Text
19 Juli 2021.
Mungkin, aku bisa mulai mengubah semua hal mulai dari tanggal ini. Masih ada sebulan lagi. Masih bisa kuperbaiki hal-hal yang terlihat aneh di luar. Juga memperbaiki hal-hal yang seharusnya tidak terjadi di dalam hatiku.
19 Juli 2021.
Semoga semuanya kelak akan selesai sebelum tanggal itu. Jadi, pada tanggal itu pun aku bisa memulai hal yang baru. Hal yang selama ini aku singkirkan, entah karena ego atau tuntutan. Tapi aku sudah bertekad. Apakah tekadku kuat? Aku tidak tau, tapi menuliskannya di sini adalah salah satu langkah yang aku tempuh. Semoga, semuanya akan segera terwujud.
Rencanaku untuk kabur, lalu memulai dari awal.
Suatu Tempat, 12 Juni 2021.
-taengkyubox
4 notes
·
View notes
Text
Hello, tumblr.
Sudah sekian lama sejak post terakhir saya di sini. Apa kabar? Saya rasa saya banyak melupakan apa yang pernah saya tuliskan dan pikirkan di sini. Saya juga tidak ingat rasa semangat yang pernah saya rasakan dulu ketika menulis. Mungkin karena saya terlalu angkuh dan menyibukkan diri dengan hal yang tidak bermanfaat. Entah, entah mengapa saya masih meneruskan hal yang tidak berguna tersebut. Tidak ada manfaatnya, selain menambah beban pikiran dan membuang waktu. Saya akhirnya mengunduh ulang aplikasi Tumblr ke hape ini. Saya sangat berharap Allah mengizinkan saya untuk lebih banyak menulis hal-hal yang sekiranya dapat membantu orang lain ketimbang mengerjakan sesuatu yang sia-sia. Saya sudah berdoa, dan ini salah satu bentuk usaha saya. Semoga saya bisa konsisten untuk terus menyebarkan tulisan yang bermakna di sini.
Suatu Tempat, 28 Mei 2021.
-taengkyubox
0 notes
Text
#11 Memandang Janji Diri
Janji saya untuk diri saya adalah membuat 30 pos di bulan Ramadhan yang berturut-turut.
Tapi kemudian dilakukan dengan cara -yang-penting-dalam-sebulan-ada-30.
Lucu betul saya ini.
Ada lagi janji untuk mencuci baju di pagi hari.
Nyatanya 3 hari masih direndam saja baju-baju yang malang itu.
Janji lain untuk mandi lebih awal, hanya dilaksanakan ketika badan sudah lengket.
Saya heran, bakal jadi manusia macam apa saya ini?
Lalu saya mulai memperhatikan lagi.
Agaknya, memang ada yang salah juga dengan cara saya menyikapi bulan Ramadhan. Saya tidak begitu menangkap maksud sebenarnya dari pemikiran ini, tapi jika diraba, memang yang saya lakukan dari segi porsi - justru lebih banyak ke arah duniawi ketimbang surgawi.
Ngenes betul kau.
Makanya, saya mencoba sekali lagi untuk mengkoar janji diri di sini.
Setidaknya, di hari yang indah ini, cobalah bergerak ketika terpikirkan janji-janji sebelumnya.
Setidaknya, bangunlah, jangan duduk saja.
Ya Allah, izinkan hamba-Mu yang hina dina ini untuk melaksanakannya.
Aamiin.
–
Tulisan ini menjadi bagian dari proyek harian #30daysramadhanwriting yang digagas mbak @novieocktavia yang seharusnya diterbitkan untuk tanggal 6 Juni pukul 00.00 WIB. Tulisan saya akan terbit setiap hari pukul 00.00 WIB selama Ramadhan. Terima kasih telah membaca~!
0 notes
Text
#10 Merantau ke Mimpi Orang
Sedih, tapi sebuah kenyataan yang harus dihadapi, bukan diratapi.
Adakalanya, mimpi yang terpikirkan di hati tidak mampu mencari jalan keluar di otak.
Akhirnya, sinyal otak mulai menganalisa mimpi-mimpi orang lain dan mempertimbangkan kelayakannya untuk dicoba oleh logika.
Logika mulai merancang bangun kerangka awal mimpi itu di atas kertas dengan bantuan tangan, yang kemudian disambar oleh hati,
“Apakah ini sudah layak?”
Tangan itu berhenti, kertas itu mulai terdiam ketika mata tidak kunjung bergerak dari tempatnya. Hidung mulai menarik-narik udara di sekitar -semampunya, dan paru-paru bersekongkol dengannya hingga sejumlah karbondioksida dengan jumlah lebih banyak dialirkan dengan bantuan diafragma yang tertekan.
Kemudian hati mulai bersuara,
“Kamu capek. Ayo istirahat.”
Terkadang, mata ini hanya lapar mencoba mimpi, bukan benar-benar mewujudkannya.
Ketika ia mencoba apa yang ia pikir ia mimpikan, kemudian ia tersadar bahwa ia tidak tau apa-apa, dia bahkan tidak bisa mengandalkan intuisinya demi mewujudkan mimpi itu.
Ketika apa yang ia anggap sebagai mimpi ternyata hanya nafsu belaka. Nafsu dipandang, dipuji, dihargai, dihormati, dikenal, dibilang terkenal, disenangi, dicari-cari. Nafsu selayang sepandang, tapi bisikan setan membungkusnya dengan rapi.
Mimpi yang datang semata ketika salah satu sel di hati merasa picik dengan kesuksesan manusia lain dalam mewujudkan mimpinya.
Agaknya ia lupa, manusia itu milik Tuhan.
Lupa, lupa. Sungguh wajar. Tapi lupa terus, bukan jalan yang harus ditempuh.
Mari sudahi perantauan ke mimpi orang lain ini. Mari tanyakan sekali lagi ke seluruh unsur dalam diri,
“Kamu lupa, kamu harus ibadah dengan semua kelebihan dan kekuranganmu sebagai manusia?”
– Tulisan ini menjadi bagian dari proyek harian #30daysramadhanwriting yang digagas mbak @novieocktavia yang seharusnya diterbitkan untuk tanggal 5 Juni pukul 00.00 WIB. Tulisan saya akan terbit setiap hari pukul 00.00 WIB selama Ramadhan.
Terima kasih telah membaca~!
0 notes
Text
#9 Mengatur Uang
Biasanya yang akan terpikirkan berasosiasi dengan topik uang mahasiswa adalah:
1. Uang makan 2. Ongkos 3. Fotokopi 4. Buku
Ada tambahan sekunder:
1. Bayar kosan 2. Makan cantik alias nongkrong
Tambahan tersier:
1. Uang baju 2. Uang make up
Well, saya kurang tau dengan pihak mahasiswa karena saya seorang mahasiswi, sih. Hehe.
Satu yang pasti, uang ini akan habis percuma kalau tidak dimanfaatkan dengan benar.
Saya sudah mencobanya beberapa kali - mulai dari cara tradisional dengan kertas dan pulpen - hingga macam-macam aplikasi android yang memiliki ulasan cukup baik, namun akhirnya bertemu lah dengan satu yang nyaman. Pun, saya harus membelinya agar punya rasa memiliki aplikasi tersebut.
Apa sih intinya dalam mengatur uang?
Catat.
