even when you cry, you are still beautiful no matter what.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
nanti kamu juga akan paham.
“nanti kamu juga akan paham.”
mungkin iya
mungkin tidak,
kalau kamu tak jua menjelaskan
“nanti kamu juga akan paham.”
hal seperti apa yang akan aku pahami tanpa petunjuk darimu?
apakah nanti akan sama dengan apa yang kamu pahami?
apakah nanti akan sama dengan apa yang kamu ingin aku pahami?
apakah kita akan menemukan titik akhir yang sama nanti?
“nanti kamu juga akan paham.”
pada saat aku paham nanti,
akankah kamu masih disini?
menungguku paham tanpa petunjuk yang pasti,
atau sudah terlanjur pergi?
termakan lelah akan aku yang tak kunjung bisa memahami.
0 notes
Text
2019.03.13
it’s easy
it’s too easy
to manipulate people’s emotions
even to manipulate mine
it’s too easy
until i cannot recognize it myself
what i’m actually feeling
what i’m stubbornly masking.
1 note
·
View note
Text
let it hurts
let it hurts
let it hurts
let it hurts
let it hurts you until you bleed
until you feel numb and cannot think of anything
let it hurts
let it bleeds
then let it heals
let it has a scar
as a reminder that it had happened
as a reminder
no matter how many times
it is going to be hurt
and it is okay
it will heal again.
— though the scars do not make you look pretty
it does make you strong.
0 notes
Text
jatuh
jatuh jatuh jatuh jatuh jatuh yang jatuh hancur dan berpencar berserakan
jatuh jatuh jatuh jatuh jatuh aku jatuh dan tak ada yang bisa menangkapku.
0 notes
Text
hujan
hal ini seperti hujan yang datang,
setelah siang dengan matahari yang terik dan hawa yang panas yang mengelilingi —
tidak tahu kapan, tapi pasti akan datang.
bedanya, ketika hujan yang turun membuat teduh dan gembira,
hal ini membuat resah yang penuh dengan rasa bersalah —
meskipun dingin yang melanda selalu terasa sama;
sama-sama terlalu dingin, sama-sama tidak nyaman.
hujan yang turun setelah siang yang terik;
membuatnya bisa tertidur pulas
dengan selimut yang menghalangi hawa dingin untuk mengganggunya.
tapi hal ini membuatnya terjaga,
dengan rasa lelah yang dirasakannya tetapi malah membuatnya selalu membuka mata —
dengan rasa dingin yang tidak bisa dihalangi bahkan oleh selimutnya yang paling tebal.
hal ini sama seperti hujan yang turun setelah siang yang terik;
dengan perkiraan yang sama tetapi perasaan yang berbeda.
hal ini sama seperti hujan yang turun setelah siang yang terik;
dengan perasaan lega yang sama,
tetapi diikuti dengan perasaan lain yang berbeda.
hal ini sama seperti hujan yang turun setelah siang yang terik;
membuatnya sama-sama terlarut dengan dirinya sendiri —
meskipun keduanya terkontradiksi,
antara melanjutkan mimpi
atau terlelap tanpa tepi.
0 notes
Text
2019.01.29
“forgive me for my bluntness and nonchalance — the moment when I speak too quickly, and when I don’t say enough.
forgive me when when I pull away and close myself off .
it’s not that I’m scared to let you in — it’s that I’m scared for what you will see.
but remember no matter what — no matter how cold or angry I seem; I love you. and I’m sorry I don’t show it to you enough.”
0 notes
Text
about him;

I.
i see him when the light is on, when i can clearly see every muscle in his face moving when he smiles. i see him when the light is off, when i can only see his form vaguely but still see him nonetheless. i see him in his black and white, a gray-scale that i love so much. i see him in colors, a new sight i have come to love too. i see him in his glory, when his face glows when he hears the cheers. i see him in his obscurity, when his shadow become darker than its already is.
