Tumgik
#08Sosial
blogalloh · 2 years
Text
Alhamdulillah Sesungguhnya Orang-Orang Yang Bersabarlah Yang Dicukupkan Pahala (Rahmat) Tanpa Batas” #Dakwah #Islam
Tumblr media
Sabar itu ada tiga macam, yaitu sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat dan sabar dalam menghadapi takdir. Apa itu Sabar? Sabar secara bahasa berarti al habsu yaitu menahan diri. Sedangkan secara syar’i, sabar adalah menahan diri dalam tiga perkara : (1) ketaatan kepada Allah, (2) hal-hal yang diharamkan, (3) takdir Allah yang dirasa pahit (musibah). Inilah tiga bentuk sabar yang biasa yang dipaparkan oleh para ulama. Alhamdulillah Sesungguhnya Orang-Orang Yang Bersabarlah Yang Dicukupkan Pahala (Rahmat) Tanpa Batas” Sabar dalam Ketaatan Sabar dalam ketaatan kepada Allah yaitu seseorang bersabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah. Dan perlu diketahui bahwa ketaatan itu adalah berat dan menyulitkan bagi jiwa seseorang. Terkadang pula melakukan ketaatan itu berat bagi badan, merasa malas dan lelah (capek). Juga dalam melakukan ketaatan akan terasa berat bagi harta seperti dalam masalah zakat dan haji. Intinya, namanya ketaatan itu terdapat rasa berat dalam jiwa dan badan sehingga butuh adanya kesabaran dan dipaksakan. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imron [3] : 200). Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Riyadhus Sholihin ketika menjelaskan ayat di atas, beliau rahimahullah mengatakan, ”(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang mukmin sesuai dengan konsekuensi dan besarnya keimanannya dengan 4 hal yaitu: shobiru, shoobiru, robithu, dan bertakwalah pada Allah. Shobiru berarti menahan diri dari maksiat. Shoobiruu berarti menahan diri dalam melakukan ketaatan. Roobithu adalah banyak melakukan kebaikan dan mengikutkannya lagi dengan kebaikan. Sedangkan takwa mencakup semua hal tadi.” Kenapa Butuh Sabar dalam Ketaatan? Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan pula bahwa dalam melakukan ketaatan itu butuh kesabaran yang terus menerus dijaga karena : (1) Ketaatan itu akan membebani seseorang dan mewajibkan sesuatu pada jiwanya, (2) Ketaatan itu terasa berat bagi jiwa, karena ketaatan itu hampir sama dengan meninggalkan maksiat yaitu terasa berat bagi jiwa yang selalu memerintahkan pada keburukan. –Demikianlah perkataan beliau- Sabar dalam Menjauhi Maksiat Ingatlah bahwa jiwa seseorang biasa memerintahkan dan mengajak kepada kejelekan, maka hendaklah seseorang menahan diri dari perbuatan-perbuatan haram seperti berdusta, menipu dalam muamalah, makan harta dengan cara bathil dengan riba dan semacamnya, berzina, minum minuman keras, mencuri dan berbagai macam bentuk maksiat lainnya. Seseorang harus menahan diri dari hal-hal semacam ini sampai dia tidak lagi mengerjakannya dan ini tentu saja membutuhkan pemaksaan diri dan menahan diri dari hawa nafsu yang mencekam. Sabar Menghadapi Takdir yang Pahit Ingatlah bahwa takdir Allah itu ada dua macam, ada yang menyenangkan dan ada yang terasa pahit. Untuk takdir Allah yang menyenangkan, maka seseorang hendaknya bersyukur. Dan syukur termasuk dalam melakukan ketaatan sehingga butuh juga pada kesabaran dan hal ini termasuk dalam sabar bentuk pertama di atas. Sedangkan takdir Allah yang dirasa pahit misalnya seseorang mendapat musibah pada badannya atau kehilangan harta atau kehilangan salah seorang kerabat, maka ini semua butuh pada kesabaran dan pemaksaan diri. Dalam menghadapi hal semacam ini, hendaklah seseorang sabar dengan menahan dirinya jangan sampai menampakkan kegelisahan pada lisannya, hatinya, atau anggota badan. Semoga bermanfaat. — Tulisan lawas, direvisi ulang 25 Muharram 1436 H di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul Oleh Al Faqir Ilallah: M. Abduh Tuasikal, MSc Artikel Rumaysho.Com Sumber https://rumaysho.com/9579-macam-sabar.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم –
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alhamdulillah Sesungguhnya Orang-Orang Yang Bersabarlah Yang Dicukupkan Pahala (Rahmat) Tanpa Batas”
0 notes
blogalloh · 2 years
Text
Alhamdulillah Silaturrahmi Meluaskan Maghfiroh Alloh, Rahmat, Usia Dan Rezeki. Saling Mendoakan & Memaafkan #Dakwah #Islam
Tumblr media
 Islam mengajarkan manusia agar saling memaafkan. Memberi maaf, tidak cuma bisa menyelesaikan persoalan dan kembali memulihkan suatu hubungan, akan tetapi juga akan mendapatkan pahala dari Allah Swt sebesar kebaikan yang tak pernah terkira sebelumnya. Selain memaafkan, ungkapan bersyukur atas segala nikmat yang diterima juga menjadi keharusan. "Makna lain bersyukur adalah menggunakan nikmat dari Allah Swt sesuai dengan tujuan pemberian anugerah tersebut," jelas pakar tafsir Alquran Prof. KH Muhammad Quraish Shihab dalam program Tafsir Al-Mishbah di Metro TV, Senin, 2 Mei 2020. Alhamdulillah Silaturrahmi Meluaskan Maghfiroh Alloh, Rahmat, Usia Dan Rezeki. Saling Mendoakan & Memaafkan Syukur dan Maaf Penjelasan Quraish berdasarkan kajiannya pada QS. Al-Jatsiyah: 11-15; Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur (Al-Jatsiyah: 11) Menurut Quraish, Allah Swt telah menganugerahi banyak sekali kenikmatan bagi manusia melalui laut, seisi bumi, langit, dan sebagainya. Manusia dipersilakan sekaligus diperintahkan untuk memanfaatkan semua anugerahnya dengan baik. Allah Swt, sudah menundukkan segala yang diciptakan-Nya demi kebaikan manusia. "Yang dimaksud ditundukkan, misalnya, di laut ada hukum-hukum yang ditetapkan Allah Swt sehingga sebuah kapal tidak tenggelam. Meskipun dengan berat berton-ton," kata Quraish. Pada ayat selanjutnya, kata Quraish, Allah Swt menekankan agar orang-orang yang beriman memiliki kemudahan dalam memberi maaf. Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada takut hari-hari Allah karena Dia akan membalas sesuatu kaum terhadap apa yang telah mereka kerjakan (QS. Al-Jatsiyah: 14) "Kepada Nabi Muhammad Saw, Allah Swt menganjurkan memaafkan dan tidak menghiraukan mereka yang menghina Islam, Alquran, dan diri Nabi. Begitu pun bagi orang-orang beriman, dianjurkan untuk memaafkan mereka yang memiliki kesalahan dalam hal akidah tapi tidak terlalu fatal," kata pendiri Pusat Studi Alquran (PSQ) tersebut. Keadilan Allah Swt Yang perlu digarisbawahi, kata Quraish, ayat itu bukan berarti menjadi dalil bahwa Allah Swt memaafkan seluruh kesalahan mereka yang ingkar. "Memaafkan, sejatinya berbeda dengan kata 'yaghfir' yang digunakan dalam ayat tersebut. Seseorang yang memaafkan berarti menghapus luka di hati, sedangkan 'yaghfir' bermakna menutupi. Bisa jadi, hanya menutupi agar 'luka hati' itu tidak tampak dari luar," kata Quraish. Dalam konsep pemaafan, seseorang harus mempertimbangkan tempat dan kemaslahatannya. Karena memang, kata Quraish, mereka yang tidak meyakini adanya "hari kemudian" sangat berkemungkinan disebabkan oleh salah paham, ketidak-tahuan, atau dalam keadaan penuh emosi. "Untuk itu, Allah Swt memiliki sifat 'Al-Halim', yakni Maha Pemaaf, tapi