Catat berapa pun yang keluar dan yang masuk. Untuk sekarang, saya sedang mencoba berfokus mencatat apa saja yang keluar.
Pada awalnya, akan sangat sulit. Bahkan meskipun sudah dicatat ingin beli apa, tapi setan sungguh berusaha hingga catatan itu sia-sia.
Lalu akan terjadi saat-saat krisis menghampiri karena cara mengatur uang yang belum profesional itu. Di sini lah fase-fase ‘saya menyesal dan tidak ingin mengulanginya’ datang.
Dalam kasus saya, hal ini berhasil secara temporer alias sementara.
Butuh berkali-kali diingatkan oleh-Nya melalui krisis-krisis selanjutnya yang membuat tidur tidak nyaman hingga akhirnya saya menemukan satu pola yang cocok dengan saya.
Pengeluaran terbesar saya justru ada di makanan.
Kenapa?
Ya, karena saya tidak masak sendiri, jadi pengeluarannya begitu parah.
Saya mulai dari pengurangan porsi dan memasak air putih sendiri. Alhamdulillah, sudah mengalami kemajuan.
Sebelumnya, saya makan seperti orang gila dalam takaran porsinya dan menumpuk botol air minum sembarangan. Sedangkan ada peringatan dari Allah soal porsi makanan:
Allah SWT berfirman:
يٰبَنِيْۤ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْا ۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ yaa baniii aadama khuzuu ziinatakum ‘inda kulli masjidiw wa kuluu wasyrobuu wa laa tusrifuu, innahuu laa yuhibbul-musrifiin
“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A'raf 7: Ayat 31)
* Via Al-Qur'an Indonesia http://quran-id.com
Ya, saya sangat merasakannya. Saya sebenarnya tidak perlu makan hingga satu piring penuh nasi beserta lauk pauknya. Saya hanya perlu nasi yang cukup dengan lauk yang mengandung protein dan sayuran, dan terpenuhilah gizi saya secara ilmiah. Pun, makan berlebihan biasanya membuat perut sakit dan mata berat. Hal ini tentu merugikan di bulan Ramadhan, di mana sebenarnya mampu untuk menambah amalan -tapi kemudian mengantuk dan tidak bisa melanjutkannya.
Omong-omong soal mengantuk, saya mendapatkan ilmu dari seorang motivator, yaitu jalan-jalan lah dan/atau berwudhu agar rasa kantuk itu hilang. Sayangnya, saya belum sempat mencobanya secara langsung.
Sebagai pengingat, ada baiknya uang itu digunakan untuk berinfaq di jalan-Nya. Jangan ragu, toh sudah banyak janji Allah untuk memberi balasan yang lebih baik dari uang itu. Tentu, niatkan untuk mendapat ridha-Nya jauh lebih penting ketimbang berniat untuk mendapatkan balasan dari-Nya.
Selamat mencatat pengeluaran, mahasiswa! Hal ini insya Allah akan sangat berguna ketika nanti sudah mendapatkan penghasilan sendiri, maka pelajarilah pola mengatur uang kita dari sekarang.
– Tulisan ini menjadi bagian dari proyek harian #30daysramadhanwriting yang digagas mbak @novieocktavia yang seharusnya diterbitkan untuk tanggal 4 Juni 2017 pukul 00.00 WIB.
Terima kasih telah membaca~!
1 note
·
View note
Text
#8 Keinginan Seorang Korban
Saya ingin membagikan coretan saya kali ini yang lebih mirip dengan sketsa dalam dunia menggambar. Belum jadi, tapi bisa terlihat bentuk awalnya.
“Apa yang diinginkan oleh korban?
Mereka pasti ingin pelaku mengakui perbuatannya di pengadilan dan mendapatkan hukuman.”
Sepenggal dialog di drama Tunnel episode 5 ini cukup membuat saya tertegun.
Balas dendam bukan jawaban ketika dizalimi.
Namun, betapa cepatnya sumbu kemarahan manusia tersulut saat kesempatan untuk itu ada?
“Tidak ada yang bisa dilakukan ketika insidennya sudah terjadi.”
Betul, semuanya sudah menjadi takdir yang sudah tidak bisa berubah. Jadi, apa yang bisa kita lakukan ketika berada di posisi korban?
Saya tidak tau jawaban secara pastinya. Baik secara ilmiah maupun syariah.
Saya bertanya lagi,
“Apa yang diharapkan oleh korban?”
Apa jawabannya ada dalam Al-Quran?
Kemudian saya mencari kata kunci ‘zalim’ dan bertemulah dengan ayat ini.
Allah SWT berfirman:
اِنِّيْۤ اُرِيْدُ اَنْ تَبُوْٓءَ بِاِثْمِيْ وَ اِثْمِكَ فَتَكُوْنَ مِنْ اَصْحٰبِ النَّارِ ۚ وَذٰ لِكَ جَزٰٓؤُا الظّٰلِمِيْنَ ۚ inniii uriidu an tabuuu`a bi`ismii wa ismika fa takuuna min ash-haabin-naar, wa zaalika jazaaa`uzh-zhoolimiin
“Sesungguhnya aku ingin agar engkau kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka engkau akan menjadi penghuni neraka; dan itulah balasan bagi orang yang zalim.” (QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 29)
* Via Al-Qur'an Indonesia http://quran-id.com
Dalam hal ini, perbuatan zalim yang dimaksudkan adalah pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil kepada saudara kandungnya sendiri, Habil.
Habil sendiri digambarkan tidak berniat untuk membunuh Qabil di ayat sebelumnya, menurut pemahaman orang awam yaitu saya.
Hal ini cukup membuat gambaran kasar bahwa korban sebenarnya tidak menginginkan balas dendam yang tidak membawakannya apa-apa yang akan berguna baginya.
Namun, bila kita rajin mencari-cari hukum lain di dalam Al-Quran, maka kita pun tau bahwa Allah akan mengampuni mereka yang bertaubat setelah berbuat zalim. Pun, hal ini hanya akan terjadi apabila Allah menghendaki orang tersebut mendapatkan hidayah untuk bertobat. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Tuhan seluruh alam. Siapa lagi yang mampu melakukannya selain-Nya? Skenario seperti ini memang cukup membingungkan terkadang yang terkait dengan penalaran saya - tapi di sisi lain membuka mata saya dengan sangat jelas -bahwa hal ini menggambarkan kasih sayang-Nya terhadap makhluk-Nya.
Saya cukupkan sketsa saya yang masih berantakan ini. Saya tidak bisa bahasa Arab secara mendalam, tafsir pun apalagi, saya hanya mencoba menemukan kaitan apa yang saya temukan hari ini dengan pedoman hidup saya dan seluruh umat dan mengajak pembaca untuk juga berpikir.
Sebelumnya, saya mohon maaf karena tidak bisa memenuhi janji saya menuliskan pos ini lebih awal - saya juga baru saja menonton drama ini.
Semoga saya tetap diizinkan untuk menulis hal-hal yang diridhai-Nya di masa yang akan datang. Aamiin.
– Tulisan ini menjadi bagian dari proyek harian #30daysramadhanwriting yang digagas mbak @novieocktavia yang seharusnya diterbitkan untuk tanggal 3 Juni pukul 00.00 WIB. Masih ada satu hutang pos lagi untuk tanggal 4 Juni, ya Allah. Tulisan saya rencananya akan terbit setiap hari pukul 00.00 WIB selama Ramadhan mulai tanggal 5 Juni 2017.