II.
i hear him when he falls in love, so sweet i wish it was me that he loves with all his heart. i hear him when he breaks, so sorrowful i wish i could help him hold his broken pieces. i hear him when he accepts, it makes me feel glad — it makes me happy i wish i could see the process; it would be a beautiful yet painful time but he endures it nevertheless; i believe it’s magnificent.
III.
he touches me with his smile; he touches me with his frown; he touches me with his voice; he touches me with his silence; he touches me with all of his being — virtually, vaguely, but i still feel he is always here; makes me glad that he is still here.
IV.
i love him in my quiet hush; i love him in my loud blabber; i love him sometimes; i love him most of the times; i love him without anyone noticing; i love him with desire to everyone to know it; i love him but can not promising him forever — though i hope he knows that i’m still here, don’t plan to go anytime soon, still keep praying that the world will treat him well more that it treats him bad.
V. him.
he is him — with all his flaws and broken smile, and he’s never been less divine. he was his past, he is his now-self, he is his own future — with flowers bloom on every step he takes, with his scarred heart, with his cold fingers and with his warm eyes. he is him. he is him. he is him; and i’m glad it’s him.
0 notes
Text
wind’s story

the wind comes with rain and tells me many stories.
the wind tells me it sometimes comes with spring, sometimes with winter, sometimes with summer, sometimes with autumn and sometimes it comes strong with a big storm.
the wind tells me sometimes it comes to make the day feels good, sometimes it only makes the day worse. the wind tells me most of the time it can’t control it — it just lets things happen and waits until it over.
the wind tells me it doesn’t have many opportunities to choose the good and bad day. it chuckles, like you, it says.
the wind tells me; just let the bad day be a bad day. the wind tells me it is just bound to happen — sometimes you can’t run from it and most of the time you can’t forbid it to happen.
the wind tells me don’t forget to hold tight when i let it happens. the wind tells me don’t forget to tend my wounds after the storm has subsided. the wind tells me don’t forget that every thing has its own ending — that my bad day has its own time to end too.
the wind tells me i’m not strong because i can survive, it has witnessed so many people that didn’t yet they were so strong. the wind tells me i’m strong because i let the bad day comes — because i let myself to feel vulnerable.
and it’s enough, it tells me. you have been bent and broken, but i promise you — into a better shape, it caresses my face.
the wind comes with rain and it makes me feel cold.
the wind is cold — its breeze feels firm yet so comforting.
its touches on my tears are cold. its touches on my open wounds are colder — but its touches linger and it makes the ache stops. oh god, finally the ache stops.
the wind whispers; it’s okay. i’m with you. let’s cry, but it’s time to lean back — your body has been hunching for so long. the wall is waiting for you to lean on them.
—close your eyes, take a deep breath and i’ll let you hear the wind sings.
0 notes
Text
Temu
“oh, shit.”
“fuck.”
“sorry, sorry.” ujar lelaki itu sambil mengambil beberapa kertas yang tercecer diatas kopi yang tumpah di lantai, “gue gak liat. sorry, sorry.”
Ayeeta berdecak melihat beberapa lembar berkas gugatannya yang sudah berubah warna menjadi hitam kecoklatan, “dibuang ke tong sampah aja. udah gak berguna lagi.” kesalnya lalu menaruh tas dan sisa berkas di meja didekatnya.
ia bisa mendengar lelaki itu menghela napasnya sebelum menuju ke tempat sampah yang berada dekat di pintu masuk dengan lembaran berkas yang masih Ayeeta tatap dengan nanar — dan kesal.
“Yit gak apa-apa?” tanya Dedi, salah satu pegawai di coffee shop yang berada di lantai bawah gedung kantornya.
“gak papa, Ded. gue pinjem kamar mandi boleh? mau nyuci baju gue biar gak bekas-bekas banget.”
Dedi menatap noda kopi yang berada dibagian pinggang kanan kemeja berwarna light blue yang Ayeeta pakai, “boleh. langsung masuk aja ke belakang.”
“oke. tolong jagain berkas gue ya, Ded.” ujarnya lalu mengambil tas dan berjalan ke arah kamar mandi sambil mengomel dalam hati. kemeja yang baru ia beli minggu kemarin sudah mengalami nasib yang tidak menyenangkan, begitu pula segelas kopi yang harus tumpah sebelum ia sempat meminumnya.