kata ini juga memiliki makna menangguhkan. Allah Swt menangguhkan balasan bagi beberapa mereka yang ingkar," kata Quraish. Allah Swt menangguhkan balasan bagi mereka yang tidak mempercayai adanya hari kemudian. "Makna 'hari kemudian' itu seperti kita mengucapkan, tunggu harinya atau tunggu tanggal mainnya. Ada sesuatu yang unik di hari tersebut yang bisa berupa kebaikan, maupun hal-hal negatif atau keburukan. Mereka yang tidak mempercayai adanya hari kemudian tidak mengharap dan percaya adanya pahala, pembalasan, maupun surga," kata Quraish. Maaf, Hari Kemudian, dan Surga Kandungan ayat di atas semacam pengajaran akhlak dari Alquran untuk orang-orang beriman agar memiliki hati yang lembut dan gemar memberi maaf. "Jangan pernah berkata, meskipun boleh, 'Aku akan menuntutmu di hari kemudian'. Dia yang dituntut akan mendapat kerugian, tapi apa yang diperoleh dari orang yang menuntutnya, hanya sedikit. Tapi ketika memaafkan, Allah Swt akan memberikan jauh lebih banyak ketimbang apa yang wajar dituntutnya," kata Quraish. Dalam proses memaafkan, kedua orang yang berselisih akan menda
pat keuntungan. Bagi yang dimaafkan, ia terbebas dari dosa, sementara yang memaafkan ia termasuk orang yang beruntung karena telah mampu berbuat suatu kebaikan. "Tapi, yang lebih untung, tentu yang memaafkan," kata Quraish. Itulah salah satu contoh keadilan yang dimunculkan dari sikap saling memaafkan. Meskipun, tetap saja, keadilan yang dibangun manusia akan jauh berbeda dengan adil yang ditunjukkan Allah Swt. "Contoh, ada satu orang ditampar, kemudian ia menuntut menampar balik orang tersebut. Setelah ditampar, itu adalah keadilan. Akan tetapi, tentu yang menerima balasan tamparan merasakan sakit dan rugi. Nah, Allah Swt mempunyai sifat bernama Al-Muqsith atau Maha Adil. Dengan sifat ini, Allah Swt bisa memberikan keadilan dengan tanpa ada satu pihak pun yang merasa dirugikan," terang Quraish. Quraish menjabarkan konsep Al-Muqsith Allah Swt melalui sebuah kisah bahwa kelak ada orang yang menuntut keadilan atas kezaliman yang dilakukan saudaranya. "Satu orang datang kepada Allah Swt. Dia berkata, 'Ya Allah, orang ini telah mengambil harta saya, melukai saya, dan menzalimi saya.' Karena yang menuntut tercatat memiliki kebaikan, maka Allah Swt menjawab, 'Lalu, apa yang kamu tuntut?" kisah Quraish. Mendapat kesempatan dari Allah Swt, seseorang tersebut memohon agar Allah Swt berkenan memindahkan kebaikan yang pernah dilakukan orang yang menyakitinya dimasukkan ke dalam catatan amalnya, sebaliknya, dosa-dosa yang pernah dilakukannya, agar dialihkan kepada orang zalim tersebut sebagai balasannya. Mendengar permohonan hamba-Nya itu, Allah Swt menjawab bahwa diri-Nya sangat mudah melakukan hal tersebut. Akan tetapi, Allah Swt malah menunjukkan keindahan yang berada tepat di atas orang yang sedang menuntut itu. "Allah Swt berkata,'Kamu lihat keindahan itu?' Lantas, seseorang itu menjawab, 'Ya Allah, keindahan apakah itu? Siapa yang berhak memasukinya?' Allah Swt kembali menjawab, 'Itu adalah surga. Dia berhak dimasuki siapa saja yang membayarnya'," cerita Quraish. Karena sangat ingin masuk dan menikmati keindahan tersebut, seseorang yang sedang menuntut itu berkata, "Ya Allah, siapa yang bisa membayar dan masuk ke dalamnya?" Allah menjawab, "Kamu." "Lalu, orang itu kembali bertanya, 'Dengan apa saya bisa membayar sehingga boleh memasukinya?' Kemudian Allah Swt membalas, 'Maafkan kesalahan saudaramu." jelas Quraish. sumber : https://www.medcom.id/ramadan/news-ramadan/ObzM4wdN-tafsir-al-mishbah-memaafkan-saudara-bisa-menjadi-tiket-masuk-surga بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alhamdulillah Silaturrahmi Meluaskan Maghfiroh Alloh, Rahmat, Usia Dan Rezeki. Saling Mendoakan & Memaafkan
0 notes
blogalloh · 2 years
Text
Alhamdulillah Alloh Menjaga Lisan Kita Bagi Keselamatan Setiap Umat Nabi Muhammad #Dakwah #Islam
Tumblr media
Segala puji bagi Allah, Rabb yang berhak disembah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman. Semakin maju zaman, semakin manusia menjauh dari akhlaq yang mulia. Perangai jahiliyah dan kekasaran masih meliputi sebagian kaum muslimin. Padahal Islam mencontohkan agar umatnya berakhlaq mulia, di antaranya adalah dengan bertutur kata yang baik. Akhlaq ini semakin membuat orang tertarik pada Islam dan dapat dengan mudah menerima ajakan. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita perangai yang mulia ini. Alhamdulillah Alloh Menjaga Lisan Kita Bagi Keselamatan Setiap Umat Nabi Muhammad Perintah Allah untuk Berlaku Lemah Lembut Allah Ta’ala berfirman, وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ “Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. ” (QS. Al Hijr: 88) Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengatakan, “’Berendah dirilah‘ yang dimaksud dalam ayat ini hanya untuk mengungkapkan agar seseorang berlaku lemah lembut dan tawadhu’ (rendah diri).”1 Jadi sebenarnya ayat ini berlaku umum untuk setiap perkataan dan perbuatan, yaitu kita diperintahkan untuk berlaku lemah lembut. Ayat ini sama maknanya dengan firman Allah Ta’ala, فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ الله لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ القلب لاَنْفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ “ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imron: 159). Yang dimaksud dengan bersikap keras di sini adalah bertutur kata kasar.2 Dengan sikap seperti ini malah membuat orang lain lari dari kita. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Berlaku lemah lembut inilah akhlaq Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di mana beliau diutus dengan membawa akhlaq yang mulia ini.”3 Keutamaan Bertutur Kata yang Baik Pertama: Sebab Mendapatkan Ampunan dan Sebab Masuk Surga Dari Abu Syuraih, ia berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, يَا رَسُولَ اللَّهِ، دُلَّنِي عَلَى عَمِلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga.” Beliau bersabda, إِنَّ مِنْ مُوجِبَاتِ الْمَغْفِرَةِ بَذْلُ السَّلامِ، وَحُسْنُ الْكَلامِ “Di antara sebab mendapatkan ampunan Allah adalah menyebarkan salam dan bertutur kata yang baik.”4 Kedua: Mendapatkan Kamar yang Istimewa di Surga Kelak Dari ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar.” Kemudian seorang Arab Badui bertanya, “Kamar-kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau pun bersabda, لِمَنْ أَطَابَ الْك��لاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ “Kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa saja yang tutur katanya baik, gemar memberikan makan (pada orang yang butuh), rajin berpuasa dan rajin shalat malam karena Allah ketika manusia sedang terlelap tidur.”5 Ketiga: Bisa menggantikan Sedekah Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ “Tutur kata yang baik adalah sedekah.”6 Dari ‘Adi bin Hatim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ “Selamatkanlah diri kalian dari siksa neraka, walaupun dengan separuh kurma. Jika kalian tidak mendapatkannya, maka cukup dengan bertutur kata yang baik.”7 Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tutur kata yang baik sebagai pengganti dari sedekah bagi yang tidak mampu untuk bersedekah.”8 Ibnu Baththol mengatakan, “Tutur kata yang baik adalah sesuatu yang dianjurkan dan termasuk amalan kebaikan yang utama. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits ini) menjadikannya sebagai