Terima kasih telah membaca~!
0 notes
Text
#7 Jawaban dari Allah
Suatu hari di masa kecil saya, saya sempat bertanya-tanya dalam hati, apakah boleh menggunakan surat pendek Al-Quran yang sama di dalam solat? Pertanyaan itu tidak pernah saya keluarkan dari mulut saya.
Suatu hari, saya mendengar program entah di radio atau di televisi yang sedang membahas masalah ini, yang kebetulan ditanyakan oleh salah satu audiensi.
“Ya, ganti lah, masa suratnya sama terus?”
Saya ingat betul, saya merasa lega saat mendengarnya. Saat itu, saya merasa bahwa Allah sedang menjawab pertanyaan penuh gelisah itu. Sejak saat itu hingga sekarang, saya tidak pernah menggunakan surat yang sama dalam satu solat, haha.
Saat itu, saya masih kecil, dan saya masih dapat menangkap apa yang sebenarnya terjadi.
Namun, ketika kembali ke masa kini, saya baru menyadari bahwa saya sebenarnya amat kurang bersyukur.
Kehadiran teknologi canggih semacam gugel seakan membuat saya merasa, “Oh, ini lah alat yang membantu saya,” ketika kenyataannya adalah Allah yang memberikan pemikiran kepada saya untuk menuliskan kata kunci yang dapat membawa saya kepada hasil yang saya harapkan.
Saya jadi ingat di kala saya solat Istikharah, yaitu solat ketika dihadapkan pada dua pilihan yang membingungkan kita, ketika saya bingung ingin memilih jurusan kuliah. Saya mengubek-ubek gugel dengan kata kunci “Sastra Arab” dan “Sastra Rusia”, dan keduanya memiliki hasil yang jauh berbeda di mata saya ketika itu - saya sedang di warnet. Ketika saya melihat hasil pencarian “Sastra Arab”, saya benar-benar tidak tertarik. Dan hal yang sebaliknya terjadi ketika melihat hasil pencarian “Sastra Rusia”. Hampir semua situs web yang membahasnya saya klik bersamaan dan membuat peramban Mozilla agak diragukan kualitasnya - lelet.
Saya merasa lega saat itu, dan tidak ada keraguan lagi - saya menaruh Sastra Rusia di pilihan pertama saya, dan Sastra Arab di pilihan ketiga.
Saya pun diterima, dan saya dapat dengan penuh syukur berkata, Allah punya skenario khusus bagi saya di pilihan ini.
Tapi saya benar-benar baru menyadarinya sekarang ini.
Dengan cara yang tidak diduga-duga, saya mengetahui bahwa Pusat Kendali Stasiun Luar Angkasa di Rusia mewajibkan calon astronot untuk dapat menguasai bahasa Rusia.
Salah satu cita-cita saya sejak kecil salah satunya adalah menjadi seorang astronom.
Masya Allah. Allahuakbar. Begitu sayangnya Allah kepada saya….
Pada dasarnya, apa yang kita lakukan, Allah-lah dalang dibalik semuanya. Jikalau Dia berkehendak kita memilih jalur yang baik, dibuatlah pilihan baik itu sebagai pilihan yang lebih bisa diterima akal sehat, dimudahkanlah apabila kita memilih pilihan yang baik.
Pun bila Allah tidak menghendaki -naudzubillah himindzalik- hidayah bagi kita, Dia tetap menyediakan pilihan sebelum hal bernama takdir tercipta. Jika kita keukeuh memilih yang buruk, dan Allah mengizinkan, toh, apapun hasil buruk yang terjadi semuanya adalah salah kita. Jika Allah mengembalikan kita ke posisi di mana kita masih mempunyai pilihan yang baik, yakinlah, Allah masih sangat menyayangi kita, namun tetap menghargai kita, makhluk ciptaan-Nya, yang diberi kemampuan akal sehat untuk memilih takdirnya sendiri -yang masih dapat diubah.
Pos ini, yang seharusnya terbit tanggal 2 Juni pukul 00.00 WIB, jadinya terbit di hari ini yang juga membuat pos asli untuk hari ini ikut tertunda pun, semoga ada manfaat di balik semua kesulitan yang saya hadapi ini.
Semoga, kita semua tetap berhusnudzan kepada Allah hingga tua nanti. Aamiin.
– Tulisan ini menjadi bagian dari proyek harian #30daysramadhanwriting yang digagas mbak @novieocktavia yang seharusnya diterbitkan untuk tanggal 2 Juni pukul 00.00 WIB. Tulisan saya akan terbit setiap hari pukul 00.00 WIB selama Ramadhan, namun satu hutang pos selanjutnya - untuk tanggal 3 Juni akan saya terbitkan tanggal 4 Juni di pagi hari pukul 08.00 WIB.
Terima kasih telah membaca~!
1 note
·
View note
Text
#6 Semangat Mahasiswa Baru
Ketika menjadi mahasiswa baru di tahun 2015 lalu, saya merasakan hal-hal yang tidak begitu saya pahami - semuanya bercampur aduk dan tampaknya berlalu dengan cepat, sehingga saya harus lebih cepat agar tidak tertinggal.
Banyak momen ketika saya berhasil melakukan apa yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya - saya rasa karena dunia ini begitu luas dan saya hanya seorang manusia berukuran semut jika dilihat dari ketinggian 700 meter di atas permukaan air laut. Saya bilang berhasil - karena saya benar-benar seorang penakut yang jarang melakukan hal-hal yang sering dikatakan ‘aneh-aneh’ oleh orang di sekitar rumah. Aneh-aneh ini bukan berarti menyimpang dari norma yang berlaku, tapi menyimpang dari kebiasaan saya.
Saya ingat betul, ada banyak tugas yang diberikan di masa-masa percobaan itu, di mana saya tidak tau lagi apa rasanya tidur 5 jam, haha. Saya lebih sering ketiduran dan bangun dengan amarah memuncak karena tugasnya belum selesai - bahkan belum dimulai, tapi waktu saya hanya tinggal 1 jam. Alhamdulillah amarah itu saya gunakan untuk menggerakkan jari saya dalam memenuhi lembaran kertas putih bekas dengan pemikiran semrawut saya - yang saya rasa juga sedang kebakaran.
Tapi, toh, marah atau tidak marah, saya berhasil menyelesaikannya.
Dan nilai akhir saya bila dibandingkan dengan satu kelompok - anehnya - masuk dalam jajaran tiga besar.
Apakah itu artinya saya lebih baik dari mereka?
Mungkin secara hasil, iya. Namun secara proses -saya lebih senang menilai sebuah proses -saya tidak akan pernah merasa itu merupakan proses terbaik yang pernah saya jalani, namun adalah proses untuk saya pelajari, sehingga saya menemukan bahwa diri saya mengalami berbagi percobaan dan kesalahan dalam satu langkah dan langkah-langkah berikutnya.
Sebagai mahasiswa baru, saya betul-betul kacau secara proses.
Tapi, ada satu hal yang masih berlaku hingga sekarang. Dan itu baik bagi saya untuk mengetahuinya.
Apapun yang direncanakan, dilakukan, ditentukan batas waktunya, selama kamu berdoa dan berusaha memenuhinya, melakukan yang terbaik, apakah hal itu membuatmu sedih atau bahagia selama menjalaninya- hal itu akan selesai. Tapi baik buruk prosesnya selalu tergantung dari sejak perencanaan dimulai.
