notes
Text

Usang, berdebu, dan wajah yang penuh bercak. Aromanya pun khas. Mereka tua dan tak lupa diciptakan untuk apa dan mengapa. Kini, mereka masih setia menunggu siapapun untuk sudi menyapa, memahami, dan sudi membuat mereka kembali berbicara.
~Yogyakarta, 6/4
0 notes
Quote
Manusia dibentuk oleh ambisi mengenai masa depan, dibentuk oleh kenyataan-kenyataan kini dan pengalaman-pengalaman masa lampau. Seorang pun tak dapat membebaskan dirinya dari masa lampau. Pengalaman-pengalaman pribadi memberi warna pada pandangan dan sikap hidup seseorang dan seterusnya.
Soe Hok Gie, Zaman Peralihan
9 notes
·
View notes
Photo

Bermain layaknya anak kecil, menyusuri alam dan berada di suatu bangunan yang menurut sejarah sudah ada sekitar abad ke 8. ---mereka tersenyum ke kamera atau karena saya yang jepret ? ahaha.. Nikmati sajalah liburanmu, sebelum liburanmu direnggut.
3 notes
·
View notes
Text
Beriringan
sebagai pembuka ditahun baru ini. sejenak menengok kebelakang, kemudian berjalan beriringan saat ini, dan memandang untuk jalan yang diseberang sana dengan cermat.
3 notes
·
View notes