mana sedekah dengan harta. Antara tutur kata yang baik dan sedekah dengan harta memiliki keserupaan. Sedekah dengan harta dapat menyenangkan orang yang diberi sedekah. Sedangkan tutur kata yang baik juga akan menyenangkan mukmin lainnya dan menyenangkan hatinya. Dari sisi ini, keduanya memiliki kesamaan (yaitu sama-sama menyenangkan orang lain).”9 Keempat: Menyelematkan Seseorang dari Siksa Neraka Dalilnya adalah hadits Adi bin Hatim di atas. Ibnu Baththol mengatakan, “Jika tutur kata yang baik dapat menyelamatkan dari siksa neraka, berarti sebaliknya, tutur kata yang kotor (jelek) dapat diancam dengan siksa neraka.”10 Kelima: Dapat Menghilangkan Permusuhan Ibnu Baththol mengatakan, “Ketahuilah bahwa tutur kata yang baik dapat menghilangkan permusuhan dan dendam kesumat. Lihatlah firman Allah Ta’ala, ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ “Tolaklah (kejelekan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34-35). Menolak kejelekan di sini bisa dengan perkataan dan tingkah laku yang baik.”11 Sahabat yg mulia, Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– mengatakan, “Allah memerintahkan pada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini.” Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa.”12 Berlaku Lemah Lembut Bukan Berarti Menjilat Perlu dibedakan antara berlaku lemah lembut dengan tujuan membuat orang tertarik dan berlaku lembah lembut dengan maksud menjilat. Yang pertama ini dikenal dengan mudaroh yaitu berlaku lemah lembut agar membuat orang lain tertarik dan tidak menjauh dari kita. Yang kedua dikenal dengan mudahanah yaitu berlaku lemah lembut dalam rangka menjilat dengan mengorbankan agama. Sikap yang kedua ini adalah sikap tercela sebagaimana yang Allah firmankan, وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ “Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (QS. Al Qalam: 9) Ibnu Jarir Ath Thobari menafsirkan ayat di atas, “Wahai Muhammad, orang-orang musyrik tersebut ingin kalian berlaku lembut pada mereka (dengan mengorbankan agama kalian) dengan memenuhi seruan untuk beribadah kepada sesembahan mereka. Jika kalian demikian, maka mereka akan berlaku lembut pada kalian dalam ibadah yang kalian lakukan pada sesembahan kalian.”13 Oleh karenanya, orang yang bersikap mudaroh akan berlemah lembut dalam pergaulan tanpa meninggalkan sedikitpun prinsip agamanya. Sedangkan orang yang bersikap mudahin, ia akan berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian dari prinsip agamanya. Hendaknya kita bisa memperhatikan perbedaan antara mudaroh dan mudahanah. Lemah lembut yang dituntunkan adalah dalam rangka membuat orang tertarik dengan akhlaq kita yang baik. Sikap pertama inilah yang akan membuat orang menerima dakwah, namun tetap dengan mempertahankan prinsip-prinsip beragama. Sedangkan lemah lembut yang tercela adalah jika sampai mengorbankan sebagian prinsip beragama dan mendiamkan kemungkaran tanpa adanya pengingkaran minimalnya dengan hati. Semoga Allah senantiasa menganugerahkan kepada kita tutur kata yang baik dan akhlaq yang mulia. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.com Diselesaikan dengan anugerah Allah di Panggang-Gunung Kidul, 24 Muharram 1431 H Footnote:1 Adhwaul Bayan, Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, 3/238, Dar Ilmi Al F
awaid.2 Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 3/233, Muassasah Qurthubah.3 Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3/232,4 HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir no. 469 (Maktabah Al ‘Ulum wal Hikam, cetakan kedua, 1404 H). Al ‘Iroqi dalam Takhrij Al Ihya’ (2/246) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (bagus). Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah (1035) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih dan perowinya terpercaya.5 HR. Tirmidzi no. 1984 dan Ahmad (1/155). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.6 HR. Ahmad (2/316) dan disebutkan oleh Al Bukhari dalam kitab shahihnya secara mu’allaq (tanpa sanad). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.7 HR. Bukhari no. 6023 dan Muslim no. 1016.8 ‘Iddatush Shobirin wa Dzakhirotusy Syakirin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 109, Mawqi’ Al Waroq9 Syarh al Bukhari, Ibnu Baththol, 17/273, Asy Syamilah.10 Syarh al Bukhari, 4/460.11 Syarh al Bukhari, 17/273.12 Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/243.13 Tafsir Ath Thobari, Ibnu Jarir Ath Thobari, 23/157, Tahqiq: Dr. Abdullah bin Abdil Muhsin At Turki, Dar Hijr. Sumber https://rumaysho.com/782-lemah-lembutlah-dalam-bertutur-kata.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alhamdulillah Alloh Menjaga Lisan Kita Bagi Keselamatan Setiap Umat Nabi Muhammad
0 notes
blogalloh · 2 years
Text
Alhamdulillah Ahli Surga Saling Sebar Salam #Dakwah #Islam
Tumblr media
 Setiap umat muslim dianjurkan untuk mengucapkan salam ketika mamasuki rumah atau bertemu dengan saudaranya sesama muslim. Bahkan salam juga merupakan salah satu rukun qauli di dalam shalat. Di dalam kitab Lubbabul Hadis bab ke delapan belas, imam As-Suyuthi (w. 911) menuliskan sepuluh hadis tentang fadhilah atau keutamaan mengucapkan salam yang perlu kita perhatikan sebagaimana berikut. Hadis Pertama: وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: السَّلَامُ قَبْلَ الْكَلاَمِ. Nabi saw. bersabda, “Salam itu sebelum perkataan.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam At-Tirmidzi dari sahabat Jabir r.a. Imam An-Nawawi mengatakan bahwa sunnahnya adalah seorang muslim itu memulai dengan mengucapkan salam sebelum berkata. Alhamdulillah Ahli Surga Saling Sebar Salam Hadis Kedua: وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ بَدَأَ بِالْكَلَامِ قَبْلَ السَّلَامِ فَلَا تُجِيْبُوْهُ. Nabi saw. bersabda, “Siapa yang memulai dengan perkataan sebelum salam, maka janganlan kalian menjawab salamnya.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ath-Thabarani dari sahabat Ibnu Umar r.a. Imam An-Nawawi Al-Bantani mengatakan bahwa hadis ini merupakan motivasi untuk mengucapkan salam dan tidak meninggalkannya. Hadis Ketiga: وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ بَدَأَ بِالسَّلَامِ فَهُوَ أَوْلَى بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ. Nabi saw. bersabda, “Siapa yang memulai salam (ketika bertemu dengan orang), maka ia lebih utama menurut Allah dan Rasul-Nya.