Dan sayangnya, saya masih kacau ketika melakukan perencanaan.
Di suatu contoh, sering kali saya tertarik untuk membaca webtoon, kemudian menghabiskan waktu satu jam konsentrasi penuh saya yang akan sangat membantu dalam mengerjakan tugas. Setelah satu jam itu hangus, saya mencoba mengerjakan tugas, namun mata saya sudah tidak kuat. Jadilah, saya tertidur dengan terpaksa.
Saya sudah banyak membaca artikel dan buku mengenai manajemen waktu. Saya tau dari situ - saya benar-benar harus banyak belajar mengelola waktu atau saya akan kacau hingga hari tua.
Proses ini masih berjalan, dengan penambahan dan pengurangan di sana-sini, pengenalan dan pelupaan bagian-bagian tertentu, pemahaman dan penolakan terhadap situasi dan kondisi yang berbeda, serta kesenangan dan kesedihan yang tidak luput membayangi diri.
Semangat mahasiswa baru kala itu, menyelesaikan tugas sebanyak apapun dan setidak-logis-logisnya dalam waktu sesingkat-singkatnya, ternyata mampu menancapkan pemahaman kepada saya, bahwa saya hanya perlu melakukannya -segala macam ujian dunia yang tidak habis-habis ini - dengan proses yang baik atau berakhir dengan buruk - saya hanya perlu menjalaninya semampu saya saat itu, dengan bantuan dari-Nya, tentunya.
Coba tebak, apa yang akan terjadi jika ketika bangun tertidur ketika masa mahasiswa baru, saya marah besar karena belum memulai tugas yang harus dikumpulkan hari itu juga - tapi saya tidak mengerjakan tugas itu?
Dan hal ini kembali berulang, ketika saya tertidur saat mengerjakan tugas akhir yang akan memengaruhi nilai kelulusan saya - apa yang akan terjadi bila saya tidak mengerjakannya?
Kegagalan. Yang. Sangat. Jelas.
Karena kita semua sudah pasti tau apa yang akan terjadi selanjutnya, kan? Karena proses-proses itu dibutuhkan untuk memenuhi syarat kita untuk terus berjalan maju. Dan saya tidak mengerjakannya, akan sama saja dengan menggali kuburan sendiri.
Tapi, pada akhirnya saya tetap memilih untuk melakukannya. Lalu apa yang akan terjadi?
Meski hasilnya belum tentu baik ataupun buruk, secara proses, saya berhasil memenuhinya. Secara kualitas, mungkin memang masih harus ditinjau ulang. Secara kuantitas, saya berusaha memenuhinya, dan terpenuhi - meskipun belum maksimal, intinya saya mencoba.
Dan selalu ada kesempatan untuk memperbaiki proses itu. Saya punya contoh lagi, yaitu akhir-akhir ini saya mengambil kursus penulisan esai di Coursera. Saya mulai sedikit memahami mengenai pentingnya memilih dan memilah sumber yang kredibilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Dan saya sekarang mencoba untuk melakukannya dengan lebih detail dibanding sebelum saya memahami dengan baik mengenai kepentingan dibalik pemilihan sumber ini.
Tentu saja, proses ini akan memakan waktu yang tidak sebentar. Sama ketika saya mengendalikan marah ketika masih menjadi mahasiswa baru - sekarang saya lebih sering menahannya dengan baik, namun ada kalanya saya juga masih belum bisa melakukannya. Apapun itu, saya masih lebih baik menahannya ketimbang di masa awal tersebut.
Apa intinya?
Saya sudah belajar, dan saya ada di titik yang lebih jauh dibandingkan sebelumnya.
Dan kita akan selalu lebih baik ketika sudah berpindah ke titik yang lebih jauh di depan. Semoga.
Semoga dengan kembali mengenang semangat mahasiswa baru, atau semangat saat baru masuk sekolah, baru magang, baru masuk kantor, dan baru-baru lainnya, kita akan lebih terbuka mengenai diri sendiri, lebih bersyukur mengenai kemauannya untuk terus belajar bersama kita yang tidak luput dari kesalahan, dan bersyukur mengenai rahmat Allah dalam melimpahi kita dengan berbagai manis-pahitnya pengalaman yang ternyata akan berguna di masa depan, atau setidaknya bagi orang lain untuk sekarang.
Tetap semangat!
– Tulisan ini menjadi bagian dari proyek harian #30daysramadhanwriting yang digagas mbak @novieocktavia yang seharusnya diterbitkan untuk tanggal 1 Juni pukul 00.00 WIB. Tulisan saya akan terbit setiap hari pukul 00.00 WIB selama Ramadhan, namun satu hutang pos selanjutnya - untuk tanggal 2 Juni akan saya terbitkan paling lambat tanggal 3 Juni 2017.
Terima kasih telah membaca~!
1 note
·
View note
Text
#5 Melunasi Hutang
Halo, teman-teman!
Mohon maaf sebelumnya karena baru menulis setelah sebelumnya absen, ya :(
Perut saya tidak bisa diganggu gugat akibat makan kebanyakan dan pas jadwalnya kena masuk angin berat, jadilah saya pusing, mual, sakit perut bersamaan dan cuma bisa tidur.
Gara-gara itu, saya punya hutang di mana-mana. Hiks.
Hutang yang pertama, hutang target membaca Al-Quran saya di Ramadhan ini. Saya menargetkan 2 juz yang sama dengan 20 lembar, namun hanya mampu membaca 3 lembar. Walhasil, saya punya hutang 6 juz sampai tanggal 3 Juni nanti, hehe…. Tapi saya sedang berusaha melunasinya secepatnya, kok.
Kenapa mesti cepat?
Karena saya pernah mengalami hutang membaca seperti ini, dan sangat sulit melunasinya - apalagi jika tidak punya catatan pasti berapa lembar atau juz yang dihutangkan. Dan saya tidak ingin jatuh di lubang yang sama. Tidak. Ingin.
Hutang yang kedua, jatuh kepada hutang menulis pos di tumblr ini. Saya mohon maaf sekali lagi kepada para pembaca dan juga mba @novieocktavia . Hutang saya ada 3 pos dengan hari ini, ya? Saya akan berusaha menyicilnya sampai besok, mungkin. Saya akan berusaha!
Hutang ketiga, adalah hutang memerhatikan isi chat saya, hehe. Berhubung saya masuk ke banyak pintu ruang chat, secara tidak langsung saya memiliki amanah untuk memerhatikan mereka, karena meski tidak sering, partisipasi saya masih dibutuhkan.
Saya agak merasa bersalah jika bicara hutang ini, sih.
Kenapa?
Karena ini lah yang sering saya lakukan ketika saya terkena banyak tugas dan ujian, juga ketika hati saya sedang terkena badai. Hoho. Saya menganggap membuka chat sama dengan membuka interaksi dengan orang lain. Sering kali saya menunda sampai saya dalam kondisi yang baik, meskipun saya juga sering mengabaikan diri saya demi prinsip cepat tanggap yang mau tidak mau harus saya turuti.
Ketiga hutang itu, secara akal tidak tahu kenapa harus memusingkannya dalam-dalam - tapi tidak menyenangkan rasanya di hati menyimpannya. Saya merasa sedang membodohi dan dibodohi diri sendiri ketika perlahan melihat hutang-hutang itu tumbuh dan berkembang sedikit-dikit menjadi bukit. Seakan-akan saya gagal padahal masih di tengah jalan.