—
Ayeeta menatap gelas plastik bening berisi vanilla latte dengan pesan ‘for ayit: sorry.’ di genggamannya. ia tidak suka vanilla latte dan ia tidak suka lelaki itu.
Ayeeta tidak sempat bertemu (re: mengungkapkan kemarahannya) dengan lelaki yang membuatnya menumpahkan kopi dibeberapa lembar berkasnya setelah ia membersihkan kemeja dan roknya di kamar mandi. ia kira lelaki itu akan menunggunya untuk kembali meminta maaf akan noda kopi di kemejanya yang tidak bisa hilang.
ia tidak menyangka akan disambut oleh Dedi dengan segelas vanilla latte yang Dedi sodorkan kepada Ayeeta, “dari mas yang nabrak tadi.” ujarnya. Ayeeta menerimanya dengan decihan, “makasih, Ded. but god, running away like that? wow. what a coward.”
amarah Ayeeta kembali muncul saat ia mengingat hal tersebut, hampir tidak menyadari pintu lift yang telah terbuka dan hampir tertutup kembali di hadapannya. ia hampir menumpahkan kopi di genggamannya karena terburu-buru menekan tombol lift. beberapa umpatan keluar lagi dari mulutnya saat ia melangkah keluar dan menuju kantornya.
“loh, Yit? gak jadi ke HHP?” tanya Joni saat ia melihat ayeeta memasuki kantor lagi setelah satu jam yang lalu berpamitan dengannya. matanya kemudian turun ke kemeja Ayeeta yang basah, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak, “Anin darling, kalo mau main basah-basahan jangan pas di kantor. gak malu naik lift kemeja basah gitu?”
“bacot lo. and stop calling me that!” kesalnya sambil mencari sosok tinggi lainnya, “Lukas!”
“iya mba?” seru Lukas sambil menghampiri Ayeeta yang sudah berdiri di depan ruangannya.
Ayeeta menyodorkan minuman digenggamannya kepada Lukas, “nih. minum.”
Lukas menatap minuman yang Ayeeta berikan kepadanya, “tapi mba, ini ada tulisan — “
“mau gak?”
“mau mba, mau. makasih, mba!” serunya sebelum Ayeeta memasuki ruangannya.
“mba Ayit gak jadi pergi?” tanya Ajisa, intern dari law firm tempatnya bekerja sebagai pengacara, yang belakangan sering Ayeeta ajak ke D’bonair saat ia tidak bisa berada disana seharian.
“jadi.” jawabnya sambil menaruh berkas dihadapan Ajisa, “coba kamu cek halaman berapa aja yang hilang, terus nanti di print ya, halaman-halaman yang hilang itu. kalo udah kabarin saya. saya mau ke kamar mandi dulu.” tambahnya lalu menuju kubikel Tiara yang terdekat dari ruangannya.
“Ra, lo nge-stock kemeja di kantor gak? pinjem dong.” pinta Ayeeta setelah ia sampai di kubikel Tiara.
perempuan yang dipanggilnya itu menghentikan kegiatan mengetiknya dan menatap Ayeeta yang tiba-tiba muncul di kubikelnya, “enggak. kemeja lo kenapa emang?”
“ketumpahan.” ujarnya sambil menunjukkan bekas noda yang masih terlihat jelas di kemejanya.
“ketumpahan apa?”
“sial.”
Tiara hanya menggelengkan kepala ketika mendengarnya lalu membuka laci lemari kerjanya, “ganti kaos aja. gue ada.”
“gue mau kondangan dulu, Ra. gak bisa pake kaos.”
“gak jadi ke HHP?”
Ayeeta mendengus saat mendengar kembali pertanyaan yang sudah tiga kali diajukan kepadanya, “jadi. tapi bos gue ngajakin kondangan dulu baru ke HHP.”