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ahmad dari sahabat Abu Umamah r.a. Hadis Keempat: وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: السَّلَامُ مِنْ أسْمَاءِ اللهِ تَعَالَى وَضَعَهُ اللهُ فِى الْأَرْضِ فَأَفْشُوْهُ، فَإِنَّ الرَّجُلَ الْمُسْلِمَ إِذَا مَرَّ بِقَوْمٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ فَرَدُّوْا عَلَيْهِ كَانَ لَهُ عَلَيْهِمْ فَضْلُ دَرَجَةٍ بِتَذْكِيْرِهِ إيَّاهُم السَّلَام، فَإِنْ لَمْ يَرُدُّوْا عَلَيْهِ رَدَّ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُمْ وَأَطْيَبُ. Nabi saw. bersabda, “Salam itu termasuk salah satu dari nama-nama Allah ta’ala yang Allah letakkan di bumi, maka sebarkanlah salam. Sungguh seorang laki-laki muslim jika melewati suatu kaum lalu ia mengucapkan salam kepada mereka, kemudian mereka menjawab salamnya, maka baginya atas mereka keutamaan derajat sebab mengingatkannya kepada mereka dengan salam. jika mereka tidak menjawab salamnya, maka orang yang lebih baik dari pada mereka dan lebih bagus telah menjawab salamnya.” Hadis shahih ini diriwayatkan oleh imam Al-Bazzar dan imam Al-Baihaqi dari sahabat Ibnu Mas’ud r.a. Imam An-Nawawi Al-Bantani menjelaskan bahwa maksud orang yang lebih baik dan lebih bagus yang akan menjawab salamnya adalah malaikat. Beliau juga menjelaskan bahwa meskipun memulai salam itu berhukum sunnah tetapi ia lebih utama dari pada menjawab salam meskipun ia berhukum wajib. Jadi, memulai salam itu lebih baik dari pada menjawab salam, meskipun memulai salam itu berhukum sunah sedangkan menjawab salam itu berhukum wajib. Hadis Kelima: وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِاللهِ مَنْ بَدَأَهُمْ بِالسَّلَامِ. Nabi saw. bersabda, “Sungguh orang yang paling utama menurut Allah adalah orang yang memulai mengucapkan salam.” Hadis shahih ini diriwayatkan oleh imam Abu Daud dari sahabat Abu Umamah r.a. Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa alasan orang yang memulai salam itu lebih utama mendapatkan rahmat dan kemuliaan dari Allah swt. adalah disebabkan dialah yang memulai dahulu menyebut nama Allah swt. dan mengingatkan lawan bicaranya untuk mengingat Allah swt. dengan salam. Hadis Keenam: وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: رَأْسُ التَّوَاضُعِ الاِبْتِدَاءُ بِالسَّلَامِ. Nabi saw. bersabda, “Pangkal tawadhu’ adalah memulai salam.” Berdasarkan penelusuran kami, kami belum menemukan periwayat hadis ini. Begitu pula di dalam kitab Tanqihul Qaul Al-Hatsits yang merupakan syarah kitab ini, imam An-Nawawi tidak menjelaskan periwayat hadis ini sebagaimana hadis-hadis lainnya. Hadis Ketujuh: وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَل
َيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ أَقْرَبُهُمَا إِلَى اللهِ تَعَالَى مَنْ بَدَأ بِالسَّلَامِ. “Jika dua orang muslim bertemu, maka yang paling dekat kepada Allah ta’ala adalah orang yang memulai salam.” Berdasarkan penelusuran kami, kami belum menemukan periwayat hadis ini. Begitu pula di dalam kitab Tanqihul Qaul Al-Hatsits yang merupakan syarah kitab ini, imam An-Nawawi tidak menjelaskan periwayat hadis ini sebagaimana hadis-hadis lainnya. Namun, imam An-Nawawi menyebutkan hadis-hadis lain yang semakna dengan hadis tersebut, yang di antaranya adalah sebagai berikut. عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ فَتَصَافَحَا وَحَمِدَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَاسْتَغْفَرَاهُ غُفِرَ لَهُمَا. رواه ابو داود. Dari Al-Bara’ bin ‘Azib, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Jika dua orang muslim bertemu, lalu mereka bersalaman, memuji Allah azza wa jalla, dan meminta ampunan kepada Allah, maka diampuni untuk mereka berdua.” H.R. Abu Daud. Hadis Kedelapan: وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذَا دَخَلْتُم فِيْ مَجْلِسٍ فَسَلِّمُوْا وَإِذَا خَرَجْتُمْ فَسَلِّمُوْا. “Jika kalian masuk ke dalam suatu majlis, maka ucapkanlah salam dan jika kalian keluar maka ucapkanlah salam.” Berdasarkan penelusuran kami, kami belum menemukan periwayat hadis ini. Begitu pula di dalam kitab Tanqihul Qaul Al-Hatsits yang merupakan syarah kitab ini, imam An-Nawawi tidak menjelaskan periwayat hadis ini sebagaimana hadis-hadis lainnya. Hadis Kesembilan: وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَبْخَلُ النَّاسِ مَنْ بَخِلَ بِالسَّلَامِ. “Orang yang paling pelit adalah orang yang pelit mengucapkan salam.” Berdasarkan penelusuran kami, hadis ini merupakan potongan atsar sahabat Abu Hurairah r.a. riwayat imam Al-Bukhari di dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad yang selengkapnya adalah sebagai berikut. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: أَبْخَلُ النَّاسِ مَنْ بَخِلَ بِالسَّلاَمِ، وَالْمَغْبُونُ مَنْ لَمْ يَرُدَّهُ، وَإِنْ حَالَتْ بَيْنَكَ وَبَيْنَ أَخِيكَ شَجَرَةٌ، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَبْدَأَهُ بِالسَّلامِ لا يَبْدَأُكَ فَافْعَلْ. Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Orang yang paling pelit adalah orang yang pelit memberikan salam dan orang yang tertipu adalah orang yang tidak menjawab salamnya. Jika ada sebuah pohon menghalangi antara dirimu dan saudaramu, jika kamu mampu memulainya dengan salam yang saudaramu tidak memulainya maka lakukanlah.” Hadis Kesepuluh: وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: السَّلَامُ تَحِيَّةٌ لِمِلَّتِنَا وَأَمَانٌ لِذِمَّتِنَا، قَالَ اللهُ تَعَالَى: “وَإِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِأحْسَنَ مِنْهَا أوْ رُدُّوْهَا”. “Salam adalah kehormatan untuk agama kita dan keamanan untuk tanggunganmu, Allah ta’ala berfirman, “Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Al-Qudha’i dari sahabat Anas bin Malik r.a. Terkait dengan anjuran untuk menjawab salam dengan yang lebih baik, di dalam hadis lainnya pun Nabi saw. pernah menerangkan hal ini sebagaimana berikut. عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ ثُمَّ جَلَسَ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: عَشْرٌ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ فَرَدَّ عَلَيْهِ فَجَلَسَ فَقَالَ: عِشْرُونَ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ فَرَدَّ عَلَيْهِ فَجَلَسَ فَقَالَ: ثَلاَثُونَ. رواه أبو داود والترمذي. Dari Imran bin Hushain, ia berkata, “Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi saw., lalu ia berkata, “Assalamu’alaikum.” Beliau menjawab salamnya. Kemudian ia duduk, lalu Nabi saw. bersabda, “Sepuluh.” Kemudian datang lagi seorang laki-laki lain dan berkata, “Assalamua’alaikum warahmatullah.” Lalu beliau menjawab salamnya. Kemudian ia duduk, beliau pun bersabda, “Dua p