Namun, saya akan lebih merasa hina lagi kalau tidak berhasil memenuhi hutang tersebut.
Semakin dewasa, pemikiran ini semakin melekat kepada saya. Maka, tak jarang saya mengorbankan kesehatan saya demi tugas dan waktu yang tidak bisa sekalipun akrab. Saya masih belum menemukan secarik petunjuk dalam menyeimbangkannya - atau memang ini batas saya yang dikehendaki oleh-Nya - hingga detik ini.
Satu hal yang pasti, sebagai manusia, saya akan berusaha mewujudkan pemikiran saya ke dalam dunia nyata.
Di hari ke-7 Ramadhan ini, sudah berapa banyak juz yang terlewatkan dari hari pertama?
Mari kita sama-sama melunasi hutang kita!
– Tulisan ini menjadi bagian dari proyek harian #30daysramadhanwriting yang digagas mbak @novieocktavia yang seharusnya diterbitkan untuk tanggal 31 Mei pukul 00.00 WIB. Tulisan saya akan terbit setiap hari pukul 00.00 WIB selama Ramadhan, namun dua pos selanjutnya akan saya terbitkan paling lambat tanggal 3 Juni 2017 pukul 23.59 WIB.
Terima kasih telah membaca~!
1 note
·
View note
Text
#4 Apa yang Harus Dilakukan Ketika Bertamu?
Allah SWT berfirman:
وَ لَمَّا جَهَّزَهُمْ بِجَهَازِهِمْ قَالَ ائْتُوْنِيْ بِاَخٍ لَّكُمْ مِّنْ اَبِيْكُمْ ۚ اَ لَا تَرَوْنَ اَنِّيْۤ اُوْفِی الْكَيْلَ وَاَنَا خَيْرُ الْمُنْزِلِيْنَ “Dan ketika dia (Yusuf) menyiapkan bahan makanan untuk mereka, dia berkata, Bawalah kepadaku saudaramu yang seayah dengan kamu (Bunyamin), tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan takaran dan aku adalah penerima tamu yang terbaik?” (QS. Yusuf 12: Ayat 59)
* Via Al-Qur'an Indonesia http://quran-id.com
Ayat Al-Quran ini menceritakan mengenai salah satu adab menerima tamu, yaitu menyiapkan makanan.
Namun, apakah yang harus dilakukan oleh kita apabila kitalah yang menjadi tamunya?
Di pos kali ini, saya ingin menceritakan apa yang saya pikirkan secara pribadi mengenai adab ketika bertamu.
Dalam adat Jawa, seorang tamu pasti akan membawa bingkisan yang biasanya berupa makanan untuk orang rumah, yang sering disajikan kembali oleh orang rumah untuk si tamu.
Dalam adat Rusia, tuan rumah akan berbasa-basi seorang tamu tidak perlu membawa apa-apa saat diundang untuk makan malam, namun sebenarnya mereka mengharapkan bahwa si tamu membawa apa yang sebaiknya dibawa. Bila ada ibu rumah tangga, diberi bunga yang jumlahnya ganjil - karena genap melambangkan kematian. Bila ada anak-anak, bawalah cokelat. Hal ini di Jawa kurang lazim, toh, biasanya tamu mencari oleh-oleh yang dapat dinikmati seluruh anggota keluarga si penerima tamu.
Hal di atas itu hanya contoh bagi mereka yang masih menjunjung tinggi adat. Di zaman serba canggih dan berembelkan globalisasi di kumpulan masyarakat yang bertempat tinggal di kota metropolitan, agaknya memiliki aturan tidak tertulis sendiri.
Karena merupakan aturan tidak tertulis, sesuatu hal ini lebib sering diketahui setelah sebuah tindakan dilakukan.
Contohnya, ketika kita akan berkunjung ke rumah dosen untuk mengumpulkan tugas. Apakah perlu membawa makanan, paling tidak?
Jawaban yang saya peroleh, tidak.
Kenapa?
Setelah kebingungan di sana-sini, mayoritas yang menjawab pertanyaan saya mengatakan, membawa ‘sesuatu’ ketika mengumpulkan tugas dapat dianggap sebagai sebuah pemberian gratifikasi.
Gratifikasi menurut KBBI dan penambahan dari saya sendiri artinya uang atau barang di luar gaji dari profesi seseorang.
Dalam kasus ini, dosen mendapatkan -katakanlah makanan, maka ia dianggap mendapatkan makanan di luar dari hak seorang dosen.
Kenapa dosen takut dianggap mendapatkan gratifikasi?
Karena tanggungjawab seorang dosen dalam menentukan kelulusan mahasiswanya, maka dikhawatirkan pemberian gratifikasi tersebut akan menguatkan biasnya terhadap mahasiswa tersebut yang selanjutnya menimbulkan kejadian yang tidak adil bagi mahasiswa lainnya - yaitu menaikkan nilai di atas nilai sebenarnya - atau meluluskannya, dan hal lain yang dapat dilakukan dosen.
Mungkin perlu ditekankan, sebagai manusia pasti akan memiliki bias tertentu yang dicegah oleh peraturan yang telah berlaku, namun pemberian gratifikasi pada akhirnya akan memperkuat efek dari bias itu sendiri.
Namun, ada lagi pernyataan yang saya dapatkan.
Ya, mungkin bisa saja bawa makanan kalau mau bimbingan skripsi sama beliau.
Untuk yang satu ini, saya masih tidak tau, haha.
Tapi memang, saya pernah mendengar cerita seorang guru - bukan dosen - yang ‘ngambek’ dan perlu dikunjungi oleh siswanya dengan membawa makanan.
Ada juga kasus yang marak, yaitu ketika pembagian rapor sekolah, banyak ibu-ibu yang memberikan amplop kepada gurunya. Namun, ada dua kemungkinan dalam kasus yang satu ini:
1. Orangtua menyampaikan terima kasihnya kepada guru melalui materi tambahan, dapat berupa uang ataupun barang yang dapat bertahan lama - bukan makanan. 2. Memang ada kesepakatan di luar kertas yang dilakukan.
Ya, saya pribadi merasa pilihan pertama yang sering dilakukan orangtua, karena biasanya guru akan lebih suka mengadakan les - jika berniat untuk mendapatkan penghasilan tambahan - dan menaikkan nilai siswa yang ikut lesnya. Makanya, ada beberapa sekolah yang melarang orangtua memberi sesuatu kepada guru - ataupun pelarangan pemberian les tambahan di luar jam sekolah yang bersifat ilegal.
Hiii, asyik betul membahas yang beginian. Setujukah? Hehe.
Mungkin ada catatan kecil dari saya, yaitu sebagai seseorang yang mengeyam perguruan tinggi, saya sadar bahwa yang saya tuliskan pada dasarnya merupakan pengalaman pribadi dan orang lain yang terlintas dalam otak saya. Mohon diingat bahwa saya tidak bisa menjamin kredibilitas dalam tulisan ini. Toh, saya sedang bertanya mengenai adab yang tidak tertulis sebagai seorang tamu, yang agaknya masih mengalami benturan dari sisi adat, tempat tinggal, dan status seseorang. Jadi, tolong jangan dianggap terlalu serius, karena ingatan saya yang sudah tua ini tidak memiliki bukti yang nyata.