“ooh, jadi sukanya main sama pak bos ya, Nin?” timpal Joni yang tiba-tiba sudah berada disebelah Ayeeta, “gak usah diganti, bos lo pasti suka yang basah-basah gini.”
“mending lo ibadah terus minta ampun sama Tuhan, Jon.” kesal Ayeeta setelah memukul lengan Joni yang membuat empunya meringis, “makasih deh ya, Ra. dadah.” Tiara membalas lambaian tangan Ayeeta yang kini sudah menuju kamar mandi.
Ayeeta mengeluarkan handphone dari saku roknya dan mencari sebuah nama di kontaknya lalu menelfonnya, yang kemudian dijawab pada deringan kelima. “halo, Bin? dimana?”
“studio, Ta. kenapa?”
“ada kemejaku yang bersih gak di tempat kamu?”
“ada kayaknya. kemarin aku baru laundy baju.”
“aku ke tempat kamu ya? mau ganti kemeja. kemejaku ketumpahan kopi.” tanya Ayeeta sambil melihat refleksi dirinya di kaca kamar mandi kantornya.
“gak ganti kaos aja? atau mau ketemu klien?”
Ayeeta terdiam, membuat Abintara memanggilnya lagi ketika Ayeeta tidak langsung menjawabnya, “Ta?”
“Aku… diajak pak Banu kondangan, Bin…” jawabnya setelah beberapa saat.
“Ta…” Ayeeta bisa mendengar Abintara menghela napasnya, “kamu udah janji sama aku. kamu juga udah di D’bonair sekarang.”
“aku minta maaf udah ngelanggar janji...” Ayeeta menyandarkan punggungnya ke dinding kamar mandi, “tapi pak Banu ngajak aku langsung, gak lewat perantara seperti biasanya…”
ketika Abintara tidak langsung menanggapi permintaan maafnya, Ayeeta menambahkan, “tapi aku gak sendirian kok, Bin. ada dua orang lagi. anak baru. kayaknya bakal sering diajak pak Banu karena aku udah gak mau lagi.”
“kamu bilang gak mau, tapi kamu masih tetep dateng pas diminta. Ta, you know it’s dangerous if you keep doing that.”
“i know, but Bin… pak Banu asked me himself. i couldn’t reject it. you know who he is… things would get messy if i reject him. and he said this is for the last time he asked me to come with him, to help him to show it to the new kids how it works.”
“i just… worry about you so much, Ta... it’s dangerous. for you and for your job at D’bonair too.”
“iya, aku tau. makasih udah khawatir sama aku, Bin. tapi aku janji ini buat yang terakhir kali. bener-bener yang terakhir kali. kay?”
Abintara terdiam kembali beberapa saat sebelum menjawab, “oke. tapi dengan syarat kamu berangkat ke tempat kondangan sama aku, pulang dari sana juga sama aku. kalo pak Banu minta bareng, kamu tolak langsung. deal?”
“you sound like an over-protective boyfriend.” Ayeeta tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
“i always was. for six years. and will always sound like an over-protective boyfriend until you get a new one.”
Ayeeta tertawa, “not sure if i need another one to nag me. you’re more than enough already.”
“i’m flattered.” Ayeeta mendengar Abintara tertawa dari seberang panggilan, “see you at my apartment.”
“see you… and thank you, Bin. for worrying about me.”
“my pleasure. always.”
0 notes
Text
a simple ending
pertama kali ayeeta bertemu abintara adalah saat ia berumur 18 tahun. pertemuan yang singkat dan sederhana, sama sekali tidak ada hal yang spesial dan yang bisa dibesar-besarkan. satu-satunya hal yang ia ingat dari pertemuan pertama mereka adalah perasaannya yang mengatakan akan sangat mudah berteman dengan abintara.
-
pertama kali abintara menyatakan perasaannya kepada ayeeta adalah saat mereka sedang menonton sebuah film yang baru saja rilis di pertengahan bulan november.
abintara menyatakannya sambil lalu, ketika ayeeta berkaca-kaca melihat aktor favoritnya terbunuh di film aksi trilogi yang sedang mereka tonton.