uluh.” Kemudian datang lagi orang lain dan berkata, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Lalu beliau menjawab salamnya, ia pun duduk, lalu beliau bersabda, “Tiga puluh.” H.R. Abu Daud dan At-Tirmidzi. Demikianlah sepuluh hadis yang telah dijelaskan oleh imam As-Suyuthi tentang keutamaan mengucapkan salam di dalam kitabnya yang berjudul Lubbabul Hadits. Di mana di dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan empat puluh bab dan setiap bab beliau menuliskan sepuluh hadis dengan tidak menyantumkan sanad untuk meringkas dan mempermudah orang yang mempelajarinya. Meskipun begitu, di dalam pendahuluan kitab tersebut, imam As-Suyuthi menerangkan bahwa hadis nabi, atsar, maupun riwayat yang beliau sampaikan adalah dengan sanad yang shahih (meskipun menurut imam An-Nawawi di dalam kitab Tanqihul Qaul Al-Hatsits ketika mensyarah kitab ini mengatakan ada hadis dhaif di dalamnya, hanya saja masih bisa dijadikan pegangan untuk fadhailul a’mal dan tidak perlu diabaikan sebagaimana kesepakatan ulama). Wa Allahu A’lam bis Shawab. Sumber : https://bincangsyariah.com/khazanah/hadis-hadis-keutamaan-mengucapkan-salam/ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alhamdulillah Ahli Surga Saling Sebar Salam
0 notes
blogalloh · 2 years
Text
Alhamdulillah Jika Kamu Didholimi, Ternyata Bukan Kamu Yang Mendholimi. Jika Kamu Didholimi Dari Belakang, Ternyata Dia Menghormati & Memuliakanmu, Karna Dia Sungkan Jika Mendholimimu Dari Depan. #Dakwah #Islam
Tumblr media
Salah satu sunnah yang mungkin sangat jarang kita lakukan adalah mendoakan saudara muslim kita semisal teman, sahabat, guru dan lain-lain tanpa sepengetahuan dia. Kita doakan dia dengan ikhlas dan tulus agar dia mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. Alhamdulillah Jika Kamu Didholimi, Ternyata Bukan Kamu Yang Mendholimi. Jika Kamu Didholimi Dari Belakang, Ternyata Dia Menghormati & Memuliakanmu, Karna Dia Sungkan Jika Mendholimimu Dari Depan. Tidak mudah melakukan sunnah ini, karena butuh keimanan yang tinggi serta hati yang tulus dan ikhlas. Hal ini karena sifat dasar manusia yang hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri saja. Setelah semua kebutuhan manusia terpenuhi, barulah dia memperhatikan orang lain. Oleh karena itu, para ulama menjelaskan bahwa sunnah ini adalah tanda jujurnya keimanan seseorang. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, الدعاء بظهر الغيب يدل دلالة واضحة على صدق الايمان لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه مايحب لنفسه) “Mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuannya menunjukkan jujurnya keimanan seseorang. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah sempurna keimanan kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri’.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 6: 54) Mengenai sunnah ini, terdapat dalil hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan keutamaan sunnah ini. Yaitu apabila kita mendoakan saudara muslim, maka malaikat akan mendoakan bagi kita yang semisal doa yang kita panjatkan. Jadi apa yang kita doakan kepada saudara kita, kita pun akan mendapatkannya dengan izin Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ وَلَكَ بِمِثْلٍ “Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, ‘Dan bagimu juga kebaikan yang sama.’” (HR. Muslim) Dalam riwayat lainnya, دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ “Doa seorang muslim untuk saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa mustajabah. Di atas kepalanya (orang yang berdoa) ada malaikat yang telah diutus. Sehingga setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan, ‘Amin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu.’ Para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah generasi terbaik umat ini dengan keimanan yang jujur dan ikhlas. Salah satu riwayat dari mereka yang menerapkan sunnah ini adalah riwayat dari sahabat Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu.  Istri beliau,  Ummu Darda’ menceritakan, كان لأبي الدرداء ستون وثلاث مئة خليل في الله يدعو لهم في الصلاة، فقلت له في ذلك، فقال : إنه ليس رجل يدعو لأخيه في الغيب إلا وكل الله به ملكين يقولان : « ولك بمثل » أفلا أرغب أن تدعو لي الملائكة ‘Dahulu Abu Darda’ memiliki sekitar 300 orang sahabat (pertemanan di dalam ketaatan). Di dalam shalatnya, Abu Darda’ seringkali mendoakan mereka. Aku pun berkata kepadanya tentang apa yang dia lakukan.’ Maka dia pun berkata, ‘Sesungguhnya tidaklah seseorang mendoakan bagi saudaranya tanpa sepengetahuanya, kecuali Allah mengutus denganya dua malaikat, yang keduanya akan mengatakan, ‘Begitu juga denganmu.’ Apakah aku tidak boleh mendambakan malaikat mendoakanku?’” (Siyar A’lamin Nubala’, 2: 351) Dalam hadits disebutkan bahwa malaikat ikut mendoakan bagi yang berdoa. Para ulama mejelaskan bahwa doa malaikat itu mustajab. Abul Hasan Al-Mufarakfuri rahimahullah berkata, دعاء الملائكة مستجاب “Doa para malaikat itu mustajab.” (Mura’atul Mafatih, 5: 309) Demikian, semoga bermanfaat. @ Lombok, Pulau Seribu Masjid Penyusun: Raehanul Bahraen Artikel: Muslim.or.id Simak selengkapnya disini. Klik&n
bsp;https://muslim.or.id/58881-mendoakan-saudara-tanpa-sepengetahuannya-adalah-tanda-jujurnya-keimanan.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alhamdulillah Jika Kamu Didholimi, Ternyata Bukan Kamu Yang Mendholimi. Jika Kamu Didholimi Dari Belakang, Ternyata Dia Menghormati & Memuliakanmu, Karna Dia Sungkan Jika Mendholimimu Dari Depan.
0 notes
blogalloh · 2 years
Text
Anggap Setiap Orang Lebih Baik Dari Kita. Yang Lebih Muda Lebih Sedikit Dosanya, Dan Yang Lebih Tua Banyak Amal Baiknya. #Dakwah #Islam
Tumblr media
“ Orang yang baik adalah orang yang merasa dirinya belum baik “ Ketika iblis mengatakan ia lebih baik dari Nabi Adam ‘alaihis salam karena ia diciptakan dari api, sedangkan Nabi Adam dari tanah dan saat iblis diperintahkan Allah untuk sujud kepada Nabi Adam, ia pun enggan dan sombong, maka ketahuilah, dua kesesatan inilah yang sering menghiasi hidup manusia, yakni karena memiliki berbagai kelebihan, lalu merasa dirinya superior diatas orang lain serta memandang remeh mereka. Anggap Setiap Orang Lebih Baik Dari Kita. Yang Lebih Muda Lebih Sedikit Dosanya, Dan Yang Lebih Tua Banyak Amal Baiknya. Orang yang rendah hati atau tawadhu’ akan menghindari sifat memandang rendah orang lain, justru ia akan memuliakan manusia dengan ucapan dan perbuatan yang diridhai Allah. Karena tawadhu’ merupakan akhlak para Rasul dan para generasi Salafus Sholeh. Allah akan memuliakan dan mencintai orang yang rendah hati. “ Tidaklah Allah menambah pada seorang hamba yang memaafkan kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seseorang rendah hati karena Allah, kecuali Allah akan meninggikan orang tersebut”. (H.R. Muslim). Efek Dahsyat Rendah Hati Banyak orang menyangka rendah hati identik dengan menghinakan diri, padahal sehebat apapun manusia ia pasti pernah berbuat salah atau dosa. Mereka merasa amalannya banyak lantas memandang dirinya lebih baik daripada orang lain. Padahal para anbiya’ dan salaf, mereka memiliki hati yang lebih bersih dibandingkan orang-orang setelahnya, tetapi karakter rendah hati tetap mendominasi kepribadian mereka. Padahal dari sisi ilmu agama, mereka ahli ibadah, dan akhlaknya –masya Allah– sangat santun dan simpatik. Meski demikian, rasa takut pada Allah dan adzab neraka senantiasa membayangi hidup mereka dan seakan-akan mereka belum beramal sholih secara maksimal. Bakr bin ‘Abdillah berkata : “Apabila kamu melihat orang yang lebih tua daripada dirimu, maka katakanlah : “ Orang ini telah mendahului dengan iman dan amal shalih, sehingga dia lebih baik daripada aku”, apabila kamu melihat orang yang lebih muda daripada dirimu maka katakanlah, “Aku telah mendahului menuju perbuatan dosa dan maksiat sehingga dia lebih baik daripada aku”. (Shifatus – Shofwah : 3 / 248 ). Alangkah bagusnya sikap rendah hati ini ! Kebalikannya adalah sombong, yang sering membuat manusia mengingkari kebesaran Allah, menolak kebenaran dan membanggakan dirinya dengan tujuan ‘ujub. Itulah karakter buruk yang sangat dilarang semua Rasul-Nya dan akan berakibat fatal yang justru merugikan hidup manusia di dunia dan akhirat. Pribadi Yang Rendah Hati Al’Aini rahimahullah mengungkapkan bahwa, “tawadlu’ adalah memperlihat kerendahan martabatnya ( dihadapan orang ) lain”. (‘Umdatul Al-Qori’ 23 / 88, Fathul Al-Bari  11 / 241). Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S. Asy-Syu’ara`: 215, وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ “ Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman “. Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam adalah teladan utama dalam sikap rendah hati. Betapa ketawadlu’an beliau ketika bergaul, berinteraksi dengan sahabatnya, tanpa pernah menghinanya. Jaminan surga kepada beliau tak menghalanginya untuk selalu memperbanyak do’a, sholat, puasa dan amal shalih lainnya. Beliau senantiasa memotivasi umatnya untuk terus memperbaiki hatinya, memperbanyak ilmu, meningkatkan kualitas iman dan amal shalih sampai meninggal dunia. Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali, dalam At-Tawadhu’ fi Dhauil Qur`anil Karim was Sunnah Ash-Shohihah, hal. 28 mengatakan ungkapan yang sangat menarik bahwa substansi tawadlu’, ialah dengan menghargai orang lain. Ketahuilah, wahai saudaraku yang tawadhu! Orang berakal, ketika ia melihat orang lain yang lebih tua darinya, maka ia bersikap tawadhu’ terhadapnya, sembari berkata: “Dia telah mendahului dalam Islam “. Bila ia menjumpai seorang yang lebih muda usianya darinya, ia pun bersikap
tawadhu’ kepadanya sembari berbisik: “Aku telah mendahuluinya dalam berbuat dosa”. Jika menyaksikan orang yang seusianya, ia menjadikannya sebagai saudara maka bagaimana mungkin ia sombong kepada saudaranya sendiri ? Dia tidak menghina siapapun sebab, seorang hamba yang tawadhu’ tidak melihat dirinya memiliki nilai lebih jika dibandingkan dengan orang lain. Diapun melihat orang lain, tidak membutuhkannya dalam masalah agama atau dunia. Seseorang tidak meninggalkan tawadhu’ , kecuali saat kesombongan mencengkeram jiwanya, dan ia tidak arogan kepada orang lain kecuali saat ia takjub dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam menjelaskan bahwa sombong adalah menghina orang lain, sehingga dapatlah disimpulkan, tawadhu’ tercermin pada penghormatan kepada orang lain. ———– Penulis: Isruwanti Ummu Nashifah Murojaah: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah Artikel www.muslimah.or.id Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/8200-energi-rendah-hati-yang-dahsyat.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Anggap Setiap Orang Lebih Baik Dari Kita. Yang Lebih Muda Lebih Sedikit Dosanya, Dan Yang Lebih Tua Banyak Amal Baiknya.
0 notes
blogalloh · 2 years
Text
Jika Kamu Menemui Kesalahan Orang : 1, Bersyukur Bukan Kamu Pelakuya; 2 Bersikap Seakan-Akan Di Posisinya; 3. Cari Alasan Seakan-Akan Dia Benar; 4. Dia Masih Punya Banyak Kebaikan; 5. Doakan Dia & Buat Alloh Sayang Dia. #Dakwah #Islam
Tumblr media
Alhamdulillah, wash shalaatu wassalaamu ‘ala nabiyyinaa Muhammad, wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa man tabi’ahum bi ihsaan, wa ba’d. Pada zaman Nabi Musa ‘alaihis salam, bani Israel ditimpa musim kemarau yang berkepanjangan. Mereka pun berkumpul mendatangi Nabi mereka. Mereka berkata, “Ya Kaliimallah, berdoalah kepada Rabbmu agar Dia menurunkan hujan kepada kami.” Maka berangkatlah Musa ‘alaihis salam bersama kaumnya menuju padang pasir yang luas. Waktu itu mereka berjumlah lebih dari 70 ribu orang. Mulailah mereka berdoa dengan keadaan yang lusuh dan kumuh penuh debu, haus dan lapar. Jika Kamu Menemui Kesalahan Orang : 1, Bersyukur Bukan Kamu Pelakuya; 2 Bersikap Seakan-Akan Di Posisinya; 3. Cari Alasan Seakan-Akan Dia Benar; 4. Dia Masih Punya Banyak Kebaikan; 5. Doakan Dia & Buat Alloh Sayang Dia. Nabi Musa berdoa, “Ilaahi! Asqinaa ghaitsak…. Wansyur ‘alaina rahmatak… warhamnaa bil athfaal ar rudhdha’… wal bahaaim ar rutta’… wal masyaayikh ar rukka’…..” Setelah itu langit tetap saja terang benderang… matahari pun bersinar makin kemilau… (maksudnya segumpal awan pun tak jua muncul). Kemudian Nabi Musa berdoa lagi, “Ilaahi … asqinaa….” Allah pun berfirman kepada Musa, “Bagaimana Aku akan menurunkan hujan kepada kalian sedangkan di antara kalian ada seorang hamba yang bermaksiat sejak 40 tahun yang lalu. Umumkanlah di hadapan manusia agar dia berdiri di hadapan kalian semua. Karena dialah, Aku tidak menurunkan hujan untuk kalian…” Maka Musa pun berteriak di tengah-tengah kaumnya, “Wahai hamba yang bermaksiat kepada Allah sejak 40 tahun… keluarlah ke hadapan kami…. karena engkaulah hujan tak kunjung turun…” Seorang laki-laki melirik ke kanan dan kiri… maka tak seorang pun yang keluar di hadapan manusia… saat itu pula ia sadar kalau dirinyalah yang dimaksud….. Ia berkata dalam hatinya, “Kalau aku keluar ke hadapan manusia, maka akan terbuka rahasiaku… Kalau aku tidak berterus terang, maka hujan pun tak akan turun.” Maka hatinya pun gundah gulana… air matanya pun menetes….. menyesali perbuatan maksiatnya… sambil berkata lirih, “Ya Allah… Aku telah bermaksiat kepadamu selama 40 tahun… selama itu pula Engkau menutupi ‘aibku. Sungguh sekarang aku bertaubat kepada Mu, maka terimalah taubatku…” Tak lama setelah pengakuan taubatnya tersebut, maka awan-awan tebal pun bermunculan… semakin lama semakin tebal menghitam… dan akhirnya turunlah hujan. Musa pun keheranan, “Ya Allah, Engkau telah turunkan hujan kepada kami, namun tak seorang pun yang keluar di hadapan manusia.” Allah berfirman, “Aku menurunkan hujan kepada kalian oleh sebab hamba yang karenanya hujan tak kunjung turun.” Musa berkata, “Ya Allah… Tunjukkan padaku hamba yang taat itu.” Allah berfirman, “Ya Musa, Aku tidak membuka ‘aibnya padahal ia bermaksiat kepada-Ku, apakah Aku membuka ‘aibnya sedangkan ia taat kepada-Ku?!” (Kisah ini dikutip dari buku berjudul “Fii Bathni al-Huut” oleh Syaikh DR. Muhammad Al ‘Ariifi, hal. 42) Subhaanallah… Kalaulah bukan karena Allah menutupi aib-aib kita… *** Penulis: Abu Yazid T. Muhammad Nurdin Artikel www.muslim.or.id Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/472-allah-menutup-aib-kita.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Jika Kamu Menemui Kesalahan Orang : 1, Bersyukur Bukan Kamu Pelakuya; 2 Bersikap Seakan-Akan Di Posisinya; 3. Cari Alasan
Seakan-Akan Dia Benar; 4. Dia Masih Punya Banyak Kebaikan; 5. Doakan Dia & Buat Alloh Sayang Dia.