Kenapa saya mengatakan hal sejauh ini?
Ho, karena saya merasa, ada beberapa etiket kerja yang saya pribadi belum mengenalnya dengan baik. Saya harap, tulisan ini tidak merugikan siapa-siapa, ya, bagi yang tidak seharusnya dirugikan.
Dalam hal ini, lagi-lagi berpikir kritis sangat diperlukan. Dan tidak perlu menuduh dengan melakukan generalisasi -saya tidak menuduh siapapun sekarang, karena ingatan saya ada di masa lalu - dan kita tau betul bahwa tidak semua orang akan melakukan hal yang serupa.
Jadi keluar dari topik, nih, hehe.
Nah, jadi, saya agaknya akan melihat situasi dan kondisi dulu sebelum bertamu.
Saya pribadi tidak masalah dalam membawa bingkisan ke rumah orang, karena saya tau proses menerima tamu bukanlah perkara yang mudah, hehe. Saya akan melihat siapa orangnya, keadaan orang itu - sakit atau sehat, jam saya berkunjung, dan tujuan saya mengunjunginya.
Mungkin ada yang ingin menambahkan? Karena saya masih menemukan beberapa kebingungan dalam aturan tidak tertulis ini.
Tapi yang pasti, apapun itu, niat baik adalah yang utama. Niat baik tidak kadang memang menimbulkan prasangka - tapi tetaplah berusaha untuk terus memiliki niat yang baik. Niat baik ketika semata-mata ingin orang lain mendapatkan kebaikan, dalam kasus bertamu ini.
Nah, teman-teman, masih siapkah berniat baik untuk puasa di hari kelima besok?
– Tulisan ini menjadi bagian dari proyek harian #30daysramadhanwriting yang digagas mbak @novieocktavia . Saya rasa saya belum siap membuat tema yang berat seperti ini, hoho, jadi sumber yang berbobot sangat minim - hampir semuanya dari ingatan pribadi. Saya mungkin akan kembali membahas keseharian saya besok. Tulisan saya akan terbit setiap hari pukul 00.00 WIB selama Ramadhan.
Terima kasih telah membaca~!
0 notes
Text
#3 Mencari Bahan Motivasi
Motivasi bukanlah hal yang mudah untuk dicari, bukan juga yang mudah dijaga.
Saya tau betul. Betul betul betul. Hehe.
Di hari ketiga berpuasa, mulai banyak tantangan yang mempertanyakan kesungguhan saya dalam melakukan apa yang sudah ditargetkan sebelumnya.
Sahur jam 3, mengaji, tidur, bangun, mandi, bersiap-siap, kemudian pergi, berbuka, taraweh, pulang, mandi, main, tidur, kemudian sahur lagi.
Rutinitas baru, namun masih banyak yang belum ikut menjadi baru di diri saya. Akibatnya, sedikit saya salah memilih, hancur sudah rutinitas saya di hari pertama Ramadhan. Aduh….
Penyebabnya cukup sederhana, lho. Berangkat dari kesenangan saya dalam berkonsentrasi, saya pun terlalu bersemangat hingga tidak tidur. Alhasil, setelah mengaji di pagi hari mata saya tidak kuat menahan kantuk.
Dan, voila, saya harus memikirkan strategi baru sekarang.
Bagaimana? Dengan cara apa?
Bagi saya, ya, dengan mencari motivasi baru.
Kenapa?
Ya, karena saya tau betul, motivasi itu sulit dijaga!
Dan, hal pertama yang saya lakukan dalam mencari motivasi adalah menonton film. Hehe. Ketika ujian kemarin, saya merasakan saat-saat krisis ketika motivasi saya berada di ambang kepunahan. Akhirnya saya mencoba mencari film yang membangkitkan semangat belajar. Salah satu yang saya dapatkan adalah “Man Who Knew Infinity” - yang baru sempat saya tonton sekarang.
Film ini mengisahkan Ramanujan, pemuda berusia 26 tahun yang sudah memiliki istri dari India yang memiliki otak encer dalam menemukan rumus baru di bidang kesukaannya, matematika. Hebatnya, Ramanujan tidak memiliki gelar apa-apa, tapi ia berusaha agar karyanya diterbitkan seperti hasil temuan Newton dan penemu hebat lainnya.
Singkat cerita, Ramanujan berhasil diangkat menjadi seorang Fellowship di Trinity College, meskipun sangat lah banyak tantangan yang ia hadapi. Mulai dari diri sendiri yang terkena penyakit, teman-temannya yang mengiri, jajaran Fellowship di Trinity College yang sangat menjunjung tinggi anggapan “ketidakmungkinan seorang India memiliki kepintaran seperti yang dialami Ramanujan”, Mr. Hardy - rekannya yang membawa Ramanujan ke Inggris, hingga dari sisi istrinya sendiri di India.
Kesimpulannya, saya suka filmnya, tapi motivasi saya masih belum dalam tahap yang mampu menggerakkan hati saya. Akhirnya dengan malas saya bergegas menuju tempat buka bersama yang cukup jauh letaknya.
Sayangnya - lagi-lagi, ketika mengobrol asyik, motivasi saya masih di titik yang sama.
Kemudian, saya pergi ke mesjid.
Di sini motivasi itu belum juga muncul ketika ceramah mengenai “peremajaan sel tubuh ketika puasa” diberikan. Namun yang ditunggu-tunggu itu justru muncul ketika saya mendengar alunan ayat-ayat Al-Quran di sisa-sisa rakaat terakhir. Saya juga bingung, mungkin ada sedikit hubungannya dengan kepekaan saya dalam mengenal nada. Jujur saja, saya pun tidak begitu paham dengan bahasa Arab, tapi saya merasa ada yang menggerakkan hati meski tidak tampak jelas.
Akhirnya, saya kembali pulang dengan macam-macam pikiran. Saya pun kembali teringat pos-pos saya sebelumnya mengenai waktu dan jam, hehe.
Benang merahnya masih terlihat, entah bagaimana….
Agaknya saya kembali tersadar, motivasi itu mungkin memang sulit ditangkap, tapi, toh, saya bisa menciptakannya sendiri, dengan meminta persetujuan Allah yang Maha Mengatur Hati hamba-Nya.
Dari mana saya bisa tau akan hal itu?
Contoh konkretnya adalah pos ini! Haha.
Saya butuh banyak berpikir dalam menuliskannya dengan keadaan motivasi yang tidak stabil. Namun, saya berhasil menciptakan motivasi dalam ukuran yang diperlukan sehingga pos ini berhasil ditulis. Tentunya dengan seizin Allah, ya.
Dan kini saya mencoba merumuskan sesuatu seperti Ramanujan,
Pada dasarnya motivasi sebenarnya tetap harus dicari - namun dengan cara yang tepat.
Saya menemukan cara bagi diri saya sendiri, yaitu dengan merenungkan rencana - apa saja yang akan saya lakukan ketika motivasi itu ada dan meminta tolong kepada-Nya agar hal itu diwujudkan.
Sulit dibayangkankah? Atau, dalam kasus Ramanujan, apakah bisa dibuktikan rumus yang saya buat?