"yang lo suka kan udah mati. sekarang suka sama gue aja gimana?" ucapnya sambil terkekeh, kemudian mengacak-acak rambut ayeeta yang saat itu hampir menitikkan air matanya.
ayeeta membalasnya dengan pukulan di perut abintara, membuat lelaki itu mengaduh lalu terkekeh kembali — sama sekali tidak menganggap serius ucapan abintara.
sampai pada saat film selesai dan kredit film mulai diputar, abintara menanyakan ayeeta jawaban atas usulan yang ia berikan.
saat itu ayeeta menatap abintara yang menatapnya dengan alis terangkat dan senyuman di bibirnya, seakan-akan ia sudah mengetahui jawaban seperti apa yang akan ayeeta berikan.
ayeeta menyentuh pipi kiri abintara dengan tangan kanannya, membalas senyuman abintara dengan senyumannya--bersama abintara adalah mudah, dan ayeeta tidak keberatan untuk menetap lebih lama dengan kenyamanan yang dirasakannya.
"oke." jawabnya.
-
pertama kali kata berpisah terucap adalah saat ayeeta berada di pelukan abintara.
saat itu adalah pertama kalinya mereka bertatap muka setelah dua bulan lamanya menenggelamkan diri dalam kepentingan dan pekerjaan masing-masing.
malam itu abintara menjemput ayeeta di kantornya, hal yang sudah lama tidak pernah abintara lakukan dan tidak pernah ayeeta permasalahkan. abintara menyambutnya dengan tiga kecupan di bibir ayeeta yang masih menggunakan lipstick berwarna merah, membuat bibir abintara ikut berwarna merah dan mereka tertawa karenanya.
malam itu mereka makan malam di tempat fast food kesukaan mereka sebelum pulang ke apartment abintara. tempat yang sebenarnya sering ayeeta kunjungi beberapa minggu terakhir ketika ia tidak mempunyai tenaga untuk pulang ke apartmentnya, dan apartment abintara jauh lebih dekat dengan kantornya dibandingkan dengan miliknya. tetapi selama beberapa kali ia menginap di apartement abintara, tidak sama sekali ia bertemu dengan si empunya. abintara lebih menyukai tidur di studionya agar lebih mudah melanjutkan pekerjaannya dibandingkan tidur di apartmentnya, tidak peduli seberapa sering ayeeta memarahinya.
malam itu mereka membayar semua hal yang tertunda selama dua bulan belakangan. melepas rasa rindu yang mereka rasakan, ditemani dengan suara sprai yang bergesekan satu sama lain dan dengan badan mereka.
malam itu ayeeta terlelap di pelukan abintara dengan kedua tangan abintara yang melingkari pinggangnya, dan punggungnya yang menempel erat dengan dada abintara. malam itu ayeeta terlelap karena kecupan-kecupan yang abintara berikan di pundak kirinya.
abintara masih terlelap ketika ayeeta terbangun dari tidurnya. ayeeta memutar badannya untuk menatap abintara yang masih tertidur dengan bibirnya yang terkerucut, membuat ayeeta tidak tahan untuk mengecupnya berkali-kali sampai abintara terbangun dengan erangan kesal.
pagi itu mereka habiskan di tempat tidur sampai perut abintara berbunyi meminta untuk diperhatikan, membuat keduanya tertawa namun masih enggan untuk beranjak.
"ta, do you ever think that we have to end our relationship soon?"
ayeeta menatap abintara sebelum mengalihkan pandangannya ke langit-langit kamar, "iya. kamu?"
"iya juga." aku abintara. "being with you is indeed easy but — ”
" — but we don’t see forever in it."
abintara mengangguk mengiyakan. keduanya terdiam seiring dengan kejadian-kejadian beberapa tahun belakangan kembali terputar dalam ingatan.
"so it's time for me to go or?" tanya ayeeta memecah keheningan diantara mereka.
abintara mengeratkan pelukannya, "do you have to go today? cant you go tomorrow?"
"i can stay for today. i can stay until tomorrow too. i can still meet you whenever we have time to, but we both know our label is now expired, dont we, bin?" kata ayeeta sambil mengelus rambut abintara yang kini sedang memejamkan matanya.