0 notes
blogalloh · 2 years
Text
Ikuti Kajian, Dekati Ulama, Alloh Akan Perbaiki Dirimu, Orang Akan Baik Padamu. #Dakwah #Islam
Tumblr media
Allah l dengan hikmah dan keadilan-Nya yang sempurna memuliakan sebagian hamba-Nya. Di antara sebab Allah l memuliakan hamba-Nya adalah ilmu, amal, kesabaran, keikhlasan, dan keimanan. Oleh karena itulah, Allah l memuliakan para ulama, yaitu orang-orang yang berilmu tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman sahabat g, serta mengamalkannya.  Di antara dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan keutamaan mereka disebabkan ilmu, amal, kesabaran, keikhlasan, dan keimanan mereka, adalah sebagai berikut. Allah l berfirman: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadilah: 11) “(Apakah kamu, wahai orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya? Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar: 9) “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28) “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah: 24) Rasulullah n bersabda tentang keutamaan mereka: إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ “Para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham (harta). Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak (menguntungkan).” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Abu Dawud. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan sanadnya hasan dalam Shahih at-Targhib wat Tarhib 1/139) Ibnu Mas’ud z mengatakan bahwa Rasulullah n bersabda: لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ؛ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا “Tidak boleh ada hasad (berkeinginan mendapatkan) kecuali terhadap dua golongan: orang yang Allah l limpahkan harta kepadanya lalu dia belanjakan di jalan yang benar, serta orang yang Allah l karuniakan hikmah (ilmu) lalu dia tunaikan (amalkan) dan ajarkan.” (Muttafaqun ‘alaih) Dalam hadits yang lain, Rasulullah n bersabda: مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ “Barang siapa yang Allah l kehendaki kebaikan untuknya, Dia jadikan orang tersebut paham akan agama.” (HR. Al-Bukhari no. 69 dari Mu’awiyah z) Para ulama adalah orang-orang berilmu dan dimuliakan oleh Allah l, sehingga kita wajib menghormati dan memuliakan mereka sebagai bukti kebenaran keimanan serta kecintaan kita kepada Allah l dan Rasul-Nya n. Allah l berfirman: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32) Rasulullah n bersada: ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ؛ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ “Ada tiga hal, yang apabila dimiliki seseorang tentu dia merasakan manisnya iman: (1) Allah l dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada yang selain keduanya, (2) dia tidaklah mencintai seseorang melainkan karena Allah l, (3) dia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah l menyelamatkannya dari kekafiran itu sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam api.” (Muttafaqun ‘alaih dari Anas bin Malik z) Kita dapat merealisasikan sikap menghormati dan memuliakan para ulama dengan beberapa hal berikut. 1. Bersyukur (berterima kasih) kepada mereka karena Allah l K
arena keikhlasan dan kesabaran mereka dalam berdakwah, ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah pun tersebar hingga sampai kepada kita. Kita bisa mengetahui akidah yang benar, manhaj yang lurus, dan beribadah dengan tata cara yang bersih dari bid’ah. Oleh karena itu, sudah semestinya kita berterima kasih kepada mereka karena Allah l saja. Allah l berfirman: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman: 60) Rasulullah n bersabda: لَا يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ “Tidak akan bersyukur kepada Allah l, orang yang tidak berterima kasih kepada orang lain.” (HR. Abu Dawud no. 4177, lihat Ash-Shahihah no. 416) Yahya bin Mu’adz Ar-Razi t (wafat 258 H) berkata, “Para ulama lebih mengasihi dan menyayangi umat Muhammad n daripada ayah dan ibu mereka.” Beliau ditanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Beliau n menjawab, “Bapak dan ibu mereka melindungi mereka dari api dunia, sedangkan para ulama melindungi mereka dari api akhirat.” (Mukhtashar Nashihat Ahlil Hadits hlm. 167) 2. Menaati mereka dalam hal yang baik Allah l berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian.” (An-Nisa’: 59) Asy-Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul hafizhahullah mengatakan, “Yang dimaksud ulil amri adalah umara (para penguasa) dan ulama. Karena itu, ketaatan kepada ulama itu mengikuti ketaatan kepada Allah l dan Rasul-Nya, sedangkan ketaatan kepada para penguasa mengikuti ketaatan kepada para ulama. Pintu ketidaktaatan terhadap para penguasa dan pemimpin tergantung kepada para ulama, sehingga apabila hak-hak para ulama ditelantarkan niscaya hak-hak para penguasa akan hilang pula. Bila hak-hak para ulama dan umara hilang, umat manusia tidak akan menaati mereka, padahal hidup dan baiknya ulama adalah penentu kehidupan dan kebaikan alam ini. Apabila hak-hak para ulama tidak dipedulikan, akan hilang hak-hak para umara. Dan ketika hak-hak para ulama dan umara hilang, hancurlah kehidupan alam semesta!” (Makanatul ‘Ilmi wal ‘Ulama, hlm. 16—17) Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t mengatakan, “Bila para ulama dihormati, syariat pun akan dimuliakan, karena mereka adalah pembawa syariat tersebut. Namun, bila para ulama direndahkan, syariat juga akan dihinakan, karena apabila kewibawaan para ulama telah direndahkan dan dijatuhkan di mata umat, syariat yang mereka bawa akan dihinakan dan tidak bernilai. Setiap orang akan meremehkan dan merendahkan mereka. Akibatnya, syariat pun akan hilang. Para penguasa pun demikian keadaannya: wajib dimuliakan, dihormati dan ditaati, sesuai dengan ketentuan syariat-Nya. Apabila kewibawaan penguasa direndahkan, dihinakan, dan dijatuhkan, hilanglah keamanan (ketenteraman) masyarakat. Negara menjadi kacau, sementara penguasa tidak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan. Oleh karena itu, apabila kedua golongan ini, ulama dan umara, direndahkan di mata umat, syariat akan rusak dan keamanan akan hilang. Segala urusan menjadi kacau-balau.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 2/110) 3. Mengikuti bimbingan dan arahan mereka Allah l berfirman menceritakan dialog Nabi Ibrahim q dengan ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Maryam: 42) Ibnu Mas’ud z berkata: Rasulullah n membuat sebuah garis yang lurus lalu bersabda, “Ini adalah jalan Allah.” Kemudian beliau n membuat beberapa garis di sebelah kanan dan kiri garis lurus itu lalu bersabda, “Ini adalah jalan-jalan yang bercabang (darinya). Pada setiap jalan ini ada setan yang mengajak kepadanya.” Beliau n lalu membaca firman Allah l, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya….” (Al-An’am: 153) [HR. Ahmad no. 3928] Asy-Syaikh Muhammad Bazmul hafizhahullah mengatakan, “Barang siapa yang mengikuti para ulama berarti dia mengikuti jalan yang l