Wajar saja jika jawabannya tidak. Toh, karena lika-liku kehidupan manusia merupakan bidang ilmu abstrak, setiap kita memiliki sidik jari yang berbeda - dalam memahami arti motivasi pun, saya yakin teman-teman memiliki definisi tersendiri. Namun, tetap saja pada akhirnya akan bermuara kepada izin dari Allah untuk mendapatkannya. Untuk yang satu ini, sebagai seorang hamba saya yakin kita semua pasti akan mengalaminya.
Dan di sinilah maksudnya, kita perlu rajin-rajin berhubungan dengan Tuhan kita, selagi masih mampu mencari-Nya di dalam diri.
Dan sampai juga di akhir kata - selamat berjuang di hari keempat besok, teman-teman! Semoga motivasi ini akan tetap mengawali kegiatan baik bersama kita, ya.
– Tulisan ini menjadi bagian dari proyek harian #30daysramadhanwriting yang digagas mbak @novieocktavia . Saya berencana membuat tema yang agak ada ilmunya mulai besok, hehe. Tulisan saya akan terbit setiap hari pukul 00.00 WIB selama Ramadhan.
Terima kasih telah membaca~!
2 notes
·
View notes
Text
#2 Apa Artinya Hilang?
Selamat pagi, malam, sore, siang!
Di sesi kedua bersama saya, kali ini saya akan membawakan topik mengenai kehilangan~
Hilang menurut definisi dari KBBI pada intinya adalah tidak ada lagi. Kehilangan sebagai kata benda artinya hal hilangnya sesuatu.
Well, saya sudah mengalami dua kehilangan akhir-akhir ini.
Izinkan saya mengulanginya: dua barang saya sudah tidak ada lagi di kehidupan keseharian saya akhir-akhir ini.
Kehilangan pertama adalah pin biru saya yang berbentuk bintang. Harganya 35.000 rupiah sudah dengan ongkir, dibayarkan lewat transfer oleh ayah, kemudian saya bayar sesampainya beliau di rumah. Pin biru yang mengingatkan perjuangan saya sejak tahun 2011 lalu.
Perjuangan itu bisa dibilang cukup drastis perubahannya.
Saya yang sedang belajar memahami informasi dari bahasa Inggris, memulainya dari kamus-kamus kecil untuk menerjemahkan artikel dan informasi mengenai artis kesayangan saya waktu itu.
Dengan hape java jadul, saya berusaha semaksimal mungkin menjadi admin yang up to date.
And I mean it, really.
Saya rela begadang, tanpa pernah telat untuk sekolah besok paginya.
Proses ini yang mengantarkan saya yang tadinya buta dengan bahasa Inggris menjadi pernah merasakan nilai 100 di ujian mata pelajaran itu, dengan materi unless. Masih ingat saja saking senangnya, haha.
Saya memang tidak pernah les dengan serius. Les ketika SD dijalankan maksimal di satu tempat bertahan selama 4 bulan.
Saya sering berpindah naungan les, tapi manfaatnya mungkin tidak begitu signifikan dalam perkembangan saya.
Ketika SMP, saya bimbel demi UN SMA. Ketika SMA, saya les bahasa Inggris dengan mahasiswa.
Tapi, ya, begitu - prosesnya lambat. Meskipun ketika SMP mata saya agak terbuka lebar ketika bimbel, hehe.
Justru ketika saya ikut belajar gratisan di internet, saya mampu mendapatkan apa yang saya harapkan.
Kemudian ketika kuliah, saya berusaha mencari semua tempat yang dapat memperbaiki apa yang harus saya perbaiki, dan ya, alhamdulillah, ketemu.
Ketika saya berjuang, pin ini menjadi saksi bisu, karena sering menarik perhatian.
Super Show 4 in Indonesia.
Seingat saya, itu tulisannya. Haha.
Saya kehilangan pin itu justru ketika hidup saya mulai melihat perubahan yang cukup hakiki.
Pin yang menjadi saksi hidup sejak 2011, tiba-tiba hilang ketika saya menemani teman untuk mengantar printer naik motor.
Saya syok berat, dan berjalan mengelilingi wilayah kampus saya dari siang hingga sore.
Dan tidak ketemu.
Berhari-hari saya agak kebingungan dalam mengganti kenangan yang tercipta dari kehilangan itu.
Kehilangan yang tiba-tiba, yang sebenarnya bisa dicegah, terjadi murni karena keteledoran saya, dengan perizinan dari Tuhan.
Di hari kedua Ramadhan ini, saya kembali mengalaminya.
Kali ini bentuknya jam tangan.
Warnanya juga biru. Hilang ketika saya mencantolkannya di keran masjid, lupa tertangkap oleh mata dan tangan, juga dengan otak.
Dan kini saya tertawa dalam hati.
“Cerobohnya kenapa belum hilang?”
Saya sudah mencoba mencarinya hingga menghubungi orang masjid, tapi alangkah sedihnya begitu tau jam yang dititipkan di sana bukan jam biru saya.
Jam ini terbilang baru menemani saya.
Baru, masih baru. Dan akhir-akhir ini, saya sedang risih berbicara mengenai waktu. Jam itu selalu saya pakai, seolah saya tak ingin waktu mengejar saya, meskipun di post pertama kalian bisa tau, sebenarnya pun saya baru belajar dengan kata ‘sekarang’ kemarin.
Apakah sudah terlihat polanya?
Pola yang disediakan oleh Tuhan untuk saya, dalam kasus kehilangan ini.
Dua-duanya terjadi setelah saya ingin belajar lebih lanjut, ingin berubah lebih baik.
Saya mengganti pin bintang biru dengan pin bulat merah sekarang.
Dan tidak ada yang pernah menanyakan pin bulat merah seperti mereka yang pernah penasaran dengan pin bintang biru.
Arti kehilangan ini, mungkin agar saya tidak tergantung dengan jam tangan?
Saya tidak tau betul, tapi boleh jadi itu yang harus saya ambil.
Pun meskipun polanya sama, tapi ada yang berbeda kali ini.
Saya tidak syok berat, saya hanya berusaha mencari. Saya tau bahwa saya tidak bisa mendapatkan jam itu lagi, dan saya tidak menangis dan bingung.
Perbedaannya hanya disitu, sih.
Tapi tetap saja, kehilangan adalah kehilangan.
Seketika saya baru sadar, di malam sebelum puasa pertama, saya kehilangan uang tunai, haha. Jumlahnya tidak banyak, tapi tidak sedikit bagi saya.
Kehilangan seperti ini, saya rasa sebenarnya pasti akan terus terjadi pada manusia.
Apa yang kita punya bukan apa yang kita punya. Semuanya punya Allah, yang bisa mengambilnya kapan saja.
Dan saya percaya, Allah selalu berkehendak baik kepada hamba-Nya.
Maka saya percaya, kehilangan kali ini memang baik untuk saya, meski memiliki arti negatif yang berlaku di dunia.
Teman-teman, mari tarik nafas bersama. Hembuskan dengan perlahan. Mari penuhi pikiran dengan oksigen, karena saya pribadi agak lelah mengingat kenangan lama.
Kenangan ini, akan menghantui kalau tidak kita kendalikan. Hati-hati, dan bersabarlah.
Semangat terus bagi kalian yang mengalami kehilangan. Saya juga akan terus semangat~ selalu ada hal baru yang dapat menggantikan kehilangan saya, contoh konkretnya adalah pin merah.
Teman-teman, sebagai penutup, saya ingin sekali menyampaikan bahwa apa yang kita punya memang tampaknya tidak akan pernah sebaik punya tetangga sebelah.