"i know. just didn't expect it to hurt this bad tho." jawabnya.
ayeeta tersenyum mendengarnya dan menepuk pelan pipi abintara, memintanya untuk membuka matanya dan melihatnya. "i didn't expect it too."
abintara menyingkirkan helaian rambut ayeeta sebelum mengecup keningnya, "it's been a good 6 years to me. thank you for having me, ta."
"thank you for having me too, bin. i'm glad it's you that i fell for." ucap ayeeta lalu ganti mengecup dagu abintara.
"last kiss? on the lips?"
ayeeta tertawa, "okay."
-
i loved you and i was loved. that’s good enough for me. — love scenario.
0 notes
Text
Alasan
Alasan.
Mungkin menyenangkan kalau aku bisa memberikan alasan. Menjelaskan kenapa aku begini, kenapa aku begitu. Memberitahu agar mereka mengerti dan berhenti berpikir sesuatu yang bahkan tidak pernah terlintas dipikiranku.
Memberikan alasan terdengar menyenangkan, karena aku mungkin sudah tidak kuat dianggap menyebalkan.
Tapi aku tidak suka memberikan alasan.
Bukan karena aku sok mempunyai prinsip ‘gak perlu banyak alasan buat ngebuktiin kalo lo gak salah’ (tho honestly I kinda have that principle), tapi karena memberikan alasan terlalu merepotkan. Terlalu buang-buang tenaga.
Mungkin juga, rasa frustrasiku karena dianggap menyebalkan lebih kecil daripada rasa penasaranku untuk tahu seliar apa pemikiran orang-orang tentang sifatku.
Karena, terkadang, rasanya menyenangkan mengetahui hal-hal apa saja yang bisa orang pikirkan tentangku tanpa mereka mengetahui alasan sebenarnya aku melakukan hal-hal itu.
Karena, terkadang, memang lebih baik mereka tidak tahu alasannya.
Bukan, bukan karena hal buruk yang memang menjadi dasarnya (meskipun 50 persen adalah iya), tapi karena aku memang orang yang pemalas.
Pemalas, dan suka menertawakan berbagai macam pemikiran orang tentangku.
Bukan, bukan tertawa jahat—tenang saja. Tapi tertawa karena aku terhibur. Karena kalian berhasil menghiburku.
Alasan.
Rasanya, menyenangkan kalau aku memberikan banyak alasan.
Tapi, mungkin, sebenarnya aku memang tidak punya alasan—dan, mungkin, tidak ada juga yang mau mendengarkan untuk mengerti segala arti dibaliknya.
Lagian, siapa juga yang suka dengan orang yang penuh dengan alasan?
0 notes
Text
Lewat Pukul Satu
https://starsinyourtears.tumblr.com/post/185410023398/pukul-satu
vi.
Pukul 1, dan kamu datang kembali.
Tidak ada hal spesial, tapi kamu tiba-tiba datang. Biasanya jantungku akan berdegup kencang, walau hanya melihat namamu. Biasanya pikiranku kacau, mencari cara agar kamu tidak cepat pergi dan aku tidak terus menerus melihat pembicaraan kita yang telah berakhir.
Biasanya aku senang–tapi kali ini, aku tenang.
Jantungku tidak lagi berdegup kencang, pikiranku berhenti kacau.
Mungkin karena aku telah banyak melewati pukul 1; mungkin karena aku sudah terlalu banyak memikirkanmu–sudah teralu banyak merindukanmu, terlalu sering menginginkan dirimu.
Mungkin karena aku telah banyak melewati pukul 1, dan aku terlampau perih menunggu dengan Sepi sehingga aku menyuruhnya untuk pergi. Tidak usah kembali. Karena aku akan terlelap dan tidak akan terjaga pada pukul 1 lagi.
Mungkin karena aku telah banyak melewatkan pukul 1, aku tidak lagi bertemu dengan Sepi. Ketika aku terjaga kembali dan kamu datang lagi, aku berhenti merasa perih dan bukan karena hatiku yang mati–tetapi karena perasaanku yang mungkin telah lama pergi bersama Sepi.
vii.