urus. Adapun yang menyelisihi ulama dan tidak memedulikan hak-hak mereka berarti dia telah keluar (dan mengikuti) jalan setan. Dia telah memisahkan diri dari jalan yang lurus, yaitu jalan Rasul-Nya n dan yang ditempuh para sahabat g.” (Makanatul ‘Ilmi wal ‘Ulama, hlm. 18) Al-Imam Al-Ajurri t berkata, “Apa pendapat kalian tentang sebuah jalan yang mengandung banyak rintangan, sementara orang-orang harus melaluinya di malam yang gelap; apabila tidak ada penerang maka mereka akan kebingungan? Kemudian Allah l mengaruniakan penerang-penerang jalan mereka, sehingga mereka pun dapat melaluinya dengan selamat. Lalu datanglah beberapa rombongan yang harus melewati jalan itu. Ketika berada di tengah perjalanan, tiba-tiba penerang itu padam. Mereka pun tertinggal di tempat yang gelap tersebut. Apa pendapat kalian tentang mereka ini? Demikianlah kedudukan para ulama. Mayoritas umat manusia tidak mengetahui cara menunaikan kewajiban, meninggalkan keharaman, dan beribadah kepada Allah l melainkan dengan perantaraan para ulama. Dengan meninggalnya para ulama, umat akan bingung, ilmu akan hilang, dan kebodohan pun semakin merebak. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Alangkah dahsyatnya musibah ini.” (Akhlaqul ‘Ulama, hlm. 28—29) 4. Mengembalikan urusan umat kepada mereka Allah l berfirman: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43) Allah l juga berfirman: “Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti setan kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian).” (An-Nisa: 83) Asy-Syaikh As-Sa’di t berkata, “Ini adalah bimbingan adab dari Allah l kepada hamba-hamba-Nya terkait sikap mereka yang tidak pantas ini. Selayaknya apabila ada sebuah urusan penting dan menyangkut orang banyak—terkait keamanan dan kebahagiaan orang-orang beriman, ataupun kekhawatiran akan sebuah musibah yang menimpa mereka— hendaknya mereka menelitinya dan tidak tergesa-gesa menyebarkannya. Bahkan, semestinya mereka mengembalikannya kepada Rasulullah n (semasa hidup beliau n) dan kepada ulil amri, yaitu orang-orang yang ahli dalam menentukan pendapat, berilmu, peduli, dan tenang. Mereka adalah orang-orang yang memahami urusan dan kepentingan umat maupun hal-hal yang sebaliknya. Apabila mereka memandang ada kebaikan, kemaslahatan, kebahagiaan, dan sesuatu yang membangkitkan kewaspadaan orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuhnya, niscaya mereka akan menyebarkannya. Akan tetapi, bila mereka memandang tidak ada kebaikan dan kemaslahatannya, atau ada kebaikan dan kemaslahatan tetapi dampak negatifnya lebih besar, niscaya mereka tidak akan menyebarkannya….” Beliau t melanjutkan, “Firman Allah l ini mengandung dalil yang membenarkan kaidah adab, yaitu apabila terjadi pembahasan suatu urusan yang penting, sepantasnya yang terlibat adalah orang-orang yang ahli dalam urusan tersebut. Urusan tersebut diserahkan kepada mereka, sedangkan orang lain tidak boleh mendahului mereka, karena sikap ini lebih mendekati kebenaran dan lebih selamat. Ayat ini juga mengandung larangan untuk tergesa-gesa menyebarkan sebuah berita ketika mendapatkannya. Bahkan, seseorang diperintahkan untuk meneliti dahulu sebelum menyampaikannya. (Tafsir As-Sa’di hlm. 190) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t mengatakan, “Para ulama ahlul hadits lebih mengetahui maksud Rasulullah n daripada pengetahuan para pengikut imam-imam (mazhab) terhadap maksud imam-imam mereka.” (Minhajus Sunnah) Oleh karena itu, pendapat mereka lebih mendekati kebenaran dan nasihat mereka lebih berhak didengarkan. Ketika para ulama tidak dihormati dan urusan umat tidak dikembalikan kepada mereka, akan timbul beberapa akibat buruk sebagai berikut. 1. Umat akan ditimpa kehinaan dan keren
dahan Ibnu Umar c mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah n bersabda: إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ ‘Apabila kalian berjual-beli dengan sistem ‘inah, telah mengambil ekor-ekor sapi, dan lebih senang dengan pertanian kalian hingga kalian meninggalkan jihad (di jalan Allah), niscaya Allah l akan menimpakan kehinaan terhadap kalian. Allah l tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama kalian’.” (HR. Abu Dawud no. 3003) Asy-Syaikh Muhammad Bazmul mengatakan, “Tidak ada jalan untuk kembali kepada agama yang mulia ini melainkan dengan bimbingan ulama. Apabila umat tidak memedulikan hak-hak ulama dan tidak merujuk kepada mereka, bahkan merasa tidak membutuhkan mereka, mereka akan mengangkat orang-orang yang bodoh sebagai pemimpin. Bagaimana mereka akan kembali kepada agama mereka? Bagaimana pula mereka bisa keluar dari kehinaan dan kerendahan tanpa bimbingan ulama?” (Makanatul ‘Ilmi wal ‘Ulama, hlm. 26) 2. Menyelisihi perintah Allah l dan Rasul-Nya Allah l dan Rasul-Nya n memerintahkan kita memuliakan para ulama, menjaga hak-hak mereka, tidak menyakiti mereka, dan mengembalikan urusan umat kepada mereka. Ketika kita tidak mengembalikan urusan umat kepada para ulama, berarti kita telah menyelisihi perintah Allah l dan Rasul-Nya n. Allah l telah memberikan ancaman dalam firman-Nya: “Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63) Salah satu musibah yang menimpa umat ini dan memilukan hati adalah terjadinya perselisihan pendapat di antara para dai yang menyeret kepada perpecahan, karena mereka tidak mengembalikan perbedaan pendapat yang terjadi kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan bimbingan para ulama. Perhatikanlah ucapan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i t, “Akan tetapi, beberapa penuntut ilmu merasa cukup dengan sedikit ilmu yang mereka miliki, kemudian mereka siap membantah setiap orang yang menyelisihi pendapatnya. Ini adalah salah satu sebab terjadinya perselisihan dan perpecahan.” (At-Tarjamah, hlm. 201) Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah mengatakan, “Para ulama—orang-orang yang mendalam ilmunya—telah menjelaskan berbagai celah dan sumber munculnya penyakit (yang menimpa umat ini). Di antara yang mereka sebutkan adalah adanya orang-orang yang tidak mapan dalam mempelajari ilmu syariat namun tidak mau mengikuti orang-orang yang sudah mendalam ilmunya (para ulama). Bahkan, dia merasa puas dengan ilmunya. Kemudian ia mendahului para ulama dalam menghadapi berbagai masalah, padahal jika masalah itu dihadapkan kepada Umar bin al-Khaththab z, beliau tentu akan mengumpulkan ahli Badr (para sahabat yang mengikuti perang Badr) untuk memusyawarahkannya.” (Bidayatul Inhiraf, hlm. 432) 3. Menyerupai ahlul bid’ah Asy-Syaikh Muhammad Bazmul hafizhahullah mengatakan, “Menjatuhkan kedudukan para ulama termasuk perilaku ahlul bid’ah dan pengekor hawa nafsu. Perhatikanlah berbagai kelompok sesat yang menyelisihi petunjuk Rasulullah n dan amalan para sahabat g, niscaya Anda akan menemukan sikap ini….” Beliau melanjutkan, “Demikianlah. Anda tidak akan menemukan satu pun golongan yang menyimpang dari jalan yang lurus dan keluar dari jalan orang-orang beriman melainkan mereka membicarakan (baca: menggunjing), mencela, menjatuhkan, dan tidak memedulikan hak-hak para ulama. Bahkan, mereka mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka.” (Makanatul ‘Ilmi wal ‘Ulama, hlm. 28) Al-Imam Asy-Syathibi t mengatakan, “Dikisahkan bahwa ada seorang tokoh ahlul bid’ah yang hendak mengutamakan ilmu kalam (filsafat) daripada ilmu fiqih. Dia mengatakan, ‘Ilmu Asy-Sya’fi’i dan ilmu Abu Hanifah secara global tidak keluar dari pakaian bawah perempuan.’ Maknanya, ilmu kedua imam tersebut terbatas pada hukum-hukum haid dan nifas. Inilah ucapan orang-orang yang menyimpang. Semoga Allah l memerangi mereka.” (Al-I’tisham, 2
/239) Sebagai penutup, kita memohon kepada Allah l saja agar membimbing kita dan seluruh kaum muslimin untuk memuliakan, menghormati, dan memberikan hak-hak para ulama, serta mengembalikan urusan umat kepada mereka, karena hal inilah yang diperintahkan oleh Allah l dan Rasul-Nya n. Kita juga memohon kepada Allah l untuk memperbaiki keadaan dan menyelesaikan berbagai masalah yang menimpa umat. Amin, ya Rabbal ‘alamin. Sumber : https://asysyariah.com/menghormati-dan-memuliakan-ulama/ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali.
0 notes