Tapi ketika saya mengalami kehilangan, saya selalu memiliki pemikiran:
Apakah saya sudah dengan baik menggunakan barang yang saya pinjam dari Allah itu?
Saya bisa katakan sekarang, dengan hati yang alhamdulillah sudah sedikit lapang, saya punya kenangan yang baik dengan apa yang diambil oleh Allah dari saya. Saya baru saja menceritakannya kepada teman-teman dengan gaya menulis saya yang seenaknya menyisipkan penggalan hidup saya. Saya harap pin biru saya juga setidaknya senang karena ia ada dalam hal-hal terbaik yang terjadi di hidup saya. Dan meskipun jam tangan saya masih baru, saya tau, dia sudah menderita demi perubahan saya yang lambat ini. Dia sudah bekerja keras dengan baik. Dan saya harap di manapun ia, ia akan tetap bekerja keras mengingatkan manusia akan pentingnya waktu.
Bagaimana dengan teman-teman?
– Tulisan ini menjadi bagian dari proyek harian #30daysramadhanwriting yang digagas mbak @novieocktavia. Saya rasa temanya akan sedikit random setiap harinya dan tidak bisa tema yang tetap seperti mbak Novie dan kawan yang lain, hehe. Tulisan saya akan terbit setiap hari pukul 00.00 WIB selama Ramadhan.
Terima kasih telah membaca~!
NOTE Pos ini aslinya diterbitkan di hari kedua Ramadhan ;)
2 notes
·
View notes
Text
#1 Hasil Ujian Dua Minggu
Sebagai seorang manusia yang terlahir dan ditakdirkan menghidupi diri di dunia, berbagai macam ujian kita dapatkan sebagai sebuah kualifikasi untuk mencapai titik yang lebih tinggi.
Setidaknya, itu yang saya pikirkan mengenai ujian.
Ujian Akhir Semester yang sering disingkat UAS adalah bagian kecil dari keseluruhan ujian yang saya hadapi sebagai manusia. UAS yang berlangsung selama dua minggu itu membuat saya benar-benar kurang tidur, kurang senyum, kurang makan, dan kurang melihat ke sekeliling. Seketika keadaan diri saya berada di titik kurang aqua- maksudnya kurang mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan.
Saya berusaha mengerjakan ini, kemudian itu, pada akhirnya saya berfokus ke ini, setelah selesai baru berpindah ke itu. Cara ini cara yang terbilang baru, karena saya termasuk orang yang bosanan - sebelumnya saya menggunakan taktik ‘kerjakan semua’:
A belum kelar, yaudah kerjakan yang B. Eh, lupa ada si C! Tapi, pengen ngerjain yang D dulu, ah.
Begitu, deh, kira-kira kompleksitas saya dalam menghadapi tugas-tugas yang berceceran di otak. Begitu payah kedengarannya. Tapi cara yang baru - yang memusatkan diri pada satu hal itu, pun, ternyata kurang efektif juga untuk saya.
Bukan cuma diri sendiri yang terlantar, bahkan hubungan dengan Yang Maha Kuasa juga tidak terurus. Saya benar-benar menyesal untuk yang satu ini, lho. Payah, payah. Tapi karena sudah berlalu, saya tidak ingin membicarakan ini. Karena sebenarnya, ada satu kata kunci yang saya tahu bisa menyelesaikan permasalahan saya ini - kata kunci yang sayangnya kurang saya aplikasikan dalam keseharian: sekarang.
Sekarang? Iya, sekarang.
Kerjakan sekarang, setelah mendapat perintah dari dosen. Jangan malas-malas di kasur sekarang, masih ada tugas. Mandi sekarang, ntar keburu ketiduran.
Dan sekarang-sekarang lainnya yang hanya menjadi kata-kata yang mengelilingi otak namun tidak ada pencapaiannya di dunia nyata.
Andaikan saja, saya mencicil sekarang - ketika saya mendengar tugas itu - tentu, saya tidak perlu merasa kehilangan semuanya dalam dua minggu ini.
Tapi, oops, saya kemudian berpikir lagi.
Mungkin memang ini kehendak Tuhan dalam mempertegas bahwa kata kunci ‘sekarang’ tidak boleh dianggap enteng begitu saja. Mungkin ini juga yang membuat hati saya sangat sakit dan sesak akibat menyesali apa yang sudah tidak dalam kendali saya sebagai manusia yang terbatas. Mungkin ini cara terbaik dalam menegur saya. Dan saya percaya, inilah yang dinamakan takdir, tidak peduli seiye apapun saya berusaha, toh saya tetap berada di kendali Allah di jalan yang Ia tentukan.
Mungkin saja, ini ujian yang mengandung ujian lagi. Ujian yang terus menguji tekad saya dalam memahami arti kata ‘sekarang’.
Ujian dua minggu ini, bagi diri saya yang sempat kelelahan, merupakan salah satu titik terendah dalam hidup.
Pun begitu, saya berusaha mulai hari ini - setelah akhirnya saya cukup tidur, cukup makan, cukup berinteraksi dengan Allah - untuk melakukan apa yang harus saya lakukan: sekarang!
Saya berusaha, saya mencoba. Sebagai manusia, hasil bukan akhir yang ditunggu, tapi prosesnya lah yang menjadi titik penilaian apakah perlu ada perbaikan atau belum perlu merasa puas. Ya, saya mengatakan bahwa manusia akan terus belajar, tanpa henti, dengan cara memulai di setiap tahapannya yang berbeda.
Saya baru saja memulai belajar untuk melakukan sekarang sebagai salah satu ujian baru saya - ialah hasil ujian saya kemarin.
— Tulisan ini termasuk dalam #30daysramadhanwriting dengan tema ‘Ujian’ yang digagas oleh mbak @novieocktavia - hanya akan saya terbitkan di akun tumblr ini. Setiap pos akan saya terbitkan pukul 00.00 WIB setiap harinya.
Terima kasih telah membaca!
NOTE Pos ini aslinya diterbitkan di hari pertama Ramadhan :)
0 notes
Text
Memulai dari Awal~
Awalnya blog ini merupakan side tumblr, hahaha. Ini post pertamanya.
Halo, teman-teman!
Di blog ini, saya ingin mengikuti challenge 30 hari menulis yang digagas oleh mbak @novieocktavia dengan tagarnya #30daysramadhanwriting hehe.
Tapi masalahnya adalah, saya bingung mau nulis apa, haha!
Jadi, saya putuskan untuk menuliskan kejadian yang saya alami selama dua minggu dihajar oleh UAS alias Ujian Akhir Semester.
Yup, sebagai semester 4, saya berharap saya akan mampu melewati semuanya dengan baik.
Tapi, kenyataannya tidak pernah sama dengan pengharapan saya.
Jadi, temanya adalah: Ujian!
Saya akan menuliskan topik ini untuk tulisan hari ini saja. Untuk hari ke depannya, saya ingin membahas mengenai Rusia. Tapi lagi-lagi, saya bingung topik seperti apa yang akan saya bawa. Mungkin saja akan berubah lagi….
Saya harap saya mampu menyelesaikan semuanya~ saya akan memposting setiap hari pukul 00.00 WIB.
Selamat membaca~!
Panjang, gak?
Banget. Wkwk. Selamat datang, semua!
0 notes