Lewat pukul 1, dan aku rasa aku bisa pergi.
0 notes
Text
Jarak
Kata orang, jarak yang akan membuat lupa. Tetapi semakin besar jarak yang membuat aku dan kamu jauh, aku menemukan diriku sedang berharap kalau kamu ada disini dan membuat semuanya terasa lebih baik.
Aku tidak lupa–semua kenangan indah tersimpan tanpa aku minta.
Kata orang, waktu yang akan menyembuhkan luka. Tetapi waktu dengan senang hati mengingatkan memori yang sudah terpendam jauh ditempat yang tak ingin kusentuh.
Bagiku waktu tidak menyembuhkan luka–karena aku memberikan diriku waktu untuk merindukan kamu.
Kata orang, penyesalan hanya akan membawa nestapa. Tetapi bagaimana dengan aku yang selalu menyalahkan diriku dan membuatku tenang karenanya? Bagaimana dengan aku yang selalu menyesal dan penyesalan itu yang juga membantuku untuk bisa bertahan?
Aku rasa penyesalan tidak hanya membawa nestapa–aku perlu menyesal untuk tetap bisa melangkah.
Aku yang terus menyesal dan penuh dengan luka–tetapi tidak akan pernah lupa.
Karena aku selalu berharap akan membuat kamu tahu dan mengerti.
Bukan untuk kembali, tetapi agar kamu menyadari aku tak pernah ada maksud untuk menyakiti.
0 notes
Text
Maybe
Maybe it happened because of my habit–too scared to open up myself, even with you; even after all these time we spent telling secrets to each other, i didn’t know why i found it still hard to tell you what was wrong with me–with what i felt. Too scared to the possibility that i would hurt you, in every possible ways.
Maybe it happened because we were too comfortable with our own worlds–with the small safe zone we created to respect each other’s privacies; that somehow the small safe zone changed into a small distance, that slowly extended and i, we, weren’t sure how to make it closer and not to be became dangerous.
Maybe it happened because i thought that i wasn’t good enough for you; that i, consciously, was letting you go, bit by bit–second by second–minute by minute. Though, somewhere, deep in my heart, i keep chanting it was you that i needed, it was you–it was always you that i needed; but i keep loosing my grip to yours, waiting for you to free your fingers from mine.
Maybe it happened because i keep giving you the opportunity to leave me. Maybe it happened because you finally realized how messed up i was, how i was going to mess you too if you were still with me, how we were going to mess up each other. Maybe it happened because i wasn’t supposed to be yours, just like you weren’t supposed to be mine. Maybe it happened because we weren’t meant to be together in this lifetime; maybe because we were already together in our previous lifetime; maybe because we could in our next lifetime; or maybe because we just couldn’t.
Maybe–we always had a maybe.
It was funny how both of us still did not know what made us drifted apart; still did not know what and who that should take the blame. It was funny how i still thought of you until my chest felt tight; still felt your touch in every part of mine.
And i lost you–but let me told you a secret;
you’d never lose me.
As easy as it was being said, as complicated as it should be; you are always welcome home–
anytime.
0 notes
Text
Just Like That
Rain begins to start falling again tonight.
Then I remember you said rain well up; you always thought I well up.
But you really don’t have any idea what’s the secret behind a smile, do you? A story that no one knows.
The heart that’s already broken; the tears that are falling every night; the memories that will always stay–how happy we were when we promised to never letting go each other hand.
But you don’t know, do you?
Just like that–just be like that towards me.
So please keep thinking that I always well up and turn your back on me.
Don’t ever turn around; don’t ever look at me.
Because I don’t want you to see how fucked up I am; how bad I need you here; how my world is always revolving around you.
So please keep walking and don’t ever think about me.
Please hate me and don’t be nice at me.
I am a mess and I don’t want you to be.
So please don’t ever turn around, and leave me.
And also, please, be happy.
0 notes
Text
2015.05.01
Aku ingin berhenti untuk menyesal—secepat mungkin.
Aku sudah terlalu lama berada dalam penyesalan-penyesalan yang tak berujung—seperti rumput liar yang dibiarkan akan tumbuh menjadi lebih banyak.
Aku ingin berhenti untuk menyesal—setidaknya untuk beberapa hal dari masa lalu.
Aku ingin menyudahi penyesalan yang sudah tertumpuk terlalu dalam—yang rasanya sudah terlalu banyak, membuatku tak tahu harus mulai mengikhlaskannya dari bagian yang mana.
Aku ingin berhenti untuk menyesal—setidaknya aku ingin mencoba memaafkan diriku sendiri dahulu.
Karena semua penyesalanku dimulai dari diriku. Semua hal yang terjadi diluar rencanaku, adalah aku yang paling besar mengambil peran dalam kegagalan tersebut.
Aku ingin berhenti untuk menyesal—tapi rasanya terlalu mustahil.
Adalah kesalahanku karena menyembunyikan diriku yang sebenarnya dari kenyataan—kesalahanku karena hanya menunjukkan sisi yang hanya dirasa akan diterima yang lainnya.
Adalah kesalahanku karena aku bahkan tidak bisa mempercayai siapapun—karena aku bahkan terlalu takut untuk terlihat lemah dimata selain milikku.
Karenanya terasa sangat mustahil.
Karena aku merasa hanya aku yang menjaga diriku sendiri agar tetap tegap—hanya aku sendiri yang bisa memegangku; karena aku merasa tidak ada yang menjadi tumpuanku.
Karena bagiku, yang aku butuhkan hanyalah seseorang yang merubah latar abu-abu menjadi merah jambu; tanpa perlu tahu apa kesedihanku.
Aku ingin berhenti untuk menyesal—setidaknya aku ingin merubah penyesalan menjadi suatu anugrah.
Aku tidak ingin berdiri ditempat yang sama. Aku tidak ingin terus menerus menyesali hal yang tak bisa aku gapai. Aku tidak ingin terus menerus mengeluarkan air mata penyesalan dalam kesunyian—aku ingin merubahnya menjadi tawa bahagia bersama orang-orang yang aku anggap berharga.
Aku ingin berhenti menyesal—;
Seseorang yang sangat penting dihidupku pernah mengatakan; hal yang paling membuatnya bangga adalah semangat dan usahaku untuk berhasil.
—karena aku ingin menunjukkan padanya kalau aku tidak akan kalah terangnya dari matahari.
0 notes
Text
2015.08.27
Waktu tidak selamanya menyembuhkan luka.
Terkadang, waktu mengembalikan memori semudah membalikkan telapak tangan.
Ketika memori itu kembali, setiap detiknya bagaikan tertusuk mawar berduri.
Menyakitkan, tetapi mawar adalah indah–begitupun dirimu.
Waktu tidak selamanya menyembukan luka.
Terkadang, waktu malam datang aku menemukan diriku sedang merindukanmu.
Rindu yang tak pernah aku tahu kapan akan terpenuhinya.
Rindu yang menyakitkan–rindu yang tak bisa aku cegah.
Waktu tidak selamanya menyembuhkan luka.
Terkadang, aku menghabiskan waktuku memikirkan tentang kamu.
Kamu, yang aku rasa tidak tahu.
Kamu, yang hanya memikirkanmu saja menimbulkan sebuah perasaan yang menyesal karena tak pernah di ungkapkan.
Kamu–hanya kamu.
Waktu tidak selamanya menyembukan luka.
Terkadang, karena memang aku telah membuat sebuah waktu untuk kamu.
Aku, yang masih berada di tempat yang sama.
Aku, yang tidak akan pernah bisa melewati garis yang telah kamu buat.
Aku, yang tidak bisa melangkah mundur meskipun kamu tidak akan pernah melangkah maju satu langkahpun.
Waktu tidak selamanya menyembukan luka.
Terkadang, aku memang membutuhkan luka.
Karena hanya ia yang kamu tinggalkan.
0 notes